Izack adalah pemuda berusia 23 yang
menentang keras pacaran. Masa lalunya menjadi bayi buangan di tempat pembuangan
sampah akhir adalah pengalaman menyakitkan yang terpatri sepanjang hidupnya. Ia
enggan mendekati perempuan, bahkan di saat ia memutuskan untuk suka pada
seorang gadis, ia tetap tidak berani menyentuhnya sebelum ia memutuskan untuk
menikahinya. Dari konsentrasinya pada karir politik dan bisnis yang ia bangun
semenjak es em a, ia menjadi pemuda yang sukses di saat usianya baru
23tahun.
Chika adalah pemudi berusia 19tahun
yang tidak pernah pedui dengan yang namanya dunia cinta. Baginya itu seperti
buang-buang waktu percuma. Ia tidak bisa mengandalkan hidupnya pada siapapun,
bahkan keluarga pamannya yang tergolong petani miskin yang hidup hanya untuk
menyambung hidup. Meskipun demikian ia tak pernah menyerah begitu saja, di
sela-sela waktunya sebagai mahasiswa, ia habiskan waktunya untuk bekerja
serabutan demi menutup hutang bank, demi menyambung pendidikannya hingga masuk
perguruan tinggi.
Di saat tubuh fisiknya terkoyak
karena tidak adanya asupan gizi yang cukup, ia masih sering merasakan sakit
perut yang luar biasa. Hingga satu peristiwa ia jatuh pingsan dan dibawa lari
Izack dan Hendrik yang jadi tetangga kostnya.
Bagaimanakah pertemuan dua orang
sejoli yang sama-sama saling tidak peduli soal pacar, namun ujungnya menikah
secara mendadak karena hukum adat mayarakat setempat?
Di
Balik Bayangan Negeri Malam
1
Tanpanya, aku
tidak baik-baik saja
Siang menjelang sore, lelaki
berwajah lembut itu berdiri di depan jendela sebuah ruang perkantoran.
Handponennya tiba-tiba saja berbunyi, dering nada panggilan itu adalah nomor
pribadi ibunya.
“Halo, iya Ma?”
“Kamu sekarang dimana, Nak?”
tanya perempuan di ujung ponselnya
"Di Penerbitan Ma,
gimana?"
"Kenapa sekarang jarang
pulang ke rumah?"
"Iya, biasa Ma. Tahun
pertama pindah kantor agak ribet, banyak urusan yang harus diselesaikan"
“Begini… Kemarin Papamu bilang,
besok mau diajak ketemuan sama pak Menhan”
“Ada apa??” Izack mengernyit
“Ee…” suara itu geragap bingung mencari kata
“Kebetulan putrinya beliau baru
pulang dari Belanda”
“Lalu, apa urusannya denganku?”
“Kau ini, sudah umur segini
belum punya cewek juga,”
Izack menghela nafas pelan “Ma,
urusan lain-lainnya Mama bisa atur-atur, tapi soal yang satu ini biarkan Izack
yang memilih”
”Okey Ma?!"
“Tunggu tunggu!!”
“Apa salahnya sih dicoba, siapa
tahu jodoh”
“Sudahlah Ma, doakan saja semua
urusan Izack lancar” nadanya sopan menjauhkan batangan tipis itu sambil meringis
saat suara di ujung sana terdengar mulai geram.
“Baik Ma... baik” suaranya
menekan rasa kesal
“Mama tunggu loh ya, jam 7
malam”
“Ma, selesai kerja. Izack punya
agenda rapat dengan teman-teman di Mabes AMI” nadanya sopan menutup telphon
Hening. Izack melenguh kesal melonggarkan
kerah hem nya.
"Siapa? Mamamu?" tanya
Alvin yang bersandar di meja kerjanya
"Hm!"
"Mampus! apa kataku dulu,
punya pacar itu penting untuk menghindari perjodohan"
"Perempuan itu ribet,
Bro!" ujarnya yang spontan ditertawakan Alvin
"Mereka itu makhluk paling
manja"
"Tidak semua"
"Kamu lihat Hera, dia
pekerja keras. Tapi apa yang terjadi, dia seperti nggak membutuhkanku lagi
karena saking mandirinya"
"Nah, kan??"
"Terus maumu gimana?!"
"Yak, setidaknya bisa
diajak kerja sama lah"
"Hadeeh...! kamu itu lelaki
Bro, seharusnya kamu bisa melindungi mereka"
"Masalahnya tahu sendiri
kan, sekarang bukan saatnya untuk itu"
"Melindungi karyawan dan
perusahaanmu yang sudah kamu rintis tahunan, begitu??? sampai mengorbankan
hajat hidupmu"
"Halo... Hutang 3M, Bro!
Kalau nggak kerja keras mau dibawa kemana hidupku"
Alvin tertawa ngikik “Hutang
segitu dengan perusahaan sebesar ini, kecil itu, Bro!”
“Hei… Meja yang kamu duduki itu termasuk
duit hutang itu” spontan Alvin ngakak pindah tempat duduk di kursi depan
mejanya.
Mendengar pintu diketuk, Izack
kaget. Dia terhenyak memutar posisi duduknya dan mempersilahkannya masuk. Saat
itu lelaki setengah baya masuk dan menyodorkan Map tua membuat Alvin segera
pamitan pergi.
“Ada naskah buku dari penerbit
teman Bapak dari AMI Cabang Yogya”
“Awan?” selintas pikirnya
melihat Map Cokelat
Lelaki itu membuka map dengan
ketikan manual mesin ketik. “Penuturan orang-orang eks tapol tentang sejarah”
Saat dikeluarkan bandelan kertas
dari Amplop besar, raut Izack nampak tak begitu semangat, apalagi melihat
ketikan manual dengan coretan tipe ex sana-sini dengan kertas yang sedikit
kusam.
“Meskipun isinya berat, tapi
gaya tutur ceritanya ringan dan enak dibaca, Pak” jelas lelaki tengah baya
“Benar-benar nggak terasa, kalau
itu kisah nyata”
“Dan sepertinya ada arsip negara
yang tersirat disembunyikan dari penuturan naskah itu”
“Tapi ya itu, si penulis meminta
agar namanya tidak dicantumkan jika berhasil terbit"
“Coba Bapak baca dulu,”
“Kalau saya sendiri ragu, karena
kemungkinan besar buku itu bakal ditarik dari peredaran”
“Lalu, kenapa mesti?”
Lelaki itu diam kembali
memandang Map tua seperti ada yang tengah dipertimbangkannya dengan berat.
“Katanya, penulisnya ini anak
Mahasiswa semester dua yang butuh sekali uang untuk biaya kuliah. Jadi dibayar
murah pun tidak masalah, asal ada hasil”
“Dia pikir kita ini ATM?!”
“Sudah, kembalikan saja”
“Maaf Pak Izack, mohon dibaca dulu"
Pak Yusuf diam dan pergi
meninggalkan kernyit alis mata Izack yang memandang Map Coklat tua. Begitu
lelaki paruh baya keluar, setengah ragu lelaki berwajah tipis itu kembali
menarik map tersebut.
“Luchika Aria” Izack membacanya
pelan
"Hmmm... nama yang
keren" pikirnya lagi-lagi melototi Biodata penulis, namun tak ada jenis
kelamin dan foto
"Ini laki atau
perempuan?"
Sesaat ia kembali duduk membuka
map tua dan mulai membaca paragraf demi paragraf.
Entah berapa lama ia terhanyut
dalam alur penulisan buku, hingga tak terasa jarum jam dinding di depan meja
kerjanya telah menunjukkan pukul empat. Ia membuat panggilan untuk seseorang,
“Ada nomor kontak penulisnya?"
"Tidak ada, Pak. Katanya
penulisnya tidak punya Hp”
"Yang benar saja, hari gini
mahasiswa nggak punya Handphone?"
"Maaf Pak Izack, keponakan
saya kuliah di universitas negeri handphonneya juga masih barengan sama adeknya"
“Kabarnya, penulisnya ini anak
AMI Yogya”
“Hm, dari tulisannya, ini bukan
bukan buku biasa”
“Ya sudah, saya urus sendiri aja"
“Baik, Pak” jawabnya pergi
dengan senyum lebar lelaki itu saat memunggungi Izack
Tak lama kemudian seorang lelaki
dengan rambut keriting masuk membawa map berisi laporan keuangan bulan itu. Izack
diam meneliti lembar demi lembar dan menutupnya lagi.
“Bagus, ternyata siasat menerbitkan buku sains fiction bisa
mendongkrak penjualan semua buku kita” kata lelaki berhidung lancip itu sembari
membubuhkan tanda tangan.
“Tapi
Bang, rasanya ini masih terlalu berat dari goal kita menutup hutang beberapa
bulan ke depan dibanding pendapatan kita hari ini”
“Oke,
yang terpenting jangan sampai turun aja, cukup”
“Sebenarnya ada banyak proyek yang bisa
kita garap”
“Seperti misalkan gagasan perpustakaan proposal
pemerintah yang isinya e-book dari beberapa penerbit di Indonesia kerjasama
dengan Kementrian Kependidikan dan Kearsipan Nasional”
“Bukankah sudah ada ya Bang?”
“Kita ingin semua buku yang pernah terbit
bisa dibuat e-book semua di sana”
“Tapi bukankah E-book sudah banyak juga yang dijual, ya Bang?”
“Kita sedang bicara soal literasi
masyarakat kita yang rendah, dan ini sebenarnya tugas negara, yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa”
“Bukan soal buku itu sendiri” sekretarisnya
hanya manggut-manggut
“Goal kita adalah mengarsipkan semua buku berkualitas
yang pernah beredar di Indonesia, agar bisa dinikmati semua warga negara,
ketika internet kita hari ini jauh lebih terjangkau tinimbang beberapa tahun
yang lalu”
“Tujuan lainnya adalah menghindari
kepunahan karya cipta anak negeri”
“Bukankah itu dananya besar sekali ya Bang”
Izack hanya tersenyum dan beranjak dari
tempat duduknya menatap sudut-sudut ruangan yang tampak terang oleh pantulan
sinar matahari dari dinding kaca.
“Kita itu negara kaya, Ron”
“Kita itu negara besar, kenapa seringkali
kita mau dikerdilkan”
“Maksud saya,”
“Aku paham maksudmu”
“Di situlah peluangnya, Ron”
“Kamu tahu siapa aku kan?” lelaki itu hanya
menerka pesimis melihat gaya optimis bos mudanyayang terlalu idealis
“Dua tahun lebih aku mengendalikan AMI
pusat, dan selama itu pula aku tahu betul bagaimana kondisi negara ini yang
sebenarnya secara keuangan jauh dari kata mampu”
“Tinggal mau atau tidak”
“Tinggal bagaimana lobi dan negosiasi kita
dengan mereka”
“Bagaimana bunyi proposal kita, dan bergaining
kita dalam hal ini” ujarnya lagi sembari menekan remot gordyn hingga ruangan
itu kembali redup.
“Ada beberapa point yang bisa kita jadikan
alasan, mengapa proyek ini penting untuk pemerintah” katanya membuat
sekretarisnya cepat-cepat mengeluarkan catatan kecil
“Pertama; isyu wacana literasi negara kita
masih sangat rendah dibandingkan negara-negara tetangga”
“Kedua; itu bukan tanpa sebab, literasi
kita rendah karena buku di masyarakat kita selain harganya mahal, juga sulit
terjangkau” ujar Izack terus menerangkan beberapa point yang seakan mengalir
begitu saja dari kepalanya membuat bawahannya kewalahan mencatat semua hingga
harus mengeluarkan perekam dari kantong dan meletakkannya di meja.
“Itu point pentingnya”
“Tolong aturkan jadwal rapat untuk
membicarakan itu dengan tim inti, aku butuh pendapat dan masukan mereka” kata Izack
melihat asistennya cekatan mencatat semua kata-katanya
“Okey, begitu saja. Silahkan lanjut”
“Baik, Pak” jawab pemuda itu melirik
handphonenya tetap aktif
“Terus ada gagasan penting juga buat kita
untuk menambah income, yakni bekerjasama dengan Home Production”
“Kita sodorkan tuh novel sains fiction kita
untuk dijadikan film”
“Karena sejauh ini, drama sains di negeri
kita itu minim, bahkan langka”
“Ajak kerjasama juga dengan badan-badan
penelitian negara maupun swasta untuk membantu proses film itu, karena film
sains itu enggak main-main”
“Oke, Bang” jawabnya mengambil handphone
dan pergi.
Saat lelaki itu keluar, Izack kembali berdiri
di depan kaca jendela dengan alis matanya yang tebal seakan menyambung di kedua
sisi memikirkan sesuatu yang lebih jauh dari itu dan tanpa sengaja sorot matanya
kembali tertuju pada meja kerjanya. Melihat sebandel map tua itu, rasanya
enggan ia bergerak. Bahkan nyaris saja memasukkan tong sampah andaikan screen
savernya tidak memunculkan foto-foto dirinya di masa remaja.
Ia sadar, saat ini adalah hasil
metamorphose dirinya di masa lalu dengan masa pahit menjadi anak buangan
sepasang orang tua yang tidak menginginkannya.
Suara batinnya seakan meronta-ronta
teringat bagaimana dirinya berjuang mengatasi masa remajanya yang nyaris hilang
kendali hingga ditolong si abang foto copy yang sabar mendengarkan keluhan dan menasehati
dirinya di sela-sela waktu istirahat atau jam pulang. Teringat pesan karyawannya
bagaimana latar belakang sang penulis buku, ia menarik nafas kembali duduk dan
mulai membuka selembar demi selembar naskah yang masih terbilang sedikit
berantakan tata letaknya.
Tak terasa ia mulai serius terbawa
tulisannya mengalir begitu saja seperti membaca sebuah buku cerita meskipun
keningnya harus mengkirut lama saat membaca bagian-bagian yang ia indikasikan
seperti sebuah kode kode rahasia yang sengaja disembunyikat si penulisnya.
Hingga tak sadar jarinya menggeragap lampu meja mencari cahaya penerangan di
saat sisi ruangan mulai gelap. Suasana yang hening dan senyap dipecahkan oleh
suara ketukan pintu.
“Masuk”
“Bang, jadi berangkat nggak?”
“Hum!?” Izack meatap lama bingung seakan
mencari ingatan apa yang perlu ia lakukan di saat sekretarisnya mengingatkan
“Oh.. oke. Sory! Sory!! Lupa aku”
Ia menutup map dan membawa serta
meninggalkan ruangan yang ia matikan membuat sekretarisnya Ozin melihat sekilas
tentengan tersebut.
“Tumben bawa pekerjaan, Bang”
“Hm, sepertinya ini buku menarik”
“Tapi entah bisa kita terbitkan atau tidak”
“Kenapa?”
“Ah, banyak tanya kau” jawab Izack membuat
lelaki berkacamata itu hanya tersenyum nyengir berjalan di sampingnya
2.
Siapa dia
Malam semakin pekat saat ia
keluar dari Markas AMI setelah selesai rapat dengan tim inti mereka. Saat masuk
mobil, Izack kaget jika map yang tadi ia bawa tidak ada.
“Dimana naskah itu?”
“Naskah apa Bang?” tanya Ozin
lagi
“Oh..! aku letakkan di belakang,
Bang”
“Ah…” jawabnya langsung diambil
dan mulai membukanya lagi saat Ozin kembali memutar kendali mobil keluar dari
parkir kantor AMI
Izack tak lagi membaca naskah
tersebut namun justru pandangan matanya tampak keluar dari jendela. Ia masih
penasaran dengan sosok misterius penulis buku naskah sejarah yang katanya
dikirim oleh anak Mahasiswa semester 2. Ia mulai scroll phonebooknya dan
memasang earphone wireless.
“Halo, Bro! Kamu tahu yang
namanya Luchika Aria, anak Kehutanan?"
"Hm, kenapa? Dia tetangga
depan kostku"
"Oh?!"
"Cowok atau Cewek
sih?"
"Cewek lah"
"Loh?! aku kira cowok"
“Kalau di sini terkenalnya anak blesteran. Haha..” tawa Rendra
“Maksudnya?”
“Iya, karena rambutnya pirang, matanya kecil,
kulitannya putih pucat, kurus pula”
“Cantikkah?”
“Kalau nggak cantik nggak banyak yang suka,
Bro!”
Glekkk… mata Izack kembali tampak lebar membayangkan
gadis imut yang seksi
“Cuma karena dia terlalu cuek aja”
“Ditambah nggak ngeh soal perasaan seseorang
juga” ujarnya yang membuat persepsi penggambaran sosok gadis cantik imut yang
lembut gemulai berubah total jadi kepiting yang galak.
“Dia penulis lepas juga loh di mass media”
“Oh, ya? Keren dong, baru semester dua sudah
sering masukkan artikel”
“Hm, dulu yang sering mengarahkan tulisannya
itu, si Leo”
“Leo anak cabang?”
“Hm, ya”
“Pernah nih, dia menulis tentang adat tradisi
kampung pamannya yang menikahkan anak gadis desa setempat yang membawa pulang
teman lelakinya ke desa itu”
“Makanya pernah ada yang sempat bilang begini”
“Kalau memang suka sama dia, mudah. Jebak aja
dia ketemuan di desanya malam-malam”
“Hmm... kurang ajar itu anak” tawa Izack
miris
“Lha habis, serius. Susah banget deketin anak
itu”
“Kalau di mata teman perempuan dia dianggap
sombong”
“Ngomong-ngomong, ada apa
nih?" nada suara lelaki di ujung ponsel itu curiga
"Oh… Itu, si Awan memasukkan
naskah buku dia ke tempatku"
"Tulisannya kok berat
banget, seperti pelaku sejarah aja"
"Berita yang beredar, dia
anaknya komunis tapi ada juga yang bilang anak veteran yang membawa kabur
dokumen negara"
"Oh?!!"
"Heee...??! Apa?!!"
"Iya, nggak tahu yang benar
yang mana"
"Emmm..."
"Tapi termasuk keren lho
dia itu, masih semester 2 tulisannya sudah tembus ke mass media berulang kali.
Aku yang segini tua, ditolak terus"
"Cerdas ya?"
"Lumayan lah,
menurutku"
“Padahal Fakultas Kehutanan itu
kan banyak praktek di lapangan kan, dibanding kita ilmu humaniora”
"Tapi masih bisa lho, kerja
serabutan"
"Loh?"
"Iya, kadang kalau malam
hari ikut kerja jadi operasional SPBU"
"Kalau siang kadang masih
ikut jualan koran dan assessoris mobil di perempatan jalan"
"Pernah juga aku lihat dia
kerja di warung makan"
"Loh? Memangnya orang
tuanya kemana?"
"Ya itu dia Bro, kita nggak
tahu juga latar belakang dia seperti apa"
"Lalu kuliahnya?"
"Ya kuliah,"
"Tapi ya itu, kalau di luar
jam kuliah dia langsung nge post ke tempat-tempat itu"
"Oh.. pantesan" pikir Izack
kebayang bagaimana bukunya didesak untuk bisa diterbitkan
"Anaknya yang seperti apa
sih?"
"Ah… kalau kamu lihat,
bakal tertarik bahaya”
“Haha… segitu rendahnya
seleraku” ujarnya lagi
“Jangan salah, dia aslinya
cantik kok”
“Tapi ya itu, anaknya nggak
begitu peduli dengan lingkungan pertemanannya, jadi dianggap sombong”
"Dia anak AMI juga
kok"
"Oh.."
"Tapi dia memang jarang
sekali ikut kegiatan kita sih"
"Sesekali ajak ke kantor
Cabang dong, aku butuh ngobrol sama anak itu"
"Wah, itu anak jadwalnya
padat, Bro. Jarang banget di kost"
"Se padat apa sih..."
"Serius, aku yang jadi
tetangganya aja jarang lihat dia duduk-duduk di depan seperti anak-anak lainnya"
"Ya wajar sih, kalau ikut
kerja serabutan begitu"
"Sudah, gratis bon warung
mak Inah sehari deh"
“Seminggu”
“Gila kau!”
“Aku datang ke kostanmu aja deh”
“Oh ya, sabtu besok kebetulan
kan ada acara di kantor Cabang AMI. Jadi pastikan aja besok kamu datang”
"Gimana? seminggu
kan?"
"Haduh, gila kau!"
"Kalau berhasil dua hari
deh. Tapi kalau gagal tidak sama sekali"
"Yah…!"
"Mending aku minta tolong
yang lain"
"Oke-oke!!"
Dialog di ujung smartphone itu
mengalir begitu saja meninggalkan jejak tanya Ozin yang tetap tenang
mengendalikan kendaraan di ruas jalan yang mulai lengang.
“Tolong carikan tiket kereta
untuk ke Yogya besok pagi”
“Jam berapa Bang?”
“Sore aja”
“Oke” jawab Ozin melirik Izack
penuh tanya
3.
Perkenalan sekilas
Udara sore itu terasa begitu
dingin meski terik matahari tetap terasa menyengat kulit. Akhir-akhir ini udara
dingin memang begitu terasa menusuk hingga ke tulang yang menandakan pergantian
musim segera tiba.
Seorang gadis yang sering
mengenakan hem biru kotak-kotak itu berjalan santai di Kawasan pemukiman elit
yang selalu tampak lengang dan asri dengan pepohonan rindang di tengah badan
jalan. Sementara rumah dengan pagar tinggi-tinggi terasa tampak angkuh saat
kita berjalan seorang diri melewati jalanan itu.
Sepi,
Entah apa yang gadis itu
pikirkan, ia terlihat seperti sedang menghitung dengan jari-jarinya yang kurus
dan kuat sembari menerawang ke angkasa seolah mengingat dan menghitung sesuatu
di pikirannya. Lagi-lagi ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya menahan udara
dingin yang menerpa dari sela-sela rimbun pepononan yang berjajar di sepanjang
depan pagar rumah lantai dua.
Dari jarak lima meter dimana ia
berdiri, tiba-tiba dikejutkan lelaki ganteng mirip artis asia yang keluar
dari pintu pagar kayu dengan cat coklat klasik.
"Hei?! Kapan datang,
Bro?" sambut dua pemuda yang datang kemudian dari seberang jalan lari
menghampirinya. Ya, mereka berdua adalah senior dari Cabang AMI. Entah
siapa namanya, tapi ia tidak asing dengan wajah itu.
"Oh, anak orang kaya… mujur
benar hidupmu" pikir Chika si gadis kurus pucat sambil melirik
sekilas saat melintasi mereka bertiga yang kebetulan dua pasang mata itu saling
bertatapan sejenak. Dan berlalu begitu saja mengikuti langkah kaki yang seakan
tak bisa ia hentikan sedikitpun karena rupanya badan jalan mulai turun. Ia tak
berpikir banyak tentang mereka bertiga, karena pikirannya tersedot pada kondisi
keuangannya beberapa bulan ini yang ia pinjam dari Bank untuk menopang biaya
hidup dan kuliahnya selama di Yogya.
“Sepertinya dari sekian cicit
Presiden kedua kita, yang paling mirip wajahnya itu kamu deh"
"Iya nggak Bro?"
"Kalau dia mah artisnya AMI"
tawa seseorang
Menyimak cletukan-cletukan itu,
Chika jadi penasaran. Seperti apa sebenarnya cicit Presiden? Ia kembali menoleh
memastikan siapa lelaki yang dimaksud. Tanpa disengaja keduanya saling menatap
sejenak hingga Chika pun kembali
meneruskan langkahnya.
"Hei, Luchika" suara
itu terdengar dari belakang membuat kakinya mendadak gemetar campur lemas
terdengar namanya disebut. Ia kembali menoleh memastikan siapa diantara
tiga lelaki itu yang memanggil dirinya, bahkan ia berharap lelaki tampan itulah
yang memanggil. Tak terasa tangannya yang menggamit beberapa buku pun
luluh dan…
“Brakkk!!!” buku-buku itu jatuh
berserakan membuatnya malu bukan kepalang.
Saat ia memungut buku-bukunya,
ada sepasang sepatu lelaki di depannya membuat jantungnya berdecak halus serasa
ada yang melayang. Namun begitu ia mendongakkan wajahnya, ada Rendra yang
tengah menertawakan dirinya.
"Ah… dasar sontoloyo" raut
Chika jutek yang langsung berdiri dan menarik lengan Rendra berjalan cepat
menghindari tiga orang lelaki tersebut.
"Kenapa jadi salah tingkah,
eh?!"
"Bukan sama kamu,
dodol…!" bisik Chika
Rendra ngikik menertawakan Chika
yang salah tingkah. Ia paham, gadis itu salah tingkah pada tiga orang lelaki di
belakangnya yang berjarak lima meter di mana mereka berdiri. Tapi rupanya
mereka berjalan lebih cepat sambil asyik ngobrol seru tanpa pedulikan dirinya.
"Kenapa? Cakep ya?"
Chika cuma nyengir menarik nafas
sekilas
"Di luar jangkauan itu
mah.." katanya sambil membiarkan ketiga lelaki itu berjalan mendahului
dirinya membuat Izack menoleh sekilas
“Kenal, kamu?”
“Enggak!”
“Cieee… ganteng tuh”
“Hahh! Sudah lah, jangan
menghalu terlalu tinggi, nanti terkilir leher”
"Mana? Katanya mau pinjami
aku laptop barumu?"
"Ini," Rendra
mengeluarkan tas laptop dengan paper bag kecil
"Lalu tugas-tugasmu
gimana?"
"Tenang aja, masih ada
komputer kantor "
"Lha ini apa?" Chika
baru sadar jika isi paper bag itu berupa kado kecil
"Buat kamu,"
Chika tersenyum mengernyit aneh
"Tumben?? Nggak salah makan
to kamu?"
"Nggak ingat? sama tanggal
lahirmu sendiri?"
Kata-kata itu terdengar Izack
saat mereka sampai di depan rumah senior AMI seorang dosen, tepatnya lagi
seberang jalan Basecamp AMI.
"Oiii… kapan datang?"
Seru dosen muda dengan kaca mata nangkring di kepalanya yang tengah menyiram
tanaman di depan rumahnya.
"Tadi malam, Bang”
Chika melirik aneh, mengapa
lelaki itu memanggil dosen muda di kampusnya dengan panggilan Bang. Ia mulai
menebak-nebak jika dia adalah senior AMI.
"Eeehh…?! Apa?"
Seperti baru sadar di sebelahnya
Rendra baru berkata apa.
"Seumur-umur baru kali ini
ada yang kasih kado di hari ulang tahunku"
"Serius?!!"
"Ya ampun Nak… kasihan
amat" tangannya mengelus-elus kepala Chika yang spontan langsung ditangkis
dan dipuntir membuat Rendra teriak kesakitan. Izack yang melihat itu hanya
senyum-senyum.
"Ih!! Sebel banget aku
kalau dikasihani"
"Berasa kere banget
hidupku,"
"Lha memangnya kamu
kaya?"
"Iya lah, kaya hati, kaya
pikiran"
"Kaya wajah? Enggak?!"
"Ah… aku mah sadar diri,
wajah pas-pasan. Cuman inner beauty ku aja yang memancar"
"Aisyyy…!! Dasar
narsis" tawa Rendra ngakak
"Ya sudah, yok aku
duluan!" Ujar Rendra berjalan cepat mendahului Chika yang berhenti di
depan Basecamp.
Jarak dari Basecamp AMI ke Rumah
Singgah tempat di mana Rendra kerja memang tidak begitu jauh. Makanya kadang
mereka hanya janjian untuk sekedar pinjam uang ataupun barang seperti kamera,
dan mereka ketemuan di jalanan menuju Basecamp. Jadi, teman-teman Basecamp
mengira, bahwa Chika pacarnya Rendra.
"Oke, trimakasih ya!"
Ujar Chika mengocok kado dengan tangannya.
"Doa buat ulang tahunmu,
semoga ketemu pacar yang baik hati dan kaya" kata Rendra sembari melirik Izack
yang saat itu berjalan di belakang Chika menuju pintu masuk
"Haha… dasar!!"
Begitu Chika berdiri di depan
pintu Basecamp, beberapa orang tampak melongo memberi kode pada Chika supaya
minggir. Tapi gadis polos itu bingung, ia berusaha menghindar dengan membuka
pintu dan...
"Byurr…!!" dua ember
air jatuh dari atas pintu membuat Chika seperti ayam kedinginan yang spontan
membuatnya menarik nafas kesal.
"Ihhh… kenapa mesti kamu
sih?!" seru teman-temannya antara kasihan dan geli. Sementara Izack
yang berdiri di belakangnya hanya terkena cipratan air tertawa cekakaan
menertawakan para juniornya salah sasaran.
"Kelewat kan?!"
Spontan dua orang senior membawa
tepung dan dilempar tepat mengenai punggung dan kepalanya lelaki tampan itu.
"Enggak tuh?"
Bugghhh!!
"Ahh! Sialan!!"
Izack spontan memungut bungkusan
tepung dan melemparkan pada para juniornya yang mendadak jadi riuh gaduh.
Chika sadar, ada laptop dalam
tasnya, cepat-cepat ia menghindari kegaduhan itu masuk ke dalam salah satu
ruangan dan segera membuka tas laptop memastikan tidak terkena air.
"Hahhhh...
Syukurlah!!" serunya tak peduli dengan bajunya yang telah basah kuyup
Entah bagaimana kacaunya di
luar, suasana benar-benar gaduh.
Saat itu Izack masuk, melihat
baju gadis itu basah kuyup tak peduli namun justru mempedulikan laptopnya, Izack
merasa bersalah.
"Tidak apa-apa kan
laptopmu?"
"Oh??"
"Tidak apa-apa Bang,
syukur"
"Bukumu basah semua?"
"Hm, iya"
"Tapi nggak apa-apa, nanti
aku jemur kering sendiri. Semoga saja nggak dimarahi petugas perpustakaan"
"Oh, itu buku milik
Perpus?"
"Iya"
"Lalu bajumu?"
Chika menghela nafas sedikit
kesal dengan diamnya yang menandakan dia sedang tidak baik-baik saja, sementara
tangannya sibuk membersihkan cipratan air dan membawa keluar buku-buku ke teras
menjemurnya di sana. Izack yang merasa bersalah mengikutinya dari belakang dan
memperhatikan ia berjemur mengeringkan diri dengan berjemur.
"Bawa baju ganti nggak?"
tanya Izack lagi yang hanya dijawab dengan menggelengkan kepala. Merasa dirinya
diperhatikan lelaki itu, ia merasa risih dan mengibas-kibaskan bukunya agar
segera kering.
"Terus?"
"Ya sudah?!!"
"Nggak sakit nanti
kamu?"
"Nggak apa, Bang. Sudah
kebal saya mah,"
"Mau aku pinjami baju
kakakku?" tanyanya iba
"Iya Chik, masak kamu mau
pulang seperti itu nanti, rumahnya kak Izack dekat kok" jawab salah satu
teman laki-laki.
“Iya, mau?”
“Iya Bang, kasihan lho..”
“Salah kalian juga kan?” kata Izack
yang membuat mereka saling tuding dan menyalahkan.
Ada decak kagum dan terharu
dirinya pada lelaki yang tadi sempat membuatnya grogi ternyata baik hati, pikir
Chika melihat kepergian lelaki itu dengan sepeda motor yang dipinjam dari teman
lelaki dengan sesekali merasakan tubuhnya menggigil kedinginan saat angin bertiup
menerpa dirinya.
"Eh, ulang tahunmu kan hari
ini juga toh?" Cletuk teman-teman Basecamp
Chika cuma nyengir, ia khawatir
ditodong diminta traktiran makan-makan yang sudah menjadi kebiasaan teman-teman
Basecamp.
"Kata siapa?"
"Tadi bukannya cowokmu
kasih kado ulang tahun ya?"
"Beneran berarti, ulang
tahun?"
"Enggak…"
Salah satu ngluyur mencari
berkas daftar profil keanggotaan.
"Matilah aku?!!" Pikir
Chika
"Haha… iya!" tunjuk
seseorang pada selembar kertas
"Sipp ada dua orang yang
ulang tahun berarti?" kata seseorang yang spontan disambut riuh suara
ruangan yang bersorak kegirangan bakal ada acara makan-makan besar membuat
Chika melenguh.
“Haduh…”
Saat itulah Izack datang dengan
membawa tas kertas
“Ini, pakai aja punya kakakku”
“Loh?”
“Sudah nggak dipakai kok, santai
aja” kata lelaki ganteng itu menyodorkan tas kertas yang spontan membuat
teman-temannya riuh sorak
“Yuhuuuu…”
"Terimakasih Kak, nanti
kalau ada waktu aku titipkan di Basecamp saja ya"
"Oh, nggak usah pakai
aja"
“Sorry ya,” ujar Izack lagi
dengan segaris senyuman lebar
“Huuu….” Lagi-lagi suasana gaduh
membuat Izack bingung
“Apalagi..."
“Kalau merasa bersalah, harusnya
kalian yang tanggung jawab"
“Kalian tanggal lahirnya sama
Kak" seseorang menunjukkan daftar profilnya pada Izack yang membuatnya
kaget saat matanya melihat nama Luchika Aria
"Serius?!" pikir Izack
yang langsung mendekati Hendrik berdiri di ambang pintu
"Itu anaknya, Bro?"
suaranya setengah membisik
"Hm, iya?!” jawab Hendrik
mantap
"Oh...!" Izack
manggut-manggut “Semesta selalu tepat memberiku jawaban” pikir Izack tersenyum
tipis teringat pertanyaan ibunya tentang calon pasangan untuk dirinya
"Double dong,
makan-makannya" cletuk mereka
"Ayookk... lah!" jawab
Izack dengan mata masih terus mengamati gadis berhidung kecil
"Lah? Kita jadi diskusi
nggak?" cletuk seseorang membuat lamunan Izack buyar
"Diskusi di rumah makan aja
sekalian" Hendrik senyum-senyum pada Izack “Jadi kan??”
“Jadi lah”
Raut Chika spontan mulai panik,
diam-diam ia masuk kamar mandi dan sengaja berlama-lama menunggu kepergian
mereka ke rumah makan, tapi tak berapa lama Hendrik gedor-gedor pintu tersebut.
"Ayo Chika! gantian, aku
mau BAB" desak Hendrik yang membuat Izack senyum-senyum “Licik!”
“Tahu kan, dia itu gimana” suara
Hendrik penuh isyarat
Entah berapa menit berlalu,
Chika muncul dengan memakai baju tersebut membuatnya canggung saat Izack muncul
di hadapannya.
"Tumben kamu baru
muncul?" kata Leo yang baru datang
"Hehe… iya Kak, mau ketemu Bang
Awan"
"Oh? Lho? Tadi nggak ketemu
apa?" tanya Hendrik pura-pura
"Belum,"
"Sudah pergi tadi"
kata Izack yang muncul kemudian seakan sudah kompak dengan Hendrik
"Bukannya dari tadi di sini
aku nggak lihat Bang Awan ya?"
Hendrik langsung memberi kode
pada anak itu hingga senyum-senyum dan pergi meninggalkan jejak tanya lirikan
Chika. Tapi sebagai gadis yang lugu, ia tak paham apa yang mereka maksud. Dan
sebenarnya ia risih saat Izack melihat dirinya memakai baju setelan blouse
milik kakaknya
"Agak kebesaran ya?"
senyum Izack di sebelahnya
Tak berapa lama Izack bericara
lirih pada Leo yang duduk di sebelahnya, hingga lelaki berbadan kurus itu
berseru.
“Pengumuman!” seru Leo
“Hari ini kita akan diskusi
sambil makan-makan di Resto selatan Kampus III”
“Bagi yang mau ikut, langsung
saja menuju ke sana”
Meskipun sebenarnya tergiur
mendengar kata makan-makan, tapi teringat jadwal terakhir kursusan dua anak smp
menjelang ujian, rasanya ia merasa sangat bersalah jika tidak hadir malam sore
ini. Apalagi angkutan umum di Kawasan itu agak sulit.
Izack yang hanya mengawasi
gerak-geriknya mengikuti gadis itu keluar hingga Hendrik yang sudah nangkring
di atas motor pun menyadari sorot mata Izack yang tertuju pada siapa, perlahan
ia menggerakkan motornya tepat di depan lelaki itu.
“1 bulan” tawa Hendrik meledek Izack
yang langsung ditanggapi dengan dagunya ke arah Chika yang tengah berjalan.
Beberapa motor telah siap
meluncur kecuali Hendrik dan Izack yang masih bingung mencari tumpangan untuk
gadis itu yang keluar lebih dulu. Saat itu ia mendapati Heni keluar dari
ruangan yang langsung dicegat Hendrik untuk memberinya tumpangan pada Chika
yang tidak ada teman. Awalnya Heni agak berat melihat teman kostnya yang sering
hutang pada dirinya itu, tapi dengan berat hati akhirnya ia setuju dan segera
menyusul Chika yang berjalan cepat.
“Hei Chik, bukannya kamu yang
ulang tahun ya?”
Izack dan Hendrik yang
memperhatikannya dari jauh agak alot segera meluncur mendekati keduanya.
“Tenang saja, soal makan-makan
dia yang bayar” jawab Hendrik pada Izack yang duduk di belakangnya
“Aduh Bang, mohon maaf… ini soal
pendidikan anak bangsa, bukan sekedar nilai rupiah” mendengar itu Heni langsung
melengos mengingat dirinya masih banyak hutang ke cewek itu.
"Refreshing mentor juga
investasi kecerdasan anak bangsa lho"
Chika mencibir,
Saat itu Hendrik berhenti di
belakang mereka. Melirik senior-seniornya yang sudah berduyun-duyun dengan
motornya keluar dari area parkir, Chika yang merasa tersudut terpaksa langsung naik
ke motor Heni saat Heni memberinya helm.
Ia pikir begitu sampai depan
Resto, secepat itu akan nylonong pergi. Tapi begitu tiba di depan Resto, secara
kebetulan mereka berhenti bersama, meski sebenarnya Hendrik mendahului mereka,
tepat di samping motor Heni.
Sikap Heni yang agak tomboy,
nylonong masuk begitu motor ia parkir di area parkiran. Tak peduli ia
meninggalkan mereka bertiga lebih dulu yang disusul Hendrik dan Izack yang
berjalan beriring-iringan bersama datangnya kawan-kawan AMI lainnya. Diam-diam
Chika menyusup keluar diantara sekian banyaknya teman-teman AMI yang mulai
memadati ruang parkir Resto.
“Loh, mau kemana?” kata Izack
yang ditujukan pada Chika
“Hm?!” Chika nyengir nggak enak
merasa tertangkap basah
“Nggak ikut masuk?”
“Ada acara, Bang”
“Oh,”
“Sebenarnya ada yang ingin aku
bicarakan denganmu sebentar” langkahnya terhenti
"Soal apa, Bang?!"
Chika mulai deg-degan terkait tulisannya akhir-akhir ini soal AMI
"Soal tulisanmu"
"Tulisan yang mana?"
tanyanya antara bingung dan cemas terkait tulisannya yang seringnya berupa
kritikan pedas pada organisasi poiltik mahasiswa.
“Acara apa tho?”
“Privat anak smp” jawabnya cepat
“Mata pelajaran?”
“Biologi sama Matematika”
“Oh, Nggak bisa diganti jadwal,
apa?"
"Bisa sih, tapi... aku
nggak bisa kontak ke mereka"
"Kenapa? Anaknya dosenmu
itu kan?” kata Hendrik yang datang belakangan
“Hm, iya Bang”
“Ayolah masuk dulu”
“Tapi Bang,”
“Ayooo…” ucap Hendrik sembari
menggiring Chika masuk.
“Selamat ulang tahun…!!!” seru
mereka serempak saat ketiganya datang.
Spontan Chika menyingkir dari
samping Izack dan masuk barisan teman-temannya. Lagi-lagi ia sadar, hari ini
adalah hari ulang tahunnya yang ke-18. Tapi itu hanya sebuah peringatan untuk
dirinya, dan semoga mereka tidak ada yang mengingatnya lagi. Karena kalau
ingat, Mampus... bakal membayar tagihan bon makanan mereka.
“Mana nomornya”
“Ha?!” tanyanya bingung, pikiran
Chika masih tersedot pada bon yang bakal ia keluarkan
“Ini,” jawab Chika mengeluarkan
ponsel jadul dari dalam sakunya.
“Lha itu kamu punya Hape”
“Hehe, iya Bang… jadul, dan
pulsaku juga cepat habis”
"Kenapa nggak beli
Smartphone nya aja? Begitu kan pulsa lebih boros"
“Hehe… iya, nanti kalau ada
rejeki”
Saat itu Izack menelphon
seseorang, itu adalah murid Chika. Saat terdengar suara anak gadis di ujung
ponselnya, ia memberikannya pada Chika dan membiarkan obrolan mengalir begitu
saja membuat kesepakatan di lain hari. Sesekali Izack ngobrol dengan Rendra di
depannya hingga muncul gadis cantik dengan rambut tererai lurus sebahu membawa
sebuah kado dengan pita merah.
“Selamat ulang tahun, Bang…”
ucap gadis itu setengah menundukkan malu dan segera pergi dari sana
“Glukkk!!” Chika kaget melihat
gadis itu, ia mengira gadis itu adalah pacar gelap Izack. Begitu selesai
telphon, cepat-cepat ia mengembalikan ponsel Izack.
Semua terkejut menatap kepergian
gadis yang tak ada satupun mengenalinya, kecuali Izack. Dan waktu serasa
mendadak terhenti memandang kepergiannya.
“Bravo!” sorak mereka heboh
Dua orang lelaki tersenyum
menepuk-nepuk pundak Izack.
“Gila itu cewek, punya nyali”
cletuk seseorang
“Siapa dia, Bro?”
Izack hanya mengembangkan
senyumnya sekilas membolak-balikkan kado tersebut. Di saat itulah, pandangannya
tertuju pada gadis dengan mata kecil dan bibir kecil ranum yang sudah mulai
sibuk mencari buku dalam tas dan mulai asyik membacanya. Ia tak peduli dengan
kegaduhan teman-temannya yang ngobrol kesana kemari, bahkan suara mereka
tertawa kadang sangat keras. Sesekali ia membuat catatan kecil di atas blocknotenya.
Melihat pemandangan yang begitu
tenang dan damai, Izack mulai merasakan ada sesuatu dalam perasaannya. Ia
berniat memberikan kado itu pada gadis tersebut.
“Ini, untukmu” katanya membuat
Chika kaget
“Apa?”
“Hm,” lelaki itu menyodorkan
bingkisan kado tersebut
“Bukannya itu tadi dari cewekmu
ya Bang?”
Izack hanya tersenyum sekilas
“Aku paling malas dapat beginian
dari cewek, apalagi nggak kenal orangnya”
Spontan Chika diam terpaku
menatap Izack lama
“Bang, aku tahu kamu ini orang
kaya, orang terpandang juga”
“Tapi apa tidak bisa menghargai
perasaan cewek sedikitpun?”
Leo yang mendengar ucapan itu
spontan langsung tersedot pandangannya pada mereka berdua yang tampak
bersitegang dan perlahan diikuti beberapa orang lainnya membuat Izack
cengar-cengir merasa malu. Tapi sebagai seorang ksatria ia paling pintar
mengalihkan perhatian mereka.
“Oh ya, bukankah tadi mau ada
diskusi. Sok… silahkan diteruskan”
“Iya Bang, ini kita lagi ngobrol
itu”
“Oh, baguslah… teruskan aja”
kata Izack yang kembali menolehkan pandangannya pada gadis di sebelahnya yang
kembali menekuri buku bacaannya. Terbetik ide waktu seseorang asyik bermain
game di seberang mejanya.
“Dika, ambil fotoku sama
jurnalis di sebelahku dong?!” lirik Izack pada gadis di sebelahnya yang kembali
tenang membaca buku
“Dia?” isyaratnya
“Hm!”
“Chika!” panggil Dika setelah
memastikan kameranya siap mengambil beberapa foto bersama Izack yang duduk di
sebelahnya membuat gadis itu mengernyit lama pada Izack yang tengah nyengir.
Saat itulah beberapa adik juniornya menyerbu dirinya untuk minta foto
bareng-bareng membuat Chika terdesak dan minggir agak jauh dari mereka.
Saat pramusaji datang membawa hidangan
penuh di nampan-nampannya, mereka langsung bubar kembali ke tempat duduknya.
Saat itulah Chika kembali duduk bersandar pada pagar bamboo besar gazebo.
Chika meringis aneh memperbaiki
posisi duduknya sembari membuka buku “Dasar! Mahasiswa hedonis, begini bilangnya
mau memperjuangkan rakyat. Nasib rakyat, apa nasib perut kalian, huh?!”
Izack tersenyum melirik Chika ngedumel.
“Jangan suka menggerutu, mending
sampaikan saja di depan” katanya lirih
Chika kaget jika suaranya yang
ia anggap lirih di antara riuh suara teman-temannya ternyata terdengar oleh
seniornya.
"Ya memang benar, kan
Bang?"
"Coba kamu pikir, apa
namanya?”
“Di saat semua harga sembako
naik 100 persen, kalian masih bisa buang-buang tepung dan telur yang mungkin
sedang diperjuangkan orang tua kalian di rumah"
"Apa namanya jika bukan
Mahasiswa Hedonis dan Oportunis?"
"Ck!" Chika berkecap
lebih berani. Ia bahkan tak peduli dengan siapa ia berbicara sekarang.
"Kalau kalian memang benar
peduli dengan kondisi rakyat sekarang, harusnya perilaku kalian tidak norak
seperti tadi" suara Chika menekan
"Apa nggak tahu detik ini,
di luar sana rakyat mengantri berpanas-panasan demi bantuan sosial untuk sepiring
nasi”
“Berapa ribu karyawan di PHK
karena ekonomi anjlok”
"Bisa-bisanya kalian di
sini membuang-buang bahan makanan yang mungkin sedang diperjuangkan orang tua
kalian di rumah" suaranya mulai menekan tinggi hingga menyedot perhatian
semua yang hadir
Chika kaget ketika tahu senior
di sebelahnya itu hanya senyum manggut-manggut dan bertepuk tangan
menganggapnya sedang mengejek hingga ia meriut tidak suka pada Izack.
“Good! Aku suka ada anggotaku
yang kritis dan jeli melihat keadaan”
“Kalian dengar kan, apa yang
baru saja dia katakan?”
“Harusnya begitulah anak-anak
AMI berpikir”
“Sebagai pimpinan mereka, aku
minta maafkan mereka ya, begitulah kakak-kakak seniormu itu” ujar Izack
senyum-senyum mengejek dua orang yang sudah melempar tepung pada dirinya hingga
semua terdiam membisu.
“Sesekali kan ya nggak apa to,
Chika”
Tidak berapa lama seorang
pelayan kembali datang membawakan dua kue Tart dengan lilin kecil angka 18 dan
lilin besar angka 24. Melihat itu, seorang gadis berbisik pada lelaki di
sebelahnya. Hingga bisikan itu membuat beberapa teman merasa aneh.
“Buat siapa ini?”
“Jurnalis kita” jawab Izack spontan
membuat kawan-kawannya terbungkam
"Bersyukur kalian punya
corong suara ke mass media, jadi bersikap dan berkatalah yang baik, itu akan
menjadi cerminan kalian di mass media" ujar Izack tersenyum lebar sekilas
melirik Chika yang masih bingung mengapa teman-temannya menatap dirinya.
Lagi-lagi gadis itu mengambil posisi sedikit geser menjauh.
Dengan wajah polosnya, Chika
juga tidak paham apakah yang dikatakan Izack itu ditujukan pada dirinya. Hingga
ia sadar saat mereka menyanyi dan semua mata tertuju kepadanya dan mereka
meminta tiup lilin.
Chika mendelik kaget, Izack
hanya tersenyum melirik gadis itu sekilas yang masih tampak bingung.
“Gila kamu, apa maksudnya ini,
Bro?!” bisik Hendrik yang hanya disenyumi Izack
"Ayo tiup" lirih Izack
memberi kode Chika
"Kenapa aku?"
telunjuknya menuding mata bingung
"Itu buat kamu, Chika"
"Gimana sih?!!" wajah
Heni tidak enak
"Hm?!"
Gadis itu celingukan bingung
campur grogi saat semua mata tertuju pada dirinya. Lagi-lagi Izack mengedipkan
mata untuk meniup lilin.
"Hm, ayo" bisiknya
lirih
Dengan sorot mata bingung dan
ragu, ia meniup lilin begitu saja yang seketika mendapat tepuk tangan dari Izack
yang diikuti teman-temannya membuat Chika nyengir bingung.
“Selamat Ulang Tahun Chika…”
Cletuk Leo, sang senior AMI dari cabang yang sering memberi dukungan pada Chika
dalam penulisan artikel-artikelnya dan mengarahkan media mana saja yang harus
ia tembus.
Chika yang awalnya
bersungut-sungut, kini merasa tidak enak dan berubah wajah datar hingga matanya
mulai berkaca-kaca.
"Seumur-umur baru kali ini,
di hari lahirku ada ucapan selamat ulang tahun dari banyak orang" pikirnya
menahan air mata agar tidak tumpah
Tak lama kemudian Leo memberi
kode pada seorang pegawai hingga terdengar alunan musik, yang ia tahu itu
adalah musik Mars AMI. Spontan saja semua berdiri.
Negeri kepulauan terbesar di
jagad bumi ini
Kunci peradaban tertinggi ada di
sini
Mengapa hari ini kita hanya
seonggok daging tanpa tulang
Membeo dikala burung nazar
bernyanyi
Akankah kita bangkitkan kembali
nenek moyang Negeri Atlantis di laut kita
Atau prabu Jaya Katwang untuk
memutus telinga oligarki
Atau membangkitkan jiwa Sukarno
dalam tidurnya
Demi menemani perjalananmu wahai
anak muda
Kita adalah bangsa besar yang
dikerdilkan
Siapa ijinkan itu, nyawa anak cucu
sebagai taruhan
Kita bangkit hari ini
Atau jadi budak di negeri
sendiri
"Oh keren…" riuh ramai
suara mereka
Saat diskusi dimulai, diam-diam Chika
menyingkir mencari tempat yang sepi sembari menikmati es teh di depannya dengan
niatan membaca buku. Ia pindah tempat ke lantai dua Resto dengan atap terbuka
menikmati kabut yang datang berduyun-duyun menyelimutkan udara dingin
membuatnya menggigil di balik setelan blouse tipis. Saat itu ia melepas karet
kucirnya hingga rambutnya tergerai sebahu membuat Izack yang baru keluar dari
lorong tangga terpesona melihat pemandangan itu sekilas.
Chika kaget melihat kedatangan
lelaki beralis lebar berhidung mancung itu berdiri di seberang belakang meja di
mana ia duduk menghadap ke alam terbuka.
"Kenapa nggak ikut
diskusi?"
“Males, kalau diskusi sekedar
diskusi tapi tidak ada kesadaran diri mereka harus berbuat apa, untuk apa Bang?
Tiwasan habiskan waktu percuma” jawabnya menekan buku untuk siap dibaca.
“Mending baca buku toh? lebih
faedah” jawabnya sesekali melirik Izack yang berdiri di sebelahnya melepas
pandangannya pada bentangan pegunungan bak tertutup karpet hijau sejauh mata
memandang.
“Oh
ya, aku sudah baca tulisanmu hari ini di Koran Kampus”
“Oh,” Chika kaget
"Hehe..."
senyumnya nyengir seakan menampakkan Chika seperti kaget mendadak nafasnya
seperti tercekat hingga menyisakan degup jantungnya yang terputus-putus. Ia
merasa sebentar lagi akan ada interogasi tajam dari ketua AMI cabang
yogya.
“Maaf,
aku tidak bermaksud…”
Ia hanya tersenyum paham akan
sindiran untuk organisasi politik yang tengah ia pimpin
“Semester berapa sekarang?”
“Dua, Bang”
“Oh, Aku kira sudah semester
enam”
“Tulisanmu cukup kritis”
“Waktu SMA dulu pernah ikut
Jurnalis sekolah?” tanya Izack lagi
“Hm, iya”
“Waktu SMA dulu sering menulis
apa?”
“Ah… apa sih? Cuman kolom
komentar aja kok”
“Oh… keren. Sip-sip!!”
“Bang Leo dulu yang pertama
mengarahkan tulisanku, Bang”
“Oh… loh? Ketemu Leo dimana? Leo
anak Cabang, kan ya?”
“Hm, iya Bang”
“Waktu Gladi Kepemimpinan begitu,
dulu disuruh menulis, katanya tulisanku bagus. Lalu disarankan masuk ke surat
kabar online” jelas Chika membuat Izack mendekat
“Ngomong-ngomong rumahmu mana?”
“Asliku Wonogiri, Bang”
“Tapi aku ikut paman di
Mojokerto”
“Oh..”
“Bapak Ibu masih?”
Gluk!! Detik itu juga gadis itu
terdiam menatap lekat-lekat meja yang terbuat dari plat besi yang menyatu
dengan tiang besi sebagai penyangga area terbuka Resto.
“Ehmm… sudah meninggal” nada
suaranya pelan seakan tercekat tampak ada sesuatu yang disembunyikan dari sinar
matanya yang terbaca Izack.
“Oh, maaf” jawab Izack membaca gelagat tidak enak bicara soal orang
tuanya.
“Fakultas
apa?”
“Kehutanan,
Bang”
“Kenapa
tidak memilih Hubungan Internasional saja, atau Ilmu Sosiologi”
“Atau
Hukum”
Chika
nyengir “Aku lebih suka dunia alam yang damai dan menenangkan ketimbang dunia
manusia, Bang” ujarnya membuat Izack tersenyum geli
“Tapi
kenapa artikel yang kamu tulis sering berbicara soal sosial dan politik”
Chika
hanya tersenyum sekilas meneguk es teh tersebut seakan menyiratkan rahasia yang
ia benamkan dalam-dalam.
“Aku hanya
ingin marah sama mereka”
“Loh??!
Kenapa?!” tanyanya sembari menyeret kursi itu dan duduk di sebelahnya
“Hehe…
banyak”
“Keren
dong, marah saja bisa jadi tulisan”
“Daripada
teriak-teriak di jalanan, tiwasan capek nyawa kita juga bisa jadi taruhan”
“Mending
ditulis saja”
Izack
hanya tersenyum lebar teringat nama samaran yang ia ketahui dari Hendik di
setiap tulisannya.
“Hwkwk…
bener kamu”
“Menguntungkan
juga ya,”
“Itu
yang pertama, Bang” jawab Chika terkekeh
“Yang
kedua apa nih?” tanya Izack lagi menekuk kedua sikunya ke meja dengan sedikit
menyerong menghadap Chika yang sedikit risih.
Sebenarnya
ada lelaki ganteng duduk di sebelahnya ini membuatnya salah tingkah, apalagi
posisi duduk Izack sedikit ndoyong ke arahnya membuat kakinya yang bertumpu
pada pijakan kursi di bawahnya meleset berulangkali saat hendak memperbaiki
posisi duduknya.
Tapi Chika
yang terkenal sebagai gadis kulkas 5 pintu, pandai sekali menyembunyikan
ekpresi malunya berubah cuek sekalipun dalam batinnya ingin tertawa ngakak.
Sekalipun
ia berkhayal andaikan jadi pacarnya, hingga lagi-lagi ada raut senyum di
wajahnya yang tergambar samar. Tapi bagaimanapun ia menepis perasaan konyol
itu.
"Nama panjangmu benar
Luchika Aria kah?"
"Hm, iya"
"Pernah masukkan naskah
buku ke tempatnya Bang Awan?"
"Hm, iya" jawabnya
reflek melotot kaget “Kok tahu, Bang?” cletuknya spontan menutup mulut merasa
keceplosan dengan ucapanya sendiri membuat lelaki bermata bulat ber alis tebal
itu lagi-lagi tersenyum geli.
"Boleh tahu, itu sumbermu
darimana? Karena sepertinya itu bukan karya tulis biasa ya?"
"Itu... Kakek dan
teman-temannya yang menulis, Bang. Aku cuma memperbaiki ejaannya saja menjadi
ejaan baru"
"Oh... pantes!"
"Emmm..." Izack diam
berpikir
"Boleh tahu, kakekmu
sekarang dimana?"
Perlahan namun pasti, raut
wajahnya perlahan ditarik dari tatapan mata Izack, dan kini ia menekuri meja di
depannya membuat Chika menarik nafas berdebar-debar seakan menghadapi eksekusi.
Apalagi saat seseorang datang membawakan map.
“Oh.. ternyata dia datang untuk
ini” perasaannya yang melayang tinggi spontan seperti meluncur dari ketinggian
Gedung ratusan meter membuatnya tampak menarik nafas perlahan menahan degup
jantungnya berdebar-debar campur dingin berbalut rasa cemas dan takut.
“Ini, Bang” kata seseorang
menyerahkan sebandel map coklat
“Okey, sip. Terimakasih Ozin”
"Begini saja deh," Izack
mulai mengeluarkan sebandel naskah dengan ketikan manual itu dari amplop coklat
"Ini aku ingin kamu tulis
lagi deh yang rapi, naskahnya"
"Nanti kalau sudah diketik
rapi, kamu kirim soft copy sama hard copy nya ke aku" jelasnya sembari
meletakkan kartu nama
"Kalau itu bukan Awan yang
kirim, mungkin naskah dengan hard copy semacam itu sudah kami tolak di meja
pertama"
"Maaf Bang" jawabnya
menahan perasaannya yang mendadak mencelos
Suara lembut terdengar keras
dalam pikirannya seakan tengah mengutuk dirinya yang terlalu percaya diri
mendapat kue tart dari lelaki berkelas “Jangan terlalu halu deh kamu… mana ada
lelaki berkelas sekelas dia tertarik sama kamu yang dekil dan kere begitu”
"Hm, nggak apa-apa"
Saat itu ia menarik nafas
panjang seakan tengah menuntaskan perasannya yang pecah berantakan. Seperti
tengah menghandel perasannya yang terluka, ia langsung banting stir
mengingatkan dirinya, ujuan datang ke Basecamp demi naskah buku milik kakeknya
tersebut. Namun ketika urusannya selesai, artinya selesai sudah urusannya.
“Tak perlu ada yang disesalkan”
pikirnya
“Hmm… Maaf Bang, tadi habisnya
berapa?”
Izack mengernyit bingung
“Habis apanya?”
“Traktiran makan-makannya”
suaranya pelan denan sisa nyalinya yang ciut meski sadar ia tak punya uang
sebanyak itu. Tapi dengan begitu, setidaknya harga dirinya tertolong, tak
masalah sekalipun hutang.
“Oh..” Izack tersenyum lebar “Kenapa?”
“Aku harus bayar berapa ini?”
“Nggak usah, itu memang niatku
sendiri kok”
“Beneran nih?!” senyumnya
mengembang tampak cerah
“Serius?!!!”
“Iya”
Raut wajah Chika yang tampak
berat tertekan, spontan langsung cerah bercahaya di bawah temaramnya neon yang menyala
terang seketika seperti menyambut rasa bahagianya yang tak terkira.
“Terimakasih banyak, Bang” Chika
menunduk hormat merasa senang luar biasa
“Ah… rupanya karena itu kamu
tampak ketakutan?” pikir Izack mengembangkan senyumnya lebar
“Kalau begitu aku pamit dulu, Bang”
katanya bergegas kembali menggendong tas ranselnya
"Loh, loh??! mau
kemana?"
“Bagi orang seperti kami, waktu
adalah uang, Bang…”
“Karena kalau tidak, bakal ada
dua taruhan, 1. Putus kuliah karena nggak mampu bayar, atau 2. Mati kurus karena kelaparan” tawanya
lebar
“Tapi,” Izack merasa kaget
dengan tingkahnya yang tergesa-gesa hendak pergi
"Oh iya, terimakasih kue
dan traktirannya Bang. Baru kali ini aku dapat kue tart di hari ulang
tahunku" tuturnya dalam dan pergi begitu saja meninggalkan banyak tanya Izack
“Jangan lupa, aku tunggu tulisanmu
lagi”
“Hmmm… aku nggak janji, Bang”
Chika nyengir pergi begitu saja
saat beberapa orang seniornya mulai berdatangan menaiki tangga lantai dua
Resto.
"Loh, mau kemana itu
anak?"
"Kemana Chika?"
"Pulang, Bang... keburu
habis mini Bus"
"Loh, bukannya tadi kamu
sama Heni?"
“Ada keperluan lain, Bang” seru
Chika sigap menuruni tangga dan hilang di balik itu hingga muncul lagi tampak
dari atas gadis itu lari gesit menuruni jalanan berliku.
“Jalan saja Chik, nggak usah
lari. Jalanan licin!” seru Leo dari lantai atas melongok kebawah
“Hehe… iya Bang” senyumnya
mengembang membuat Izack membalas senyumannya sembari mengacungkan jempol
Sepanjang perjalanan dalam Bus,
gadis itu duduk seorang diri di sudut paling belakang sembari mendekap
ranselnya menangis sesenggukan.
"Kenapa naskah yang aku
gadang-gadang keluar duitnya, justru ditolak"
Hari itu adalah hari pertama dan
terakhir ia bertemu dengan Izack yang selama ini menjadi idola teman-teman AMI.
Namun bagi Chika, ia adalah luka. Luka yang sangat menyakitkan, meskipun secara
logika itu bukanlah kesalahan lelaki tersebut. Tapi entah mengapa, dengan
ditolaknya naskah buku garapan kakek dan ayahnya itu seperti sedang diinjak
hatinya terlalu dalam.
Sementara
di sudut lain, di bawah romantisnya lampu neon keemasan beberapa orang
senyum-senyum menepuk pundak Izack membuatnya salah tingkah.
“Ouhhh…!
Yang lagi pendekatan” seru mereka senyum-senyum
Izack
hanya senyum sekilas menerima kekalahan dirinya ditinggalkan begitu saja
seorang gadis.
“Baru
kali ini lihat pak Ketua kita ditinggalkan cewek, biasanya dia sendiri yang
menghindari cewek” tawa mereka meledek
“Gimana
diskusinya?” tanyanya mengalihkan
“Maka
dari itu kita kemari suruh kau turun” katanya
“Aku
kemari karena ada keperluan sama anak itu Zin” katanya ramai-ramai menuruni
tangga dan kembali diskusi
“Ya.. ya ya!! Terserah apa kata
mulutmu lah, tapi sorot matamu tidak bisa kamu bohongi” ujar Leo menepuk-nepuk
Pundak Leo
4
Dua tahun kemudian
Jumat siang menjelang sore Chika
duduk di sebelah kedai rokok mengibas-kibaskan tangannya menahan terik panas
yang kian menyengat.
Sembari menunggu lampu merah
untuk menjajakan sisa Koran pada pengguna jalan, ia membaca sekilas judul
halaman depan Koran; BMKG menyatakan musim kemarau akan segera berakhir di
akhir bulan ini.
Wajahnya kembali menengadah ke
angkasa yang cerah, hingga segaris senyum pun muncul dari bibirnya yang tipis.
"Semoga hasil panen kali
ini benar-benar bagus, Pak Lik..." lirihnya menerawang jauh.
Ia sadar rasa haus terasa
mencekik tenggorokannya, namun begitu pandangannya turun dan menoleh sekilas
menangkap segelas jus di atas meja bundar depan Café sudut jalan, milik seorang
lelaki yang tengah santai ngobrol dengan seseorang di sudut ponsel tipisnya,
membuat rasa haus makin terasa mencekik.
“Segar benar,” ujarnya menelan saliva
kering
Ia sadar jus itu terangkat
tangan seorang lelaki di depannya.
“Oh, orang kaya... betapa
nikmatnya hidup kalian dari hasil jerih payah kerja keras orang-orang seperti
kami”
"Jeruk itu dipanen dari
para buruh tani yang belum tentu tamat SD, gelas cantik itu dibuat dari buruh
pabrik-pabrik yang panas, dan kursi-kursi licin itu dibuat dari para pengrajin
desa yang mungkin cerdas tapi nasibnya kurang beruntung" pikirnya sembari
menarik nafas
Begitu sadar, lelaki si pemilik
jus berwajah indo-cina itu memperhatikan dirinya, spontan Chika mengalihkan
pandangannya cuek tak menghiraukan lelaki tak dikenalinya itu sembari menyeka
keringat yang kini benar-benar menetes dari balik kaosnya yang sedikit agak
lengket.
Matanya kembali tertuju pada
seorang pemulung yang tengah mangais sampah di atas tumpukan sampah pojok café
tersebut.
“Andaikan tiap orang punya
kesadaran memilah sampah, alangkah ringannya pekerjaan bapak itu” pikirnya. Lalu
imajinasinya mengembara pada impiannya penanaman pohon mengurangi karbon.
“Wuihhh… bagus, iya juga ya?”
pikirnya lagi membayangkan bahwa di atas tanah sanitary landfill bisa dijadikan
lahan penghijauan tanaman tahunan. Ia membayangkan dengan kekuatan akar pohon
tahunan itulah, sampah organik akan hancur lebih cepat.
“Tapi bagaimana dengan gas metan
yang dihasilkan gunungan sampah itu? Apa kira-kira pohon tidak akan mati?”
Lalu ia membayangkan andaikan
pemerintah membuat cekungan tanah sekian ratus meter untuk pembuangan sampah
akhir. Lalu meratakan gunungan sampah dan menimbunnya dengan tanah hasil galian
itu untuk menutup gunungan sampah dengan tanah yang kemudian dijadikan lahan
hijau.
“Tapi harusnya kan, memang
seperti itu to?” pikirnya lagi seakan menerawang langit yang mendadak mendung
“Jadi dengan hanya menggunakan
sekian ratus hektar saja sebagai lokalisasi tempat pembuangan sampah akhir, pemerintah
tidak perlu mencari lahan lain”
“Cukup dibutuhkan sekian hektar
dalam satu Kawasan untuk beberapa daerah”
“Bisa juga sih, kalau kerjasama
dengan pihak PLTS”
“Wah, bagus itu jadi artikel
baru!” senyumnya mengembang
Tiba-tiba terdengar teriakan
pedagang buah di sebelah Café memecah hiruk pikuk perempatan jalan.
“Maliii… ng!!!”
Chika yang baru saja mendarat
dari imajinasinya, sadar begitu melihat bocah dekil lari terbirit-birit dan
menabrak dirinya hingga koran-koran dalam genggamannya meluncur jatuh
berserakan.
Saat itulah bocah dekil tersebut
jatuh tersungkur hingga tergelinding dua buah apel dari balutan kaosnya.
Terhuyung-huyung ia kembali bangkit dan lari menghilang di telan lalu lalang
orang depan Mall ujung jalan.
Saat itu lampu merah menyala,
Chika diam seribu bahasa begitu pedagang buah dan Calo berkaki buntung itu
mendekati dirinya dan terus menyalahkannya karena dianggap tak cekatan
menangkap pencuri kecil itu lari begitu saja.
"Ooohhh??? Sial benar dua
hari ini" keluhnya sembari memunguti
koran-korannya yang berserakan di bawah makian lelaki bertato
tersebut
Tak jauh dari itu, lelaki si
pemilik Jus itu terus mengamati peristiwa itu tanpa berkutik sedikitpun. Sedan
hitam berhenti perlahan tepat di belakang garis penyeberangan jalan. Mendengar
ribut-ribut, Izack si pengemudi sedan itu menoleh.
"Cewek itu…??"
pikirnya lama seperti tengah mengaduk-aduk memorinya sembari mengamati wajah
gadis yang tengah dimaki-maki
“Ah.. iya!”
“Itu dia!”
"Luchika Aria" suara Izack
lirih nyaris tak terdengar
Samar-samar ia ingat redaksi
kalimat dalam naskah buku yang sempat dikirim ke penerbitannya dua tahun lalu,
yang implisit menunjukkan keberadaan naskah perjanjian penyimpanan harta
kekayaan negara yang pernah diberikan pada presiden kedua negeri ini sebagai
modal pembangunan dari para raja yang ada saat itu.
Entah bagaimana cara ia menggali
informasi itu, tapi ia merasa bahwa perlu melakukan pendekatan terlebih dulu
sebelum akhirnya ia mendapatkan informasi dokumen penting negara yang selama
ini dianggap hilang dari permukaan bumi.
Alvin yang duduk di sebelahnya
senyum-senyum begitu sadar yang diamati kawannya itu adalah cewek penjual
koran.
"Ehm!!"
"Kamu… tidak tertarik cewek
penjual koran itu kan??"
"Hm??!” Izack baru sadar
Alvin mengamatinya
Diam-diam Alvin memencet
tombol sunroof mobil dan mengeluarkan sebagian kepalanya dari atap
mobil hingga Izack pun melotot geram.
“Koran!” serunya
Mata Chika yang jeli langsung
beranjak.
“Ngapain kamu?!” Izack
melotot geram
Sebelum gadis itu sampai di
samping mobilnya, Izack langsung menutup jendela otomatis nya dan tancap gas
saat lampu hijau menyala. Dan Alvin yang langsung kembali duduk tertawa ngakak
membetulkan sabuk pengamannya
“Apanya yang lucu?!”
“Baru kali ini aku lihat kamu
memperhatikan cewek seserius itu,” Alvin geli mengamati raut Izack yang
terlihat grogi.
“Ah…? Syukurlah,” lelaki
berkulit putih licin itu manggut-manggut
“Aku kira kamu suka aku”
“Sembrono!”
“Ya…? Coba saja pikirkan. Selama
ini mana ada cewek yang nyantol, kecuali mereka yang lengket sendiri seperti
perangko, Zarah, Sefti, dan Shaika”
“Sory Bro, kelasku bukan pacaran
lagi”
Alvin mencibir,
“Kamu pikir pacaran bukan ajang
mencari calon istri?”
“Yang bertahun-tahun seperti
dirimu, begitu?! Sudah bukan jamannya habiskan duit percuma ke orang-orang yang
nggak jelas”
“Dasar pelit, pantas saja sejak
dulu nge jomblo!”
“Hidup itu harus penuh
perhitungan, Bro!”
“Ish! Benar-benar nggak asyik
kamu”
"Kita cari makan dulu lah,
lapar aku"
"Dimana?"
"Itu tuh, depan. Enak,
masakan jawa. Tempatnya juga bersih"
"Oke," ujarnya
langsung menepiskan laju kendaraannya
Saat mereka masuk, gadis penjual
koran di perempatan jalan itu masuk sembari mengibaskan keringat.
Alvin terkejut, "Bro!"
lirih Alvin penuh isyarat pada Chika yang baru masuk
Seorang ibu-ibu keluar dari
dalam menyambut gadis itu.
"Gimana? Laku banyak?"
Ujar ibu pemilik warung menyambut kedatangan Chika yang baru datang dan duduk
begitu saja melepas topi ala kompeni
"Ah, sekarang mah orang
lebih memilih baca media elektronik tinimbang koran, Bu.."
"Iya yah, sabar" Ujar si
ibu sembari menawarkan makan
"Rumah Makan beberapa hari
ini juga sepi banget, Nduk.."
"Tak kirain karena liburan
aja sepi, tapi sampai sekarang mereka sudah mulai masuk kuliah juga sepi"
Saat mereka mengambil menu
makanan, Alvin senyum-senyum isyarat pada Izack yang sedikit terlihat grogi.
"Makan dulu, nah.."
ujar perempuan muda sembari membawakan sepiring nasi dan lauk untuk Chika.
"Terimakasih, bu.."
ujar Chika tanpa ba bi bu, langsung melahap makanannya
Diam-diam Izack mencelos
memperhatikan wajah Chika yang kemerah-merahan bekas sengatan terik matahari
siang itu. Gadis itu dengan cekatan mengeluarkan buku kecil dan bolpen. Ia
menuliskan sesuatu dengan cepat, seakan tengah menggelontorkan
gagasan-gagasannya ke dalam tulisan.
"Mengapa dia lebih memilih
bekerja seperti ini dibanding memanfaatkan kecerdikannya mengulas berita?"
pikirnya dalam seakan ada sesuatu yang menusuk, membuat makanan yang tengah ia
santap nyaris tak berasa.
Sesekali ia melirik gadis di
seberang meja sibuk memeriksa hape jadulnya
"Halo, Rendra, Laptopmu kamu
pakai tidak?"
"Oh..."
"Aku punya proyek bagus,
sepertinya bisa diusulkan ke Kampus untuk PPL nanti"
“Penghijauan di lahan Sanitari
landfill”
“Ah… bisa!”
“Hm,”
“Oke, aku tunggu ya!”
“Sip! Sip!!”
Mendengar pembicaraan Chika
dengan seorang lelaki di ujung telephon, lamunan Izack pun ambyar begitu saja
dan sengaja mempercepat habiskan makan siangnya. Ia segera pergi ke kasir
dengan niat membayarkan tagihan makan gadis itu. Tapi si Kasir justru
bingung
"Mas nya kenal sama mbak
Chika tho?"
"Hm,"
"Tapi dia kerja di sini
kok, mas"
"Oh?" mulutnya melongo
"Jadi? Gratis?"
"He em"
"Oh, ya sudah"
Izack dan Alvin pun berlalu
begitu saja meninggalkan warung masakan jawa. Izack menggeber laju roda
kendaraannya sambil sesekali melirik Chika yang mulai membersihkan warung.
"Kenapa tidak kamu samperin
saja tadi?"
"Aku takut salah orang,
Bro"
"Kita pernah ketemu dua
tahun yang lalu saat aku masih sibuk berbenah perusahaan"
"Dia penulis cerdas" Izack
membuka cerita. Sepanjang jalan ia bercerita bagaimana kehidupan Chika dengan
latar belakang keluarga dan tulisannya yang sempat ia tolak karena ketikannya
yang manual dan tidak ada soft copy.
"Sepertinya kamu kenal
betul cewek itu"
"Tidak juga" jawab Izack
mengelak yang terus ditatap Alvin dengan senyum lebarnya seakan sedang
menertawakan
"Kencapa??!"
"Kamu jatuh cinta sama dia,
kah?"
"Ck!!" Izack kecap
lelah "Hahhh...?! kamu, apa-apa sangkut pautnya kesana"
"Soalnya baru kali ini aku
lihat kamu perhatikan cewek selama itu"
"Payah! Payah!!"
"Tapi ngomong-ngomong
cantik juga loh"
"Kalau ekonominya ketolong
dikit saja. Sudahlah... banyak yang melirik, dia"
"Sok! Kalau kamu tertarik!
Tetangga kostnya Hendrik"
"Hati-hati Bro! Jodoh itu
tidak ada yang tahu"
"Hari ini kamu nggak suka
karena terkesan kumuh, siapa tahu berapa hari mendatang kamu terpesona sama
dia" kata Alvin seakan peringatan keras dalam pikiran membuatnya tersenyum
sinis seakan mengelak ungkapan Alvin.
Gelombang panas di luar
benar-benar membuat ac yang full, nyaris tak berasa.
Diam-diam Izack teringat gadis
itu dua tahun yang lalu dimana wajahnya masih tampak bersih dengan senyumnya
yang mahal membuat ia spontan jatuh hati pada pandangan pertama saat datang ke
Basecamp. Bahkan ia sempat memberinya kue ulang tahun bersamaan dengan ulang
tahun dirinya. Tapi hari ini, mendengar sapaan gadis itu pada seorang lelaki di
ujung handphonenya seketika perasaannya berubah.
5
Yes, that’s right
Entah apa yang terjadi. Sejak koran dinding hari ini ditempel di dinding kaca halaman
kampus terlihat ramai dengan bisikan beberapa orang setelah membaca cover
halaman depan. Dian, kawan se-kampung halaman Heni tiba-tiba melotot begitu
membaca huruf AMI tercetak besar di satu sisi halaman utama Koran itu dan
berteriak memberitahu Heni yang ada di balik dinding koran itu.
AMI, pergerakan Mahasiswa yang
hanya bisa membeo.
“Hah?! Itu anak gila benar bisa
bilang seperti itu?” teriak Heni
“Ini kalau abang-abang AMI
dengar, pasti bisa meledak marah”
“Tunggu saja nanti kalau dia di kost,
pasti akan ku pukul dia” canda Heni
“Memangnya kamu berani memukul
orang se serius itu?” tawa Dian mengolok.
Chika yang ternyata telah
berdiri di belakang mereka hanya mengembangkan senyumnya begitu dengar umpatan
Heni. Tanpa berkomentar apapun, ia melenggang pergi tanpa sepengetahuan mereka
yang masih melototi paragraf demi paragraf.
“Tidak sia-sia kau pinjamkan aku
Laptop, Ren. Aku bisa mengungkapkan rasa kesalku pada khalayak juga akhirnya” senyumnya
menarik nafas panjang sembariu menjulurkan alisnya mendongakkan wajahnya ke
langit mengantongi dua tangannya pada jas almamater yang ia kenakan.
Langit di atas kampus pagi itu
benar-benar cerah. Sesekali angin basah berhembus dari rindang pepohonan yang
menjulang berjajar di depan ruangan dosen, terasa begitu segar menyeka
pikirannya yang akhir-akhir ini sedikit ruwet. Ia kembali duduk di bangku
panjang setelah tahu kelas hari itu kosong, hanya pesan tugas yang disampaikan
lewat grup medsos.
Merasakan perutnya mulai melilit
dibukanya dompet, tampak sebuah foto seorang lelaki dengan alis mata tipis,
mata bulat mirip dirinya dengan topi veteran. Ia mulai merasakan dadanya sesak
merasakan rasa rindu yang sudah harus dikubur dalam-dalam. Tiba-tiba sehelai
angin menerpa wajahnya bersamaan dengan dedauanan yang menghujani rambutnya.
Sesekali ia terlihat menarik
nafasnya dalam-dalam dan melepaskannya ke udara, seperti ada yang ingin
diikhlaskannya.
“Tidak ada yang bisa diharapkan
dari negeri ini kecuali kekuatan diri sendiri…” suaranya lirih menerawang
jauh
Perlahan bayangan beberapa tahun
yang lalu seakan turun menghantui;
Suara letusan peluru seperti
menjadi pemandangan tiap sore.
Wajah-wajah garang bersenjatakan
parang dan clurit mendadak meledak saat terdengar siulan di tengah jalan.
Sontak pertikaian menumpahkan darah puluhan warga di tengah jalan raya antar
kota antar propinsi.
"Chika, memaafkan sebuah
peristiwa itu bukan berarti melupakan peristiwanya dan mengubur dalam-dalam.
Karena bagaimanapun, peristiwa itu tidak akan pernah pergi dari ingatanmu"
"Belajarlah melihat sesuatu
layaknya seekor burung melihat alam sekitar dari atas awan, maka kamu akan tahu
bagaimana sebenarnya lalu perlahan memaafkan peristiwa tersebut" kata-kata
Rendra seperti jelas terdengar
Pandangannya turun menyorot
lepas angannya yang seakan turun dari langit, dan spontan nggragap kaget ketika sebuah gulungan kertas menepuk
pundaknya.
“Hoi! di sini kau rupanya?” sapa
lelaki gondrong itu meloncat duduk di sebelahnya
“Tulisanmu dimuat lagi tuh!”
“Hm!” senyum Chika lebar,
“Lumayan lah, dengan bantuan
laptopmu” kata Chika mengeluarkan laptop dari tas ranselnya
“Pakai aja dulu” isyarat dengan
dagunya
“Beneran ini, nggak kamu pakai?”
“Ya aku pakai lah,”
“Tapi demi otak si jenius yang
banyak akal, aku ikhlas lah mengalah” katanya membuat Chika tertawa lebar
Sepi,
“Kira-kira bisa sih nggak ya?”
“Bisa! Apa sih yang enggak buat
kamu!”
“Tuhan saja mau kamu atur”
lagi-lagi Chika tertawa meledak
“Berapa ya, harga smartphone
paling murah?”
"Kenapa?"
"Tugas-tugas mata kuliah
sekarang lewat email semua, kadang juga lewat group" Chika menggigit jari
dengan kernyitan di antara kedua alis.
“Ngomong-ngomong, bagaimana
kabar keluargamu?” tanyanya khawatir
"Selesaikan urusanmu
sendiri, Non!" jawab Rendra cuek yang perlahan membuat gadis itu diam
bertopang dagu memandang lepas pada lalu lalang orang yang melintas di jalanan
di depan.
"Kamu mau kerja serabutan
nggak?"
"Apa?"
"Jadi pekerja sosial di LSM
tempat temanku"
"Berapa rewardnya?"
"Yah... sudah tanya
reward"
"Lha iyalah, ini tenaga
sama pikiran berbanding lurus sama isi perut je" katanya spontan
membuat Rendra ngakak
"Tapi, ngomong-ngomong adek
dan bapakmu sudah ada kabar kah?"
Rendra menggelengkan kepala. Namun
dari gerak-geriknya ia menangkap aura kesedihan lewat diamnya yang sengaja ia
benamkan dalam-dalam dan kembali berdiri menengadahkan wajahnya di bawah
rindang pepohonan yang menggugurkan dedaunan.
“Hoo…kh! Hidup ini rasanya
seperti mengairi ladang tanpa tanaman, Percuma to?!” senyumnya getir sembari
berdiri
“Sudah makan?"
Chika nyengir
"Makan dulu yuk! Aku
traktir lah, buat makan aja pelit banget kamu ini" ajaknya sembari
beranjak
“Nah, kalau itu aku mau” tawanya
lebar
“Huuu… dasar! Makan itu nomor
satu Non, beli buku nomor dua"
"Ah... kau ini nggak tahu.
Aku bisa sampai di kota ini dan bertahan di sini saja syukur
Alhamdulillah"
"Apalagi sampai bisa
lulus"
"Bisa lah, kenapa nggak
bisa?!"
"Bukan Luchika namanya
kalau belum apa-apa sudah nyerah!"
Di sepanjang jalan tampak
teman-teman AMI berduyun-duyun menuju jalanan dengan membawa spanduk, sebagian
menyebarkan selebaran kepada para pengemudi yang melintas di depan kampus yang
diiringi orasi lewat corong pengeras suara yang begitu memekakkan telinga.
"Kamu nggak ikut
turun?" tanya Rendra
"Nggak lah,"
"Kalau ada apa-apa, siapa
yang mau menolongku?"
“Hei, Non! Ayo turun!!” teriak
teman lelaki yang melintas dengan sepeda motornya
“Kau ini Chik! Teriakkan suaramu
di publik! Jangan cuma koar-koar di mass media saja!” sahut
lainnya
“Aku nggak punya energi lebih
seperti kalian, Bro!” tawa Chika menimpali
“Alah! kau ini, bilang saja
nggak punya nyali” sahut beberapa kawan AMI yang datang dari belakang
"Ya... ya ya!" senyumnya
nyengir sembari mengacungkan dua jempolnya ke udara “Sip!! Aku dukung kalian
dari belakang lah” ujarnya dengan perasaan sedikit pahit
Mereka berdua berjalan santai
menuju kantin kampus sambil sesekali berdiskusi akan dikemanakan nasib negeri
ini di saat biaya pendidikan semakin melangit, sementara kualitasnya belum
memenuhi standart kebutuhan negara dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik
saja.
"Aku bisa merasakan mereka
yang tidak bisa kuliah karena terkendala biaya bukan main rasanya"
"Sementara hari ini kita yang
sering melihat Mahasiswa hura-hura kadang rasanya pingin sekali nonjok
mukanya" spontan Rendra tertawa
"Kenapa kamu yang emosi?! "
"Ya iyalah, bagaimana nggak
emosi. Beberapa aku tahu orang tuanya jadi kuli bangunan, ada yang petani, ada
juga jadi pedagang di pasar. Sementara anaknya di sini kuliah cuman diisi
pacaran dan foya-foya kadang malah nggak masuk kelas"
Lagi-lagi Rendra hanya
menertawakan gadis dengan rambut yang selalu dikucir sebahu "Baru taraf
itu berpikirmu, Non"
"Coba berpikir terbalik, dengan
bermain kesana kemari pengetahuan dia akan bertambah. Karena pengetahuan kan
akan bertambah tidak hanya dengan membaca buku seperti dirimu, Non!"
“Ren!”
"Bayangkan saja kalau ada
1000 orang tua yang menjual tanah ke orang asing demi membiayai kuliah anaknya,
sementara semangat anaknya untuk menambah ilmu di sini jongkok"
"Mau jadi apa coba negara
ini?" protes Chika kesal saat kakinya melangkah masuk Kantin
Suasana ramai sesak mulai
terasa. Rendra melangkah santai di depan Chika.
Dari seberang deretan meja makan
tampak tiga orang senior AMI Cabang tengah menikmati makan sambil diskusi.
Sepertinya mereka tengah berunding sesuatu. Melihat pemandangan Chika dan
Rendra tengah ngobrol sambil mengambil hidangan, Izack hanya memperhatikannya
dari jauh sembari menyruput Jus Alpukatnya terasa pekat tanpa gula di depannya.
Sesekali ia nyambung obrolan dua orang di depannya yang tengah membahas soal
keamanan data kantor Cabang AMI.
“Kalau soal IT aku pasrah ke
kalian deh, tapi soal kebijakan pemerintah terkait organisasi politik di
kampus, biar aku yang urus”
“Nah! Gitu dong” kata Leo
Lagi-lagi pandangan mata Izack
tertuju pada gadis dengan rambut yang dikucir sebahu itu mulai mengambil menu
di etalase dan berdiri menunggu lelaki di belakangnya. Ia tengah mengincar lauk
yang harus ia ambil.
“Beneran loh ya? Kamu yang
traktir…”
“Boleh ambil ayam, nggak nih?”
bisik Chika
“Ampun, Chika… ambil! Mau ambil
dua juga nggak apa-apa”
“Hehe… enggaklah, takutnya
uangmu nggak cukup”
“Kalau nggak mau, aku ikhlas kok
kalau kamu yang bayar” ujar Rendra
“Mau lah, woi!!” tawanya lebar cepat
cepat nyomot paha ayam satu lagi.
Dari seberang meja, Izack
terkesima dengan lesung pipit Chika saat tersenyum. Saat itulah Leo menoleh
pandangan mata sejurus pandangan Izack mengikuti kemana gadis itu mengambil
tempat duduk yang diikuti lelaki yang duduk di depannya.
“Oh, itu.. tetangganya Hendrik”
“Anak AMI juga”
“Oh, masih di sana toh?”
“Hm, masih”
Chika dan Rendra mulai menikmati
sarapannya dan ngobrol sana sini.
"Tahu nggak, kasusnya si Fendi?
tanah pekarangannya dibeli orang asing atas nama orang indonesia untuk
mendirikan Pabrik yang letaknya tepat dengan tanah kas desa" kata Chika membuka
obrolan
"Itu duit orang tuanya
untuk membiayai si Fendi, tapi dia disini aku lihat pagi siang sore malam
lengket sama ceweknya"
"Mending kalau pinter, Oon
pula"
"Tugas dia, aku juga yang
kerjakan"
“Pluk!” spontan Rendra
memukulnya dengan sumpit yang masih terbungkus
“Aduh! Sakitlah!!” ujarnya
manyun ngusap-usap kepalanya
“Yang penting kan kau dapat fee
dari dia"
"Iya lah, kalau enggak rugi
aku"
"Nha ya sudah, ambil
positifnya saja"
"Nanti kalau semua orang
sepertimu, dunia nggak seru" kritik Rendra panjang lebar yang hanya
diperhatikan Izack dari jauh
“Halah! Itu karena kamu punya pacar
juga, coba kalau belum”
"Sudah, makan dulu. Gatel
telingaku dengar kamu protes terus!" kata Rendra yang membuat Chika
tertawa terkekeh-kekeh kembali menyantap sarapannya
Melihat keduanya tampak seru
ngobrol, Izack hanya menghela nafas sembari kembali nyambung obrolan dua orang
teman di hadapannya. Tapi karena seringnya Izack memperhatikan keduanya, dua
orang di depannya pun menoleh sejurus pandangan mata Izack.
“Itu cewek nulis artikel di
koran tentang AMI, ngawur benar”
“Apa?”
“Ini lihat” ujarnya menunjukkan artikel
di koran online
Izack hanya tersenyum sembari
melipat dua tangannya ke atas meja
“Memang begitu, kan? Kita?!”
“Rupanya ada yang jeli melihat
kondisi kita hari ini”
“Ya!”
“Harus kita akui itu” sanggah Leo
“Hanya gara-gara tokoh politik
memberikan seminar ke kampus, lalu kita mengiyakan dan membenarkan apa kata
beliau. Padahal kita sudah tahu bagaimana track record dia selama ini”
“Hm, betul sekali”
“Harusnya kita bisa correct”
“Bahkan seorang presiden pun,
harusnya kita berani meng correct kebijakannya yang keliru”
“Karena Mahasiswa itu posisinya
bisa jadi Oposisi jika terjadi kekeliruan langkah pemerintah”
“Begitu juga dengan Pemerintah,
harusnya nggak boleh alergi dengan pihak Oposisi”
“Hm, bener banget”
“Tapi kenyataannya hari ini
setelah sekian tahun berkuasa, pemerintah kita kembali bersikap otoriter dan
mulai menancapkan kuku-kukunya”
“Itu yang membuat kita gerah”
“Dan kata-kata dia benar
adanya..”
“Kita di sini seperti kehilangan
wacana; negara harus dibawa kemana, lalu kita hanya membeo” sanggah Leo seakan
membenarkan anak didik jurnalisnya yang sudah berani bersuara lantang.
Obrolan itu mengalir begitu saja
hingga tak terasa dua orang tersebut telah selesai makan dan pergi meninggalkan
meja makannya dengan obrolan dan tawa yang sepertinya tampak akrab membuat
perasaan Izack sedikit mencelos.
6
Enyahlah
Gejolak pikirannya kini
benar-benar mulai terasa berat saat kakinya melangkah masuk lorong-lorong
bangunan menuju hutan kampus yang senyap. Sesekali langkahnya terhenti seperti
sedang menyimak pikirannya satu persatu.
SPP semester kemarin yang belum
ia lunasi dari Heni. Cicilan Bank dengan jaminan rumahnya untuk biaya masuk
kuliah dulu, juga kebutuhan smartphone dan laptop yang sangat mendesak, belum
lagi biaya kost bulan depan. Begitu sadar kakinya melangkah masuk kawasan hutan
kampus, ia langsung menjerit sekencang-kencangnya.
“Aaaargh!!!”
Tanpa berpikir panjang ia
memungut beberapa batu yang ia lihat.
“Ayo! kita lihat, seberapa jauh
kamu pergi dari pikiranku”
“Jika lemparan ini semakin jauh,
berarti masalah akan semakin jauh” lirihnya tertawa aneh
“Pertama, untuk SPP semester
kemarin”
“Ctaakk!!” ia melempar batu itu
kuat-kuat mengenai batang kayu pohon jati
“Kedua, untuk membeli smartphone
dan laptop”
“Krsskkk!!” lemparnya lagi
mengenai semak-semak
“Aah? Tidak begitu jauh?”
katanya kesal mengamati batu itu terlempar
“Ketiga, untuk tagihan hutang bank
bulan ini” katanya lagi
“Ini harus lebih jauh daripada
semuanya” katanya sembari ancang-ancang meloncat
“Aaaa… aaa… aaa… rgh!!!”
teriaknya kuat-kuat sambil meloncat teriak keras-keras hingga
“Ctakkk!!”
“Aduh!” kaca matanya terlepas
dan seketika keningnya mengucurkan banyak darah membuat orang-orang di
sekitarnya kaget dan seketika mencari-cari dimana suara itu berasal.
Melihat kemunculan beberapa
orang lelaki membuat Chika kaget, meringis pias ketakutan teringat batu yang ia
lempar terakhir lumayan besar.
“Maaf, ada apa ya?” sapanya
cemas
Tanpa berkata-kata lagi salah
satu dari mereka tampak gregetan mencekal siku Chika dan menyeretnya ke
kerumunan orang-orang yang rupanya tengah melakukan penelitian.
Mereka adalah kelompok Mahasiswa
S2 Jurusan Konservasi Hutan yang tengah melakukan penelitian kandungan air dan
kadar keasaman tanah di hutan kampus yang dulunya merupakan Kawasan Tempat
Pembuangan Akhir.
Melihat lelaki berkacamata sipit
itu Chika kaget, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Tapi pernah melihatnya
dimana, ia tak sanggup mengingatnya lagi terkalahkan rasa takut dan cemasnya
yang sudah sampai ubun-ubun melihat kening lelaki itu masih saja mengucurkan
darah segar.
“Oh, Maaf kak… maaf!!” Chika
menunduk nunduk merasa sangat bersalah, sementara kutukan dari mereka terdengar
jelas membuat lelaki yang terluka itu menyuruhnya diam dan tenang.
“Dibawa ke Rumah Sakit saja Bro,
biar dia yang tanggung jawab”
“Iya, cepat saja dibawa ke Rumah
Sakit”
Bukan main rasanya, sudah jatuh
ketimpa tangga besi, berasa luar biasa menyakitkan. Tapi apapun itu, ia memang
merasa bersalah atas kejadian itu hingga ia hanya mengikuti dua orang lelaki
itu keluar dari hutan.
Sepanjang jalan dua orang yang
mengiring lelaki sipit itu sesekali diam melirik ketus pada Chika di belakang
mereka hingga ketiganya masuk ke dalam mobil Chika masih bingung berdiri di
sisi mobil tersebut.
“Masuk!”
“Iya,” jawab Chika segera masuk
mobil dan duduk mojok di seat sebelah lelaki sipit tersebut.
“Siapa namamu?”
“Chika”
“Semester berapa?”
“Enam”
“Fakultas?”
“Kehutanan”
Dua orang lelaki di depannya
yang lagi-lagi mulai menyalahkan Chika diisyaratkan untuk diam oleh lelaki di
sebelahnya nyengir kesakitan menekan kepalanya yang terus mengeluarkan darah
segar sekalipun telah disumbat kain putih, membuat gadis itu semakin merasa
bersalah.
Dalam ruang mobil yang dingin, tangannya
terkepal makin dingin menelungkupkannya di tengah pangkuannya makin beku
membuat lelaki itu tahu gelagatnya, ditambah dengan garis kerutan di dahi yang
terlihat jelas.
“Kak, aku..”
Lelaki itu langsung memberinya
isyarat untuk diam menekan kepalanya yang terus mengeluarkan darah. Hingga tak
lama kemudian mereka tiba di rumah sakit International membuat kecemasan Chika
makin meningkat, apalagi saat lelaki sipit itu turun dari mobil dan langsung
disambut perawat membawa kursi roda dan membawanya hilang dari pandangannya.
“Kenapa tadi aku seperti itu”
pikirnya kesal
Siang itu udara terasa panas
menyengat. Chika yang berjalan di belakang mereka rasanya ingin sekali
cepat-cepat lari menghindari tanggung jawab biaya yang bakal ia tanggung. Tapi
ia bukanlah tipikal gadis semacam itu, meskipun ia bisa saja melakukannya.
Mereka masuk ke ruang IGD dan
mulai diambil tindakan jahit. Saat dua orang lelaki itu menyuruhnya ke bagian
Administrasi, lelaki sipit itu mencegahnya dan menyuruhnya menunggu dirinya
selesai. Sempat ketiganya bersitegang, tapi lagi-lagi lelaki itu tampak ngotot
menyuruh Chika menunggunya di luar sampai selesai.
“Kalian pulanglah dulu, biar aku
selesaikan baik-baik sama dia” ujar lelaki sipit itu setelah dua orang perawat
datang dengan membawa peralatan medis.
“Ini kunci mobilmu”
“Nggak usah, bawa aja”
“Loh?”
“Tenang saja…”
“Serius??”
“Hm,”
Saat keduanya keluar, mereka
menatap tajam wajah Chika yang melorot tertunduk.
“Kalau kamu laki sudah aku jotos
dari tadi, mbak!” ketus lelaki itu kesal sembari ditarik temannya meninggalkan
Chika sendiri di ruang IGD.
Entah berapa menit berlalu,
lelaki itu keluar dari ruang bertirai dengan kepala berbalut perban. Melihat
gadis itu menenggelamkan wajah dalam pangkuannya di atas kursi ruang tunggu,
lelaki bermata sipit itu pura-pura batuk membuatnya kaget dan terbangun dengan
wajah sembab dan basah air mata.
“Aku minta maaf Kak, sungguh…
aku nggak sengaja”
“Sudah makan?”
“Hmm??!” rautnya seperti kecele,
tapi sebenarnya ia bingung
“Ayo makan dulu”
“Tapi Kak…”
“Sudah, tenang saja”
“Ayok”
Chika berjalan di belakangnya
seperti seorang tawanan dengan kepalan tangannya yang kepalang dingin.
Saat mereka duduk di meja food
court Rumah Sakit, antara kikuk, cemas, takut dan berharap-harap agar ia tidak
membuat perjanjian gila terkait biaya Rumah Sakit.
“Aku benar-benar minta maaf Kak”
pekik suaranya hendak menangis
“Aku melakukan itu karena
benar-benar pusing dengan kondisi ekonomiku akhir-akhir ini Kak...”
Lelaki itu diam tak menimpali,
ia justru sibuk membuka dan scrolling tabletnya dalam genggaman.
Merasa dirinya dicueki, Chika
merasa kecele. Ia diam mulai gusar dengan pikiran dan hatinya menunggu apa yang
tengah dilakukan lelaki itu dengan tabletnya.
“Oh ya, kenalkan.. namaku Dhani,
anak Pasca Kehutanan jurusan Konservasi Hutan”
Pelayan membawa menu pesanan
sepiring goreng seafood membuat gairah lambungnya seakan meronta saat melihat
sepiring nasi goreng yang dipenuhi udang, cumi dan lalapan.
“Ayok, makan dulu”
Tanpa dipersilahkan lagi,
diam-diam ia mulai menyentuh piringnya sembari menarik nafasnya
tersengal-sengal seakan menemukan cekungan air bening di gurun pasir yang
kering dan panas.
“Masih jualan asessoris mobil?”
“Hm?!!” Chika melotot bingung
pura-pura tidak tahu
“Kakak yang kemarin di depan
Café depan kampus??”
(Isyarat mereka seakan saling
menangkap yang dimaksud Chika adalah peristiwa dirinya jualan koran dan
assessoris mobil di depan kios buah)
“Iya!” potong Dhani cepat yang
langsung disambut senyum nyengir merasa tidak enak
“Hm, lumayan bagus ingatanmu”
“Kamu tertarik ikut proyek,
nggak?”
“Proyek?”
“Ngomong-ngomong kenapa kamu
ambil jurusan Kehutanan? Aku juga sering lihat kamu duduk-duduk sendiri di
pintu belakang yang menghadap langsung dengan hutan kampus kita”
“Oh…”
“Tapi maaf, biaya lukamu gimana
Kak?”
“Oh, tenang aja. Aku punya biaya
asuransi kok, sia-sia kalau nggak dipakai”
“Oh…”
“Jadi, beneran ini?”
“Apanya?”
“Nggak aku bayar? Atau gimana?”
“Maksudku biaya pengobatan…”
“Iya…” jawabnya spontan membuat
Chika menghembuskan nafas panjang yang hanya ditertawakan Dhani
“Kalau kamu bayarkan iuran
Asuransi bulananku, nggak apa-apa” candanya membuat suasana mulai cair.
“Haduh Kak… buat makan sehari
sekali aja sudah bagus” tawa mereka renyah
Keduanya mulai bercerita mengapa
ia sering duduk sendiri di pintu masuk area hutan kampus, hingga mengapa ia
mengambil jurusan Kehutanan.
“Kamu serius tertarik bekerja di
Hutan?”
“Hm, kenapa nggak serius kalau
mesti mati-matian cari biaya buat kuliah di jurusan itu, Kak”
“Kebetulan banget, aku juga
sedang kerjakan proyek dari LSM asing penelitian penghijauan di atas lahan
bekas sanitary landfill”
“Wow!”
“Aku sempat terpikir itu
kemarin, Kak”
“Oh ya?”
“Hm, sebenarnya kami butuh 1
personal lagi. Tapi minimal materi sudah selesai semua”
Chika terdiam lama seperti
tengah memikirkan banyak hal, ia meraup wajahnya seperti ingin mengatasi semua
kesulitannya saat ini. Melihat reaksi Chika terpasung sejenak lelaki itu
langsung membrowsing situs lainnya.
“Ada juga proyek bagus khusus
anak-anak S1 Kehutanan”
“Dana nya lumayan besar juga
tuh”
“Coba kamu buka ini” katanya
menyodorkan smartphonenya menunjukkan beberapa link proyek kehutanan
Cepat-cepat Chika mengeluarkan
pen dan mini block note, segera mencatatnya.
“Coba deh, ikuti proyek di link
ini” katanya menunjukkan situs kampus pada sebuah layar tipis tabletnya
“Kenapa nggak kamu tulis di hpmu
saja?”
Chika nyengir “Aku punya Hp cuma
ini saja, kak” katanya mengeluarkan telpon selluler model jaman dulu
“Oh…” rautnya mencelos
“Kalau begitu, aku minta nomormu
saja deh”
“Siapa tahu kalau ada project
lagi, aku hubungi kamu” pinta Dhani penuh maksud
Tanpa enggan, Chika menunjukkan
nomornya pada layar kecilnya. Dan Dhani mulai sedikit paham mengapa juniornya
ini kalut bukan main ketika diajak ke Rumah Sakit membayangkan untuk makan
keseharian saja masih kesulitan, apalagi untuk sekedar memiliki smartphone.
Perlahan namun pasti terjadi
obrolan ringan bagaimana dirinya mengerjakan tugas sehari-hari sampai pekerjaan
serabutannya yang menyita banyak waktu dan menguras banyak tenaga tanpa
menyebutkan bahwa dirinya juga seorang penulis di media sosial.
Entah berapa lama Chika mencatat
semua link yang ada di tablet tersebut sembari menghabiskan menu yang didatangkan.
Tanpa terasa dua jam telah
berlalu, mereka duduk di sana dan ngobrol seru seputar proyek-proyek yang
berhasil Dhani kerjakan hingga menghasilkan semua yang ia kenakan, termasuk
penelitiannya keluar negeri membuat sorot mata gadis itu pun kembali tambah
hidup.
“Setelah ini kamu mau kemana?”
“Kursus anak SMP Kak”
“Oh, dimana?”
“Di Blok perumahan dosen”
“Naik apa?”
“Jalan kaki”
“Oh, jauh lho”
“Iya,”
“Naik angkotan umum aja, ayok”
“Aku bayari deh”
Chika nyengir merasa tidak enak.
“Nggak usah Kak, aku nggak suruh
tanggung biaya Rumah Sakit saja sudah syukur, masih ditraktir makan lagi” jawabnya
menghabiskan sisa jus jeruk sisanya
“Dah, ayok…”
“Santai aja, dulu aku juga
seperti kamu” jawabnya santai membuat Chika ragu-ragu yang ditarik ranselnya
begitu saja.
Siang jelang sore itu mereka
berdua naik mini bus bersama hingga keduanya terpisah di halte bus depan
kompleks perumahan dosen. Dhani yang sebenarnya arahnya berlawanan dari tujuan
Chika terpaksa berhenti di Halte Bus setelahnya demi bisa ngobrol lebih lama
lagi di kendaraan. Dan itu membawa kesan tersendiri untuk Dhani yang berhasil
mengenal Chika lebih jauh lagi tentang dirinya yang dikenal sebagai penulis
kritis.
@@@
Selesai pulang dari les, hari
sudah larut. Chika keluar dari komplek perumahan menjelang malam dengan senyum
lebar mengantongi selembar uang yang mampu untuk bertahan hidup dua hingga tiga
hari ke depan. Sepanjang perjalanannya dalam bus, lamunannya seakan mengurutkan
lintasan peristiwa sejak pagi tadi. Dari melempar batu, keributan dengan anak
pasca sarjana hingga duduk bersama di dalam bus dan ngobrol kesana kemari. Andaikan
boleh berandai, ia jadi pacarnya betapa ringannya menjalani hidup.
Tapi alih-alih mencari
perlindungan dengan punya pacar, perhatianya justru tersedot pada badannya yang
mulai merasakan ngilu-ngilu sakit setelah sehari pikirannya terkoyak
kemana-mana, hingga sadar ia harus turun di halte.
Sepanjang jalan menuju kost ia
hanya senyum-senyum sendiri berandai-andai, jika dan hanya jika punya pacar
seperti Kak Dhani.
“Bukankah semua orang berhak
mimpi ya?”
“Sah-sah aja kan, mimpi punya pacar
kaya raya?” pikirnya senyum-senyum sendiri
Ia sadar, selama ini tidak
berani bermimpi. Bahkan sekedar mimpi punya pacar pun, ia tidak berani. Baginya
dihadapkan dengan kehidupan pahit sepanjang hidupnya seperti minum obat pahit
sepanjang hari, sepanjang bulan bahkan sepanjang tahun. Bahkan air mata yang
harusnya menetes pun, harus ia tahan dan telan dalam-dalam agar dirinya tidak
limbung dan jatuh.
Begitu sampai di kost-kostan tumpukan
baju kotor sudah menghadang di depan pintu dengan sticky notes merah dan biru
pertanda dari dua orang yang berbeda.
“Tolong ya Chika, aku pakai
untuk lusa”
“Hey, say! Jangan lupa untuk
hari minggu”
Ia kembali menarik nafas
perlahan membayangkan badan rasanya nyaris tidak kuat lagi. Tapi bagaimanapun
ia tetap harus mendapatkan kepercayaan emak laundry teman-temannya demi
menyambung hidup.
Selesai meletakkan tas dan ganti
baju, ia sudah membopong dua keranjang penuh itu ke kamar mandi. Sembari mulai
merendam ke dalam ember mereka, wajahnya senyum-senyum sendiri membayangkan pertemuan
siang itu antara rasa bahagia, takut, dan harap-harap cemas campur jadi satu.
Terbayang project-project yang
disodorkan seniornya siang hari itu, ia hanya membayangkan kapan ia punya
laptop sendiri. Hingga sadar saat pandangan matanya tertuju pada tangannya yang
mesti menyikat dan kucek baju-baju kotor milik teman kost.
“Ah.. andai saja”
“fokus, fokus!!” lirihnya mengacak
wajah
Tapi lagi-lagi sirkuit otaknya
seperti sedang menelusuri gagasan-gagasan besar untuk dijadikan proposal proyeknya
yang bakal dikerjakan beberapa orang temannya.
Ia membayangkan lahan-lahan
bekas galian tambang yang mangkrak untuk dijadikan revitalisasi lahan hijau.
Tiba-tiba ia lamunannya buyar
oleh colekan jari tangan yang lentik. Itu adalah Heni.
“Hei Non, ada yang ingin ketemu sama
kamu tuh”
“Siapa?”
"Orang lah, masa
kucing"
"Ada perlu apa?"
"Nggak tahu"
"Sory, nggak bisa "
"Kapan kamu punya waktu
longgar?"
Gadis itu diam sejenak menatap
temannya lama. "Kamu mau uangmu balik kan,"
"Ya iyalah,"
"Ya sudah, sana "
Heni menarik nafas kesal
"Ngusir kamu,"
"Terimakasih kalau
paham" senyumnya sekilas
Dengan wajah kecewa Heni pergi.
Ia menuruni tangga menemui Izack di kost-kostan lelaki. Di sana Izack dan
Hendrik sudah siap menunggu kabar Heni yang berjalan cepat menuju ke kostan
tersebut.
"Sudah aku bilang,
kan?"
"Dia tanya ada urusan apa,
aku bingung jawab"
"Malah justru ditanya
balik, kamu pingin uangmu balik kan?"
Spontan Hendrik tertawa cekakaan
"Maksudnya apa?" Izack
bingung
“Dia kan punya hutang ke aku,
sekarang ini dia sedang kerjakan sesuatu untuk menghasilkan uang”
“Oh… haha!”
"Bahasa dia itu seperti
itu, Bro!"
“Emangnya kerjaan apa?
Menulis?!”
Heni gagap, matanya cemas
menatap Hendrik yang sudah paham jika Chika kadang jadi buruh cuci bagi
teman-teman kost-kosatannya, ia tak berani menjawab. Justru dialihkan Hendrik
dengan membicarakan pembicaraan yang lainnya.
"Susah juga ya?"
“Hm,”
“Pantesan” pikir Izack dengan
segaris senyum samarnya teringat peristiwa pertemuannnya beberapa tahun yang
lalu.
Jarum jam menunjukkan pukul
00.35, ia tampak sibuk menjemur baju di lantai dua dan kembali membentangkan
tangannya di teras lantai dua yang terlihat Izack saat itu masih lembur
mengerjakan pekerjaan dengan laptopnya di depan kamar Hendrik.
Sorot matanya lepas menatap angkasa yang gelap. Sesekali ia menguap
puas sembari merentangkan kedua tangannnya ke angkasa.
“Hah!!” teriaknya keras membuat Izack senyum-senyum mencuri pandang
gadis tipis dengan rambut panjang lurus tergerai sebahu.
7
Siapa dia?
Chika, ya... orang memanggilnya
begitu. Luchika Aria. Pawakannya ramping, tidak terlalu pendek untuk ukuran
cewek. Wajahnya yang dingin selalu tampak pucat dengan kulitannya yang putih,
namun tampak kurang sehat. Meskipun ketika ia tersenyum, dunia seakan ikut
runtuh dengan suaranya yang khas. Tapi itu hampir saja tak pernah terjadi
kecuali sesekali dalam sehari.
Di waktu senggang, ia selalu
menekuri buku-buku dengan raut serius. Beberapa orang sekitar menjulukinya si
kutu buku.
“Apa tidak capek kamu tiap hari
begitu?” tawa lebar teman-teman kos yang selalu menertawakannya.
"Aku nggak bisa
membayangkan nanti kalau dia punya suami, malam pertamanya yang dipegang pasti
buku" ledek teman kelasnya yang membuat gerrr... semua orang di sekitar.
Namun Chika tak begitu peduli dengan olokan semacam itu. Beda dengan Rendra
yang kerap kali jengkel jika tetangganya jadi bahan olok-olokan teman kelasnya.
"Kenapa juga aku harus
marah, Ren?"
"Toh, dia nggak nyakiti
aku"
"Iya, tapi gurauan seperti
itu menjijikkan"
"Rendra... mereka berkata
seperti itu karena kondisi mereka jauh lebih mudah daripada kita yang tiap
menit dihitung dengan kualitas otak dan otot"
"Lagipula kenapa kamu nggak
mengajukan Beasiswa saja, aku kira nilaimu kan lumayan?" Chika hanya
senyum sekilas tanpa menimpali sepatah katapun.
Begitulah ia, tak banyak kata
kecuali segaris senyumnya yang benar-benar cool membuat para lelaki
merasa tertantang menakhlukkan hatinya dengan berbagai cara.
Dari sekedar surat, pesan salam,
pesan bingkisan yang ditolak, hingga mengikutinya pergi. Bahkan suatu saat
saking sulitnya ia didekati, seorang lelaki yang merasa terinjak harga dirinya,
ia membalas dengan mendekati teman kelas yang sering jalan bareng dengannya
dengan harapan ia cemburu. Tapi sampai mereka "jadian" pacaran, gadis
itu tetap saja tak menggubris mereka berdua yang akhirnya ia
ditinggalkan.
Bahkan suatu saat ia pernah
dikatakan "cewek abnormal" oleh salah satu tetangga kostan
lelaki karena dianggapnya "tidak butuh lelaki". Ada juga
teman perempuan yang sempat akrab dan pudar gara-gara isyu kalau dia itu
lesbian.
“Haduh!! Macam-macam saja orang
menganggapku” batinnya kesal
Tapi daripada mempedulikan
pertemanan, ia lebih peduli pada isi dompetnya demi menyambung kebutuhan hidup
dan biaya kuliahnya selama di kota pelajar.
Bicara soal lawan jenis, sebenarnya
ia tak begitu tertarik urusan itu. Baginya, itu hanya menghambur-hamburkan
waktu percuma dibanding harus bekerja demi menyambung kehidupan keseharian
hingga selesai kuliah. Meski sebenarnya ini bukan berarti dia tidak
menyukai lawan jenis. Melainkan memiliki standar yang cukup tinggi. Namun
lelaki yang selama ini ia temui, tidak ada satupun yang dianggap sesuai dengan
standart dia. Inilah yang menyebabkan dia tampak arogan dan acuh pada lelaki.
Ada satu lagi alasan yang
membuatnya pantang pacaran. Di mata dia, lelaki adalah "beban hidup"
atau tepatnya mirip "Bom waktu" yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Karena sebagai perempuan, ia sudah terbiasa hidup mandiri, bahkan membiayai
keperluan sekolah hingga kebutuhan sehari-hari. Jadi andaikata ada seseorang
yang bakal membelenggu hidupnya, baginya ini seperti bom waktu. Apalagi ia
membenci anggapan bahwa, perempuan itu makhluk lemah yang tidak berdaya dan
harus dilindungi.
Dulu sekali ada sosok
lelaki yang sempat mencuri perhatiannya. Ya! Dialah teman lelaki semasa duduk
di bangku sekolah menengah pertama yang meninggal karena peluru nyasar di depan
Sekolah. Dan hingga hari rasanya ia belum ketemu dengan lelaki yang mirip
dengan anak lelaki itu, sampai-samapi ia mengubur dalam-dalam untuk menemukan
lelaki pilihannya yag bakal menemaninya sisa hidup.
8
Malaikat tak
bersayap
Siang itu udara terlalu panas
dari hari-hari sebelumnya. Chika yang membawa pulang angin segar berita proyek
Kehutanan dari sebuah LSM asing membuatnya bersemangat menulis proposal yang
bakal ia ajukan. Dan kini, ia membawa setumpuk buku yang siap dijadikan
referensi bahan tulisannya yang bakal ia tulis menggunakan laptop pinjaman
Rendra.
Tapi tiba-tiba saja Hendrik dan serombongan
temannya datang ke kostannya. Di sana mereka mulai gurau dan ngobrol kesana
kemari, beberapa ada yang mengeluarkan gitar dan mulai bernyanyi.
Kamar Hendrik yang letaknya
paling depan memang sering dijadikan Basecamp anak-anak AMI. Apalagi
detik-detik seperti saat ini banyak aktivis Mahasiswa mengupayakan kondisi
ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja dengan turun ke jalanan untuk
menyampaikan aspirasinya ke pemerintah.
Chika yang masih duduk di teras
lantai dua depan kamar Hendrik langsung menepuk jidat saat tahu mereka bakal
lama duduk-duduk di sana seperti biasanya. Ia mencoba fokus pada deretan
paragraf demi paragraph yang ia baca, namun telinganya tetap awas mendengar
diskusi kecil di antara keriuhan suara mereka yang ngobrol kesana kemari.
Matanya yang kecil sejenak memburu suara diskusi kecil itu.
Dia adalah lelaki tampan yang
sebenarnya wajahnya tidak asing lagi. Tapi pernah ketemu dimana ia tak punya
waktu untuk memikirkan itu.
Gadis dengan rambut pirang
terkucir sebahu itu mulai kesal mendengar mereka gaduh. Ia melotot kesal pada
mereka semua tanpa ekspresi apapun kecuali wajah dinginnya. Apalagi saat ada
satu orang datang dengan membawa motor knalpot brong yang suaranya benar-benar
memekakkan telinga. Moodnya spontan njeblok
Izack si pemilik wajah tampan di
antara mereka, menoleh spontan karena merasa ada seseorang yang menatap dirinya
dari jauh. Ia kaget jika itulah gadis yang sengaja ditunggu-tunggu dari kemarin,
dan gagal ditemuinya karena ia menolak
menemui orang yang dianggapnya tidak ada kepentingan apapun.
Lelaki berkulitan tebal
kecoklatan tiba-tiba saja menghentikan petikan gitar klasiknya sambil berkecap.
"Lihat adik-adik kita
sekarang menyedihkan" ujar Hendrik melihat Chika yang berkutat pada
perbukuan dan serius mencatat
Diam-diam Izack mencuri pandang
dan memastikan bahwa gadis yang dilihatnya adalah gadis yang ia tunggu-tunggu
kehadirannya beberapa tahun silam. Ia berniat mengambil beberapa foto gadis itu
dengan kamera handphone dan mencocokkan dengan gadis yang diguyur di basecamp
AMI 2 tahun yang lalu.
"Tiap hari kegiatannya
kampus kost, kampus kost. Padahal dulu dia jurnalis muda di kampus kita lho.
Tulisannya sangat tajam dan kena banget. Makanya kita tarik ke AMI" kata
Hendrik lirih bernada kesal
“Tugas mereka sekarang di
kampus, padat Bro! Nggak seperti jaman kita dulu” kata Leo
“Sekarang proyek untuk mahasiswa
di kampus juga banyak. Jadi jangan heran, mereka lebih sibuk ngurus dunia
akademik yang melangit itu dibanding dunia nyata"
"Meskipun ketika lulus,
mereka bingung cari pekerjaan"
Sementara yang lain sibuk
ngobrol, diam-diam Izack mencari sisi lebih jelas mengambil gambar gadis itu
dengan kamera smartphone nya dan nge zoom hingga di titik terdekat.
Saat rambutnya tergerai lepas
dari karet kucirnya, saat itulah Chika sadar ada seseorang yang tengah
mengambil gambar dirinya. Tapi tetap saja ia berusaha cuek tak menghiraukan
tatapan mata lelaki itu. Ia pikir, mungkin dugaannya salah.
"Ah... yang lagi galau cari
pekerjaan" ujar Izack berusaha masuk dalam obrolan mereka setelah berhasil
mengambil beberapa gambar
"Kamu nggak tahu, emakku
jual ladang hanya untuk biaya kuliahku di Jawa"
"Dan sekarang kau masih
bisa kongkow-kongkow enak di sini, sementara mamak bapakmu susah payah di
ladang, ya?" cletuk Hayes yang diikuti tawa Izack yang sesekali curi-curi
pandang gadis di balkon.
"Hey... kau jawa, enak...
menikmati hasil pembangunan dari eksploitasi tanah kami" ujar Hendrik
nggak mau kalah
"Sudah sudah..."
"Memikirkan negara, makin
hari makin runyam"
"Itu karena kebebasan pers,
coba seperti jamannya Orde Baru"
"Ahai... kau nggak tahu
jamannya presiden ketiga kita, masih bisa ngomong begitu"
"Jamannya beliau, sekali
ada yang buat masalah, itu orang bisa dipastikan pagi mayatnya sudah tergeletak
di jalanan"
"Iya, tapi sisi lain kan
memang suasana jadi terkendali"
"Aku melihat kondisi negara
seperti ini, jauh-jauh hari aku mengkondisikan diri bakal loncat keluar
negeri" kata Acit dari jurusan Design Grafis
"Jiwa Nasionalismu payah,
Acit"
"Lah?! manusia kan memang
begitu toh, kalau dihadapkan dengan kondisi terjepit. Dua kemungkinan, dia akan
melawan atau lari"
"Terus di sini ini kita
untuk apa, kalau berpikirmu seperti itu, Acit..."
"Nggak perlu Nasionalis
buta lah. Perubahan itu terus bergulir Bro"
"Dari kesimpulan Skripsinya
Reza tentang masyarakat dunia apa coba?"
"Ada kemungkinan bahwa satu
saat mungkin kita ini tidak akan ada lagi yang namanya pemerintah"
"Kok bisa"
"Karena adanya negara
dibawah pemerintahan itu hanya membuat perang dunia pecah berkali-kali"
"Lha terus?"
"Lalu siapa yang
menggerakkan?"
"Korporasi lah"
"Kelemahannya sebuah
pemerintahan itu kadang hanya untuk memoderasi sekelompok orang untuk
menggoalkan kepentingannya dengan berbagai cara"
"Bisa jadi sih, lihat
fenomena diaspora masyarakat dunia hampir merata"
"Kalau bicara soal
Diaspora, sebenarnya diaspora orang Indonesia di luar negeri juga banyak
lho," ujar Izack cool down
"Jadi kalau dibilang
ancaman. Yah.. bisa iya, bisa tidak"
"Tapi menurutku itulah yang
dinamakan dengan Perubahan, mau nggak mau, suka nggak suka, enak nggak enak,
harus dihadapi"
"Bisa saja negara berkuasa
penuh mengendalikan rakyatnya, tapi nanti akhirnya seperti yang terjadi di
Korea Utara atau China"
"Memangnya kalian
mau...?"
"Kita ini termasuk bangsa
yang maju, kau bilang itu terjadi hanya di Jawa"
"Lihat di kota-kota
daerahmu, seberapa banyak anak mati karena busung lapar. Kalaupun ada, sekali
viral, pagi itu bantuan sudah ngalir"
"Itu artinya apa?"
"Dengan budaya kita yang
suka tolong menolong, ditambah jumlah masyarakat menengah ke atas semakin
bertambah banyak. Tanpa turun tangan negara, cukup kok, kita mengcover kebutuhan
rakyat yang kekurangan. Bahkan mungkin lebih"
"Bahkan ada yang bilang,
kita bantingan untuk membayar hutang negara, sebenarnya lebih dari kata sanggup
"
"Tapi masalahnya, hari gini
siapa yang bisa dipercaya untuk mengelola. Lalu akankah negara hutang lagi jika
hutang sebelumnya berhasil kita lunaskan"
“Nah itu dia!”
"Posisi kita ini sebenarnya
posisi yang strategis, karena kita bisa turun ke ranah akademik, ranah hukum,
maupun ranah publik"
Entah sejak kapan Chika
bertopang dagu memperhatikan gaya khas Izack menceramahi anak buahnya. Ia
tersenyum sinis melihat lelaki itu terus bicara yang membuat Izack sadar ada
seseorang yang sedang menatapnya dari kejauhan.
Chika baru sadar ia sama-sama
saling menatap.
Chika yang berusaha mengalihkan
perhatiannya dengan membuka buku, tiba-tiba saja tumpukan buku di atas dinding
teras itu tersenggol sikunya dan jatuh berhamburan menjebol kanopy lantai dibawahnya
yang sebenarnya memang sudah rapuh. Ia menatap kesal pada Izack yang menelan
tawa geli menatap dia kaget.
Diam-diam Izack tengah
menyembunyikan tawanya melihat Chika kalang kabut lari menuruni tangga
memunguti buku-bukunya.
Hampir saja ia menenggelamkan
seluruh wajahnya ke dalam kerah kaos turtle necknya yang cukup tebal, tapi
tiba-tiba Hendrik dan lelaki tinggi dengan alis tebal itu muncul ikut memunguti
lembaran-lembaran halaman buku yang terlepas dan puing-puing kanopy yang sudah
lapuk.
Itu semacam tontonan bagi
penghuni kost-kost'an sekitar. Hendrik yang menyadari dirinya jadi tontonan
langsung kembali berdiri.
"Hei! lihat apa
kalian!!"
Diam-diam Izack mendekati Chika
setengah membisik.
"Ini kan?? hasil kau
menertawakanku tadi" sindir Izack menahan tawa
Chika diam menahan pandangan
lelaki itu dengan bibir beradu kesal. Ia merebut kertas yang ada dalam
genggamannya yang hanya disenyumi Izack.
"Hei Bang, mahasiswa
seperti kalian itu tahu apa soal nasib rakyat?" bisik Chika
"Tahu nggak sih? telingaku
itu gatel dengar kalian demo-demo nggak jelas?"
"Bahkan kadang demo
titipan. Malu kalau aku Bang, mending balik kampung aja netek ibumu
tuh"
Spontan Izack tertawa ngikik
dengar kata-kata terakhir yang membuat Chika lagi-lagi melotot kesal.
Dari jauh mereka seperti tengah
berembuk. Termasuk teman juniornya yang tengah memainkan gitar mendadak
enghentikan petikan gitarnya saat melihat orang yang dianggap nomor satu di AMI
mendekati gadis yang dianggap kampus misterius..
"Sejak kapan dia peduli
sama cewek?" ujar Hayes heran
"Mantap…! si Bos kita ini
memang mata elang," Beny tertawa cekakaan
"Tapi serius, cewek itu tuh
aslinya cantik loh,"
"Iya seh.. tapi"
"Itulah maknanya cantik
natural, Bro!"
"Rupanya begitu ya selera
pak Bos? Hmm??"
Hayes senyum-senyum isyarat pada
Hendrik yang tengah memperhatikan keduanya.
Seperti ada yang nyangkut dalam
pikirannya, Izack diam menatap lurus Chika yang masih memunguti buku-bukunya
yang sebagian robek dan rusak.
"Oh, dia bukan cewek
biasa," pikir Izack melihat gerak gerik Chika yang menahan malu
"Ngapain lihat-lihat!"
Chika risih tatapan lelaki ganteng, sebelum akhirnya kaget bukan main begitu
mendengar suara serak lelaki tua yang selalu memakai celana kolor pendek tanpa
kaos, dengan perut selalu bergelambir.
Wajah gadis itu spontan pucat
yang langsung terbaca Izack. Lagi-lagi ia mengulum tawa geli melihat kecemasan
di wajah gadis di depannya. Namun ia masih terpasung oleh lesung pipit di kedua
pipinya saat ia berusaha tersenyum sekalipun perlahan berubah senyum masam
memperhatikan Hendrik mengalihkan
perhatian pak kost yang mulai ngomel.
"Ooohhh!" batin Izack
terpesona
Ia berusaha menyingkirkan ukiran
senyum wajah gadis itu dengan cara mengalihkan perhatiannya pada pak kost.
Leo dan Hayes yang masih
memperhatikan gerak gerik Izack sedikit geli dan mengambil beberapa foto di
kamera DSLR yang tengah ia pegang. Obrolan mereka sejenak terhenti begitu
melihat pak kost yang mulai memaki gadis tersebut.
“Bayar kost-kostan selalu telat,
listrik selalu nunggak, sekarang ganti pecahkan kanopy. Kalau besok nggak bisa
ganti, kamu tak usir dari sini mbak!” suaranya meledak membuat seluruh penghuni
kost tersedot perhatian pada mereka.
Melihat tangan gadis itu mulai
gemetaran, Izack merebut setumpuk buku dari dekapannya, Sementara Hendrik
membisiki Chika untuk segera masuk. Tapi gadis itu justru seperti menjadikan
dirinya tumbal kemarahan pak kost, sekalipun berkali-kali menahan air matanya
tumpah. Pada akhirnya jatuh juga membuat Izack makin iba.
Tak ada teman perempuan satupun
yang berani mendekat saat itu, bahkan Heni pun cenderung tidak mau ikut
campur. Dan kini semua orang menghujaninya dengan tatapan tak suka pada
Chika. Hanya Izack yang kemudian maju, lalu mengeluarkan beberapa lembar
uang dari dompetnya, tak tega melihat tangan Chika yang sudah gemetaran.
Entah apa yang dibicarakan
mereka berdua, tak lama kemudian pak tua pun pergi sambil menepuk pundak Izack
yang lebih tinggi darinya dan menatap Chika penuh kebencian.
Chika melotot melihat lelaki itu
mengeluarkan uang segitu banyak diberikan pak kost, sementara Leo dan
Hayes melongo memperhatikan pak kost yang pergi melenggang begitu saja
meninggalkan kebekuan suasana pagi itu.
"Itu orang, gendeng. Kenal
juga enggak?"
"Biarin aja... orang dia
sudah nggak butuh uang"
"Nggak mungkin kalau nggak ada
niat tersembunyi" lirih Leo senyum-senyum teringat beberapa hari yang lalu
saat melihat juniornya dilirik teman satu lettingnya.
"Lihat apa kalian?!!!”
bentak Hendrik melotot pada teman kost putri yang masih memandang aneh Chika
menekan perutnya sembari nyengir kesakitan.
Gadis itu tak berkutik, ia
bahkan merasa harga dirinya jatuh tersungkur begitu tahu lelaki yang diejeknya
memberikan ganti rugi kerusakan kanopy.
"Bang, jangan sok jadi
pahlawan kesiangan" nada suaranya tersendat-sendat menahan sakit yang
hanya disenyumi Izack saat melihat tangan gadis itu gemetaran
"Chika, kamu ini aneh.
Harusnya kamu ini berterimakasih sama Izack, bukannya memarahi dia"
"Apa urusanmu Bang, ikut
campur urusan orang lain"
"Oooorgghh... beneran kamu
ini keras kepala ya"
"Itu pak kost kalau nggak
disumbat uang sama Izack, kamu bakal jadi tontonan mereka. Ngerti kamu?!"
bentak Hendrik yang membuat nyalinya sekilas menciut
"Iya aku tahu. Tapi itu
lebih baik daripada harus melunasi uang sebanyak yang dia berikan ke pak
Kost!!" ujarnya gemetar bercampur marah
"Itu Kanopy memang sudah
rusak, kalau mengganti dengan baru, gila apa aku?"
"Pantas saja kamu tidak
punya teman kalau watakmu keras bukan main seperti itu" pupus Hendrik
menarik nafas panjang melangkah balik kehabisan akal pikir
"Dari tadi yang suruh ganti
uangku itu siapa, Non..." cletuk Izack yang spontan menghentikan langkah
Hendrik mengernyit aneh
Chika diam menarik nafas panjang
seakan meneguk sejuta kesabaran di langit
"Sudah, tolong kasih nomor
rekeningmu saja, Bang" ujar Chika tak mau bertele-tele sembari
membungkuk menekan perutnya makin keras
Membaca gerak-gerik Chika yang
sesekali nyengir kesakitan menekan perut, Izack merasa ada sesuatu yang tak
beres dengannya. Tapi melihat sikapnya yang keras kepala, ia hanya diam
mengikuti apa yang dia mau.
"Okey,"
"Kasih aku nomor telphon
yang bisa dihubungi saja, aku kirim via messenger" pinta Izack
memperhatikan wajah Chika mulai pucat
"Aku tidak ada nomor
telphon"
"Jangan bohong, mana ada
penulis freelance nggak punya nomor telphon"
"Dug!!" Chika merasa
terpukul begitu lelaki itu tahu dirinya
Ia tak mau berpikir panjang
"Oke, aku ambil kertas dulu
sama bolpen"
"Hari gini mencacat nomor
telphon pakai kertas?" cletuk Izack sengaja membuat kesal gadis di
depannya
Merasa kondisi tubuhnya yang
sudah lemah dan kesakitan luar biasa, ia tak peduli lagi dengan kata-kata
lelaki itu. Bahkan saat hendak menaiki tangga karena ketidaksabarannya, ia
sempat jatuh tersungkur membuat beberapa orang tertawa yang tak ia pedulikan
lagi meninggalkan senyum miris Izack dengan masih membawa tumpukan buku di
gendongannya.
"Huuuuu....!!"
Hendrik tertawa lebar
"Dasar kau ya"
Izack hanya tersenyum lebar
melihat teman-temannya berceloteh sembari memberi isyarat pada dirinya.
"Mantappp...! Trikmu memang
joss, Bang" celoteh para juniornya ramai
"Apaan nggak mutu!"
cletuk Hendrik
"Dibawa naik saja Bang,
buku-bukunya" kata beberapa anak kost perempuan yang sekilas respect pada
dirinya membawa setumpuk buku milik Chika
"Memangnya boleh, cowok
masuk?"
"Boleh kok,"
"Serius?!" seperti
tengah mendapatkan angin segar, Izack memberi isyarat pada Hendrik untuk
menunjukkan arah sembari membawakan buku-bukunya yang robek.
Spontan Hendrik tertawa
"Pinter kali kau ini?!"
"Jangan salah, aku cuman
mengikuti kehendak dia saja, kan?" Wajah Izack menyimpan tawa lebar
kemenangan
Sesampai di depan kamarnya, gadis
itu tengah jongkok di pintu sembari nyengir kesakitan.
"Di sini kamarmu?"
kata Hendrik yang spontan membuat Chika berdiri dengan keringat bercucuran di
dahi.
"Oh!" Chika melotot
bingung campur grogi membenahi kamarnya
"Berat ini," ujar Izack
membopong buku-buku tebal dalam dekapnya
"Oh, letakkan situ
saja" tunjuknya pada bibir pembatas teras yang hanya setinggi paha
"Nanti jatuh lagi kena
kepala temanmu" kata Izack yang membuat Chika tersenyum pasrah
"Cowok boleh masuk,
kan?" tunjuk Hendrik meletakkan buku yang di ambil alih dari tangan Izack
"Eeehhh...?!" suaranya
gugup melirik kamarnya yang masih berantakan, tapi Hendrik langsung masuk
meletakkan tumpukan buku-buku itu di sebelah pintu. Riwa-riwi teman-teman kost
di depan kamarnya yang sempit membuat Izack yang masih berdiri terpaku di depan
kamar risih memposisikan diri hingga mengajaknya turun.
Apalagi melihat postur tubuh Izack
yang atletis dan wajahnya yang tampan membuat teman-teman ceweknya yang centil
sengaja lewat menyapa Chika yang dianggap misterius selama ini
"Chika, boleh dong...
kenalkan seniormu" nada genit dua orang cewek centil dengan baju tank top
yang membuat Izack risih dan menerobos masuk kamar Chika
"Temanmu kok serem-serem
gitu?" cletuk Izack yang spontan ditertawakan Hendrik
"Makanya kalau punya wajah
itu jangan ganteng-ganteng, repot kamu ketemu cewek seperti itu"
Saat berdiri di depannya, Chika
mesti mendongak lebih tinggi. Padahal ia menganggap Hendrik sudah termasuk
cukup tinggi dibanding seniornya yang lain. Kali ini ia berusaha mengingat
wajah di depannya yang tak asing dalam benak memorinya.
"Tapi siapa...?" pikirnya
makin melilit rasa sakit di perut
"Tulis sini nomor
rekeningmu, Bang" ujarnya nyengir kesakitan
"Aku minta nomor telphonmu
saja, ada nomor massanger, kan?"
Chika nyengir tidak enak "Aku...
tidak ada" suaranya parau tersendat menekan rasa nyeri di perut yang
muncul tenggelam bagai ditusuk-tusuk jarum. Tapi lagi-lagi melihat sekilas mata
bulat beralis tebal di depannya membuat memorinya kembali terusik. Namun untuk
mengingatnya, ia merasa sudah tidak kuat hingga duduk bersimpuh sambil meringis
kesakitan menggigit bibir bawah dengan keringat dingin mulai menetes di
punggung dan wajahnya.
"Kenapa ini orang tidak
segera pulang" pikir Chika kesal berharap bisa segera tiduran
"Handphone ku hanya bisa
untuk kirim pesan dan telphon saja kok, Bang" ujarnya menunjukkan ponsel
batangan kecil keluaran tahun 2000an awal
"Oh...?!!"
"Lalu bagaimana dengan
tugas kuliahmu?"
"Heni sekelas denganku,
biasanya dia yang kasih info apa-apa dari grup" ujarnya nyengir
membenamkan wajah ke pangkuannya dengan posisi bersila
"Oh, begitu,"
"Sudah, nggak apa-apa,
nomormu saja. Tapi selalu hidup, kan?
"Insya Allah lah..."
suaranya dalam pangkuan dan hanya menyodorkan nomor kontak di handphonenya
Izack sadar begitu jarinya
tersentuh dengan jari Chika yang kepalang beku.
"Kenapa kamu?!"
Hendrik masih terkesima dengan
tulisan-tulisan di dinding tidak begitu peduli dengan keduanya.
Kita adalah pemilik masa depan,
kencangkan ikat pinggang untuk menang.
Kami sejajar dengan yang lain,
tegapkan punggung untuk melihat segalanya lebih luas dan dalam.
Katakan Aku Bisa
"Kamarnya anak cerdas sama
mahasiswa reguler itu memang beda ya," puja Hendrik menurunkan pandangan
pada Izack yang melotot kaget penuh isyarat pada Chika yang sudah tak berkutik
meringkuk kaku dan dingin
"Kenapa dia Bro?" Izack
merasa bersalah
Hendrik melotot "Chik,
Chika! kamu tidak apa-apa kan?!"
Kali ini Chika sudah tak lagi
bersuara, tubuhnya terhempas jatuh meringkuk ke samping sembari menjerit
dalam.
"Bagaimana
ini?!"
"Bawa ke Rumah Sakit
saja!"
Hendrik terdiam sejenak menatap Izack
dalam.
"Sudah! biaya
belakangan"
Tanpa berkata lagi, Izack
langsung mengangkat Chika yang meringkuk kaku berkeringat dingin. Bahkan saat
diangkat, ia menjerit kesakitan menekan perutnya yang sudah tak mampu membuka
mata.
"Kenapa, Bang?!"
isyarat Heni dengan wajah manisnya menunjuk Chika dalam gendongan Izack
"Entah"
“Ringan sekali badanmu?”
“Apa kamu nggak pernah makan,
huh?!”
Chika mendengar kata-kata Izack
yang lirih sudah tidak mampu ia tanggapi, bahkan ia hanya melihat sekilas dagu
lelaki tersebut yang nyaris sempurna. Dalam kondisi koma, ia sempat terbayang
peristiwa dua tahun yang lalu dimana lelaki itu muncul dan menawarkan senyum
kepadanya. Tapi ia tidak ingat peristiwa itu kapan terjadi dan dimana, semua
bercampur aduk dengan rasa sakita yang sudah tidak mampu ia tahan.
Setengah berlari Izack menuruni
anak tangga. Ia tak menghiraukan tatapan anak kost di ruang tamu, bahkan ada
suara sumbang yang terdengar sayup-sayup.
"Haduuu...h lebay amat itu
anak, baru dimarahi begitu saja sudah sakit," mendengar cletukan itu
Hendrik yang berjalan di belakang Izack menuruni anak tangga seketika
berurat
"Hei mbak! Tahan
kata-katamu atau aku sobek mulutmu!"
"Hei... Bro-bro!! Tolong
bukakan pintu mobil aja!!" isyarat Izack tergesa-gesa
Tatapan sinis benar-benar nyolok
mata. Dan Chika sudah tidak sanggup melihat semua peristiwa itu. Setengah
lari Hendrik menuju tempat parkir yang tepat berada di sebelah kost putri.
Spontan ia menjerit kesakitan
begitu digeletakkan di jok belakang.
“Aaaakkkhhhh!!!” jerit
lengkingnya kesakitan
"Bang... ke puskesmas saja.
Aku maag" suaranya lirih nyaris tak terdengar.
"Apa Chik?"
"Pus. kes. mas..."
suaranya tersendat sendat nyengir kesakitan
"Apa katanya?"
"Puskesmas saja,"
Izack menggeleng kesal. Ia tak
menghiraukannya lagi dan menggeber laju kendaraan secepat maglev yang beberapa
kali nyaris menabrak kendaraan lain.
Begitu sampai di depan ruang
loby Rumah Sakit, beberapa perawat sigap membawakan kursi roda. Tapi melihat
gerak Chika yang lambat dan sempoyongan, Izack tak sabar seketika mengangkat
gadis itu yang langsung digladak perawat yang berlarian mendorong ke salah satu
bilik bertirai.
"Salah satu masnya urus
administrasi" ujar perawat sambil cek kondisi tubuh yang tak lama datang
dokter nyaris berlari.
"Oke Bro, tolong kamu ikuti
dia" ujar Izack pada Hendrik sembari berjalan cepat menuju ruang
administrasi.
@@@
20 menit kemudian
Di balik bilik bertirai, Chika
yang masih terdiam dengan keringat dingin pucat menahan sakit, hampir saja ia
tak kuat bersuara, apalagi berbicara.
"Maaf ya mbak..." ujar
dokter membawa stetoskop. Chika setengah malu membuka perutnya. Tapi Izack dan
Hendrik langsung paham, ia mengalihkan pandangannya.
"Sejak kapan sakitnya,
mbak?" tanya dokter sambil meletakkan stetoskop ke sekitar perut
"Sudah biasa saya begini,
dok?!"
"Biasanya hanya berapa
menit sembuh, tapi tidak tahu ini kenapa.." nafasnya tampak
tersengal-sengal menahan rasa sakit
"Tidak apa-apa kan?" tanya
gadis itu tak sabar menahan keringat dingin
"Tolong cek semua saja
dok," ujar Izack tanpa ragu
"Weikkk?!!" Hendrik
melotot memalingkan wajahnya pada teman lamanya yang disambut demikian juga
oleh Chika yang mulai marah, hingga ia kembali melengking kesakitan. Dan Izack
tak menghiraukan tatapan tajam gadis itu. Ia justru menjalin komunikasi dengan
dokter muda tersebut sembari menggiringnya keluar.
Bayangan biaya semakin
membengkak membuat Chika makin tegang dan makin kesakitan hingga beberapa kali
terdengar merintih-rintih.
"Okey, kita akan CT- Scan
nanti Mas. Karena jika dilihat dari gejala, ini bukan hanya Maag. Tapi harus
puasa dulu dari sekarang" ujarnya sembari memastikan semua dan keluar
bersama iring-iringan beberapa perawat.
"Siap dok,"
Chika mendelik,
"Kira-kira berapa nanti
biayanya dok, kalau CT Scan?" katanya sembari hendak bangkit.
Izack menghempas nafas kesal
mendengar pertanyaan itu sembari langsung menahan pergelangan tangannya
agar tetap tertidur.
"Akhhh...." pekiknya lagi
melengking kesakitan menahan perut
"Asal kamu sehat, biaya
bisa dicari, Chika" ujar Hendrik
"Semoga ada jalan yang
terbaik biar kembali sehat, ya mbak.." ujar dokter sembari pamit dan
berlalu meninggalkan bilik bertirai ruang UGD.
"Yang ditanyakan apa...
jawabannya apa...?" matanya memutar kesal
Saat rombongan dokter dan
perawat pergi, raut Chika spontan bersungut-sungut. Ia berusaha bangkit berniat
bangun dari bed besi putih. Tapi lagi-lagi ia kesal dengan rasa sakit
yang membuatnya nyaris pingsan.
"Chika!" teriak Izack
dan Hendrik melihat gadis itu hendak turun. Tapi perawat sigap menahan tubuh
Chika yang hendak limbung oleh keseimbangannya dan mengembalikannya ke
atas bed.
"Sing sareh ya mbak...
biar sakitnya disembuhkan pak dokter dulu"
Spontan Chika menangis tanpa
suara, kecuali isak tangisnya yang berusaha ia tekan dengan mengusap air mata yang
berulangkali berhasil ia bendung.
“Buruan mbak," pinta Izack tak
sabar melihat dua orang perawat memasukkan suntikan ke dalam pembuluh darahnya,
hingga akhirnya mereka menggladak bed ke salah satu bilik kamar rawat inap VIP.
Chika tampak menghela nafas
kesal begitu masuk ke kamar dan melihat ruangan yang tidak terlalu luas, namun
cukup lengkap dengan barang elektronik dan dua sofa tempat tidur penunggu.
Begitu melihat kedatangan Izack, Chika bersungut dan melengos kesal.
Ia menelan saliva kesal sembari
menahan rasa sakit perut berusaha mengambil posisi duduk.
"Bang," ujarnya
kehabisan kata-kata
"Aku nggak
main-main"
"Keluarkan aku sekarang
juga dari sini"
"Aku sudah biasa sakit
seperti ini" katanya berusaha bangkit dari bed
"Gubrak!!!!" badannya
jatuh terhempas, kepala terbentur bibir besi bed membuat selang infus pun
ketarik hingga terlepas membuatnya melengking kesakitan
"Akhhh!!!" Nyaris saja
gadis itu hilang kesadaran menahan antara rasa sakit hebat dan rasa cemas
berlebihan. Saat itulah ia seperti pasrah dalam diam sembari menitikkan air
matanya perlahan yang seketika itu dihapus.
Izack lari keluar dan kembali
masuk dengan diikuti dua orang perawat yang tergopoh-gopoh membawa peralatan
mengangkat Chika kembali ke atas bed dengan bantuan Hendrik.
"Sabar mbak..." ujar
perawat mulai membuka dialog mencoba menenangkan Chika
"Obat penenangnya sudah
masuk, kan?" tanya Izack
"Sudah kok, sudah"
jawab perawat
"Kapan terakhir kali
mbaknya makan?"
"Aku puasa mbak"
"Oh... bagus kalau begitu,
kita langsung tunggu antrian di ruang CT Scan saja"
Izack mengangkat ponselnya
keluar.
Begitu Izack keluar, Chika mulai
ngomel.
"Bang... aku kuliah saja
kudu kerja mati-matian cari biaya, ini kerusakan tadi belum aku bayar, sekarang
masuk Rumah Sakit di ruang seperti ini, memangnya aku harus jual ginjal buat
bayar hutang?"
"Sini! berapa to? harga
ginjalmu?" suara itu membuat Chika spontan kaget
"Biar sehat dulu, nanti
kalau mau jual ginjal urusan belakangan" cletuk Izack yang disambut tawa
Hendrik seketika
"Kamu ini, Zack. Ada ada
aja"
"Lha iya? aneh-aneh aja
kok. Sakit ya ke Rumah Sakit"
"Kalau mau bunuh diri
jangan nanggung begini, sekalian ke Timur Tengah sana, biar jasadmu nggak
sia-sia kalau mati" ujar Izack kesal membuat Chika langsung bersungut
menekan perut yang disambut tawa geli Hendrik
Rautnya langsung mengkeret
begitu Izack dengan percaya dirinya langsung duduk di sofa sebelah bed. Ia
bahkan tak berani menatap langsung lelaki yang baru pertama kali ia lihat dari
dekat.
"Bang? sebenarnya ada niat
apa kamu mengantarku kemari?" kata-katanya tersendat keceplosan membuat
Hendrik senyum-senyum meninggalkan ruangan itu.
“Silahkan selesaikan urusan
kalian, aku cari makan dulu”
Jujur saja sebenarnya Chika sempat
tersanjung saat dibopong lelaki dengan rambut lurus disasak rapi terbelah oleh
poninya yang hampir menutupi sebagian alis matanya yang tebal. Tapi ia sadar
diri, siapa dirinya, dan siapa lelaki di hadapannya. Ia hanya tak ingin salah paham
dengan perasaan sejenak tadi.
“Siapa sih aku? Mahasiswa kere
yang mengais receh demi selembar ijazah di kota pelajar” pikirnya menekan
perasaan yang nyaris saja melambung.
Melihat Chika kesulitan bangkit,
Izack segera menekan tombol ranjang hingga posisi duduk membuat Chika kembali terpesona
dengan kebaikannya.
"Bantuanmu bisa jadi
malapetaka kuadrat bagi kehidupanku, Bang"
"Maksudnya saat kamu
pingsan tadi, harusnya kita tinggal pergi?"
"Atau... Saat kamu
menjatuhkan buku-bukumu dan menjebolkan kanopy, kita diamkan saja, lanjutkan
diskusi. Begitu?"
Chika terdiam seperti disekap
mulutnya.
"Semua lelaki pasti
akan menolong, Chika... Itu wajar" ujar Hendrik yang tiba-tiba muncul
"Yang tidak wajar itu
menolong dengan biaya besar" bisik Hendrik senyum-senyum di belakang Izack
"Bang! menolong dengan
bantuan fisik, itu wajar. Tapi memasukkan aku ke Rumah Sakit dengan ruangan
yang sebegini bagus, lalu harus CT-Scan, aku harus bayar dengan apa?"
"Hidupku sudah sulit,
tolong jangan menjeratkku dengan kesulitan yang lain"
Izack diam sejenak menatap wajah
putihnya yang pucat dengan rambut hitam kemerahan acak-acakan tergerai sebahu sembari
membayangkan bagaimana kerasnya kehidupannya.
"Chika,"
"Pernahkah kamu sadar
dengan tubuh fisikmu?"
"Dengan organ tubuhmu yang
kamu paksa bekerja keras sampai terluka. Dan itupun kamu masih tidak mau
peduli"
"Mereka itu juga makhluk
Tuhan, loh!"
"Cukup!"
"Aku tidak mau dengar
ceramahmu, Bang.. Tahu apa kamu dengan kehidupan orang-orang seperti
kami?"
"Iya... Aku memang tidak
tahu"
"Tapi perlakuan fisikmu
sendiri itu terlalu kejam"
Tidak tega mendengar orang sakit
diajak ribut, Hendrik kembali keluar dan menutup pintu begitu saja.
"Kamu sadar tidak sih, kamu
itu cewek hebat loh"
"Sejak Awan memasukkan
naskah bukumu ke tempatku, aku sering baca artikelmu di mass media"
"Aku menolongmu bukan
sekedar cuma-cuma, tapi karena aku melihat potensimu yang besar bisa
dikembangkan lebih lagi. Apalagi naskah buku yang dulu pernah kamu kirimkan itu"
ujar Izack meletakkan tablet dengan foto naskah buku.
Sembari menyeka air matanya,
Chika yang tertunduk melirik foto yang ditampilkan tablet di atas pangkuannya, spontan
melotot membenjatkan mata.
"Sekarang aku tanya, dimana
bukumu yang dulu aku minta ketik ulang itu”
“Kenapa tidak pernah kamu
kembalikan?"
"Inilah yang membuatku
datang ke Yogya untuk menemuimu"
"Tapi kamu menolak menemuiku"
"Kapan?!" Chika kaget
spontan mengerang kesakitan menekan perutnya
"Aku minta tolong Heni
untuk memanggilkanmu, tapi kamu menyuruhnya tutup pintu dari luar"
"Oh," rautnya merasa
bersalah
Chika mulai paham alasan lelaki
itu menolong dirinya, tapi ia masih belum paham. "Mengapa sampai sebesar
ini pertolongan pada dirinya"
"Tapi melihatmu belajar
serius seperti itu, aku merasa bukan waktu yang tepat untuk mengganggumu"
"Berarti?!"
"Hm! aku sudah tahu sedikit
banyak tentang dirimu"
"Jadi, soal biaya Rumah
Sakit aku punya jaminannya, sekalipun entah bisa terbit atau tidak"
Spontan Chika meraup wajah dan menenggelamkan
wajahnya ke dalam lutut yang tertekuk ke dada. Izack yang hendak menepuk
pundaknya langsung ditangkis tangan kecil itu.
"Sory! Aku nggak suka
disentuh, apalagi lelaki" ujarnya dingin
"Oh, maaf" Izack
menyemburkan senyumnya dan meremas tangannya sendiri merasa bersalah
"Boleh menolongku, tapi
tidak untuk kamu manfaatkan"
"Cziahhh!!" Izack tertawa
geli
"Baru kali ini aku lihat
cewek dalam kondisi sakit, terpuruk, masih bisa juga menolak rengkuhan"
pikirnya menarik nafas bingung sembari mengambil tabletnya.
"Luchika Aria" sebut Izack
membaca naskah pada layar tabletnya
"Nama yang keren, se keren
tulisannya"
"Jangan salah, itu kakekku
yang menulis, Bang. Aku cuma mengumpulkannya saja tulisan-tulisan beliau lalu
merangkumnya"
Izack hanya menjulurkan alisnya
dan berpaling menatap wajah Chika dalam.
"Siapa sebenarnya kamu ini?"
Chika berkecap melengoskan wajah
dengan raut pucat menahan sakit yang datang dan pergi.
"Sudah aku duga, kamu nggak
jauh beda dengan orang-orang yang menguntitku"
"Menguntit gimana
maksudnya?"
Lagi-lagi Chika mengerang
kesakitan
"Bang... tolong, aku nggak
mau berdebat lagi denganmu. Sudah nggak kuat sakitku "
"Oh, sory-sory.
Istirahatlah dulu. Kalau ada apa-apa, pencet tombol itu"
"Hm," Chika
mengedikkan mata dan bergegas membaringkan tubuhnya yang dibantu
menurunkan bed pada posisi tidur.
Saat itu Chika mulai memjamkan
mata dan Izack pun meninggalkan ruangan itu dan menutup pintu
@@@
Jarum jam menunjukkan pukul 7
malam, Chika yang baru saja kembali dari unit Radiologi, setengah berlari
dokter masuk ke kamar Chika.
"Mbak, mbak.. sudah makan
belum?"
"Belum dok,"
"Jangan makan dulu, nanti
30 menit lagi kita akan operasi. Ususnya ada yang robek"
"Duarrrrrrr!!!" serasa
petir menyambar di kepala mendengar berita dokter
"Operasi kecil kan
dok?"
"Ya operasi besar
mbak..." balas perawat berasa seperti dicekik,
Chika diam seribu bahasa dengan
mata berkaca-kaca perlahan menekan air mata yang akhirnya tumpah juga sambil
menghirup nafas dalam, ia tak lagi bisa merasakan rasa nyeri lagi. Bahkan
jiwanya seperti melayang melayang, berharap ia sudah mati atau bahkan ini
adalah terakhir kali melihat bagaimana hiruk pikuknya dunia.
"Jadi ususnya mbak ini ada yang
robek dan harus dipotong untuk disambung lagi. Makanya mbaknya merasakan sakit
luar biasa karena sisa makanan yang harusnya dikeluarkan justru keluar dari
usus"
"Sudah ya mbak.. berdoa,
persiapan dulu semoga operasinya berjalan lancar" kata perawat
Izack dan Hendrik diam
terpasung.
"Oke Bu,
terimakasih" ujar Izack yang tak lama kemudian rombongan dokter dan
perawat itu keluar dari bangsal.
"Sudah.. tidak apa-apa..
yakin semua akan baik-baik saja" kata Izack tenang dengan wajah tetap
optimis.
"Tidak apa-apa
gimana?"
"Kamu pikir aku bayar pakai
apa ini semua?"
Izack meraup
wajah kecele menyimpan tawa
"Ahhh... lagi-lagi
uang"
"Lha iya, memangnya mau
dibayar pakai kertas hvs?" Cletuknya menahan suaranya berat tertahan di
tenggorokan. Tapi kali ini si gadis benar-benar tidak bisa membendung
pertahananya yang perlahan rapuh dan menangis sejadi-jadinya.
"Chik, Izack sudah
membawamu kemari itu artinya dia sudah siap dengan segalanya. Termasuk biaya
semua Rumah Sakit"
"Iya, tapi aku harus lunasi
hutangku dengan apa?!" teriaknya dengan suara parau hingga tangisnya pun
pecah sejadi-jadinya
“Andaikan uang itu bukan
masalah, kamu tidak takut kan untuk di operasi?”
“Kalaupun Tuhan mau mencabut
nyawaku, itu lebih baik daripada aku nggak bisa membayar tagihan hutangku yang
sudah menumpuk banyak, Bang!”
"Apalagi naskah yang masuk
ke penerbitannya belum tentu bisa diterbitkan"
“Hah..! Chika.. Chika!”
“Orang mau masuk ruang operasi
itu biasanya takut karena peralatannya, tapi ini kamu masih sempat-sempatnya
memikirkan biaya dan hutang” kata Hendrik geleng-geleng heran pada Chika yang
masih keder dan itu membuat Izack hanya menyembunyikan senyumnya memperhatikan
bibir gadis imut yang yang tipis makin terlihat seksi saat basah terkena
cucuran air mata dan ingusnya membasahi wajah.
Lagi-lagi saat kedua lelaki menatap
hanya tersenyum geli membuyarkan kemarahan Chika.
"Sudah Non... tenangkan
pikiranmu dulu, operasimu biar bisa berjalan lancer”
“Uang mah bisa dicari" tambah
Hendrik
Saat itu dua perawat kembali
datang mencoba menenangkannya.
"Ayo mbak, belajar
tenangkan pikiran dulu ya. Kita berdoa semoga operasinya berjalan lancar dan baik"
kata perawat sambil menggladak Chika keluar dari unit diikuti Izack yang
berdiri di sampingnya, sementara Hendrik berjalan pelan di belakang mereka.
@@@
Malam kian terasa mencekam
menunggu Chika selesai operasi. Izack juga tak tahu, mengapa hari-harinya
mendadak terlalu spesial sekalipun ia tahu, Rumah Sakit bukanlah tempat terbaik
untuk mengenal gadis ini lebih jauh.
"Kamu ini gila ya, kenal
juga enggak. Berani-beraninya tanggung biaya Rumah Sakit"
Izack menarik nafas dalam sambil
tersenyum "Aku tahu dia lebih banyak daripada kamu, Bro. Tenang saja"
Hendrik mengernyit
"Darimana?"
"Adalah,"
"Ya... ya ya! Anak jendral
memang lebih mudah mendapatkan informasi apapun, bahkan cewek yang sedang
ditaksir sekalipun" Hendrik manggut-manggut bingung darimana dia mendapat
informasi latar belakang tetangga kostnya
"Lalu, kalaupun tahu dia
lebih banyak. Bukannya membantu biaya operasi di Rumah Sakit Internasional itu
gila?" tanyanya heran memperhatikan wajah Izack yang masih tetap tampak
tenang.
"Lagipula ada apa dengan
wajahmu? sudah se larut ini matamu masih saja on dan segar" kata Hendrik
heran
Seperti ada yang terbetik dalam
ingatannya Hendrik melotot tertawa "Jangan bilang kalau kamu naksir dia
sejak ulang tahunmu dua tahun lalu ya?"
Izack diam tak menjawab, tapi
dari pancaran sinar wajahnya ada senyum lebar tergambar.
"Beneran?"
"Plakkk!!!" Hendrik
memukul pundaknya keras
"Aduh! apaan sih,
sakitlah"
“Ya masak dari dulu kamu nggak
paham juga?” kata Izack
“Seriuss?!!” Hendrik melotot tak
percaya
Izack tetap diam tak menjawab
sedikitpun
“Wuaahhhh…” bertepuk tangan
“Ternyata begini ya, cara kerja
orang elit naksir cewek?” Hendrik manggut-manggut
Malam itu, di depan ruang operasi
suasana terasa senyap dan kosong. Entah perasaan apa, tapi Izack enggan beranjak
dari sana membuat Hendrik mondar mandir lelah menunggu.
"Ngomong-ngomong, keluarganya
meninggal dalam peristiwa pembunuhan oknum tak dikenal itu berarti
beneran?"
"Hm, Iya, ayahnya sekarang
jadi eks tapol di Pulau Buru"
"Ouch... mantap bener, info
yang kamu dapat"
"Dengar darimana?"
"Kami yang di Pusat, daftar
anggota yang punya latar belakang khusus pasti bakal diketahui, Bro”
“Dan hari ini mencari data
semacam itu bukanlah hal sulit”
“Mantap… kok bisa?”
“Bukankah keluarganya sudah
meninggal semua?”
“Ah… hari gini, Bro! mudah itu”
“Tapi…???”
“Kami punya tim khusus”
“Bagaimana cara kerjanya? Datang
langsung saja ke Pusat dan kamu bakal tidak akan mendapatkan apa-apa” spontan Izack
tertawa cekakaan
“???”
“Rahasia?”
“Ya tentulah,”
“Sebenarnya seseorang ketika
masuk AMI itu seperti membuka dirinya untuk dibongkar lebar-lebar profilenya”
“Berarti kamu tahu dong, latar
belakangku?”
Izack hanya tersenyum lebar
“Tenang, itu sifatnya rahasia
kok”
“Hanya orang-orang tertentu yang
tahu?”
“Kemarin waktu Kongres Nasional
pemilihan ketua umum, profileku terpampang luas ke daerah. Tapi begitu kongres
selesai, data musnah semua di Situs AMI maupun laman pencarian internet”
“Makanya ketika kemarin aku
menolong Chika, pikiranku sudah berkecamuk”
“Dan hari ini bener berita itu
muncul”
“Terus gimana itu?”
“Cari saja di laman pencarian”
Hendrik kembali membuka isyu
miring Izack di smartphonenya, namun tak satupun yang muncul.
“Oakhh… keren!”
“Bawahanmu yang bekerja?”
“Hari ini kalau kita nggak
seperti itu, bisa mudah dibombardir orang luar Bro”
“Iya, benar juga ya?”
“Hm”
“Ohh… ternyata AMI tidak seperti
organisasi politik mahasiswa yang aku kenal dulu ya?!”
“Makanya, ayok selesaikan
kuliahmu. Kejar jabatan di pusat, cepat benar itu jika kamu ingin mendapatkan
jabatan di jajaran pemerintah pusat. Karena senior kita juga banyak di sana”
“Tolong emakmu biar hidup enak
dan bangga punya anaknya sukses di Jakarta”
“Ya… meskipun sikut menyikut
tetap ada, Bro. Namanya juga manusia”
Sunyi.
Keduanya diam membisu seperti
tengah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
“Bicara soal Chika, aku jadi
ingat kata-katanya siapa dulu ya?” pikir Hendrik menerawang
“Ada yang ngomong begini; Di
desa pamannya Chika itu ada hukum adat yang cukup aneh"
"Kenapa?"
"Jadi, kalau ada laki-laki
yang datang bersama anak gadis desa itu malam-malam, bakal di gruduk warga desa
dan dinikahkan"
"Ah, benar apa?"
“Benar!”
"Sepertinya Chika juga
pernah menulis itu kok, di koran online"
"Oh iya, aku sempat baca
yang itu"
"Sudah lama kan dia menulis
itu"
“Hm”
"Waktu itu ada yang
bercanda"
"Chika itu kan orangnya
sulit"
"Jebak dia, ajak ke rumah
pamannya saja malam-malam" tawa Hendrik terkekeh membuat Izack diam tampak
tidak suka dengan perlakuan melecehkan seperti itu
“Iya, kamu dulu pernah cerita
soal itu” kata Izack lagi
"Sesulit apa
memangnya?"
"Pokoknya sulitlah, dia
anaknya terlalu serius, tidak peduli soal orang lain”
“Waktunya hampir habis seharian
untuk pekerjaan sampingan dan belajar serta kuliah, jadi tidak ada waktu untuk
ngobrol seperti anak-anak mahasiswa lainnya"
Hening,
Izack diam menyandarkan
punggungnya membayangkan pertemuan dua tahun yang lalu, saat ia pergi begitu
saja tanpa bisa mengenal lebih jauh, karena email dan pesan singkatnya tidak
pernah dibalas sama sekali. Tiba-tiba Hendrik melirik curiga pada Izack.
"Ngomong-ngomong... Bener
juga kecurigaan Chika sama kamu”
“Serius ini kamu?!”
Izack hanya senyum tak menjawab.
Begitu seorang dokter keluar
dari ruang operasi, Izack langsung terbangun.
"Gimana dok?"
"Alhamdulillah operasi
berjalan lancar mas,"
"Sementara ini kami bawa ke
ruang sadar dulu, nanti saat dia bangun akan kami bawa ke unit perawatan"
"Ok, dok. Terimakasih"
Izack menarik nafas lega.
Hendrik membaca raut itu seperti tengah menunggu istri sakit. Ia hanya menepuk
pundak sambil tertawa geli.
"Sabar, Bro!" ujarnya
sambil berlalu pergi
“Kamu pernah dengar kasus di
Pengadilan tidak sih?”
“Gara-gara seseorang mati
serangan jantung di depan temannya, temannya dituntut di Pengadilan loh?”
“Ah… itu mah jauh”
“Loh, Bro!”
“Benar dia sakit sendiri. Tapi
apa jadinya jika dia posisi kesakitan seperti itu kita tinggal dan yahh..
katakan sampai meninggal. Kita bisa dituntut lho, dikira dikasih apa coba?”
“Hm, jadi itu yang kamu
pikirkan?”
“Ya iyalah!”
“Lalu kamu naksir dia itu,
beneran?”
Izack menarik nafas panjang dan
beranjak pergi dari tempat duduknya yang langsung dikejar Hendik mengikutinya
dari belakang.
@@@
Saat adzan subuh terdengar,
Chika kembali digladak masuk ke unit perawatan. Mendengar pintu dibuka, Izack langsung
terbangun dan menyapa kedatangan gadis itu yang tergolek lemah dengan
selang dipasang di sana sini. Melihat itu Izack menarik nafas miris melihat
gadis yang dikenal keras kepala tergolek tak berdaya.
"Ini puasa dulu ya mas,
boleh minum nanti atas rekomendasi dari dokter" kata perawat sambil
membenahi selang yang masih terpasang, termasuk tabung oksigen.
"Siap, Bu…"
"Aku tidur dulu, Bang… mataku
nggak bisa melek" ujar Chika pada Hendrik yang seketika itu matanya
terpejam erat.
“Oh, iya Chik. Istirahat saja
dulu”
Pagi berganti siang, siang
berganti sore, sore berganti malam. Gadis itu hanyamembuka matanya sesekali dan
kembali terlelap, begitu terus menerus membuat Izack mulai khawatir.
“Itu reaksi morfin, Kak. Jadi
biarkan saja dia istirahat dulu”
“Tapi tidak apa-apa kan, Sus?”
“Nggak apa-apa”
“Oh,” jawab Izack menghela nafas
tenang
Hendrik hanya senyum-senyum
sambil menepuk pundaknya.
"Selama lima tahun berteman
denganmu, baru kali ini aku melihatmu secemas ini"
Izack hanya diam tak menimpali,
ia kembali keluar dan menutup pintunya perlahan yang diikuti Hendrik. Entah
yang ke berapa kalinya handphonenya berbunyi, hingga yang terakhir kalinya ia
rubah hanya getar saja.
"Kenapa tidak
diangkat?"
"Teman-teman PB"
"Kamu tinggalkan perusahaan
beberapa hari tidak khawatir terjadi sesuatu kah?!"
Izack hanya menarik nafasnya
dalam-dalam.
"Tapi aku lebih khawatir
kehilangan moment lagi dengannya seperti dulu" pikir Izack sambil menatap
langit-langit lorong ruangan.
"Bisa tidak yah, minta
tolong Hayes?!"
"Bro, kalau bisanya sih
bisa... Untuk sekedar tunggu"
"Tapi masalahnya seluruh
keputusan, kan larinya ke biaya Rumah Sakit"
"Tentu saja mereka
pikir-pikir kalau berkaitan dengan biaya Rumah Sakit"
"Ah.. itu, tidak usah
dipikir lah. Itu tanggung jawabku"
"Sampai sekarang
teman-teman kost belum aku jawab, pertanyaan mereka"
"Ngomong-ngomong... aku
sudah lapar nih. Ayoklah makan dulu" pinta Hendrik
"Ayo" Jawab Izack
mengikutinya sembari sibuk menjawab pesan-pesan yang belum terbalas sambil
melenggang keluar menelusuri lorong-lorong ruangan yang terasa senyap.
@@@
9
Itu Aku
Matahari kembali tenggelam, dan
lampu pun mulai kembali menyala. Chika mulai menahan rasa haus yang luar
biasa di saat mulut benar-benar kering tanpa saliva. Tapi dokter baru
memberinya resep berupa air 50-75ml dalam 1×24jam.
Hingga di pagi buta ia tidak
tahan lagi melihat sebotol air mineral yang tergeletak di nakas seberang bed
nya. Setengah memaksakan diri ia berusaha bangkit dan mengendap-endap turun
mengambil sebotol air mineral sisa milik seniornya. Ia tak lagi peduli milik
siapa dan persetan dengan resep dokter.
Ia hanya peduli pada
tenggorokannya yang luar biasa gatal, dengan sisa-sisa lendir yang menyumbat
dada hingga mulutnya yang kering. Ia hanya butuh sedikit air mineral untuk
mengencerkan dahak itu agar bisa keluar mengurangi rasa gatal yang menyebabkan ingin
batuk tapi khawatir dengan tekanan kuat di bekas sayatan lukanya dalam perban.
Ini bukan masalah ia bisa
bernafas atau tidak. Karena meskipun sudah memakai tabung oksigen, tetap saja
ia tidak bisa bernafas karena sumbatan lender di tenggorokannya yang terlalu
banyak.
Sesekali ia colongan meminum
sedikit air mineral di dekat bed nya hingga ia mampu batuk dan mengeluarkan
lender berwarna hijau pekat seperti lumut membuat nafasnya kembali lega.
Hingga di suatu malam, ac yang
dingin membuat tenggorokannya makin gatal dengan lendir yang makin menyumbat
tenggorokan hingga ia kesulitan bernafas. Melihat sebotol besar air mineral
bekas milik Izack, ia pun sudah tidak bisa lagi menahan untuk menenggaknya, dan
diam-diam ia mengendap-endap turun dari bed di saat Izac dan Hendrik terlelap
dalam tidurnya.
Dengan sedikit tenaga yang masih
sempoyongan, ia mulai berjalan perlahan hingga memutar langkahnya arah ke kamar
mandi. Tapi ia lupa dengan selang infusnya yang terpasang pada tiang, hingga
ketarik dan menjatuhi kepala Izack.
"Auuchh!!!"
Seketika Chika mematung menggigit
bibir merasa bersalah melihat Izack yang terbangun kesakitan mengusap usap
kepalanya.
"Mau kemana?"
"Hehe.. enggak"
"Ke kamar mandi?"
"Iya,"
"Perlu aku tuntun?"
"Tidak perlu, aku sudah
bisa sendiri" suaranya tegang
"Beneran?"
"Hm!" jawab Chika
mengangguk yakin
Perlahan ia melangkah dengan dibantu
Izack mengambilkan infusnya agar tetap lebih tinggi dari badan Chika beserta
cairan drain.
"Beneran bisa
sendiri?"
"Iya" jawab Chika yang
hanya diawasi Izack sampai masuk kamar mandi
Entah berapa menit berlalu, Izack
dan Hendrik kembali tertidur. Saat itulah ia keluar mengendap-endap tanpa alas
kaki dan...
"Ssseetttt!!!" sebotol
air mineral sudah ada dalam genggaman tangannya
Izack yang terbangun, melotot
melihat Chika sudah menggenggam erat air mineral.
"Chika!! Tolong,
jangan!" pekik Izack
"Sayang banget kalau
terjadi sesuatu kamu harus operasi lagi"
Chika melotot tegang saat Izack
turun dan berusaha menyadarkan Chika yang sudah kekeh mendekap botol tersebut layaknya anak kecil yang ketakutan
mainannya direbut. Dengan sigap Chika membuka tutup sebelum akhirnya Izack merebut hingga terjadi
tarik-tarikan dan air muncrat saat ditekan Chika dengan posisi mulutnya yang
sudah terbuka, dan..
“Glekkk!!” air itu masuk
tenggorokan yang disambut batuk keras membuat segelondong lendir hijau
bercampur darah keluar dari tenggorokannya membuatnya lega
"Akhhh!! Segar…"
"Chika!!!!" Izack
melotot kaget saat melihat air itu terteguk masuk ke tenggorokan
Hendrik yang terbangun bingung
melihat dua orang itu saling menjepit.
"Tolong panggilkan dokter
jaga, Hend!!"
"Uhukk!!" lagi-lagi suara
batuk keras terasa merontokkan dahak di tenggorokannya menekan nyeri perut
bekas jahitan
Izack melotot melihat air itu masuk
ke mulut, sementara ia tersenyum lebar terasa lega.
"Kasihan ususmu,
Chika!"
"Sia-sia saja operasi"
"Kamu mau sembuh apa tidak,
hh?!!"
"Itu ususmu tidak boleh
dilewati makanan dulu"
"Ingat Bang, ini bukan
makanan. Tapi air... Hanya air putih"
"Itupun tidak akan sampai
ke usus, hanya sampai tenggorokan"
"Iya tapi kamu tadi muntah
kan?"
"Bang, organ pencernaanku
itu bukan hanya usus"
"Iya, tapi,"
“Kamu belum tahu rasanya
tenggorokan gatal karena dahak nggak bisa keluar gara-gara kering, kan?”
Melihat kedatangan dokter jaga
dan memberitahukan agar lebih berhati-hati, Chika justru memarahi dokter
tersebut dan mengusirnya keluar dari ruangan.
"Aku tidak butuh ceramahmu,
Dok"
"Pergi sana!!"
Hendrik melotot mendengar Chika
mengusir dokter muda itu memberikan nasehat. Izack menarik nafas sesak dan
meminta maaf pada dokter muda yang diiringi dua perawat cantik.
"Kalian tahu kan, air itu
sumber kehidupan?!"
"Iya ususku bisa sembuh,
tapi nafasku bisa bablas gara-gara sesak tidak ada cairan masuk sama sekali,
bahkan ludah pun tidak ada" suaranya serak sambil berlalu
kembali naik ke bed menarik selimutnya dan kembali tidur.
"Kan ada bantuan oksigen,
mbak.."
"Dok, oksigen sama air beda
dok!"
“O2 dan H2O, you know Dok?!”
"Iya, tapi usus mbaknya
tidak boleh dilewati makanan dan minuman dulu"
"Dok, kamu tahu kan.. organ
tubuhku itu bukan cuma usus"
"Setelah rongga mulut masih
ada kerongkongan, setelah kerongkongan masih ada esofagus yang panjang, setelah
itu barulah lambung, setelah lambung barulah usus!" teriaknya dengan
suara serak.
Entah apa yang dikatakan dokter
jaga itu pada Izack, lelaki itu hendak mengikutinya keluar, tapi mendengar
Chika kembali batuk, langkahnya pun terhenti menoleh pada gadis itu dan saat
itupun dokter tersebut menutup pintu.
"Bang, tolong tisyu" pinta
Chika pada Hendrik
Dengan wajah kesal Izack
memberikan tisyu itu. Begitu melihat warna dahak hijau pekat bercampur darah
raut Izack benar-benar kesal.
"Dasar keras kepala!"
"Bang, darah ini berasal
dari tenggorokanku yang terluka bekas selang oksigen yang masuk ke
tenggorokanku kemarin"
"Dan hijau ini, bekas
kotoran pembersihan di perutku"
"Sok tahu!!" cletuknya
bersungut
"Bang, ini badanku, yang
tahu kondisi tubuhku itu aku, bukan dokter apalagi kamu"
"Hekkh!!!" Izack geram
kesal beranjak keluar. Namun begitu mendengar Chika kembali menahan batuk
sambil menekan rasa nyeri bekas jahitan di perut. Langkahnya pun kembali terhenti
di depan pintu. Ia miris melihat gadis itu susah payah mengambil tisyu. Tak
tega melihat adegan itu, Izack bergegas mengambilkan tisyu di seberang
bed.
Ia memijit-mijit jidat menekan
kecemasannya begitu melihat dahak itu kembali hijau pekat.
"Hah…!”
"Sesekali nurut perintah
dokter apa susahnya sih?"
"Bang, aku minum air
cuman sebatas basah sampai di tenggorokan, tidak akan sampai ke usus"
"Tidak boleh makan, aku
sudah terbiasa lapar berhari-hari. Tapi kalau melarangku minum nafasku bisa
tercekik"
"Kamu kan masih bisa pakai
selang oksigenmu"
Chika menatap dalam
“Sudahlah, percuma ngomong sama
orang Humaniora, nggak paham ilmu Biologi. Pergi sana" usir Chika membuat
Hendrik menahan tawa geli melihat Izack, satu-satunya orang yang tak pernah
kesentuh, justru diusir adek kelas yang tidak ia kenal sebelumnya.
Izack yang terkenal sebagai
lelaki diam dan tenang, dengan wajah kesal membanting pintu agak keras
meninggalkan ruangan yang diikuti Hendrik.
"Sabar, Bro!"
"Aku kesal benar sama keras
kepalanya"
"Andai itu laki sudah aku
ajak gelut"
Hendrik senyum-senyum "Sayangnya
itu orang yang kamu cintai kan?"
"Apaan?!"
"Sudahlah... akui
saja" Hendrik ngikik
"Apa dia tidak punya teman
di Yogya?"
"Kan sudah aku bilang, dia
anaknya seriusan, dan jarang ngobrol. Setahuku ada cowoknya anak Hukum juga
yang sering datang ke kost"
Mendengar kata cowoknya, raut Izack
berubah datar tidak enak dan berubah seketika yang hanya ditepuk-tepuk
pundaknya sembari berlalu meninggalkan dirinya memperhatikan gadis itu yang
lagi-lagi kesakitan menahan batuk kering dari balik kaca pintu.
@@@
Saat pagi tiba, giliran visit
dokter dan para perawat yang mengikutinya dari belakang. Entah bagaimana,
tahu-tahu dokter itu masuk dengan senyum sumringah menyambut Chika yang masih
terbawa rasa kesal.
"Gimana mbak? sudah tidak
muntah lagi kan?"
"Tidak dok,"
Izack melotot, tapi Chika memberi
kode untuk diam.
“Bersyukurlah mbak, mas mu ini
orangnya perhatian sekali”
“Perhatian apaan? Kejem” cletuk
Chika lirih melirik Izack yang melotot
"Dok, ini selang drain
kapan dilepas?"
"Sabar mbak ya.. Itu masih
banyak kotoran di perut yang harus dikeluarkan" tunjuk Dokter pada tabung
drain berupa plastik yang digantung pada bed dengan kotoran masih sedikit
berjalan dari perut.
"Sudah bisa kentut?"
"Dari kemarin dok"
jawab Chika kesal
"Buang air besar?"
"Selesai operasi, malamnya
saya sudah bisa BAB, dok"
"Berarti ini hari ke keempat
ya?"
"Ya sudah, kenapa tidak
boleh makan dan minum?"
"Tolong Sus, beri bubur dan
susu. Kasihan amat nggak dikasih makan" canda Dokter sambil senyum
sumringah meninggalkan ruangan
"Yes!!" lirik mata
Chika mengejek Izack
Merasa tidak puas dengan
pernyataan dokter, Izack langsung lari ke bagian perawat dan menanyakan perkara
boleh makan dan tidaknya pada dokter bedah. Di sana ia bertanya cukup detil,
hingga dokter tersebut senyum-senyum.
“Adeknya atau pacarnya, mas?”
“Calon istri, dok”
“Oh!” dokter itu melotot yang
hanya ditinggal pergi begitu saja sembari menahan tawa
Ia kembali masuk ke bangsal,
saat itu ia mendengar ucapan terimakasih pada Hendrik membuat dirinya
seakan-akan tidak terima jika ucapan terimakasih itu ditujukan pada kawannya.
Lelaki itu datang dengan mulut seakan terkunci rapat membuat Chika diam tak
berkutik merasa bersalah. Ia menyebelahi Hendrik yang duduk di sofa sebelah
bed. Pandangannya matanya lurus menatap Chika yang tak berani menatap dirinya.
"Aku yang capek membawamu
kemari, kenapa kamu berterimakasihnya ke dia bukan aku?" ujar Izack membuat
Hendrik spontan tertawa lebar disambut raut Chika bersungut
"Kalau aku berterimakasih
ke kamu Bang... Bakal kamu ejek lagi"
"Lagipula statusku kan
hutang, bukan gratis. Iya kalau hutang tanpa bunga, lha kalau dengan bunga. Itu
sama saja kamu mencekikku perlahan. Jadi untuk apa aku berterimakasih ke
kamu"
"Weeekhhh..." Spontan
Hendrik tertawa terkekeh
"Kamu mau bunga
dariku?"
"Bilang!"
Spontan Hendrik tertawa ngikik
"Hmmm..hh!!" yang membuat raut Chika merah merona menahan malu campur
bingung dan kikuk
"Lagipula, kalau bukan
karenamu, ini juga tidak akan terjadi. Buku jatuh karena kalian berisik
sekali" protesnya nggak mau disalahkan
Izack ngakak "Bukan karena
berisik, kalii... tapi karena kamu memperhatikan aku, kan?"
"Czihh?!!" Chika
merasa terpojok
Tak bisa dipungiri, sebenarnya
keduanya sudah mulai menyemai bibit-bibit cinta sejak pertama kali datang ke
Rumah Sakit, bahkan sejak masih di kost-kostan. Tapi keduanya terlalu gengsi
untuk mengakui satu sama lain, apalagi Chika yang merasa dirinya sebagai cewek,
jangan sampai dianggap cewek gampangan. Meskipun ia merasa dirinya sebagai
orang miskin, tapi harga diri sebagai seorang gadis harus ia angkat betul-betul
jangan sampai jatuh ke pelukan seorang lelaki hanya gara-gara soal biaya Rumah
Sakit.
"Haha... akui saja"
"Chika! Tahu tidak? Apa
yang dia lakukan saat kamu di kostanmu? Diam-diam dia mencuri-curi fotomu dari
bawah"
"Kata siapa?! " teriak
Izack pura-pura
"Lihat saja itu
handphonenya, paling masih tersimpan di galeri" riuh suara Hendrik yang
berusaha dibungkam Izack membuat Chika tertawa terkekeh-kekeh
Suasana ruangan yang kemarin
mencekam, kini kembali riang, dan Chika pun tertawa sembari menahan perut
melihat keduanya berceloteh membongkar fakta Izack yang diam-diam naksir
tetangganya sejak dua tahun lalu.
@@@
Dua hari kemudian
Hampir satu minggu ketiganya
bersama-sama dalam tawa dan tangis, tapi sejak dua hari yang lalu Hendrik mulai
sering pulang ke kost-kostan sekedar menyelesaikan urusan tesis dan membawakan
baju laundry milik Chika yang dibantu Heni.
Dan diam-diam kedekatan emosi
pun mulai terbangun sejak Hendrik sering pulang ke kost, meskipun awal-awal
keduanya merasa kikuk dan canggung. Tapi Chika tak kurang akal, dengan berbagai
cara ia menekan rasa canggungnya menjadi obrolan ringan, hingga membenahi
perasaannya mejadi datar.
"Bang, ngomong-ngomong soal
bukuku, kok bisa sampai ke tanganmu?"
“Bukannya itu di tangan Bang
Awan ya?”
"Hm, Awan tidak berani
menerbitkan"
"Oh,"
"Lalu, sampai mana
ketikanmu? Sudah selesai kan?!"
Chika nyengir "Aku nggak
punya laptop, Bang… makanya bingung bagaimana. Karena itu kan banyak, tidak
seperti nulis artikel”
“Kenapa baru ngomong sekarang?”
suaranya keras membuat Chika kaget
“Nanti kamu bilang aku
beralasan”
“Ya nggak begitulah,”
Saat itu menu makan pagi pun tiba.
Hari-hari biasanya, Hendrik lah yang membantu keperluan Chika. Tapi kali ini Izack
terpaksa menyiapkan untuknya sekalipun grogi hingga membuat sup nya tumpah
mengenai selimutnya.
“Sory-sory!” ujarnya nggragap
“Nggak apa-apa Bang, cuman
sedikit aja kok” jawabnya sigap membersihkan dengan tisyu sebelum kuah itu
meleber kemana-mana.
"Masih ada naskah aslinya,
kan?” tanya Izack mengalihkan perasaan groginya
"Ada, tapi sudah mulai
rusak. Jadi aku ketik ulang pakai mesin ketik manual”
“Ya... karena aku punyanya itu, itupun
bekas tinggalan kakek"
Izack diam sejenak seakan
menyimak pikirannya
"Sebenarnya siapa sih kakek
sama ayahmu?"
“Haha… bukan siapa-siapa,
Bang"
Chika membenahi posisi duduknya,
Izack sigap menaikan tuas bed hingga posisi duduk siap menikmati bubur sumsum.
Ia menarik nafas dalam sebelum nyruput bubur berkuah coklat membuat Izack
tersenyum geli melihat Chika tengah komat-kamit berdoa melihat rautnya begitu
bersyukur akhirnya bisa makan lagi.
Saat kaki gadis itu tersingkap
selimut, Izack tidak tahan melihat kaki mungilnya yang mulus dan lembut
terpantul sinar matahari pagi, ia segera menutupnya kembali membuat perasaannya
mulai bergejolak tidak karuan.
Suasana kembali senyap. Izack
menatap wajah Chika yang masih tampak pucat dengan mata cekung. Sementara gadis
cerdas yang pikirannya tidak pernah berhenti berpikir itu tiba-tiba kembali
membuka mulutnya sambil berpikir.
"Bang,"
"Hm?!"
"Kira-kira biaya Rumah
Sakit ini habis sampai berapa puluh juta, ya?" tanyanya yang disambut
suara pintu terbuka, itu adalah Hendrik
“Tenang saja, pemilik rumah
sakit ini duda beranak dua, masih muda lagi”
“Maksudnya?!”
“Ya… itung-itung kalau kamu
nggak bisa bayar…”
"Hahaha....!!" Hendrik
tertawa meledak spontan membuat Chika clingukan bingung
"Kejem kamu, Bro!"
"Ya habisnya... Ngeselin
kamu itu"
"Anak kecil, Bro! Nggak
paham dia" jawab Hendrik membuat Chika clingukan bingung apa yang sedang
mereka bicarakan
Izack geleng-geleng kesal
memberikan tempat duduk Hendrik yang baru saja datang membawa pakaian Chika.
"Harusnya kamu itu bersyukur
ada lelaki ganteng yang sudah kamu tertawakan mau menolongmu"
Antara ingin tertawa dan marah,
Chika menatap lama wajah lelaki itu yang membuat Izack tak tahan dengan tatapan
mata beningnya.
"Sudah... tertawa itu nggak
dosa kok, bebas"
"Katamu mau jual ginjal?"
kata Izack lagi
"Kalau sakit-sakitan, mana
ada yang mau terima ginjalmu"
“Kamu jual satu juta pun mungkin
nggak akan ada yang mau beli” kata Izack lagi membuat Hendrik terkekeh-kekeh
membuat Chika terdiam dengan mata mulai berkaca-kaca hingga segelintir air mata
jatuh menggelintir. Tak mampu menahan rasa kesal emosinya yang labil spontan ia
menenggelamkan wajahnya dengan selimut dan menangis terguguk.
“Kamu itu terlalu kalau gurau,
Bro!” kata Hendrik berdiri mencoba menenangkan
“Sudah… dia gurau, jangan
dimasukkan hati, Chik”
"Lalu aku harus
gimana??" tangisnya pecah terguguk dengan air mata berderai yang disambut
tawa geli dua orang lelaki
"Kamu itu terlalu sombong, Tuhan
aja kalau bisa mau kamu atur" ujar Izack yang kemudian diam saat
handphonnya kembali bergetar.
"Belajar pasrah, Chik.. itu
semua yang bisa mengatasi kamu, kita siap membantumu kalau kamu mau,"
ujarnya sambil melihat telephon masuk yang ternyata itu adalah Mama nya.
"Sory, aku tinggal dulu,
Bro!" kata Izack tenang dan keluar meninggalkan ruangan
“Ma, ada apa?" sapa Izack
sambil kembali menutup pintu. Saat itulah wajah ibunya muncul di layar ponsel.
"Dimana kamu Nak?"
"Siapa yang sakit?"
tanya ibunya saat melihat seliweran para perawat menggladak bed
"Teman, Ma.."
"Nak, ada apa sebenarnya?”
“Kenapa memangnya Ma?”
“Kamu belum baca berita?”
“Belum,”
Saat itu kunjungan dokter tiba Izack
pun segera pamit mengakhiri obrolan dengan Mamanya.”Maaf Ma, nanti Izack telpon
lagi. Okey?” jawab Izack
Saat serombongan dokter dan
perawat pergi, Hendrik mengajaknya keluar ruangan.
"Sory Zack, dari kemarin
sebenarnya aku mau ngomong soal berita di mass media tentang dirimu" ujar
Hendrik menatap lama
"Kamu nggak baca
berita?"
"Tidak, kenapa?"
"Soal kamu" ujar
Hendrik menarik nafas panjang sembari memperlihatkan layar smartphonenya
Izack menarik nafas panjang saat
melihat fotonya membopong Chika dalam keadaan kaku keluar dari kost-kostan
putri, dengan judul.
Skandal amoral ketua umum AMI
dengan anggota muda Yogya
Bongkar kedok ketua AMI
“Kan… apa aku bilang kemarin?”
“Apa jadinya jika kita tinggal
dia begitu saja?”
“Nanti bakal ada isyu lagi”
Pembunuhan berencana junior AMI
yogya oleh ketua umum AMI
"Mau jawab apa nanti kalau
ada pers yang tanya?" tanya Hendrik
Izack diam seperti tengah
menyusun strategi. Tiba-tiba saja dari ujung lorong ruang VIP serombongan
adik-adik junior dari Komisariat dan Cabang, termasuk Heni datang
berbondong-bondong.
"Kamu kasih tahu mereka,
kalau kita di sini?"
"Tidak,"
"Terus?"
"Heni, mungkin. Karena
hanya dia yang tanya kemarin"
“Oh…”
"Tapi sepertinya dia paling
tidak suka sama Chika"
"Apa sebab?"
"Entahlah,"
"Tapi sepertinya Chika
baik-baik saja sama dia"
"Kan sudah aku bilang, dia
itu hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak tahu bagaimana temannya
merespon baik atau buruk terhadap dirinya"
"Oh..."
"Kita sambung nanti
saja" ujar Izack saat langkah mereka semakin dekat
"Okey,"
"Aih...! lima tahun
kemana-mana bareng, baru kali ini aku lihat kamu se peduli ini sama cewek"
singgung Leo, si ketua Cabang AMI anak S2 di salah satu perguruan tinggi,
menjabat tangan Izack.
Saat mereka masuk, Chika kaget
melihat kedatangan teman-teman AMI, ia bahkan merasa tidak enak atas kepedulian
seniornya Izack yang sudah berhari-hari diajak adu mulut dengannya. Dan ia merasa
kedatangan mereka bukanlah untuk menjenguk dirinya, melainkan bertemu dengan
orang nomor satu di AMI, hingga ia pun hanya diam memandang orang-orang yang
riuh ngobrol dan bercanda ini itu.
Melihat lirikan Heni pada
dirinya sungguh tidak mengenakkan. Ia baru sadar dan tahu diri dengan lirikan
itu, jadi ia memutuskan mengambil buku dan mulai membacanya di saat mereka
mulai asyik ngobrol sendiri di sofa.
Saat membaca buku, ia dikejutkan
dengan seniornya yang dulu sering mengarah-arahkan tulisannya di mass media.
"Gimana Chika, sudah
baikan?"
"Alhamdulillah, Bang"
"Sekarang kamu jarang nulis
lagi ya?"
"Hehehe... iya, Bang"
gadis itu cengar-cengir merasa tidak enak
"Jangan terlalu serius,
santai saja"
"Hehe... iya, Bang"
"Sudah kenal lama sama Izack
ya?"
Chika nyengir menggeleng
“Lah???”
“Terus?”
“Aku baru kenal ya di kostan
kemarin itu”
“Serius??”
“Enggak… dianya aja yang nggak
ingat”
“Bukannya kalian pernah ketemu
dua tahun yang lalu kan?”
“Oh,” ujar Chika kikuk ada yang
mengingatkan peristiwa itu
“Kalian ulang tahunnya sama
kan?”
“Oh.. iya-iya, ingat aku kalau
itu” jawab Leo
“Waktu itu ada yang keguyur,
kan?”
“Ya itu dia” tunjuk Hendrik pada
Chika yang nyengir
"Kamu termasuk cewek yang
paling beruntung ini," canda Leo
"Kenapa?"
"Dia itu paling susah
setengah mati didekati cewek"
“Kamu lho, bisa-bisanya dibawa
ke Rumah Sakit, masih ditunggui pula?!”
“Kan??! Benar dugaan perasaanku.
Bukan khayalanku saja” pikir Chika hanya cengar-cegir mendengarkan para
seniornya berdebat soal dirinya dan lelaki ganteng itu.
"Kami dulu malah sempat
menduga dia itu gay" spontan Chika tertawa geli menekan bekas jahitannya
"Kok bisa, Bang?"
"Lha iya, bolak-balik
didatangi cewek. Sampai kadang kesel blokir nomor telphon, hanya karena modus
mereka mendekati dia"
"Siapa aja emangnya Bang"
"Ada yang lagi
bongkar-bongkar lemari ini…?!" cletuk Izack yang tiba-tiba berdiri di
sebelah Leo
Spontan Chika tertawa geli
melihat ekspresi dua seniornya.
"Coba lihat tuh di
Galerinya, paling masih ada fotomu tersimpan kemarin" cletuk Hendrik
Leo melotot berpaling pada Izack
"Jadi, beneran itu
berita?!"
Izack langsung mengalihkan
perhatiannya canggung
"Kalian lapar nggak
sih?"
"Ayo pesan makanan,
Bang" bujuk dua orang juniornya dari Komisariat
"Oakkhh... modus,
pengalihan perhatian" ujar Leo
“Ah.. kamu, ayok!”
"Aku juga serius penasaran
sama kamu, Bro!" ujar Leo senyum-senyum penuh isyarat
"Tenang saja, kita bereskan
itu berita" ujar salah satu teman AMI dari Pusat
"Berita soal apa,
Bang?!" tanya Chika menatap polos
Heni yang melihat wajah polos Chika
agak kesal dan mendekat sambil memperlihatkan foto dirinya dalam gendongan Izack
masuk ke mobil. Chika melotot membaca judul berita bernada negatif yang
ditujukan Izack.
"Heni!" teriak Izack
merebut ponselnya membuat semua orang terkejut
"Sory,"
"Ayo kita bicara di
luar"
Chika bingung saat Izack menarik
Heni keluar, lagi-lagi ia berpikir bahwa ada hubungan yang tidak ia ketahui di
antara mereka berdua.
“Heni itu pacarnya kak Izack
ya?!” tanya Chika pada para seniornya yang masih berdiri di sebelah bed nya,
dan mereka hanya senyum-senyum membuat Chika yang belum bisa berpikir
sepenuhnya makin bingung.
Di luar Izack mengendurkan
lipatan-lipatan wajahnya sembari menarik nafas dalam
"Kamu tahu kan, dia sakit
karena apa?"
"Sikapmu itu sama sekali
tidak berperasaan" Izack menahan emosinya
"Maaf Bang, tapi aku tidak
berniat apa-apa kok"
Izack menarik nafas panjang
kesabarannya.
"Okey, baiknya kamu jangan
masuk lagi"
"Tapi, Bang" spontan
mata Heni mulai berkaca-kaca
Izack kembali masuk ke ruangan
untuk mengambil tas Heni
"Kemana Bang?!" tanya
juniornya yang tak dijawab sama sekali
Saat lelaki ganteng itu kembali
masuk, semua terdiam.
"Oh ya, Rani... tolong
carikan kost-kostan putri tuh"
"Untuk siapa Bang?"
"Dia" isyarat Izack
dengan dagu
Chika menelengkan kepala
"Aku?!!"
"Memangnya siapa lagi di
sini yang putri?"
"Bang, memangnya kamu ini
siapaku, dari kemarin ngatur terus"
"Kan seniormu,"
Chika menarik nafas kesal
membuat beberapa orang hanya senyum-senyum curiga pada keduanya.
"Ehm!"
"Beneran ini... hanya
sekedar senior dan junior?" tegas Leo
"Hati-hati loh ya... kalau
ada cowoknya datang kemari" cletuk Leo
Izack agak sensi "Ousy!
sudah diblokir dia!"
"Hahaha...!"
"Nah?!!"
"Jadi pesan makan apa
ini?"
"Hmm???!"
“Gerr...!!”
Malam itu ruangan kembali ramai
oleh suara tawa, sementara keduanya terlihat kikuk yang lagi-lagi hanya jadi
bahan gurauan senior dan juniornya. Izack yang tidak tahan dengan candaan
mereka segera pamit keluar dengan alasan cari makan malam.
"Baru kali ini aku lihat Big
Bos malu-malu kucing" cletuk seseorang sambil tertawa ngikik
Tiba-tiba pintu kembali terbuka
"Leo," isyarat Izack
untuk ikut dengannya
Tiba-tiba saja semua tertawa
“Baru... saja diomong”
“Tebak, kira-kira dia bakal cerita nggak?”
“Lihat aja” tawa Leo segera keluar
10
Satu hari telah berlalu sejak
kedatangan teman-teman AMI. Selain itu, tidak ada seorang pun yang datang
menjenguknya. Ia mulai bosan setengah mati menunggu tetesan demi tetesan infus
dan obat-obatan yang tiap saat disuntikkan lewat infus membuat tangannya nyeri
kesakitan luar biasa. Melihat kaca di seberang bed wajahnya terlihat lebih
tirus dan tua. Ia menghempas lelah melihat Izack dan Hendrik yang giliran
menunggu dirinya sepanjang hari. Satu persatu peralatan di tubuhnya mulai
dilepas hingga terakhir saluran infus.
Gadis dengan hidung kecil dan
mata tajam itu duduk di sebelah jendela salah satu bangsal ruang VIP. Cahaya
matahari memantulkan sinar keemasannya dari balik dinding gedung krem menerobos
celah pepohonan taman di luar sana. Saat itulah dokter bedahnya visit, dan
memberitahukan ijin pulang hari ini, setelah dokter gizinya datang sebelumnya.
Saat rombongan dokter dan
perawat itu keluar, ruangan kembali sepi. Spontan Chika menghempaskan nafasnya
sembari mememutar-mutarkan pergelangan tangan kirinya setelah sekian lama
tangannya terbelenggu infus dengan bermacam-macam suntikan obat yang menyakitkan
urat nadi.
"Yeahhh...?!! ayo keluar
sekarang saja, Bang" Chika meregangkan otot tangannya ke atas.
"Aaahhh!!!" Pekiknya
keras kesakitan menahan bekas jahitan di perut.
Izack mengulum tawa melihat
gadis imut itu kembali bertingkah setelah dirinya merasa terbebas dari
infus.
"Nggak usah banyak tingkah
dulu, ingat jahitan di perutmu, Non.." Izack mengingatkan membuat Chika
sadar diri
"Tunggu di sini, aku urus
administrasinya dulu" ujarnya berlalu pergi meninggalkan ruangan itu.
“Boleh aku ikut, Bang?” katanya
bergegas bangkit dari bed
Dan saking semangatnya, Chika
sedikit memaksakan tubuhnya yang masih sempoyongan hingga membuatnya spontan
limbung menabrak dinding yang langsung ditahan Izack dalam dekapannya membuat
keduanya kikuk dan salah tingkah.
“Bisa nggak tenang sedikit?” nada
Izack kikuk menahan wajah letihnya membuat raut Chika mendadak ciut
Ia sadar langsung menegakkan
tubuhnya antara rasa malu dan kesal. Ia menggeragap bersandar pada bed sembari
merasakan keringat panas dingin dari punggungnya dengan kepala terasa berat
untuk kembali berdiri.
“Sudah, tidur saja dulu”
Dua jam telah berlalu semenjak Izack
meninggalkan kamar itu dalam sendirian. Begitu ia kembali bersama Hendrik,
semua barang telah beres di depan pintu.
"Siapa yang beresi?"
"Aku," wajahnya datar
kekanak-kanakan
"Kamu nggak dengar apa?
dibilang jangan buat angkat-angkat beban dulu" nadanya tegang
"Tapi aku khawatir kalau
kelewat jam bisa kena charge lagi..." nadanya cemas
Dua lelaki itu spontan tersenyum
geli
"Kenapa kamu polos banget
sih, Chika... Chika"
"Kan yang tanggung biaya
juga Izack.." ujar Hendrik
"Iya, tapi kan aku hutang?!
Toh nanti kalau...?" Ujarnya melirik Izack sambil menggigit bibir
Hendrik garuk-garuk kening
membuat wajah aneh "Haduh...!" dan spontan disambut tawa lebar Izack.
"Kenapa gebetanmu begitu
lugu, Izack.." bisiknya lirih di balik punggung Izack
"Kenapa?!!" gadis itu melotot
tak suka melihat seniornya bisik-bisik
"Enggak..." jawab Hendrik
sembari melangkah keluar membuat Izack senyum senyum
Chika melirik curiga, tapi ia
tak mau ambil pusing. Ia berusaha berdiri saat perawat datang membawakan kursi
roda.
"Mbak Chika, silahkan saya
antar keluar mbak.." kata ibu perawat yang datang kemudian.
"Bang,"
Chika memberi kode pada Izack,
lelaki itupun berdiri mendekat dan merunduk menyamakan posisi tingginya.
"Apa yang seperti ini juga
kena charge?" Bisiknya lirih membuat lelaki itu hanya tersenyum lebar
"Sudah, itu
urusanku"
"Tapi kan?!"
"Ini nih, yang bikin ususmu
sampai bocor" Izack noyor dengan telunjuknya membuat ibu perawat
senyum-senyum
"Mobilnya sudah siap,
mas?" Tanya si ibu
"Sudah bu.. ada teman saya
di luar" ujar Izack sambil membimbing Chika duduk di kursi roda.
Izack kembali masuk dan
mengangkat barang-barang keluar dan berjalan mendahului mereka.
"Kakaknya ya mbak?"
"??"
"Maksud ibu siapa?!"
"Mas nya yang itu?"
"Bukan siapa-siapaku,"
"Oh... saya kira kakaknya,
wajahnya mirip"
"Mirip??!" raut Chika
bingung
"Dari kemarin mau tanya
nggak enak. Saya kira kakaknya, tapi kenapa sikapnya lebih mirip sama
pacarnya"
"Ah... Dia galau aja
mungkin, bu... Karena harus menalangi biaya Rumah Sakitku" ucapnya polos
"Serius?!!" si ibu
melotot dan kembali tersenyum geli dengan penuturan Chika terlalu jujur
"Iya, memangnya kenapa
bu?"
"Tidak ada lelaki yang mau
berkorban terlalu banyak jika nggak ada maksud tertentu mbak.."
“Maksud ibu??!”
Lagi-lagi Chika tersenyum
bingung, mengapa orang-orang berpikir se mudah itu padahal jelas-jelas dia menalangi,
dan itu satu saat aku harus membayar hutangku.
"Haduh mbak.. polos banget,
kamu ini" ujar ibu perawat membuat Chika makin bingung
"Kenapa orang berpikirnya
jauh banget ya? bukannya tipikal orang-orang semacam itu mencari keuntungan?
misalnya.. bunga uang. Atau.. menaikkan status level nama baiknya sebagai ketua
umum?"
"Bisa saja kan? suatu saat
dia mau mencalonkan diri sebagai anggota DPR setelah dia berhasil menduduki
kursi Ketua Umum organisasi politik mahasiswa terbesar di Indonesia?"
Begitu sampai di depan pintu
ruang loby, Izack tampak cekatan membukakan pintu mobil untuknya.
"Duh mbak... Beruntung
sekali kamu ada laki-laki sebaik itu, ganteng, kaya, perhatian lagi"
"Kalau dia confess ke kamu,
terima saja mbak”
“Nggak ada kesempatan kedua itu
mah"
“Confess itu apa bu?” tanyanya balik
membuat si ibu tersenyum geli
“Haduuhh mbak, pantas saja dia
sayang banget, saking polosnya kamu” ujar si ibu lirih membuat Chika nyengir
mengernyit bingung sikap mana dan seperti apa yang dinilainya sebagai reaksi
polos.
Dari depan pintu ruang loby, Izack
sudah berdiri menyambut di depan pintu mobil.
"Mau saya tuntun
mbak?" tanya si ibu perawat cekatan membantu Chika berdiri.
"Nggak lah bu, sudah bisa
kalau buat jalan cuman sini ke situ"
"Oh.. baik mbak"
"Hati-hati ya mas..."
"Iya bu, mari..."
setengah merunduk Izack pamit sambil menuntun langkah Chika yang teramat pelan.
"Oalah nak... Nak. Mujur
benar nasibmu bisa bertemu lelaki sesempurna itu" ujar si ibu perawat
sambil berlalu pergi begitu mobil itu meninggalkan ruang loby.
Suasana dalam mobil benar-benar
senyap saat laju kendaraan keluar dari area Rumah Sakit yang luas.
“Loh, Bang Hendrik kemana Bang?”
tanya Chika melihat spion di atas Izack
“Ada janjian sama temannya”
“Oh..”
Senyap. Kendaraan itu
benar-benar kedap suara dari hiruk pikuk di luar.
“Terimakasih banyak sebelumnya
ya Bang…”
“Hm,” jawab Izack tenang
mengendalikan setiran di antara kemacetan mengular begitu keluar dari Rumah
Sakit
Chika masih terngiang-ngiang
kata si ibu perawat tadi. Sementara Izack mulai bingung menentukan tujuan akan
dipulangkan kemana gadis ini.
"Bang..."
"Hm, ya?"
"Boleh minta tolong antar aku
ke terminal?"
"Ke terminal?"
"Maksud kamu?"
"Sepertinya aku belum kuat
kalau naik turun tangga kost. Jadi aku pulang ke rumah saja"
"Iya juga ya, tangganya
curam banget kemiringannya"
"Dimana rumahmu?"
“Rumahku Wonogiri”
“Oh, jauh sekali”
“Tapi aku ikut tinggal bareng
pamanku di Mojokerto”
"Ooh…" lirik Izack
bingung seperti tengah berpikir
Izack menarik nafas lelah yang
langsung ditangkap Chika sebagai sinyal kekhawatiranya tidak mengembalikan
hutang biaya Rumah Sakit.
"Emmm... Nanti soal biaya
Rumah Sakit," ujar Chika lambat sambil nyengir melirik Izack berpikir
keras
Segaris senyum muncul di wajah
lelaki bermata bulat itu.
"Begini saja deh... Soal
biaya Rumah Sakit, kita omongkan di rumahmu. Gimana?"
"Jangan!"
"Lha terus?"
"Ehmmmm..." Chika
menggigit bibir keras terbayang sertifikat rumahnya sudah jadi jaminan di Bank
untuk pinjam uang demi biaya kuliah. Sementara ia tidak ingin membebani biaya
hidup pamannya yang miskin.
Perlahan raut wajahnya tampak
muram, ia mulai mengaduk-aduk kepalanya seakan ingin membenamkan wajah ke dalam
got berlumpur hingga kesulitan bernafas.
"Hei..? Kenapa lagi
kamu..?" Izack melirik Chika yang duduk di belakangnya menahan kepala
dengan kedua tangannya yang tertunduk
"Bang!" Izack kaget
waktu Chika kembali bangkit
"Begini saja deh, sertifikat
rumahku kan sudah aku gadaikan di Bank untuk keperluan biaya kuliahku selama
ini"
Izack mengkirut bingung.
"Maksudnya??"
"Rumahku sekalian kamu beli
saja lah. Setidaknya aku nggak punya tanggungan Bank lagi"
Spontan Izack melongo
"Maksudnya apa ini, kok
tahu-tahu bahas soal rumah kamu?"
"Haduuuhh...!!"
lengkingnya kesal
"Total biaya Rumah Sakitku
tadi berapa?"
"Seratus juta kah? Atau
lebih??!"
Izack menarik nafas sambil
tersenyum tenang memegang kendali sopir.
"Please Bang, bagiku uang
segitu besar banget. Kenapa dari tadi kamu cuman senyam senyum
meremehkanku?"
"Siapa yang meremehkanmu,
Chika.." intonasi suaranya membuat Chika sedikit merinding berbunga-bunga
"Ya kamu lah,"
"Memangnya aku bilang
apa?" nadanya datar
"Sikapmu dari tadi"
"Itu kan penafsiran kamu
sendiri, toh?
"Lha terus apa kalau bukan
meremehkan?!!!"
Kali ini Izack berusaha lebih
sabar memahami kekhawatiran gadis di
belakangnya.
"Lihat kwitansi Rumah Sakit
saja lah"
"Kamu letakkan dimana
tadi?"
"Mau buat apa?"
"Ya dihitung?"
"Sekarang kan sisa hutangku
di Bank sekitar 25juta, nah tahun kemarin saja rumah beserta pekaranganku
ditaksir sekitar 250juta. Nah, biaya Rumah Sakit tadi berapa??? Biar aku
kurangi itu, nanti..."
Izack geli mendengar detil
penghitungan orang pasca operasi besar.
"Haduh, Chika... Chika.
Makanya badanmu kurus begitu, pikiranmu jalan terus"
"Bang, bakal tamat riwayat
hidupku kalau nggak punya perincian keuangan"
"Terus, kalau rumahmu kamu
jual, kamu tinggal di mana?"
"Aku kan tinggal bareng pak
lek"
"Hadeeh… Chika.. Chika.
Usia 20tahun masih nyaman-nyaman saja tinggal bareng paman”
“Bang, please… aku tanya berapa
tadi biayanya?”
Izack tak menjawab sepatah
katapun, bahkan ia mulai menghidupkan instrument music dari audio mobil membuat
suasana yang semula tegang tersulut emosi, mulai tenang. Melihat sikap Izack
yang santai, ia pun mulai ikut tenang, sekalipun dalam sorot matanya sesekali
masih tampak cemas dan khawatir soal uang.
Hening
"Ngomong-ngomong keluargamu
sendiri pada kemana?" tanyanya berusaha mengalihkan perhatian
Spontan rautnya seperti
tertusuk, ia diam tercengang lama.
"Bapak.. entah dimana, ibu,
kakak dan adikku sudah meninggal"
"Oh..." Mulutnya
berasa seperti dikunci. Ia menarik nafas pelan seakan ada beban yang menusuk di
dada, teringat kata-kata Awan lewat telponnya terkait naskah buku.
"Gimana Bang?"
"Atau, turunkan aku di Halte
depan itu saja deh"
Izack tetap diam mengendalikan
setirannya tak terpengaruh oleh kegalauan Chika yang duduk di belakangnya.
Sementara Chika sudah siap-siap melepas seat belt, dan alarm kembali berbunyi.
"Kenapa itu Bang?"
"Pakai dulu seat beltmu"
ujarnya tenang
Jelang akhir pekan, suasana
jalanan mulai macet, hingga mobilnya terjepit di antara kendaraan.
"Bang..." Chika tegang
saat suara indikator seat belt nya terus berbunyi
"Itu karena seat beltmu
dilepas"
"Pakailah dulu,"
"Tapi..."
"Aku nggak mau angkat
badanmu lagi kalau sampai pingsan di pinggir jalan" kata Izack tegas membuat
gadis itu merasa tidak enak.
Raut Chika spontan merasa
bersalah kembali menyelipkan klik seat belt hingga alarm itu kembali berhenti.
"Ah... Mobil crewet"
gerutunya
Ada raut kemenangan di wajah Izack
yang diam-diam memperhatikan wajah Chika dari spion di atasnya yang terlihat
gelisah. Sebenarnya jika gadis itu diamati, ia cantik natural sekalipun
tanpa sentuhan make up sedikitpun.
"Begini saja, sore ini aku
antar kamu ke Mojokerto. Tapi ini aku harus pulang dulu, sepertinya kakakku mau
datang, harus kasihkan kunci ke dia"
"Oh.. tapi beneran, aku
sudah kuat kok Bang, pulang sendiri"
"Iya, paham. Tapi kamu itu
tipikal cewek yang hanya punya dua kekuatan. Bergerak cepat atau pingsan"
katanya membuat Chika menahan tawa geli
Spontan ia melengoskan wajah
pada jendela mobil menahan tawa, mengingat nyeri jika harus tertawa.
Kehadiran Chika kali ini
benar-benar membuatnya nyaris lupa semua tanggung jawabnya dari urusan perusahaan,
organisasi Mahasiswa hingga kuliahnya. Entah yang ke berapa puluh kali
handphonenya bergetar yang sengaja dimatikan hanya gara-gara khawatir Chika terbangun
melihat dari spion di atasnya gadis itu kembali terlelap dengan mulut menganga.
Chika terlelap setelah putus asa
berharap bisa turun di Halte, namun mobil terus terjebak dalam kemacetan
sepanjang perjalanan menuju rumahnya.
Begitu sampai di rumah, mobil
telah terparkir di dalam garasi yang terhubung dengan taman kecil di tengah
area ruangan. Ia kembali melirik gadis kesayangannya yang masih terlelap dengan
tubuhnya yang teramat kurus dan wajah pucat serta mata cekung.
Chika terbangun kaget melihat
sekeliling.
"Dimana ini Bang?"
"Rumahku" jawabnya.
Ia ingin berontak, tapi rasanya
untuk duduk tegap saja masih kliyengan berputar-putar.
“Turun dulu, yuk! Sudah kuat
kan?”
“Nggak ah, Bang… aku tunggu di
sini aja”
“Kenapa memangnya?”
Chika nyengir melirik ruangan
yang lengang dan senyap.
“Tenang aja, aku nggak akan
menggigitmu kok” tawa Izack lebar, tapi Chika merespon perkataan itu justru
melongok-longok keluar meringis nyeri terbayang sesuatu.
“Badanku masih terasa kliyengan,
Bang”
“Biar aku tidur di sini aja”
“Ayo aku tuntun deh, kamu tidur
di sofa atau kamar kakakku kalau mau” jawabnya yang lagi-lagi membuat bibir
Chika meringis
“Sudah, nggak apa-apa” jawabnya
kekeh, yang akhirnya ditinggalkan begitu saja. Tak lama kemudian ia muncul lagi
sembari membawa selimut halus berwarna abu-abu.
“Perlu aku nyalakan ACnya kah?”
“Nggak usah,”
“Ini, pakailah dulu… banyak
nyamuk di situ”
“Terimakasih, Bang” jawabnya canggung
dengan nada serak. Ia sadar, kata “Terimakasih” adalah kata yang berat baginya
untuk diucapkan. Dengan perjalanan hidupnya yang berat, ia benar-benar kaku
mengatasi hal-hal remeh semacam itu.
Ia tetap duduk di jok mobil
dengan pintu mobil terbuka.
Chika menarik nafas dalam
memandang lelaki itu riwa-riwi menurunkan barang bawaan dari rumah sakit,
membayangkan beberapa hari yang lalu kesal bukan main dengan lelaki yang
menurutnya sok-sokan.
Dan kini, ia nyaris bagaikan
ratu dengan seorang pelayan tampan yang seakan didatangkan khusus dari
kahyangan untuknya. Atau tawanan yang masuk dalam perangkap singa, entah
bagaimana ia harus menemukan jalan keluar. Dan dirinya mulai terbiasa dengan
pelayanan lelaki yang bukan siapa-siapanya itu menunggunya riwa-riwi menyiapkan
barang, hingga ia kembali tertidur pulas.
Sebagai naluri lelaki, melihat
Chika tergolek lemah, ingin sekali membelainya. Tapi ia tak punya keberanian
menyentuhnya.
"Ayo Chik, turun dulu"
ujarnya setengah membungkuk siap menggendong gadis itu membuat Chika kaget
dan..
"Buggghh!!!" tangannya
nyodok dada
"Akhhh...!"
Chika melongo saat melihat
lelaki itu terpental kesakitan menahan dada
"Maaff..."
"Kurus-kurus, tenagamu kuat
sekali"
"Maaff Bang..."
"Habis... kamu bikin
kaget"
"Ayo turun dulu,
istirahatlah di dalam. Kita tunggu kakakku datang"
Chika merasa bersalah dan tidak
enak, ia gigit jari melihat seniornya nyengir menekan dada kesakitan.
“Maaf Bang,”
“Ingat ya, kelak jangan
perlihatkan wajah imutmu di depan lelaki lain” kata Izack dengan raut senyum di
wajah
"Maksudnya?!" pikir
Chika
Setengah ragu ia keluar dari
mobil dengan pandangan masih sedikit berputar-putar dan lemas efek obat-obatan
berhari-hari. Ia langsung duduk di teras depan ruangan yang mempunyai pintu
sliding kayu.
"Kapan kakakmu datang,
Bang?"
"Sebenarnya sih sudah dari
tadi dia turun di Bandara. Tapi katanya ada pertemuan. Jadi sepertinya malam
baru sampai"
“Oh…”
Setengah menyadarkan pikiran dan
hawa kantuk yang luar biasa, ia berpikir bagaimana bisa sampai di Mojokerto
tidak sampai larut malam jika jam segini saja belum keluar dari kota Yogya yang
macet? Padahal di desa pamannya ada adat pernikahan paksa hanya gara-gara
seorang lelaki mengantar anak gadis desa itu yang pulang larut malam.
"Ahh...!!!"
"Bagaimana dong,
ini??" rautnya mulai tampak panik melihat lelaki itu sibuk di dapur yang
bersekat dinding kaca dengan ruang TV sambil sesekali memeriksa smartphonenya.
Entah berapa menit berlalu,
Chika mulai risih dengan suara nyamuk dan gigitannya yang membuat sebagian
kulitnya terasa gatal dan panas. Terdengar tepukan tangan menangkap nyamuk
berulang kali, Izack seperti baru sadar ada orang lain di rumahnya. Ia muncul
kembali sembari membawakan dua gelas jus dan meletakkannya di meja bundar
Gazebo sudut ruangan yang berseberangan dengan ruangan dimana Chika
duduk.
"Sini,"
"Tahan kamu sama gigitan
nyamuk di situ?"
Merasa risih dengan suara dan
gigitan nyamuk, Chika terpaksa pindah tempat duduk di dalam Gazebo.
"Aku kira rumah sebagus ini
nggak ada nyamuk"
“Kalau nyamuk tahu status
sosial, nanti manusia kalah, Chika…” nadanya lagi-lagi membuat bulu kuduknya
merinding terbuai angan yang melambung sejenak
“Andai dia jadi pacarku”
khayalannya lagi-lagi melambung
Begitu mereka duduk berhadapan,
Chika mulai kikuk. Ia mulai nampak gelisah jika jadi diantar pulang malam ini
juga.
"Bang, sebaiknya aku pulang
ke kost dulu aja deh, sudah malam"
"Bukannya katamu belum kuat
untuk naik turun tangga sendiri?"
"Kalau sekali saja mungkin
nggak apa-apa sih"
Izack menelan saliva tegang
sembari menurunkan pandangan pada smartphonenya menjawab pesan-pesan yang
masuk.
"Sory, tunggu
sebentar" ujarnya menyela menjawab pesan-pesan yang masuk
"Bang," ujar Chika
khawatir mengganggu
Terdengar suara mobil berhenti
di luar, pikiran Chika berkecamuk tak karuan. Izack membukakan pintu.
"Mana adik juniormu?"
sayup-sayup suara perempuan itu terdengar
"Jangan berkata yang
tidak-tidak"
"Dia tidak tahu
apa-apa" ujar Izack penuh isyarat yang hanya disenyumi kakaknya sambil
menepuk pundak
"Santai aja," timpal
kakaknya sekilas
"Halloo..." Sapa
perempuan itu riang menyambut Chika yang masih duduk di dalam Saung.
Saat menjabat tangan Chika,
perempuan itu senyum-senyum melirik Izack yang hanya menyiratkan senyum di
wajah.
"Sudah lama ya?"
"Nggak kok,"
"Aku bersih-bersih dulu
ya.." katanya sembari pergi meninggalkan keduanya
"Bang," panggil Chika
berusaha menarik perhatian dari smartphonenya
Perempuan cantik itu terlihat terhenti
sejenak di sofa depan tv. Ia memeriksa tumpukan barangnya satu persatu,
termasuk hasil CT-scan dari rumah sakit. Melihat nama Luchika Aria, perempuan
itu sedikit lega, yang sakit bukanlah adiknya. Dan ia pun berlalu pergi di
antara ruangan sudut sebelah ruang tv.
"Bang, antar aku ke kostan
aja yuk.." ujar Chika pelan yang masih dicueki Izack yang kini justru
keluar menjawab telphon dari seseorang dengan nada tegang.
Tak mau ambil pusing, Chika
beranjak pergi memunguti barang bawaannya dan mengangkatnya seorang diri dengan
rasa nyeri seolah luka kembali sobek. Saat mendengar pintu di buka, Izack baru
sadar gadis itu sudah tidak ada di sekitar.
"Chik, Chika!" sekonyong-konyong
ia lari keluar melihat gadis itu pergi menenteng barang bawaannya.
"Hei, mau kemana?"
“Apa nggak ingat pesan perawat
tadi pagi?!” setengah kesal ia merebut tas bawaannya
“Maaf, aku nggak mendengarmu
tadi"
Ia kembali mendongakkan wajah
melihat Izack yang lebih tinggi darinya
"Boleh aku minta antar ke
Halte, Bang?"
"Oke-oke, kita masuk
dulu" ujar Izack merasa bersalah
Saat keduanya masuk, kakak
perempuannya sudah berdiri di depan Gazebo sembari membawa makanan ringan.
"Ayo duduk sini"
Perempuan cantik dengan rambut
bergelombang yang digerai sebahu itu tersenyum ramah mengambil bantalan alas
duduk. Ia mengenakan setelan babydoll krem dengan kain lembut yang menjadikan
wajahnya lebih mirip artis asia.
"Nanti tidur sini,
kan?"
Chika nyengir tidak enak
"Enggak Kak..."
"Lah? Terus?"
"Malam ini aku antar dia
pulang ke Mojokerto"
"Oh, jauh sekali?! Mending
besok aja pagi-pagi.."
"Lagipula apa kamu nggak
ngantuk, nyetir sendiri?"
"Ngantuk berhenti lah"
"Ehmmm..." Perempuan
itu senyum-senyum melirik keduanya bergantian
"Diminum dulu"
Selesai meneguk jus, kakaknya
tetap mengawasi dua sosok di depannya.
"Chika semester berapa
sekarang?"
"Hm?!"
Chika kaget mendengar namanya
disebut.
"Oh, enam Kak.."
"Kenal dimana?"
"Ehhh..." Chika mulai
panas dingin
"Basecamp"
Chika melotot heran, tapi ia
tutup mulut agar tidak menjadi masalah panjang.
"Sudah lama ya?"
"Eh..."
"Dua tahun yang lalu,"
Melihat Chika bola-bali melotot,
kakaknya heran.
"Status kalian apa ini?"
"Teman," "Pacar"
jawab mereka bersamaan
Kakaknya tersenyum lebar
memandang keduanya.
"Yang benar yang mana ini?!"
Kali ini tangan Chika
benar-benar sudah membeku menunggu tiap detik kata yang keluar dari mulut
kakaknya. Sementara udara hangat mulai terasa menyelimuti dada perlahan yang
membuatnya antara nyaman, takut dan cemas.
“Yang benar?! Dia mengakui kalau
aku pacarnya?!” pikir Chika harap-harap cemas
“Tenang Chika, jangan sampai
mudah terbuai kata-kata lelaki seperti itu”
“Sekali saja kamu jatuh ke dalam
pelukan lelaki itu, wassalam sudah masa depanmu” lagi-lagi alarmnya seakan
menyadarkannya keras
"Kamu sudah tahu aturan
main di keluarga besar kita, kan Izack..."
“Glukk!”
“Aturan apalagi ini?!”
Izack melengos kesal
"Begini, Chika..."
"Dalam tradisi besar
keluarga kami, jika ada yang mengajak pulang ke rumah teman lawan jenis, baik
laki-laki maupun perempuan, harus diperjelas statusnya dan secepatnya harus
diadakan ikatan resmi dari negara"
Chika melotot "Maksudnya
kak?!"
"Kak, tapi?!!"
"Ini kakak cuman
menyampaikan amanat dari Papa"
"Silahkan kalian
pikirkan"
"Kamu tahu bagaimana Papa,
kan?"
"Bukannya kemarin sudah aku
jelaskan alasannya?"
"Iya, tapi Papa tidak suka
dengan isyu yang berkembang"
"Ya ampun Kak,"
"Maksudnya isyu apa ya
Kak?" sela Chika bingung
Keduanya diam terhenti saling
memandang bergantian.
Sejenak waktu seperti terhenti.
Chika yang tidak punya smartphone benar-benar tidak tahu berita yang berkembang
di luar sana tentang hubungan dirinya dengan lelaki di sebelahnya.
Ia diam bingung menebak-nebak
antara memahami dan menyadari kata-kata perempuan cantik di depannya. Rencana
yang sudah terpikirkan sejak tadi seakan luluh berantakan dan bingung
memikirkan darimana memecahkannya.
"Aku perlu bicara denganmu,
Kak" kata Izack segera beranjak pergi meninggalkan Gazebo yang diikuti
kakaknya
Seperti orang linglung, gadis
itu terdiam lama menekuri meja dan jus yang disruput tanpa menikmati rasanya.
Ia mulai merasakan irama jantungnya yang lembut dan udara hangat di dada serta
dingin di kedua kaki dan tangan. Entah apa yang terjadi, pikirannya benar-benar
belum bisa diajak berpikir seperti hari-hari sebelumnya hingga ia menyandarkan
punggungpada pagar gazebo hingga perlahan mata kembali terpejam begitu saja.
Sepuluh menit kemudian
Melihat Chika kembali tertidur,
langkah Izack terhenti.
"Tidur disini saja dulu,
biar dia tidur di kamarmu, kamu tidur di sofa"
Mendengar suara bisik-bisik
kakaknya, Chika kembali terbangun. Ia bingung melihat keduanya berdiri menatap
dirinya di depan gazebo.
"Ayo, Chik. Kita berangkat
sekarang aja" ujar Izack yang tampak manis dengan balutan rompi wool merah
hati
"Izack... Izack. Dari dulu
keras kepalamu nggak sembuh-sembuh" ujar kakaknya kesal
"Kalau nggak keras kepala
mana mungkin aku jadi Ketua Umum dan punya usaha sendiri"
"Iya, perusahaan yang
nyaris kolep" katanya sembari menunggu Chika bangkit dari tempat duduk dan
menuntunnya sampai di depan mobil, lalu dengan sigap kakaknya membukakan pintu
untuknya. Cepat-cepat Chika menjabat tangan dengan menciumnya seperti tradisi
orang jawa pada orang yang lebih tua membuat kakaknya kaget.
“Ouch…!” seketika merangkulnya
erat
“Cepat sehat yah…”
“Hm, terimakasih Kak”
"Okey, hati-hati di
jalan" katanya melambaikan tangan
11
Ayo Menikah!
Sepanjang perjalanan keduanya
terdiam sepi. Kerutan di antara kedua alis mata Izack nampak jelas terlihat ada
beban pikiran yang sedang ia pikirkan. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya
tampak cemas. Chika yang duduk di sebelahnya merasa tidak enak karena banyak
membebani dirinya selama beberapa hari ini. Tiba-tiba saja laju
kendaraannya menepis, dan ia bergegas keluar dari mobil dan berbicara dengan
seseorang di telphon.
Chika mulai ikut terbawa suasana
yang tidak begitu mengenakkan hingga ia keluar dari mobil dan mulai
mengeluarkan barang-barang dari bagasi.
"Okey Kak, siap!"
ujarnya memutus pembicaraan, kaget melihat gadis yang dicintainya mengeluarkan
semua barang-barangnya
"Mau kemana?" tanyanya
heran
"Sepertinya aku sudah kuat,
Bang. Aku pulang sendiri aja"
"Heeehhh..." Izack
menghela nafas kesal kembali mengantongi smartphone dan memasukkan
barang-barang yang sudah terlanjur dikeluarkan.
"Aku janji bener deh,
uangnya aku transfer, tapi aku cicil ya..."
Izack tak menggubris
kata-katanya, ia justru kembali menjejalkan barang-barangnya tersebut ke mobil
dan menjepit badannya, membuat Chika risih hingga ia pun pasrah kembali masuk
mobil.
"Ayo masuk"
Lelaki itu sigap kembali masuk
mobil dan mengatur map digital di dashboard
"Ini alamatnya sudah benar,
kan?" ujarnya kembali memutar laju kendaraan dan mulai mengeraskan suara
musik instrument lembut yang menenangkan.
"Hm, iya benar" ujar
Chika kikuk dengan perlakuan yang baginya istimewa sekaligus kaget darimana ia
tahu alamat rumah pamannya yang langsung diikuti gerak laju roda kembali ke
tengah dan menggeber kecepatan kendaraan.
Senyap
Kendaraan yang nyaris tak terasa
goncangannya, ditambah kedap suara membuat Chika kembali merasa nyaman hingga perlahan
kembali tertidur.
"Ngomong-ngomong, pamanmu
bekerja di mana?" tanyanya tanpa tahu kalau gadis itu tertidur pulas
“Eeee?!! Apa Bang?” Chika nggragap
kaget membuat Izack tersenyum geli
“Maaf,”
“Kenapa mataku rasanya ngantuk banget
ya?” katanya lirih sambil membenjatkan kelopak mata
“Eh, tanya apa kamu tadi Bang?!”
tanyanya lagi yang membuat Izack tertawa
"Di Sawah," jawabnya
cepat
"Cuman petani"
“Begitu ya orang-orang cerdas
bekerja, mata merem tapi semua indra masih on”
“Kalau aku cerdas mah, mudah
saja dapat Beasiswa tiap bulan Bang… ini, boro-boro Beasiswa. Nilai SKS aja
ngap-ngap” katanya sembari meraup wajah lelah dan kesal dengan matanya yang
selalu ngantuk
"Ada apa dengan kata
cuman?"
"Ya, kan jauh dari
keluargamu"
"Loh, tanpa kerja keras
petani kita semua nggak bisa makan lho"
"Iya sih,"
"Kenapa dengan kata sih?"
tanya Izack lagi membuatnya kesal merasa semua kata-katanya selalu di correct
"Ngomong-ngomong, tadi itu
kakak kandung?" cletuk Chika berusaha membuka pembicaraan dengan nada
kikuk
"Hm,"
"Kenapa?"
"Hehe... Kok nggak mirip
sama sekali"
"Iya nggak mirip, orang aku
laki, dia perempuan" ujar Izack santai
"Tinggal dimana sekarang,
Bang"
"Siapa?"
"Kakak?"
"Belanda"
"Oh," Chika tersenyum
nyengir membawa perasaannya nyaris seperti sedang turun dari papan seluncur
yang begitu tinggi menjulang melihat perbedaan dirinya dan orang di sebelahnya.
"Maaf sudah banyak
merepotkanmu Bang..." nada gadis itu hati-hati "Harusnya kamu tadi
bisa ngobrol dulu sama kakakmu"
"Akhir-akhir ini sering
pulang dia"
"Oh... kuliah
ya?"
"Kerja"
“Oh,” jawab Chika kikuk melihat Izack
kembali diam
“Kalau kau mau, kapan-kapan kita
bisa kesana”
“Hehe…” jawab Chika meringis
Ia hanya membayangkan hubungan
seperti apa yang bakal terjadi antara dirinya dengan lelaki tersebut, mengapa
ia sampai berani mengajak keluar negeri yang baginya itu di luar ekspektasinya.
“Bang,” suaranya agak tercekat
bingung memulai darimana hingga meluncurlah pertanyaan inti
"Hm,"
"Jadi, total biaya Rumah
Sakit berapa?" tanyanya polos dengan nada cemas menggigit bibir bawah
"Kalau dihitung-hitung
dalam satu minggu ini, kamu sudah habis berapa puluh juta?" tanyanya lagi
menggigit bibir bawah cemas dan khawatir menunggu jawaban lelaki itu menyebut
angka
"Biaya transport dari kost
ke rumah sakit, rumah sakit ke rumahmu, rumahmu ke rumah paman, belum lagi
biaya kebutuhanku selama di Rumah Sakit. Dan yang pasti biaya operasi"
Izack melongo tertawa geli
"Chika... Chika. Pantas
badanmu kurus kering sakit-sakitan begitu. Cara berpikirmu seperti itu?!"
Spontan wajahnya mengernyit
heran "Maksudnya gimana?
"Bayar dengan hatimu
sajalah..." jawabnya santai
"Aku tanya serius lho,
Bang"
"Memangnya aku nggak
serius?"
"Bang!"
"Hm,"
"Berapa?!"
"Apanya?"
"Biaya Rumah Sakit tadi?"
"Bukannya sudah aku
jawab?" jawab Izack tertawa ringan menyilakan poni
"Ya sudah, ayo kita nikah
saja"
"Kamu itu benar-benar lugu,
polos lagi" ujarnya santai membuat raut Chika makin bingung.
"Ini orang, gendeng apa
sih?" pikir Chika melirik reaksi Izack yang tetap santai
"Kenal juga enggak, sudah
berani tanggung biaya Rumah Sakit, ditanya biayanya berapa malah ajak
nikah?" pikir Chika dengan nada curiga sambil curi-curi pandang wajah
Izack pada spion di atasnya yang tetap tenang nyetir.
"Kenapa? belum pernah lihat
pesonaku saat jadi driver jurnalis ya?" Izack tersenyum lebar
"Bang"
"Please!"
"Aku nggak gurau"
"Yang gurau itu siapa sih,
Chika..." jawab Izack dengan segaris senyum samar
Pikirannya seakan mampet harus
berkata apa, dan tak bisa dipungkiri ia mulai merasakan dadanya berdebar halus
seakan menangkap aroma cinta dari garis senyum lelaki yang baginya jauh di atas
langit. Tapi ia sadar, biaya Rumah Sakit tidaklah main-main. Mana mungkin tidak
ada niat apapun mau menalangi biaya Rumah Sakit, sementara tak ada keberanian menyambut
benih-benih cinta yang berhamburan sejak pertama kali datang ke kostnya hingga
menunggu berhari-hari di Rumah Sakit dan membiayai semua biaya perawatan.
“Eh, wajar nggak sih? Menalangi
biaya Rumah Sakit sebagus itu?” pikirnya lagi membuang muka pada jendela
“Kalau bukan masalah perasaan,
lalu apa??!”
“Kalau benar punya perasaan”
“Memangnya di sekeliling dia nggak
ada perempuan cantik kah?”
“Mengapa harus aku? Mahasiswa
kere yang pekerjaannya serabutan dari pintu ke pintu”
“Yang tidak punya kepandaian
apapun kecuali ngoceh di Mass Media” pikirnya memijit-mijit kepala bingung
“Hah!!” teriaknya keras seakan
menghempas semua pikirannya membuat Izack kaget
“Kenapa kamu?!”
“Sudahlah!” teriak batinnya
“Cukup! Jangan mengkhayal
terlalu jauh, Chika” pikirnya menelan nafas dalam-dalam sembari melirik wajah
halus lelaki di depannya lewat spion di atasnya yang tampak tenang mengemudi.
Tak habis pikir ia garuk-garuk
kepala dan menelungkupkan wajah dengan punggungnya melengkung ke depan membuat
tangan Izack spontan langsung mengambil bantal kecil di sebelahnya untuk menahan
kepalanya agar tidak terbentur pada jok di depannya saat ia menekan rem.
Melihat telapak tangan lelaki
itu Chika melenguh kesal.
“Bang! Please! Jangan membuatku
salah paham dengan sikapmu”
"Aku butuh jawabanmu
sekarang, jangan dibahas di rumah pamanku"
"Okey, siap tuan
putri..."
Tak bisa dipungkiri, perempuan
mana yang tidak melambung perasaannya saat melihat aura senyum lelaki tampan
dan cukup mapan untuk dirinya. Tapi masalahnya ia tidak berani berspekulasi
terlalu tinggi.
"Ngomong-ngomong pacarmu
orang mana?"
Chika langsung menoleh kaget
"Hm?!!" yang lagi-lagi membuat Izack tersenyum tipis
"Ini orang kenapa
sih?" pikirnya
"Baru berapa detik yang
lalu ajak nikah, detik berikutnya tanya pacar" batinnya kesal
Izack yang tahu reaksi gadis di belakangnya
hanya tertawa geli.
"Kenapa?"
Chika menghembuskan nafasnya
lepas seakan ada aura putus asa membayangkan kehidupannya tahun-tahun
belakangan.
"Bang, urus kehidupanku
sendiri saja sudah ribet setengah mati, buat apa mikir kehidupan orang
lain"
“Lagipula, pacaran itu
melelahkan. Menyedot pikiran dan perasaan, mending untuk kerja dapat uang buat
senang-senang. Beres!” kata Chika lelah membuat lelaki itu kembali tersenyum
lebar seakan mendapatkan peluang besar untuk bisa masuk ke dalam hatinya.
"Sip! bagus itu,"
Chika mengernyit bingung
"Makan dulu ya?"
katanya mulai menepiskan laju roda
"Nanti kamu pikir lagi,
ditambah hutang makanmu ini berapa?" tawa Izack meledek
Chika tersenyum malu memalingkan
wajahnya keluar jendela. Tak bisa dipungkiri hawa dingin membuat telapak
tangannya semakin beku menangkap benih-benih cinta yang baginya terlalu
istimewa.
"Ada niat apa sebenarnya di
balik semua ini?" pikirnya
"Benarkah kata ibu perawat
itu?"
"Atau
jangan-jangan..." pikir Chika berulang kali sengaja memalingkan muka ke
pintu jendela mobil. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tiba-tiba saja matanya
mulai tampak berkaca-kaca. Dan itu langsung diketahui Izack yang sesekali
memperhatikan gerak-geriknya.
"Hei...! Kenapa lagi
kamu?"
"Ususmu sudah dipotong
sekitar 10cm tuh"
"Kenapa nggak kamu jawab
saja berapa sih, Bang?" potong Chika yang terlanjur basah ketahuan
berkaca-kaca dan air mata pun menetes tak terbendung
Izack hanya tersenyum ringan dan
menepiskan laju kendaraan di depan sebuah resto.
"Ayo, kita ngobrol di dalam
saja biar enak" ujarnya saat mobil sudah terparkir di halaman parkir. Izack
keluar lebih cepat dan membukakan pintu untuknya sambil tersenyum tenang
memperhatikan pipinya yang basah.
Sebagai lelaki, bohong bila tak
ada hasrat untuk memeluknya di saat gadis yang ia cintai sedih. Tapi ia tak
bisa melakukan itu demi menjaga kehormatannya sebagai seorang gadis. Apalagi
tahu jika Chika bukanlah tipikal cewek yang sembarang disentuh, teringat
peristiwa dua tahun yang lalu.
Izack menggiringnya masuk ke
salah satu Saung di area alam terbuka. Di bawah romantisnya temaram lampu,
angin malam sesekali berhembus membawa suasana sejuk. Ia sadar, kehadiran
lelaki di depannya membuat dirinya canggung. Karena biasanya ia datang ke sini
beramai-ramai dengan teman-teman Basecamp.
Seperti ada sesuatu yang
terbetik dalam batinnya, setengah ragu ia duduk bersimpuh di depan Izack yang
membuat lelaki itu mendadak bingung
"Kenapa?"
"Aku tanya serius soal
biaya rumah sakit dan lainnya, Bang"
"Bagaimanapun nominal
segitu tidak kecil buatku. Dan tidak mudah juga aku mendapatkan uang sebesar
itu. Makanya aku tanya" ucapnya setengah memohon
Kali ini Izack diam seakan ingin
menahan tatapan mata gadis itu yang spontan menundukkan pandangannya.
"Ayo kita menikah
saja" katanya mantap
"Gluk!!" lagi-lagi
membuat Chika grogi salah tingkah dan mulai gemetaran menarik nafasnya yang
perlahan membuat sekujur tubuhnya lemas
"Hah?!"
"Apa?!" tanya Chika
geragap merasa salah dengar
"Menikahlah denganku?"
sorot matanya tajam dan dalam membuat Chika takut dan mengalihkan pandangan
mata
"Bang, aku tanya
serius"
Lagi-lagi Izack tampak menarik
nafas merilekskan badannya "Aku juga serius, Chika" nadanya berat
Spontan gadis itu
merinding
Melihat arah mata Chika, Izack
pun menoleh.
"Ah... Chika, kamu nggak
pulang-pulang kemana saja?" suara itu mendadak membuat Chika celingukan
ingin menyembunyikan wajah dan segera mengelap wajah dengan tisyu di depannya.
"Rin.. dia lagi kerja"
senyum sinis gadis di sebelahnya menyenggol
"Ooh... Ini toh
rupanya?"
"Ada urusan apa mbak?"
kata Izack menantang tatapan mereka
"Hahaha... daripada
mencucikan baju kamu, Rin. Mending bekerja seperti ini, fee nya lebih
banyak" jawab salah satu dari mereka tidak menggubris kata-kata Izack
"Iya lah?!" kata
seseorang yang langsung ditertawakan 3 gadis lainnya.
Chika hanya tertunduk malu
seakan ditelanjangi di depan lelaki yang tengah melamarnya.
"Non... Kalo iri, bilang..
kapan aku bisa booking kamu?" ujar Izack santai yang membuat Chika melotot
nyeri
"Sepertinya aku juga nggak
tertarik isi dadamu yang kecil deh, nggak asyik"
"Dan kamu, terlalu gede,
menjijikkan" spontan Chika melotot kaget mendengar kata-kata Izack
"Dasar!! Ganteng-ganteng
cabul"
“Iya, terus kenapa?”
Spontan raut mereka merah padam
menahan marah. Mulut mereka hanya komat kamit menahan ledakan emosi. Dan salah
satu dari mereka nyaris saja melempar Izack dengan sepatu yang diparkir bawah
saung, tapi seorang lelaki yang kebetulan tengah lewat langsung menahan sepatu
yang sebentar lagi melayang.
"Kalau mau buat onar, salah
tempat kamu mbak... bukan di sini tempatnya"
"Pantas saja pacarmu
selingkuh" cletuk gadis di sebelahnya salah paham
"Ayolah Rin!" ujar
mereka kesal membanting sepatu kesal sembari berlalu meninggalkan saung dimana Izack
dan Chika duduk
Begitu mereka pergi, Chika makin
nyeri membayangkan sekapan lelaki yang ada di depannya.
"Lelaki seperti apa
sebenarnya dia" pikir Chika menghela nafas tegang
"Benarkah dia sering
membooking para gadis?"
"Jangan-jangan, seperti ini
cara dia merayu gadis untuk mau tidur dengannya?" lirikan mata Chika nyeri
melihat Izack spontan membuat lelaki itu tertawa lebar
"Pasti pikiranmu
kemana-mana" tawa Izack geli melihat raut Chika yang tegang
"Omongan cewek-cewek
seperti itu tuh harus segera dibungkam, kalau enggak capek kamu"
"Tapi maksud mereka bilang
"Bekerja" itu apa?!"
Spontan Izack tertawa geli
mendengar kepolosan gadis itu
"Chika... Chika"
"Sudahlah, bahas yang lain
saja"
"Tapi, beneran kamu kadang
mencucikan baju mereka?"
Chika hanya mendenguskan tawanya
kecut "Bukan kadang, sering"
Izack melotot
"Serius??!"
“Bang! Hari gini, orang seperti
kami kalau ingin mendapatkan Pendidikan tinggi harus banting tulang. Kaki buat
kepala, kepala buat kaki”
“Mau nangis?! Mau marah?! siapa
yang peduli?”
“Makanya ketawa aja aku dengar
kalian ngoceh sepanjang hari di depan kostan Bang Hendrik” nadanya seketika
tegas membuat Izack geli melihat ekspresinya berubah total dari yang lemah
mendadak kuat
Izack menarik nafas dalam dan
menghempas lepas. Ia tidak ingin meneruskan obrolan yang bakal menjadikan
pertengkaran.
"Kenapa tidak bajuku
sekalian saja?"
"Iya, buat bayar
hutang" jawabnya penuh semangat
"Tidak apa-apa, kalau
seumur hidup"
"Maksud??" Chika
mengernyit menebak-nebak
"Ya nggak bisa begitulah,
harus ada penghitungannya" tanggapan Chika serius yang hanya membuat Izack
lagi-lagi menyemburkan tawa lebar membuat gadis itu makin kesal atas ketidak
pahamannya tentang ucapannya yang demikian.
"Bang, uang 20-30 ribu
bagimu mungkin tidak ada apa-apanya, tapi bagiku bisa menciptakan energi baru
untuk menghasilkan pundi-pundi uang lebih banyak lagi"
"Ngomong-ngomong, pekerjaan
sampinganmu itu apa aja sih?"
Chika nyengir "Tukang cuci
piring, kadang gantikan teman di SPBU, kadang mencucikan dan setrika baju
teman, kadang belikan makanan buat teman, tapi yang paling baku les privat
anak-anak sd dan smp"
"Lalu waktu belajar,
kuliahmu, menulismu, kapan?"
"Maka dari itulah waktu
24jam, bagiku kurang. Bang.."
Izack menarik nafas berat
menatap wajah Chika yang menurunkan pandangannya pada meja bulat di depannya.
Saat itu menu pesanan datang.
Chika melongo saat pramusaji meletakkan semua hidangan satu meja penuh.
"Kamu ada janji sama
temanmu, ya Bang?"
"Iya, teman spesial"
jawab Izack
"Oh... Cewekmu?"
tanyanya menelisik
"Mengganggu tidak?"
"Kapan datangnya?"
Chika menoleh mencari-cari sosok perempuan dari pintu masuk
"Bukannya cewekku ada di
depanku ya?" senyum Izack nakal yang lagi-lagi membuat Chika salah tingkah
melihat lelaki itu menata menu ikan gabus dan sop tuna serta beberapa hidangan
bersahabat ala orang pasca operasi.
Pandangan Chika seperti tersedak
melihat sosok pemulung dan bocah lelaki yang pernah mencuri 2 buah apel dan
menabrak dirinya beberapa hari lalu di lampu traffic light tengah mengais
sampah di luar pintu Resto.
"Ayo, dimakan dulu, keburu
dingin" kata Izack mengikuti arah mata Chika pada pemulung di luar.
"Kamu kenal?"
Chika menggeleng
Mata gadis itu kembali tertuju
pada semua menu yang tersaji di atas meja.
"Cewekmu masih lama, Bang?"
Izack hanya senyum-senyum
"Kan sudah aku bilang,
cewekku di depanku"
"Maksudnya?" perhatiannya
terpecah pada pemulung tua beserta anaknya yang keburu pergi
"Bang, punyaku yang mana?"
"Itu,"
"Semua?" Chika
membelalak
Tanpa berkata ataupun bertanya
lagi, ia membawa semua menu miliknya ke atas nampan yang ia minta lagi dari
resepsionis.
"Loh? mau dibawa
kemana?"
"Sebentar,"
Dengan gerak-geriknya yang masih
sempoyongan, ia berusaha berdiri membawa nampan yang langsung direbut Izack.
“Mau dibawa kemana?”
“Kasihkan mereka aja dulu, Bang”
“Loh?!”
“Tolong…” pintanya setengah
memohon
“Tapi kamu butuh makan, Chik”
“Aku tidak perlu mencuri untuk
sepiring nasi, Bang. Tapi anak itu, hanya gara-gara dua buah apel dia berani
taruhan nyawa mencuri sekalipun akhirnya apel itu jatuh dan ditinggal lari”
Waktu seakan berhenti, ia
menatap lama wajah gadis di depannya yang cemas khawatir mereka keburu pergi. Tanpa
berkata lagi, Izack mengikuti kata-katanya dan membawakan nampan itu keluar,
sementara Chika mengikutinya dari belakang sembari menekan balutan bekas luka
sayatan yang terasa sangat nyeri saat berjalan. Izack meminta tukang parkir
untuk memanggilkan bapak dan anak gelandangan yang sudah berjalan beberapa
langkah dari depan resto.
Melihat raut si bocah, Chika
menarik nafas lega.
“Ayo makan pak,”
Izack menatakan makanan itu dan
menyuruhnya cuci tangan pada pipa kran di sebelah pos. Melihat pemandangan itu,
Izack melirik Chika yang terlihat lega di balik wajah pucatnya setelah sekian
lama di Rumah Sakit.
“Makan yang banyak ya Dik,”
“Matur nuwun mbak…” jawab si
bapak dengan kulit wajah kirut-mirut
“Terimakasih ke dia pak, itu
punya dia”
“Sudah…” bisik Izack menepuk
pundaknya, spontan Chika menoleh menatap tajam tangan Izack yang langsung
diangkat dan tersenyum tipis.
“Sory lupa”
“Matur nuwun mas… semoga Tuhan
memudahkan semua urusan mas dan dilebihkan rizqinya mas..”
“Amin.. amin… terimakasih
Bapak..”
Gadis itu duduk di belakang si
bocah laki sambil mengusap-usap pundaknya.
Pemandangan yang tak lazim
membuat lelaki itu terharu. Gadis lugu, polos namun keras kepala itu ternyata
memiliki hati yang sangat dalam. Ia menunggu pemulung bapak tua beserta bocah
lelaki itu menikmati sarapannya hingga selesai.
Lelaki dengan hidung mancung
bermata bulat besar itu kembali masuk dan menunggu Chika dengan wajah
sumringahnya. Tak lama kemudian Pramusaji kembali datang membawakan menu yang
sama.
"Loh?"
"Makan,"
"Kamu mungkin sudah
terbiasa lapar, tapi organ tubuhmu baru saja di repair"
"Jangan seperti ini Bang.
Aku memang punya niat syukuran”
"Ya kalau aku punya
uang," nadanya turun
"Aku pernah melihat anak
pemulung itu mencuri apel di depan lampu traffic light depan kampus, Bang.
Gara-gara dia menabrakku, apel yang dia sembunyikan di kaosnya jatuh
menggelinding"
"Sejak itu aku jadi
kepikiran terus bagaimana nasib anak itu"
"Ternyata kesulitanku tidak
ada apa-apanya" tuturnya menarik nafas sesak
"Dan hari ini, melihat
mereka makan lahap banget, entah kenapa rasanya senang banget. Meskipun entah
bagaimana nasib dia besok pagi atau lusa nanti"
"Tunggu,"
"Bukannya kejadian itu baru
minggu lalu ya?"
"Hnggg...???" Chika
tampak berpikir keras menghentikan sendokannya
"Saat itu kamu dimarahi
calo bertato"
Chika nyengir, "Darimana
kamu tahu?"
"Tahulah..." Izack
hanya senyum-senyum membuat Chika malu terbayang dirinya menjajakan koran di
perempatan jalan
Sesekali mata gadis itu melirik
senior di depannya "Sebenarnya sejauh mana lelaki ini tahu tentang
diriku?" pikirnya.
"Darimana dia tahu kalau
itu aku?"
"Bukannya kalau menjajakan
koran di pinggir jalan begitu aku selalu pakai masker tertutup dan topi
kompeni?" pikirnya menggigit bibir bawah
"Dan wajahku selalu
tertutup"
"Kenapa?"
"Hehe... tidak" Chika
geleng-geleng penuh tanya
Izack pun mulai teringat
peristiwa dua tahun yang lalu saat perayaan ulang tahun dengannya di Resto ini
juga. Saat itu gadis di depannya mengutuk kegiatan yang dianggapnya kegiatan
hura-hura. Dan hari ini barulah ia mengerti, mengapa ia mengutuk kegiatan
makan-makan semacam itu.
Diam-diam ia sedang mengukir
wajah gadis imut nan polos, yang kadang keras kepala namun sekaligus lembut
hati. Chika yang tahu dirinya sedang diperhatikan mulai grogi dan salah tingkah
membuat Izack tersenyum geli yang tak lama kemudian dikaburkan dengan getar
ponselnya dan pamit keluar untuk menerima telphon.
Entah berapa lama Izack telphon,
ia kembali lagi dengan segaris senyuman membuat Chika bingung, grogi dan kikuk.
“Bang, balik ke topik pembahasan
di mobil tadi”
“Hm,”
“Berapa habisnya biaya
perawatanku di Rumah Sakit tadi?” nadanya tegas
Izack hanya tersenyum sekilas
sembari meletakkan ponselnya dan kembali menyelesaikan hidangan di atas meja.
“Kamu beneran nggak ingat aku
ya?”
Chika menatap sebentar, lalu
mengalihkan pandangannya menahan rasa grogi.
“Masa kamu nggak ingat waktu
kita ketemu di Rumah Makan ini?”
Gadis itu mulai menggamit
perutnya kesal
“Sory. Oke, begini…” jawabnya dan
diam sejenak mulai nampak raut grogi, bingung dan kalut semua bercampur jadi
satu.
“Anggaplah aku sudah menolong
hidupmu, sekarang giliran aku minta tolong ke kamu”
“Mau tidak, kamu menikah
denganku?”
“Bang?!”
“Tunggu, dengarkan penjelasanku
sampai selesai”
“Akhir-akhir ini orang tuaku selalu
ingin menjodohkanku pada perempuan yang sama sekali tidak aku kenal”
“Terus, kamu kenal aku?
Begitu??!”
“Kita baru berapa hari yang
lalu, Bang” suaranya menekan heran kesal
Izack gelagepan mencari alasan
yang pas hingga ia kembali menguasai diri dan bersikap cool seperti biasanya.
“Aku mengenalmu jauh sebelum
kamu mengenalku”
“Kamu masih ingat kejadian
diguyur di Basecamp AMI waktu dua tahun lalu?”
“Hm, ya. Aku ingat”
“Siapa yang pinjamkan baju ke
kamu?”
Chika nyengir teringat peristiwa
di jalanan menuju Basecamp yang sepi.
“Hei?!!” Izack menghalau
pandangan Chika yang tampak kosong
Di balik kekosongan pandangannya
tersirat sedikit tawa yang sedang berusaha ia tahan. Ia ingat betul bagaimana
wajah lelaki tinggi dengan alis matanya yang tebal bermata bulat dengan rambut
lurusnya yang gondrong, kala itu. Memorinya seperti sedang diaduk-aduk
“Pantas saja, seperti pernah
lihat orang ini dimana”
“Ternyata..”
Tak bisa dipungkiri, ia tertarik
dengan rambutnya yang menutupi sebagian matanya kala itu jika tersenyum begitu manis.
Dan itu adalah lelaki di hadapannya yang kini tengah melamar dirinya.
“Eh? Apa?”
“Oh, nggak ingat aku” potongnya
pura-pura memalingkan wajah sembari menggigit bibirnya dengan perasaan
meluap-luap.
Tapi dirinya sadar, bahwa
pernikahan bukanlah peristiwa main-main. Sekali ia dalam ikatan, selesai sudah
kehidupannya yang bebas dan mandiri.
Izack menghela nafas kesal
merasa dicueki.
“Oh, oke. Ya sudahlah… lupakan”
katanya segera mempercepat sisa makanan di piringnya. Selesai itu ia tak
berkata apapun dan…
“Ayo! Cepat selesaikan makanmu” nada
suara Izack tidak enak meninggalkan Gazebo. Saat itulah ia mulai tahu bahwa
lelaki itu juga bisa marah setelah sekian hari di Rumah Sakit tak begitu peduli
dengan lelaki tersebut. Gadis itu bingung dengan sebagian menu yang belum
tersentuh sama sekali. Ia memanggil pramusaji untuk minta tolong dibungkuskan
sisa-sisa makanan dan mengikuti Izack yang telah berdiri di depan kasir.
Ia berdiri di belakang Izack
seperti anak kecil yang ngekor kemanapun membuat lelaki itu hanya senyum
sekilas menunjukkan kemenangan yang membuat Chika lagi-lagi bingung. Saat
lelaki itu masuk ke ruang parkir, gadis itu ragu mengikutinya. Ia berhenti dan
berdiri mematung di depan mobil.
“Kenapa?”
Ia diam ragu seperti ada yang
ingin dikatakannya
“Ayo, Cepat. Duduklah di depan,
jangan duduk di belakang, aku bukan sopirmu”
Chika menarik nafas kesal pada
lelaki yang baru berapa menit lalu membuatnya salah tingkah.
Ia masuk mobil saat langit
benar-benar telah gelap.
Hening,
“Maaf Bang, soal tadi”
“Apa? Yang mana?” suaranya datar
seolah tidak terjadi apapun
Lagi-lagi ia menghela nafas
kesal seakan sedang dipermainkan perasaannya
Ia menggamit ujung baju ragu
hendak berkata
“Soal biaya Rumah Sakit dan
kata-katamu tadi”
“Oh…”
“Kalau nggak mau, ya sudah nggak
usah dipikirkan”
Sesaat perasaannya seperti
sedang meluncur dari ketinggian papan luncur. Mulutnya tampak ragu dan gagap
hendak berkata. Terang saja, sebenarnya ia mulai ada rasa suka dengan lelaki
yang nyaris sempurna di matanya. Tapi pertanyaannya, seberapa pantas lelaki itu
menikah dengan dirinya yang jauh dari kata sempurna.
“Bagaimana kalau kita saling
kenal lebih dulu”
“Aku khawatir, kamu akan kecewa
jika tahu aku yang sebenarnya”
Izack memainkan jarinya di bawah
hidungnya mengulum tawa kemenangan.
“Ehmmm…”
“Okey”
“Sok, kamu mau tanya aku apa?”
“Apa kamu punya pacar?”
“Belum dan tidak pernah”
Chika melongo, tapi ia tipikal
gadis yang tidak mudah percaya begitu saja pada seseorang.
“Maaf, kalau boleh tahu…
kegiatanmu selain kuliah apa saja?”
“Emmm… mengurus penerbitan
kecil-kecilan. Itupun kantornya masih ngontrak”
“Oh..”
“Yesss! Peluangku bisa bekerja
di Editorial” pikir Chika tersenyum sekilas. Dan ia mulai berkhayal seandainya
bekerja di kantoran, setidaknya jauh lebih nyaman dibanding harus bekerja di
spbu atau rumah makan, atau sekedar jadi pedagang asongan hingga mata pun
perlahan terpejam dengan segaris senyuman membuat Izack tertawa lebar melirik
gadis polos itu kembali tertidur pulas.
Tak terasa dua jam perjalanan
sudah terlewati, tapi pikirannya masih berkecamuk memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi seandainya yang dikatakan Hendrik
itu beneran terjadi.
Ia mulai menepiskan laju
kendaraannya. Melihat leher gadis itu tersibak dari rambutnya yang lurus tergerai,
perasaannya mulai terguncang dan segera menutupnya dengan selembar selimut yang
ia ambil dari jok belakang. Dan meremas tangannya seakan sedang menekan
hasratnya yang sekedar ingin menyentuhnya.
Sesekali ia melirik gadis dengan
rambut panjangnya yang masih acak-acakan..
Sembari menarik nafas dalam ia
mencengkeram erat gagang sopir, seperti tengah meyakinkan diri untuk sesuatu, Izack
menghadapkan wajahnya pada pandangannya yang jauh.
"Okey," gumamnya
sembari menarik nafas
Entah sudah berapa jam malam itu
terlewati, tapi kegaduhan pikirannya tidak segera padam. Hingga ia kembali
menepiskan laju kendaraannya dan segera keluar sekedar menghirup udara segar malam
yang kian larut di sekitar area persawahan yang sepi. Ia bersandar pada cap
depan mobil dan mulai membuka tabletnya,
memeriksa jadwal, pekerjaan dan pertemuan yang sempat ia cancel beberapa hari
yang lalu.
Chika keluar dengan mata masih
kriyepan.
"Sudah sampai mana ini,
Bang?!!" tanyanya menampakkan wajah polos dan imutnya sembari membenjatkan
mata yang masih terasa berat untuk melek. Tapi lagi-lagi ia penasaran dengan
apa yang akan lelaki ini lakukan, sementara ia sudah merasa trust dan
nyaman pada lelaki ini.
"Kita jadi ke rumahku,
kan??" Chika mengernyit sambil mengucek mata bulatnya memutarkan pandangan
ke sekeliling pada area pegunungan yang gelap.
Izack meneguk sebotol air
mineral yang lalu diletakkannya di atas cap mobil sembari memperhatikan kilatan
bening mata dan bibir ranumnya gadis itu terpantul kilatan cahaya bulan.
"Masa kamu tidak tahu
jalanan ini?"
Chika riyep-riyep membenjatkan
mata melototkan matanya yang kecil tetap saja tampak kecil.
Tak bisa dipungkiri, sebagai
seorang lelaki, melihat gadis cantik imut berwajah lembut seorang diri di malam
hari yang gelap rasanya ledakan hormonalnya luar biasa dahsyat. Ia mulai
merasakan tubuhnya panas sekalipun udara malam terasa benar-benar dingin
menggigit. Tubuhnya mulai gemetar panas dingin menahan hasrat sekedar membelai
atau menciumnya. Tapi ia sadar, sekali saja ia menyentuhnya, bakal ada dua
kemungkinan, ia akan ditolak atau menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang
gadis.
"Ah... dasar kau
iblis!" umpat Izack dalam hati meninggalkan Chika yang masih berdiri
bingung
"Bang, tunggu!" Chika
berlarian seperti anak kecil mengikuti Izack masuk mobil.
"Nanti kalau sudah sampai
di depan pintu gerbang desa, turunkan aku ya...?" katanya sembari mengikat
seat belt
"Maksudnya??
Chika nyengir "Kamu nggak
usah masuk ke Desa itu?"
"Terus?"
"Ya pulang"
"Maksudnya, kamu?!"
"Jalan kaki??"
Chika nyengir "Iya,"
"Serius?? Nanti kalau kamu
hilang digondol wewe, berita yang muncul Ketua AMI sembunyikan gadis
misterius"
Chika tertawa lebar "Ya
enggaklah..."
"Lha terus kenapa?"
tanyanya lagi pura-pura bodoh
"Haduh... Gawat lah,
pokoknya"
"Digebuki warga
Desa??!"
Chika tertawa "Enggaklah,
gila apa?"
"Terus??"
"Sudah, pokoknya begitu
saja. Bahaya"
"Disuruh menikahi gadis
yang ajak pulang laki malam-malam??"
"Baguslah kalau
begitu"
"Darimana kamu tahu?"
Chika melotot, spontan menutup mulutnya merasa keceplosan yang membuat Izack
spontan tertawa ringan
"Kamu tidak ingat tulisanmu
sendiri di koran yang ditempel dengan bangganya sama fakultasmu?" Chika
melongo gelagepan mengatur pikirannya yang spontan berantakan
"Kebetulan saat itu aku
main ke kampusmu"
"Hendrik bilang, itu kamu
yang menulis"
"Saat itu aku lihat kamu
serius baca buku di depan kelas" jelas Izack lagi yang membuat jantung
Chika spontan berdebar tak karuan menangkap apa yang bakal ia lakukan
"Sebelum aku melangkah
seperti ini, ada banyak hal yang sudah aku pertimbangkan, Chika..."
"Maksudnya??!"
"Kan kamu yang minta
diantar, sama saja kamu memintaku kan..."
"Maksudnya apa?" Chika
melotot cemas, geram, campur aduk
"Menyerahkan hidupku begitu
saja pada orang yang nggak aku kenal???" pikirnya mengutuk kesal
"Okey, kamu ganteng, kaya,
mapan. Tapi apa jadinya jika begitu menikah, hari berikutnya kamu sudah
menggandeng perempuan lain?" batinnya berontak kesal
"Kamu pikir, aku perempuan
macam apa, huh?!" batin Chika terus ngedumel
"Stoooppp..." pekik
Chika seperti meneriakkan kekacauan pikirannya yang terus bersuara dan hanya
ditertawakan Izack melihat raut cemas dirinya
"Hei, Non.. semua kan bisa
dibicarakan baik-baik"
"Tidak bisa, Bang..."
"Lihat kanan kiri, kita
justru bahaya kalau berhenti di sini"
Begitu melihat penginapan di
kiri jalan, Izack langsung banting setir memasukkannya ke area parkir hotel.
"Okey, kita tidur di sini
aja"
"Maksudnya?!"
"Ayo!" Izack
membukakan pintu
"Kita tidur di mobil saja
sampai pagi" jawab Chika tak bergeming
"Kamu mau jatuhkan nama
baikku lagi kah?"
"Maksudnya?!!"
Izack mengutak atik tablet tipisnya
dan menyodorkan pada Chika.
Perilaku Ketua Umum AMI naksir
gadis misterius
Spontan Chika tertawa ngikik menahan
bekas sayatan di perutnya melihat ekspresi wajah Izack yang lucu saat menolong
dirinya sejak di kost hingga Rumah Sakit.
"Berat ya, jadi orang
terkenal"
"Lagipula, sempat-sempatnya
mereka mengambil gambar ini"
"Ya begitulah,"
"Jadi kau tahu kan.. apa
jadinya jika kita tidur di mobil?"
"Kita ini di kota kecil,
Bang. Mana ada yang mengenalmu?" tawanya setengah mengejek
"Bilang saja kamu mau tidur
denganku" tukas Izack
“Hoo..khh.. terlalu percaya
diri” kutuk Chika
"Begini, kamu tidur di
penginapan. Aku naik ojek pulang ke rumah. Di ujung jalan itu biasanya ada
pangkalan ojek"
"Jam segini?"
"Memangnya kenapa to, kalau
kita beneran dinikahkan" katanya santai membuat Chika spontan melotot aneh
"Bang, kamu nggak sedang
putus asa berhadapan dengan gadis miskin yang hutang puluhan juta denganmu kah?"
Spontan Izack terkekeh
"Kamu sadar sedang bicara
dengan siapa?"
Chika mencibir meremehkan
"Apa artinya seorang
pebisnis ketika mengeluarkan uang banyak untuk orang yang kamu kira baru
kenal"
"Oke deh, baiknya
gimana?" potongnya tak mau ribet
"Ngobrol di rumah, minimal
dengan pamanmu"
"Oh, No!"
"Terus??"
"Kamu tidur di sini, aku
naik ojek"
Izack menarik nafas lelah
"Jadi, serius kamu tidak
ingat aku?"
“Kalau ingat, terus apa
hubungannya sama sekarang?” Chika menggeleng bingung
"Untuk itu kita ke rumahmu,
mudah kan??"
"Semudah itu?!" nafas
Chika tersengal kesal
Tiba-tiba Security hotel datang.
"Ada yang bisa dibantu,
Mas?"
Melihat Chika kekeh
menggeleng-gelengkan kepala, Izack pun minta maaf dan masuk mobil mulai
membelokkan kendaraan keluar dari area hotel. Namun entah berapa kilometer
mobil itu berjalan, Chika kembali tidur pulas, dan Izack pun mulai tenang.
"Bang??!!" spontan
membuyarkan pikirannya mendengar gadis itu kembali terbangun
Pikiran Chika makin kacau begitu
masuk ke area persawahan desa pamannya saat jam digital di mobil menunjukkan
pukul 23.45.
"Bang! Serius. Kita
berhenti dulu di sini"
"Semua kan ada
penyelesainnya, Non.."
"Serahkan penyelesainnya ke
aku, deh.."
"Kamu tidak tahu bagaimana
desa pamanku, Bang!" kepanikan Chika makin menjadi-jadi begitu digital
maps menunjukkan hampir sampai di titik tujuan.
Saat jam digital di dashboard
menunjukkan pukul 00.00, saat itulah roda kendaraan terparkir di halaman yang
lumayan luas.
"Hei, Non... Bener ini
rumahnya?" tanya Izack memalingkan wajah pada Chika yang sudah menutup
wajahnya rapat-rapat dengan selimut yang perlahan dibuka dengan mata basah terlihat
genangan air mata yang berulang kali ia tahan membuat Izack tersenyum lebar.
"Hei... Biasa aja, jangan
parno begitu. Semua bisa dibicarakan baik-baik, kan?"
Di bawah temaram lampu neon,
tiga orang lelaki duduk-duduk di depan rumah yang berdinding bambu dan
berlantai tanah. Melihat sekelebat seorang lelaki mendatangi kendaraan tersebut,
air mata Chika makin deras membuat Izack terpaksa keluar menghalau lelaki itu
untuk sekedar melongok ke dalam.
“Benar ini rumahnya Pak Syainuri
ya?”
”Oh, ya benar mas…”
“Ada perlu apa ya mas?”
Di balik Dashbor Chika menyeka
air matanya hingga benar-benar kering dan tak terlihat bekas tangisan. Ia
berusaha menyadarkan dan meyakinkan dirinya agar kondisi kemungkinan terburuk
bakal dinikahkan secara paksa oleh warga tidak akan terjadi.
Begitu melihat Chika keluar dari
mobil membawa barang bawaan yang ia ambil dari bagasi, Izack segera lari
mengambil alih barang bawaannya.
“Sudah berapa kali aku bilang”
“Jangan mengangkat barang berat
dulu”
Melihat pemandangan itu dari
jauh, pamannya antara kaget, bingung dan tanda tanya.
"Ada apa, Nduk??"
Chika tak menjawab, ia nylonong
masuk tanpa menjawab sepatah katapun.
Izack membawakan barang bawaan
Chika beserta berkas rekam medis yang ia letakkan di sebelah pintu masuk.
"Mari masuk dulu,
mas..." Ujar Pak leknya bingung
Begitu ketiganya duduk di atas
tikar yang baru saja dibentangkan bu lek nya, barulah Izack memahami, mengapa
gadis itu kerja keras mati-matian menghidupi dirinya.
"Maaf Bapak... Ini saya
malam-malam sekali antar Chika pulang. Dia baru opname satu minggu di Rumah
Sakit"
"Oh?!!" Pamannya
melotot kaget bangkit segera beranjak
"Sakit apa Nduk?"
seorang bapak-bapak yang duduk di bangku panjang depan rumah itu menyela.
"Usus bocor, bapak.."
"Ya Allah! Apa penyebanya?
Jatuh?"
"Kurang tahu saya Pak.
Kebetulan saya hanya teman tetangga kostnya dia yang kebetulan melihat dia kram
perut sampai pingsan di kost-kost'annya"
"Masya Allah... Untung
ditolong mas'nya"
"Lalu biaya Rumah Sakitnya
gimana, mas?" tanya Pamannya cemas diikuti wajah kusut istrinya yang baru bangun
tidur.
Chika melototi Izack seketika
"Oh.. kebetulan dia kan
kerja, pak.. jadi ditanggung sama Asuransi perusahaan"
"Oh... Beruntung sekali
kamu... kuliah bisa sambil kerja" ujar tetangganya yang hanya dijawab
senyum kecut Chika.
"Ya Allah Nduk..." Bu
lek nya seketika berkaca-kaca dan mulai menangis merangkul Chika yang tengah
berhati-hati dengan area perut.
Dia mulai menanyai Chika bekas
luka operasi.
"Kata Dokter, pola makannya
lebih dijaga lagi Bu.. karena dia punya Maag juga, jadi jangan makan yang
menimbulkan gas dulu seperti asam dan pedas"
"Ya Allah mas... Sejak
kecil dia ikut saya itu apa-apa dia tanggung sendiri mas... Nggak pernah
mengeluh, nggak pernah minta" ujar bulek nya yang spontan memeluk Chika
dan mengulas-ulas kepalanya.
"Iya mas, saya masih ingat waktu
dia smp. Anakku begitu pulang sekolah langsung ngluyur main, tapi dia kerja di
warung makan, kadang bantu beres-beres di rumahnya pak dokter"
"Dia itu yatim piatu sejak
lulus SD, mas..." cletuk tetangganya membuat Chika hanya menunduk diam tak
berani menjawab se patah katapun. Bahkan Izack heran melihat bagaimana
perubahan sikap cewek itu di lingkungan keluarganya.
Izack jadi paham, mengapa ia
melarang keras datang ke rumahnya. Bahkan ada kemungkinan pamannya pun tidak
tahu menahu bahwa keponakannya telah menggadaikan sertifikat rumahnya ke Bank
demi membiayai sekolahnya di Perguruan Tinggi.
Bahkan ia mulai bisa
membayangkan kehidupan keras seperti apa yang ia jalani selama ini di Yogya sampai-sampai
ususnya bocor karena pola makan yang tidak teratur.
Obrolan mengalir begitu saja,
hingga dua orang tetangga bapak-bapak itu pamitan pulang.
@@@
Entah jam berapa mereka ngobrol
ngalor ngidul sampai tidak terasa terdengar suara adzan dini hari, dan mereka
pun pulang saat adzan subuh.
Pagi itu juga berita Chika
pulang larut malam diantar lelaki langsung santer terdengar ke
seluruh warga desa. Begitu paklek dan buleknya pulang dari surau, wajahnya
tampak lemas yang tak lama kemudian diikuti beberapa orang warga yang mana ia
tahu itu adalah ketua RT dan RW.
Chika yang sudah cemas sejak
malam itu, seketika lari masuk dan nangis sejadi-jadinya begitu melihat
kedatangan dua orang lelaki yang membuat Izack bingung. Begitu buleknya masuk
kamar mengikuti Chika, suara tangis pecah sejadi-jadinya membuat Izack semakin
tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
"Pak Yatno dan Pak Ramelan
harusnya kan tahu" protes Chika beruntun yang hanya didengarkan pak lek
dan bu leknya yang tengah berusaha memahami bagaimana hancurnya perasaan
keponakannya.
Seumur-umur hidup bersama keluarga
itu tidak pernah sekalipun Chika mengungkapkan kemarahannya. Tapi kali ini ia
benar-benar tak bisa mentolerir adat daerah yang pernah ia tulis di sebuah
koran nasional, bahwa adat daerah semacam itu merugikan pihak perempuan.
Chika menangis keras keluar dari
kamar dan membabi buta mengusir Izack hingga berhasil menendang dada hingga terpental
kesakitan, membuat beberapa orang melotot kaget. Seketika itu pak RT menarik
Chika dan pak RW merangkul Izack, menjauhkan dari amukan Chika yang masih ingin
ngejar Izack membuat pak lek nya gregetan bukan main hingga menampar Chika
keras-keras yang seketika itu ditarik Bu Leknya.
“Sabar pak.. sabar..”
“Ini keponakanmu satu-satunya..”
“Sudah…”
Pagi itu suara tangis pun pecah,
membuat Bu Lek dan Chika pun saling merangkul.
“Sabar Nduk.. sabar..”
“Kalau Izack kamu suruh pergi,
itu artinya kamu nggak punya perasaan Nduk,”
“Sudah ditunggu di Rumah Sakit
berhari-hari, masih diantar jauh-jauh dari Jakarta ke Yogya, Yogya kesini kok
kamu usir, beneran kamu nggak punya perasaan”
“Aku nggak akan marah kalau Pak
RT dan pak RW datang, Bu Lek..” tangisnya sedu sedan
"Pak Lek dan Bu Lek kan
tahu.. bagaimana duduk masalahnya" suara Chika parau mengusap kasar hujan
air mata membasahi wajahnya
"Kita itu benar-benar nggak
saling kenal, Bu Lek..."
"Lagipula kenapa juga dia
mesti bermalam di sini?!!" gerutu Chika kesal melirik Izack di luar yang
masih menekan dadanya
"Kan bisa saja setelah
sampai langsung pamit pulang"
"Ya Allah Ndukk... nggak
punya perasaan apa kamu? Jauh-jauh dari Jakarta main ke Yogya, menunggu kamu seminggu
di Rumah Sakit, diantar sampai Mojokerto. Begitu datang kok langsung disuruh
pulang"
"Lihat itu wajahnya capek
sekali, makanya kita tahan biar tidur di sini dulu"
"Eh, dia malah ikut
ngobrol"
"Kan bisa cari
penginapan" potong Chika dan pakleknya merasa kalah
Mendengar umpatan kemarahan
Chika bertubi-tubi membuat Pak Leknya mulai risih dengan pak RT dan RW yang
memiliki kesepakatan warga demikian.
Tak lama kemudian datang dua
orang dari KUA dengan jas hitam, ia langsung dipersilahkan masuk Pak Lek dan Bu
Leknya duduk di atas gelaran tikar. Sepasang suami istri itu saling melirik pada
keponakannya yang bersungut-sungut menatap Izack seakan ingin menghabisinya
saat itu juga. Bu leknya yang duduk di sebelahnya masih menahan tangan Chika takut
bakal terjadi sesuatu lagi.
“Ayo cuci muka dulu, biar
wajahmu segar” kata buleknya
Chika bangkit dari tempat duduknya,
tapi ia hilang kesadaran hingga limbung dan jatuh yang langsung ditangkap Izack
seketika membuat orang-orang terharu dengannya yang sigap. Tahu Izack yang
menangkap gadis itu kesal hingga lari ke kamar dan menjatuhkan diri di kamar
yang gelap dan pengap membuatnya seketika menjerit kesakitan. Izack bingung,
“Bekas luka nya Bu Lek” nada
Izack cemas tidak berani ikut masuk ke kamar
“Oh, iya ya Nak” Bu Leknya
seketika lari masuk ke kamar
Ia melihat keponakannya
kesakitan menahan bekas luka yang ia tekan dengan tangannya yang sudah
mengeluarkan bercak darah segar merembes dari kain kasanya.
“Aduh Ndukk… piye iki?”
“Gimana Bu Lek, aku boleh masuk
nggak?” lirih Izack keder di balik kain gordynnya yang kusam
“Jangan!” teriak Chika dari
dalam sambil merintih kesakitan
“Kenapa mas?”
“Chika Pak Lek..”
Lelaki tua itu segera masuk dan
kaget melihat bercak darah segar di tangan keponakannya, sementara gadis itu
setengah pingsan terlentang di atas ranjang.
“Masuk aja mas Izack..”
Saat itu Izack masuk, melihat
kamar dengan lantai tanah, dinding papan kayu serta atap tanpa plavon Izack
hanya menarik nafas dalam perlahan. Melihat berkas obat-obatan dan kain kasa di
dinding, dengan cekatan Izack membuka perban dan mulai membersihkannya.
“Untungnya kamu bisa ganti, mas”
“Aslinya nggak bisa Bu, tapi
daripada basah seperti itu khawatirnya justru bernanah lalu nggak
kering-kering. lama penyembuhannya”
“Chik.. Chika..!” Pak Lek
menggoyang-goyangkan badan
Bu Leknya secepat itu keluar dan
muncul dengan segelas teh hangat.
“Ini, diminum dulu”
Saat Chika bangun, ia sadar ada
Izack di situ yang seketika membuang muka.
“Nduk.. ayo ditata bareng-bareng
lagi”
“Mas Izack… Bu Lek dan Pak Lek
nggak bisa ngomong apa-apa kecuali mohon maafff.. dan terimakasih, serta titip
jaga Chika ya mas…”
“Siap Bu Lek..”
“Apapun yang terjadi, saya janji
bertanggung jawab pada kehidupan Chika”
“Syukurlah nak...”
“Beginilah warga desa kami” kata
Bu Leknya menarik nafas penuh kesabaran
“Pak Syainuri, monggo dimulai..”
Dua orang lelaki itu keluar dari
kamar, sementara Izack memperlambat jalannya sengaja ingin mendengar sisa-sisa
percakapan tentang dirinya di mata gadis itu. Tapi Chika dan Buleknya segera
keluar hingga keduanya kepergok dan tak berani menatap wajahnya satu sama lain.
Chika duduk bersimpuh di sebelah Izack hingga acara ijab qobul pernikahan pun
dimulai dengan khidmat yang diakhiri dengan penyerahan mahar uang dalam bentuk
atm.
Di luar, beberapa warga menonton
seperti hendak ada pertunjukan. Sementara ketua RT dan perangkat desa lainnya sudah
menunggu keduanya di atas tikar yang terbentang. Mereka menyambutnya dengan
ramah yang diiringi dengan sedikit canda tawa bahagia, tak ada suasana tegang
atau sedih sedikitpun kecuali Chika dan bulek serta paklek nya. Bahkan sesekali
mereka bercanda menertawakan Izack yang tampak grogi meskipun beberapa kali ia
menenangkan diri sebaik mungkin.
Izack nampak tetap tenang saat
mereka berbicara dan menyampaikan alasannya serta hukum adat desa tersebut.
"Maaf sebelumnya, bapak-bapak...
Sekalipun sebelumnya saya pernah ceritakan perihal kami di Rumah Sakit selama
beberapa hari karena kondisi dia pingsan di kostnya dan tidak ada yang
bertanggung jawab seorangpun. Bahkan tidak ada satu orang temanpun yang
menjenguk dia selama di Rumah Sakit, akhirnya saya beranikan diri serius
dengannya”
“Jadi mohon bapak-bapak di sini
tidak membuat berita yang tidak-tidak untuk Chika, karena sepanjang yang saya
tahu dia di Yogya, dia itu pekerja keras dan pembelajar yang rajin"
Para tetangga hanya manggut-manggut
mendengarkan, namun seperti biasa, ada ibu-ibu yang bergosip di luar tentang
tetangga desanya yang tak lain adalah Rendra yang sering berangkat bareng Chika
ke Yogya.
"Iya mas.. apapun alasan
mas nya, pernikahan adat ini sudah menjadi kesepakatan kami warga desa. Jika
ada gadis atau perjaka desa yang membawa pulang teman lawan jenis malam-malam,
akan dinikahkan. Tanpa melihat bagaimana latar belakang masalahnya”
Izack menunduk tenang seakan
tengah menyiapkan kalimatnya, sementara Chika justru berharap kata-kata Izack
bakal merubah tradisi adat desa yang demikian. Tapi apa yang terjadi…
"Sebenarnya ini seperti
sudah diatur sama Sang Kuasa, Bapak-bapak... kedatangan saya mengantar dia memang
berniat melamarnya”
“Dia ini tipikal cewek yang
tidak mudah untuk didekati”
Gerr…!! Spontan mereka tertawa
“Saya kenal dia sebenarnya sudah
dua tahun, terutama lewat artikel yang ia tulis di media online”
“Dan ini adalah pertemuan kami
yang kedua setelah dua tahun yang lalu”
“Jadi, daripada berlama-lama, memang
saya sudah niat melamarnya” kata Izack yang membuat Chika kaget
“Masya Allah mas..”
“Alhamdulillah…” serempak suara
beberapa orang terkagum-kagum mendengar pengakuan Izack
“Memang jodoh tidak akan kemana
ya mas…”
Rasanya dunia tengah
berputar-putar membuat pandangannya sedikit oleng. Tapi ia sadar harus kuat.
Tapi lagi-lagi badannya panas dingin perlahan sesak menekan dada. Namun melihat
sikap Izack yang begitu tenang ia berhasil menekan itu semua dengan menarik
nafas berulangkali, hingga ia sadar Buleknya memanggil namanya memberi kode untuk
menerima jabatan tangan Izack. Chika yang kikuk hanya menyalami dan menariknya
cepat membuat beberapa orang senyum-senyum.
“Kok seperti kesengat listrik
aja mbak!”
Gerrr… lagi-lagi tawa mereka
membuat keduanya malu
“Huekh.. tangannya lembut
banget” pikir Chika sekilas
“Ulangi lagi coba, saya ambil
foto”
“Dicium dong mbak..” canda pak
RT
Diam-diam Izack keki kembali
menyodorkan tangannya yang disalami Chika dan dicium sekilas membuat
orang-orang tersenyum lebar.
“Ketahuan kalau nggak pernah
pacaran” tawa Pak Kadus yang disambut celoteh pembenaran bapak-bapak lainnya.
“Alhamdulillah…”
Sambutan dari pak Kadus seakan
memberi warning pada Izack yang statusnya sudah berubah menjadi seorang suami,
begitu juga dengan Chika yang kini statusnya tidak bisa semena-mena lagi.
Tak lama suara handphone Izack
berbunyi, ia pamitan menghindari kerumunan bapak-bapak di luar rumah. Begitu
pula dengan Chika yang tak kuasa ingin menangis, ia pamitan pergi dan masuk
kamar yang diikuti Bu leknya.
Saat itu Izack tengah menerima
telephone di dapur yang berbatasan dengan kamar dimana Chika dan Bu leknya
berada. Mendengar suara isak tangis, pikiran Izack sedikit agak berantakan
teringat janjinya akan menyelesaikan dengan berbicara baik-baik, tapi yang
terjadi justru serius Ijab Qobul pernikahan.
“Oh, ya sudah. Nanti aku
kabarkan ke Papa” jawab lelaki du ujung telphon
“Okey”
“Lalu kapan masuk kantor? Ini
proposal proyek Perpustakaan digital pemerintah pusat sudah siap menerima
kedatangan kita”
“Emm… mungkin lusa Zin”
“Nanti kakak dibawa juga ke
Jakarta kah?”
“Emm… mungkin”
“Kalau begitu apa yang perlu
kami siapkan?”
"Sepertinya kita cuma butuh
disiapkan makan dan tempat tidur saja Zin”
"Oke, baik Bang”
"Oh ya, satu lagi tolong
mintakan team IT kita untuk menghapus semua berita tentangku di data pencarian
internet"
"Baik, Bang"
Sesaat ia mulai mendengar suara
isak tangis Chika di kamar yang bersebelahan dengan dapur.
“Izack itu orangnya ramah, tulus,
sayang, pintar, wawasan juga luas, tampan juga. Kurang apa coba? harusnya
justru kamu bersyukur" suara Buleknya terdengar sayup-sayup
Izack yang masih berdiri di
samping kamar seketika hendak melangkah pergi, tapi langkahnya terhenti begitu melihat
keponakan Chika tengah serius mengerjakan tugas di depan kamar tersebut.
"Justru itu Bulek… aku
takut terlalu jauh suka dia"
"Loh, kenapa?"
"Malah bagus to? suami
istri saling suka"
"Iya kalau saling
suka,"
"Kalau sepihak?"
"Bulek tahu kan.. bagaimana
mudahnya orang-orang kaya menganggap remeh pernikahan?" protes Chika
dengan isak tangisnya lirih
"Dia itu anak orang kaya di
Jakarta Bu lek, ketua umum organisasi Mahasiswa se Indonesia pula"
"Bisa dibayangkan dengan
kehidupan kita"
“Apa jadinya setelah menikah dia
bakal memperbudak aku dengan kondisi latar belakang kita yang seperti ini”
“Nduk.. Bu Lek paham apa maksudmu”
“Bu lek memang orang miskin yang
tidak sanggup menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi”
“Bahkan kamu sering bantu
keuangan kita”
“Bukan itu maksudku, Bu Lek”
“Sejak dulu aku bercita-cita
membantu usaha pertanian Bu Lek biar lebih maju”
“Jangan bercita-cita jadi
petani, Nduk…”
“Percuma kamu sekolah
tinggi-tinggi hanya mendarat di sawah, apa kata orang desa nanti”
“Bu Lek, teknologi sudah maju
pesat, pola yang bakal aku pakai bakal beda jika aku dibolehkan ikut garap
sawahnya Bu lek”
“Jadi jangan takut sama omongan
orang lain”
“Aku mimpi jadi petani muda yang
sukses, Bu Lek..”
“Makanya aku menentang keras pernikahan
adat semacam ini, hidupku bakal hancur jika menikah”
“Ssstt…!! Jangan berkata yang
jelek-jelek Nduk!”
“Tolong Pak Lek!” suara tangis
pun pecah terdengar isak tangis Chika
"Nduk… Izack itu sepertinya
lelaki baik-baik yang bisa diandalkan”
Chika tersenyum pahit “Bu Lek banyak
lelaki semacam itu yang hanya manis di depan, tapi begitu berkeluarga..”
"Bu Lek tahu berapa angka
perceraian di Jakarta saat ini?"
Perempuan itu kewalahan
menanggapi cecaran Chika yang hanya membuat Izack tersenyum pahit memikirkan
hal buruk yang bakal terjadi di pernikahannya nanti.
"Dia itu sudah
menyelamatkan hidupmu, harusnya kamu bersyukur dipertemukan orang baik-baik
seperti dia"
"Bu Lek, dulu aku memang
sempat naksir dia, tapi itu dulu"
“Nah! Bersyukur kamu,”
“Bu Lek nggak tahu kan, barangkali
saja dia sudah punya istri”
"Chika, kenapa dari dulu
pikiran negatif selalu kamu kedepankan?"
"Kata Pak Lek, semalam
ngobrol sama dia lumayan lama, tapi tidak tersirat sedikitpun pikiran buruk dari
gelagat dia yang tulus”
“Kenapa kamu yang sudah
berhari-hari ditunggu dan ditolong malah berpikir sebaliknya?" Ujar perempuan
kurus ceking itu membuat mulut Chika kehabisan kata-kata. Tapi Chika tak putus
asa, ia terus mengikuti Bu leknya keluar dari kamar hingga keduanya kaget
melihat Izack di depan ruangan itu membantu mengerjakan PR kedua anaknya.
"Sory, aku..."
Tanpa berpikir panjang Chika
menarik siku Izack menyeretnya ke dapur yang masih berlantai tanah. Saat itu
beberapa orang sudah pamitan pulang, termasuk orang dari KUA serta beberapa
perangkat desa.
Chika baru sadar tangannya menarik
pergelangan tangan Izack saat itu, ia langsung melepas begitu saja dan
pura-pura innocent.
"Maaf" jawabnya yang
hanya membuat Izack senyum manis
Izack mulai berani menghadapi
Chika, tapi tidak dengan gadis itu. Lelaki beralis mata tebal itu duduk tenang
di atas dingklik sambil mendinginkan badannya di depan tungku.
"Kamu pakai baju tipis
seperti itu apa tidak kedinginan?" ujarnya memperhatikan Chika sekilas dan
kembali mendekatkan kedua tangannya pada tungku.
"Bang, kepalaku rasanya
seperti ada bom waktu, kenapa mesti kedinginan?"
"Kenapa kamu tenang
sekali?!!" ujar Chika keder dan kesal
"Terus, kamu mau aku
marah-marah?"
"Kamu ini sadar tidak
sih?"
"Iya,"
"Terus?!"
"Kenapa kamu diam saja?
Kenapa tidak lakukan negosiasi dengan perangkat desa?"
"Kamu pikir dengan mendebat
orang sekampung aku bisa menang?"
Chika tampak putus asa,
berkali-kali ia mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya yang panjang hingga
berantakan.
"Harusnya kan begitu
datang, kamu bisa langsung pamitan pulang"
“Hmmm… Chika!” suara itu membuat
Chika melotot kaget melihat pamannya berdiri di pintu masuk dapur membuat Izack
tersenyum lebar dengan tetap tenang menghangatkan telapak tangannya di depan
tungku.
“Kamu itu apa nggak mikir to,
Nduk?!” geram Pak Leknya tiba-tiba sambil melotot kesal yang langsung ditarik istrinya.
Perempuan itu memberi isyarat pada suaminya segera keluar dari rumah memberi
ruang bagi keduanya untuk ngobrol. Melihat gerak-gerik sepasang suami istri tersebut,
Izack hanya senyum paham mengiyakan saat keduanya pamitan ke pasar.
Izack menarik jari Chika untuk
duduk di bangku kecil sebelahnya. Ia mulai ngobrol santai dengannya saat tahu
para tamu, bahkan Bu Lek dan Pak Leknya sudah tidak ada di dalam.
“Bukankah tadi malam kamu bilang
semua bisa dibicarakan?”
“Seperti inikah yang kamu
maksud?” kata Chika yang lagi-lagi menjatuhkan air mata. Izack mengeluarkan
sapu tangan dan menyodorkannya, tapi Chika merebutnya dengan kasar.
Dirinya sadar, hutang budi pada
lelaki itu terlalu besar hingga ia tak sanggup membayangkan untuk membayarnya. Tapi
bagaimanapun, mengakhiri masa lajang di usianya yang masih belia adalah mimpi
buruk untuknya, apalagi belum kenal siapa sosok suaminya, bagaimana keluarganya.
Tiba-tiba saja ia menjerit keras
membuat Izack kaget spontan dibekap dan didekapnya erat pecahlah suara tangis sejadi-jadinya
dalam dekapan.
“Oke, semua akan baik-baik saja
Chika,”
“Maaf maaf, aku benar-benar
minta maaf”
“Aku mengaku salah”
“Tapi jujur saja, semua di luar
ekspektasiku tadi malam”
“Aku kira..”
“Cukup!” bentaknya kesal yang
langsung kembali dibekap saat handphonenya bergetar. Itu adalah teman-teman
Mabes AMI
“Bang, data kita kebobolan”
suara itu nyaring terdengar membuat Izack melotot kaget
“Huh?!”
“Hubungi teman-teman tim IT
cabang Yogya, kerahkan semua kemampuan kalian juga. Itu data project besar
semua, kalau kebobolan bisa selesai urusan kita”
“Tapi masalahnya data sudah
langsung keluar ke media sosial, Bang”
“Ah! Kacau, blokir semua situs
yang menampilkan”
“Kalau perlu serang balik yang
membobol situs kita”
“Nggak penting aku pulang atau
tidak, yang terpenting tolong update terus berita pengambil alihan kendali
situs kita”
“Aku usahakan besok siang sudah
sampai”
“Mau aku pesankan tiket pesawat
atau kereta, Bang?”
“Enggak Zin, aku hanya butuh
driver”
“Oke Bang, sore aku pastikan
orangnya sampai situ deh”
“Darimana?”
“Anak AMI aja kalau bisa”
“Oke, siap”
@@@
Sore itu suasana desa
benar-benar hening, bahkan sangat tenang. Gulungan awan putih berlatar langit
biru tampak cerah di depan rumah yang masih terbuat dari anyaman bambu dan
sebagian lagi dari papan kayu. Hamparan rumput hijau terbentang luas melapisi halaman
depan rumah yang mana kanan kiri rimbun pohon jambu.
Saat keluar dari dapur, Chika
melihat sekelebat bayangan Izack yang duduk seorang diri di teras. Setengah ragu ia keluar dan duduk di kursi
kayu dengan kaki-kaki yang tampak keropos sehingga mudah goyang saat diduduki.
“Awas!” pekik Izack membuatnya
kaget hingga keduanya tertawa, saat itulah dua pasang mata saling menatap
membuat keduanya kikuk. Tapi Chika langsung duduk hingga wajahnya sama-sama
menghadap ke halaman rerumputan hijau segar.
“Kamu kecewa ya Bang?!”
“Bukannya yang kecewa kamu ya?”
Lagi-lagi ponselnya bergetar.
Melihat sekilas layar screennya Izack beranjak menghindar, ia agak menjauh dan
mulai berbicara pada seseorang di ujung telephone yang menjadikan Chika mulai
curiga.
“Baik, aku tunggu” potong Izack
dan duduk di posisi semula
Izack menarik nafasnya dalam
seakan tengah memperbaiki emosinya dan menumpu kaki kanannya di atas kaki kiri.
“Kenapa dari tadi kamu terlihat tenang
sekali?”
“Terus suruh gimana? nangis
guling-guling sepertimu?” katanya membuatnya lagi-lagi tertawa geli
Tiba-tiba saja handphonenya
bergetar, itu adalah Alvin.
“Halo Big Bos! Akhirnya…
mengakhiri masa lajang juga”
“Mantap! Keren! Keren!!”
“Darimana kamu tahu?”
“Ozin lah”
“Oakh.. itu orang”
“Salut aku sama dirimu, pantang
pacaran langsung nikah”
“Gimana rasanya??”
“Biasa aja?”
“Kapan kau pulang Jakarta? AMI
sudah geger kehilangan kau beberapa hari”
“Ya biasa lah, dialektika harus
terus dibangun terus menerus. Kalau enggak, bubarkan saja itu Mabes” jawab Izack
santai membuka video call yang hanya disimak Chika
“Mana perlihatkan istrimu, aku
curiga jangan-jangan istrimu laki-laki” suara lelaki itu membuat Chika
menyemburkan tawanya geli
“Sembrono!” Izack memperlihatkan
Chika yang sedang mengayunkan dua kakinya dan menoleh saat layar tipis itu
dihadapkan ke arah gadis itu sambil dadah dadah
“Halo mbak, kenalkan aku Alvin
teman gila dia” seru lelaki itu rame dengan latar belakang café
“Oh… lho?! Dia bukannya cewek
yang…???” suaranya tersendat mengingat-ingat
“Lagi dimana kau?” potong Izack
seakan tahu apa yang hendak dikatakannya tentang gadis itu yang jualan
koran.
“Dimana lagi kalau bukan di
warung”
“Begitu dibilang warung?” Chika
melotot yang hanya disenyumi Izack
“Vin, lihatlah!!” katanya
sembari memutarkan kamera ke sudut-sudut halaman rumah yang hijau
“Waa…”
“Pantes aja nggak bersuara kamu,
nyaman betul suasananya”
“Makanya, telingaku gatel dengar
kamu tanya kapan pulang ke Jakarta” jawab Izack membuat Alvin tertawa ngakak
“Nggak ingat hutangmu??”
Spontan Izack tersenyum ringan
“Ahsyy…!! Merusak suasana aja kau”
“Sudahah!!” seru Izack yang
disambut tawa lebar Alvin
“Puas-puasin deh malam
pertamamu”
“Oke, bye!”
Izack diam menundukkan wajah
seakan menyimpan semburat senyum tipis di bibir.
“Kenapa senyum?”
“Oh! Nggak apa-apa” jawab Izack
seakan memecahkan lamunan panjang
“Jalan, yuk!” Izack berdiri
menjulurkan tangan yang hanya dilihat begitu saja
“Hei!”
“Ayok!”
“Aku belum kuat jalan jauh,
Bang”
“Seperti ini kamu bilang mau
pulang sendiri naik Bus”
“Ayookkk…” tangannya ditarik
membuat Chika luluh dan kalah dengan ajakannya.
“Pernikahan itu bukan akhir dari
segalanya, Non” ujar Izack teringat kata-katanya kemarin
Untuk yang kedua kalinya ia
merasakan sentuhan tangan lelaki ini setelah ijab qobul pagi itu. Bahkan kini
perlahan lelaki bermata bulat ini lebih berani menggenggam erat tangannya sembari
menawarkan senyuman. Izack berjalan tenang sambil mengulum senyum melihat
wajah Chika muram hingga ia membukakan pintu mobil untuknya yang membuat Chika
merasa benar-benar tersanjung.
Begitu keduanya di dalam mobil, Izack
yang masih senyum-senyum dilirik Chika.
"Kenapa aku melihatmu
seperti neraka dan pangeran berkuda ya?!" ujarnya yang spontan disambut
tawa lebar Izack
"Serem amat, neraka"
"Iyalah!"
"Perempuan itu kalau sudah
menikah, berasa masuk neraka"
“Dari soal masak, beres-beres
sampai berbasa-basi ria dengan orang lain. Aku paling benci dengan itu semua"
“Kalaupun adat kita tidak menyudutkan
melajang, aku lebih memilih tidak akan menikah daripada menjadi budaknya
lelaki”
"Pantas badanmu sulit gemuk
kalau pikiranmu terlalu jauh" kata Izack santai memutar setir keluar dari
halaman rumah pamannya
"Dari dua tahun yang lalu
aku lihat badanmu segini-segini terus" kata Izack membuat Chika bingung
"Maksudnya dua tahun yang
lalu?"
Spontan mulut Izack datar lurus
“Hadeehhh… perasaan temanmu juga nggak banyak, tapi kenapa mengingat satu orang
aja kamu nggak bisa?”
Chika nyengir menampakkan giginya
seolah tidak mengingat, sekalipun dalam batin ia malu bukan main andai ketahuan
dirinya yang naksir lelaki itu merasa dirinya seperti tengah melambung terbang
tinggi.
"Masih
ingat ulang tahunmu dua tahun yang lalu? Di resto, dirayakan bareng teman-teman
AMI”
“Itu
mah bukan merayakan ulang tahunku, pas kebetulan aja ada kakak senior yang
ulang tahun”
Klik! “Nah!”
Chika
kaget “Kenapa?”
“Masih
ingat siapa seniormu itu?”
“Tapi
kalau orang-orangnya…?” lagi-lagi Chika nyengir sambil menggeleng
Izack
melotot “Serius kamu nggak ingat?”
Perlahan
membuat raut Izack kecewa.
“Nggak ingat juga, yang pinjami
baju kamu?”
“Baju?” tanyanya ulang pura-pura
tidak mengingat
“Bang, kenapa kamu mau
dijodohkan semacam ini denganku?”
“Padahal kamu tahu aku juga baru
berapa detik”
“Itu yang kamu tahu...” Izack
menggeleng-geleng kepala
"Bang!" kali ini Chika
berusaha memastikan dirinya sedang bertanya serius sementara Izack tetap
berusaha tenang setenang mungkin, hingga akhirnya ia menepiskan laju roda
mobilnya ke pinggiran jalan dekat telaga yang sunyi.
Para petani yang tengah berlalu
lalang mengendarai sepeda, motor, kadang berjalan kaki memperhatikan mereka
berdua seperti pasangan artis.
"Mbak Chika... selamat
ya..." sambut ibu-ibu petani memakai caping gunung menggendong kayu bakar
di punggungnya saat Chika keluar dari mobil
"Wah... ganteng'e to
mas'e" tiba-tiba dua orang ibu petani yang tak dikenal menyapa dengan
polosnya Izack yang baru saja menutup pintu mobil
Chika hanya cengar cengir
menyipitkan matanya yang kecil.
"Jalan-jalan dulu
mas..." kata si ibu memakai caping gunung sambil berlalu
"Injih
bu..." jawab Chika
"Iyo, Alhamdulillah kui
genduk, sekolah ning Yogya entuk bojo koyo artis. Sugeh neh,"
Spontan Izack tersenyum lebar
mendengar obrolan si ibu tadi.
"Kenapa ketawa?"
"Kan mereka yang bilang,
kalau aku mirip artis"
"Memangnya kamu paham,
ibu-ibu ngomong apa?"
"Yah... se enggaknya, hidup
di Yogya 5 tahun. Paham dikitlah, bahasa jawa" ujarnya menatap Chika
lembut
"Sudahlah, hidup itu dibuat
ringan saja, nanti akan ringan hidupmu" katanya mengusap kepalanya
layaknya anak kecil
"Itu kamu, yang nggak
pernah hidup susah"
"Nah, sekarang kan kita akan
hidup bersama. Ikuti saja kehidupanku"
"Tapi kan hidupmu baik-baik
saja dari dulu, Bang..."
Spontan Izack merangkul
kepalanya yang lebih pendek 20cm dibanding dirinya.
"Nanti kamu ikut aku
kan?"
"Kemana?"
"Ke Jakarta"
Spontan Chika melepas tangan Izack
"Ogah!"
"Hei...! kamu itu perlu
istirahat"
"Justru di sini aku bisa
istirahat"
"Aku benci kota
Jakarta"
Izack diam memandang wajah
istrinya dengan tatapan teduh.
"Kapan-kapan periksa mata
ya?"
"Kenapa?"
"Matamu minus tuh,"
"Enggak!" jawab Chika
polos yang hanya ditertawakan Izack lagi-lagi membuat Chika bingung
"Minus tuh?! Kalau nggak
minus harusnya bahagia lihat lelaki ganteng berdiri di depanmu bisa mengantar
kemana-mana"
Kali ini gadis itu mulai
senyum-senyum "Haduh... hari gini, masih ada lelaki mengaku dirinya
ganteng"
"Kamu masih yakin dengan
pernikahan adat ini, Bang?"
"Kenapa sih..."
"Kalau kamu tidak yakin,
ajukan gugat cerai aja ke pengadilan dengan alasan yang bisa kamu buat. Soalnya
kalau aku yang mengajukan, aku yang harus bayar kan?"
"Aku tidak akan menuntut
macam-macam deh,"
Spontan Izack tertawa lebar
"Tahu betul kamu acara persidangan pengadilan"
“Mau kamu, statusnya nanti
berubah jadi Janda?” jawab Izack menelan nafas lelah sambil tersenyum
meletakkan dua tangan di pundak Chika dan menahan tatapan Chika yang masih
canggung.
"Gimana dengan
hutangmu?"
Izack menelan tawa kemenangan
yang disambut wajah down berpikir keras.
"Kasih tenggang waktu
sampai 6 bulan deh?"
"Dapat uang darimana?"
"Bukannya kemarin mau jual
ginjalmu?"
Chika tertawa geli teringat
kata-katanya.
"Nah... tidak usah jual
ginjal, jual hatimu aja deh ke aku" rayu Izack yang sebenarnya terlalu
menggelikan. Tapi daripada mengungkit-ungkit hal yang sudah tidak ingin ia
ungkit. Karena baginya, hutang itu sudah menjadi bagian dari tanggung jawab
dirinya sebagai seorang suami yang sah.
Orang melihat, mereka seperti
sedang pacaran, dan Chika sedang kena rayuan lelaki belang.
"Andaikan kemarin kau bawa
aku ke Puskesmas kan selesai urusan, Bang" jawabnya mengalihkan perhatian
dari wajahnya yang sebenarnya tersipu malu
“Percaya deh, kasus sepertimu
pasti dilarikan ke Rumah Sakit ketika dapat suntikan tidak ada reaksi”
“Kalau begitu ya jangan tolong
aku, beres kan?!”
“Nanti salah lagi… netizen bakal
bilang tidak punya rasa empati pada mahasiswa yang kurang gizi” katanya santai
membuat Chika spontan menekan bekas luka pada perut karena menahan tawa geli
"Sudah tidak sakit kan,
perutmu?" ujarnya memberanikan diri menyentuh area perut Chika yang
membuat gadis itu grogi.
“Nyeri, tapi lebih banyak
gatalnya”
“Jangan digaruk” seru Izack
menarik tangan
“Tapi gatal banget..” lirihnya
mulai keder
“Kamu ikut ke Jakarta saja deh
“Ya maaf, aku kurang percaya
dengan higienitas rumah Pak Lek, sementara kamu butuh perawatan luka yang
bersih”
"Harusnya hari ini kau ke
Rumah Sakit untuk periksa jahitanmu"
"Ah... soal luka jahitan,
aku sendiri mah bisa"
"Sembrono, kalau infeksi
gimana?"
"Bang, aku ini pernah bekerja
di tempat Bu Dokter. Jadi sedikit banyak, tahulah cara merawat luka"
"Pokoknya nanti sore kamu
harus ikut aku ke Jakarta, Okey?" ujarnya mencubit pipinya yang tipis
"Sakit, eh!"
Chika berkecap "Seperti
anak kecil aja"
"Memangnya kamu sudah
besar?"
"Dipaksa menikah saja sudah
nangis-nangis"
Chika kini belajar lebih berani menghadapkan
wajahnya "Bang, jangan-jangan kamu menganggap pernikahan seperti pacaran
yang bisa putus kapan saja"
"Nah? kamu sendiri kan yang
beranggapan seperti itu?"
Chika menghela nafas kesal
beranjak berdiri
"Bayangkan saja! Berapa
tahun aku harus berjalan sejauh ini. Tapi begitu sampai saatnya aku meraih apa
yang bisa aku capai semua hancur berantakan"
Izack mengusap-usap kedua
lengannya dan perlahan mendekap hangat tubuh Chika yang reflek disodok keduan
sikunya.
"Aargh!!" Izack
nyengir kesakitan
"Eh," Chika merasa
bersalah
"Seberapa buruk sebenarnya
sebuah pernikahan di pikiranmu?" tanya Izack mengusap-usap dada kesakitan
"Yang namanya perempuan
ketika menikah, akan banyak menderitanya dibanding senangnya"
"Sementara laki-laki,
dengan 1001 alasan cari nafkah, lelah masih bisa kongkow-kongkow bareng teman.
Syukur-syukur ada teman perempuan yang bisa menebar senyum menggoda kapan
saja"
Spontan jarinya menyentil
keningnya
“Aww!”
"Terlalu banyak nonton
sinetron kamu,"
"Memang begitu kenyataannya
kan?"
"Tidak,"
"Mari kita buktikan"
"Ayoklah pulang, tidak baik
dilihat orang" kata Chika cuek kembali berdiri yang hanya disenyumi Izack
sembari membukakan pintu mobil untuknya.
Tiba-tiba suara Bu Leknya pagi
ini kembali terdengar kuat di telinga;
"Nduk.. harusnya kamu itu
bersyukur. Ada lelaki yang sayang sama kamu, mau menikahimu itu artinya dia
tidak main-main sama kamu. Dia berani tanggung jawab atas kehidupanmu"
"Wajah tampan dan kaya itu
bonus dari Gusti Allah atas kerja kerasmu selama ini"
"Jangan marahi dia
sepanjang hari, nanti malah Gusti Allah murka sama kamu"
Melihat Chika terdiam, tanpa
berkomando Izack mengikatkan seat belt miliknya seketika hingga kedua wajah
saling berdekatan menimbulkan getaran sensual terlihat dari wajah keduanya yang
mendadak berair. Kecupan manis Izack membuat Chika tak bisa berkutik dalam
kondisi terjepit. Meskipun awalnya kaku, tapi perlahan gadis itu mulai
menikmati kecupan lembut bibir Izack yang membuat buah lehernya naik turun
seiring gairahnya seksualnya memanas.
Saat terdengar suara klik dari
seat belt, ia seperti dibangunkan dari mimpi indah. Ia menahan dada Izack yang
seakan tak mau lepas menempel dari kedua buah dadanya dan segera menghentikan
kecupan itu di saat degup jantungnya seakan meledak. Ia sadar tidak boleh
menyerahkan tubuhnya begitu saja pada lelaki yang baginya baru ia kenali. Hingga
mereka sadar terdengar ramai-ramai orang melintas. Sebelum beranjak, jemari
Izack sekilas mengusap bibir Chika yang basah hingga tersirat senyum di kedua
wajahnya.
Hening.
“Maaf jika terlalu terburu-buru”
kata Izack kikuk sembari memutar kendali roda kendaraan
“Jangan suka mengambil
keuntungan di saat aku tersudut” ujarnya menyadarkan diri di saat irama jantungnya
seakan melambung bernyanyi
“Oh, berarti di saat longgar
begitukah?” tawa Izack bercanda, tapi
wajah Chika masih tetap cool
Izack tak mau ambil pusing, ia mengambil
tangan kanan Chika dan menggenggamnya erat-erat teringat kata-katanya pernah
naksir dengan dirinya.
Lagi-lagi getaran sensual itu
seakan kembali panas menyelimuti seisi ruangan dalam kendaraan yang kedap dan
gelap dari luar. Izack kembali mencium jarinya dengan kecupan panas membuat
area bawah pusar kembali berdenyut-denyut hingga sadar Chika menarik paksa tangannya.
Sehari itu keduanya menghabiskan
waktu untuk kontrol bekas luka di sebuah Klinik kecil desa dan ngobrol dalam
kendaraan hanya berputar-putar arah tak tentu menyusuri dari desa ke desa.
Mereka juga tak menghiraukan panggilan telphon dan pesan masuk berkali-kali. Hingga
sadar cahaya matahari naik terasa sangat menyengat di saat keduanya harus
berhenti dan makan di sebuah rumah makan pinggir jalanan depan area persawahan.
Izack sadar, sebenarnya ada
banyak hal yang perlu ia tangani saat itu juga. Tapi ia merasa perlu
menghadiahi kerja kerasnya selama ini
yang tak pernah ia hiraukan hingga sadar kebutuhan dirinya sebagai lelaki
dewasa terabaikan perlahan.
Keduanya keluar dari rumah makan
dua jam kemudian, di saat matahari mulai bergeser ke arah barat.
Saat itu mereka kembali ke rumah
pamannya yang disambut dengan gelaran tikar dan menu makan siang plus malam
dengan sayur bening dan lauk ikan asin sederhana yang tersaji di atasnya.
"Ya Allah Bu Lek, jangan
repot-repot begini"
"Nggak repot mas… Pak Lek
malah nggak enak sama kamu. Sudah mau bantu keponakan Pak Lek, masih dikenakan
hukum adat, tidak bisa menyuguh apa-apa"
Saat itu Izack duduk bertumpu di
atas kedua kakinya seolah sedang mengerahkan semua pikirannya untuk berbicara.
"Pak Lek, sebenarnya sudah
lama saya kenal dia"
"Tapi sepertinya dia lupa
atau pura-pura lupa saya kurang tahu" senyum Izack pada Chika sekilas
"Dan sudah lama saya
mencari dia"
"Tragedi dia sakit itu barangkali
perantara Tuhan mempertemukan saya kembali dengan dia"
"Dari situ saya
memberanikan diri mengenal dia lebih jauh di Rumah Sakit"
“Karena kebetulan hanya saya
saat itu yang mau tidak mau harus bertanggung jawab dengan kejadian itu”
Spontan udara terasa seperti berhenti
sejenak, Chika merasa kagum luar biasa dengan pernyataan gilanya. Tak ada
kata-kata yang bisa diungkapkan kecuali bahasa diam.
"Kebetulan saya diberi tahu
teman soal pernikahan hukum adat itu di sini”
"Jadi???!" Pak Leknya
melotot
Izack hanya tersenyum lebar,
"Oh, Ya Allah mas..." serempak
suara keduanya saling menatap bahagia
“Jadi pernikahan ini bukan
karena terpaksa kan, ya mas…”
“Bukan Pak Lek..”
“Alhamdulillah mas… kita lega
mendengarnya”
“Soal resepsi pernikahan, akan
kami bicarakan dulu baik-baik dengan Papa Mama di Jakarta”
Membicarakan soal pernikahan, Chika
mengusap-usap wajah dan kepalanya kesal berkali-kali membuat Izack dan sepasang
suami istri itu tertawa lebar.
“Stoppppp!! Aku paling nggak
suka acara pernikahan yang bakal dipajang di depan umum layaknya manequin”
Spontan semua tertawa geli
“Ampun Nduk...”
“Ya begitu itu mas, Chika!”
cletuk lelaki tua itu
“Justru itu yang aku suka dari
dia” kata Izack mengusap pundaknya yang ditangkis kesal Chika
"Kenapa kamu membayangkan
pernikahan itu medeni to Nduk.."
"Jalani aja," jawab
mereka tersenyum lebar
“Ayo, silahkan makan dulu mas..”
pinta Bu Lek mengambilkan piring-piring itu, tapi Izack justru kembali menata
posisinya seakan tengah mengatur kalimat yang hendak ia keluarkan.
Hening…
"Mohon maaf sebelumnya, Pak
Lik... Izack minta izin untuk membawa Chika ke Jakarta hari ini"
"Loh?" Bu Leknya kaget
"Tapi,"
"Sebenarnya tadi pagi Papa
Mama berharap bisa datang via video call, tapi mendadak ada panggilan dari Pak
Mentri terkait urusan negara, jadi Papa minta maaf yang sangat dalam atas
ketidakhadiran beliau di sini"
“Beliau juga titip salam pada
Pak Lek dan keluarga”
“Waalaikum salam..”
“Begitu juga Pak Lek dan
keluarga mohon dimaafkan dengan peristiwa pernikahan adat semacam ini”
“Pak Lek, saya justru merasa
bersyukur dengan adat ini. Karena jika tidak, dia akan sulit saya tahklukkan”
tawa gerrr seketika.
Tiba-tiba terdengar suara motor
berhenti di depan dan kembali pergi. Tak lama kemudian muncul seorang lelaki
mengetuk pintu yang terbuka lebar.
“Oh, dari AMI?” sapa Izack
“Iya Bang” jawabnya
Sepasang suami istri tua itu
bingung menebak-nebak, siapa lagi gerangan tamu lelaki tersebut.
“Silahkan masuk dulu mas..”
jawab Pak Lek mempersilahkan
“Ayo, makan dulu sama lauk
seadanya”
Hening
“Maaf Pak Lek, ini teman saya anak
AMI”
“Dia saya minta untuk jadi
driver ke Jakarta malam ini”
“Oh..” Ucap lelaki itu
terbengong-bengong
“Mas Izack ini ketua umum AMI di
Jakarta Pak.., dia orang nomor satu di jajaran teman-teman Organisasi Politik
Mahasiswa”
“Jadi, kami semua kenal dia, tapi
dia sama sekali tidak kenal saya” tawa lebar lelaki itu
“Oh… ayo! Ayo makan dulu mas..
nanti kamu capek di jalan” dorong Bu Lek nya mengambilkan sepiring nasi.
Mereka mulai terlibat dalam
obrolan kesana kemari. Hingga perlahan hanya ketiganya yang mulai asyik
ngobrol, sementara Pak Lek nya hanya menjadi pendengar obrolan yang sudah tidak
dipahami kemana arahnya.
“Dia itu pengusaha besar, Pak..”
“Aku berharap lulus kuliah ingin
ikut kerja dia”
“Ah! Apa gunanya ada pelatihan
dasar kepemimpinan kalau kamu kuliah ujungnya mencari pekerjaan”
Tiba-tiba terdengar obrolan dan
suara anak-anak berlari dari luar hingga muncul dua keponakannya di depan
pintu. Begitu tahu ada tamu, keduanya berhenti bergurau dan berjalan diam dan
mulai bergelayut di pangkuan bibinya.
“Mas Izack kapan pulang?”
“Loh, ngusir kamu?!” cletuk
Izack yang diikuti suara tawa mereka melihat dua bocah laki dan perempuan itu
berkeringat dekil muli berceloteh
“Tidak, maksudnya…”
“Hehe… aku juga ingin ikut kalau
ke Jakarta”
“Hngghh?!!” lirik perempuan tua
itu
“Tunggu liburan sekolah aja
deh..”
“Biar mas Izack jemput”
"Beneran?"
"Kenapa bohong?"
"Yess!" Bagus bersorak
riang tosh dengan adiknya perempuan
"Nanti kalau mbak Chika
sudah bekerja, Bagus..." jawab Chika halus nan tegas yang membuat wajah sepupunya
datar sekeika dan ditekuk-tekuk
“Itu kan kata mbak Chika”
“Kapan libur sekolahmu”
Bagus melirik Chika menatap
penuh isyarat pada keduanya.
“Kenapa, takut sama mbak Chika?”
“Mbak Chika kalau marah ngeri”
Spontan semua tertawa melihat
tingkah bocah lelaki itu.
@@@
Sore itu Bu Leknya memberikan
banyak sekali wejangan pada Chika di kamar yang gelap dan pengap.
"Ingat yo Nduk, ojo
kasar-kasar sama suamimu"
"Bener dia sabar, sayang
sama kamu"
"Tapi kalau sikapmu kasar
dan judes seperti itu terus menerus, lelaki mana yang tahan?"
"Banyak perempuan yang
lebih ramah di luar sana, yang punya karir lebih baik daripada kamu"
Jlebb... Chika diam tak berkutik
merasa tersudut.
"Dia tinggalkan kamu, mudah
saja cari yang lain. Lha kamu??"
"Bagaimanapun, dibanding
laki-laki, posisi perempuan itu selalu lebih lemah"
"Makanya aku tidak mau
nikah, Bu Lek"
"Lah? terus??"
"Ya sudah, kerja"
"Memangnya kamu mau menua
sendirian begitu?"
"Kan kalau kerja bakal
banyak dapat teman juga"
"Aduh, cah iki...
hmmm"
Izack yang diam-diam dengar
obrolan mereka keluar dari kamar mandi yang berpintu kan anyaman bamboo dan
seng hanya senyum-senyum mendengar alasan gadis tomboy itu. Mendengar suara
panggilan Pak Leknya, Izack pun cepat-cepat beranjak keluar dari dapur yang
masih berlantaikan tanah, saat itulah keempatnya berpapasan di depan kamar.
"Bu Lek titip keponakan yo
mas.."
"Kalau satu saat memang
tidak jodoh, kembalikan dia baik-baik ke kita"
Izack menarik nafas panjang miris
melirik Chika dengan raut kesal nan pasrah. Izack paham, bagi istrinya
kata-kata itu luar biasa menurunkan harga dirinya.
"Tidak ada kata itu Bu Lek,
saya akan berusaha bagaimanapun nantinya"
Saat itulah keduanya berpamitan
yang disambut suara tangis peluk dua orang pengganti orang tuanya, sementara
Bagus dan Ani hanya memandang bingung mereka.
“Kabari mas Izack kalau libur
nanti ya anak ganteng”
“Siap, mas”
“Boleh, Pak?”
Lelaki itu hanya menganggukkan
kepala sambil menyeka air mata sembari mengiringi ketiganya masuk mobil. Chika
dan Izack yang duduk di belakang ditutupkan pintu oleh sepasang suami istri itu
hingga roda pun mulai berputar dan bergerak melaju meninggalkan halaman
rumahnya yang ditumbuhi rumput hijau segar.
Berulangkali Chika menyeka air
matanya yang menggenang.
“Nanti kan bisa sering-sering
mengunjungi mereka" ujar Izack memberanikan diri menggenggam tangannya
yang reflek ditolak.
“Sekarang kan sudah ada jalan
tol mbak, jarak tempuhnya jauh lebih cepat” kata driver
"Bang, kalau kita pulang ke
Yogya saja kenapa sih?"
"Kita ini sudah menikah,
Chika.. orang tuaku perlu tahu kamu"
Chika nyengir menyentuh dadanya
yang sudah mulai berdegup lembut. Antara rasa khawatir, takut, cemas dan seribu
perasaan lain membuat rautnya mendadak tegang. Merasakan aura ketegangan Izack
menoleh sekilas memastikan wajah istrinya.
"Tenang aja, keluargaku
orangnya santai kok"
“Oh ya mas, panggilan kamu
siapa?” tanya Izack
“Adrian, Bang”
“Oh, iya mas Adrian.. semester
berapa sekarang?”
“Enam, Bang”
“Oh, sama istriku dong” jawab
Izack menoleh pada Chika yang tak mau menjawab, ia memalingkan wajahnya keluar dari
kaca mobil.
Dua lelaki itu perlahan mulai
terlibat dalam obrolan seputar dunia kampus kecil di Kabupaten, gaya hidup
masyarakat sekitar, urusan politik, hingga keorganisasian AMI. Termasuk
diantaranya terkait kebobolan data kantor pusat terkait agenda besar-besaran
teman AMI yang membuat Chika awalnya cuek dan dingin perlahan mulai lunak. Ia
merasa sudah sangat bersalah atas peristiwa di Rumah Sakit dan mengantarkan
dirinya jauh keluar kota sementara kondisi di Organisasi sendiri sedang tidak
baik-baik saja.
Hening…
“Bang, kalau orang tuamu tanya
soal orang tuaku gimana?” suaranya lirih nyaris tak terdengar campur rasa takut
dan cemas
“Biar aku yang jawab”
“Memangnya kamu tahu?”
Izack hanya tersenyum tenang
"Aku mengenalmu jauh dibanding kamu mengenal dirimu, sayang..."
ujarnya membuat Chika salah tingkah dengan sebutan sayang. Sementara junior
yang nyopir di depannya hanya senyum cengar-cengir salah tingkah melihat
perilaku dua orang di belakangnya.
“Bagi mas Izack, mendapatkan
informasi semacam itu mudah, mbak..” cletuk lelaki di depannya membuat Chika
menoleh curiga pada lelaki di sebelahnya
“Di kantor AMI pusat itu punya
data base yang sudah terkonek dengan AMI cabang manapun. Termasuk mahasiswa di luar
negeri”
“Jadi, dia itu bukan organisasi
kaleng-kaleng lagi”
“Ohh…” jawab Chika sembari
melirik Izack yang tetap tenang menatap lurus ke depan. Namun tahu jika
istrinya melirik ke arahnya, ia nekat menyandarkan diri di pundak Chika.
“Tolong sebentar saja, aku capek
sekali” suara Izack dalam yang seketika memejamkan mata perlahan membuat Chika
pasrah
“Andai saja jika kamu tidak
menolongku, mungkin kamu tidak bakal dihujat banyak orang, Bang” suaranya lirih
yang langsung dibekap begitu saja agar diam mengingat ada orang di depan
Sejak saat itu Chika tak lagi
banyak bicara, ia lebih banyak diam dan mencoba memahami bagaimana kehidupan
lelaki di sebelahnya yang sebenarnya jauh dari kata aman.
12
Welcome Duniaku
Begitu tiba di Jakarta, Izack langsung menuju rumah orang tuanya yang tak lain
adalah seorang jendral besar TNI bintang IV. Pilar-pilar bangunan yang begitu
megah mirip gedung putih membuat nyali Chika spontan ciut.
"Apa benar ini
rumahnya??" pikirnya
"Rumahnya siapa,
Bang?"
"Ayo turun dulu,"
"Tidak," cetusnya
kekeh tidak mau keluar dari mobil yang membuat Izack menghela nafas lelah.
"Bukankah ini
rumahnya?" pikir Chika lagi mengernyitkan keningnya lama memperhatikan
tiap sudut jengkal bangunan yang perlahan membuat nafasnya sesak teringat seorang
pejabat tinggi tentara,
"Bukannya ini rumahnya pak
Jendral bintang III?" sambil mengingat-ingat nama
Izack hanya tersenyum ringan
beranjak keluar dan membukakan pintu untuknya "Otak jurnalis paham betul
kamu yah, ini rumah siapa?"
Spontan wajahnya berpaling
curiga
"Maksud kamu apa ini?"
"Maksudnya??"
"Aku pulang! Dan kita,
cerai!!" nadanya ketus berbalik menuju pintu keluar
"Chika!"
"Kamu menyerahkan aku
kemari, karena aku diisukan anak komunis kan?!" suaranya sengit membuat
wajah Izack seketika berubah dari aneh jadi tersenyum lebar.
"Ini rumah orang tuaku,
Chika..."
"Bukannya kemarin kita
sudah sepakat, kalau aku bakal mengajakmu kemari untuk minta restu mereka?"
suaranya turun membuat Chika jongkok lemas. Setengah membungkuk Izack meraih
jemarinya yang kepalang dingin.
“Ini tangan apa es batu?”
katanya spontan dihempas kesal gadis itu membuat Izack tertawa geli melihat
rautnya yang tegang
“Ayok, jam segini Papa keburu
berangkat” jawabnya menggandeng Chika masuk.
Sementara gadis itu cepat-cepat mengusap
genangan air mata yang berhasil ia tahan sembari memandang halaman yang terlalu
luas tersebut.
"Tapi aku takut,
Bang"
“Kenapa?”
“Kamu belum tahu kan.. orang
komunis itu sekarang juga sudah masuk dalam jajaran pejabat negara?”
“Tapi aku ini sebenarnya bukan
anak komunis, Bang”
“Hm, aku sudah tahu itu”
“Tapi kalau kamu menyebut-nyebut
itu mau tidak mau aku pun harus membuka itu”
“Sudah... kamu tinggal diam,
semua aku yang jawab” suaranya tenang kembali menuntun Chika berjalan menuju
pintu masuk
Begitu sampai di depan pintu
masuk, lelaki dengan baju hijau tua yang lengkap dengan emblemnya itu keluar
setengah terkejut melihat kehadiran putra kesayangannya berdiri dengan seorang
gadis.
“Beneran dia ayahnya???” batin
Chika berteriak keras gembira.
“Hallo Pa”
“Llohh??” lelaki tua dengan
rambut mulai beruban itu kaget melihat wajah Chika yang perlahan ngumpet dari
balik punggung Izack seperti anak kecil.
“Ayok salaman dulu” bisik Izack
“Hallo Pak…” gadis itu menyodorkan
tangannya ragu mengajak bersalaman
“Jadi ini, gadis yang kamu
tunggu-tunggu?” senyum lelaki tua itu melirik Izack penuh isyarat yang dibalas
dengan tatapan mata sekian detik Izack “Please Pa, jangan bongkar rahasiaku”
membuat Papanya lagi-lagi tersenyum geli membalas tatapannya dan membalas
jabatan tangan Chika
“Mari masuk Nak,”
"Kenapa badanmu tambah
tinggi, Zack" kata lelaki tua dengan tubuh tegapnya namun ia harus sedikit
mendongak saat berdiri di sebelah anaknya mengundang senyum Chika yang tertahan.
Kedua lelaki itu mulai terlibat
dalam obrolan sepanjang koridor hingga mereka digiring masuk ke meja makan
melintasi ruang tamu yang cukup luas.
Memandangi tiap sudut ruangan
yang serba elegan, Chika merasa kecil sekali hingga nyaris hilang kepercayaan
diri. Sementara tubuhnya yang pucat makin terasa dingin dan beku. Melihat
ekspresi tersebut Izack menggenggam tangan Chika erat di balik meja makan
sembari tetap melanjutkan obrolan santainya dengan Papanya.
“Istrimu pucat banget itu”
“Istirahat saja dulu sana” pinta
Papanya membuat Chika nyengir membuat genggaman tangan Izack di balik meja
makan makin erat hingga membuat kode untuk beranjak dari meja makan. Izack
menarik kursi dan mulai menuntun Chika masuk ke ruangan lebih dalam hingga
mereka naik tangga.
“Mau kemana kita?” jawabnya
lemah
“Istirahat di kamarku” Izack berpaling
pada tubuh istrinya yang tampak makin lemah.
Lelaki dengan rambut disasak
rapi itu mengiringnya sampai ujung tangga hingga terlihat dua pintu berwarna
biru keabu-abuan dengan dinding cat berwarna putih tulang.
“Glekk!” seketika langkah Chika
terhenti. Ia sadar tubuhnya terasa makin lemah, tiba-tiba pandangan seperti
berputar sekian detik membuatnya limbung spontan ditangkap Izack.
“Nggak apa-apa, Bang… aku bisa
jalan sendiri” jawabnya menolak rengkuhan Izack berusaha mengembalikan
kesadarannya penuh, hingga tak sabar Izack menggendongnya masuk kamar dan
meletakkannya di atas ranjangnya yang terasa sangat lembut dan nyaman.
“Sudah, tidur aja dulu”
“Ingat, di sini kamu nggak boleh
keras kepala seperti di Yogya” ujarnya mencubit ujung hidungnya hingga
terdengar suara ketukan pintu yang membuyarkan tatapan mesra di antara keduanya.
Mereka adalah orang tua Izack, spontan Chika terperanjat bangkit dari tempat
tidurnya.
“Akh!!” pekik Chika menekan bekas
jahitan di perut hingga wajahnya seketika pias pucat menggigit kesakitan dengan
nafas tersengal-sengal.
“Halo Ma..” sapa Izack menjabat
tangannya
“Emm… jadi, ini…??” senyum lebar
perempuan tersebut melirik Izack dan Chika secara bergantian. Perempuan dengan potongan
rambut pendek itu memakai celana dan cardigan yang seperti siap hendak pergi.
“Sudah, buat istirahat saja
dulu” senyum ramah perempuan itu mendekati Chika yang duduk di atas ranjang
“Kamu kenapa?” Izack melongo
melihat Chika nyengir kesakitan menekan bagian perut
“Sory, lupa aku”
“Ck! Izack.. Izack!”
“Sudah, di situ saja buat
istirahat dulu” jawab ibunya seketika mendekat saat tahu Chika hendak bangkit
memberi salam
Chika yang sebenarnya untuk
banyak gerak sudah merasa sangat kesakitan dengan bekas luka jahitannya,
apalagi sepanjang perjalanan jauh membuatnya benar-benar tak kuat menahan rasa sakit,
lelah dan kantuk sisa bius Rumah Sakit.
"Kenalkan Ma, Pa.. ini istri
Izack, Chika dari Mojokerto. Perempuan yang Izack antar kemarin di Rumah
Sakit"
“Oh…”
Spontan lelaki tua itu tertawa
lebar
“Sombong dia Ma, sudah bisa
pamer punya istri bukan pacar”
Saat itu seorang pelayan datang
membawakan koper bawaan Izack
“Ini Bang,”
“Oh, makasih mas..”
“Apapun itulah, Papa Mama hanya
bisa mendoakan yang terbaik buat kalian berdua” kata lelaki dengan rambut mulai
beruban
Chika masih belum percaya bahwa
ternyata seorang jendral tokoh idolanya adalah mertuanya.
“Jadi serius? Ini Papanya?!!”
batin Chika antara ingin pingsan karena kesakitan dan perasaan melambung tinggi.
Ternyata lelaki yang menikahinya bukanlah lelaki hidung belang yang kaleng-kaleng.
Hening.
Izack
yang berdiri di sebelah tempat tidur Chika sengaja memperkenalkan dirinya
dengan penuh kehangatan yang terkadang diiringi dengan tawa santai membuat pandangan
dan batin Chika selalu was, kalau-kalau ia ditanya terkait orang tua
kandungnya. Hingga pada saat ia harus menjelaskan pernikahan adatnya, nafas
Chika mendadak terhenti melirik raut wajah dua orang tua di depannya yang
sepertinya sudah paham.
"Jadi??!"
"Iya,
Izack sekarang sudah menikah dengan gadis di depan Mama dan Papa"
"Tunggu!
Tunggu!!" Nada Perempuan paruh baya itu heran
"Iya
Ma, memang ada adat semacam itu di Jawa" jawab Papa
“Eh…”
Izack garuk-garuk kepala bingung darimana ia harus menjelaskan
"???! kok aneh?"
Ibunya mengernyit lama menatap Chika seakan tidak terima
“Begini Ma, sebenarnya…”
“Izack sudah tahu adat itu di
daerahnya " potongnya cepat
"Izack juga sudah kenal dia
sekitar dua tahun yang lalu”
“Tapi…” Izack senyam-senyum
membuat ibunya makin bingung dan Chika makin tegang “Untuk mengenal dia lebih
jauh, rasanya jauh lebih susah ketimbang confess ke cewek-cewek di luar
sana”
“Seperti yang Mama tahu, Izack itu
seperti apa soal perempuan”
"Makanya, inilah cara
terbaik Izack" suaranya terdengar surut ditujukan pada Papanya
Lagi-lagi Chika melotot kaget
yang membuat Izack dan Papanya tersenyum tipis.
"Cerdas caramu"
"Lalu sebenarnya kalian
berdua ini saling suka atau tidak?" tanya perempuan itu membuat Izack
langsung menggenggam tangan istrinya yang kepalang dingin.
Melihat wajah Chika yang
demikian, Mamanya memperhatikan gerak-gerik keduanya.
"Lalu sekarang? Chika
semester berapa?"
"Semester 6 Bu, Fakultas
Kehutanan"
"Oh, bagus..."
"Mohon doanya Pak, semoga bisa
cepat selesai skripsi saya.."
"Loh? sudah tahap
skripsi?"
"Hehe… baru mulai”
"Oh, bagus"
"Izack malah Tesis belum
kelar-kelar tuh," Ayahnya mengejek
“Pa,”
"Jangan buat alasan kalau kamu
mengurus banyak orang. Itu konsekuensi kamu yang mau terjun di dunia itu"
potong Papa yang baru kali ini membuat Chika tersenyum geli menertawakannya
"Lalu setelah ini?"
"Rencana magang di Dinas
Kehutanan Kalimantan, Pak"
"Lalu kalian?"
"Tidak, Pa... kondisi pasca
operasi usus besar yang robek dan harus dipotong, dia butuh istirahat lebih
banyak”
“Oh…” mereka melotot miris
menatap Chika
“Maka dari itu saya minta dia
istirahat di Apartemen beberapa bulan ke depan" jawab Izack membuat Chika tak bisa berkutik
“Kenapa nggak istirahat di sini
saja?”
“Terlalu jauh dari kantor, Ma”
“Hmmm…?!” perempuan itu langsung
senyum mencibir anak bungsunya
“Kalau begitu kamu buat agenda
kapan kita sama-sama bisa berkunjung ke rumah orang tuanya” kata lelaki itu
“Baik Pa,”
“Oke, Zack.. Mama pamit dulu harus
sampai Bandara 30menit lagi” jawabnya menyalami keduanya, begitu juga dengan
Papanya.
“Sudah Nak.. kamu buat istirhat
saja dulu di sini” kata mereka menyalami Chika yang dituntun Izack keluar
hingga menuruni tangga.
"Pintar kamu pilih istri, Zack"
kata Mama membuat Izack tersipu-sipu
“Sepanjang yang Izack kenal, dia
itu orangnya lugu, polos, apa adanya Ma. Dan poin yang paling penting,
cerdas"
“Ya sudah, sejak dulu yang kamu
cari memang itu kan?”
“Tapi satu saat harus tahu
konsekuensinya loh ya..”
“??”
“Biasanya gadis cerdas itu agak
keras kepala, susah diatur”
“Yesss!!! Karena itulah aku
ngejar dia sejak 2 tahun lalu, Ma”
“???”
“Yah! Pertama kali aku kenal
dia, aku kira sudah aku jerat dengan kue tart ulang tahun, tapi ternyata dia
pergi begitu saja” tawa geli perempuan itu
“Seorang Izack??? Yang biasanya
jadi idola cewek-cewek, dicueki??” tawa ayahnya renyah
“Dan Mama tahu? Ini, aku jerat
dengan biaya Rumah Sakit sudah nggak berkutik, sekalipun awal ijab qobul
kemarin dia marah-marah karena pernikahan adat itu”
“Jadi ini memang rencanamu?"
“Yess!” spontan perempuan itu
melongo
“Ampunnn… Nak… Nak!!”
“Nakal benar kamu” Mamanya
geleng-geleng
Seperti ada yang kurang Chika
yang duduk tak berdaya tiba-tiba wajahnya terang benderang, ia bangkit dan
berdiri di depan pagar besi ujung tangga dengan nafas sedikit terengah-engah.
“Bang”
“Ya?!” spontan mereka menoleh
“Boleh minta tanda tangannya, Bapak??"
ujarnya cepat mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas membuat Izack setengah
berlari cepat kembali naik
“Nanti kan bakal sering ketemu”
ujar Izack
“Sudah.. tidak apa-apa” kata
Papa
Saat itu Izack turun dan
menyodorkan buku serta pen.
"Loh, kamu punya buku
ini?!" lelaki dengan pawakan tegap itu mengernyit lama mengamati buku dengan
cover warna abu-abu dengan teks tinta keemasan membuat Chika merasa bingung dan
cemas
Melihat reaksi yang perlahan
mulai nampak ketakutan, Izack hanya diam sembari memberi kode agar tetap
tenang.
“Buku ini dulu dilarang terbit”
"Dapat darimana?"
"Masih cover lama
juga?"
"Hehe... iya pak, itu
koleksi buku alm Kakek saya"
“Oh…”
“Loh? Siapa Kakekmu?” tanyanya
mengernyit lama membuat Chika nyengir kecut berpaling pada Izack seakan minta
perlindungan
“Ceritanya panjang, Pa” ujar Izack
yang tak lama kemudian muncul ajudannya dari luar memberikan isyarat untuk
segera berangkat
“Ya sudah, kapan-kapan kita
ngobrol lagi. Papa ada meeting sama petinggi Rusia” ujarnya segera berdiri
dan beranjak
Izack mengikutinya dari belakang
sambil ngobrol
“Kemarin, nyaris saja Pak Reno
membuka anggaran belanja alutsista kita saat rapat terbuka karena desakan
anggota dewan”
“Lalu?”
“Ya, Gila apa? Rahasia negara
kok minta dibeberkan rapat terbuka yang dihadiri pers”
Chika yang hanya berdiri
memandangi mereka keluar dari ruangan perlahan mengembangkan senyumnya yang
cerah. Tak terbayang ia punya mertua seorang jendral bintang empat kebanggan
negeri ini.
Hingga Izack kembali menaiki
tangga membuat Chika yang masih melamun kaget melihat kedatangannya.
“Hanya begitu Bang?”
“Maksudnya?”
Chika menepuk-nepuk dada "Ah…
Syukurlah," katanya hingga ia jongkok di depan kamar merasa kakinya lemah
“Kamu kenapa?”
“Sepanjang jalan tadi malam aku
benar-benar nggak bisa tidur”
“Kenapa?”
“Aku takut banget ketemu
keluargamu” jawabnya membuat Izack hanya tersenyum ringan sambil mengusap
ubun-ubunnya
"Tapi Bang..."
"Apalagi..."
"Biaya Rumah Sakit
kemarin,"
"Bayarlah nanti malam"
jawabnya santai kembali masuk kamar
"Kamu mau mencekikku atau
gimana? Kamu tahu sendiri kan, dari kemarin aku nggak bisa kemana-mana dan
belum kerja juga" ujarnya nrocos kesal
“Membayar kan tidak harus dengan
uang,” jawabnya menarik nafas tenang mendekatkan wajahnya pada Chika yang langsung
menjauh
"Maksudnya?" tatapnya
polos yang langsung disambut senyuman lebar melihat tatapan wajah lugu gadis di
sebelahnya, dan membiarkan istrinya menggigit jari bingung seakan mencari makna
kata yang ia maksud.
"Kalau aku bayar uang
seadanya dulu gimana?"
"Dapat uang darimana?"
"Dari temanku lah"
"Teman yang mana? perasaan
di Rumah Sakit tidak ada satu teman pun yang menjengukmu"
"Rendra" jawabnya cepat
membuat raut Izack seketika tidak enak dan segera menghilang di balik pintu
kamar mandi
Lama Chika memikirkan solusi
keuangannya saat itu pasca operasi yang tak lagi bisa membiayai hidupnya,
hingga Izack keluar dari kamar mandi dengan piyama handuk membuat Chika spontan
salah tingkah. Ia berdiri santai sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk
kecil, dan tersenyum ringan melihat istrinya kikuk melihat dirinya
memperlihatkan sebagain kulitnya yang terekspos.
“Ayok mandi, aku harus ke kantor
dan Markas AMI hari ini”
“Tapi Bang, soal biaya..”
Lagi-lagi Izack hanya tersenyum
membuat Chika tersinggung.
“Chika… kita ini kan sudah resmi
suami istri, kenapa kamu masih ungkit-ungkit biaya rumah sakit sebagai hutang?”
“Aku nggak mau satu saat jika
terjadi masalah kamu akan ungkit-ungkit lagi, Bang… dan aku juga tak mau
berhutang budi pada siapapun”
“Oke, kalau itu maumu…” Izack
mendekat dan semakin mendekat hingga duduk di sebelahnya
“Bayarlah dengan…” Izack menatap
liar leher Chika tegang seketika
“Stoppp!” tangannya menahan dada
Izack, seperti tersulutut api spontan ditariknya lagi membuat Izack pun tak bisa
membendung tatapan wajahnya hingga tak sampai hati melihat raut gadis di
depannya ketakutan dan berubah jadi pelukan.
“Aku akan menghormatimu sampai
kamu menerimaku, Sayang…”
“Lama sekali aku menahan gairah
seksualku demi menjaga perempuan yang kelak aku nikahi”
Perlahan gadis pirang berambut
panjang sebahu itu pun berani membalas pelukannya, hingga seperti baru sadar
kata-kata lelaki yang kini tengah memeluknya itu sama sekali belum terjamah
perempuan manapun. Tapi seketika suara itu lagi-lagi seperti bersahut-sahutan.
“Mana ada lelaki sekeren ini
nggak pernah punya pacar?”
“Jangan terlalu banyak mikir,
tanyakan selagi aku di depanmu” ujarnya merundukkan pandangan sembari mengelus-elus
kepala dalam dekapan dada
“Enggak” jawab Chika seakan
meredakan gunjingan batinnya dan semakin erat memeluk sembari menutup dada
Izack yang terekspose membuat Izack pun tersenyum lebar lagi-lagi mengusap-usap
punggung
13
Sekotak Hunian
Hamster
Hampir seharian penuh Izack
berhasil mampir ke kantor penerbitan dan Mabes AMI sekedar cek semua pekerjaan
yang ia tinggalkan beberapa hari. Selama cek pekerjaannya, ia tidak memaksakan istrinya
yang enggan turun dari mobil dengan alasan capek dan sakit bekas luka jika
harus mondar-mandir sana-sini mengikuti dirinya. Sebagai ganti menjembatani rasa
boring, Izack memberinya laptop dan memilihkan drama asia sebagai tontonannya,
tapi Chika hanya tersenyum geli ketika tahu lelaki yang dikenal sebagai orang
sibuk masih tahu tontonan yang baginya sangat lebay.
“Buang-buang waktu aja” pikirnya
mulai membuka laman situsnya dan menulis. Hingga beberapa menit kemudian
seseorang datang membawakan makanan sehat dan kursi roda untuknya.
“Maaf Nyonya, Bapak meminta saya
membawa nyonya masuk”
“Oh.. tidak, saya di sini aja” katanya
menghentikan tarian jarinya di atas tombol tuts laptop
“Oh, begitu..”
“Tapi.. apa tidak pengap,
seperti ini? Kemungkinan besar, Bapak juga masih lama”
“Nggak apa-apa Bang, santai aja.
Saya habis operasi, jadi masih butuh banyak waktu istirahat”
“Oh.. Baik, Nyonya.. saya
sampaikan ke Bapak” kata orang itu sembari pergi meninggalkan Chika. Hingga
hari menjelang gelap Izack kembali ke mobil melihat Chika sudah terlelap. Perlahan
ia menutup pintunya, sambil diam-diam memakaikan seat belt.
Hening.
Sepanjang perjalanan Chika
benar-benar kembali tertidur pulas dengan mulut menganga membuat Izack
tersenyum geli. Ia mulai melanjutkan perintah pekerjaannya dengan menelphon
karyawan dan bawahan di AMI hingga Chika kembali terbangun.
“Nyenyak benar tidurmu?”
“Hm, agak lega PR besarnya sudah
terlewati”
“PR??”
“Ya, ketemu orang tuamu”
jawabnya yang disambut tawa lebar Izack
“Jangan bilang kalau sebenarnya
tadi juga begitu?”
“Hehe..”
Chika memainkan kedua tangannya
yang dingin di pangkuan hingga Izack menggenggamnya erat. Ia melihat jarum jam
arloji hitamnya seakan pas dengan kulitannya yang bersih dan halus membuat
gadis itu kembali tenang.
“Jangan pernah merasa rendah
diri lagi, Sayang…”
“Posisimu seakarang sudah
berbeda dari minggu-minggu lalu”
“Aku paham kamu belum terbiasa”
“Tapi jangan terlalu begitu,
membuatku sedih” katanya lagi menggenggam erat tangan kecil itu hingga membuat
keduanya sama-sama merasa nyaman.
@@@
Sejak pertama kali masuk pintu
gerbang, beberapa orang sudah menyapa Izack ramah dengan kaca jendela mobilnya
yang terbuka. Bahkan dengan satpam ia menyempatkan diri ngobrol sejenak hanya
untuk menanyakan hal yang menurutnya tidak begitu penting.
Sepanjang jalan Izack
senyum-senyum sendiri melirik istrinya tampak aneh melihat sikap dirinya yang lebih
rileks dibanding perjalanan dari kantor maupun Mabes AMI.
"Ada apa dengan
wajahmu?"
"Rautmu langsung berubah
saat masuk area ini" tanyanya yang hanya dijawab dengan senyuman tenang
sembari menekan tombol pintu lift sambil melepas kancing dan melonggarkan kerah
kemejanya seakan sudah tidak sabar melepas lelah.
Melihat lelaki tersebut tak
menimpali sepatah katapun, rasanya ingin sekali menelan lagi semua
kata-katanya. Tapi Izack menoleh ke arahnya begitu pintu lift tertutup, ia
hanya tersenyum tenang melihat perempuan itu kikuk saat tahu dirinya
diperhatikan. Ia mengusap kepala layaknya anak kecil, tapi Chika tidak suka ia
langsung menangkis tangan Izack yang membuat lelaki itu tersenyum lebar lalu memeluknya
erat-erat sekan tak ingin lepas sedikitpun.
“Jangan suka mengambil
keuntungan di saat aku lemah” lirih Chika mendongakkan wajah yang membuat Izack
menatap agak lama, namun ia tetap memeluknya hingga pintu lift terbuka, Chika
menggeragap kaget hendak melepas pelukan tersebut, tapi Izack menahannya dan
membiarkan beberapa orang masuk ke lift hingga kembali tertutup.
Beberapa orang dalam lift mulai
berdesas desus tentang isyu demo mahasiswa yang bakal terjadi dalam beberapa
hari ke depan.
“Mahasiswa jaman sekarang nggak
seperti jaman kita dulu, melempem”
“Jaman kita dulu ada kenaikan
harga langsung marak turun jalan, nggak peduli kampus
“Nanti, jika sewaktu-waktu aku
tinggal kamu sendiri di Apartemen, untuk buka tutup pintu, kamu tinggal
tempelkan jarimu di sini”
“Oh…” Chika merasa amazing
melihat pintunya terbuka setelah jarinya ia tempelkan di batangan tipis di
pintu
Hening,
Chika mulai merasa khawatir
dengan perubahan sikap Izack yang mendadak diam dan dingin. Ia membayangkan
berita-berita tragis yang menimpa pasangan suami istri mati tragis disiksa
pasangannya selama di Apartemen membuat dirinya makin tegang.
Hingga pintu terbuka, Chika mendadak
membeku.
“Ada apa?”
Chika nyengir “Hehe.. nggak
apa-apa” jawabnya seakan memecahkan halusinasinya yang terlampau jauh “Agak
aneh aja”
“Aneh??”
"Iya, manusia itu kan
makhluk sosial, tapi kalau kehidupannya seperti ini jadi seperti seekor hamster
di ruangan kotak-kotak gitu" ucapnya tanpa sadar
Izack tak menimpali, ia tampak lebih
tenang dan sedikit terlihat lelah. Ia duduk di atas nakas sembari melepas
sepatu dan memasukkannya.
"Selamat datang Hamster
baru..." sambut Izack berdiri menghadap Chika yang tertawa ringan.
Ia belajar melepas suasana
canggung sembari mencopot sepatu dan meletakkannya di rak mengikuti langkah
Izack. Tapi begitu kakinya menapak lantai, ia merasakan dingin hingga ngilu
seakan merasuk ke tulang sumsum.
Awalnya Izack tak sadar. Tapi
begitu pandangannya tertuju pada Chika seketika ia paham dan segera melepas
meletakkannya di depan Chika yang masih tampak pucat.
"Pakailah"
"Tidak usah, tenang aja aku
terbiasa nyeker di sawah"
Lelaki yang memiliki mata bulat
dan hidung lancip itu hanya tersenyum ringan berjongkok di bawahnya untuk
memakaikan sandal bulu yang membuat Chika risih "Tapi ini bukan sawah,
Chika" ujarnya tenang
"Nanti kita beli peralatan
yang kamu butuhkan" nada Izack spontan menyelimuti sekujur tubuhnya yang
dingin berubah hangat dan nyaman.
Rasanya baru kali ini dalam
seumur hidup ia diperlakukan begitu istimewa seorang lelaki yang nyaris
sempurna.
Sebagai gadis tahan godaan
lelaki, ia berusaha menghalau semua perasaan itu dan menganggapnya sesuatu yang
wajar hingga pura-pura cuek sekalipun tidak bisa dipungkiri perasaan gemetar
dan berdebar meluap-luap seakan susah ia bendung. Di tengah rasa cemas, kakinya
tersandung penyedot debu otomatis yang berputar-putar di lantai membuat dirinya
seperti orang yang baru saja keluar dari goa.
Dengan perasaan canggung, ia
memberanikan diri mengintip tirai dinding kaca yang memperlihatkan view kota
metropolitan yang padat.
"Dibuka aja" kata Izack
membuka pintu sliding balkon hingga angin sore pun bertiup kencang menerobos
ruangan hingga beberapa kertas di atas meja depan tv pun berhamburan.
"Ternyata seperti ini ya,
isi gedung-gedung tinggi yang di tv itu" gumamnya lirih melihat
gedung-gedung pencakar langit di seberang
"Gimana?"
"Kalau tenagamu sudah cukup
kuat aku ajak ke rooftop"
"Apa itu rooftop?"
Ia tak menjawab justru menghilang
di balik kitchen bar dengan apron yang selesai ia kenakan membuat Chika tersenyum
tipis.
"Kenapa?"
"Enggak,"
"Baru kali ini, aku lihat
anak jendral sekaligus pengusaha dan ketua umum masak sendiri di dapur" katanya
sembari memalingkan wajah dan membiarkan dirinya terhempas angin sore yang
sedikit terasa berat
"Rasanya seperti mimpi aku
ada di gedung seperti ini" batinnya sembari memejamkan mata menghirup
nafas dalam-dalam memegang erat pagar kaca balkon
"Jangan pernah berpikir ikuti
langkah Otto Lilienthal disini" cletuk Izack saat melihat beberapa burung
melintas jauh dengan sayap lebarnya melayang di udara.
“Iya, karena pernikahan adat
yang konyol ini aku berasa ingin seperti dia”
"Jaga kondisi jangan sampai
drop lagi" ujarnya meletakkan kursi stool dan menekannya untuk duduk
hingga Izack membungkuskan tubuhnya dengan selimut lembut yang hangat.
"Baru kali ini ada lelaki
yang menjadikanku seorang ratu" pikirnya saat lelaki itu kembali ke dapur.
Ia merasakan semua rasa nyeri seperti sedang dikompresi luruh hingga ke ujung
kaki membuat tubuhnya pun terasa ringan dari rasa sakit bekas obat dan suntikan
segala macam.
Diam-diam ia mencoba
memberanikan diri memandang sosok lelaki itu dari jauh yang baginya masih menjadi
tanda tanya. Mengapa ada lelaki se baik dan sesempurna itu yang tiba-tiba
muncul di saat waktu yang tepat, dimana saat itu ia memang sudah tidak kuat
lagi menahan tekanan hidup yang makin keras.
“Tapi… biasanya bukankah lelaki
seperti itu datang menyambut wanita yang hebat”
“Lalu aku??”
“Apa hebatku?!” pikirnya
mengernyit lama memandang Izack yang masih mondar-mandir
"Jangan memandangku seperti
itu" sayup-sayup suara lelaki itu terdengar membuat Chika bingung
mengalihkan perhatian
Lelaki yang mengenakan kaos tipis
v neck itu kembali masuk dan sibuk menyiapkan makan malam di meja makan, hingga
akhirnya kembali duduk di sudut Balkon dengan laptop yang sudah ia nyalakan
sembari memandang istrinya sekilas yang meringkuk kedinginan dalam selimut.
"Bang, kenapa Papamu tidak
marah?"
Izack mengernyit bingung
“Hm?”
"Bukankah pernikahan itu
acara sakral bagi keluarga sepertimu ya?"
"Aku siap-siap pulang kalau
sewaktu-waktu mereka mengusirku dari sana" celotehnya yang ia kira
lelaki itu tidak mendengarnya
"Ck! Terlalu banyak nonton
drama, kamu" cletuk Izack ringan dengan tangannya sibuk menari di atas
papan tuts laptop
“Haha.. terlalu buang-buang
waktu itu, Bang” ucapnya cuek sembari melepas karet kucirnya membuat pandangan
mata Izack tertahan sektika saat ingat beberapa tahun yang lalu saat pertama
kali ia benar-benar terpesona melihat gadis imut mirip cewek blesteran melepas
karet kucir rambutnya.
“Sudah berapa hari nggak keramas?”
“Hehe… ngirit shampoo”
Izack menarik nafas lelah, ia
kembali bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di belakang gadis itu.
“Kenapa?”
“Ayo, aku bantu”
“Apa?”
“Cuci rambutmu”
“Tapi aku takut kena jahitan
perut”
“Terus nggak mau mandi, gitu?”
“Hehehe… dingin, Bang”
“Ada air hangat”
Chika bersikukuh tak mau
bergerak.
“Ayo…”
Chika pun nurut saat tangannya
ditarik dan didudukkan di kamar mandi menyandarkan kepalanya pada wastafel dan
mulai mencuci rambut panjangnya. Awalnya keduanya kikuk dan grogi, tapi dengan
kelihaian Izack dalam mencairkan suasana mulailah terjadi obrolan dan sedikit
senda gurau yang membawa suasana kembali cair.
“Nah, selesai” katanya menutupkan
kepala dengan handuk
“Mulai detik ini nggak boleh ada
kata ngirit lagi kalau untuk urusan badan” katanya sembari pergi mengikuti
Chika keluar dari kamar mandi mengeringkan rambut
Semburat keemasan cahaya
matahari sore itu seakan sedang berpamitan meninggalkan langit kota Jakarta
yang berat. Melihat itu Chika langsung histeris membuat Izack kaget.
"Woooo… Keren!!"
pekiknya seru layaknya anak kecil yang tergesa-gesa keluar berdiri di atas
balkon
Melihat istrinya kegirangan
melihat matahari tenggelam, diam-diam Izack mengamatinya dari belakang dan
mengambil fotonya beberapa.
"Baru kali ini aku bisa
melihat matahari tenggelam" sorot mata Chika berbinar-binar menggigit
bibir bawahnya seakan lupa di belakangnya ada siapa
Saat itu angin sore mulai
berhembus kuat menjadikan rambutnya yang panjang terhempas angin dan mengering lebih
cepat sebelum akhirnya Izack kembali meletakkan hairdryer dan berdiri di
sampingnya menatap mesra gadis yang sempat membuat dirinya galau karena mesti
kehilangan jejaknya bertahun-tahun, sementara sisa waktunya habis disibukkan pekerjaan perusahaannya yang tengah berbenah
dan Mabes AMI yang baru ia pimpin.
Naluri sebagai lelaki rasanya
sudah tak kuat lagi membendung rasa ingin memeluk, hingga ia mendekat dan
berdiri di belakangnya mendesak tubuh Chika yang awalnya risih dan ingin
melepas pelukan itu. Namun desakan tenaganya membuat gadis itu luluh menerima
pelukan hangat dari tubuhnya yang benar-benar nyaman hingga gairah seksnya pun
tak tertahankan mencium lehernya berulangkali. Tak bisa dipungkiri, Chika pun
larut dalam dalam suasana intim.
“Perutku capek buat berdiri
lama, Bang” suara Chika lirih membuat tangan Izack spontan menahan bagian perut
Chika yang nyeri membuat pori-porinya seketika berdiri.
Seiring tenggelamnya matahari di
balik gedung-gedung itu, langit mulai gelap hingga menyisakan cahaya kemerahan
di langit sebelah barat.
“Kenapa??” suaranya lirih
mendekatkan wajahnya pada lehernya yang lembut
Seperti ada perekat, Izack tak
mau melepas pelukan itu sedikitpun namun justru mengajaknya bergeser ke
belakang dan duduk di sofa hingga Chika terduduk di pangkuannya.
“Jangan seperti ini di luar,
Bang. Nggak baik dilihat orang” suaranya lirih saat ada sepasang suami istri
berdiri di balkon seberang yang masih satu lantai.
“Berarti di kamar?”
“Hngg…?!!” cletuknya kesulitan
melengoskan wajah tapi wajah itu ditahan Izack dan menciumnya berulangkali
membuat tubuh Chika seakan terbius dan lunglai menahan nafasnya naik turun.
“Sudah lama aku menantimu,
Sayang…” ujar Izack yang terus menerus mengulas wajah hingga lehernya erotis
membuat gadis polos itu lemah tak berdaya menahan nafasnya tak beraturan hingga
kembali bersandar pada tubuh Izack meringkuk dalam pelukan
Ada rasa bahagia yang tak
terkira di wajah keduanya, hingga mulut Izack seperti tengah menata kalimatnya untuk
berbicara.
"Mau dengar cerita
tidak?"
"Hm?!" Chika
mendongakkan wajah pada lelaki yang masih mendekapnya erat di pangkuan. Ia
mulai bercerita dengan tangannya yang masih tetap memeluk erat.
Konon ada sepasang suami istri
yang sudah dikaruniai 2 orang anak, laki dan perempuan. Tapi di kemudian hari
di saat karir istrinya terus meningkat, suaminya berkata jika ia menginginkan
seorang anak lagi. Paham dengan kode tersebut, istrinya menolak hamil lagi
karena akan sangat repot.
Si istri pun menawarkan untuk
mengambil anak asuh dari panti asuhan, dan suaminya setuju. Diambillah seorang
anak laki-laki usia 3tahun dari Panti di pinggiran kota yang kumuh dan kotor
tapi penuh kehangatan.
Tiap hari anak ini selalu
menangis minta pulang ke Panti bertemu teman-temannya. Karena suaminya yang
minta, ia pun mengorbankan waktunya di jam pagi sebelum ia berangkat kerja
untuk mengantarkan ke Panti sebelum keduanya berangkat kerja.
Sampai suatu saat bocah laki ini
merasa nyaman dengan keluarga tersebut dan tidak lagi kembali ke Panti. Selain
ikut pindah tugas Papa angkatnya keluar jawa, dia juga sudah mulai lupa dengan
teman-teman sekolahnya.
Hingga dirinya mulai sadar,
bahwa ia bukanlah anak kandung keluarga tersebut saat ia harus mengisi blangko
pendaftaran sekolah SMP.
Saat ayahnya kembali pindah
tugas ke kota kelahirannya, diam-diam ia mulai sering datang ke Panti asuhan
dengan sisa-sisa ingatannya di hari libur. Ia mulai menggali dirinya di masa
lalu pada pemilik panti Asuhan yang sudah usia lanjut.
Awalnya pemilik Panti tidak mau buka
mulut. Namun dengan bantuan teman-temannya, ia berhasil mencuri dokumen riwayat
dirinya di malam hari. Dari sanalah ia syok karena tahu jika dirinya adalah
anak buangan yang ditemukan di tempat pembuangan akhir berbungkus sehelai kain.
Tak sampai di situ, ia berusaha mencari informasi lengkap di sekitar area
Tempat Pembuangan Akhir itu.
Tak banyak yang tahu, karena
sudah puluhan tahun.
Di saat harapannya mulai pupus,
seorang ibu bercerita; bahwa dulu memang ada seorang nenek menemukan bayi di
pinggiran gunungan sampah. Tapi kabarnya bayi itu diserahkan ke Panti Asuhan
karena kondisi ekonomi si nenek tersebut. Mendengar cerita itu, si bocah yang
sudah tumbuh menjadi anak remaja gigih mencari dimana nenek tersebut tinggal.
Saat menemukan nenek tersebut ternyata
beliau mulai pikun, Tapi dengan kesabaran remaja laki itu, tiap hari selesai
pulang sekolah ia selalu mengunjungi nenek tersebut dengan membawakan makanan.
Sembari menemani dia makan, nenek tersebut mulai bercerita bermacam hal. Hingga
menceritakan moment bagaimana seorang bayi ditemukan di pinggiran gunungan
sampah.
Berceritalah ia bahwa saat malam
hari ada seorang lelaki dengan tangis suara perempuan bersamanya meletakkan
barang di dekat gunungan sampah. Tak lama dari itu, terdengar suara tangis bayi.
Diambillah ia dan pagi harinya diserahkan ke Panti Asuhan.
Mata Chika mendadak berkaca-kaca
mendengarkan cerita Izack.
Sejak saat itu, bocah laki
tersebut tak pernah kembali ke Panti Asuhan lagi, setelah ia berhasil melewati
masa depresi hebat dan beberapa kali mencoba bunuh diri.
Di tengah deraian air matanya,
Chika mulai menebak-nebak jika itu adalah dirinya. Namun bagaimana mungkin,
karena ia adalah anak pejabat.
Tapi berkat kebaikan
kakak-kakaknya yang luar biasa support, ia dibawa ke psikolog untuk mendapatkan
pertolongan.
Hingga masuk kelas 2 smp, ia
mulai suka nongkrong di kios kecil foto copy depan sekolahnya. Karena
satu-satunya orang yang bisa diajak bicara dan bercanda saat itu adalah abang
pemilik foto copy yang sekaligus memberikan banyak dukungan spiritual kembali
menjalani hidupnya sebagai seorang anak manusia.
Saat kelas 3 smp, ia mulai
menjadi karyawan pengganti di kios foto copy. Dari situlah terbersit untuk
membangun bisnis serupa.
Satu saat pemilik kios hendak
pulang kampung. Ia diberikan kepercayaan untuk menjalankan bisnisnya tersebut
selama beberapa hari. Dari sanalah anak tersebut giat menawarkan orderan ke
teman-teman sekolahnya.
Entah berapa bulan, ia mendapat
kepercayaan untuk mengambil alih kios foto copy. Saat itu antara syok dan
bahagia karena selain diperbolehkan memilikinya, ia diberikan kelonggaran
pembayarannya dengan dicicil.
Di akhir semester kelas 3, Kios
kebakaran. Dan diduga yang membakar adalah rival ayahnya.
Ayahnya dapat panggilan sekolah
karena anak remaja itu tidak ikut ujian kelulusan hanya untuk membantu
menyelamatkan barang-barang dagangan kios miliknya. Namun ayahnya baru tahu
jika Kios tersebut adalah milik anaknya dengan sistem bayar cicil dari
temannya. Dilunaskanlah Kios tersebut.
Perlahan ia mulai membangun
bisnisnya sungguhan sejak kelas 1 sma dan bekerjasama dengan tetangganya untuk
menjaga Kiosnya di saat jam-jam sekolah. Alhamdulillah bisnisnya lancar hingga
ia lulus sma.
Hingga ia mulai berani membiayai
kuliahnya sendiri dari hasil bisnisnya dengan dua orang karyawan yang ia
pindahkan ke Yogya. Mulailah ia memberanikan diri membeli kios kecil toko buku
bekas, tapi bisnisnya tersebut tidak berjalan lancar.
Suatu saat teman kakaknya menawarkan
perusahaan penerbitan buku kecil-kecilan kepadanya yang saat itu kolaps. Ia
putus asa karena harus menanggung gaji dua bulan yang mesti dibayarkan dalam
tempo 1 bulan ke depan. Dengan segala perjanjian, mahasiswa tersebut hutang ke
Bank sebesar 2 Miliar rupiah untuk menanggung itu semua sekaligus pengembangan
perusahaan, hingga perusahaan itu bisa berkembang pesat.
"Dan kamu bisa lihat
perusahaan itu sekarang ada di gedung seberang sana" ujarnya pada gedung
di seberang apartemennya yang gelap
"Luar biasa..."
ujarnya berulangkali mengusap air mata
"Jadi penasaran orangnya
seperti apa" nada Chika setengah menyelidik, namun Izack tetap tak mau
meperlihatkan wajahnya dan tetap menahan Chika tak bergerak, bahkan sekedar
memperhatikan wajahnya.
"Orangnya sekarang sedang
duduk di sebelah gadis cantik yang polos" ujarnya mencium pipinya yang
basah membuat gadis itu langsung mengusap air mata dan menoleh bingung
"Maksudnya itu beneran kamu,
Bang?" spontan tangisnya pecah memeluk Izack yang hanya disambut senyuman
lebar membuat keduanya semakin erat memeluk satu sama lain tanpa rasa canggung.
"Kenapa jadi kamu yang
nangis?" tawa Izack menarik nafas lega
“Maaf selama ini aku sudah
berprasangka buruk yang tidak-tidak terhadapmu”
Perlahan Chika sadar, siapa yang
dia peluk. Ia merasa terlalu nyaman dalam pelukan lelaki itu hingga
mendorongnya kuat yang menjadikan dirinya terjatuh dan keduanya tertawa geli.
"Augh!! Sakit"
"Kurus-kurus tenagamu kuat
sekali" kata Izack yang kembali membenarkan posisi duduknya sambil
cengingisan
"Maaf..."
Sunyi, Izack menatap dalam
seperti sedang memastikan gadis di depannya.
“Jangan pernah merasa paling
menderita, Chika”
“Kita sama-sama terlahir dari
keadaan yang kurang beruntung”
“Aku dulu seperti itu, sekarang
seperti ini. Kamu dulu seperti itu, sekarang seperti sekarang”
“Kita nikmati saja setiap proses
dalam hidup kita”
“Bang!” gadis itu berkecap kesal
siap-siap membela diri yang langsung disumbat mulutnya dengan tangan Izack
“Jangan ekspose pikiran burukmu,
semesta akan membaca pikiran dan perkataanmu”
“Hati-hati”
Seperti tersadar dengan
perkataan itu, Chika kembali diam menelan saliva.
"Apa kamu membenci orang
tuamu, Bang"
"Mmmm... waktu sd dan smp,
iya"
"Kata Papa, bersyukurlah
kamu dibuang orang tuamu yang tidak bertanggung jawab”
"Dan aku sempat marah
dengan kata-kata itu"
"Tapi kakak dan Mama
support, mereka mengatakan untuk tetap bersyukur apapun kondisinya "
"Pun dengan kata-kata itu
aku masih saja tetap marah, hingga satu hari aku melarikan diri dari rumah, dan
Papa membiarkanku pergi tanpa ada yang boleh mencarinya"
"Tapi Mama dengan bantuan
anak buahnya berhasil menemukan dan mengajakku pulang tanpa mengatakan
apapun"
"Lambat laun aku baru
mengerti apa maksud Tuhan mengajarkanku banyak hal lewat tiap penggalan
peristiwa"
"Karena tanpa dibuang,
mungkin aku tidak akan bertemu dengan keluarga hebat di negeri ini"
"Kamu pernah kangen pada
mereka, Bang?"
Seperti terpukul Izack terdiam
sejenak. Namun dengan sikapnya yang elegan, ia hanya berputar meninggalkan
Chika dan mengingatkannya untuk segera cuci tangan dan makan.
Chika masih tertegun dengan
cerita tersebut. Ia memandang gedung seberang yang beberapa tampak menyala.
Ternyata kehidupan dirinya yang pahit, belum seberapa dibandingkan dengan
kehidupan suaminya yang jauh lebih mengenaskan.
Entah mengapa tiba-tiba saja
matanya tertuju pada laptop suaminya yang masih terbuka, Chika berniat
menutupkan. Namun saat laptop disentuh muncullah foto-foto dirinya beberapa
tahun silam membuat dirinya terbius dalam beberapa detik.
"Ayo makan dulu" kata Izack
berdiri di pintu kaca yang spontan membuat keduanya melotot kaget saat melihat
layar laptop menyala
Ssseeetttt...!!! kakinya melangkah
cepat merebut laptop membuat Chika tertawa geli.
"Kapan kamu ambil fotoku???"
pikirnya tersenyum geli bengong melihat Izack salah tingkah segera menutup
laptop dan memasukkannya ke dalam tas kerja.
Dari
gerak geriknya yang sok cool, ia baru mulai paham bagaimana lelaki yang dari
luarnya tampak kuat nan bersahaja, ternyata memiliki sisi lugu dan menggemaskan
karena malu ketahuan menyimpan foto gadis yang berhasil ia nikahi.
"Please,
aku cuma mau lihat fotoku saja" pintanya sedikit merengek
"Sudah, ayo makan
dulu" kata Izack mengeluarkan beberapa hidangan dari microwave
"Kapan kamu masak?"
Tiba-tiba smartphone Izack
kembali bergetar "Halo, ya pak..."
"Sudah,"
"Hm,"
"Ah,
yang penting makanan sehat cukup"
"Hm,"
"Ada yang mau ngomong sama
kamu" Izack menyodorkan batangan handphone
"Malam, Non..." Chika
meringis aneh mendengar sapaan itu
"Malam Pak..."
"Bagaimana masakannya?
apanya yang kurang pas?" Chika menahan senyum geli merasa dirinya begitu
berharga di mata orang lain. Karena biasanya, justru dirinya lah yang melayani
orang lain dan luar biasa senang saat mendapat pujian.
Ia kembali melirik Izack yang
tengah menyajikan makanan di meja. Dan…
"Enak kok pak, sudah cukup
menurut saya" ujarnya sekalipun ia belum tahu seperti apa rasanya masakan
si bapak.
"Menu besok pagi apa,
Non?"
"Oh..." ujarnya
meringis langsung diberikan pada Izack yang kembali duduk melepas apron dan
mulai mendikte beberapa menu.
Sepanjang mereka makan malam,
ada rasa sepi yang membuat keduanya sama-sama grogi. Tapi sebagai lelaki, Izack
merasa lebih berkuasa mengendalikan emosinya agar tidak terbaca gadis yang
bakal menemaninya sepanjang hari.
"Besok aku masak sendiri
saja gimana?"
"Kenapa?"
"Kan daripada membayar
orang, aku bisa kok"
"Bagi-bagi rejeki,
Non..." ujar Izack membuat wajah Chika seakan tertampar
“Oh,” suaranya tersendat merasa
tidak enak
Izack melirik raut kecewa sekilas
"Kenapa?? Kalau mau bantu masak, ya bantu aja nggak apa-apa”
“Maksudku…”
“Dia datang ke kantor tidak
punya ketrampilan apapun kecuali memasak" katanya sambil meladeni istrinya
“Waktu wawancara ternyata dia korban
PHK restoran masakan China yang sudah puluhan tahun kerja di sana”
"Sudah hampir tiga bulan dia
nekat memasukkan lamaran ke semua restoran dan perkantoran demi menyambung
hidup keluarganya"
"Tapi tak satupun yang
menerima karena dianggap cacat jari"
Gluk!! Chika merasa tersentuh.
Ia terdiam lama seakan memposisikan dirinya di hadapan lelaki tersebut yang
nasibnya tak jauh beda.
“Kita ini terlahir dari kepahitan,
dengan membantu orang dalam kondisi pahit. Kita akan dimudahkan rejekinya.
Itulah kata Papa dulu” Izack bangkit dari tempat duduknya mengambil piring
kotor
“Aku saja, Bang” ujarnya lari
merebut apron yang hendak dipakai Izack. Dan dengan cekatan ia memakainya mulai
mencuci piring-piring kotor. Sementara Izack hanya berdiri sambil tersenyum
memandang istrinya persis di sebelahnya yang cekatan mencuci piring-piring itu
hingga selesai.
“Cepat sekali”
“Hehe… urusan cucian dapur mah,
paling gampang” katanya sembari nyengir kesakitan memegang perut.
“Kenapa??”
“Hehe.. nggak apa-apa” jawabnya
nyengir langsung lari masuk kamar mandi
Di atas toilet, dengan tangan
gemetar perlahan ia membuka perban bekas luka yang terasa nyeri saat ditarik
dari kulit. Mendengar pintu diketuk, jemarinya makin gemetaran melihat jahitan
memanjang.
“Ssshttt…”
Entah berapa menit berlalu, tak
ada suara apapun di kamar mandi, lagi-lagi terdengar suara,
“Sshhhtt…”
“Chik.. kamu nggak apa-apa?”
Sunyi, tak ada suara kecuali
desahan nafas panjang
Chika tak kuasa melihat luka jahitan
melintang panjang membuat tubuhnya gemetaran. Sementara Izack terus
menggedor-gedor pintu khawatir membuat Chika menggeragap berpegang pada
dinding-dinding kamar mandi yang licin hingga limbung saat membukakan pintu
tepat yang spontan ditangkap dan digendong begitu saja. Awalnya Chika berusaha
keras tidak mau, tapi melihat Chika terus menekan perban dari balik kain
kaosnya, Izack memaksa menggendongnya.
Sekilas ia teringat pertama kali
ia digendong lelaki tersebut dalam kondisi antara sadar dan tidak menuruni
tangga hingga masuk mobil. Namun kali ini, dalam kondisi sadar ia mampu menatap
setiap lekukan wajahnya yang tirus dan halus dari dekat. Tahu dirinya sedang
diamati istrinya, Izack sedikit risih dan segera meletakkannya di atas bed
begitu masuk kamar. Tapi Chika memaksakan diri bangkit hingga spontan
membuatnya mengerang kesakitan karena ada tarikan dalam perut yang belum sepenuhnya
pulih.
“Mau kemana?”
Chika nyengir pasrah menekan
rasa nyeri.
“Tiduran dulu aku bersihkan
lukamu”
Saat Izack kembali, keduanya
terdiam canggung. Tapi sebagai lelaki ia berusaha cool sekalipun gejolak batinnya
luar biasa panas dingin menekan perasaan grogi dan malu.
"Gimana bisa aku bersihkan
lukamu kalau kamu tutup begitu?” ujarnya melihat tangannya menekan erat bagian
perut hingga perlahan ia buka sedikit demi sedikit membuat gejolak gairah Izack
pun kembali membara. Namun begitu melihat bekas luka sayatan vertical dengan
benang yang masih melilit-lilit sepanjang bekas jahitan, perasaannya mencelos.
Ia kembali menatap wajah Chika yang pucat.
“Gimana rasanya, Nyeri?”
“Sepertinya lukamu sudah lumayan
kering, harusnya bisa segera diambil jahitannya”
“Hmmm…” Izack kembali berpikir
"Aku
panggilkan dokter aja ya?"
"Tidak"
wajahnya tegang
“Sepertinya
model jahitan seperti ini tuh harus diambil benangnya. Aku nggak berani kalau
harus memotong benangnya satu persatu”
Lagi-lagi
raut Chika tegang “Aku nggak mau membebanimu lagi, Bang”
"Kenapa?
Khawatir hutangmu bertambah?" tawa Izack melihat Chika nyengir menggigit
bibir bawahnya sembari menahan rasa nyeri saat jemarinya mulai mengoleskan
alcohol pada bagian luka dan menutupnya lagi.
"Hei,
jangan gigit bibir bawahmu di depanku atau aku cium kamu" senyumnya
nakal
Chika
melengoskan wajah menekan rasa nyeri sembari menutup kembali bajunya dan
perlahan bangkit dari tempat tidurnya. Izack berdiri dan mengeluarkan
smartphonenya.
“Halo,”
sapanya pada seseorang di ujung ponsel
"Bisa
kesini nona dokter?"
Mendengar
panggilan nona, perasaan Chika spontan nyeri membayangkan tipikal
seperti apa sebenarnya lelaki yang telah merenggut kebebasannya itu. Ia menarik
nafasnya pelan sembari diam-diam memandang lelaki dengan paras tampan berbalut
kaos tipis lengan panjang warna abu dan celana jeans yang menampakkan lekuk
tubuhnya yang ramping dan seksi. Merasa ada yang memandang, Izack membalas
tatapan itu seketika mengalihkan pandangannya pada sudut kamar yang sunyi.
“Luka
operasi istriku" ujarnya tersenyum pada Chika
"Oke,
aku tunggu" katanya sembari mematikan smartphone, Chika segera berdiri
hendak keluar. Tapi ia tersandung kakinya langsung ditarik dan ditangkap Izack
hingga smartphone dalam genggamannya pun melayang.
“Hp!!”
pelototnya dalam pelukan
“Hp
jatuh masih bisa dibeli, kamu operasi lagi, mau?!”
“Nggaklah”
jawabnya cepat memperbaiki posisi duduknya
Chika
kembali grogi, ia segera keluar meninggalkan ruangan tersebut dan duduk di sofa.
“Hah…”
desahnya
“Ingat Chika… jangan terlalu mencintainya atau kamu
akan sakit hati” pikirnya antara menekan rasa nyeri bekas luka hingga
perasaannya yang sedikit terkena cipratan api cemburu
Melihat istrinya memegang bolpen dan selembar
kertas sebagai gagasan awal menulis artikel, Izack beranjak ke dapur dan duduk
di atas mini bar menuang segelas air putih dan meneguknya perlahan.
Gadis itu terkejut ketika ada sepasang kaki di
depannya. Ia menawarkan senyuman lembut dengan segelas air putih untuknya. Tapi
Chika hanya diam dan berhenti memandang isi gelas tersebut.
"Kenapa lagi, khawatir ada racunnya?"
"Hehe... kali aja”
Izack geleng-geleng “Chika… Chika” katanya yang
dengan sengaja duduk menyebelahi sambil tersenyum nakal membuat gadis itu
seketika bergeser. Tapi Izack terus saja mepet membuat Chika kesal hingga nyaris
terjatuh saat dirinya berada di ujung sofa yang seketika ditarik ke
dalam pangkuannya. Entah berapa kali saja ia berusaha melepas dekapannya, tapi
ia tak mau kehilangan moment dan spontan Izack tidur di pangkuannya.
"Tolong, sebentar saja aku butuh tenang
pikiranku" ujarnya membiarkan lelaki itu meringkuk menarik nafas dalam
Chika bingung melihat raut lelaki itu
yang seakan menekan kegalauannya.
“Boleh tahu ada masalah apa Bang?”
“Hmm… banyak”
“Mau tahu bagian yang mana?”
“Semuanya”
“Okey”
“Beberapa hari yang lalu dapat laporan
dari CSR perusahaan, kalau mereka sedang butuh banyak sekali pembiayaan
pengiriman buku ke luar pulau”
“Tapi begitu sampai di tempatnya,
ternyata banyak buku yang tidak tersalurkan dengan baik. Bahkan beberapa ada
yang rusak karena transportasi daratan yang susah dijangkau”
“Bang, kalau transportasi mudah,
artinya pemerintah harus membabat hutan”
“Ya memang, hutan rusak. Tapi jalanan
juga rusak. Bingung kan?”
“Pantas saja kalau Papua ingin merdeka”
“Itu yang membuatku nggak bisa lepas
dari AMI, sekalipun para senior mendorong-dorong ke ”
“Banyak yang perlu diperjuangkan”
ujarnya lelah
Melihat dagu Chika dari pangkuannya,
seketika terbetik senyum.
"Oh ya, ingin liat calon mantan
cewekku dulu nggak?" katanya membuat Chika sedikit heran
“Maksudnya calon mantan??” Rautnya
mendadak datar, tapi rasa penasaran tetap tergambar di wajahnya.
"Boleh," ujarnya ragu
Zacky sengaja tidak mau bangun dari
pangkuan Chika, ia mulai utak-utik smartphonenya dan menunjukkan beberapa foto
gadis dengan rambut sebahu yang tengah serius menekuri buku yang membuat Chika
kaget dan memperbesar foto-foto itu.
"Nggak kenal ya?"
Spontan Chika menahan tawa geli.
"Kenapa?"
"Sejak dulu aku paling suka gayamu
yang khas seperti itu"
"Tapi itu tahun berapa...?"
nadanya terdengar datar, namun tak bisa dipungkiri kini tangannya makin membeku
sementara rasa hangat di dada membuatnya melayang menjadi perempuan paling
istimewa. Saat itu jarinya tersentuh wajah Zacky yang seketika ditarik dan
digenggam.
"Kenapa tanganmu dingin?"
Spontan Chika bangkit membuat Zacky
nyaris jatuh hingga terbentur meja
"Akhh..!!"
Sambil menekan keningnya yang memar ia
tersenyum geli melihat istrinya berdiri tegang
"Setidaknya aku merasa dunia sudah
dalam genggamanku, karena akhirnya gadis itu masuk dalam perangkapku juga"
"Yah, setidaknya numpang gratis
hidup dan makan" ujar Chika yang membuat Zacky tertawa geli
Hening
Angin
kembali bertiup sedikit kencang menerobos masuk lewat pintu kaca yang sedikit
terbuka. Chika yang tak bisa berkutik, merasa tidak enak jika beban beratnya
bertumpu pada pangkuan Izack.
“Berat,
Bang”
“Beratmu
berapa sih?”
Perlahan
namun pasti, ia mengendurkan urat ketegangannya. Hingga perlahan memberinya
ruang tempat duduk di antara dua pahanya dan bersandar pada dada Izack yang
merebah pada sofa.
“Seumur-umur,
inilah moment yang aku tunggu-tunggu”
“Tapi
sayang, kamu belum menerimaku” ujarnya dalam
Senyap
“Mungkin
kamu berpikir, aku adalah lelaki seperti yang kamu lihat pada umumnya yang
sering menebar pesona pada banyak perempuan”
“Tak
bisa dipungkiri, sebagai lelaki aku tak mengelak akan hasrat itu”
“Berapa
kali saja aku dijebak dengan banyak perempuan cantik. Tapi aku tak punya
keberanian menatapnya sedikitpun”
“Karena
aku tak ingin karma itu berulang terjadi dalam kehidupanku kelak..”
“Ya. Menjadi
bayi yang tak pernah diinginkan itu menyakitkan” ujarnya membuat Chika terdiam
menatap wajahnya. Namun kali ini giliran Izack tak berani menyambut tatapan
wajahnya.
Setengah
ragu Chika melingkarkan kedua tangannya erat ke dada. Ia merasakan gelagat
penerimaan itu hingga Izack menatap erat wajahnya seakan menunggu penerimaan
lebih lanjut.
Spontan
Chika memberanikan diri mencium pipinya membuat lelaki itu kaget. Lelaki
beralis tebal itu memaksa menatap dan mendekatkan wajahnya menatap bibir hingga
melumatnya dengan penuh gairah menjadikan irama jantung pun makin tak
beraturan. Izack tak bisa berhenti melumat bibirnya yang mungil, tapi Chika
berusaha melepasnya perlahan.
“Maaf
Bang, seperti yang kamu tahu. Aku bukanlah tipikal orang yang mudah percaya
begitu saja pada seseorang”
“Apa
sih yang kamu khawatirkan”
“Ketergantungan”
“Hm,
aku tidak mau tergantung pada siapapun” jawabnya
“Dan
aku menganggap pernikahan itu seperti belenggu bagi setiap perempuan”
“Begitukah
pikiranmu?”
"Oke,
mari kita buktikan"
"Dan
aku masih punya banyak cita-cita" pecahlah tangis itu yang langsung
dipeluknya erat. Pelukan itu terasa hangat dan nyaman membuat semua rasa nyeri
dan lelah pun terasa luruh hingga ujung jemari kaki.
"Jadilah
seperti apa yang kamu inginkan"
"Aku
benci jadi ibu rumah tangga yang tak jauh beda dengan serbet"
Glekk!!
Seketika
itu diam, lelaki itu berkerut kening tak mengerti apa yang dipikirkan gadisnya.
Spontan ia menahan tawa geli, tapi demi menjaga perasaanya ia mampu menahannya.
"Kalau
boleh aku tahu, sebenarnya apa yang kamu pikirkan tentang ibu rumah
tangga?"
"Urusan
dapur dan kasur, lalu kapan aku bisa mengangkat harga diriku?"
"Kapan
aku menyuruhmu begitu?"
"Kamu
tidak perlu berusaha mengangkat harga dirimu"
"Dengan
menjadi dirimu seperti ini saja sudah membuatku bangga dengan dirimu yang luar
biasa, kok" ujarnya mengusap kepalanya dalam pelukan.
Izack
menelan nafas menatap dalam, perlahan memberanikan diri mengusap kening dan
menciumnya hangat.
"Jangan
kamu lihat apa yang mereka pakai dan mereka punya, tapi lihatlah bagaimana dia
bersikap, bertutur dan berpikir. Itulah harga diri yang sesungguhnya"
"Tapi
kan.."
"Tidak
ada kata "tapi", kerjakan selagi itu baik untuk Rumah Tangga
kita"
“Aku
paling benci kata Rumah Tangga!” pekiknya spontan Izack tersenyum geli
“Oh..
oke, lalu kata gantinya apa dong?”
“Entah,”
"Itu
artinya, kamu juga tidak boleh menciumku"
Lagi-lagi
Izack menahan tawa menatap polos mata gadis berwajah imut itu.
"Memangnya
kenapa dengan ciuman?!"
"Aku
tidak mau punya anak"
Glek!!
"???"
Izack mengernyitkan keningnya lama penuh tanya, tapi spontan ia tertawa
terpingkal-pingkal
"Pelajaran
IPAmu dulu dapat berapa cantik.."
Chika
mendadak malu. Tapi yang ia pahami bahwa awal dari ciuman menjadikan rangsangan
untuk melakukan hubungan badan yang itu membuat Chika terbayang saja sudah
serem, apalagi saat hamil, lalu kebayang persalinan keluarkan kepala bayi lewat
kemaluan.
“Aaakhhhh!!”
teriak batinnya kesal melihat suaminya masih saja menahan tawa memperhatikan
kepolosan dirinya. Alih-alih ikut tertawa, ia justru menggigit bibirnya. Saat
itulah spontan Izack mencuri ciuman di bibirnya dan kembali tersenyum geli.
"Nah!
semoga kita bisa punya anak" tawa Izack geli menatap gadis polos itu yang
langsung menutup bibirnya kaget. Saking bingungnya ia menghadapi lelaki di
depannya, ia langsung menyembunyikan wajahnya dengan bantal sofa yang membuat Izack
makin gemas.
"Kenapa
aku jadi tambah gemes sama kamu ya?" tatapnya dengan sorot mata bening
bersinar. Tapi Chika benar-benar malu luar biasa menutup erat wajahnya yang
kini mampu ditarik dengan sekuat tenaga, Chika justru menutup wajahnya dengan
kedua tangannya, tapi lelaki itu justru menggelitiki hingga tak tahan membuka
wajah. Saat itulah kedua mata saling menatap hanya berjarak 15cm.
"Ternyata
gadis yang tampaknya keras kepala dan arogan ini sebenarnya sungguh lembut dan
polos" pikirnya tersenyum ringan
Chika
segera menarik diri dan melompat lari masuk ke kamarnya membuat Izack geli sekaligus
kecewa menekan gairah seksualnya yang terlanjur tinggi.
“Ah…
dasar gadis kecil” tawa Izack mengerang menekan onani
Entah
berapa lama Chika bersembunyi di belakang pintu kamar tidur ia tertidur.
Mendengar
bel pintu, Izack kelabakan kembali membenahi bajunya di depan kaca serta
mengatur nafasnya sebaik mungkin. Ia membukakan pintu dengan wajah datar
seperti biasanya saat di muka umum.
"Sialan,
panggil-panggil di saat sudah ada orang lain" gumamnya lirih yang membuat Izack
hanya tersenyum dingin
"Mana
pacarmu?"
Izack
mengetuk pintu kamarnya "Sayang,"
Mendengar
panggilan Izack, membuat perempuan cantik itu mencibir.
"Aku
kira kamu tidak bisa romantis,"
"Temanku
sudah datang, Chik"
Tidak
ada tanda-tanda suara dari dalam, Izack membuka pintu kamar mendapati istrinya
tertidur di atas toilet. Antara iba dan geli dengan kepolosan gadis di
hadapannya, tanpa membangunkan seketika itu ia gendong masuk ke kamarnya.
"Imut
banget, pantesan sampai dibela-belain tunggu di Rumah Sakit berhari-hari"
kata dokter muda sembari mengikuti langkah Izack dari belakang.
Seperti
biasa, wajahnya datar saat meletakkan Chika yang terbangun.
"Operasi
apa?" tanya gadis itu lagi pada Izack
"Operasi
usus robek, mbak" jawab Chika yang membuatnya kaget jika ternyata gadis
itu sudah sadar
"Oh?!!"
perempuan itu hanya melongo seribu tanya terlihat dalam sorot matanya sembari
memakai sarung tangan karet, sementara tangannya cekatan membuka peralatan
medis dan mulai membuka perban yang sudah mengering.
Satu
persatu jahitan itu dilepas. Begitu selesai, nafas Chika tampak
tersengal-sengal seperti baru selesai lari yang hanya disambut senyuman
perempuan cantik itu.
"Lega
ya, Non?!"
"Iya,
terimakasih banyak, Kak"
"Sama-sama"
Sempat
terjadi obrolan antara dokter cantik dan Chika di kamar selama beberapa menit
saat Izack riwa-riwi di dapur dan kembali muncul dengan membawakan dua gelas
jus.
"Dari
dulu nggak pernah berubah ya, selalu jus Alpukat"
Chika
melirik keduanya dan diam-diam beranjak keluar.
"Mau
kemana, sayang? duduk saja dulu" pinta Izack untuk pertama kalinya
memanggil dengan sebutan itu di depan dokter cantik yang membuatnya sejenak tersanjung
di depan orang, apalagi di hadapan dokter cantik yang membuat perempuan itu
senyum-senyum.
"Ciehhh...
yang sudah ber istri, jangan buat aku iri lah,"
"Kamu
terlalu banyak kriteria"
"Lah?
kan harusnya perempuan memang begitu kan teh?"
Chika
hanya senyum-senyum, ia merasa bahwa sebelumnya pernah terjadi sesuatu di
antara keduanya yang membuat dirinya menyingkir.
"Matamu
jeli sekali memilih istri?" sayup-sayup suara perempuan itu
terdengar
"Ada
gadis bening begitu hari gini?" kata-kata itu membuat Chika melambung
sejenak yang lambat laun suara itu lenyap di balik dinding kamar dan sekat
ruangan seiring kepergiannya beranjak ke dapur.
Perlahan
namun pasti, ada rasa nyeri di hati mendengar gurauan intens dua orang itu di
kamar.
"Siapalah
aku, hanya mahasiswa miskin yang pertama kali merasakan perasaan cinta"
pikirnya melayang kemana-mana membayangkan bagaimana sosok suaminya yang
sebenarnya. Ia sadar perasaan itu membuat tubuhnya perlahan gemetar dan lemas
terbawa rasa kecewa yang sangat dalam hingga gelas yang ia ambil dari dapur pun
luluh meluncur dari genggaman tangannya.
“Pyarr!!”
ia kaget, gugup dan cemas takut ketahuan mereka
"Kenapa
Sayang?" wajah Izack muncul yang diiringi wajah dokter cantik itu di
belakangnya
"Oh,
hehe.. nggak apa-apa"
"Sudah,
minggir dulu" nadanya agak kasar membuat harga dirinya remuk seketika
membayngkan kondisi seperti apa yang bakal ia hadapi
"Baiknya
buat banyak istirahat saja dulu, teh…"
Lagi-lagi
ada perasaan tidak enak yang membuat Chika nyaris menjatuhkan air matanya, tapi
untuk menyembunyikan itu, ia langsung masuk ke kamarnya
Saat Izack
selesai mengumpulkan pecahan kaca, Rani segera pamitan pergi.
"Salam
buat pacarmu, ya..."
“Hm,
oke!”
Mendengar
isak tangis Chika di kamarnya membuat Izack curiga nguping suara itu,
barangkali saja ia salah menangkap suara tangisnya.
"Kenapa
lagi?"
Chika
kaget saat pintu itu terbuka, ada wajah suaminya yang muncul dari balik pintu.
"Baiknya
sesegera mungkin kamu ajukan perceraian pernikahan kita ke Pengadilan,
Bang"
Izack
mengernyit heran.
"Tunggu,
ada apa ini?"
Dalam
beberapa detik kerutan di wajahnya perlahan memudar hingga terlihat raut
senyum. Ia menarik Chika dari kamar yang dihempas kesal dan menyerobot kasar
keluar membuat badan dan kepala Izack terbentur keras pada pintu kamar mandi.
“Akh!!”
pekik Izack nyengir kesakitan yang tak dipedulikan gadis itu melenggang duduk
di sofa dengan wajah bersungut. Lelaki itu mengusap-usap kepalanya dan duduk bersimpuh
di bawah layaknya seorang ayah yang tengah memanjakan gadis kecilnya.
“Duduk
di atas!” pinta Chika risih justru membuat lelaki itu tak bergerak
“Sory,
aku paham kemarahanmu”
“Sebenarnya
setelah kamu keluar, aku sudah berdiri mengajaknya keluar, tapi dia masih asyik
ngobrol” jelas Izack
Chika
tersenyum pahit “Sejak awal aku sudah berpikir ini bakal terjadi”
“Maksudnya?”
“Aku ini
siapa sih, Bang.. Gadis miskin yang hanya kebetulan kamu tolong..” tawanya
sinis
“Sudah
ku tebak apa yang bakal kamu lakukan kepadaku. Dan detik ini terbukti, aku tak
jauh hanya sekedar budak tawananmu yang bisa kamu lempar dan kamu jadikan
sebagai alat pemuas seksmu” protesnya bertubi-tubi dengan tatapan muak yang
langsung dibungkam dengan telapak tangannya yang terasa lembut.
Sekali
lagi Chika hendak angkat suara, tapi tangannya makin keras membungkam membuat Izack
berdiri dan duduk di sebelahnya hingga dua wajah saling berhadapan.
"Aku
paham kamu cemburu, titik. Aku minta maaf karena kurang peka, nggak perlu
kemana-mana"
Chika
mendengus kesal
“Dari
gerak-gerik kalian berdua aku tahu kalau kalian masih saling suka”
Izack
hanya mendenguskan tawa sekilas, ia tak mau terseret ke dalam tuduhannya yang
jelas-jelas dirinya bukanlah seperti itu. Ia kembali berdiri dan mengambil
remote tv. Tapi Chika yang sudah terlanjur jengkel segera keluar dan berdiri di
balkon sekedar melepaskan rasa kesalnya karena merasa diperalat oleh lelaki
belang berkedok lembut, sabar dan perhatian.
Ingin
sekali rasanya segera keluar dan pergi pulang ke Yogya andai tidak ingat
perutnya yang masih terasa nyeri jika untuk berjalan jauh. Ia merasa harga
dirinya telah terinjak-injak sempurna dan menyesali pernikahan itu sebagai
kesalahan fatal sepanjang hidupnya.
Melihat
istrinya berdiri di bibir balkon, pikirannya melesat terbayang kasus bunuh diri
seorang wanita yang terjun bebas di Gedung sebelah membuatnya diam-diam
menyelinap dan berdiri di belakangnya yang hendak mendekap, tapi sikunya sigap
spontan menyodok dada Izack yang langsung nyengir kesakitan.
“Ampuuun!”
“Jangan
coba-coba sentuh aku”
Ia
meringis kesakitan menekan dada berusaha berdiri di belakangnya dan kembali
menghadap langit yang makin gelap.
Hening.
Dengan
sejuta kesabaran Izack berusaha kembali menatap wajah Chika yang sarat sambil
menarik nafas panjang seakan ingin meneguk berton-ton energi positif ke dalam pikirannya.
“Sedikitpun aku nggak ada perasaan sama dia”
“Itu kamu, bagaimana dengan dia?”
“Itu urusan dia” jawab Izack cepat membuat Chika
kehabisan kata-kata
“Kita tidak akan mampu menghadapi hari-hari kita
besok, jika hal sepele ini kita ributkan”
“Cukup!”
“Aku nggak butuh ceramahmu” jawabnya menghindari Izack
dan kembali masuk ke ruangan tanpa melihat wajahnya sedikitpun.
Saat itu layar tv sedang menampilkan video suasana
Basecamp. Diam-diam ia menyimak video tersebut selagi Izack belum muncul. Perhatiannya
tersedot pada video yang berdurasi kurang lebih 30menit sejak ia berjalan di
sepanjang jalanan menuju Basecamp, hingga Rendra memberinya kado ulang tahun,
lalu Izack yang menawarkan baju ganti, hingga peristiwa keriuhan selama di
Resto.
Ia merasa seperti sedang dibukakan kembali
memorinya yang nyaris tenggelam. Chika kembali duduk lemas memegang remote tv
dan melepaskan sorot matanya keluar, dimana Izack belum juga masuk.
Pikirannya seperti sedang diaduk-aduk oleh beberapa
peristiwa dalam video tersebut dan tak terasa air mata kembali menggenang yang
spontan dihapus begitu Izack kembali masuk.
Lelaki itu pura-pura saja tidak tahu apa yang
sedang terjadi, hingga muncul wajah dirinya keluar dari Resto dan berlari
menuruni jalanan mengejar Bus.
Chika
melongo saat Izack hadir dan duduk di sofa
"Siapa
yang ambil gambar itu?"
"Kamu
tidak sadar, kan... kalau di depan ada CCTV?"
"Terus
yang di Resto??"
“Hmm??!”
Izack
hanya tersenyum tipis membuat Chika makin penasaran, darimana video di Resto
bisa ia dapat kalau bukan sengaja dirinya mengambilnya. Izack tak mau tersudut,
ia justru memutar ulang video hingga memperlihatkan sosok Rendra.
“Kemana
dia sekarang?” tanya Izack pada sosok Rendra memberikan laptop
“Oh..
Rendra, tetangga kampung sebelah”
"Sepertinya
dia suka kamu tuh,"
"Enggaklah!
Orang dia sudah punya pacar"
"Hmm...
begitu ya?"
“Nah,
sama kan?” sanggah Izack
“Maksudnya??”
Tatapan
mata Izack lama seakan ingin memastikan Chika paham apa yang ia maksud. Tapi
gadis itu belum juga paham bahwa yang dimaksud adalah dokter cantik itu, ia
segera mengalihkan sorot matanya yang kecil dan bening itu kembali pada layar
tv flat di seberang meja kaca.
Spontan
Chika tertawa lebar “Ya beda lah”
“Kalau kalian kan sepertinya
pernah ada hubungan”
“Darimana kamu tahu?”
“Tadi bukannya kamu berkata “Kamu
terlalu banyak kriteria”
Izack tertawa geli.
“Dia itu banyak yang suka,
Chika..”
“Termasuk kamu, begitu?”
“Oh, sory. Kriteriaku bukan
seperti itu”
“Terus?”
“Wuaa.. menurutku dia itu dalam
semua hal 99 persen sempurna loh” kata Chika lagi
Lelaki itu justru menyangga dagu
terus memperhatikan istrinya bicara.
“Kamu tahu? Apa kata Mama dan teman-temanku
tentang kamu?”
“Kamu pintar cari istri, sudah
cantik, imut, cerdas lagi”
Spontan mulut Chika seperti
terbungkam. Wajahnya yang putih tampak makin pucat. Tapi ia tak mau menampakkan
rasa malu dan merubahnya pada topik pembicaraan yang lain. Izack yang paham
hanya tersenyum tipis. Ia kembali meremote tv yang ia pegang hingga muncullah
foto dan video dirinya.
"Seperti apa sebenarnya
lelaki yang menikahinya itu?"
"Ehmmm... masih ingat kamu
menjatuhkan buku-bukumu di sepanjang jalan menuju Basecamp itu?" isyarat Izack
memutar ulang video dirinya dari belakang yang membuat wajah Chika pura-pura
cool sekalipun dalam batin tampak ingin lari menutup wajah karena malu luar
biasa ketika lelaki yang membuatnya grogi saat itu ternyata tahu.
"Bukan kali ini saja kamu menjatuhkan
buku di depanku" wajahnya berbinar-binar menatap wajah datar Chika
memainkan jari telunjuknya menutupi kedua lubang hidungnya. Tapi tak bisa
dipungkiri, perasaan meluap-luap dan detak jantung yang berdegup lembut nyaris
saja meledak membuatnya salah tingkah.
"Saat itu, aku kira kamu
yang panggil" suaranya lirih menggigit bibir bawah menekan rasa malu terbayang
saat itu ada sepatu boot berdiri di belakangnya dan sudah membuatnya
berdebar-debar mengira jika itu adalah Izack, namun spontan kecewa begitu tahu
itu adalah Rendra
Rasanya seperti mimpi. Lelaki
tampan yang dulu jauh di atas langit, kini duduk di sebelahku dan menjadi teman
hidupku, entah sampai kapan.
"Hm, Sudah aku duga" ucap
Izack dalam
“Kalau melihat kejadian itu,
sebenarnya siapa yang tertarik sama siapa duluan coba?” ujar Izack yang
ditanggapi dengan wajah cool Chika “Aku itu sebenarnya cuman merespon perasaan
yang kamu kirim saja”
“Begitu kan?”
Spontan Chika tertawa geli
campur malu
“Ngaco!”
“Berarti kamu dulu yang naksir
aku, kan?” tawa Izack melihat pipi merah di balik wajahnya yang tertutup erat
kedua tangannya.
Hening
“Dan.. sebenarnya aku tertarik
kamu karena dari cerita Hendrik”
Gluk!!! Perlahan namun pasti
Chika membuka wajahnya perlahan memalingkan wajah pada Izack yang tengah
mengembangkan senyumnya.
“Saat itu aku seperti sedang
menemukan diriku di masa lalu” tatapnya dalam
“Seandainya dulu aku tidak pernah
dipertemukan keluarga hebat seperti mereka… mungkin nasibku tidak jauh beda
denganmu, bahkan mungkin jauh lebih buruk lagi” suara batinnya terus bergejolak
memandang sarat pada langit-langit ruangan.
Melihat suaminya diam dalam
beku, ia memberanikan diri menggenggam tangan lelaki itu mencoba memberinya
kekuatan membuat lelaki itu hanya mengembangkan senyumnya dan mengacak
rambutnya.
“Aku sedih mendengarmu berkata
seperti tadi,”
“Jangan pernah katakan itu lagi,
sayang…”
“Maaf…”
“Aku tahu kamu merasa rendah
diri”
“Tapi jika kamu ulangi kata-kata
seperti itu, kamu seperti sedang mendorong semesta untuk menciptakan sebuah
kenyataan baru seperti yang kamu katakan”
“Baik-baik, maaf…”
Tanpa menjawab apapun Izack kembali
mengacak rambutnya.
13
Ketika Boring
Mulai menyerang
Beberapa hari di Apartemen
sendirian sepanjang hari, rasanya benar-benar membosankan sekalipun semua
fasilitas serba terpenuhi. Bahkan karyawati yang disewa Izack untuk menemaninya
di Apartemen pun disuruh kembali ke kantor, karena ia merasa tidak nyambung
dengan orang yang diaggapnya terlalu perfect dan melelahkan itu.
Seharian itu ia merasa kembali
ceria setelah 2 jam berturut-turut telphon dengan Rendra. Sesuai sarannya,
ia memberanikan diri pergi sendiri ke Supermarket untuk membeli semua kebutuhan
dapur dan membuatkan makan malam Izack. Tentu saja dengan kondisi yang
sebenarnya belum pulih betul, tapi ia memberanikan diri berjalan jauh, dan
mulai merasakan nyeri yang luar biasa saat kembali ke Apartemennya.
Namun apa yang terjadi malam
itu, Izack pulang di atas jam 12 malam di saat makanan di meja telah dingin,
sementara ia telah tidur terlelap di sofa balkon meringkuk dalam selimut sambil
mengerang kesakitan.
“Kenapa?” tanya Izack setengah
berjongkok di depan Chika sambil mengulas bagian perut
“Sedikit nyeri”
“Kenapa tidur di sini?”
“Bosan, di dalam terus”
Izack kembali menghilang di
balik pintu balkon. Diam-diam Chika membuka perutnya dan memperhatikan bekas
jahitannya yang mengerikan sepanjang perutnya.
“Bagaimana aku bisa menikah
dengan orang ini setelah tubuhku sudah tidak sempurna lagi” pikirnya
Diam-diam Izack datang
dan ikut mengamati luka di perutnya yang membuat Chika kaget mendongakkan
kepala membuat kepalanya terbentur dagu Izack keras membuat keduanya nyengir
kesakitan
"Aughhh...!!"
"Eh!! Maaf Bang,
maaf!!!" Izack tertawa ngenes perhatikan wajah Chika yang merasa bersalah
“Baru berapa hari kamu di sini,
badanku sudah sakit semua” ujarnya membuat gadis itu nyengir penuh rasa
bersalah.
“Yahh.. habis gimana? kamu nggak
bilang”
Izack duduk di kursi balkon
sebelah dimana ia duduk memperhatikan raut Chika yang tampak belum benar-benar
sadar sambil nguap berulangkali.
“Sudah, tidur saja dulu” katanya
Chika yang setengah sadar nguap
berkali-kali membuat matanya berair dan berjalan cepat mendahului Izack masuk
kamarnya membuat lelaki itu bingung dan ragu saat ia menghempas di atas
kasurnya jauh lebih besar dibanding bednya sendiri.
Ia tak mau banyak berpikir
ketika rasa kantuk mulai kembali bergelayut dan nguap berkali-kali. Ia hanya
membenarkan posisi tidur istrinya yang hampir tak menyisakan ruang sedikitpun
untuk dirinya dan menenggelamkan ke dalam selimut sembari memperhatikan raut
istrinya yang tampak pulas.
"Kapan kita benar-benar
bisa tidur bersama seperti ini?" lirihnya
"Terimakasih sayang, sudah menunggu"
ujarnya membelai kening menyibakkan poninya dan mengecupnya perlahan
@@@
Pagi hari Chika kaget mendapati
dirinya dalam pelukan Izack. Ia meloncat lari masuk ke kamarnya membuat Izack
yang terbangun karena kaget tertawa geli.
Entah berapa menit berlalu, Izack
sudah siap-siap kembali berangkat kerja. Tapi Chika benar-benar tak berani menampakkan
wajahnya di depan lelaki itu.
"Ayo sayang, sarapan
dulu" ujar Izack senyum-senyum
"Sudah aku hangatkan sop
iga buatanmu semalam"
Chika keluar dari kamar dengan
sedikit ragu dan malu membuat Izack geli mengacak rambutnya yang lemas tergerai.
"Sakit," ujarnya manja
"Kamu ini bikin gemes"
ujarnya menggamit dan mendudukkannya di kursi dan mulai menyiapkan piring
untuknya
"Bang,"
"Hm?!"
"Boleh tidak, aku
bantu-bantu di kantormu?" tanyanya sedikit ragu sembari mengambil nasi dan
lauk di atas meja
"Boleh,"
"Seriuss?!!" matanya
melotot penuh harap
"Hm!"
"Sekarang ya?!"
"Tunggu benar-benar
pulih"
"Hhhh...!!"
"Please Bang... Aku bosan
di rumah sendiri"
"Kan bisa main di luar
bareng Arina"
"Hhh... Orangnya nggak
asyik"
Izack meletakkan sendok
"Ya sudah ayok,
cepat!"
Secepat itu Chika ngebut
menghabiskan sarapan paginya. Ia segera bangkit, dan riwa riwi masuk ke kamar
hingga akhirnya ia selesai keluar dari kamar mandi.
"Aku bantu-bantu deh apapun
yang bisa aku bantu"
"Jangan berulah, kamu baru
masa recovery”
“Aku nggak mau gendong kamu lagi
kalau sampai pingsan"
Segaris tawa tersirat di wajah
Chika menahan malu.
"Bawalah laptop di kamarku,
kalau mau menulis artikel di kantor" ujarnya beranjak dari kursinya dan
mulai mencuci piring.
“Beneran?!”
“Hm,”
“Ayok, cepetan! Selesai rapat
kantor, aku ada pertemuan di luar” ujarnya cepat beranjak dari satu tempat ke
tempat lain menyaut tas bawaannya, hingga terhenti menunggu dirinya ragu
mengikuti dari belakang.
Dengan wajah riang Chika
berjingkat cepat masuk ke kamar suaminya. Namun begitu berdiri di meja
kerjanya, ia terkejut melihat sebandel kertas di atas map yang berisi surat
hutang bank dengan jaminan kantor. Saat itu tangannya lemas seketika.
“Ketemu?”
“I iya, Bang” jawabnya terbata-bata
gugup meletakkan bandel map dan segera keluar.
“Bang, aku… di rumah saja deh”
“Kenapa?”
“Hehe… tidak apa-apa”
“Sudah ayok, cepat!” tariknya
keluar dan mengunci pintu cepat dengan sekali tombol. Ia mendorong punggung
Chika yang terlampau kurus dengan tulang belikat dan bahu yang bertonjolan.
“Hadeeh… mulai sekarang makan
yang banyak”
“Kamu tinggal di Jakarta harus
siap fight”
“Makanya harus makan yang
banyak, biar nggak mudah dipatahkan orang” ujar Izack membuat Chika menarik
nafas dalam tegang.
Ia tetap tenang tak banyak
protes sepanjang perjalanan di lorong Apartemen yang senyap menuju Lift. Sembari
berjalan di sampingnya, Chika terkesima melihat betapa keren suaminya dengan
setelan blazer slim fit biru tua dengan celana. Hampir saja ia merasa bahwa ini
adalah mimpi di siang bolong yang tak boleh terbangun sedikitpun. Sementara
melihat hem yang dikenakannya tampak jauh perbedaannya membuat gadis itu
nyengir.
“Kenapa?” suara Izack tahu kalau
dirinya sedang diamati membuyarkan lamunannya
“Hehe… tidak” jawabnya menggamit
hem biru kotak-kotak merah kesayangannya
Izack paham, tapi ia tak mau
membahas itu saat ini.
Sepanjang perjalanan, Chika masih
tampak ragu membayangkan seberapa bisa dirinya beradaptasi di kantor suaminya dengan
pakaian seadanya seperti itu. Nyalinya hampir saja rapuh jika Izack tak
menggandeng jemarinya saat ia tahu gadis itu menarik nafas panjang meremas
kepalan tangannya yang dingin menggenggam ujung kain hemnya.
“Mikir apa sih dari tadi?”
tanyanya lagi membuat gadis itu lagi-lagi nyengir sengir
Sepanjang perjalanan mereka di
mobil, tangan Chika kian terasa beku dengan wajah pucatnya. Hingga mereka turun
disambut tukang parkir yang memarkirkan mobil dan keduanya turun bersamaan dan
masuk melewati ruang loby yang terlalu luas. Nyalinya makin ciut mengikuti
langkah suaminya yang berjalan cepat di belakangnya.
“Pagi pak Izack” salam sapa
seseorang dengan kemeja abu tua menjabat tangan lelaki di depannya sedikit
tunduk hormat. Mereka bicara sejenak dan menoleh ke arah Chika untuk
diperkenalkan sebagai juniornya dengan menarik pundaknya begitu saja oleh Izack
yang membuatnya sedikit kesal merasa diperlakukan sedikit kasar di hadapan
orang.
Entah berapa menit berlalu
mereka berjalan beriringan, membuat Chika merasa minder dan hilang kepercayaan
diri hingga akhirnya mereka masuk lorong demi lorong setelah keluar dari lift
dan disambut orang-orang di sana yang nampaknya itu adalah kantor suaminya yang
terbilang cukup luas.
Batin Chika mulai bergejolak
“Wowww!! Nggak nyangka, orang
seperti dia kantornya se luas ini” pikir Chika terheran-heran memandang
sudut-sudut ruangan yang tertata rapi dan bersih
“Tapi, benarkah dia CEOnya?”
“Atau jangan-jangan cuma
karyawan?”
“Benar-benar keren” pikirnya
saat mereka berjalan beriringan
Hampir semua orang yang
berpapasan dengannya selalu menyapa dan menunduk hormat. Namun Izack hanya
menunduk datar yang kadang tanpa memandang wajah orang-orang itu.
“Gimana mas Ardian?”
“Iya pak, siap… tinggal tunggu
bapak dari tadi”
“Oke” jawab Izack masuk ke salah
satu ruangan yang terlihat lengang dan sepi
Chika pun menarik nafas lega
jongkok di depan pintu selepas pintu ditutup yang membuat Izack mengembangkan
senyumnya lebar seakan paham perasaan grogi dan cemas. Ia menarik pergelangan
tangannya yang kepalang dingin.
“Kenapa tanganmu dingin semua?” Izack
melotot. Tapi ekspresinya tidak selembut di rumah, ia langsung beranjak mencantolkan
blazernya dan melipat lengan kemeja kokonya. Sementara Chika masih kikuk dan
grogi beradaptasi dengan suaminya sendiri yang sudah berubah total auranya.
“Ini ruanganku, kalau butuh
sesuatu panggil saja masnya di depan” ujarnya sembari duduk di meja kerjanya
“Itu air minum kalau mau,
buatlah sendiri” tunjuk Izack pada meja kecil di sudut ruangannya
“Tapi Bang!” suara Chika cemas
Tak lama kemudian sekretarisnya
masuk mengingatkan bossnya.
“Oke, baik”
Izack kembali berdiri tepat di
hadapannya.
“Bang, jujur saja aku takut”
“Kenapa? Mereka sudah tahu kalau
kamu istriku” jawabnya menarik bahu, mencium kening dan memeluknya erat dan
hangat membuat Chika tak ada kesempatan mengelaknya sedikitpun.
Teringat surat hutang bank di
meja kamarnya tadi terlintas perasaan sekedar ingin bertanya,
“Benarkah ini semua pinjaman
Bank?” pikirnya. Tapi ia mengurungkan niat itu hingga akhirnya membiarkan
lelaki itu pergi meninggalkan ruangannya yang diikuti oleh senyum sapa
sekretarisnya.
@@@
Di meja oval yang tidak terlalu
besar, Izack duduk di paling ujung mendengarkan laporan karyawannya dari
masing-masing bidang. Mereka membahas buku-buku terbitannya yang mangkrak
berbulan-bulan di beberapa toko buku besar yang tersebar di seluruh Indonesia
dibanding buku-bukunya yang dijual di toko online mereka.
“Kalau begitu, kenapa nggak kita
tarik saja buku-buku yang ada di toko buku offline?”
“Team Pemasaran, tolong atur
lagi strategi penjualan kalian”
“Aku nggak mau ada agenda
menghancurkan buku-buku lagi”
“Team Akuisisi, tolong perbaiki
sensor kalian”
“Kita butuh buku-buku berbobot”
Tiba-tiba saja Ozin sebagai
tangan kanannya memberi selembar note kecil dan membacanya sekilas membuat Izack
diam sejenak menatap dua orang sebagai dua pimpinan tim Akuisisi.
“Kita perlu move tiap minggu,
tiap bulan dan tiap tahun”
“Di luar sana berapa banyak
penerbit dan percetakan buku yang terpaksa gulung tikar karena ketidakmampuan
mereka menciptakan terobosan-terobosan baru”
“Hari ini, kenapa masih ada
gap-gapan?”
“Jika itu memang masalah
individu, selesaikan secara bijak. Tapi jika itu urusan pekerjaan, datanglah ke
ruangan saya, kita akan selesaikan bersama” kata Izack mengetuk-ngetukkan jari
menatap tegas dua orang lelaki setengah baya dan lelaki muda yang tak berani
mengangkat wajahnya.
“Kita buatkan ruang santai
fungsinya untuk itu”
“Kita tidak ingin perusahaan ini
menciptakan manusia-manusia robot yang hanya memenuhi panggilan pekerjaan,
berangkat pagi pulang sore, begitu terus menerus”
“Lanjut!” ucap Izack
mempersilahkan Ozin berbicara
“Minggu lalu Dinas Kearsipan
Nasional sudah siap mendengarkan proposal proyek kita. Mereka menunggu
kedatangan kita menjelaskan itu secara detil”
“Setelah dua tahun???” seru
pegawainya serempak melotot yang hanya disenyumi Izack
“Yes…” Ozin menatap dalam pada
semua orang
“Itulah kita”
“Soal Pendidikan saja
begini alotnya”
“Rakyat disuruh melek
literasi, tapi apa jadinya jika harga buku mahal dan keberadaannya pun buku saja masih langka di daerah-daerah
pelosok”
“Harga buku mahal karena
tidak ada dana
“Bagaimana masyarakat disuruh
membaca, kalau yang dibaca saja tidak ada”
“Bagaimana bisa buku langka ya
karena harganya memang tidak terjangkau di masyarakat kalangan menengah
kebawah”
“Karena pemerintah tidak
memberikan perhatian khusus pada ini”
“Untuk itulah Proyek
Perpustakaan Digital Nasional ini kita ajukan sebagai terobosan baru membantu
pemerintah untuk mengurangi tingkat rendahnya literasi di kita”
“Apa bedanya Perpustakaan
Digital yang sudah dimiliki pemerintah sekarang, Bang?”
“Beda”
“Perpustakaan Digital milik
Pemerintah sekarang tidak menggandeng semua penerbit yang ada di Indonesia”
“Kan banyak tuh, Penerbit yang sudah
gulung tikar, gimana?”
“Kita akan hubungi lagi
pemiliknya untuk buku-buku tersebut kira-kira mana yang layak terbit”
“Karena moto kita adalah Bacaan
Berkualitas meningkatkan masyarakat yang cerdas dan Bermartabat”
“Maaf Bang, tapi..”
“Saya khawatir jika ini tidak
ditindaklanjuti secara cepat, akan ada orang lain yang
bakal membuat proyek yang sama”
“Stop!! Nggak perlu
diteruskan kekhawatiranmu”
“Malam ini tolong
siapkan semua berkas yang sudah saya siapkan dulu. Kemarin tim IT sudah kamu
beritahu bagaimana mekanisme kerjanya Zin?”
“Sudah kok Bang” jawab
dua orang tim IT
“Okey, saya butuh
kalian untuk menjelaskan bagaimana aplikasi itu agar tidak berat sekalipun
muatannya banyak”
“Jika proyek itu benar-benar
bisa berjalan, lalu bagaimana dengan kita Bang?”
“Kita tidak akan mengganggu
orang-orang inti di perusahaan. Kita butuh orang baru sebagai tim pelaksana proyek”
“Enggak ribet kah?”
“Kalau
kita solid, tidaklah”
“Kita butuh income baru bagi perusahaan”
“Lusa kita akan rapatkan barisan
jika proyek itu benar-benar disetujui”
“Baik Bang”
“Bagaimana dengan CSR kita?”
“Ini kita sedang menggodok
beasiswa murid tidak mampu dari daerah terpencil, Bang”
“Stop! Hentikan program itu”
“Tapi itu hampir jadi, Bang”
“Tidak! Kita tidak mengajak anak
pergi ke sekolah, tapi mengajak mereka membaca buku”
“Kita tahu bagaimana sistem pendidikan
di negeri ini. Untuk itulah perusahaan ini hadir dengan harapan literasi kita
berkembang, selain kita memang sedang berbisnis”
“Niat awal perusahan ini adalah
untuk memperbaiki kualitas literasi generasi kita”
“Untuk itu kenapa fokus CSR kita
pada mutu perbaikan Taman Bacaan Masyarakat, baik dari fisik bangunan sampai
kegiatan sosial masyarakat yang pada intinya, kita mengajak masyarakat untuk
datang ke Taman Baca Masyarakat dan membaca buku”
“Karena hari ini, kita butuh itu
ketimbang pergi ke sekolah”
“Paham maksud saya?”
“Hm, iya Bang”
"Biaya Pendidikan di negara
kita benar-benar gila, tanpa perbaikan sistem pembelajaran yang baik kita hanya
menghabiskan tenaga untuk mencapai tujuan kita”
"Oh ya, bagaimana dengan
bantuan buku ke lembaga Anak Bangsa dari Papua sudah dikirim?"
"Sudah, Bang"
"Sip!"
"Oke, untuk buku anak saya
butuh cerita otentik dari masing-masing daerah, terutama daerah pedalaman di
luar jawa, silahkan kalian pikirkan bagaimana caranya"
"Baik, Bang"
"Oke, ada yang lain?"
Semua diam saling memastikan.
"Kalau begitu, rapat kita
sudahi di sini"
"Oke, siap Bang" jawab
mereka serempak yang seketika itu mereka bubar meninggalkan ruangan yang hanya
tersisa pak Andriawan Editor senior dengan jam kerja lebih dari 20tahun dari
satu perusahaan ke perusahaan lain yang hanya senyum-senyum.
"Kenapa Pak?"
"Baru kali ini saya kerja
di Penerbitan, suasananya nyaman dan team nya anak muda kreatif semua"
“Hm,” Izack hanya mengembangkan
senyum sambil menutup laptopnya”
"Meskipun gaji lebih kecil
dibanding perusahaan lain, saya suka kalau ada masalah seperti ini pimpinan
langsung tanggap dan tegas untuk segera diselesaikan "
"Terimakasih juga bapak
sudah mengarahkan saya selama 3 tahun ini"
"Bagaimana kabar istrinya,
Mas? Tidak diajak ke kantor?"
"Ikut Pak..." senyum singkat
Izack
"Wajah mas Izack ini tampak
letih sekali, tapi auranya kelihatan lebih bercahaya dibanding sebelum menikah"
"Oh ya??" tawa Izack
lebar
"Iya pak, saya belum tidur
kecuali hanya 1-2 jam dalam beberapa hari ini"
"Buat istirahat saja dulu,
Mas"
"Pinginnya seperti itu Pak.
Tapi di sini pekerjaan selesai, Markas AMI belum"
"Bagaimana kabar anak dan
istri, pak? Sehat semua kan?"
"Alhamdulillah mas,"
"Masih pegang AMI,
mas?"
"Masih Pak," jawabnya
penuh semangat
"Cita-citaku bisa tumbuh
justru dari sana" katanya tegas penuh semangat
"Ah.. keren betul Mas Izack.
Sudah ganteng, mapan, aktivis pula. Makanya banyak perempuan tergila-gila"
tawa pak Ardiawan sembari beranjak dan membuka pintu kaca
"Mari mas…"
"Oke pak" jawab Izack
tersenyum lebar yang diacungi jempol lelaki separuh baya itu
@@@
Entah berapa jam sudah berlalu,
Chika tertidur begitu saja di sofa ruang kerja Izack yang tidak begitu luas.
Sayup-sayup ia mendengar suara perempuan yang tengah berbicara dengan seseorang
di telphon. Begitu hendak bangun, ia sadar tubuhnya telah terbungkus selimut
tebal dan halus dalam ruangan sejuk. Saat ia duduk, seorang perempuan langsung
menyambut dirinya membuatnya kaget.
Melihat penampilan perempuan di
depannya, nyali Chika langsung ciut.
"Wow!" pikir Chika
meremas kemeja usang yang ia pakai sembari memperhatikan setelan blazer krem
dan celana coklat tua perempuan di depannya.
"Selamat siang Non,
silahkan diminum dulu" sapanya ramah menawarkan segelas minuman hangat
Chika agak terkejut. Ia bingung
harus memposisikan diri sebagai siapa. Istri, pacar, sekedar teman, atau calon
pegawai.
"Baru saja Pak Izack masuk,
tapi melihat kakak tertidur pulas bapak keluar lagi" ujar perempuan itu
sambil memastikan jam yang melingkar di pergelangannya
"Hm," Chika
mengangguk-angguk setengah risih dengan penampilan seadanya
"Tapi kenapa saya tiba-tiba
di sini? bukannya tadi di ruang perpustakaan?" tanyanya bingung
memijit-mijit kepala yang masih terasa pusing.
Perempuan itu senyum-senyum
"Iya, tadi Pak Izack
sendiri yang menggendong kakak kemari"
"Ooh…” Chika melongo
“Kenalkan saya Alika Kak, saya tim
dari Akuisisi”
"Oh, saya Luchika Aria"
“Loh???!” Alika kaget
mengingat-ingat
“Sepertinya nggak asing sama
nama kakak”
Alika bercerita bahwa awal-awal
penerbitan itu pindah ke Jakarta pernah ada naskah buku penuturan orang-orang
eks tapol di balik pintu jeruji besi yang bagus. Tapi naskah itu oleh kepala
tim nya diserahkan ke pak Izack karena dianggapnya riskan jika terbit.
Menurutnya buku tersebut menyimpan banyak hal yang perlu digali lagi, seperti
dokumen harta kekayaan negara yang diserahkan oleh orang-orang kepercayaan
presiden pertama.
“Waktu itu aku yang pertama
menerima naskah buku tersebut dari alamat penerbit Yogya”
Chika terdiam nyeri teringat dua
tahun lalu saat pertama kali bertemu dengan Izack di Resto. Ia pulang menangis
sedih karena naskah yang digadang-gadang bakal diandalkan uangnya untuk
melunasi hutang Bank, ternyata justru dikembalikan untuk diminta soft copy dan
hard copynya.
“Oh..” jawab Chika
“Benar itu punya kakak ya?”
“Hm,” jawabnya mengangguk
“Lalu?!”
“Kita bicara yang lain saja ya Kak,”
“Oh, maaf”
“Nggak apa-apa” senyum Chika asem
Alika yang terkenal banyak
bicara dan banyak ide kreatif mulai mengganti topik pembicaraan dari pengalaman
kerja di perusahaan tersebut hingga kebiasaan bos nya selama dua tahun. Hingga
mereka terlibat dalam obrolan seru seputar dunia perpajakan dan pembajakan buku
yang dilakukan oleh usaha-usaha kecil. Dan dalam hitungan menit obrolan kembali
semakin menarik, tampak dari sikap Chika yang mulai menopang dagu mendengarkan
perempuan yang lima tahun lebih tua darinya.
"Dan baru kali ini kami
melihat Pak Izack bisa se romantis itu" senyum lebar Alika menatap wajah
Chika menahan malu
"Hm, apanya yang romantis?"
"Jangankan menggendong
perempuan. Ngobrol sama perempuan saja intensitasnya minim sekali, bahkan sama
karyawannya sendiri"
"Malah kita sempat menduga
bapak ini..." suaranya mendadak tersendat
"Gay?" potong Chika
tertawa cekakaan.
Perempuan berwajah tipis itu
hanya tersenyum menutup mulut.
"Maaf maaf, Kak... maksud
saya bukan seperti itu"
"Ah.. tenang saja, saya
orangnya santai kok"
Diam-diam Chika belajar bersikap
sedikit feminin seperti perempuan di depannya menyilangkan tumpuan kaki.
Entah berapa menit berlalu,
obrolan mengalir begitu lancar. Sebelumnya mereka juga sempat memesan makanan
untuk makan siang. Hingga makanan itu habis, obrolan mengalir begitu saja
membuat tenaga Chika pulih dengan sendirinya. Saat itulah Izack masuk
ruangannya. Ia terkejut melihat istrinya bisa bercerita tertawa seru dengan
karyawannya.
Melihat kedatangan pimpinannya, Alika
segera pamit dan keluar.
“Oke, terimakasih Alika!”
“Sama-sama Pak..” jawab
perempuan tersebut menutup pintu sambil senyum-senyum berisyarat pada Chika
yang hanya disenyumi membuat Izack menoleh, tapi pintu keburu ditutup.
"Seru banget" kata Izack
yang langsung disambut dengan tarikan nafas panjang gadis itu
Ia duduk tepat di sebelah Chika
yang membuat gadis itu lagi-lagi langsung bergeser menjauh. Tapi kali ini Izack
menahan tubuh Chika untuk tetap duduk di sebelahnya.
“Mereka pada tanya itu”
“Apa?!”
“Pesta pernikahan”
“Oh, No!”
"Sejak kapan aku minta
pernikahan kita dirayakan?" gumamnya lirih
Izack tersenyum "Hampir semua
karyawan menanyakan itu"
Spontan Chika melorot “Aku nggak
mau”
“Ya minimal pesta kecil makan
bersama saja”
“Enggak,”
“Kenapa?”
“Aku nggak mau pakai baju-baju
ribet dengan memakai topeng make up yang baunya bisa bikin aku muntah” ujarnya
tegang yang ditertawakan Izack seketika
“Ampun...”
“Please Bang… jangan” rengek
Chika
Izack duduk menyebelahi Chika
yang membuat gadis itu spontan geser menjaga jarak membuatnya tertawa geli
“Ampuuunnn…”
Ia sadar sikapnya sering tidak
enak pada suaminya, tapi sebenarnya bukan itu yang ingin ia keluarkan. Tapi
sepertinya sikap seperti itu benar-benar reflek. Ia memang tidak terbiasa
bersikap manis apalagi manja seperti perempuan-perempuan alay istri atau bos
perusahaan besar pada umumnya.
Lelaki itu mengendurkan dasi dan
melepas jas nya menarik nafasnya perlahan seakan melepas penat.
“Oke, kamu boleh bersikap
seperti apapun di depanku”
“Tapi tolong, tidak seperti itu
jika kita di depan orang lain, apalagi mitra kerja”
“Efeknya perusahaan yang masih
baru ini, bisa jatuh hanya isyu remeh semacam itu”
“Maaf” nadanya merasa bersalah
“Aku paham, kamu belum terbiasa”
“Oh ya Bang,” katanya lagi
cepat-cepat menunjukkan layar monitor yang ia buka
“Aku boleh ikut ini nggak?”
“Apa itu?” Izack membaca lama
brosur proyek reboisasi lahan kering di Kalimantan. Ia diam tak menjawab, namun
justru mengalihkan pembicaraan yang lain mengajaknya makan siang.
“Aku sudah makan”
Izack menatapnya lama “Ini cewek
kenapa nggak pengertian banget, sih?” pikirnya dengan raut kesal. Lelaki itu
kembali berdiri dan meninggalkan Chika bingung dengan pikirannya sendiri.
“Bukannya bersyukur ya, aku
nggak ikut makan artinya mengurangi biaya hidup yang harusnya keluar?” pikirnya
lagi
Tiba-tiba terdengar suara pintu
diketuk dari luar membuat Izack kembali melihat ke arah pintu.
"Maaf Pak, ada dua orang
wartawan dari Majalah Online The Youngers mau mewawancarai bapak terkait Move
AMI agenda petisi menurunkan presiden" ujar sekretarisnya
Mendengar itu spontan Chika
melotot menatap suaminya.
“Oh, baik.. nanti malam jam 7
saja”
“Baik, pak” jawabnya yang
kembali keluar
Lelaki itu tahu dirinya masih
ditatap istrinya, tapi ia tak mengindahkan tatapan itu dan tetap fokus pada
layar tipis tablet dalam genggamannya. Beberapa kali ia membuat voice note dan
scroll monitor tipis tabletnya dengan menarik nafas sesekali alisnya yang tebal
mengernyit tajam.
“Bagaimana dengan Papamu Bang?!”
“Kenapa emang?” jawabnya serius
sembari menekan perutnya nyengir kesakitan.
Chika yang terbiasa sakit maag
mulai paham.
“Bang, bukannya tadi mau makan
ya”
“Hm, nanti” jawabnya cuek
Entah berapa menit lelaki itu
mondar mandir sibuk menjawab pesan voice not dari seseorang, hingga sadar saat
Chika memberanikan diri mengetuk punggungnya dari belakang.
“Ayo makan dulu”
“Bukannya tadi kamu bilang sudah
makan?”
“Ayooo…”
“Oke-oke, tunggu sebentar”
katanya segera menutup percakapan by phone
Perlahan Chika mendekat tanpa
diketahui lelaki tersebut, hingga sadar tablet itu ditarik perlahan yang
langsung ditahan erat Izack.
“Sebelum kamu menolong orang
lain, tolong dirimu sendiri dulu” katanya membuat Izack spontan sadar dan luluh
meskipun awalnya sempat agak emosi.
@@@
Sore itu keduanya keluar
menerobos kemacetan jalanan ibukota yang beberapa ruas jalan sudah ditutup karena demo Mahasiswa yang beberapa hari
sudah memanas dimana-mana. Dengan google map Chika menjadi navigator mencari
jalan keluar dari area yang sudah terkepung masa dengan sepeda motor milik
perusahaan. Hingga mereka terhenti di sebuah rumah makan warteg sederhana yang cukup
jauh dari area perkantorannya.
Saat itu Izack melenguh capek “Haduh,
mau makan saja jauh banget”
“Lebih bersahabat di kantong,
Bang”
“Bersahabat di kantong nggak
bersahabat di tenaga dan jejak karbon”
“Lagipula darimana kamu tahu
rumah makan ini?”
“Hehe… Googling lah”
Setelah mereka dipersilahkan
mengambil menu sendiri keduanya duduk di antara orang-orang yang mulai
berdatangan untuk menikmati makan di meja yang sama. Izack mulai risih dengan
asap rokok yang mengepul di sela-sela membuatnya tidak betah dan ingin sekali segera
pergi dari sana, tapi tangan Chika segera menahannya.
“Orang-orang seperti mereka kan…
yang sedang kalian perjuangkan?” bisiknya lirih
“Iya, tapi kan nggak seperti ini
juga kali,” kata Izack kesal yang hanya dipelototi Chika kembali duduk tenang
dan mendengarkan bapak-bapak itu mulai bicara. Dari soal kasus maraknya PHK,
kenaikan harga bahan pokok, sepinya usaha mereka hingga aksi demo Mahasiswa
yang tak banyak pengaruhnya merubah kebijakan pemerintah yang dinilainya sudah
tidak berpihak pada rakyat menengah ke bawah lagi.
Tangan Izack sempat terhenti dan
meletakkan sendoknya, sementara Chika pura-pura memalingkan wajah menyangga
kepala menghadap Izack yang rautnya sedikit berubah. Ia hanya tersenyum lebar
memberi kode pada Izack untuk melanjutkan makannya.
Entah berapa lama mereka
ngobrol, tapi Chika berusaha tenang menyimak obrolan mereka yang sesekali
dilirik curiga oleh bapak-bapak di sebelahnya.
"Wuahh...
rasanya aku kangen masakan bu Narni" cletuknya seakan memecahkan suasana yang
tegang
"Siapa?"
"Tempat aku kerja
lah,"
"Oh..." Izack hanya
senyum-senyum paham
"Kenapa?"
"Tempat mangkalmu selesai
jualan koran?"
Chika mengernyit lama seakan
menunggu penjelasan "Darimana kamu tahu?"
Izack menekan sebuah folder di smartphonenya
dan menyodorkan sebuah foto dirinya yang tengah duduk di dalam rumah makan
bersama ibu Owner. Chika melotot terheran-heran, “Kok lama-lama jadi
seperti hantu kamu Bang” katanya yang membuat raut Izack seketika kecewa dan kembali
mengantongi ponselnya membuat kerutan di wajah Chika seketika pudar hingga
menjadi tawa geli.
“Ah… betapa bersyukurnya aku
punya suami seperti dia” pikirnya merasakan irama jantung yang lembut dan damai
“Apa kamu nggak ingat waktu itu
aku makan di Rumah Makan itu juga?”
Chika mengernyit lama,
“Mana ada waktu perhatikan satu
persatu customers tho, Bang?”
“Lagipula sempat-sempatnya ambil
moment foto itu”
“Ya barangkali saja aku salah
lihat, mana ada jurnalis pekerjaan sampingannya bersih-bersih di Warung Makan”
Chika mengernyit lama seakan
sedang menggali ingatannya yang tumpang tindih tentang suaminya yang
pernah hadir dalam kehidupannya.
“Terimakasih ya Bang,” ucap
Chika lirih
“Apa?? Sekali lagi?”
“Ayok,” ucap Chika seakan
memudarkan suasana canggung dirinya saat berucap terimakasih yang memang jarang
ia ucapkan pada siapapun
Izack mulai paham bagaimana
ekspresi canggung istrinya yang berusaha cool saat dirinya malu.
Ia segera membayar dan keluar
dari Rumah Makan itu yang diam-diam diperhatikan bapak-bapak yang tengah
ngobrol di Rumah Makan tersebut.
“Bukannya Mahasiswa itu ya?”
“Iya, yang sering muncul di tv”
bisik si bapak yang sayup-sayup terdengar di telinga Chika saat mereka
meninggalkan Rumah Makan tersebut.
“Oh… pantesan, aku nggak asing” ujar
si bapak santai sembari menusuk gigi.
Sekalipun kemacetan dan hawa
panas begitu menyengat, namun itu tak mempengaruhi suasana keduanya bercerita
segala hal remeh temeh saat mengendarai motor hingga roda dua itu berhenti di
sebuah outlet pakaian branded.
Chika mengernyit heran
“Bukannya nanti akan ada
wawancara, Bang?”
“Hm, maka dari itu”
“Aku nggak ingin istriku
berpenampilan seperti asisten rumah tanggaku” kata Izack yang spontan disambut
raut bersungut membuat Izack mengacak rambutnya berantakan. Chika makin kesal
karena rambutnya yang kusut jadi berantakan, tapi Izack menarik dan
merangkulnya sepanjang lorong pintu masuk Outlet.
Sekilas mereka seperti bukan
suami istri melainkan dua sejoli yang sedang sedang jatuh cinta. Hingga
keduanya masuk, Izack melepas rengkuhan tangannya membiarkan gadis tomboy yang
sedang belajar bersikap feminin itu eksplore pakaian yang ia inginkan. Seketika
matanya langsung tertuju pada deretan pakaian pria.
"Woowww... keren!!"
pikir Chika melirik label harga sekilas pada hem yang dianggapnya bagus. Tapi Izack
mendorongnya berjalan terus hingga menuju pada block pakaian wanita. Melihat
rok dan dres yang cantik-cantik dihadapannya membuat Chika nyengir.
“Terlalu jauh dari kehidupanku”
pikirnya membayangkan Izack menggandeng perempuan cantik nan elegant memakai
pakaian seperti di hadapannya dengan kulitan putih nan halus seketika itu
nyalinya berasa seluncur dari ketinggian tebing.
“Kenapa?”
“Lihatlah Bang, di antara sekian
banyak baju bagus dengan harga fantastis. Pemakainya ini hanya menginginkan
mereka jadi pemandangan menarik bagi kaum lelaki, dan aku paling benci itu”
cletuk Chika balik kanan yang langsung ditarik Izack.
“Cobalah ini,” pintanya
menawarkan rompi krem se paha dengan kemeja putih berserat kain lembut dan
ringan
“Wow!”
“Bawahannya ini” tawarnya lagi
pada celana panjang straight leg putih dengan kain melar membuat Chika pun
tersenyum lebar. Tapi melihat label harga lagi-lagi membuat Chika melotot.
“Di luar aja yuk, Bang… jangan
di sini”
“Pakai ini”
"Jangan disini…” ujarnya
lirih seakan nyerah melihat label harga
"Aku nggak akan menambahkan
hutangmu, okey?!" jawab Izack setengah kesal setelah hampir satu jam lelah
menunggunya memutari deretan rak baju tapi tak ada satupun yang ia ambil.
Izack langsung menahan lengannya
untuk segera mengganti bajunya di kamar pas
"Ayok! waktuku nggak
banyak" sorot matanya tegas
Ia melotot melihat billing harga
yang ditunjukkan monitor kasir.
Melihat sikap Izack yang tegas,
nyali Chika spontan menciut. Cepat-cepat ia pergi ke kamar pas dan mengganti
pakaiannya dengan perasaan malu keluar dari ruangan yang disambut senyuman
lebar lelaki beralis mata tebal itu membuat Chika sedikit agak kesal dengan
paksaan baju yang dianggapnya feminin.
“Ayok buruan, keburu kejebak
macet” jawabnya melangkah lebih cepat membuat Chika kesal karena ia harus
tersingkal-singkal berjalan cepat
"Andaikan beli di pasar
atau toko biasa kita bisa dapat baju banyak” gerutu Chika saat mereka
meninggalkan kasir.
“Aukhhh!!” pekik lirih Chika
yang tak terdengar membuat Izack tetap berjalan meninggalkan Chika yang masih
berdiri nyengir kesakitan menahan rasa nyeri di sekitar bekas luka sayatan dan organ
dalam bekas operasi.
Ia membanting kesal barang
belanjaannya dan ditinggalkannya begitu saja di tengah-tengah outlet hingga
berjalan cepat mendahuluinya sambil menekan rasa sakitnya.
"Loh, bajumu??"
"Sudah aku tukar dengan
uang!" jawabnya membuat Izack menoleh seketika.
Dua tas kertas itu teronggok di
tengah jalan yang membuat dua orang penjaga toko melihat pemandangan itu. Izack
tak peduli, ia pergi begitu saja tanpa berkomentar apapun membuat Chika
seketika takut kalau-kalau ia marah.
Di depan Outlet Ozin sudah
menyambut keduanya, mereka bertukar kunci dan dengan cekatan ia membuka bagasi
dan meletakkan dua tas itu di sana. Chika mengira Ozin akan membawakan pakaian
itu, tapi ternyata Izack masuk mobil dan membuka pintu jendela melihat Chika
berdiri terpasung.
“Kamu mau jadi penjaga Outlet
kah?” serunya yang membuat Ozin tersenyum geli
“Silahkan Non,” kata Ozin
membukakan pintu untuknya
“Oh??!”
Chika geleng-geleng menarik
nafas kesal.
Sepanjang perjalanan dalam
kendaraan, Chika mulai protes. Dari peran laki-laki sebagai seorang suami
seperti raja di mata istri yang begitu memuakkan, hingga budaya hedonis yang
meninggalkan jejak karbon perkotaan terkait industri fashion yang masif, sampai
dampak limbah baju bekas yang ditinggalkan.
"Hiiigghh! orang Hedonis seperti
ini kenapa mesti jadi ketua organisasi politik Mahasiswa??" gerutunya
sayup-sayup terdengar lirih beradu dengan suara audio mobil.
Mendengar kata-katanya
sebenarnya menyebalkan, tapi Izack diam.
"Jadi apa ntar
Mahasiswanya"
"Begitu masih bisa teriak
mau memperjuangkan rakyat"
"Rakyat yang
mana??!"
"Rakyat sepertimu,
kan?" cletuk Izack santai
"Bang, kamu tahu tidak sih.
Berapa ribu hektar sendiri hutan kita digunduli tiap tahun hanya untuk
dijadikan kain dan kertas seperti konsumsi perusahaanmu"
"Makanya kamu pakai baju
usang seperti itu?"
"Menunggu sampai
sobek-sobek, setelah itu dijadikan serbet kaki. Begitu?!" jawab Izack seakan
memperjelas pikirannya
"Kapan-kapan aku ajak kamu
ke tempat pengolahan baju bekas menjadi serat baru lagi, deh" ujarnya
tetap tenang mengendalikan setir
"Repot punya istri sepertimu"
pikirnya sedikit lelah mendengarkan ceramah Chika panjang lebar soal
deforestasi.
"Oh ya satu lagi, jangan
pernah berpikir aku bakal jadi pembantumu seperti istri pada umumnya”
Izack menarik nafas panjang
kesabarannya "Chika... Chika. Sedikit saja nggak pernah terlintas, kenapa
pikiranmu bisa sejauh itu?"
"Kalau bukan karena hutang,
aku bisa melarikan diri dari kemarin-kemarin" gerutunya lagi
"Jujur saja aku paling
nggak suka disuruh-suruh"
“Hah…”
“Ini kita mau ketemuan sama
pers, Non… kalau pakaianmu seperti tadi, nanti berita yang muncul negative kamu
protes lagi”
“Pokoknya aku paling nggak suka
disuruh-suruh”
“Oh.. oke-oke”
“Tapi serius kamu cantik kok
pakai baju itu”
“Nah, kan… selera siapa?”
Lagi-lagi Izack merasa salah
lagi dengan ucapannya membuatnya bingung hingga ia memilih diam.
"Padahal sejak pagi kamu
baik-baik saja, bahkan bisa tertawa cekakaan bareng karyawan?"
"Tapi kenapa hal kecil
seperti ini saja kamu permasalahkan panjang lebar"
"Perutku sakit!!" pekiknya
geram nyengir membungkuk
Izack berpaling pada Chika yang sudah
panik pucat berkeringat.
"Segini cukup?"
tanyanya reflek menekan tombol seat hingga tertidur
"Hm!" jawabnya masih
nyengir kesakitan
Saat itu mereka terhenti oleh lampu
merah. Dengan cekatan Izack mengambil tisyu dan mengusap keningnya yang basah keringat
dingin.
Gadis itu agak risih waktu
jari-jari panjangnya menyentuh wajahnya. Namun perasaan itu kalah dengan rasa
sakit dan nyeri pada bekas jahitan dan barangkali saja pada bekas sambungan
usus di dalam perut membuatnya panik. Tapi kecupan kecil di kening membuatnya kaget
sekaligus suasana tenang dan hangat membuat dirinya tak berani memandang wajah
lelaki yang hanya 15cm dari hidungnya.
"Buat tiduran saja
dulu" katanya menatap dalam
"Ah... kenapa lagi-lagi
pria ini membuatku luluh" pikrnya menekan denyut jantung yang berdegup
halus dan lembut membuat rasa sakit itu perlahan reda dan tenang
Tiba-tiba saja smartphonenya
getar, itu adalah Ozin. Ia mengingatkan jadwal wawancara dengan majalah 30menit
lagi.
Melirik istrinya yang baru saja
memejamkan mata, Izack ragu.
“Jangan pikirkan aku”
“Aku tunggu di mobil seperti
biasanya”
“Hm, oke”
“Ini aku perjalanan menuju
kesana, semoga saja kemacetan tidak begitu parah” jawab Izack
Langit telah gelap saat mereka sampai
di tempat tujuan. Diam-diam Izack menyibakkan rambutnya yang tergerai menutupi
sebagian wajahnya. Saat itulah Chika terbangun.
“Beneran di sini?”
“Hm”
“Ayoklah, sebentar saja”
Chika menggeleng lemah membuat
Izack pun pasrah. Di café itu, Izack sudah ditunggu seorang perempuan cantik
dengan rambut pendek lurus memakai hem krem. Dari balik dinding kaca ia kaget
melihat sosok wanita yang wajahnya tak asing menyapa dengan segaris senyuman
hingga ia masuk dan menemuinya.
“Kamu??? Rafika kan?”
“Anak SMPN 6?”
“Hm, kenapa? Kaget?!” tawa
perempuan itu
Izack tertawa seru membayangkan
bagaimana sosok perempuan yang dulu tomboy dan terkenal heboh suka melompat
pagar saat jam kosong dan suka nyontek ujian matematika darinya kini menjadi
sosok wanita anggun yang diam dan jaga image.
“Ngapain kamu wawancara segala?”
“Ini aku magang, setelah lulus magisterku
Bro!”
“Ambil jurusan apa?”
“Hei! ini aku mau wawancara
kamu, kenapa justru kamu yang tanya-tanya”
“Oh… Oke-oke” jawab Izack masih
senyum-senyum geli melihat penampilan Rafika yang terlalu feminin.
“Pesan apa nih?”
“Masih suka minum jus kah?”
“Kok tahu?”
“Tahulah, nggak ingat kamu?
Kalau dulu aku sering nyogok kamu tak suruh kerjakan PR matematika ku?” tawa
Rafika
Izack tertawa mengingat-ingat.
“Yah..! itu sepertinya masa
depresimu ya? Kita semua sempat mengkhawatirkanmu loh” kata perempuan itu lagi
yang hanya disenyumi Izack mengingat masa pencarian jati diri sebagai seorang
anak manusia yang mencari sosok orang tuanya.
Saat itu pelayan datang
membawakan segelas jus alpukat.
“Sory, istriku sudah menunggu nih.
Bisa agak dipercepat sediktkan waktunya?”
“Oh, maaf maaf!”
“Tapi ngomong-ngomong istrimu
dimana?”
“Di mobil,”
“What?? Kenapa nggak disuruh
kesini aja?”
“Lagi nggak enak badan”
“Oh.. oke-oke”
Sesaat Rafika menyiapkan alat
perekam dan alat tulis hingga memulai pertanyaan ringan seputar awal mula
dirinya mengembangkan usaha hingga menjadi seperti saat ini. Perlahan
pertanyaan mulai dalam hingga nyrempet soal dunia organisasi yang ia pimpin.
“Ah… tidak aku sangka, ternyata
orang hebat itu teman smp ku sendiri” Kata Perempuan itu kembali nyruput secangkir capuccino di depannya.
“Adakah rencana untuk mencalonkan
diri sebagai anggota legislative?”
“Hmm… Selamanya saya tidak akan
masuk dalam parlemen”
“Apakah anda yakin? Bagaimana
andai didesak oleh lingkungan sekitar”
Izack hanya tersenyum ringan
sambil menumpukan kakinya yang panjang pada kaki kirinya.
“Saya itu seorang pengusaha yang
bergerak dalam bidang Pendidikan, mbak”
“Selamanya saya akan menjalankan
bisnis saya sembari mengembangkan CSR yang berbasis kaya literasi”
“Oh.. okey”
“Sementara tugas ke depan kami
yang berada di jalur Organisasi politik Mahasiswa biarlah menjadi filter
kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan rakyat”
“Ow?!”
“Ya, memang itu kan? Tugas
Mahasiswa?”
“Kampus itu memproduksi pengetahuan
yang harusnya bisa diterapkan oleh ranah publik dan disupport totally oleh
pemerintah”
“Kan begitu, harusnya?”
“Makanya ketika pemerintah sudah
melenceng jauh dari amanat Undang-Undang Dasar 45, kami pun bersuara seperti
saat ini”
“Itulah wajah Mahasiswa yang
semestinya. Paham bagaimana posisi rakyat dan pemerintah”
“Harapannya, negara terus
bergerak maju namun dalam kondisi yang stabil” jawab Izack mematikan panggilan
dan membaca pesan masuk. Melihat gelagat diburu waktu, Rafika segera menutup wawancaranya
dengan meminta closing beberapa patah kata hingga akhirnya mereka ngobrol
santai sejenak dan segera pamitan. Izack pergi seakan meninggalkan kekaguman
Rafika yang kini duduk seorang diri memandang kepergiannya dari balik dinding
kaca.
“Nggak menyangka, hidupmu kini
benar-benar seperti melayang di atas awan”
“Padahal dulu aku melihatmu
seperti pemuda yang kehilangan harapan hidup” pikir Rafika menyaksikan
kepergian roda empat itu dan lenyap bersama riuhnya jalanan sore yang macet
karena demo Mahasiswa di beberapa titik jalan belum juga berakhir.
@@@
Melihat Izack diam lama, Chika
merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Gimana tadi wawancaranya?”
“Baik” jawabnya datar membuat
Chika salah tingkah.
Merasa ada sesuatu yang ganjal
dengan dirinya, ia baru ingat bahwa ini adalah detik-detik tanggal merah dimana
datang bulannya datang. Beberapa saat ia berusaha menahan, tapi teap saja
keluar dan membuatnya gagal.
Ia berharap melewati minimarket
untuk membeli keperluannya, tapi nyatanya sepanjang jalan hanya ada ruko dan
Gedung perkantoran membuatnya putus asa. Melihat gelagat raut Chika, Izack
sedikit agak curiga.
"Gimana? sudah
baikan?"
"Hm," jawab Chika cemas
"Masih jauh,
Bang?"
"Itu, depan"
“Oh..” tawanya sengir.
"Kenapa?" jawabnya
menoleh
“Enggak”
Saat turun, cepat-cepat Izack
membukakan pintu untuknya. Tapi begitu melihat raut pucat dan berat istrinya, Izack mulai iktan panik.
“Kamu nggak apa-apa?”
Dengan berat hati Chika bangkit
dari tempat duduknya. Ia bahkan menoleh sekilas memastikan jok mobilnya yang
sudah ada flek darah membuat Izack terkejut.
"Perutmu berdarah?!"
Chika tersenyum kecut panik
merasa bersalah
"Aku datang bulan"
"Oh,"
"Maaf…” ucap Chika dengan
raut cemas merasa bersalah
“Ini cara bersihkannya pakai
apa?” suara Chika terdengar takut
Lelaki itu mengambil jas AMI di
jok belakang dan mengikatkan pada pinggulnya membuat Chika merasa risih dengan
jas tersebut.
"Sudah, ayo tinggal"
"Tapi..."
“Sudah, tinggal aja”
Dengan mata kecil dan wajahnya
yang putih, kini tampak pucat saat mengembangkan senyumnya penuh rasa bersalah mengikuti
langkah Izack menuju pintu masuk Gedung hingga masuk lift.
“Bang, boleh minta tolong kah?”
“Hm?”
“Eehh…” ujarnya nyengir membuat Izack
mengernyit bingung
“Hehhh… itu” jawabnya mencelos
Seperti teringat sesuatu, Izack
mengeluarkan ponselnya sambil mengutak-atik sebuah toko online.
“Ini, yang mana?” tunjuknya pada
Chika dan menyentuhnya dua pilihan
“Sudah?! Ini aja?”
“Hm,”
Waktu terus berlalu. Chika yang
sejak pertama kali masuk ke rumahnya hingga 20menit berlalu belum juga keluar
dari Kamar Mandi takut jika darahnya akan mengotori lantai.
“Ini” Izack menyodorkan
sekantong kecil berisi pembalut dan celana dalam
“Tapi ini kenapa…?”
“Aku lihat karet underwaremu banyak
yang sudah kendor”
Glekk!! Chika
melongo
Bukannya mengganti celana dalam,
Chika justru tercengang dengan sikap Izack yang tak banyak kata ternyata lebih
perhatian.
Malam kembali tiba, ia masih
tertegun dengan sikap tenang lelaki yang kini tengah membuatkan makan malam
untuknya di dapur.
“Sudah mandi?” tanyanya sibuk
menghidangkan makan malam di atas meja
“Hm, sudah”
“Ayo makan dulu”
Chika diam memperhatikan gerak
gerik suaminya yang sibuk mengembalikan dan meletakkan barang pada tempatnya.
“Bang…”
“Maafkan akau kalau sore tadi
terlalu kasar”
“Jujur saja aku capek hidup di
antara orang-orang sepertimu”
“Hm, aku paham. Tapi itu perlu
dilatih”
Chika duduk tenang dan melipat
kedua tangannya di atas meja
“Bang, besok pagi aku pulang ke
Yogya ya”
Izack hanya diam menarik nafas
dalam. Perhatiannya kembali tersedot pada makan malamnya yang berhasil ia
hidangkan di meja. Dari matanya terlihat sudah tak sabar ingin segera
mencicipi. Saat itulah mata Chika berkaca-kaca membuat Izack yang baru sadar
kaget saat sebutir air matanya menetes. Ia kembali menarik nafasnya perlahan
meletakkan kedua tangannya dan menyingkirkan piring di depannya.
“Kenapa?”
“Ikuti saja langkahku, kamu
nggak perlu melakukan apapun”
“Lakukan saja apa yang perlu
kamu lakukan”
Tak ingin memperpanjang masalah,
Chika segera menghapus air mata dan mulai mengambil nasi dan lauk serta
menangis diam-diam di saat Izack kembali sibuk menjawab pesan-pesan yang masuk.
@@@
Pagi hari ia keluar dari kamar
sambil meringis kesakitan menekan perutnya berjalan membungkuk-bungkuk.
“Masih sakitkah??” tatap Izack
“Hm,”
“Biasanya kalau haid minum obat
apa biar aku belikan?”
“Enggak”
“Pagi ini aku harus ke Mabes,
kamu gimana?” tanya Izack yang membuat Chika gusar saat dirinya menyadari mulai
ketergantungan dengan sikap Izack yang selalu memanjakan hari-harinya.
“Apa perlu aku panggil Alika,
orang Akuisisi itu?”
“Oh, enggak perlu Bang”
Izack menatap iba pada Chika
yang meringis kesakitan. Ia bingung bagaimana harus meninggalkannya dalam
kondisi seperti itu.
“Apa perlu di bawa ke rumah
Sakit untuk cek?” tanyanya yang langsung ditertawakan Chika
“Mana ada orang menstruasi masuk
Rumah Sakit”
“Ada saja, barangkali saja ada
masalah”
“Enggak,”
Ia mulai menata bagaimana pikiran
dan perasaannya yang diaduk-aduk. Seberapa pas dirinya hidup dengan lelaki yang
statusnya jauh di atas dirinya. Bahkan detik inipun sorot matanya tampak sayu.
“Semalam tidur jam berapa?”
“Jam tiga”
Izack melotot “Apa saja yang
kamu kerjakan?”
Chika menggeleng
“Terus?”
“Dulu aku sering seperti itu,
tapi sejak pulang dari Rumah Sakit itu nggak pernah terjadi. Dan sekarang
sepertinya itu kambuh lagi”
“Ada apasih…?!”
“Kenapa pertanyaanku tidak
pernah kamu jawab?”
“Pertanyaan yang mana?”
Belum sempat Izack menjawab,
smartphonennya kembali bergetar memberi kode pada Chika untuk menunggu sebentar
dan mengangkat telphon.
“Bang, jam delapan nanti kamu
rapat dengan teman-teman BEM di halaman perpustakaan?”
“Oke”
“Sory, gimana tadi?”
Chika diam tak berkutik malas
melanjutkan kata-katanya hingga membuat Izack kembali duduk tenang mengambil
dua tangan Chika yang diletakkan di atas meja. Ia mulai mencium kedua telapak
tangannya yang perlahan meluluhkan hatinya yang beku.
“Aku nggak tahu apa yang kamu
pikirkan” suaranya tenang
Ia diam sejenak menarik nafas
seakan kembali menata ulang apa yang harus dikatakannya.
“Aku butuh kamu lebih dari yang
kamu pikirkan” katanya dalam
“Soal orang-orang di
sekelilingku, ikuti saja aku. Lakukan seperti aku memperlakukan mereka” katanya
yang lagi-lagi panggilan telphon masuk membuat pandangan matanya teralihkan
pada layar tipis dan mematikannya. Ia kembali beranjak dan berdiri di sebelah
Chika.
“Maafkan aku, jika akhir-akhir
ini mungkin akan sering ku tinggal” ujarnya
“Kamu bakal turun ke jalan kah,
Bang?”
“Hm”
Chika menarik nafas panjang dan
dalam.
“Kalau aku pulang ke Yogya
besok, gimana Bang?”
“Tapi aku butuh kamu, sayang…” dekapnya
erat dan mengecup ubun-ubun, membuat tubuhnya seketika terselimuti perasaan
hangat dan nyaman.
“Sekarang itu kamu seperti
rumahku kedua tempat aku pulang dan menikmati kebiasaan hidup orang normal”
“Jika kamu ingin pulang, lalu
aku harus pulang kemana lagi?” dekap Izack erat
@@@
Siang itu, sekedar menghindarkan
perasaan galau dan kesepian yang berlarut, ia mencoba telphon Rendra
satu-satunya teman yang mau memahami dirinya.
“Halo, sedang apa kamu?” tanya Rendra
di sela-sela waktu melakukan assesment anak jalanan di pinggir jalan.
“Aku pingin pulang ke Yogya,
tapi bingung bagaimana alasannya. Dan bagaimana pula menjelaskan kalau
kost-kostanku hampir habis”
“Hadeeh.. kamu itu benar-benar
aneh, dapat suami mapan bingung, ngejomblo tambah bingung. Terus maumu apa
coba?”
“Kalau kost-kostan habis, ya ngomong
lah. Itu sudah menjadi kewajiban dia sebagai seorang lelaki”
“Iya, tapi masalahnya gimana
ngomongnya??”
“Tahu nggak kemarin?” katanya
yang dilanjutkan dengan cerita kekesalannya selama dalam perjalanan membeli
baju di sebuah outlet pakaian branded. Mendengar cerita itu tak henti-hentinya
Rendra tertawa cekakaan.
“Ampun Non.. benar-benar rewel
dirimu! Kalau itu aku, sudah aku pecat dari status istriku”
“Untungnya Kak Izack bukan
sepertimu” kata Chika
“Kita ini sama-sama mencari
perbaikan nasib dengan mencari jodoh yang lebih baik”
“Sory ya, bukan begitu
pemikiranku”
“Kita memperbaiki nasib diri
kita sendiri dulu untuk menadapatkan jodoh yang lebih baik daripada kita hari
ini”
“Ya… ya ya! apapun itu, acungi
jempol buatmu lah, sudah aman posisinya”
“Aman gimana?”
“Lha iya lah, hidupmu nggak
perlu kamu habiskan dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan koin koin
rupiah demi menyambung biaya pendidikanmu kan?”
“Iya sih,”
“Lha iya kan? Hari ini kamu
sudah nggak perlu mikir lagi bagaimana caranya bisa makan”
Chika menarik nafas panjang
seakan mengambil sejuta kesadaran di semesta.
“Hm, iya benar kamu Ren”
“Iya kan???”
“Bersyukur tuh”
“Makanya di saat genting seperti
ini dia masih mau berkorban untukmu itu luar biasa kesabaran dia, Non..”
“Tapi hati-hati loh ya.. lelaki
seperti itu kalau marah, ngeri”
“Selama ini belum pernah aku
lihat dia marah kecuali waktu di Rumah Sakit” katanya mulai menceritakan
penggalan kejadian di Rumah Sakit yang berebut air mineral dan mengusir dokter
membuat Rendra lagi-lagi tertawa cekakaan.
“Lha iyalah, akupun kalau jadi
dia sudah aku tinggal tuh, hadapi cewek keras kepala sepertimu”
“Detik-detik ini, dia lagi repot-repotnya
jadi ketua penggagas Gerakan Perubahan, Non! Banyak ngalahnya deh kamu..
kasihan dia bisa dikritik lagi Mahasiswa se tanah air”
“Maksudnya?”
"Lah? Apa kamu nggak tahu
sudah berapa hari ini Mahasiswa dari seluruh tanah air demo?”
"Iya tahu, tapi aku sudah
muak dengan berita semacam itu"
“Aku hanya ingin melanjutkan
studyku, KKN di hutan yang tenang”
“Tenang katamu??!”
“Salah besar kalau keinginanmu
begitu”
“Hari ini, justru hutan lah jadi
cewek seksi di mata pemangku kebijakan”
“Maka dari itulah mereka turun
jalan untuk membenahi kekacauan dimana-mana, Non”
Chika menggeleng yang disambut
kecap dan wajah kesal Rendra.
“Aneh kau ini”
“Lah? Memangnya aku perlu tahu
kondisi di luar sana?”
“Tapi itu yang dilakukan
suamimu, Non”
“Dan lagi, aku malas kumpul sama
mereka ketika AMI hanya dijadikan sebagai batu loncatan”
“Kamu tahu? Berapa banyak alumni
AMI yang akhirnya lunak ketika masuk dalam Pemerintahan”
“Hei Non, kasus yang seperti itu
banyak. Karena kalau mereka tetap mempertahankan idealisme mereka, taruhannya bukan
lagi nyawa diri mereka, tapi anak keluarga bahkan saudara bisa jadi incaran,
Non!”
“Maka dari itulah adanya Gerakan
Perubahan untuk memperbaiki sirkulasi setan begitu”
“Makanya aku malas ikut lagi
organisasi semacam itu”
“Ya nggak bisa begitulah, egois
tuh namanya”
“Gerakan Perubahan diperlukan
demi memperbaiki nasib orang-orang seperti kita ini”
“Ya itu pemikiranmu”
“Loh? Gimana kamu ini?!”
“Ya sudahlah! Percuma ngomong
sama kamu”
“Loh?! Harusnya kamu
berterimakasih sudah aku ingatkan kondisi suamimu saat ini”
“Iya thanks” ucapnya
kesal terakhir mematikan smartphonenya
“Ah… segalanya jadi buruk kalau
kita lagi menstruasi” pikirnya kesal membanting bantal sofa dan beranjak ke
dapur untuk persiapan masak.
@@@
Penggambaran kondisi
tanah air, terutama ekonomi masyarakat yang mana semua bergerak. Baik dari tim
spiritual lintas agama hingga tim spiritual semacam kaum meditasi. Serta
forum-forum diskusi Mahasiswa dari
puluhan kampus di Indonesia untuk menyamakan persepsi dan mencari jalan keluar.
14
Satu bulan
kemudian
Di tengah seriusnya rapat
kantor, tiba-tiba saja telphon Izack bergetar. Itu adalah panggilan istrinya.
Tapi sengaja ia matikan dengan alasan tidak ingin mengurangi rasa hormat dia
pada pegawainya. Entah yang ke berapa kali saja telphon itu bergetar, tapi Izack
mematikan berulang kali.
"Diangkat saja dulu
Pak"
"Biar saja nanti"
"Barangkali penting"
kata seorang karyawannya, dan kaget begitu membuka pesan
Bang, ada istri simpananmu
datang
Tapi ia masih bisa menjaga sikap
wajar di hadapan karyawanya
"Oh, maaf. Lanjutkan saja
dulu, saya minta laporan hasilnya nanti" ujar Izack membalas pesan itu dan
bergegas keluar ruangan.
Di ruang itu pembicaraan spontan
mengalir menyambung ide gagasan Izack untuk ikut menindaklanjuti proyek dengan
pemerintah terkait pengadaan buku elektronik. Ia sengaja mendesak pemerintah
untuk mau bekerja sama dengan beberapa penerbit untuk membuka Perpustakaan
Digital. Karena anggaran perpustakaan digital sangatlah besar, sementara
perusahaan tidak sanggup meng cover itu semua. Maka dari itulah ia mengajukan
proposal terkait proyek Pemerintah agar terjadi win-win solution.
"Okey. Silahkan
lanjut" ujarnya sambil mengirim pesan
Di ruang kerja Izack, Chika
makin kikuk dibuat perempuan cantik nan elegan yang mengaku dirinya sebagai
teman sekolah waktu sma. Awalnya ia memang dicegah sekretarisnya untuk masuk
ruang kerja pimpinannya, tapi perempuan itu tetap memaksa masuk hingga Chika
pun membukakan pintu dan mempersilahkannya.
Tapi apa yang terjadi, Chika
mulai keder dengan pikiran campur aduk terbayang suaminya ini sebenarnya
tipikal lelaki macam apa. Rasanya mustahil jika seorang aktivis sekaligus
pengusaha tapi tidak punya perempuan simpanan, ditambah Izack ini termasuk
lelaki tampan.
Di depan ruang kerja,
sekretarisnya langsung berdiri menundukkan permintaan maaf.
"Maaf pak..."
"Berapa kali aku katakan?”
suaranya berat menatap tajam sekretarisnya yang hanya menundukkan pandangan
"Tapi istri Bapak
mempersilahkan masuk"
Sambil menggeleng kesal, Izack
membuka pintu masuk ruang kerjanya sembari memperbaiki raut wajahnya yang
kesal.
"Iya, sayang?" Chika
kaget mendengar sapaan Izack yang belum paham ditujukan pada siapa. Spontan ada
rasa nyeri di dada saat melirik reaksi perempuan elegan yang duduk di seberang
meja oval itu seketika berdiri menyambut kedatangan suaminya menyodorkan
telapak tangan yang hanya ditatap dingin Izack.
“Hai! Hallo!” sapa wanita
tersebut merekahkan senyumnya pada bibir merah mudanya yang cukup bling-bling.
Melihat dandanan wanita itu dari
ujung rambut hingga ujung kaki, Chika nyengir merasa harga dirinnya meluncur
dari tebing ke dasar lautan.
“Halo, ya Non.. ada
yang bisa saya bantu?”
"Kenapa
kata-katamu seolah tidak mengenalku sih?"
"Kenalkan dong, kalau aku
istri simpananmu" tawa perempuan itu melirik Chika yang tak berkutik
Izack hanya tersenyum geli
Mata Chika tertuju pada
perempuan cantik yang berusaha menempel kemanapun Izack beranjak tanpa tahu
malu. Lalu ia hanya mengawasi keduanya tanpa berkomentar apapun, dan diam-diam
ia menutup laptopnya hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Mau kemana kamu?"
"Bukannya tadi bilang
kerjakan skripsi?"
"Hm," mata Chika
clingukan bingung
"Oh, jadi dia masih
Mahasiswa?"
"Hm, iya. Dia adik juniorku
di AMI"
"Kebetulan kami satu kelas
di kampus" ujar perempuan itu yang membuat Chika nyengir berulangkali
"Duduk!"
"Nggak apa-apa, ngobrollah
dulu. Aku bisa ke kantin" bisik Chika
"Aku bilang, Duduk!!"
intonasinya menekan yang membuat Chika kaget
"Tapi…"
"Aku bilang, duduk"
"Elisa, sudah berapa kali
kamu menerobos ruanganku"
"Kali ini kamu berhasil
karena dipersilahkan istriku"
"Apa kamu tidak malu dengan
dirimu sendiri?"
Chika berusaha mendekat dan
mengajak jabat tangan, namun perempuan itu hanya melirik tangannya dengan
sebelah mata.
"Hadeehh... Aku kira
perempuan mengerikan seperti ini adanya cuman di Sinetron" batin
Chika
"Maaf Elisa, ini kantor
bukan Bar, kamu salah masuk ruangan" ujar Izack membukakan pintu
mempersilahkannya keluar dan perempuan itu hanya nurut begitu saja tanpa
sepatah katapun. Hingga keduanya menutup pintu dari dalam dan Chika pun menarik
nafas dalam.
Keduanya saling memandang hingga
Izack berjalan mendekat dan menekan pinggangnya hingga tubuhnya menekan pada
dada suaminya.
“Selamanya istriku hanya satu,
kecuali jika dia memintaku untuk menikah lagi, itu urusan lain lagi” senyum
nakal Izack membuat Chika grogi saat menatap wajahnya
@@@
Suasana Perpustakaan perusahaan
sore menjelang malam itu tampak mulai sepi. Chika yang tengah serius browsing journal
tiba-tiba dikagetkan dengan suara geritan kursi yang ditarik di dekatkan
sebelahnya, dan ia sadar itu adalah Izack. Lelaki itu duduk terdiam memandang
Chika yang serius membaca buku dengan laptop di sebelahnya.
“Hadeeh… Pantas saja temanmu
menjulukimu si kutu buku" ujarnya melipat tangan bersandar pada meja di
mana Chika meletakkan buku dan laptop.
“Nggak capek kamu?”
“Hm?!”
“Kenapa?!”
"Sejak pertama kali tiba
hingga detik ini, aku benar-benar capek melihatmu seperti ini. Jika bukan buku
yang kamu sentuh, pasti laptop” ujar Izack membuat Chika tersenyum sekilas,
lalu kembali diam meregangkan pergelangan tangannya ke udara sembari menguap
yang seketika dikecup bibirnya yang tidak tebal tidak juga tipis.
“Bang!” pekik Chika mengusap
bibirnya yang hanya ditertawakan Izack seketika
“Kenapa nggak bisa santai
sedikit sih?!”
Ia diam menatap lama Izack yang
kini justru tak berani menatap matanya. “Kamu bisa berkata seperti itu karena
belum pernah jadi orang kere, Bang” jawab Chika enteng mulai membuka laptop.
Tapi tangan Izack kembali menekannya perlahan untuk menutup laptopnya membuat
Chika melotot.
“Bang!” pekiknya mengkirut
membuat Chika kesal kembali menarik laptopnya
“Kamu boleh belajar saat aku
tidak ada, tapi selagi aku ada, tutup buku dan laptopmu”
“Ini di perusahaan, Bang”
suaranya lirih geram menahan
“Iya terus kenapa?” jawab Izack
santai menyandarkan kepala pada tangannya membuat dua orang karyawannya yang
melintas di belakangnya hanya senyum-senyum
“Jangan ajak berantem di sini”
ujarnya lirih
“Dengarlah mbak, jam segini
istri sudah menyuruhku pulang” kata Izack pada dua orang karyawan perempuannya yang
hanya senyum-senyum menutup mulut melirik Chika yang hanya tersenyum nyengir
dan kembali melototi Izack menutup mulutnya.
“Diam kamu” tatapnya kesal
“Tunggu sebentar aku mau buat
catatan” ujarnya lirih cepat-cepat membuka laptop
“Lihatlah mbak, ada suaminya
terlantar kelaparan disuruh diam menunggu dia belajar”
“Baguslah pak,”
Chika memejamkan mata melotot
kesal pada Izack.
“Maumu apa sih?” suaranya lirih
menekan
Izack kembali melebarkan segaris
senyumannya
“Ayok keluar”
“Tunggu dua puluh menit lagi
deh,” pinta Chika
“Oke” jawab Izack berhenti usil,
dan ia mulai kembali membuka handphonenya
Sementara Chika mulai fokus
dengan catatannya di lembaran kosong Word. Izack kembali beranjak dari tempat
duduknya membuatkan segelas coklat hangat yang mengagetkan karyawannya saat ia kepergok
melihat dirinya yang tidak biasanya menjamah ruangan itu tiba-tiba membuat coklat.
“Halo Pak..” sapanya
nyengir
Izack hanya
mengembangkan senyumnya dan pergi begitu saja kembali ke kursi Chika. Melihat
itu karyawannya mendekati temannya yang sudah sejak awal ada di ruangan itu dan
berbisik-bisik di belakang mereka sambil memperhatikan keduanya.
“Tumben?”
“Siapa?” bisiknya
“Ssttt…!”
Izack kembali datang dengan meletakkan
segelas cokelat hangat yang hanya dilirik Chika sekilas. Merasa keberadaannya
tidak digubris lagi, Izack agak kesal. Ia memberanikan diri bersandar di
pundaknya membuat lengannya terganggu untuk mengetik.
“Bang, please… aku harus buat
proposal biar dapat dana tambahan”
“Dana buat?”
Chika nyengir, “Ke Papua”
“???”
“Ngapain?”
Gadis itu tersenyum lebar membuat
Izack kesal dan kembali nyandar.
“Stopp!!” teriak Chika menekan
kepalanya agar tidak nyandar lagi
“Kamu boleh menulis atau lakukan
apapun kalau aku tidak ada” ujar Izack yang langsung disambut wajah kesal Chika.
Dari sorot matanya ia tampak sedang ancang-ancang melakukan protes bertubi-tubi
di otaknya. Tapi tiba-tiba saja kata-kata buleknya terdengar jelas. Hingga ia
kesal dan menelungkupkan wajahnya ke meja membuat Izack tersenyum lebar
mengacak rambutnya
“Suamimu itu orang baik, Nduk…
perlakukan dia dengan baik, atau kamu akan kecewa sepanjang hidupmu” suara itu
terngiang jelas di telinganya waktu beberapa hari lalu telephone bu lik nya
"Bagaimanapun juga, jika
tidak dia fasilitasi, toh kamu tidak akan semudah ini mengerjakan tugas-tugas
kuliahmu" suara dari dalam dirinya membuatnya pasrah menutup buku dan
laptopnya menelungkupkan wajah lelah yang hanya disambut tawa lebar Izack
Beberapa karyawan yang melihat
pimpinannya tengah menggoda istrinya hanya senyum-senyum dan saling
menggunjing.
"Tesismu belum kelar juga
kan ya?!" cetusnya kesal
"Iya, terus kenapa?"
"Ya ayok lah,
dikerjakan"
“Kuliah itu penting tatkala
tujuan belum tercapai” jawab Izack santai yang hanya ditertawakan anak buahnya
“Kan memang belum?!” jawabnya
menahan emosi
“Kata siapa?”
“Aku sudah,”
“Itu kan kamu”
“Bagiku perusahaan dapat proyek
besar dari pemerintah, AMI bisa menggoalkan misi terbesar dan dapat bonus istri
cerdas itu finish" katanya membuat pegawainya yang mendengar senyum-senyum
"Aku juga tidak akan mau
menikahimu, andai kamu hanya seorang penjual koran di pinggir
jalan" bisiknya mendekatkan wajah hingga tampak seperti sedang ingin
mencium membuat Chika risih langsung menjauhkan wajahnya spontan membuat Izack
tertawa geli
"Seberapa rendah seorang
istri di matamu, Bang" tatapnya keras
Sorot matanya seakan terhenti.
Ia kembali menarik wajahnya
"Sejujurnya, aku itu benci
dengan kata istri yang seolah hanya menjadi orang nomor dua"
Izack menelan saliva
Ia sadar, gadis yang dinikahinya
ini bukanlah gadis biasa yang mudah dimabuk cinta dengan gelimang harta.
Ia hanyalah gadis miskin yang terbiasa berjuang seorang diri mempertahankan hidup
demi meraih cita-cita sebagai seorang wanita yang bermartabat.
"Kalau lulus nanti, pokoknya
aku ingin bekerja di area hutan" jawabnya yang membuat Izack mengangguk
dengan kedipan mata
“Ampun… sabar sekali orang ini”
pikir Chika
Izack langsung mengacak-acak
rambut Chika yang kini sudah mulai terasa halus, dibanding pertama kali
menikah.
"Lalu bagaimana dengan
suamimu?" katanya lagi meletakkan lipatan dua tangannya mendekatkan wajah
ke istrinya
"Kapan kita bisa tidur di
ranjang yang sama?" bisiknya lirih menggoda
"Bang... ini di
kantor" Chika clingukan kanan kiri takut pegawainya mendengar
"Kalau begitu kita pulang
saja" bisiknya yang spontan muncul segaris tawa membuat Chika nyeri
mendengarnya. Ia berdiri dan menarik jarinya keluar dari deretan kursi dimana
ia duduk dan mendudukkannya di sofa sudut ruang Pustaka perusahaannya. Tapi Izack
justru menarik jarinya kembali hingga terjatuh dalam pangkuan dan mendekapnya
erat, membuat dua orang pegawainya senyum-senyum dan segera keluar dari ruangan
yang tidak terlalu luas.
"Ayok kerja!! Aku nggak mau
kelak kalau perusahaanmu bangkrut, aku jadi gembel jalanan lagi"
“Besok week end, Sayang… badanku
rasanya sakit semua”
“Olah raga”
“Tega sekali kamu, menyuruh
orang letih olah raga” keluhnya yang ditertawakan gadis itu lagi
“Kalau begitu besok pagi saja”
“Hm,”
Saat mereka keluar, langit telah
gelap. Dengan langkah gontai Izack berjalan mendahului Chika menuju ruang
parkir.
“Tuhan… Terimakasih untuk hadiah
terbesar untukku”
“Hampir saja aku tidak percaya
jika dia adalah orang yang bakal menemani sisa perjalanan hidupku di masa yang
akan datang” batinnya bergemuruh diiringi dengan air mata yang seketika
menggenang di pelupuk mata
@@@
Menunggu Izack renang di pinggir
kolam rasanya seperti mimpi. Hidupnya benar-benar seperti tengah melayang di
atas awan.
Entah selang berapa menit
berlalu, tiba-tiba saja ada perempuan yang masuk ke kolam dengan baju renang
yang serba minim berusaha menjalin komunikasi dengan Izack. Tapi lelaki itu
hanya menjawab sekedarnya dan kembali berenang. Melihat pemandangan itu, Chika
seakan ingin menghindari rasa sakit hati, ia membawa laptopnya yang telah
ia buka beranjak keluar dari area kolam
renang dan menuju ke food corner di luar ruangan itu. Tapi begitu matanya
menangkap sosok wajah yang ia kenal, ia
memastikan beberapa detik jika itu bukan Rendra, hingga dua pasang mata saling
menatap dan seketika putar badan bingung harus kemana.
"Chika!" kejar Rendra
yang berhasil mencekal siku gadis itu
"Hei! Ada apa kamu di
sini?"
"Sama siapa kamu?"
"Hehe..."
Rendra memasang muka aneh penuh
tanya
"Sudah lama sekali aku
nggak lihat kamu di Kampus"
"Hehe.. iya,"
"Sini sini!!" Rendra
menarik lengan Chika dan mendudukkannya di salah satu bangku food corner bareng
dua orang teman lelakinya.
"Kenalkan, ini teman gila
bareng di Yogya, Chika"
“Ini ya?” selidik dua orang
temannya
“Bukan, dia istri CEO cuy!”
“Tetangga kampungku yang
kebetulan satu kelas di Yogya”
Saat dua temannya ini ngobrol,
Rendra mendoyongkan punggungnya dan berbicara lirih.
"Terus, dimana dia
sekarang?"
Chika menarik nafas panjang dan
mengisyaratkannya dengan dagu ke arah kolam
“Renang?”
“Hm,”
Sembari meletakkan laptopnya di
meja dan mematikannya sesaat, ia melengkungkan punggungnya lemas.
“Sudah jelas-jelas itu nikah
adat, artinya aku nggak menaruh perasaan sama dia. Tapi mengapa saat aku
melihatnya dengan perempuan lain di kolam renang perasaanku seperti nyebur ke
laut ya?”
“Ya jelas lah, dia suamimu!”
jawabnya sambil noyor kepala
“Aku dan dia itu ibarat langit
dan kerak bumi, Ren” katanya yang spontan membuat Rendra tertawa geli
“Sadar diri Ren, dibanding
perempuan-perempuan itu aku nggak ada apa-apanya”
“Sebenarnya kamu itu cerdas,
tapi kenapa kata-katamu kadang seperti orang Oon, ya?!” kernyit Rendra
memalingkan wajah pada sahabatnya
“Ya jelaslah, orang dia suamimu”
“Suami karena paksaan pernikahan
adat itu agak aneh, Ren!”
“Siapa itu suami paksaan,” suara
lelaki yang tak asing itu nyletuk tiba-tiba membuat keduanya menoleh
Chika melotot yang perlahan
berubah nyengir melihat kedatangan Izack.
“Kamu sudah selesai,
Bang?"
“Oh, Ini?!” lirik Rendra lirih
pada Chika yang seketika itu membuat Rendra berdiri menyodorkan tangan
“Maaf Bang, kenalkan… aku
Rendra. Teman kelas sekaligus teman kampung Chika” katanya
“Oh, Izack” jawabnya tanpa
ekspresi menyambut jabatan tangannya
“Ya sudah, ayo sayang” katanya
mengambil laptop dan memberikannya pada Chika hingga menuntunnya untuk segera
beranjak dari tempat duduknya.
“Ayo, aku belum mandi ini"
kata Izack membuang muka seolah tak sudi melihat lelaki yang pernah dilihatnya
beberapa tahun silam itu kembali muncul
“Oke, duluan ya!" pamit
Chika lirih nggak enak cepat-cepat menenteng laptopnya
“Oke, oke!”
"Kalau ada apa-apa telp
aku" ujar Rendra sayup-sayup terdengar Izack
"Siap!"
"Kenapa juga telpon orang
asing?" senyum Izack sinis melenggang lebih dulu meninggalkan Chika dengan
wajah datar
“Itu teman kelasku, Bang” ujar
Chika setengah berlari mengejar langkah Izack yang terlalu cepat meninggalkan
area itu.
“Hm”
“Sudah tahu,” jawab Izack dalam
batin.
“Besok lagi kamu harus ikutan
renang daripada ngeluyur seperti ini” nadanya tegas yang ditangkap Chika
sebagai sinyal cemburu.
“Tunggu di sini, jangan
kemana-mana” katanya lagi tanpa memperhatikan wajah Chika dan menghilang di
balik ruang ganti pria.
“Hhh?!”
“Kenapa nggak dari tadi sekalian
mandi?” pikirnya kembali duduk menarik nafas kesal
Ia lihat dua perempuan seksi itu
tengah ngobrol seru di bibir kolam renang, sesekali mereka meneguk minumannya
dan kembali keluar dari kolam hingga menampakkan lekukan tubuhnya yang seksi di
balik pakaian renang yang hanya menutup kemaluan dan payudaranya saja.
Chika kembali menarik
pandangannya dari dua perempuan itu saat dua pasang mata berpapasan dari jarak
jauh.
Hampir saja nyali Chika ciut
saat kembali memperhatikan penampilan dirinya dengan dua perempuan itu yang
jauh berbeda. Saat itulah Izack datang. Dua perempuan itu sudah dadah-dadah
dari jauh, tapi Izack hanya melambaikan tangannya sekilas dan duduk di sebelah
istrinya.
“Siapa?”
“Tetangga”
“Oh..” jawab Chika manyun
“Aku mencium aroma kecemburuan
di sini”
“Siapa yang cemburu?” jawab
Chika membuat bibir Izack tersenyum manis sekilas melirik gadis imutnya
terlihat kesal. Lagi-lagi Izack hanya tersenyum mengusap kepala dan membelai
rambutnya yang tergerai membuat Chika menangkis tangannya kesal.
“Ayok pulang” kata Chika dengan
wajah dingin
Izack bingung, ia hanya nuruti
langkah Chika keluar dari arena kolam.
“Nggak usah berpikir
kemana-mana” tutur Izack berusaha merangkulnya tapi lagi-lagi ditangkis tangan
Chika membuat Izack lagi-lagi salah tingkah.
“Oke…” ujarnya lirih kecewa
“Ssshhttt… setelah ini enaknya
kemana?” ujarnya menggenggam erat tangan Chika dan sesekali mencium kepalanya
yang lebih pendek.
“Tidur kah?” bisiknya menggoda
Chika dengan wajah semburat merah merona saat ia gamit dan cium pipinya
berulang kali. Sebagai seorang gadis yang cool berusaha menahan godaan, hingga pada
akhirnya lumer juga pertahanan dirinya dari rayuan Izack yang menciumi dirinya
berulang kali di muka umum.
“Jangan seperti ini di muka umum
Bang, nggak baik” ucapnya menahan rahang Izack agar tidak menciuminya terus
sambil berjalan
“Oh, berarti harus di kamar
kah?” rayu Izack lagi dengan wajah freshnya sehabis renang membuat orang-orang
di sekitar senyum-senyum, sementara Izack tak peduli dengan tatapan itu lagi.
@@@
Hari berikutnya
Kedatangan ibunya ke Apartemen di sore hari
membuat Chika kaget. Ia tidak mengatakan apapun saat Izack pulang kerja dini
hari. Bahkan gadis itu berusaha melayaninya dengan baik layaknya seorang istri
sungguhan di saat ia ngantuk luar biasa. Ia menghangatkan masakan cumi asam
manisnya yang sudah dingin. Izack yang belum sepenuhnya on dengan kondisi
rumahnya, hanya memperhatikan istrinya mondar-mandir menghidangkan makan malam
untuknya.
“Wuahhh…” pekiknya seperti anak kecil yang girang
melihat cumi bumbu merah terhidang di meja makan.
“Baunya harum, mirip masakan Mama” gumamnya lirih
"Iya emang”
“Oh??”
“Tadi Mama kesini?”
“Hm”
Tangan Izack sudah tidak sabar menancapkan
garpunya ke cumi.
“Gimana rasanya?”
“Coba saja”
“Enggak ah,”
“Sudah makan belum?”
“Sudah”
“Beneran?”
“Hm”
Gadis itu memainkan jari jemarinya seakan
berpikir sesuatu. Izack masih cuek menikmati makan malamnya yang sebenarnya
sedikit terasa hambar terbawa oleh suasana pekerjaan di kantor dan organisasi
yang sedang menumpuk banyak persoalan.
"Bang, besok aku mau pulang ke Yogya,
ya"
"Ada urusan apa?"
Chika menarik nafas "Urus Administrasi KKN"
"Dimana?"
“Mmmm… belum tahu”
“Siapa wali kelasmu? Pak Arfan kan?”
“Hm,” pikirnya kaget, darimana ia tahu
"Itu senior AMI, nanti aku telphon"
“KKNmu diundur semester depan, atau tahun depan
aja. Sementara masa pemulihan kamu di sini dulu, biar fit benar”
“Mending selesaikan skripsi saja dulu”
“Ya nggak bisa begitu, Bang”
“Ya sudah, kerjakan yang lainnya dulu”
"Tapi referensinya?!"
"Kamu butuh buku apa, biar Heni kirimkan
semua"
Chika melengkungkan punggungnya kesal dan menggaruk-garuk
kepala yang tidak gatal membuat Izack geli melihat ekpresi keputus asannya. Izack
berhenti menyruput kuah dengan sedikit senyum kemenangan di wajahnya.
Ada perasaan nyeri saat melihat suaminya lahap
menikmati masakan buatan Mamanya yang baru beberapa menit lalu mengatakan
sesuatu yang dirasa tidak enak untuk dirinya sebagai seorang perempuan.
“Ada apa?”
“E…nggak ada”
“Mama ngomong apa aja tadi” tanya Izack cuek
menikmati makanannya
Chika diam tak menimpali
"Bang, boleh tahu kenapa kamu mau
menikahiku?"
"Kamu nggak sedang mengasihani Mahasiswi jalanan
sepertiku, kan?" mendadak suaranya terasa getir
"Atau? kamu sedang taruhan dengan
teman-temanmu hanya untuk menakhlukkan cewek dingin sepertiku? Lalu setelah
kamu puas, kamu bakal tinggal begitu saja" mendengar itu, Izack hanya
tersenyum dingin terbayang taruhan dengan Hendrik soal bon yang sampai hari ini
ia lupakan.
Ia tetap diam tak menjawab, bahkan saat Chika
menanyakan ulang rautnya seperti tertusuk mendengar pertanyaan itu dengan nada
suara istrinya yang terdengar berat. Tapi lelaki berbadan ramping itu tetap tenang
melanjutkan makan malamnya dengan diam seribu kata.
Entah berapa lama Chika menunggu jawaban, tapi Izack
tetap diam hingga semua makanan habis, termasuk potongan buah. Dan ia beranjak
tenang mencuci piring sendiri. Melihat bungkus mie instan di tempat sampah
bawah cucian piring ia hanya menghempas nafas kesal. Namun ia kembali ke meja
dengan membawa bungkusan obat, sementara dengan ketenangannya Chika mulai
takut, cemas dan was-was dengan diamnya.
Jarum jam menunjukkan pukul 22.30 wib.
Sebenarnya masih banyak pekerjaan kantor dan
organisasi yang harus diselesaikan malam itu juga. Tapi Izack merasa bahwa
pernikahannya yang baru berumur kencur itu perlu ditimang layaknya seorang bayi
yang baru lahir.
Belajar dari para senior dan teman-teman senior
CEO lainnya, banyak keluarga hancur berantakan di saat bisnis yang mereka rawat
sejak awal mereka menikah menjadi perusahaan raksasa hanya gara-gara masalah
sepele dalam rumah tangganya. Izack sudah berpikir matang jauh-jauh hari
sebelum ia menemukan tambatan hatinya. Dan ia pikir Chika lah orangnya. Selain
ia pekerja keras, ia juga orang yang sangat sederhana juga cerdas.
"Kenapa obatnya belum kamu minum?" tanya
Izack sembari menuangkan segelas air putih, seolah tak ada pertanyaan apapun
dari Chika yang sebenarnya sudah ditunggu-tunggu gadis itu.
"Bang, kamu nggak sedang meremehkan aku
kan?"
Dengan masih memakai setelan hem biru muda dan
celana hitam, lelaki itu membawakan obat dan menuangkan segelas air.
"Kenapa kamu menanyakan sesuatu yang melukai
perasaanmu sendiri?" ujar Izack duduk tepat di hadapan Chika
"Seberapa penting?"
"Yang penting sekarang aku di depanmu, dan
sedang menghadapmu. Bukan orang lain" jawabnya terdengar singkat, lugas,
namun multitafsir.
Izack membukakan bungkus obat satu persatu.
"Kenapa masih utuh? bukankah harusnya siang
tadi sudah kamu minum satu-satu?"
"Bang! aku tanya serius"
"Kamu ini bukan anak kecil lagi, harusnya
paham kebutuhan perutmu. Kenapa makan mie instan?" ujarnya mulai
tampak kesal
"Kenapa? Apa karena hutang lagi?"
Gadis itu diam sesaat sembari menelan obat satu
persatu dengan segelas air minum "Aku dengar perusahaan sedang kolaps"
"Apa hubungannya sama mie instan?!"
"Tadi aku belanja di supermarket, lihat cumi
sepertinya enak. Kebetulan juga lihat mie instan yang sepertinya enak banget"
"Lalu kamu pilih beli mie instan, sementara
suamimu kamu kasih cumi?"
"Bang, baru kali
ini aku melihat mie instan se mahal itu. Dan ada kesempatan bisa beli itu, apa
salahnya?" nadanya turun dengan sedikit rasa takut saat suara Izack
menekan keras.
“Nggak salah. Tapi sekarang belum
saatnya kamu makan makanan instan”
“Kalau kamu mau, aku antar kamu ke
kedai mie yang dibuat langsung”
Chika nyengir Ia bangkit lagi dengan
wajah tampak lelah sembari tangannya menyaut sebungkus obat-obatan miliknya.
Melihat suaminya membawa bungkusan obat, Chika tersenyum nyengir sembari
rebahan di sofa memegang perutnya.
"Kenapa kemarin tidak bilang ke dokternya,
kalau sakit?"
“Sepertinya kamu harus MRI lagi tuh, memastikan
ususmu benar-benar tidak ada masalah”
“No!” rautnya tegang
Tanpa berkata-kata lagi, ia mengangkat paksa
istrinya yang kini tampak pucat ke dalam kamarnya dan merebahkannya di sana membuat
Chika seketika bangkit ketakutan.
"Nggak usah berpikir macam-macam, istirahat
di situ atau aku telanjangi kamu" ujarnya mengunci pintu dan menarik kursi
“Sudah berapa kali kamu makan mie instan”
Chika nyengir kesakitan merebah
“Mau? perutmu dibuka lagi”
“No!!”
“Di kulkas sudah ada masakan sehat, kenapa mesti
capek-capek masak dan masak mie instan?”
"Aku tebak sehari ini tadi kamu nggak makan"
Chika hanya nyengir kesakitan menekan perutnya.
“Kenapa sih pakai marah segala?!”
“Kamu itu selalu sibuk dengan pikiranmu sendiri”
Kini untuk yang ke sekian kalinya Chika
benar-benar bisa memperhatikan wajah suaminya dari dekat. Ia benar-benar tampak
bersih, nyaris tanpa noda kecuali garis-garis lembut di sekitar kelopak matanya.
Entah berapa lama ia mengamati wajah itu, hingga Izack sadar istrinya tidak
sedang memperhatikan kata-katanya, melainkan memperhatikan wajahnya membuat
Izack mencubit ujung hidungnya yang kecil.
“Aku pikir, kamu pulang pasti capek.. makanya aku
masak. Nggak tahunya bapak tukang masak, datang bawa masakan”
"Besok lagi kalau bandel, aku paksa kamu
tidur di sini" ujar Izack membuat Chika langsung bangun dan duduk
merasa serem dengan ruangan kedap yang membuat lelaki itu tertawa geli melihat
raut ketakutan istrinya.
Izack beranjak ke dapur dan mulai memakai apron
untuk menghangatkan makanan.
"Benarkah ia tengah bersabar? atau
sebenarnya ia benar-benar orang yang sabar?" pikir Chika mengawasi Izack
yang riwa-riwi hingga akhirnya kembali duduk tepat di depannya dan siap
menyuapi
"Aku bisa makan sendiri,"
"Sudah... aku paham tanganmu gemetar"
Chika mengulum tawa, namun ada rasa kesal yang ia
tahan.
Izack menatap tenang, "Ayoo... tinggal buka
mulut apa susahnya, sih?"
Kali ini Chika tak bisa menahan tawa geli melihat
wajah innocent suaminya.
Malu-malu Chika membuka mulut dan menerima suapan
lelaki beralis mata tebal itu hingga tak terasa hatinya terguncang dengan mata
berkaca-kaca.
Izack menarik nafas lelah "Kenapa sih,
perempuan itu selalu dibuat sibuk pikirannya sendiri?"
"Hanya ingin memastikan semua baik-baik
saja" jawab Chika menekan air matanya yang sudah tergenang
"Tinggal kita nikmati hari seperti ini, toh
semua akan baik-baik saja" kata Izack mengusap bibir tipis dengan jarinya seperti
layaknya menyuapi anak kecil yang membuat perasaannya berdegup halus.
"Aku sudah memiliki semuanya, tidak perlu
apapun darimu kecuali keberadaanmu dan ketulusan hatimu, cukup" ujarnya
menatap dalam
Wooww... sungguh tak percaya ia mendengar
kata-kata semacam itu langsung dari mulut seorang ketua umum organisasi
mahasiswa terbesar di Indonesia dan seorang CEO muda yang selalu memiliki
senyum fresh.
Saat selesai makan malam, diam-diam Chika duduk
di sofa sambil tangannya mulai sibuk mengetikkan sesuatu di layar tablet
suaminya. Berkali-kali ia mencari berita skandal tentang suaminya sendiri
di media sosial. Tapi ia tak menjumpai apapun di sana, justru mendapat berita
baik yang cenderung mengelu-elukan.
"Euleuhh... dasar orang kaya. Apapun yang
melekat pada dirinya selalu terlihat baik" gerutu Chika yang tengah
duduk di sofa.
Diam-diam Izack mengintip dan duduk di punggung
sofa sembari menyruput kopi yang kini pindah tepat di sebelah istrinya
"Kamu cari skandal aku?"
"Sini lihat," katanya merebut tablet
dan mengetikkan beberapa kata
Skandal Ketua Umum AMI
Saat itulah muncul foto-foto Izack yang tengah
menggendong dirinya di depan kost-kostan.
Chika melotot
"Kenapa?"
"Kaget?!"
Saat itulah mata Chika tertuju pada sederet judul
bertuliskan;
Ketua umum AMI menikahi gadis anak pejabat
Komunis
Chika terkejut membaca judul tersebut, sebelum
jarinya menekan kata itu, jari Izack sigap menangkis gerakan jarinya dan
menutup cepat tablet terebut.
"Sudah, tidak perlu dipikir”
“Tahu sendiri kan, literasi jurnalis kita itu
rendah. Jadi hal remeh temeh begitu saja diliput”
Chika yang merasa bagian dari Jurnalis lepas spontan
berpaling menatap geram yang spontan membuat Izack sadar dan tertawa ngakak.
"Sudah, aku bilang jangan dipikirkan"
tawa Izack mengacak acak kepala istrinya seperti anak kecil
"Repot ya, punya istri kritis"
Izack kembali terdiam memegang remote tv dan
menyalakan layar flat di depannya
“Lihat ini," katanya memperlihatkan suasana
Resto yang tampak rame hingga muncullah sosok dirinya yang duduk tepat di
sebelah lelaki tersebut.
"Ulang Tahunnya siapa itu?"
"Serius kamu nggak ingat?"
Chika hanya nyengir, pandangannya kembali pada
layar tv
"Aku cuma ingat sekilas” pikirnya mengamati
wajah para seniornya satu persatu yang duduk di antara mereka hingga
muncullah seorang pelayan dengan membawakan dua kue tart.
“Harusnya kamu paham dari sini”
“Maksudnya?”
“Mana ada lelaki yang mau kasih kue tart di hari
ulang tahunnya, kalau nggak ada niatan apapun"
“Dukkk!” Hawa hangat perlahan menggetarkan dada
yang berdegup lembut menangkap perasaan melayang. Membaca gelagat istrinya yang
sedikit terpesona, diam-diam Izack meletakkan tangannya di belakang kepala
Chika yang spontan membuat gadis itu bergeser.
Ssseeetttt...!!
Spontan Izack tertawa gemas melihat wajah dingin
istrinya.
"Ah... ya sudahlah, yang penting sekarang
kamu milikku" ujarnya malu setengah kecewa yang hanya ditertawakan Chika
"Dan ini," ujar Izack menekan tombol
remote muncullah video Chika tengah berdiri di pinggir jalan dengan topi
kompeni jepang.
"Hwkwkwk... ih! memalukan" pekik riangnya
berusaha merebut remote dari tangan Izack, tapi justru ditekan pinggulnya
hingga ia kembali terduduk di posisinya dan seketika meletakkan kepalanya di
pangkuan istrinya yang tak lagi bisa berkutik
"Apa tindakanku yang seperti itu semua tidak
bisa menjawab pertanyaanmu tadi?" jawab Izack yang membuatnya seketika
membisu
Hening,
Tak bisa dihindari bahwa sebenarnya ia pun sempat
merasakan ada perasaan yang sama. Tapi ia tak berani menaruh harapan lebih dari
20% untuknya. Baginya, lelaki semacam itu jauh di atas langit. Ibarat
mengharapkan cinta seorang artis papan atas, sementara dirinya hanya gadis gembel
yang tengah berjuang untuk hidup.
“Bang, hidup di negeri yang semuanya serba bisa
dibayar ini. Bisa dibayangkan bagaimana nasib kehidupan orang-orang seperti
kami yang tiap menit harus berjuang untuk tetap bisa hidup dan berdiri di atas
kaki”
"Jadi rasanya pernikahan dengan orang
sepertimu aku ini seperti boneka yang bisa kamu permainkan tiap waktu” ucap
Chika terasa getir dan dalam
Izack hanya menelan ludah antara raut kesal dan
memahami siapa perempuan di hadapannya.
“Karena cerita Cinderella hanya ada di dongeng
dan drama asia”
“Selebihnya, pahit getir darah kami, harus kami
telan sendiri bagaimana rasanya”
“Maka dari itu tak mudah bagiku menaruh harapan
pada orang sepertimu yang jauh di atasku”
Glukkk!!
Lagi-lagi Izack merasa tersodok dengan
perasaannya. Ia tak mau berdebat dan memperpanjang masalah
"Ya... ya, ya! Apapun katamu
selalu benar lah" ujarnya sengaja meringkukkan tubuhnya di sofa dengan
kepala makin keras menekan pangkuan Chika tetap dalam posisinya
"Karena aku bukan tipikal
orang yang mudah percaya sama orang lain"
"Ya... ya, ya, ya. Terserah kata-katamu lah"
“Iya kan saja lah, daripada ada yang ngambek”
kata Izack membalikkan wajah menghadap perut Chika dan menciumnya berulang
kali.
“Ah… bagaimanapun aku menyatakan seberapa besar
cintaku terhadapnya, percuma saja jika ia tidak pernah percaya pada
kata-kataku” pikir Izack memejamkan mata dan mulai tertidur.
Malam itu Chika sengaja membiarkan lelaki itu
tidur di pangkuannya, hingga berapa lama ia mulai mendengar suara dengkuran
dari mulut Izack di saat Chika mulai asyik menyimak film action.
Chika diam memandangi lekat-lekat garis wajah
suaminya yang bersih hampir tanpa noda sedikitpun. Dari alis matanya yang tebal
terbentuk, bulu matanya yang indah, kulit wajahnya yang bersih dan bibir yang
tak tebal juga tak tipis, hidungnya yang lancip. Benar-benar mirip artis asia
yang keren.
"Tahukah kamu Bang.. betapa malam tadi aku
merasa tercekik saat ibumu datang"
“Makanya aku makan mie instan, hanya sekedar
meredakan stresku”
"Kenapa cita-cita tertinggiku pun tidak bisa
aku raih, hanya gara-gara satu kata meladeni suami"
"Aku benci sekali mendengar kata-kata
itu"
"Seolah perempuan itu hanya sebagai support
sistem di belakang layar yang tak boleh muncul di permukaan"
"Apa dia nggak sadar, kalau dirinya juga
seorang wanita karir"
Sayup-sayup Izack mendengar umpatan itu dan
hanya tersenyum memperbaiki posisi tidurnya.
"Yang penting aku sayang kamu, cukup. Kamu
mau apapun sok-sok aja” ujarnya yang membuat Chika kaget.
@@@
Hingga pagi tiba. Izack
mendapati dirinya tertidur sendiri di sofa.
"Chika," panggilnya seperti
anak kecil memanggil-manggil ibunya saat bangun tidur. Dengan mata keriyepan
mengamati ruangan yang lengang, ia tak berpikir apapun.
"Sayang" panggilnya geli
mendengar dirinya menyebut kata yang sebenarnya terasa lebay.
Ia menganggap istrinya berada di
kamar mandi, tapi saat dibuka ia tak ada di sana, hingga panik mencari ke
seluruh sisi ruangan. Sampai baru sadar jika tas ransel dan beberapa bajunya
sudah tidak ada lagi di lemari.
Seperti teringat sesuatu, ia
diam menyimak kata-katanya semalaman. Secepat itu ia mencari handphone.
"Halo, Ma"
"Tumben kamu pagi-pagi
telphon"
"Mama ngomong apa saja sama
Chika, kemarin?"
"Kenapa pertanyaanmu nggak
enak begitu, Zack?"
"Chika pergi dari Apartemen,
Ma"
"Lalu apa hubungannya sama Mama?"
"Ma, tolong untuk kali ini
saja Izack memilih pilihan Izack"
"Sudah dua tahun Izack
bersabar menunggu dan mencari keberadaan dia, dan nikah adat itu Izack memang
sengaja punya niat" suaranya tegas menekan
"Jadi pagi-pagi kamu
telphon hanya untuk memarahi Mama?"
Izack sadar, ia mulai menurunkan
suaranya
"Mama berkata apa saja sama
Chika?"
Perempuan itu menarik nafas
kesabarannya, "Selesai wisuda dia punya rencana ikut pamannya transmigrasi
ke Kalimantan. Lalu Mama bilang agar dia tetap di sisimu, apa itu salah Zack?"
Izack menarik nafas
lelah "Maaf Ma,"
"Lagipula sudah gila apa,
kamu? menanggung seluruh biaya Rumah Sakit di saat perusahaanmu kolaps kemarin"
"Ma, sekarang perusahaan
sedang mau dapat proyek besar dari pemerintah pusat”
“Oh…”
“Rizqi kamu nikah juga itu,”
“Hm iya juga ya Ma, dari dulu
rasanya sulit banget dapat proyek besar seperti ini”
"Mama lihat sepertinya kamu
yang cinta dia duluan"
“Hm, iya Ma”
"Izack sedang berusaha
meraih hatinya"
"Tapi kenapa mesti langsung
menikahinya, Zack..."
"Mama hanya tidak ingin
kamu terluka. Kamu itu sudah dewasa tapi urusan perempuan masih polos banget”
"Tidak seperti yang Mama
duga"
"Ya sudahlah, Mama
cepat-cepat ini"
"Baik, Maafkan Izack"
ujarnya lembut
"Zack, kamu itu anak baik, sejak
dulu Mama sudah menganggapmu seperti anak kandung sendiri. Jadi Mama juga akan
sakit hati kalau kamu terluka lagi seperti dulu"
"Hm, makasih Ma,"
jawab Izack menutup pembicaraan dan sepi.
Ia baru sadar ada selembar surat
tergeletak di atas Kitchen Bar.
Maaf Bang, kalau Chika nggak
pamit baik-baik pulang ke Yogya
Karena sepertinya Abang nggak
ijinkan aku pulang
Maaf juga soal Rendra kemarin
Bagiku, Rendra seperti
penyelamatku di kota sebesar Yogya. Dia banyak membantuku saat aku mengalami
depresi, ketakutan masa depan hingga hal remeh temeh seperti menalangi biaya
Semester hingga meminjamkan laptop, dan kadang memberiku makan.
Kami dibesarkan sama-sama dalam
kondisi keluarga yang nggak utuh. Kami bahu membahu mencari anggota keluarga
kami yang hilang tanpa diketahui rimbanya. Mohon jangan salah paham ya Bang?
Oh ya, apakabar dengan tetangga
cantik yang kemarin di kolam renang?
Aku rasa, itulah kelasmu.
Dibanding aku, dia lebih pantas untukmu. Maka dari itu aku pergi dari sana,
siapa tahu kalian cocok, dan kamu tak perlu risau denganku. Sekalipun sebagai perempuan
aku masih punya hati, berhak sakit hati melihatmu ngobrol beruda di kolam.
Untuk itu aku pergi menghindari pemandangan itu.
Ini Kartu Debit yang kamu kasih,
aku pinjam untuk bekal selama di Yogya.
Kalau nggak ikhlas, nanti aku
kembalikan
Maaf, sudah banyak merepotkan
Sekian
Sambil menutup lembaran surat
itu ia hanya meringis perih dengan mata berkaca-kaca.
“Kenapa ada perempuan se bodoh
kamu, Chika?!”
“Dan kalian kira, hanya kalian
saja yang merasakan derita kehilangan keluarga?”
“Bagaimana dengan seorang bayi
yang dibuang di tempat pembuangan akhir sampah?” ujarnya lirih sembari
merasakan denyut jantungnya seakan memampatkan nafasnya mulai sesak hingga ia
sadar nafasnya mulai sasak dan tercekik hingga tenggorokan. Tangannya segera
meraih segelas air putih yang Chika sediakan dan meneguknya beberapa tegukan
hingga habis. Tapi ia sadar nafasnya tidak segera membaik justru makin
tercekik.
Ia segera lari ke kamar mencari
obat. Tapi pandangannya justru kabur dan tubuhnya lemas jatuh tersungkur di
atas lantai kamar.
Ia sadar, ia sendirian di kamar.
Tapi telinganya terasa kuat mendengar suara gaduh dan gemuruh buldoser serta
lalu lalang orang memungut sampah menatapnya aneh di tengah tumpukan pembuangan
sampah akhir dengan bau menyengat.
Tiba-tiba handphonnya kembali bergetar.
Nafasnya makin sesak hingga terasa mencekik tenggorokan.
“Halo Mas Izack”
“Pak… tolong ke rumah” nada
suaranya lirih dan berat
“Iya Mas?”
“Mas Izack kenapa?!!”
“Tolong ke rumah, Pak”
“Baik baik!”
Entah berapa lama Izack menahan
nafasnya sesak. Ia semakin sulit membendung halusinasinya akan orang-orang yang
berlalu lalang menatap dirinya aneh di antara gunungan sampah. Hingga sadar kepala
mendenging lama dan hilang kesadaran.
@@@
Kabut putih perlahan memudar
menjadi gambaran jelas hingga tampak orang-orang berjalan kesana kemari dengan baju
serba putih bersekat gordyn putih, sementara seorang lelaki paruh baya duduk di
sebelahnya.
“Mas…! Mas Izack!” sapa lelaki itu
seakan menyadarkan kesadarannya.
Izack melepas cungkup oksigen
memejamkan matanya erat.
Ia melihat Alvin berdiri di
sebelahnya
“Gimana Zack?!” tatap Alvin
cemas
Lelaki yang tengah terbaring itu
menatap langit-langit seakan memastikan nafasnya baik-baik saja.
“Dimana
Istrimu?” tanyanya yang langsung membuat Izack mengisyaratkan bapak tukang
masaknya keluar ruangan
“Saya keluar dulu mas, nanti
kalau ada apa-apa panggil saya di luar”
“Hm” Izack hanya mengedipkan
mata lemah
“Untung saja aku datang. Kalau
enggak, entahlah kamu..” cletuk Alvin
Izack menarik nafas panjang
“Gimana nafasmu?”
“Nggak apa-apa” jawabnya lemah
“Kenapa sih, nggak konsultasi ke
Psikolog aja soal kondisimu yang seperti itu?”
Izack memberikan aba-aba stop
dengan tangannya sembari menarik nafas berat.
“Bicarakan yang lain saja, Vin”
ujarnya
“Ini,” katanya menyodorkan
selembar kertas
“Sory, nggak sengaja kemarin
kebaca”
Izack menggenggam surat itu dan
meremasnya seketika membuat Alvin mengembangkan senyum lebar.
“Kenapa kau ketawa?”
Alvin menatap datar seperti
sedang mencari kata-kata yang pas
“Kalau ada satu lagi yang seperti
dia, aku nggak nolak kok”
“Kau kira barang apa?! Gila!”
“Loh, aku bilang; kalau ada satu
lagi yang seperti itu” tawa Alvin cekikikan
“Gimana kabar Hera?” potongnya
langsung mengalihkan perhatian
“Hei Bro, lihat kondisimu itu.
Kita sedang bicara soal kamu, biar nggak sekarat seperti kemarin”
“Hari gini cari cewek seperti
itu seribu satu, Bro”
“Sepertinya kamu harus segera
ketemu sama dia deh, jelaskan persoalan ibumu dan teman-temanmu”
“Nggak bisa, Vin. Jadwalku padat
satu bulan ke depan”
“Nah?! Ya sudahlah, nikmati saja
nge jomblo lagi andai dia minta cerai”
“Lagipula untuk apa kamu genggam
erat benar itu AMI?”
Izack menarik nafas lelah
menatap penuh isyarat kesal pada Alvin sahabatnya.
“Okey-okey, aku paham itu
duniamu”
Tiba-tiba telphon bergetar dari
saku kemejanya
"Okey Bro, aku pergi dulu”
ujar Alvin melirik ponsel Izack dan meninggalkan ruangan itu
“Yok!”
Izack hanya menjawab dengan mengangkat
handphonenya
“Izack”
“Ya, Pa?!”
“Apa benar istrimu itu ikut
organisasi komunis”
“??”
“Siapa bilang?”
“Coba buka email Papa”
Izack kaget waktu melihat wajah
istrinya berdiri di tengah pejabat yang diduga orang-orang komunis. Ia menatap
lama sambil mengutak-atik mouse membesarkan tiap bagian garis foto.
“Logikanya Pa, kalau benar ada
sangkut pautnya sama mereka. Untuk apa dia kerja mati-matian membiayai hidupnya
sampai menahan ususnya robek"
"Kita tahu kan, banyak
pejabat dan pengusaha beraliran komunis. Mbok ya sudah, pasti dijamin hidupnya
lebih enak dikit"
“Izack… sebenarnya Mama sama
Papa kaget waktu kamu mengajak Chika ke rumah waktu itu”
“Tapi apapun itu, Papa menghargai
keputusanmu. Sekalipun di belakang Mama sedikit marah karena kamu menolak
dipertemukan dengan anak temannya Papa yang sudah jelas bibit, bobot sama
bebetnya”
“Lalu dengan mudahnya kamu menikahi
seorang gadis yang baru kamu kenal beberapa hari”
Izack menarik nafas panjang
“Pa, sejak kapan Izack mudah
jatuh cinta?”
“Dua tahun, Izack menunggu dan
mencari informasi tentang dia”
“Apa yang seperti ini juga Papa
anggap kurang? Lalu menyuruh Izack pacaran dulu, begitu??”
“Sampai hari ini Izack masih merasakan
pahitnya jadi bayi yang dibuang di gunungan sampah” jawabnya dengan mata
spontan berkaca-kaca dan menahan diri agar nafasnya tidak kembali sesak.
“Apa Papa nggak ikhlas
membesarkan Izack hingga detik ini?”
“Izack!!”
“Pa, Izack mohon… ijinkan kali
ini Izack bahagia mencintai seseorang”
“Kita cuma tidak ingin kelak
kamu kecewa dengan pilihanmu”
“Papa tahu Izack, kan… tidak
semudah itu mengambil keputusan”
“Oke, baik… tapi Papa harapkan
betul jika dia memang terlibat dalam organisasi Komunis, Papa tidak ikhlas”
“Okey, Izack akan cari orang
untuk menyelidiki dia”
“Zack… dia itu bukan penjahat,
dia itu istrimu”
“Apalagi Chika itu sepertinya
gadis cerdas, kalau dia tahu kamu sedang menyelidikinya, bisa runyam rumah
tangga kalian”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Dekati teman-teman dekatnya”
“Aduh, Pa… teman dekat dia
lelaki”
“Kenapa?”
“Tidak masalah, kan? justru itu
kamu bisa ngobrol santai tanpa dicurigai macam-macam sama istrimu”
Izack menarik nafas berat
“Kenapa?”
“Cemburu?”
“Ah, cemen!”
“Yang penting dia kan sudah jadi
milikmu”
“Bagi Papa, itu sudah point,
sekarang tinggal bagaimana langkahmu selanjutnya”
“Hari ini dia ikut ke kantor?”
“Tidak, dia balik ke Yogya
selesaikan urusan kuliahnya”
“Kapan?”
“Kemarin”
“Sekarang balik soal foto itu,
Papa cuma ingatkan ke kamu. Soalnya ketika foto itu keluar, akan berimbas pada
kariermu dan karier Papa”
“Okey Pa, kalau itu Izack akan
tanyakan teman ahli telematika, soal Backgroundnya akan Izack selidiki pelan”
“Tapi apa dan bagaimana, Izack masih
yakin dia gadis baik-baik, Pa”
“Izack menduga, itu isyu yang
sengaja dibuat orang yang nggak suka kami”
“Ya sudahlah, itu urusanmu. Tapi
kalau sampai menyinggung urusan pekerjaan Papa. Papa tidak akan diam” nadanya
mengancam
“Siap Pa…” jawabnya segera
terputus setelah terdengar pamit suara di ujung ponsel itu
Tut.. tut.. tut..
Sorot matanya kembali tertuju
pada sehelai kertas tulisan Chika. Ia menghirup udara segar seakan tengah
mengembalikan pernafasanannya yang sempat terhambat.
15
Indonesia tempatnya padi tumbuh, mengapa harus Import beras??
“……….
Bicara soal Karbohidrat,
harusnya Indonesia tidak bergantung pada nasi. Karena sejak lama masyarakat
Indonesia menjadikan makanan sumber energi mereka bukan hanya nasi yang
berbahan dasar beras. Masih ada Jagung, Sagu, Singkong, Ubi Jalar, Kentang, Pisang,
Labu Kuning, dan Talas.
Seperti halnya beberapa dekade
sebelumnya yang mengembalikan sumber keanekaragaman hayati lokal menjadi acuan
utama bagaimana kita harus mengembangkan produk olahan lainnya menjadi makanan
yang bisa dinikmati dalam bentuk yang beragam.
Karena dengan mengembalikan mind
set kita bahwa makanan pokok di Indonesia bukanlah nasi, petani kita akan kembali
merdeka di lahannya, yang sesuai dengan struktur geografi masing-masing daerah.
Inilah yang patut dikembangkan
pemerintah. Kembali mengedukasi masyarakatnya menjadikan sumber makanan pokok
tersebut untuk bisa diolah menjadi bahan dasar makanan pokok mereka menjadi
makanan harian.
……………………”
Demikian salah satu petikan berita
yang berhasil ia tulis dengan smartphonenya di pos ronda depan kost-kostan
sembari meneliti satu persatu foto panen raya di sepanjang jalan dari Jakarta
menuju Yogya, belum lagi antrian puluhan truk tebu di depan pabrik gula yang mengantri
untuk ditimbang.
Angin mendesir sepoi di bawah
rindang pohon mangga dan kersen yang menggugurkan daunnya berwarna kuning,
ditemani musik yang ia putar dengan earphone, ia mengirim artikel tersebut
ke koran online nasional.
Sekali lagi ia memeriksa
beberapa foto yang bakal dijadikan foto artikelnya di beberapa mass media
online.
“Yeah… kenapa nggak dari dulu,
aku…” senyumnya mengembang dengan sorot mata lurus, namun perlahan senyum itu
surut berubah datar teringat peristiwa dua hari lalu saat ibu mertuanya
menjenguk dirinya dan perempuan di kolam renang itu mendekati suaminya.
"Loh? kamu??" sorot
mata Hendrik penuh tanya membuyarkan lamunan Chika
"Kenapa di sini?"
"Bukannya ikut Izack ke
Jakarta?"
“Hehe… iya Bang”
"Selamat ya! Kapan ini
pestanya?!"
"Ssssttt!!!"
"Lah? bukannya beritanya
sudah heboh ya di kampus kita?" kata Hendrik yang spontan membuat Chika
melongo tidak percaya
Chika bingung menatap lama wajah
Rendra kosong seakan mencari sumber, darimana berita itu sampai bocor.
“Ini kan?” Hendrik menunjukkan
foto Chika berhadapan mencium tangan Izack di depan penghulu
Hendrik geleng-geleng tersenyum
lebar “Luar biasa kamu bisa mengikat orang besar seperti dia, Non”
“Loh, loh!!” katanya seakan ingin
protes, bahwa sebenarnya yang niat menjebak pernikahan adat itu justru Izack
bukan dirinya. Tapi ia berpikir lagi, dibanding kata-katanya. Orang jauh lebih
percaya dengan mass media, apalagi suaminya terkenal dingin dengan perempuan.
“Ah! Ya Sudahlah! Terserah apa
kata kalian”
“Darimana saja kamu? sudah
sembuh beneran?” tanyanya lagi
"Sembuh nggak sembuh, harus
sembuh Bang" tawanya nyengir
"Iya, bukan Luchika kalau
belum sembuh"
"Pulang sama siapa?"
"Sendiri lah"
"Lah?!!"
Tiba-tiba sesosok lelaki tua
dengan wajah bergelambir lemak itu mendatangi Chika tanpa sepengetahuannya.
Dari rautnya yang tampak berkesumat, Hendrik mulai khawatir akan terjadi
sesuatu.
“Chika,” panggil Hendrik cemas
isyaratnya
“Ya?” Chika menoleh
Ia melotot begitu melihat lelaki
berkumis tebal dengan perut yang selalu bergelambir lemak itu menatap Chika
geram.
“Mbak Chika, kapan kamu mau
bayar kost-kostan” suaranya lantang tanpa basa-basi
"Bukannya beritanya kamu
menikah sama Pengusaha kaya, ya?"
“Sudah telat dua minggu lho! Ayo
cepat bayar!!”
“Dar!!” Hendrik mengernyit
cemas, ia mendekatinya
“Pak, sebaiknya bapak ngobrol di
dalam saja, nggak enak dilihat orang kalau bapak marah-marah terus begini”
bujuk Hendrik
Suasana senyap, tak ada siapapun
di sana. Kecuali dua orang adik kelasnya yang sepertinya hendak berangkat
kuliah melirik Chika sekilas yang sudah berkaca-kaca di ruang tamu.
Sementara Hendrik diam-diam
memastikannya dari depan kamarnya sembari kesal menekan nomor Izack yang tak
segera diangkat.
"Izack, kasihan amat sih
istrimu, kena marah pak kost melulu" begitu pesan suara itu terkirim ke
smartphone Izack yang tergeletak di meja kantor.
@@@
Jam di atas dinding ruang tamu
menunjukkan pukul 10.30 WIB, tapi Chika belum juga beranjak dari tempat
duduknya memandang penuh pasrah sudut-sudut kamar yang mulai senyap.
Sapaan teman-temannya yang dulu
tak pernah menganggap keberadaan dia, kini begitu ada lelaki bak aktris yang
membopong dia ke Rumah Sakit spontan seperti seorang putri. Tapi Chika tak lagi
peduli. Ia lebih mementingkan nasib dirinya dibanding memikirkan sikap orang
lain kepada dirinya.
Begitu sampai di depan kamar,
jari-jemarinya terasa luluh tak bertenaga menarik gagang pintu yang sedikit
agak berat. Begitu terbuka, selembar tulisan di depan pintu seakan
berseru;
Selamat Datang di Kota
Peradaban,
Jalan Masih terlalu panjang
Hari Masih Terlalu pagi
Jangan pernah Pasrah
Jangan pernah menyerah
Karena menyerah, itu bukan AKU
Katakan; “Aku Pasti Bisa!!!”
Ia tersenyum lemah memandangi
tulisan yang ia tempel satu tahun lalu setelah ia pindah beberapa kali dari
kostan sebelumnya karena kenaikan tarif kamar.
Entah apa yang tengah ia
pikirkan. Bibirnya seakan mengembangkan senyuman pahit melihat tiap sudut kamar
yang ia perjuangkan tiap bulannya agar tetap bisa bertahan dan konsentrasi
menyelesaikan skripsinya.
Ya! Ini semua demi selembar
kertas yang bernama Ijazah.
Meskipun orang-orang seperti
Rendra sudah tidak menganggap penting lagi. Tapi inilah harapan terakhirnya
setelah namanya di black list dari masyarakat luas dengan gelar,
anak Komunis. Baginya itu fitnah kejam sepanjang hidupnya.
Tiba-tiba saja bibir lelaki tua
dengan wajah yang mulai bergelayut itu menawarakan senyumnya seakan
berkata
“Kamu pasti bisa, Nak!"
Spontan saja air matanya tumpah
dan bergetar terguguk menekan suara tangisnya.
“Bapak… aku sudah tidak
kuat...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara
pak Kost dari luar seakan menyentak lamunannya.
“Cepat beresi mbak, kamarnya mau
saya bersihkan. Besok anaknya sudah datang kesini”
Sebelum lelaki bertubuh gempal
itu membuka pintu kamarnya, sekonyong-konyong Chika menjejalkan pakaiannya ke
dalam ransel yang sudah mulai tipis kainnya termakan usia.
Dibanding teman-temannya, Chika
memang tak memiliki apapun kecuali buku dan baju yang hanya beberapa potong.
Kadang juga dengan sukarela ia menerima baju dari teman-temannya yang sudah
tidak terpakai. Sementara kasur, bantal, dan lemari adalah pemberian
teman-temannya yang sudah bosan menggunakannya. Daripada membuangnya, Chika
menerima itu dengan senang hati.
Ya, begitulah kurang lebihnya teman-temannya
di kost. Meskipun tahu beberapa orang tua dari mereka hanya seorang buruh, tapi
penampilan dan gaya hidup mereka di kota pelajar ini bisa dibilang hedon.
@@@
Siang itu matahari semakin
condong ke arah Barat saat Chika meninggalkan halaman kostan yang saat itu
mulai sepi. Ia juga tidak tahu kemana kaki harus melangkah. Selain tak punya
teman akrab, ia juga tidak begitu aktif dalam sebuah organisasi seperti
teman-teman mahasiswa lainnya karena terkejar kerja serabutan dan tugas kuliah.
Bagaimanapun, waktunya di kota
ini tidak banyak. Selain mengejar tugas-tugas mata kuliah, ia juga harus
banting tulang bekerja paruh waktu sebisanya untuk menyambung semua
kebutuhannya selama tinggal di kota itu. Jadi, ikut dan aktif organisasi itu
seperti buang-buang waktu percuma.
Sepanjang jalan ia berpikir akan
kemana kakinya harus diarahkan. Ia sempat terbayang ke Rumah Singgah dimana
Hendrik bekerja. Tapi ia ragu, karena di sana semuanya laki-laki.
Hingga terdengar adzan
maghrib, ia baru sadar merasakan nyeri sakit perut bekas potongan usus
luar biasa nyeri.
Dan langit benar-benar telah
gelap saat ia keluar dan membaringkan tubuhnya di atas rerumputan halaman
Masjid.
Ia ingat betul, hari ini adalah
hari Jum’at. Hari dimana kota itu seperti menyandarkan kepalanya yang
berat setelah lima hari bergelut dengan pengetahuan yang mereka bangun dari
pilar-pilar Kampus yang kini harus bersaing dengan bangunan Mall maupun
Apartemen.
Masihkah Pendidikan itu milik
semua anak negeri tanpa terkecuali, atau hanya milik segelintir orang yang
berkantong tebal seperti Heni dan teman-temannya.
“Hooohh… benar-benar melelahkan”
pikirnya merebahkan punggung di atas rerumputan yang mulai dingin, seakan ingin
menghempaskan ocehan pikirannya yang terus menggedor-gedor otaknya sepanjang
hari ini.
Entah berapa lama ia tertidur,
sadar-sadar ia terbangun oleh suara adzan isya. Chika pun bergegas ke kamar
mandi meninggalkan dua ranselnya begitu saja.
@@@
Di sisi lain, begitu ada kabar
seniornya dari Jakarta hendak datang malam itu, Heni duduk di depan kost
Hendrik bercerita ini itu tentang Chika yang tak pernah menganggapnya sebagai
sahabat, dan bersikap acuh.
Beberapa kali ia bercerita
tentang latar belakang Chika, tapi Hendrik tak pernah menghiraukan itu karena
di mata Hendrik dan teman-temannya, Chika gadis pendiam yang cekatan dan
pekerja keras. Bahkan mereka iba meskipun tidak tahu kebenaran isyu yang
mengatakan bahwa Chika adalah cucu tokoh komunis.
Bahkan Mahasiswa seperti Chika
nyaris saja tak ada waktu untuk kongkow-kongkow seperti layaknya anak-anak
mahasiswa lainya di pinggiran kampus. Ia harus kerja serabutan seadanya di kala
waktu senggang dari jam-jam kuliah.
Sejak siang tadi, foto Chika
memang telah tersebar di sosial media, berkat bantuan teman-teman AMI cabang
Yogya.
Bahkan ada yang mengatakan,
Chika adalah kekasih gelap ketua Umum PB AMI Jakarta yang sempat membuat gempar
kantor pengurus Besar hari itu.
Terdengar suara mobil diparkir
di depan kamar Hendrik, Heni langsung keluar menunjukkan wajah paniknya.
"Kemana tadi Chika,
Hen?"
Heni mulai menceritakan kejadian
siang tadi, tapi rupanya Izack sudah tak sabar. Ia justru memberikan komando
pada Hendrik untuk menghubungi kantor polisi dan meminta bantuan para senior di
kantor Cabang AMI untuk berpencar mencarinya.
"Apa nggak terlalu
berlebihan sih, Bro?"
"Kita cari saja dulu, nggak
usah minta bantuan kantor polisi"
"Ya sudah, terserah kau
lah"
“Kalian tahu, kira-kira dimana?”
“Kalau dia suntuk biasanya jalan
kaki pulang pergi melintasi sepanjang jalan menuju malioboro” jawab Heni
sekenanya
“What?!” keningnya mengernyit
spontan
“Tapi sepertinya nggak mungkin
karena kata teman-teman, dia bawa dua atau tiga tas ransel” ujar teman kost
Hendrik.
Spontan Izack menapuk wajahnya
sendiri kesal “Itu dia belum pulih benar” gumamnya kesal
"Lagipula bukankah kerugian
kanopy itu sudah kamu bayar, kan?"
“Persetan bener itu pak kostmu!”
gerutunya kesal
Alis mata Izack meriut
seakan memikirkan kemungkinan lain dibanding sekedar kurang bayar kost. Tapi
apa? ia tak menghiraukan itu, ia memilih segera keluar dan pergi menyuruh para
juniornya di cabang segera berpencar melakukan pencarian.
“Apa ada teman yang sering
dikunjungi?”
“Rendra” jawab mereka serempak
“Siapa itu?”
“Teman dekatnya?”
“Hm”
“Lelaki dengan rambut gondrong?”
“Hm”
Semua saling menoleh "Teman
dekat,"
"Pacar?" tanya Izack
"Sepertinya sih bukan,
orang itu juga sepertinya sudah punya cewek"
"Oh," wajah Izack kembali
datar
“Dimana kostnya?”
“Aduh, nggak tahu Bang…”
“Carikan info lagi, Hen…”
Izack bergegas pergi mengendarai
motor milik Hendrik yang diikuti beberapa orang lainnya.
“Haaawww… keren,” Seru seorang
gadis
“Sejak kapan dia peduli sama
cewek, Bang?” ujar gadis itu yang membuat Heni mencibir
"Mana ada lelaki yang tidak
peduli sama istrinya"
"Loh?! Beneran itu
pernikahan adat?"
"Terus kenapa sampai uang
kost saja nggak bisa bayar?" ujar Heni sinis
Hendrik melengos kesal mendengar
kata-kata Heni “Chika itu orangnya tidak sepertimu, Hen…”
“Dia nggak bakal ngomong soal
itu, dan tidak mudah mau menerima bantuan” cletukannya agak kesal dan ditinggal
pergi begitu saja
@@@
Malam kian pekat seiring
datangnya hawa dingin yang dalam sekejap menyelimuti udara kota Yogya. Di balik
jaket parasutnya yang tipis, gadis dengan rambut yang selalu dikucir sebahu itu
tak henti-hentinya menggosok-gosokkan telapak tangannya sekedar menghangatkan
tangannya yang mulai membeku.
Sementara cahaya bulan yang tak
begitu bulat sempurna pun mulai terasa keheningannya disaat pertokoan dan mall
mulai menutup pintu-pintu besinya. Begitu juga dengan hilir mudik kendaraan
yang tak pernah lelah mengebiri badan jalan kota yang terlalu pasrah dengan
keadaan gemerlapnya kota impian bagi para pendatang.
Sesaat langkahnya mulai lambat
dan terhenti di depan halaman parkir Toserba yang telah gelap ketika
pandangannya mulai berputar-putar lemas.
“Please, ayolah... Kuat!!”
pekiknya lirih menahan kepala yang tersandar pada batang besi baliho sambil
ngos-ngosan
“Mau kemana, mbak...” suara itu
spontan membuat Chika melotot kaget.
Begitu menoleh, ternyata seorang
perempuan dengan dua keranjang bambu di belakang sepeda tuanya berisi barang
rongsokan yang siap menggelar alas tidur.
“Oh...”
“Nggak tahu, Bu...”
“Lalu darimana?” tanya ibu itu
lagi yang membuat Chika tak enak
“Dikeluarkan dari kost,” ujarnya
singkat dengan suara tercekat di tenggorokannya yang kering membuat perempuan
itu melongo
Melihat penampilan Chika, si ibu
langsung paham.
“Oh…”
Sambil menyelonjorkan dua
kakinya si ibu pemulung menata nafasnya menatap kerlingan mata Chika yang terlihat
cekung dan letih.
“Mau minum, mbak?”
“Aku punya air putih, ini…”
ujarnya menawarkan sebotol air mineral yang sepertinya sudah diisi ulang
“Ibu masih punya yang lain?”
“Sudah… diminum saja, nggak
apa-apa”
Chika nyengir terbayang bekas
luka jahitnya “Tidak bu, terimakasih banyak”
“Nggak apa-apa mbak..” jawabnya
menyodorkan botol mineral yang tinggal separo
Setengah hati-hati Chika membuka
botol mineral tersebut dan pura-pura meminumnya.
“Ah, mbak... Sekarang apa-apa
serba mahal, tapi harga rongsok dari dulu sampai sekarang ya segitu-gitu aja”
“Rumah ibu dimana?”
“Jauh mbak...” ujarnya sambil
mengurut-urut kakinya
“Ibu nggak pulang?”
“Nggak cukup mbak. Naik bus ya
sekarang mahal, mending disimpen dulu. Kalau sudah dapat banyak baru bisa buat pulang”
Sambil menyangga dagu, ibu itu
tampak menerawang jauh
“Oalah mbak... Katanya dulu
Presidennya ini bela wong cilik. Tapi nyatanya, sama saja. Apa-apa jadi mahal,
tambah mahal”
“Kita
orang kecil, makin hari tambah sulit saja hidup di negara ini” curhatan si ibu
yang hanya didiamkan Chika menahan rasa kantuknya yang luar biasa, sementara terusik
rasa mual maag, bekas luka sayatan operasi serta luka usus yang baru disambung.
Ia mulai merasakan keringat panas dingin dari punggung mengalir hingga ujung
jari kaki, merasakn tubuhnya yang gemetar.
Melihat sekelebat bayangan
angkringan, spontan matanya kembali terbelalak. Dengan bibirnya yang kering,
nafasnya yang tersengal-sengal ia sudah tak sanggup lagi mengangkat dua
ranselnya seberat itu dengan jalannya mulai sempoyongan menjepit nyeri perut,
dan tak sanggup berucap pamit pada si ibu hanya menganggukkan kepala.
“Oalah... Cah ayu… mugo ndang
dipadangne dalanmu ya Nduk..” gerutu perempuan tadi sembari merebahkan
tubuhnya pada alas kardus.
Di saat pandangannya mulai
kabur, tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti tepat di sampingnya. Ia kira itu Izack,
langkahnya terhenti menunggu kaca jendela hitam terbuka otomatis. Namun wajah seorang
om-om muncul di balik itu dan menawarkan senyum pada dirinya menawarkan
tumpangan. Seketika keringat panas dingin sebagai tanda pertahanan tubuh fisik
maupun psikis terakhirnya dikerahkan total agar tetap sadar dan tidak limbung
langkahnya.
Dengan suaranya yang serak
kering cepat-cepat ia berkata “Oh, maaf Bukan” ujarnya langsung menelungkupkan
kedua tangannya ke dada menundukkan hormat seakan ingin menunjukkan harga
dirinya sebagai seorang gadis baik-baik. Tapi om-om itu masih saja merayunya
dengan kata-kata yang menjijikkan hingga ia berteriak.
“Hei belang!! mau aku potong
kemaluanmu apa?” teriaknya keras menyebabkan dua orang lelaki yang lewat pun
kaget menoleh kea rah Chika
“Plash!!!” sedan itu melaju
cepat
“Ada apa mbak??” sapa seorang
lelaki menghentikan sepeda motornya melihat teriakan Chika pada mobil sedan
yang sudah kabur.
“Oh, nggak apa-apa mas” jawab
Chika nyengir menahan rasa malu dan takut
“Hati-hati mbak, sudah malam.
Cepat pulang, jangan jalan sendiri lewat jalanan ini agak rawan” pesan lelaki
itu dan kembali pergi
Chika hanya nyengir menahan rasa
ngilu. Ia menepuk-nepuk dadanya keras, menahan deg-degan serta gemetar panas
dingin.
"Bagaimanapun, ternyata
perempuan itu butuh tempat berteduh" pikirnya menggeser persepsi tidak
butuh lelaki yang selama ini ia tanamkan kuat-kuat. Ia bahkan lupa dengan
maag nya yang makin melilit dan bekas luka yang nyeri bukan main mempertahankan
tas ranselnya yang ia bawa selama puluhan kilometer.
Tak jauh dari itu tampak tiga
orang lelaki berpawakan tinggi besar berjalan menuju ke arahnya sempoyongan
dengan membawa botolan-botolan kecil di tangannya. Lagi-lagi jantungnya berpacu
semakin cepat, rasanya ingin menjerit atau lari sekeras mungkin. Tapi ia sudah
tak sanggup lagi lakukan itu, hingga tiba-tiba ingat kata seorang teman, bahwa
orang-orang seperti itu sebenarnya terlalu lemah.
Dengan sekuat tenaga, gadis itu
berjalan cepat melintasi ketiga orang itu tanpa pedulikan lirikan dan tawa
mereka.
Begitu agak jauh dari mereka,
Chika menghela nafas sembari menahan bekas luka jahitannya mendengarkan
pikirannya yang riuh.
"Jangan buat angkat
berat-berat dulu ya mbak" suara perawat itu masih terngiang betul.
“Oh... Apa baiknya aku tinggal
di kost Rendra kah?” pikirnya yang spontan membayangkan harus balik arah,
sementara tenaganya hampir putus.
"Tapi bagaimana jika
ketahuan Kak Izack?" pikirnya
“Ah!!”
Tak terasa ia mulai merasakan
gemetar hebat menjalar dari kedua kakinya hingga punggungnya terasa panas
dingin bercampur mual dan pandangan berkunang-kunang. Kecuali air kran masjid
tadi yang terasa segar, ia bahkan lupa mengganjal perutnya sejak pagi tadi
menelusuri jalanan kota yogya sembari mengingat-ingat jalanan menuju Rumah
Singgah yang kira-kira 15menit jika naik kendaraan.
"Dimana kamu sekarang,
Ren?" gerutunya kesal menyentuh screen smartphone yang sudah kehabisan
daya, begitu melihat dua orang pemuda gondrong mirip Rendra duduk dalam tenda
angkringan.
Di kota ini, entah sejak kapan
angkringan itu mulai berubah jadi kedai kopi atau cafetaria dengan bandrol
makanan ringan yang tentu jauh lebih mahal karena tampilan fisik yang lebih
menarik dan katanya serba fresh.
“Teh hangat satu, Mas” pinta
Chika segera duduk di bangku panjang. Ia melongok keranjang gorengan yang kini
telah ditumpuk jadi satu dan tak tersisa satu pun.
Dua orang lelaki yang tengah
asyik ngobrol, tiba-tiba saja berhenti begitu kedatangan Chika. Keduanya
berbisik lirih seperti tengah membincangkan dirinya, yang sesekali curi-curi
pandang memastikan wajah di layar smartphonenya.
“Malam-malam begini mau kemana
Mbak?” tanya si penjual itu melihat ranselnya yang tampak berat.
“Istrinya Kak Izack ketua umum
AMI kan, ya mbak?” cletuk dua orang lelaki itu menyela,
“Hemm?!” Chika mengangkat alis
“Haha... kamu salah orang mas”
tawa Chika lebar seakan ingin mengalihkan suasana
“Mau kemana mbak?” tanya mereka
lagi
“Baru datang dari rumah,” jawab
Chika sekenanya
“Oh...” jawab mereka tersenyum ringan
seakan tidak percaya.
Begitu segelas teh lenyap dari
mulutnya, Chika mulai merasa tidak enak begitu mendengar lelaki itu keluar
menelpon seseorang yang sepertinya ditujukan pada dirinya. Buru-buru ia keluar
demi menghindari pertanyaan lain dari mereka, sebelum akhirnya telephon itu
diputus.
“Darimana juga mereka tahu aku
ini istrinya Kak Izack?”
“Haduh?!! Benar-benar
memalukan,” gerutunya ngeluyur cepat seperti ingin lari menghilang
Sejak itu pikirannya kian
berkecamuk kemana-mana terpikir berbagai kemungkinan terburuk dari dua orang
lelaki itu. Bahkan kini dengan sisa-sisa tenaganya, ia mulai menggertakkan
otot-ototnya seakan siap beradu.
“Beem-beem!!”
Spontan Chika meloncat, ia
hendak naik ke atas trotoar. Tapi tenaganya benar-benar sudah habis dan menggerutu
kesal.
“Beem-beem!!” bunyi klakson
berkali-kali di belakangnya membuat ia berjalan menepi. Bahkan pikirannya yang
riuh semakin gaduh mendengar suara klakson motor yang nyaris memecahkan gendang
telinganya.
Saking tak tahannya dengan suara
klakson, spontan dibantingnya tas ransel dengan sekuat tenaga. Ia melotot kesal
seakan menantang pengendara motor di belakangnya.
“Hei Bung!” teriak Chika
bersungut-sungut dengan sisa nafasnya tersengal-sengal.
Begitu lelaki itu membuka helm,
tubuhnya mendadak terbius. Berkali-kali ia membenjatkan matanya yang mulai
kabur, tapi senyuman itu justru makin mengembang.
“Ayo pulang,” sapa Izack seakan
menyurutkan bara api yang hendak kembali terbakar.
Saat itulah ia melihat matanya
berkaca-kaca hingga menitikkan air mata deras dan limbung terpekur menekuk
kedua lututnya menangis kesal.
Chika masih belum percaya sampai
lelaki dengan celana jins biru gelap dan sweeter merah hati itu turun dan
memungut ransel yang dibantingnya. Perlahan namun pasti ia berusaha
menahan tangisnya hingga nafas pun mulai terasa mencekat tenggorokan.
Seperti selesai bertarung, nafasnya
tersengal-sengal melawan emosinya yang nyaris saja meledak. Sementara Izack
hanya mengembangkan senyumnya dan jongkok persis di depan gadis dengan wajah
kini tampak tirus dengan kantung mata gelap dan cekung. Gadis itu sudah
tak bisa membendung rasa kesal dan letih luar biasa membuat punggungnya
terguncang hebat oleh tangisnya.
“Syukurlah istriku masih bisa
menangis” ujar Izack membelai dan menyibakkan rambutnya yang kini tergerai
lepas dari karet kucirnya.
“Siapa yang nangis?” elaknya
menghapus air mata
“Sudah makan?”
Chika menggeleng yang membuat Izack
hanya tersenyum lebar.
“Ayo makan dulu” katanya sembari
berdiri mengangkat dua tas ransel itu. Tapi begitu diangkat
“Breee…ttt!!” suara tas itu
robek hingga memuntahkan semua isinya yang memperlihatkan semua baju dan
pakaian dalamnya yang usang serta buku-bukunya yang ketekut-tekuk.
Bukan main wajah Chika terasa
dicambuk malu. Ia langsung meraup semua barang-barangnya dan merebut ransel
yang masih dalam gendongannya membuat sorot matanya tampak sedih melihat
pemandangan pakaian usang istrinya.
Biasanya cewek di luar sana
ketika taraf hidupnya sedikit meningkat, ia sudah merubah semua penampilannya.
Tapi apa yang terjadi dengan istrinya ini diluar dugaan. Ia tidak berubah sama
sekali. Ia kira ketika meninggalkan semua pakaian yang dia beli waktu di
Jakarta bakal membeli baju lagi dari kartu debit yang dia bawa. Tapi ternyata…
“Apa sebenarnya yang dipikirkan gadis
ini?” pikir Izack menatap wajah Chika yang tengah memunguti barang-barangnya.
“Breee…ttt!!” lagi-lagi tas itu
robek saat direbut Izack. Chika tampak putus asa dan kesal, ia menahan suara
tangisnya sembari menekan semua barangnya masuk, namun yang terjadi robekan tas
makin menganga.
Mata Izack yang bulat dan besar seakan
tengah memburu sesuatu di tiap sudut kota yang mulai redup dan sepi. Barangkali
masih ada satu-dua toko tas yang masih buka.
“Tunggu di sini dulu, jangan
kemana-mana” katanya segera menggeber motor tancap gas.
Pandangan berkunang-kunang,
perut mual disertai keringat dingin yang mengucur dari pelipis serta entah
bagaimana melilitnya lambung itu memelintir usus nyaris saja sudah tak terasa
dibanding keseimbangan tubuhnya yang nyaris limbung.
Sementara angin malam yang
sesekali menyapu badan jalan di depannya serasa kian membekukan tubuh kurusnya.
Lalu lalang kendaraan pun mulai sepi, bahkan beberapa menit badan jalan itu
tampak lengang dari kendaraan yang melintas di atasnya.
Entah berapa lama kemudian
sayup-sayup terdengar suara motor dari jauh yang digeber dengan kencangnya dan
perlahan berhenti tepat di depannya. Chika hanya bisa melihatnya sejenak
dan jongkok terpekur lemas mendekap dua ranselnya.
“Masukkan sini aja” katanya
sembari meletakkan travel bag itu tepat di depannya dan membiarkan gadis itu
menatanya sendiri.
Tapi belum sanggup ia menata,
tiba-tiba telinganya mendenging lama dengan tubuhnya yang dingin dan bibirnya
yang pucat tiba-tiba.
“Brukkk!!!” tubuhnya jatuh
tersungkur
"Chika?!
Chik..!"
Izack menekan beberapa tombol di
smartphone hingga datang ambulance dan beberapa orang temannya. Orang mulai
ramai berdatangan. Bahkan beberapa teman AMI segera berdatangan.
"Tolong bereskan, nanti
bawa saja ke rumahku. Ini kunci motornya, kembalikan ke bang Hendrik"
"Oke Bang,
siap" sayup-sayup Chika mendengar suara itu dengan tubuhnya yang tak
bisa digerakkan lagi. Ia sadar tubuhnya tengah digeladak masuk ke dalam mobil
putih.
"Terimkasih informasinya
dek," ujar Izack
"Sama-sama Bang,"
"Anak mana?"
"Veteran, Bang"
"Oke, kapan-kapan kita ngobrol
deh sepertinya" ujar Izack yang membuat dua orang Mahasiswa itu senang
bukan main, sembari masuk hingga terdengar suara pintu ambulance ditutup dan
kesadarannya kembali hilang.
Waktu seakan cepat bergerak dan
sunyi saat ambulance itu meninggalkan lokasi itu diiringi Izack mengikuti dari
belakang ambulance.
@@@
Dua jam kemudian
Saat mata kembali terbuka, ia sadar
mendapati dirinya dalam sebuah ruangan dengan botol infus yang tergantung di
atasnya terhubung dengan selang di pergelangan tangan. Melihat wajah lelaki di
seberang bed nya tertidur pulas ia merasa bersalah atas kejadian beberapa hari
yang lalu saat ia meninggalkannya di pagi buta saat ia masih terlelap.
Hidungnya yang mancung dengan
kulitan cukup tebal namun tampak halus cukup sempurna dengan alis matanya yang
tebal dan kelopak matanya yang besar. Jika dilihat dengan teliti, sebenarnya ia
tampak biasa-biasa saja, tapi entah dari sisi mana orang-orang mengatakannya
jika ia adalah lelaki tampan.
Perlahan tangan kirinya melepas
cungkup oksigen yang menutup mulut dan hidungnya. Kini ia merasakan nafasnya
kembali normal sekalipun masih terasa pusing saat harus mengambil posisi duduk.
Izack yang terbangun kaget mendapati istrinya hendak bangkit dari tidurnya, ia
membantu menekan tuas bed otomatis hingga bed itu menekuk dalam posisi duduk.
“Gimana? Mau minum?” tanyanya
“Kenapa nggak tidur di sofa
saja, Bang?” suaranya lirih
Ia beranjak mengambilkan segelas
air putih dan membantu meminumkannya hingga gelas itu kosong, namun ia masih berdiri
terpaku menatap wajahnya lekat-lekat.
“Apa salahku, kenapa menatapku
seperti itu?”
Izack tetap diam menatap lama
dengan matanya yang bulat dan besar tampak tajam dengan kerutan diantara alis
matanya yang tebal.
“Masih merasa nggak bersalah?”
Chika hanya nyengir tidak enak
dengan peristiwa kepergiannya tanpa pamit waktu di Apartemen.
“Maaf… kalau aku pamit, pasti
bakal nggak kamu ijinkan”
Izack tampak bingung dengan arah
pembicaraannya, tapi paham kemudian dan tersenyum geli.
“Kualat kamu,” senyumnya geli
membuat lirikan mata Chika tampak kesal
Lelaki itu masih saja berdiri
dengan pandangannya kembali tajam.
“Kenapa ada kejadian seperti ini
tidak langsung ngomong ke aku? Atau… seribu satu cara untuk tidak pergi dulu
dari kost? Sadar kalau organ dalammu baru saja di repair”
Chika merasa kecele dan nyengir
menampakkan gigi-giginya yang putih kecil masih rapi.
"Sudah aku ingatkan
kemarin, tidak banyak gerak dulu"
"Eh...? nekat bawa tas
ransel"
"Kalau sampai terjadi
sesuatu, harus dibedah lagi, penyembuhan lebih lama lagi" baru kali ini ia
mendengar lelaki ganteng itu ngomel-ngomel dengan nada khawatir.
"Iya Bang, maaf.."
Chika risih mendengar lelakinya berisik
“Kemarin kan aku sudah bilang
kalau urusan Skripsi bisa kamu kerjakan di Jakarta, KKN diundur dulu semester
depan. Nanti kalau butuh sesuatu aku kontak ke teman-temanmu untuk minta
tolong”
Perlahan namun pasti, ia
menggigit bibirnya sambil perlahan tertawa nyengir kesakitan.
"Puas?!!" cletuk Izack
kesal membuat Chika nyengir kesakitan dengan matanya berkaca-kaca berusaha
kembali ia telan.
"Nangis saja kalau ingin
menangis"
"Siapa juga yang mau
nangis" tawanya getir hingga segelintir air mata membasahi pipi.
Izack tersenyum geli sembari
menyeka air matanya "Kamu ini benar-benar keras kepala"
"Sama biaya Rumah Sakit
untuk saat ini, fix kamu harus melunasi hutangmu" lagi-lagi Izack
menertawakan istrinya yang disambut suara tangis dan tawa bercampur aduk jadi
satu.
"Hadeuh gadis kecilku… jadi
tambah gemes sama kamu" cubit pipinya
"Aku kasih trik, kalau mau
lunasi semua hutangmu" tawa Izack terkekeh
Chika menarik nafas kesal
"Kenapa ini orang nggak perasaan sekali bicarakan hutang pada orang yang
sedang sakit" pikirnya
"Turuti semua perintahku
selama 1 tahun"
"Mending kerja, daripada
jadi pembantumu"
"Ya sudah, kalau begitu
kembalikan uangku" suaranya mendadak serius berat karena hingga hari ini
ia belum mengerti bagaimana karakternya yang dianggapnya lemah namun ternyata
keras kepala.
"Ehh...
tunggu-tunggu!"
“Apa saja?"
"Lakukan pekerjaan layaknya
seorang istri pada suami"
"Asalkan nggak yang
aneh-aneh"
"Aneh? misalnya?!" Izack
mengulum tawa geli melihat raut wajah imutnya bingung campur malu mengalihkan
pandangan matanya.
"Chika... Chika, orang yang
masih pacaran saja bisa bangga bilang begitu. Kita yang sudah nikah kok jadi
aneh"
Lagi-lagi Izack tak tahan
melihat wajah polos Chika yang mencari-cari pengalihan perhatian, ia mencuri
ciuman di bibirnya sekilas membuat gadis itu kaget. Lelaki itu tersenyum
lebar melihat ekspresinya seperti anak bayi yang terkejut.
"Nah, semoga sesegera
mungkin punya anak" tawa Izack geli
Raut Chika yang lumer sesaat
dengan ciuman, mendadak tampak kaku dan mengusap bibirnya bekas ciuman lelaki
yang dianggapnya sebagai playboy "number wakhid"
"Sialan! kenapa juga aku
jadi terperangkap rasa suka dengan orang ini?" pikirnya yang kali ini lebih
berani menatap
"Sudah berapa puluh gadis
yang pernah kamu cium, Bang?" ujar Chika datar membuat ekspresi Izack tertusuk
dan menarik nafas dalam.
"Aku dengar ada gadis
cantik anak mentri, lulusan luar negeri yang bakal menjadi istrimu?"
Kali ini Izack membuang muka dan
kembali menghadapkan wajahnya dengan menarik nafas kesabaran penuh. "Kamu
dengar dari siapa?"
Chika diam menatap lekat-lekat.
“Apa karena kata Mama memintamu
untuk menjagaku sebagai seorang istri?" tanyanya lagi
"Bukankah itu wajar karena
kita suami istri?"
Chika membuang muka kesal
"Bang, coba pikirkan andai
kamu ada dalam posisiku"
"Tidak punya keluarga,
paman pun keluarga kere, bahkan aku bisa sekolah di sini saja sudah banting
tulang siang malam”
“Lalu tiba-tiba saat aku mau
lulus disuruh melayani kamu?"
"Betapa menghinanya dia menganggapku
sebagai seorang Babu"
Spontan Izack bengong dan
tertawa cekikikan membuat Chika meriut bingung "Jadi seperti itu pikiranmu?"
pikirnya mampet glagepan.
"Chika, kamu sadar aku ini
siapa?"
“Seorang CEO?”
"Apa peduliku?"
“Tidak, tidak!! maksudku…”
“Ya! Anak haram yang dengan
bangga mampu melewati masa kritisnya dan ingin mengatakan pada gadis miskin
sepertiku “Hey! Lihat, contohlah aku”
“Begitu, kan?” Izack menelan
getir sikap keras kepala gadis di depannya. Ia duduk dan diam menelan seribu
kesabaran di udara.
“Maksudku, kamu tahu bagaimana
aturan berkeluarga di masyarakat kita kan?"
“Bagaimana harusnya seorang
istri menjaga stabilitas suaminya”
"Aku nggak peduli," nadanya
ketus membuat raut Izack berubah seketika
"Oke, cukup" ujarnya
beranjak bangkit
"Kalau kamu niat ajukan
gugat cerai ke pengadilan agama, silahkan saja. Aku akan menunggu dan
menuntutmu balik" suara Izack kali ini benar-benar terdengar kesal
dan sengit.
"Jangan lupa tolong siapkan
uang 200 juta untuk semua. Saat ini perusahaan juga sedang butuh uang"
Ujarnya segera bangkit dari tempat duduknya dan keluar.
"Bang! Bang!!
Tunggu!!" panggilannya tak digubris dan kaget dengan pintu yang kasar
ditutup
“Kenapa hanya dengan kata-kata
seperti itu saja sudah marah beneran?”
Chika diam dan bengong dengan
kata-katanya yang kasar hingga perasaannya kembali gusar. Tapi mendengar pintu
diketuk ia sudah lega. Namun begitu yang dilihatnya Heni, Hendrik dan
teman-temannya, spontan rautnya mencelos.
Sepanjang obrolan ia benar-benar
tampak kalut berpikir uang sebanyak itu harus dapat darimana sementara
hutangnya di Bank masih kurang 1tahun lagi.
Melihat wajah Chika, Hendrik
merasa mereka dalam masalah
“Kemana?” tanyanya penuh isyarat
“Kamu nggak ketemu tadi?”
Hendrik menggeleng
“Lagi ada masalah?”
Chika diam tak menjawab yang
hanya dijawab dengan tarikan nafas Hendrik
“Chika… Chika”
“Aku tahu kamu itu cewek
mandiri”
“Tapi tolonglah berempati
sedikit saja dengan kerja keras Izack selama ini untukmu”
“Meninggalkan pekerjaan dan
urusan organisasi selama seminggu bagi seorang pimpinan perusahaan dan ketua
umum organisasi Mahasiswa sebesar AMI disaat ada banyak masalah yang harus
diselesaikan itu berat loh…”
“Berapa banyak dia dihujat
anak-anak AMI se Indonesia gara-gara itu, dan dia membersihkan berita itu hanya
karena takut kamu tahu”
Chika menelan saliva seakan
tertusuk. Tapi tak bisa dipungkiri, ia pun sebenarnya merasa sakit hati dengan
kata-kata ibunya yang seakan mencencang dirinya agar tidak pergi jauh-jauh dari
Izack.
“Tahu nggak sih, beberapa hari
yang lalu katanya dia baru keluar dari Rumah Sakit”
“Sakit apa?” tanyanya kaget
“Nah, malah tanya”
Tatap Hendrik dalam
“Dia itu tulus mencintaimu,
Chik..”
“Kalau kamu sering membuatnya
kecewa, aku khawatir akan menyesal saat dia sudah benar-benar tak mau melihatmu
lagi” kata Hendrik yang spontan membuat nyali Chika menciut
“Dia itu lelaki idaman para
cewek. Tapi kamu yang dikejar-kejar dia, benar-benar melelahkan” ujar Hendrik
seakan membungkam mulut Chika
“Tolong pikirkan ulang,”
“Seorang perempuan itu mempunyai
peran penting dalam kesuksesan seorang lelaki”
“Ketika nama dia terangkat,
sudahlah… keinginan apa yang tidak bisa kamu raih?”
“Bahkan hari ini, banyak cewek
di luar sana yang iri dengan posisimu”
Melihat seniornya ngobrol serius
dengan Chika, mereka yang duduk di sofa ngobrol sendiri mendadak terdengar sepi
seperti sedang menyimak kata-kata Hendrik.
Begitupula dengan tatapan mata
Heni yang tajam tak suka, ia merasa bersalah dan menundukkan pandangannya
hingga mereka pun kembali ngobrol dan mereka pamitan pergi sebelum akhirnya Izack
kembali datang dengan membawakan makanan ringan.
@@@
Malam berganti pagi, lelaki
dengan rambut disasak rapi itu masih duduk di sofa dengan mata yang tak pernah
berpindah dari layar monitor laptopnya.
Saat perawat datang di jam
05.30, hingga visit dokter di jam 09.30, Izack tetap tak berkutik dari layar
monitornya sambil beberapa sibuk mengangkat telphon atas kiriman surel ke orang
di ujung telphonnya.
Beberapa kali ia berusaha
mencari celah untuk bicara, tapi lelaki itu benar-benar sudah tidak menggubris
keberadaannya lagi. Bahkan keberadaanya benar-benar sudah tidak dianggap.
"Bang,"
“Aku… minta maaf sama kata-kataku
kemarin” ujar Chika berat dan dalam
"Toh pada akhirnya memang
akan seperti ini, kita tidak sekufu seperti yang Mamamu harapkan dalam
kehidupanmu" ujarnya
Chika menarik nafas perlahan
“Adanya aku berusaha mengangkat
harga diriku. Aku ingin, mereka melihatku sebagai perempuan yang punya kemampuan”
Izack menuliskan selembar notes yang
ia tempelkan di kulkas dan buru-buru pergi tanpa pamitan.
Saat itu pula perasaan Chika
seperti terjun bebas dari ketinggian tebing hingga setitik air mata jatuh
berderai membasahi bantal yang ia gamit.
Ia penasaran dengan tulisan yang
ditempel suaminya, ia bangkit dan berdiri melangkahkan kaki menarik notes yang
ditempel.
Jika hanya itu yang perlu aku dengarkan
di sini, aku pulang ke Jakarta. Masih banyak urusan lain yang lebih penting.
Hari menjelang sore, Izack belum
muncul juga. Kecemasannya kembali naik hingga panik di saat dokter mengatakan
dirinya boleh pulang. Ia tidak tahu bagaimana membayar tagihan Rumah Sakit
dengan ruangan sekelas VIP. Saat perawat kembali masuk membantu melepas semua
peralatan, kepanikannya makin bertambah membayangkan bagaimana ia harus
membayar tagihan itu.
"Kemarin itu suaminya
mbak?" tanya dua orang perawat yang membantu Chika melepaskan infus
"Keren ya mbak... ganteng,
sabar, baikan pula"
"Beruntung sekali punya
suami seperti itu mbak" ujarnya lagi
Chika hanya tersenyum getir. Ia
merasa tulang-tulangnya seakan rontok mendengar pujian suaminya yang sepertinya
bakal menceraikannya dalam beberapa jam mendatang.
"Nanti mbaknya pulang sama
siapa?"
"Sendiri"
"Loh? suaminya?"
tanyanya seakan menahan Chika yang hendak turun dari bed
"Dia ada urusan penting
dengan pekerjaannya"
"Oh..”
"Okey.. sudah selesai
mbak... bisa buat jalan, tapi pelan-pelan ya.. jangan buat angkat berat-berat
dulu" pesan singkat perawat
Sore itu langit mulai tampak
mendung. Chika yang sudah terbiasa mandiri, tidak merasa heran ataupun berat
dengan kondisi sendirian pasca keluar dari Rumah Sakit sekalipun jika
dirasakan, masih belum fit 100%. Sementara Izack hanya mengamatinya dari
kejauhan saat ia berdiri di depan pintu keluar Rumah Sakit.
“Ohh.. syukur ya Allah… aku
masih diberi waktu untuk bisa melihat awan lagi” gumamnya lirih mendongakkan
wajah yang tampak tirus.
Saat ia keluar dari Rumah Sakit,
Izack mulai mengikutinya dari jarak beberapa meter di belakangnya. Tak lama
kemudian bunyi ponsel dalam genggamannya kembali bergetar.
"Bang, ternyata yang
membuat skandal buruk kekasihmu di kost itu teman dekatnya"
"Siapa?"
"Heni,"
"Oh,” jawabnya “Sudah tahu
aku, kalau dia”
“Apa motifnya"
"Nggak suka aja,"
"Tapi katanya ada hal lain
yang membuat dia baikan sama kekasihmu"
"Kenapa?"
"Karena kamu pendekatan
sama dia"
"Jadi kalau boleh aku
simpulkan, berita dia anak komunis nyebar di kost putri itu karena mulut
Heni"
"Ok, baiklah. Trimakasih
infonya Zin"
"Sama-sama Bang"
Sedikit lengah, Chika terlanjur masuk
ke bus trans. Izack segera mencegat ojek driver yang tengah mangkal di depan
halaman rumah sakit
"Tolong ikuti bus itu
pak"
"Ya mas"
Entah berapa kali bus itu berhenti
di Halte, tapi Chika tak turun juga.
"Kali ini mau kemana kamu,
Non...?" pikir Izack dengan mata tetap awas mengamati tiap kali penumpang
turun dan masuk halte. Hingga bus itu masuk ke Terminal, Izack segera turun
mengikuti langkah Chika dari jauh.
Gadis itu kembali masuk Bus
Antar Kota- Antar Provinsi, diam-diam Izack mengikutinya dan duduk di jok pojok
paling belakang.
"Seperti apa sebenarnya
kehidupanmu?" pikir Izack penasaran
Saat kondektur meminta tiket, Izack
menyuruh ke tempat gadis rambut panjang pirang itu dulu, dan berjanji akan
membayar double, tapi tidak boleh mengatakan kalau dia yang membayarkan.
Kondektur itu sepakat.
Bus baru terisi separo dari
kuota tempat duduk keseluruhan. Begitu tiba, giliran Chika ditanya kemana, ia
menjawab Wonogiri.
Tapi Chika merasa aneh dengan
tiket yang diberikan, ia tidak langsung diminta uangnya. Berulangkali Chika
tanya, tapi si kondektur Bus pura-pura tak mendengar. Hingga beberapa saat
kemudian ia menoleh ke belakang, memastikan barangkali ada orang yang dikenalinya.
Tapi Izack yang lebih tinggi badannya sengaja menenggelamkan tudung topinya di
antara deretan jok kursi bus paling belakang.
Saat kondektur kembali ke
belakang, Chika berusaha memanggilnya. Tapi tetap saja tak dihiraukan.
Kondektur itu mulai senyum-senyum
mendekati Izack dan memberikan jumlah tagihan tiket yang harus ia bayar. Izack
langsung membayarnya.
“Cewekmu ya mas?”
“Hm, iya Bang..”
Hari mulai gelap saat Bus tiba
di kota Wonogiri. Si Kondektur sengaja membangunkan Izack yang telah tertidur "Mas,
mbaknya sudah mau turun itu"
Izack cepat-cepat berdiri di
depan pintu paling belakang.
Begitu Chika turun, Izack pun
ikut turun beberapa meter darinya. Saat itu Chika berjalan pelan seakan ingin
menikmati kesendiriannya lagi. Ia merasa dirinya seperti sedang dimainkan
oleh takdir yang tak pasti. Ia berhenti sebentar masuk ke sebuah toko untuk membeli
keperluannya, termasuk mie instan dan beberapa makanan ringan. Izack berhenti
beberapa meter darinya sembari memeriksa pesan masuk di ponselnya. Tapi rupanya
ia terlalu lengah dengan kondisi yang sepi. Saat Chika keluar dari toko
terkejut saat dua pasang mata itu saling berpapasan menatap satu sama lain.
“Kamu, Bang…” Chika melongo
membuat Izack gelagepan bingung memposisikan dirinya yang berdiri di bawah
tiang lampu PJU membaca beberapa pesan yang masuk.
Waktu sejenak seakan terhenti. Izack
bingung mencari-cari alasan, sementara Chika masih belum percaya lelaki itu ada
di sana.
“Ada apa kamu di situ?”
“Eh..”
“Janjian sama teman”
“Oh..” jawab Chika masih belum
yakin sambil berjalan meneruskan langkahnya
“Punya teman di Wonogiri?”
“Hm,”
“Kamu sendiri ngapain
juga keluar Rumah Sakit sampai sini?”
Chika melongo bingung hendak
menjelaskan. Keduanya seperti orang yang sedang naksir satu sama lain, hingga
suasana kikuk pun menyelimuti hingga Chika pun mengembangkan senyumnya membuat Izack
bingung.
“Selama beberapa minggu
bersamanya, baru kali ini aku bisa melihat senyumnya yang tulus” pikirnya
sambil memberanikan diri jalan menuju tempat dimana Chika berdiri
“Kamu tahu kan, aku ini
kelahiran sini”
“Oh.. terus??”
“Ya pulang lah”
“Ke rumah orang tuamu?”
“Hm,” jawab Chika blak-blakan
“Lewat sana?” tunjuknya pada
jalanan sepi yang masih berupa perkebunan dan persawahan yang luas
“Kenapa nggak naik ojek aja?”
katanya yang hanya digelengkan Chika
“Aku lagi ingin jalan kaki aja,
sendiri”
“Nggak takut?”
“Siapa yang mau culik cewek miskin
jelek sepertiku, Bang”
Sembari memasukkan kedua
tangannya ke kantong celana, ia menarik nafas dalam seakan ingin menghirup
udara segar malam itu sekedar mengambil sejuta kesabaran untuk meyakinkan gadis
yang dicintainya ini cantik luar dan dalam.
“Kalau jelek, mana mau aku
menikahi kamu?” ujarnya lirih yang nyaris tak terdengar
“Ayok!” kata Izack berjalan
lebih dulu membuat lirikan mata Chika aneh dan bingung
“Terus temanmu?”
“Gampang, nanti” jawab Chika
bingung menebak-nebak mengikuti Izack yang berjalan mendahuluinya
“Kamu benar ada janjian sama
teman?”
“Hm,” Chika masih berpaling mengamati
mimik wajah Izack
“Bukannya kamu bilang mau pulang
ke Jakarta?”
“Hm, tapi di jalan tadi
ditelphon teman diajak janjian ketemuan di sini”
Chika manggut-manggut kembali
melirik curiga.
“Hm, sebegitu pentingnya
pekerjaan di matamu… Sampai-sampai Istrimu kamu tinggal di Rumah Sakit” pikir
Chika kesal.
“Hebat ya, dari arah Barat
mau-maunya putar balik arah ke Timur, jauh” ujarnya dengan segaris senyuman
mewarnai bibir tipisnya
“Kenapa?” tanya Izack balik
sambil tersenyum mendongakkan wajahnya ke angkasa
“Ah.. aku lebih capek mengikuti
apa maumu daripada mengurus pekerjaan” ujarnya tenang setengah ragu hendak
merangkul pundaknya, tapi ia kembali menurunkan tangan dan memberanikan diri
menggenggam tangan yang hanya dibiarkan gadis itu hingga keduanya saling
berpaling dan tersenyum.
“Ternyata jalan kaki di malam
hari itu menyenangkan juga ya?”
“Hahhh… kamu, Bang” cletuk Chika
seakan ingin mengingatkannya dua hari lalu yang spontan disambut tawa Izack
“Itu kualat, namanya”
“Pulang nggak pamit, tahu-tahu
diusir”
Chika tertawa ngikik
membayangkan kebodohannya dan kesialannya diusir pak kost.
“Puas??”
“Mau dicoba lagi?”
Kali ini Chika belajar mengalah
dan membiarkan dirinya ditertawakan lelaki yang sudah beberapa kali
menyelamatkan hidupnya.
“Ya! Setidaknya aku menjadi
bagian dari kehidupannya saja sudah lebih dari cukup” pikir Chika berusaha
mengalah
“Ah… seberapa keraspun aku
berusaha melindungi diriku sebagai seorang perempuan, tetap saja bisa mati kutu
jika ketemu om-om mesum di jalanan atau pemabuk di pinggir jalan”
Malam itu udara terasa ringan. Hampir
tidak ada sehelai angin pun yang lewat. Melihat gerak bulan keemasan di langit
yang gelap, Chika menarik nafas dalam teringat kemarin saat ia nggembel di
jalanan.
“Andaikan aku nggak menjemputmu
malam itu, mau kemana kamu?”
“Pulang kemari lah”
“Aku benar-benar capek dengan
kehidupanku yang seperti roller coaster” jawab Chika yang hanya diamati Izack.
“Seandainya kamu mau mengikuti
perkataanku, mungkin tidak serumit itu masalahnya, Non”
Chika menarik nafas kesal. Tapi
ia sadar tidak akan merusak suasana itu lagi hingga ia memilih diam dan
mengalah mendengarkan kata-kata Izack sepanjang jalan.
Begitu sampai di tengah
perkampungan, Izack kaget saat mengikuti langkah Chika menerobos masuk semak
belukar gelap dengan dinding pagar batu setinggi dada orang dewasa yang
mengitari semak belukar tersebut.
“Nggak salah, kamu?” kata Izack sempat
menarik ujung kain hem hentikan langkahnya sejenak, namun Chika terus saja
berjalan menapaki jalan berupa bebatuan yang ia terangi dengan senter Hp.
Dalam beberapa langkah kemudian
ia terkejut melihat bangunan rumah tua dengan pondasi tembok terlihat kokoh dari
bebatuan yang sengaja dibuat ornament lekukan, sementara tinggi dinding kurang
lebih tujuh meter dari tanah.
Izack sempat terpanah dengan
bangunan tua yang tampak megah dan kokoh ala bangunan Belanda. Ia tidak
menyangka, gadis yang mengaku dirinya miskin ini punya keluarga di luar dugaan.
Izack juga mengira bahwa Chika ini benar-benar miskin, mengingat bagaimana
keadaan dan rumah pamannya yang seperti itu.
“Siapa kamu ini sebenarnya?”
pikir Izack mengamati sosok Chika dari belakang yang tengah kesulitan membuka
pintu.
Ia menyusul Cika menaiki tiga
anak tangga yang lebarnya sekitar 1,5m, dimana pembatas tangga itu menempel
jadi satu dengan dinding ruang utama yang terbuat dari jendela kaca berbingkai
kayu kotak-kotak selebar 5m x 2,5m. Begitu pintu dibuka, seperti sudah hafal betul Chika
berjalan dalam kegelapan ruangan dan menyalakan saklar lampu bohlam kuning
keemasan di atapnya yang tinggi.
“Wow?!!”
Izack tertegun dengan luas dan tingginya ruangan.
Ada
lima pintu utama dengan kusen setinggi 4m dan dua daun pintu se lebar 1,5m. Dua
pintu utama di kanan ruangan, dan dua pintu utama di kiri yang salah satunya
pintu masuk, dan satu pintu lagi dengan lebar kurang lebih 3,5m dengan dua daun
pintu. Sebelum membuka pintu itu, ia menyalakan saklar hingga saat pintu
terbuka, tampak ruangan kedua yang tidak begitu luas dibanding ruang utama.
Lampu bohlam kuning keemasan itu sesekali berkedip-kedip seperti hendak mati, membuat
wajah Izack tegang sejenak memandangi sudut-sudut ruangan. Chika menarik kursi
dan tersenyum ringan seakan menertawakan suaminya yang terlihat khawatir.
“Biasanya
rumah yang ditinggalkan lama bakal jebol atau banyak sekali
kotoran”
“Aku masih sering datang kemari,
Bang” ujar Chika santai
“Tapi biasanya saat malam
begini, dimana orang tidak ada yang tahu”
“Oh…”
“Hngg??!”
“Kenapa?!” Izack mengernyit aneh
“Kapan-kapan saja ceritanya,”
jawabnya meletakkan bungkusan plastik yang berisi makanan ringan dan menarik
kursi seakan menghela nafas lelah setelah berjalan jauh. Sesekali ia menekan
perutnya terasa nyeri, tapi sesekali ia tampak menarik nafas dalam dan
menghempaskannya perlahan sembari meneguk sebotol air mineral.
Izack tak bisa mengelakkan
kekaguman bangunan tua itu yang masih terlihat kokoh dan kuat, baik dinding
maupun kayu-kayunya. Ia mengikuti Chika membuka pintu dapur yang ternyata di
belakang adalah ruangan terbuka, dengan di samping kanan terdapat seperti
kamar-kamar, yang tampaknya itu Gudang dan kamar mandi tua.
“Kamu nggak takut masuk sini
sendiri tengah malam?” tanya Izack terheran-heran yang lagi-lagi memperhatikan
kaki Chika barangkali tidak menapak, dan ia bukanlah Chika yang dari Yogya
karena merasa seperti sedang uji nyali, dan pemandunya adalah makhluk
halus.
“Rasa lapar dan hausku mengalahkan
rasa takutku pada dunia hantu, Bang”
“Oakhh…” lagi-lagi Izack hanya
melongo memperhatikan gerak-gerik Chika yang terlalu santai. Ia menuruni empat
anak tangga mengikuti Chika masuk ke salah satu ruangan yang ternyata itu
adalah dapur yang terlihat serem.
Sementara ia hanya senyum-senyum
melihat lelaki itu seperti anak kecil yang sedang ketakutan mengikuti kemana
saja ibunya beranjak.
“Kenapa kau senyum?”
“Enggak” jawab Chika sambil
berlalu
Izack berusaha membenjatkan mata
dan menyadarkan dirinya, barangkali dia tidak sadar diri bahwa itu bukan alam
yang semestinya. Tapi ia tak mau menjadi bahan tertawaan gadis itu, hingga ia
kembali ke ruang utama di mana ada kursi kayu tua. Namun sebelum memutuskan
untuk duduk, pandangan matanya tertuju pada foto-foto yang menempel di dinding,
hingga berusaha menajamkan pandangannya di bawah lampu yang remang-remang pada
sosok lelaki tua yang tinggi dengan baju keki coklat muda dan seorang lelaki di
sebelahnya yang mirip sekali dengan Chika.
“Siapa?” tanyanya saat Chika
kembali ke ruang utama dan duduk sebentar sambil meneguk air mineral memandang
Izack mengamati foto-foto keluarganya yang tertempel di dinding.
"Bapak dan
kakekku"
“Oh..”
“Veteran kah?”
“Hm, iya” jawabnya sembari pergi
lagi ke dapur
Suasana kembali sunyi senyap
saat Chika kembali pergi. Ia agak merinding merasakan suasana ruangan yang kembali
hening, ditambah foto-foto tua di depannya seakan hidup dan bergerak dari framenya,
hingga diam-diam Izack beranjak pergi meninggalkan ruangan itu kembali menilik Chika
yang tengah sibuk masak.
Melihat bungkus mie instan Izack
berkecap kesal.
“Kamu itu sebenarnya sudah
dewasa, tapi kenapa sikapmu masih kekanak-kanakan?”
“Kenapa marah-marah lagi?”
“Baru berapa jam yang lalu kamu keluar
dari Rumah Sakit, masih bisa-bisanya makan mie instan”
Chika nyengir “Nggak ada pilihan
lain, Bang”
“Bukankah waktu turun dari Bus, banyak
tuh warung nasi?” protes Izack dengan wajah sedikit kesal
“Kelamaan, Bang”
“Ah, alasan” ujarnya kembali
pergi dan duduk di meja makan.
Aura di ruangan itu benar-benar
terasa pekat, mungkin karena selain usia bangunan juga jarang ditempati.
Setelah mie instan matang Chika
membaginya dalam dua mangkok, ia membawanya ke ruang tengah dan duduk tepat di
hadapan Izack yang membelakangi pintu belakang. Sementara Chika menghadap pintu
belakang yang tampak gelap, hanya satu bohlam kuning keemasan yang remang-remang
menyinari depan dapur.
Gadis itu diam seakan tengah
merangkum semua kata saat matanya memandang ke arah ruangan-ruangan hingga
ruang paling belakang yang isinya kamar mandi dan sumur tua.
Izack masih tampak horror dengan
ruangan yang tertutup oleh dinding rak buku, dimana ada tiga pintu yang
menghadap meja makan, sepertinya itu kamar tidur. Melihat sorot mata suaminya,
Chika hanya tersenyum.
“Kamu takut, Bang?”
“Itu ruangan apa?” tanyanya menuding
pada tiga kamar di ruang depan
“Kamar tidur”
“Oh…”
Chika meringis kecut.
“Sejak meninggalkan rumah ini,
aku nggak pernah berani membuka pintu kamar itu, Bang”
“Kenapa?”
Chika kembali tersenyum pahit
“Di situlah alm ibu dan dua kakakku tewas” jawabnya dengan suara tersendat
parau.
“Sebenarnya sudah lama sekali aku
ingin melihat dan bersih-bersih di dalamnya”
“Tapi kebayang tidak kuat
mentalku jika teringat peristiwa itu” suaranya terdengar menekan seakan pecah hingga Izack pun bangkit dan
mendekapnya membuat gadis itu spontan menangis sedu sedan di balik kain hemnya.
Malam itu seakan tumpah semua
rasa kepedihan yang berusaha ia benamkan dalam-dalam.
“Menangis saja selagi kau bisa”
ujar Izack menepuk-nepuk punggung Chika dalam dekapan
@@@
Pagi hari Chika terbangun dari
tidurnya di atas kursi ruang tamu yang warnanya pekat ketutup debu. Saat itu
matahari telah memantulkan sinar keemasannya menerobos masuk lewat celah rimbun
ilalang di balik pintu kaca yang sedikit berdebu.
Izack yang baru saja membuka
mata seketika menawarkan segaris senyuman pada gadis impiannya.
"Bahkan saat kamu bangun
tidurpun, kamu tetap terlihat cantik" ujarnya terpesona membuat bibir
mungil Chika mencibir seakan menghalau rayuan gombal seorang lelaki yang baru
dikenalinya. Tapi kali ini sadar, ia tak ingin kembali merusak suasana
seperti kemarin-kemarin. Sekalipun dalam batinnya masih bergemuruh rasa ingin
tahu seperti apa latar belakang lelaki di depannya.
Ia beranjak membuka dua daun pintu
kaca depan hingga udara segar pun menerobos masuk membawa aroma embun yang
menempel di pucuk-pucuk daun rimbun semak depan halaman rumah yang sudah
seperti hutan. Izack datang memeluknya dari belakang dan bergelayut manja meletakkan
dagu di atas pundak membuat gadis itu sedikit geli saat ia mencium lehernya.
"Maaf, aku tak bisa
menyediakan apa-apa untukmu, Bang..." ujarnya seakan mengalihkan
perasaannya yang agak berantakan
"Kehadiranmu lebih dari
sekedar apapun"
"Aku sadar, mulai saat ini
aku benar-benar tak bisa lepas darimu" batinnya mendekap erat gadis
pujaannya yang terasa sangat kurus.
Chika yang awalnya merasa risih,
reflek hendak menghalau pelukan itu, perlahan ia menyadari kebiasaan baru yang
harus dibangun dalam hubungan suami istri. Tapi terbayang teman-temannya yang
terbiasa berpacaran dengan postur tubuhnya yang jelek tak berbentuk,
perasaannya mulai meradang.
“Bang… stop!” pekik Chika menatap
tegang hingga keduanya tertawa geli.
“Ya.. ya ya, apapun itu, satu
saat aku pasti bakal menakhlukkanmu” pikirnya tersenyum kalah
Chika kembali beranjak keluar
dan duduk di anak tangga sembari memandang semak-semak yang hampir saja
menutupi halaman rumah tua itu. Dan rasanya tubuh Izack mulai reflek terbiasa mencari
sentuhan kulit Chika, dan ia kembali nempel serta memeluknya perlahan membuat
gadis itu kembali rileks dan nyaman. Tapi lagi-lagi gadis itu memegang kendali
kesadarannya penuh dan melepasnya dengan sangat halus dan perlahan.
“Mau dengar ceritaku, Bang?!”
“Hm,” jawabnya mengangguk
sembari menyibakkan rambutnya yang tergerai
"Waktu Mahasiswa dulu,
bapak adalah seorang aktivis yang dipercaya oleh almarhum kakek yang mantan
pejuang untuk menyimpankan sebagian dokumen negara yang kabarnya itu adalah
dokumen penting dari founding fathers negara ini sebelum mereka dijebloskan ke
penjara oleh rival politik mereka”
“Hingga satu saat kakek
meninggal karena suatu penyakit”
“Saat itu ayah belum menikah
dengan ibu”
“Di awal pernikahan ayah dan ibu
hingga kami bertiga lahir dan tumbuh menjadi anak-anak, kehidupan kami
damai-damai saja hingga pada satu ketika mereka mulai bertengkar hebat hingga
membuat kami bertiga ketakutan”
“Hingga di suatu malam, rumah
kami digrebek sekelompok orang tidak dikenal satu truk” mendadak suaranya
tercekat tersendat-sendat hingga perlahan matanya berkaca-kaca saat ia kembali
melanjutkan ceritanya
“Bapak diseret keluar dan
diculik oleh sekelompok orang tak dikenal, ibu yang berusaha melawan dibunuh
saat itu juga, begitu juga dengan dua orang kakakku” ceritanya seketika
menundukkan wajah hingga terguguk menangis sejadi-jadinya yang langsung diraih Izack
dalam dekapan. Tapi sebagai seorang gadis yang sudah terbiasa ditempa keadaan
sulit dan rumit, membuatnya seketika
mengusap air mata dan melepas rengkuhan lelaki itu.
“Sory ya, aku bukan gadis lemah
seperti yang kamu pikirkan” pikir Chika keras kembali beranjak
Izack menarik nafas dalam seakan
tengah menata pikirannya bagaimana dirinya harus memposisikan diri.
“Terimakasih sudah mau jujur, aku
lebih suka kamu bicara apa adanya”
Chika tersenyum kecut “Aku nggak
yakin setelah ini kamu masih berpikir baik kepadaku, Bang” katanya menoleh
sekilas yang ditangkap tatapan sendu Izack sambil menarik nafas dalam
“Pantas saja lambung dan ususmu bermasalah,
kalau cara berpikirmu seperti itu” ujarnya lagi sambil kembali mendekap erat,
meskipun pada mulanya Chika berusaha memberontak dan melepas pelukan itu, tapi
tahu bagaimana istrinya selama ini, Izack menekan keras-keras dekapannya hingga
tubuhnya terasa lemah dan menangis sejadi-jadinya.
“Menangis saja jika ingin
menangis” ujarnya dalam sambil menahan dua kakinya dan menggendongnya masuk
“Ringan betul badanmu,” ujar
Izack membuat Chika malu saat dalam dekapannya. Ia menciumnya manis
berulangkali membuatnya geli tak bisa berkutik dari kejaran ciuman bibirnya
yang ranum.
Ia kembali duduk, dan Chika
berusaha mberot duduk sendiri. Tapi Izack menahannya agar tetap dalam dekapan
dan pangkuannya.
“Betapa malam-malam aku lewati
merindukan dekapan seperti saat ini” batinnya bergejolak membuat gairahnya
kembali panas bergelora seakan terus menyerang gadis itu menikmati tiap jengkal
lekukan tubuhnya yang bergetar hingga Chika sadar menahan kedua tangan Izack
“Cukup Bang,” ujarnya dengan
nafas terengah-engah.
Sebenarnya Izack agak kesal
dengan tolakan itu, tapi ia berusaha memahami perasaan istrinya yang masih
tegang menghadapi hubungan intim dengannya. Saat itu pula Izack mengalihkan
pandangannya pada pintu kamar yang berdiri kokoh di depannya.
“Masih penasaran ingin membuka
kamar itu?” tanya Izack sembari memalingkan pandangannya pada Chika yang
rupanya masih menikmati belaiannya beberapa detik yang lalu membuat lelaki itu
tersenyum lebar mengecup bibirnya dan kembali mendekap kepalanya ke dada Izack.
“Aku menunggumu sampai kamu
siap” katanya membuat raut Chika bingung makna dari ucapan itu
Chika terdiam memandang lama
pintu tersebut. Suasana pun mendadak hening, tanpa ada suara apapun kecuali
suara tonggeret di balik pepohonan yang tinggi di luar sana.
“Aku takut,”
“Cobalah,”
Dengan pandangan mata berat,
Chika memberanikan diri melangkah menuju dua kamar itu dan membukanya perlahan.
Melihat gerak-geriknya, seketika jemari Izack meraih jemarinya yang hangat,
hingga terdengar suara pintu bergerit saat terbuka. Izack masih berdiri di
belakangnya dan bersandar pada kusen pintu.
“Ini kamarku” kata Chika membuka
dua daun jendela yang cukup besar.
Izack tersenyum melihat ruangan
kamarnya yang terasa lebih hangat daripada kamar kost-kostannya.
“Kecilmu
dulu lebih feminin dibanding sekarang” jawabnya yang hanya disambut dengan
senyuman sekilas. Chika kembali menutup pintu kamar miliknya dan kembali beranjak
menuju pintu kamar di sebelahnya dengan dua daun pintu yang sama besarnya.
Saat pintu dibuka, aroma tak
sedap seketika menusuk penciumannya membuatnya tak tahan dan hanya berdiri di
depan pintu, lalu menutup hidungnya memperhatikan Chika mengelilingi kamar dan
membuka daun jendela yang cukup besar.
“Kamar siapa?”
“Dua kakak laki-lakiku”
“Oh…”
Melihat dua pasang layang-layang
kain yang tergantung di dinding membuat Izack seketika tersenyum terbayang
sesuatu.
“Satu saat kita akan ramaikan
lagi suasana rumah ini dengan anak-anak kita” ujar Izack membuat Chika meringis
kecut membayangkan dirinya akan segera menjadi ibu
Mereka masuk ke kamar yang masih
terasa lembab dan gelap hingga Chika menyalakan lampu neon keemasan membuat
suasana pun kembali horror.
“Dan ini kamar bapak ibu, yang sepertinya
punya ruang bawah tanah” suaranya mendadak parau
“Oh ya?” pikirnya sepotong-potong
teringat isi naskah buku
Chika menarik nafas lelah seakan
ingin mengalihkan pembicaraannya, tapi Izack terlanjur tertarik dengan kata-kata
ruang bawah tanah.
“Boleh lihat?”
“Untuk apa?!”
“Kamu tidak ingat naskah yang
kamu kirim ke penerbitku dulu?” katanya yang membuat Chika menyeberangi ruang
tamu dan membukakan daun pintu kamar yang cukup berat.
Ia berjalan melintasi kamar
tersebut seakan sudah hafal betul dimana letak jendela, ia membuka dua daun
jendela besar yang menjadikan ruangan itu seketika tampak terang dengan banyak
sarang laba-laba menutupi kelambu tempat tidur.
“Aku tidak yakin betul, tapi
sepertinya di bawah situ” tunjuknya di bawah kolong tempat tidur orang tuanya.
“Please!! Aku mohon, ini
kaitannya dokumen negara yang dicari-cari selama ini, Chik”
“Ah!” Chika geleng geleng kepala
kesal
“Chik…”
“Apa karena ini kamu mau
menikahiku, Bang?!!” suaranya nyaris teriak
Izack melotot gelagepan
“Kenapa pikiranmu seperti itu?”
“Tapi benar kan?!” suaranya
tajam melotot yang langsung dipeluk Izack erat. Tapi ia berusaha melepaskan
pelukan itu, namun Izack tetap saja memeluknya erat-erat.
“Aku menikahimu tulus karena aku
mencintaimu, bukan karena apapun” suaranya lembut dan datar membuat suasanapun
kembali pecah dengan suara tangis dalam dekapannya, ia menatap wajahnya yang
telah basah dan berkaca-kaca.
“Okey, aku tidak akan tanya soal
ini lagi” jawab Izack menepuk-nepuk pundaknya seakan ingin menenangkan
pikirannya.
“Ayo, kita pulang” kata Chika
mberot dari dekapannya.
Chika keluar dari kamar itu dan
dengan cekatan Izack kembali menutup daun jendela yang terbuka dan menutup
pintu-pintu yang terbuka hingga keduanya keluar rumah meninggalkan halaman
rumahnya yang sudah tertutup ilalang.
Mereka meninggalkan halaman
rumah itu di saat penduduk desa sudah sibuk di sawah. Hanya tersisa seorang
kakek dengan gigi yang tanggal, duduk di depan rumah terbuat dari papan kayu.
“Nak.. kamu siapanya keluarga pak Hartoyo?”
“Anaknya yang bungsu Kek,” jawab
Izack
“Oh.. ya Allah” matanya yang
kecil spontan berkaca-kaca hingga segelintir air matanya jatuh dan mulai
menangis menepuk-nepuk pundak Chika yang beku, meskipun Izack menyenggol
sikunya berkali-kali tapi pandangan Chika tetap beku dan tidak suka, dan ia
pergi begitu saja meninggalkan dua orang lelaki itu yang terlibat dalam obrolan
panjang.
“Nak, sering ada orang tidak
dikenal masuk kesitu”
“Aku cuma mengingatkan saja”
“Nggak tahu niatnya apa, tapi
sepertinya orang itu punya niat nggak baik”
“Dijaga temanmu ya Nak, jangan
dibiarkan keluar masuk rumah itu malam-malam sendiri”
“Aku paham perasaannya anak itu,
mungkin benci sama warga sini. Tapi kami baru tahu kalau dia itu cucnya seorang
pejuang dari orang-orang yang sudah jadi pejabat di sana”
“Oh??” Izack kaget saja
mendengar penjelasan singkat kakek itu
@@@
Sepanjang perjalanan dalam bus
menuju Yogya, Chika hanya diam dengan ketidaksukaannya. Sebelum mengatakan hal yang dirasa penting, Izack
kembali mencium tangannya dengan kelembutan dan kasih sayang
"Maafkan jika Mama kemarin
datang ke Apartemen dan mungkin mengatakan sesuatu yang tidak enak"
ujarnya menatap dalam
"Sebenarnya kondisi Mabes
dan Kantor saat ini sedang ada banyak masalah, serta pekerjaan yang harus
segera diselesaikan. Sementara kepergianku berulangkali meninggalkan mereka dianggap
tidak bertanggung jawab oleh banyak pihak"
"Tahu seperti itu, Mama
khawatir kondisi akan semakin memburuk dan menjatuhkan elektabilitas serta
etikaku sebagai seorang pimpinan"
"Itulah mengapa, alasannya
dia berkata seperti itu”
"Bukankah itu egois?"
Izack gelagepan menarik
nafas dalam
"Kamu benar, Mama memang
egois ingin melindungi anaknya"
"Seperti yang kamu tahu,
sekalipun beliau bukan ibu kandungku. Tapi aku menghargai kasih sayangnya yang
melebihi dari kasih sayang orang tua kandungku sendiri”
Chika menelungkupkan wajah
lelah. Ia merasa tertekan tidak tahu harus berbuat apa. Dan sebagai seorang
gadis yang keras kepala, sulit rasanya mengucapkan kata "Maaf"
yang sebenarnya ia merasa bersalah dan menyadari keegoisan dirinya.
"Tundalah dulu KKNmu”
“Kamu bisa menyusun skripsi di
Jakarta menunggu kondisi fisikmu benar-benar pulih”
“Enggak”
“Sayang kalau ususmu bermasalah
lagi”
“Aku pastikan tidak ada masalah
lagi dengan usus dan lambungku”
Izack menarik nafas lelah
mencoba memahami betapa keras kepalanya gadis yang ia anggap lemah.
“Pak Rian itu senior kami di AMI,
aku cukup dekat dengan beliau. Kamu bisa bimbingan via online sama beliau"
“Aku bilang tidak, ya tidak,
Bang” jawab Chika merebahkan punggung, memangku kedua tangan dan memejamkan
matanya siap-siap tidur membuat Izack menarik alis lelah
@@@
Siang jelang sore keduanya
kembali tiba di rumah Izack yang ada di Yogya. Izack meletakkan barang
bawaannya dan mendorong punggung istrinya ke kamar mandi.
"Sudah berapa hari saja
kamu nggak mandi?"
"Tapi kan nggak bau"
ujarnya mencium lengan kemeja yang ia pakai
"Nggak bau karena itu
badanmu"
Chika terkekeh malu dan masuk
kamar mandi sambil berusaha mencium bajunya. Saat itulah telephon bergetar
dari dalam kantong celana jinsnya.
"Sudah aku siapkan Bang,
tinggal masuk saja" suara itu terdengar sedikit nyaring
“Barang-barangnya? Sudah semua?”
“Sudah”
“Oke, nanti sore aku antar dia
ke situ, tolong kirim alamatnya”
“Baik”
“Hm” suaranya terakhir dan
terputus begitu saja.
Izack kembali duduk dan membuka
laptopnya. Perlahan jari jemarinya tampak cekatan menekan tombol tuts dengan
alis matanya yang tebal berkerut tajam seakan tengah menghadapi masalah serius.
Dan smartphonenya kembali bergetar. Ia membiarkan suara itu dengan load speaker
sekedar memudahkan pekerjaannya.
“Ya?!”
"Bro, data kita kebobolan"
suara itu nyaring dari hp di atas meja.
“Hm, aku sudah tahu” jawabnya
singkat
“Terus???”
“Bodoh!! ambil alih lah?!”
“Untuk apa kita bayar kalian
mahal-mahal kalau data agenda move kita kebobolan ke publik” katanya dengan
jari tetap meluncur cepat menekan tombol-tombol tuts.
“Ayok! Cepat kerjakan!! Ini aku
sedang minta bantuan senior di pusat” katanya memutus begitu saja panggilan itu
Lagi-lagi ponselnya bergetar, ia
menerima panggilan itu.
"Izack, aku heran ada apa
dengan istrimu, kenapa terus menerus buat masalah di saat suaminya harus kerja
keras"
“Ceraikan saja jika cari masalah
terus, percuma saja punya istri tapi nggak bisa support dan diajak
kerjasama" suaranya keras dari audio smartphonenya membuat Izack meraup
wajahnya kacau mengacak-acak rambutnya. Saat itu ia baru sadar jika Chika sudah
berdiri di belakangnya membuat Izack kaget.
Keduanya bengong saling menatap.
Ibu jarinya spontan menekan tombol off pada panggilan suara dan meraih tangan
Chika yang lemah.
"Sudah mandi?" tanya Izack
"Sudah," Izack
berusaha meraih tangan Chika dan menariknya keras untuk duduk di sebelahnya, tapi
smartphonennya kembali bergetar. Seakan tak membiarkan istrinya dengan
pikirannya sendiri dengan anggapan seseorang di telphon, Izack menarik keras
untuk duduk di sebelahnya.
"Halo, iya?" jawab Izack
sambil menekan keras pergelangan tangannya untuk kembali duduk di sebelahnya.
Awalnya Chika masih kesal, tapi kali ini Izack tak membiarkannya pergi dan
menekan pundaknya untuk duduk di sampingnya dan mendekap kepalanya dan mencium
bibirnya yang tampak segar.
"Bang, proposal kita
diterima. Besok pagi Kementrian Pendidikan ajak kita pertemuan, bagaimana ini?"
"Hm, oke”
“Aku usahakan besok pagi sudah
sampai Jakarta"
“Jam berapa?”
“Jadwal dan tempat sudah aku
kirim”
“Hm”
“Tolong siapkan berkasnya
sekarang” ujarnya menutup telphon dan kembali menatap istrinya yang mulai luluh
untuk sekedar duduk di sebelahnya.
Lagi-lagi ponselnya berbunyi,
itu adalah sekretaris pribadi Izack.
“Bang, bagaimana jika data
markas AMI kebobolan, proyek kerjasama penerbitanmu dengan Pemerintah bakal
digagalkan?”
“Hm. Ya, aku tahu itu”
“Lalu kita harus bagaimana
Bang?!”
Tangan Izack terasa dingin dan
beku, Chika yang duduk di sebelahnya membaca kekhawatiran itu hingga tangan
Chikapun menggenggam balik tangan Izack.
“Kabari aku segera jika ada
solusi, Bang”
“Hm,”
Izack baru sadar, baru kali ini gadis
di sebelahnya berinisiatif menggenggam jemari suaminya terlebih dulu. Seperti
terbersit sesuatu ia mengambil tabletnya dan mulai membuat corat coret dengan
pandangan mata seakan memburu sesuatu di layar tipis tersebut.
Tiba-iba saja ia teringat
penuturan kakek tetangga depan rumah Chika, menoleh gadis itu masih menunggu
dirinya.
“Ayo siapkan barang-barangmu,
aku tunggu” kata Izack berusaha mengalihkan perhatian
“Hm,” angguknya nurut begitu
saja
“Halo,”
“Iya Bang?”
“Aku butuh orang untuk
menyelidiki rumah istriku yang diintai, Zin”
“Oh, baik Bang. Aku tunggu
alamatnya”
“Hm” jawabnya dengan cepat
terkirim alamat maps digital
“Tolong kalau perlu pasang juga
cctv di pintu masuk halaman rumah juga teras halaman samping, depan dan
belakang. Pasang juga lampu yang cukup terang”
“Jangan sampai rumah itu terjamah
oleh siapapun” ucapnya terakhir hingga tak lama kemudian Chika keluar dengan
membawa travel bag yang ditumpangkan di atas kopernya.
Izack menarik nafas dalam saat
memandangi wajahnya yang tipis itu muncul dari balik kamar. Ia terkesima saat
melihat rambutnya yang lembut dan kemerahan itu tergerai tertiup angin menutupi
sebagian wajahnya.
“Kenapa??” tanyanya kikuk
Izack hanya tersenyum ringan
“Dua tahun lalu hingga hari ini,
aku selalu terpesona melihatmu begitu”
“Hmm??” Chika bingung
“Tanpa polesan apapun, kamu
selalu terlihat cantik”
Chika mencibir, ia cuek menarik
kopernya keluar hingga menuruni teras depan kamar ke arah garasi.
Sepanjang perjalanan menuju
kost-kostannya yang baru keduanya terdiam lama. Tak ada sepatah katapun yang
keluar. Chika baru sadar apa yang dilakukan lelaki di sampingnya selama ini
adalah demi dirinya. Dan ia mulai merasa berat jika harus kembali berjauhan.
Apalagi di saat suaminya dalam kondisi genting seperti sekarang.
“Bang, seberapa perlu aku ke
Jakarta”
Izack hanya senyum-senyum
sembari menggosok-gosokkan jari telunjuk kanannya ke hidung.
“Masih kangen kah?”
“Aaahhh…??!”
“Kenapa kalau memang iya?” jawab
Izack menggoda membuat Chika salah tingkah
Sore menjelang malam keduanya
masih bercengkrama di depan teras kos Chika yang baru, hingga dua orang senior
dari cabang AMI datang menjemputnya untuk kembali terbang ke Jakarta. Pelukan
dan ciuman kecil pertanda perpisahan seolah sudah menjadi kebiasaan baru,
meskipun sebenarnya membuatnya risih,
apalagi saat di depan orang lain.
“Maafkan Abang, Sayang… belum
bisa menjagamu dengan baik” tutur Izack dalam terbayang wajah kusut dan baju
kumal kemarin lusa saat terlantar di jalanan. Ia merasakan kehangatan dan
kesabaran yang luar biasa dari lelaki yang seakan turun dari kahyangan sengaja
diperuntukkan untuknya.
16
Pencuri Kecil dan
mayat Bapak Tua
Siang itu Chika dan Rendra
berdiri di lantai dua gedung perpustakaan sambil memandang lepas serentetan
awan yang menggantung di angkasa. Lalu lalang mahasiswa terlihat semakin cepat
bergerak begitu terdengar bel pertanda pelayanan segera ditutup.
"Wooo... akhirnya kamu
tersandung pernikahan adat di desamu juga"
"Masih ingat kan? artikel
yang kamu tulis 2 tahun yang lalu?"
"Untungnya itu si lelaki
kecenganmu dulu, manjur doaku kan?" tawa Rendra setengah meledek
Chika
mengernyit "Kapan kamu doakan aku?"
"Waktu ulang tahunmu,
pertama kali aku bisa beli Laptop, kamu pinjam kan? Buat garap artikel dan
tugas. Nah, kita ketemuan di depan Basecamp AMI"
Chika tertawa cekakaan
"Iya, tapi kenapa aku nggak
ingat ya?"
Rendra langsung noyor kepala
"Dasar! cewek apa cowok, kamu hm?! Nggak respek sama sekali"
Lagi-lagi lelaki itu meneliti
raut kebohongan gadis yang terlalu jujur itu
"Serius, kamu nggak
ingat?!"
"Serius, Pak Peksos...
untuk apa aku bohong, nggak ada untungnya juga"
"Dan wajahnya seperti apa,
kenapa aku nggak ingat ya?!"
"Lah?!! gimana kau
ini"
"Nasibmu memang top banget,
Nak"
“Andaikan orang desa tahu, kalau
Chika sekarang tinggal di Apartemen”
"Bukannya rumah di desa itu
jauh lebih nikmat dibanding tinggal di bangunan se kotak itu yang nggak punya
halaman?"
Rendra ngakak seketika dan diam
berwajah kaku "Dasar! ndeso"
"Lha memang benar,
kan?" Chika ngotot
Beberapa orang yang
berlalu-lalang melihat keduanya, terutama Chika dengan tatapan curiga.
"Hari gini, orang seperti
kita ketemu jodoh seperti Izack itu nggak mudah"
"Maksudnya?"
"Tampan, kaya,
berpendidikan, anak jendral bintang tiga. Apa kurangnya coba?"
"Justru itu aku seperti
sedang diejek dia, Ren"
"Diejek gimana
maksudmu?"
“Ya??!!!” suaranya tercekat
seperti ada sesuatu yang sengaja ia sembunyikan
"Misalnya?"
"Coba pikir, siapa sih yang
nggak tersinggung? Hanya gara-gara mau ketemu sama orang tuanya aku disuruh
beli baju baru"
Spontan Rendra melongo “Itu yang
bodoh kamu, bukan dia” cetus Rendra sekenanya membuat Chika cemberut kesal
“Hei! Baju yang ku pakai itu
masih bagus, Ren”
Rendra geleng-geleng mengamati
penampilannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dan berkecap melengos.
“Hahh…?!!!”
“Mau kamu? Anaknya dibilang
memungut kucing dekil dari pinggir jalan?” kata Rendra yang spontan membuat Chika
tertawa ngakak.
“Sialan!”
“Lha iya kan?”
“Ah! Percuma ngomong soal
perasaan sama kamu, DDR (Daya dong! Rendah)” lagi-lagi Chika tertawa
ngikik dan menarik nafas perlahan
“Ren, kamu tahu nggak sih, aku
ini orangnya seperti apa?”
“Membayangkan kita jadi negara
ketiga tempat pembuangan limbah baju bekas negar-negara maju”
“Ah..!! paling males aku bicara
soal kebijakan pemerintah terkait itu!”
“Aku pantang banget menghasilkan
sampah baju, pantang juga beli baju thrifting”
“Tapi bukankah itulah yang
namanya Reuse yang kamu bangga-banggakan selama ini ya?”
“Iya, tapi kan harusnya kita
reuse dari barang kita sendiri, bukan dari negara lain”
“Ketika kita me reuse
barang dari negara lain, betapa rendahnya harga diri bangsa kita di mata
mereka, Ren”
“Hei! Lihat!” isyarat Rendra
dengan dagunya menunjukkan pada Dhani, si anak Pasca Sarjana Kehutanan yang
paling ganteng dan putih di antara sekian banyak kakak kelas lainnya berjalan
keluar.
“Kamu kenal dia?”
“Nggak,”
"Hei Non, ingat... kamu itu
sudah jadi milik orang lain kenapa masih tanya orang itu"
"Nah, kan? Nggak bebas.
Tanya begitu saja kau sudah mengira macam-macam"
"Soalnya aku pernah lihat
kalian berdua di café depan kampus” kata Rendra yang langsung dikode Chika saat
Dhani hendak lewat di depannya.
“Hai!”
“Gimana? sudah ada yang goal
belum proyeknya?” tanya Dhani yang spontan dijawab nyengir
“Baru masih buat proposal Kak”
“Oh..”
“Perlu aku bantu?” Rendra senyum
senyum kode sembari mendelik sekilas pada Chika
“Boleh?”
“Hmm… nanti sore jam 4 ya, aku
tunggu di Perpus bagian rak Kehutanan”
“Ok, baik Kak”
“Bye!”
"Huemmm!!! Ganteng"
pekiknya mengembangkan senyumnya lebar menerawang jauh
"Dasar perempuan, sudah ada
pasangan masih saja ngelirik yang lain. Hati-hati kamu, kalau kena karma"
kata Rendra membuat Chika tertawa ngikik
"Harusnya tuh, sekarang
kamu sering-sering support suamimu"
"Tanggal 20 nanti, kabarnya
akan ada demo besar-besaran Mahasiswa se Indonesia yang mau melengserkan
Presiden"
"Dan Izack adalah ketua AMI
yang menjadi promotor gerakan itu "
"Oh,”
“Kamu nggak tahu?”
Chika melongo bingung yang disambut
tepok jidat Rendra kesal.
“Pantesan tadi Dosen
pembimbingku tanya dia apa di Yogya"
"Ya jelaslah, orang Dosen
Pembimbingmu itu Alumni AMI"
"Nah! aku malah khawatir, kalau
kalian jadi ketemuan di Perpustakaan bakal jadi kabar nggak sedap buat kamu
berdua loh"
"Maksudnya?"
"Orang seperti Izack itu
kan banyak musuhnya, Chika... Jadi kamu pun harus bisa memposisikan diri"
"Oh,” pikirnya terbayang
perkataan teman Izack di ujung ponsel yang diceritakannya
“Nah, kan?! Padahal itu di luar
kendalimu, coba bayangkan seandainya kalian ketemuan dan kabar itu dibuat gosip
dan sampai ke pusat”
“Tapi kita kan ketemuan hanya
untuk membahas proposal proyek, Ren”
“Harusnya kamu bilang dulu lah,
tapi khawatirku dia orangnya cemburuan”
“Ahhsyy!! Nggak asyik benar kamu
orangnya, terlalu serius! Aku kenal Izack selama ini tidak seperti itu
orangnya” katanya kesal pergi begitu saja.
Tiba-tiba saja mata Rendra
mendadak fokus. Ia terdiam seperti elang yang sebentar lagi menyambar mangsanya
dari kejauhan.
“Kenapa Woi!?”
“Mirip adikku yang kabur dari
rumah”
“??!!”
“Mana?”
Tatap mata Chika sejurus
pandangan mata Rendra pada sosok bocah lelaki yang tengah mengais-ngais tong
sampah di pinggir jalan luar pagar gedung.
“Ayo turun” tangannya
reflek menarik pergelangan tangan Chika
“Hei...! tangan!”
“Oh? Sory sory! ayo cepetan!”
Rendra sadar sahabatnya ini tidak suka dengan sentuhan
Keduanya berjalan cepat menelusuri
lorong-lorong tangga tanpa ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Sementara
dari raut keduanya tampak tenggelam ke dalam pikiran masing-masing.
“Kamu yakin dia adekmu?” suaranya
ngap-ngap mengikuti langkah kaki Rendra yang terlalu cepat dan terhenti
berjalan saat lelaki itu lari
“Nanti saja ceritanya” seru
Rendra terhenti menoleh Chika yang tampak pucat
“Ayok! Tolong aku”
“Hm”
Dengan sisa-sisa tenaganya ia
kembali berlari mengejar langkah Rendra
“Kalau benar dia adekmu, betapa
semesta sedang berbicara, tapi aku nggak menangkap itu” pikir Chika
“Beberapa minggu lalu aku
ditabrak bocah kecil itu mencuri apel dari pedagang buah" Chika
mengingat-ingat sembari lari menggamit perut
"Ayo cepat, Chik!"
ujarnya sampai di depan pagar besi yang membuat Chika melotot
"Manjat?"
"Aku tahu kamu sering
manjat pagar ini, kalau pas berburu waktu" katanya tertawa lebar
"Tapi, Ren!" ujarnya
ngos-ngosan membungkuk menahan nyeri perutnya
"Ayokk! naiklah ke
punggungku" katanya sambil setengah jongkok
Meski wajahnya nyengir menahan
nyeri setelah berlari, tapi melihat bocah laki berwajah dekil itu semangat
Chika kembali tumbuh mengerahkan tenaganya naik ke atas pundak Rendra.
"Sory, kalau jaketmu
kotor"
"Ah...! Cepetan! Jaket
kotor bisa dicuci" katanya tidak sabar melihat Chika bisa manjat pagar
besi.
"Bug!!" Perutnya
terbentur dan tergores ujung pagar pembatas yang menambah rasa nyeri makin
bertambah.
"Akhhh..!!!" Pekik
Chika kesakitan loncat turun
"Sudah ayo cepetan, keburu
pergi dia" ujar Rendra yang berusaha menaiki pagar tapi diteriaki
Satpam
Keduanya tertawa ngakak begitu
sampai di luar pagar.
Melihat gerak-gerik Chika di belakangnya
membuat anak itu spontan lari terbirit-birit.
"Ah! sialan gara-gara
ketawamu itu tadi" umpat Chika kesal
"Sory sory!"
"Ayo kejar Ren, sory aku sudah
nggak kuat lagi " ujar Chika menahan perutnya yang langsung dipahami
Rendra
"Gimana perutmu Chik?"
"Nggak apa-apa kan??"
"Ahhh!!! Sudah cepetan
sana!!" Pekik Chika membungkuk-bungkuk nyengir berjalan sempoyongan kesakitan
menahan rasa nyeri dan nafasnya tersengal-sengal
Tatapan Rendra tampak merasa
bersalah pada sahabatnya yang baru saja keluar dari Rumah Sakit. Tapi menoleh
kembali pada bocah kecil yang diduga adiknya yang kabur dari rumah beberapa
tahun silam membuatnya kembali lari mengejar bocah kecil yang hilang di bawah
lorong jembatan.
Siang itu terik matahari
benar-benar menyengat. Ditambah kepulan asap mini bus yang menyalip kendaraan
lainnya di perempatan jalan depan kampus membuat suasana benar-benar terasa
pengap.
“Ada apa sebenarnya??” pikir
Chika berjalan tertatih-tatih mengikuti Rendra menuruni lorong jembatan yang
masih berlantai tanah.
Sunyi, hanya desis suara arus
sungai dengan hawa dingin mulai mencekam. Perlahan namun pasti, bau bangkai
mulai tercium pekat saat ia di pertengahan anak tangga yang cukup curam.
Suasana itu seperti memanggil
memori akan tragedi kematian keluarganya yang membuat nafasnya sesak seketika.
Ia berusaha bertahan dengan suhu
tubuhnya yang mulai menggigil kedinginan bercampur mual dan mata
berkunang-kunang.
Begitu melihat Rendra membuka
tirai gubuk gelap berdinding papan reklame yang nempel di dinding beton
jembatan itu spontan bau bangkai menguar teramat pekat, membuat Rendra menutup
hidung.
Entah apa yang terjadi,
tiba-tiba tubuhnya luluh dan roboh seiring guncangan tubuhnya yang terguguk. Ia
menangis keras layaknya seorang anak kecil saat ditinggal ibunya.
“Bapakkk…!!!”
Ia mulai gemetar melihat sosok
lelaki yang ia kenal ketangguhannya menangis sedu sedan menyeret keluar dari
gubuk papan reklame sesosok lelaki tua yang telah terbujur kaku dan bocah
lelaki yang terkulai lemas. Ia tak henti-hentinya membangunkan bocah itu sambil
bercucuran air mata dan menekan dadanya berulangkali. Dari wajahnya tampak
putus asa memberikan nafas buatan dari mulutnya. Tapi bocah lelaki bertubuh
dekil itu tak bergerak juga, hingga ia pun menjerit keras.
"Bapakkk...!!!" Jerit
histeri Rendra keras berulangkali membuat nafas Chika benar-benar sesak, ia
berusaha menahan kesadarannya dengan tubuhnya yang bergetar pilu meneteskan air
mata tak terbendung melihat pemandangan dua sosok mayat di hadapan sahabatnya.
“Andai saja aku tahu itu
adikmu,” batinnya Chika benar-beanr remuk
Dengan sedikit kesadaran yang
tersisa, ia mendengar jeritan suara dirinya memanggil-manggil ayahnya yang
telah diseret-seret masuk ke truk bersamaan beberapa orang berseragam.
Suasana di luar kian mencekam
saat terdengar adzan isya’, tak seperti biasanya hampir tempat-tempat ibadah
senyap tanpa jamaah. Bulan sabit di sudut kampung halaman kian menyeramkan
dengan sepoi angin membawa bau darah dari ujung sana.
Beberapa saat kemudian terdengar
jerit tangis ibu-ibu diiringi suara tangis keras, yang sesaat kemudian mendadak
diam.
Sunyi…
Terdengar beberapa orang tak
dikenal menyelusup lewat jendela yang perlahan terdengar mendobrak pintu kamar.
Chika kecil yang tengah membaca di kamarnya, sesaat melompat dari kursinya
meraih gunting, mematikan lampu dan bersembunyi di bawah ranjang. Suara itu
dekat dan semakin dekat menuju ke arah kamarnya.
Beberapa saat sebelumnya
terdengar jeritan kakak perempuannya yang lekas lenyap.
Gemetar dan keringat mengucur
dari dahinya saat terdengar langkah sepatu lars itu berputar-putar di kamarnya
dan tak lama terdengar jeritan ibunya, yang beberapa saat terdengar pintu
terdobrak.
Bunyi peluit dari luar seakan
memecah kebekuan malam begitu mereka keluar dari rumah, yang tak lama kemudian
terdengar truk itu berjalan meninggalkan kehampaan yang begitu menyeramkan.
Saat itu ia sempat mengintip
lewat jendela kamar, rupanya ayahnya diseret segerombolan orang berbaju preman
dan ditarik ke dalam truk. Langkah Chika menuju kamar kakaknya sontak hendak
menjerit melihat tubuh kakak perempuanya terbujur kaku di atas ranjang dengan
peluru tembus di dada.
Cepat-cepat ia lari ke arah
kamar lain. Ibunya terbujur kaku di balik selimut merah muda dengan darah
berceceran, sementara kakak laki-lakinya tergelepar di atas lantai dengan mata
melotot.
Tubuh Chika lemas
terhuyung-huyung membentur lemari kayu. Ia berusaha bangun, namun tubuhnya yang
gemetar tak mampu menahan berat badannya hingga tersungkur jatuh.
Saat itulah telinganya
berdenging mencoba bertahan meskipun badannya mulai lemas seakan tak bertulang
hingga sadar tubuhnya melayang terjatuh dari atas tangga.
"Chika!!!" Jeritan
itulah suara terakhir yang ia dengar hingga hilang kesadaran.
Siang itu seperti hari buruk
bagi keduanya. Rendra menemukan ayah dan adiknya yang bertahun-tahun dicarinya
kini bertemu yang terakhir kali dalam kondisi mati tragis. Sementara memori
tragedi keluarga Chika yang berusaha ia pendam dan kubur erat-erat demi
memperjuangkan hidupnya kini kembali terkuak jelas dalam bayangannya.
@@@
Sore itu Yogya gencar
pemberitaan kematian bapak dan anak keluarga Pekerja Sosial Rumah Singgah anak
Jalanan yang mati kelaparan di bawah kolong jembatan.
Izack yang baru selesai rapat
besar dengan ketua BEM se jabodetabek kaget melihat kiriman foto istrinya digotong
dari kolong jembatan jalan raya.
Ia seperti kehilangan kesadaran
begitu berdiri di ruang parkir, tak tahu harus bagaimana. Tubuhnya lemas,
pikirannya macet. Hingga dua orang lelaki datang menawarkan pertolongan. Tapi
sesaat ia sadar ia sedang dimana dan apa yang mesti dia lakukan.
"Bro! Aku minta tolong,
handle kan acara nanti malam ya"
"Mau kemana kamu?"
"Istriku darurat"
"Ke Yogya?"
"Iya"
"Kau ini, Markas Besar kamu
anggap main-main"
Beberapa orang datang
menghampiri hingga terjadi sedikit keributan, namun begitu senior mereka yang
menjadi professor muda di sebuah kampus negeri datang langsung mempersilahkan
kepergian Izack yang membuat semua terdiam.
"Terimakasih banyak,
Bang" ucap Izack tidak enak, sembari langsung masuk mobil dan tancap gas
meninggalkan area parkir kantor.
"Kalian semua belum pernah
merasakan bagaimana rasanya punya istri digotong keluar dari kolong jembatan
kan??"
"Maksudnya?!"
"Lihat ini!" Seru
seniornya menunjukkan penggalan video berita di Yogya
"Tapi Bang!"
"Nanti kalau kalian sudah
berkeluarga baru akan paham"
"Sekarang percuma saja aja
aku jelaskan detil ke kalian" ujar lelaki berbadan gempal memakai rompi
coklat muda meninggalkan jejak kebingungan dari para juniornya.
@@@
Sepanjang perjalanan Izack
berusaha menghubungi teman-teman kostan Hendrik, bahkan teman kost Chika, Heni.
Tapi tak ada satupun yang tahu keberadaan Chika dimana. Sementara teman-teman Ranting
sibuk dengan agenda satu minggu ke depan.
Izack berharap mendapat
kepastian kondisi Chika, agar dirinya tidak jadi berangkat ke Yogya
mempertanggungjawabkan agenda yang sudah dia buat sendiri untuk teman-teman di
Pusat. Namun sampai matahari nyaris tenggelam, ia belum mendapat kabar apapun.
Hingga terbetik tanya nomor Rendra pada Heni.
Saat menelpon Rendra, lelaki itu
masih berkabung di rumah sakit menunggu hasil autopsi ayahnya. Mendengar
penjelasan Rendra tentang kejadian siang itu membuat Izack mulai meradang dengan
lelaki itu. Tapi ia sadar, jika kemarahan meledak saat itu, ia mungkin akan
mengancam Chika yang belum sadar hingga detik itu.
Malam hari dengan perasaan galau
dan tergesa-gesa, Izack melangkah masuk ke salah satu bilik ruang UGD. Melihat
Rendra di sebelah istrinya antara kaget dan kecewa. Tapi lelaki itu tak
peduli, ia langsung memeluk dan menciumi istrinya di depan Rendra yang bergeser
dari sisi Chika.
"Tidak apa-apa kan?"
ujarnya menggeragapi tubuhnya yang terbungkus selimut dan kepala yang dibebat perban
karena benturan anak tangga
"Ya sudah Chik, aku pamit
dulu mesti ngurus jenazah bapak dan adikku"
"Oh, ya Ren, Maaf"
“Harusnya aku yang minta maaf
sudah bikin kamu seperti ini” ujar Rendra yang langsung membuat Izack membuang
muka kesal
"Mari Bang… " pamit
Rendra sekilas yang tidak begitu dipedulikan Izack, dan baru kali ini Chika
melihat suaminya marah dengan bahasa diam dan raut yang sama sekali tidak enak
dilihat.
Tak lama kemudian dua orang
perawat datang melepas infus dan mengatakan kondisi Chika yang sudah jauh
membaik dan diperbolehkan pulang. Izack segera mengurus administrasinya dan
menunggu beberapa saat di ruang tunggu. Melihat kedatangan Rendra mengurus
administrasi, Izack enggan menyapa. Ia pura-pura tidak melihat dan menghindari
tatapan itu sambil menelpon seseorang. Tiba-tiba ia melihat sepasang kaki
berbalut sepatu boot berdiri di depannya.
"Gimana dok, luka perut
istri saya?"
"Oh.. itu istrinya? Saya
kira pacarnya" tawa dokter yang disambut senyum malu Chika dan Rendra yang
muncul kemudian
"Untung nggak sampai
membuka lagi itu luka. Soalnya beberapa kejadian jika kebentur dan tergores
seperti itu, luka kembali robek" jawab dokter membuat Rendra merasa sangat
bersalah
"Okey, terimakasih
dok" jawab Izack yang sengaja tak mau melihat wajah Rendra lagi.
"Ren, aku pamit dulu"
"Okey, balik ke kost atau
ke Jakarta nih?"
"Kost lah,"
"Ikut ke Jakarta"
Izack menarik pergelangannya
"Lah?!!" Chika melotot
"Ayok!!" ujar Izack menuntun
gadis itu yang melirik kesal
"Besok ulangi lagi. Jangan
tanggung-tanggung, panjat itu gedung DPR" cletuk Izack membuat Chika yang
berjalan lambat terpincang-pincang dengan luka kepala yang perih tersenyum geli.
Tak lama dari itu perawat datang
menawarkan kursi roda untuknya dan Izack mulai kembali mendorongnya menuju
pintu keluar.
"Kamu itu hanya punya dua
kekuatan, lari kencang atau pingsan.
Makanya kalau sudah tahu begitu jangan berulah" ujar Izack
menggamitnya gemas membuat Chika terkekeh.
Dari jauh Rendra yang melihat
pemandangan itu terlihat seperti kakak beradik yang tengah bergurau. Mereka
terlihat harmonis dengan senyum tawa mereka saat mobil datang menjemputnya.
Saat di dalam mobil Izack
mengeluarkan ponsel dan membuka beberapa foto yang dikirim seseorang.
"Ternyata istriku
bermental preman, eh!" tawa Izack geli memperlihatkan foto istrinya di layar
Hp memanjat pagar besi kampus yang cukup tinggi membuat Chika tertawa lebar
menekan perutnya yang sesekali masih terasa nyeri.
"Yang bikin aku deg-degan
lalu lemas itu karena dikejar-kejar Satpam"
"Tapi mau gimana
lagi,"
"Belum makan?"
Chika meringis "Belum"
"Nah, kan?!"
"Niatku keluar dari
Perpustakaan mau makan, Bang..." protesnya
"Ya sudah, nikmati itu
sakit"
"Tapi melihat dari cara
manjatmu ini bukan sekali ini aja. Benar kan?!"
Chika sembunyikan tawa geli
membayangkan dirinya saat ia diburu waktu pekerjaannya mesti memanjat pagar
kampus untuk memangkas waktu.
"Hehe..."
Izack noyor keningnya yang
kemudian memakaikan seat belt, dan perlahan mendekatkan wajahnya membuat gadis
itu spontan menggigit bibir bawah takut dan cemas. Namun Izack tertawa geli dan
mengecup pipinya, ia menyentuh bibir dengan jarinya membuat Chika kaget dan
membuka mata melirik suaminya.
“Kapan-kapan pakai pelembab bibir,
biar nggak kering”
Chika melirik kesal membuat Izack
tertawa geli melihat pelototan matanya yang kecil.
“Bang, aku tanya kamu sekali
lagi”
“Hm,”
“Kenapa kamu mau menikahiku?”
Izack hanya diam mengembangkan
senyumnya sembari memutar setir mengendalikan kendaraan keluar dari area parkir
Rumah Sakit.
“Kamu menemukanku bukankah tanpa
pakai kosmetik sedikitpun?”
“Kalau kamu mau wanita seksi
yang glowing, kenapa mesti sama aku?!” tukasnya sewot
“Aku paling benci jadi bahan tontonan
bangsa kalian” jawabnya spontan yang membuat Izack tertawa lebar
“Ah… kenapa sih.. cuman saran
aja, kalau nggak mau ya nggak apa-apa, nggak usah kemana-mana” ujarnya cooling
down
“Bang,
yang namanya pernikahan itu win win solution? Aku nggak suka kamu atur-atur”
“Okey-okey!” Lagi-lagi Izack
hanya sambil geleng-geleng kepala tertawa bagaimana logika berpikir istrinya
Seketika tangan Izack meraih
jemari Chika yang lentik dan menciumnya hangat.
“Tidak salah aku memilih istri
yang cerdas”
“Kamu tahu? Tanpa make up pun
kamu sudah terlihat seksi, dan aku suka itu” ujarnya lagi-lagi mengangkat
jemari Chika dan mencium lembut.
Sore itu langit tampak cerah,
gulungan awan di ujung langit sana seperti sedang menyambut keduanya yang kembali
bersama setelah sekian lama terpisah.
17
Basecamp movement
AMI di rumah Izack
Sore itu rumah orang tua Izack
yang ada di Yogya terlihat rame oleh anak-anak AMI.
Mereka tengah menyiapkan spanduk
dan selebaran di ruang tv sebelah dapur. Tampak para senior asyik ngobrol
selesai menyantap makan malam. Sementara dua orang ibu-ibu sibuk menyajikan
sarapan di dapur. Chika yang baru datang bersama Izack agak kaget melihat
keramaian di rumah itu.
"Ada acara apa, Bang?"
"Aksi turun jalan"
"Hadeuh..." keluhnya
lirih
"Kenapa?!"
Chika nyengir "Hehe...
tidak"
"Banyak hal yang perlu kamu
kerjakan dibanding memikirkan pikiranmu sendiri, Non"
Chika berkecap kesal “Bang, apa
yang aku kerjakan tadi bukan bagian dari kepentingan rakyat”
“Kamu nggak bisa melawan
Oligarki hanya dengan tanganmu sendiri, Non”
“Kita
butuh kekuatan masa, dan masa terbaik adalah Mahasiswa” tatapnya dalam sambil meletakkan
kedua tangannya di atas pundak Chika yang membuatnya sedikit risih.
“Begini ini, otakku berasa ingin
meledak saat dengar kalian demo”
“Ya sudah, kalau nggak mau
dengar mereka masuk ruang Pustaka aja” ujar Izack melingkarkan kedua tangannya ke
pundak
“Tolong, sebentar saja” bisiknya
penuh isyarat “Ini untuk kebaikanmu juga” ujarnya sambil tersenyum menang saat
gadis itu tidak lagi menangkis tangannya
Spontan sambutan berdatangan
begitu tahu senior mereka datang.
“Loh, kak..?” seru beberapa
orang penasaran sambil menunjuk pada balutan perban di kepala Chika membuat
keduanya bingung menjawab
Tiba-tiba saja Leo si ketua AMI
cabang Yogya muncul “Ssst..! berisik kalian, ayo makan dulu Chik”
"Aduh.. mesranya.."
celoteh lainnya lagi
“Bang! jangan bikin iri kami di
sini lah”
"Loh, Bang. Kamu di
sini?"
“Plukk!” pukulan mendarat di
kepala lelaki kurus dengan kacamata tebalnya "Kalau dia nggak di sini,
mana bisa kita masuk O'on?!"
"Makan dulu, Bro" ajak
Leo
"Makan dulu mas Izack, mbak
Chika" ucap mak Yah si ibu yang langganan masak-masak saat Izack di rumah
"Makan dulu, Sayang," Izack
menggiring Chika ke dapur
"So sweeeetttt… apa kata
dunia??? Baru kali ini aku dengar orang kokoh se kokoh karang di tengah lautan
panggil-panggil Sayang" gelegak tawa spontan riuh memenuhi suasana rumah
dengan tata ruang model jepang yang khas dengan suasana etnik lampu neon kuning
keemasan menerangi halaman tengah berbatu dan gazebo.
Wajah Chika yang pucat spontan
berubah merah merona mendengar celuitan mereka. Izack yang menghilang dan
muncul kemudian dengan sepiring nasi berusaha menyuapkan untuknya tapi
lagi-lagi temannya heboh bersorak membuat wajah gadis itu spontan kemerahan dan
merebut piring darinya.
"Hei... kalau iri, langsung
aja ke pernikahan"
"Kamu Bang, punya
perusahaan, kita mau kasih makan apa anak orang?"
"Ya kerja dong,"
"Lelaki seusia kalian itu
sudah bukan zamannya lagi tunggu kiriman orang tua"
“Dan aku memilih dia, karena
mandiri secara keuangan”
Jlebbb, suasana spontan hening
dan melengos membuat Chika tertawa geli melihat reaksi juniornya.
“Tuh!! Dengar, para cewek!”
“Kalau kalian menginginkan
lelaki macam Kak Izack, mulai sekarang bekerjalah”
“Jangan menghalu seperti di
drama Asia”
Tak mau kalah dengan kata-kata
itu seorang cewek bersuara “Hei! Kalian harusnya juga menghasilkan uang, bukan
pacaran tapi modal duit dari orang tua!”
“Apalagi ngereti duit si
cewek”
“Nggak modal banget”
“Tull!!” seru mereka riuh
Suara mereka perlahan lenyap
seiring pemberitaan tv yang mengabarkan kematian dua orang gelandangan yang
mati di kolong jembatan. Melihat sosok Rendra, raut Izack tampak nggak suka.
Tapi ia penasaran dengan isi berita tersebut hingga mendengarkannya dengan
seksama.
Beberapa saat mereka mulai asyik
berkomentar sendiri tanpa mempedulikan siapa orang tersebut, hingga muncullah
badan Chika yang terkulai lemas di atas tandu.
"Loh?" dua orang
melihat bergantian pada layar dan memastikan baju Chika
Izack yang duduk di sebelahnya
hanya mengusap rambut dan menciumi keningnya hangat. Meskipun sebenarnya ia risih,
tapi Chika mulai belajar membiasakan diri dengan kebiasaan baru Izack yang
demikian demi menjaga harga dirinya sebagai seorang lelaki.
Tiba-tiba saja dua orang datang
berkomentar "Namanya saja keren, Social worker… ujung-ujungnya menjual
kemiskinan demi penghidupan mereka"
"Yah, atas nama kemiskinan
dan bla-bla mereka setidaknya bisa hidup"
Spontan raut Chika seperti
tertusuk belati. Ia meletakkan piringnya pada meja kaca di sebelahnya.
"Prakk!"
Semua mata tertuju pada Chika,
termasuk dua orang yang berkata.
"Hati-hati kalau bicara,
Bung… Kalian ini orang akademisi sekaligus aktivis mahasiswa ternama. Percuma
saja kalau nggak punya otak untuk berpikir"
Izack meraup wajahnya seketika mendengar
suara Chika yang bergetar penuh amarah.
"Bukankah untuk orang-orang
seperti mereka juga kan, kalian berkumpul malam ini?"
"Kalau benar Social
Worker itu menjual kemiskinan, mau apa?"
"Setidaknya dibanding
kalian, pelayanan mereka ke masyarakat lebih nyata dibanding kalian yang tiap
hari cuma cuap-cuap dan kongkow-kongkow"
"Diskusi yang nggak jelas
jluntrungnya, demo dengan spanduk ngawur dan norak" katanya meraup dan
meremas spanduk di meja.
"Kalau kalian memang punya
otak, mestinya tidak akan demo dengan cara tulisan seperti ini" Chika
mengacung-acungkan kertas ke udara
"Hei goblok! Tahu tidak,
bahwa kata-kata itu merupakan sindiran"
Chika mencibir "Harusnya
aku yang mengataimu goblok"
"Kata-kata yang kalian
pakai itu menunjukkan rendahnya literasi kalian, tahu tidak?!"
"Hei! lonte, kamu pikir
setelah menikahi Bang Izack kamu bisa bicara seenaknya?"
Seketika raut Chika seperti
tertusuk belati yang ke sekian kalinya, membuat matanya spontan berkaca-kaca.
Wajahnya mulai terkesumat dengan kepalan tangan yang siap-siap menonjok wajah
lelaki itu. Begitu juga dengan lelaki tersebut yang terpancing emosi melangkah
maju. Namun ia keburu ditahan dua orang di belakangnya.
"Bang, jangan-jangan kamu
sudah disusupi pemahaman komunis sama dia!" teriak lelaki itu menuding ke
Chika
"Aku menduga orang-orang di
belakangmu seperti itu, dan mendorong AMI masuk ke lembah mereka" teriak
dua orang itu berusaha menghalau cengkeraman teman-temannya yang segera diseret
keluar dari rumah.
Hening, kehidupan seakan
mendadak mati saat dua orang itu tak ada. Izack hanya menarik nafas dalam. Ia
berpikir seribu kali untuk angkat suara, karena apa yang terjadi efeknya bakal
panjang untuk dirinya. Seketika itu ia menarik Chika masuk ke kamarnya dan
mendudukkan tubuh istrinya di atas meja kerjanya, sementara dirinya duduk di
kursi tepat mengahadap gadis itu yang melengoskan wajah kesal.
Lelaki itu diam menatap wajah
istrinya cukup lama. Ia menarik nafas sesekali dan kembali menyandarkan
punggungnya pada sofa dengan kedua tangan dilipat ke dada. Melihat gadis itu
tetap melengoskan wajah, ia kembali menarik wajah itu ke arahnya.
“Bukankah waktu di Apartemen
sudah pernah aku ingatkan?” suaranya terdengar lembut
“Kemarin-kemarin, kamu mau
berkata semaumu tidak masalah”
“Tapi sekarang efeknya bisa
kemana-mana”
Raut Chika tak mau menatap “Aku
heran, kenapa kamu justru membela orang lain”
“Aku tidak membela dia, tapi
tidak membenarkan sikapmu juga”
“Diingat sekali lagi; kamu akan
belajar banyak mendengar daripada berbicara, dan akan belajar banyak mengamati
daripada justifikasi”
"Hanya itu"
"Tapi dia sudah keterlaluan
mengejek mereka, Bang"
"Iya, aku tahu. Apalagi
posisimu sebagai objek pembicaraan tadi yang tahu betul medan di lapangan"
"Tapi ya itulah hakikatnya
pimpinan"
"Dia bicara seperti itu, ya
hak dia kan?!"
“Tinggal bagaimana kamu
mensikapi dia”
“Itu saja sebenarnya”
“Berapa kali saja aku difitnah
mass media?”
“Dan apa jadinya jika marah lalu
membalas mereka? Tidak akan selesai pekerjaanku hanya untuk mengurusi mereka”
Jlebb! Chika diam menarik nafas
antara kesal sambil berulang kali mengusap air mata yang jatuh berulang kali
tanpa bisa dibendung membayangkan bocah kecil yang lari mencuri apel beberapa
minggu lalu. Dan orang tua yang badannya terlalu ceking tewas terbujur kaku
dengan bau bangkai menyengat.
“Kamu tahu tidak sih, mereka itu
adalah bapak dan anak kecil yang aku kasih makan tempo lalu setelah kita keluar
dari rumah sakit”
“Yang di Resto itu?”
“Hm, ya!”
Izack mengembangkan senyum
lebarnya sembari mengusap-usap kedua lengannya yang langsung dihalau dan
dibanting kesal. Tapi Izack masih berusaha memahaminya, ia tampak menarik
nafasnya perlahan dan berusaha tersenyum sekalipun sulit.
“Mahasiswa hari ini kurang
begitu respek dengan kehidupan masyarakat kita yang seperti itu”
"Aku tahu kamu sering di
lapangan dan tahu betul medan, tapi setidaknya saat ini kamu hanya sebagai
pengamat saja, cukup. Jangan memasukkan emosi di dalamnya”
“Negara ini nggak hanya butuh
orang cerdas, tapi juga orang bermental sehat”
Chika menarik nafas
tersengal-sengal mencoba menahan dan menenangkan diri mendengar kata-kata
suaminya yang lembut. Izack bangkit dan mengusap air matanya hingga mendekapnya
erat.
“Kamu tahu sendiri bagaimana
kalau mereka rapat, kadang ada meja yang jungkir balik, ada buku yang melayang”
“Tapi ya itulah mereka,”
“Dan harusnya memang tidak
seperti itu”
“Tapi jangankan Mahasiswa, pimpinan
kita di atas pun masih sama seperti itu”
“Adu mulut nrocos lalu
ngata-ngatai lawan bicaranya” ujarnya mengusap rambut Chika dalam dekapan dada.
Saat itulah tiba-tiba mak Yah datang mengetuk pintu membawakan se nampan
sarapan dan susu hangat yang Chika tinggalkan.
“Oh iya Mak, terimakasih" jawab
Izack sopan
Kini rautnya terlihat lemas
memandang sarapannya yang baru dimakan beberapa suap. Ia menundukkan wajahnya
kesal hendak menangis.
“Sudah, habiskan dulu makanmu,
anggap saja angin lewat” tatap lembut mata lelaki itu dan mengusap-usap lengan
mencoba menenangkan
“Nanti kalau wajahmu muncul di
laman pencarian untuk masalah ini, jangan bereaksi lagi. Biarkan saja”
“Kalau nggak tahan, jangan
pernah dibaca”
“Nanti kalau…”
“Ssstt… lakukan saja apa kataku,
aku sudah sering dihasut seperti itu” jarinya menutup sebagian bibir Chika dan
kembali berdiri
“Okey, aku mandi dulu”
“Woww…” batinnya lirih terpesona
melihat kepergian suaminya yang tidak hanya tampan, melainkan berkarakter
keren.
“Mimpikah aku bisa ketemu orang
seperti dia?” pikirnya lagi melihat lelaki itu terakhir kalinya menutup pintu
kamar mandi
@@@
Malam itu juga lelaki yang
membuat hati Chika makin terpikat terasa berat saat dirinya harus ditinggal
pergi lagi. Keduanya berdiri lama di depan rumah setelah beberapa menit yang
lalu teman-teman AMI meninggalkannya.
“Bang, boleh aku minta peluk?”
suaranya malu campur takut yang spontan disambut tawa geli Izack seketika
dipeluknya erat dan dicium ubun-ubunnya. Saat itulah rasa sakit dan ngilu bekas
luka seakan luruh semua hingga ujung kaki.
“Beneran nih, nggak mau ikut
abang?”
“Ntar kangen, terus pura-pura
bikin ulah?”
“Haha… dasar narsis”
“Andai kamu tahu aku sejak dulu,
beginilah kehidupanku”
“Soal kamu khawatir dan tidak,
itu urusanmu” cetus Chika berusaha melepas pelukannya yang ditahan oleh
lingkaran kedua tangan Izack di punggungnya.
“Memang susah ternyata punya
istri kritis” jawab Izack mengulum senyum menggesekkan ujung hidungnya dengan
ujung hidung Chika yang kecil.
Saat Izack hendak melepas dekapan,
tanpa ragu Chika kembali menempelkan kepala pada pelukannya yang kembali
didekap.
“Ah… seperti ini tuh, rasanya
jadi berat pergi”
“Jangan ding, ntar aku nggak
bisa makan lagi”
“???”
“Maksud?”
“Yak? Kalau kamu nggak kerja kan
kita nggak bisa makan, Bang”
“Haha.. se sempit itu pikiranmu”
ujarnya hingga driver taksi membunyikan klakson mengingatkan.
Saat lelaki itu membuka pintu
mobil ia kembali membuka kaca jendela. Izack diam menatap kesal yang langsung
membuat Chika tersenyum lebar.
"Sini!"
"Apa?"
"Sini," isyaratnya meminta
Chika mendekat
Chika menunduk, saat itulah Izack
mencium bibir manisnya yang membuat raut Chika merah seketika mengusap-usap
bibirnya.
“Ampunnn…”
“Bibir itu mengandung bakteri
dan kuman, aku nggak mau ketularan penyakitmu!” Spontan Izack tertawa terkikik
geli
"Sudah ada tanda-tanda
belum?"
"Tanda apa?"
"Bukannya katamu, kalau
dicium bakal punya anak?"
Chika menutup malu wajahnya
"Hei! kapan kita punya anak
beneran?" bisik Izack seakan tidak rela meninggalkan istrinya
"Iya dari tepung"
“Sudah Pak, jalan” kata Chika pada
sopir membuat Izack geleng-geleng seakan mengatakan “Jahat benar kamu yah,
nggak paham orang lagi kangen”
"Yukk!" Izack
melambaikan tangan dengan tatapan mata berat berpisah, begitu juga dengan Chika
yang kini mulai merasakan perasaan sakit saat melihat kepergian lelaki yang
membuat nyaman dengan dekapannya
Tiba-tiba saja Hendrik datang
“Loh? Sudah pergi?!”
“Hm, itu”
“Ooo.. ya sudah”
“Kenapa emang?”
“Ini, titipannya buatmu”
Chika melongo
“Ah.. akhirnya es kutub mencair
juga kedatangan gadis polos” ujar Hendrik tersenyum melihat kepergian Izack
yang membuat Chika nyengir bingung
“Gimana? Sudah sehat kah?”
“Hm, sudah, Bang”
“Okey, aku pergi dulu”
“Terimakasih banyak, Bang”
“Hm, jangan bikin ulah lagi.
Kasihan dia bolak balik Jakarta Yogya, masih kena semprot Mahasiswa se
Indonesia pula” katanya pergi begitu saja meninggalkan perasaan bersalah yang
dalam
“Ingat… hanya dengar dan
perhatikan saja. Okey?!” suara lembut itu seakan kembali terdengar lembut di
telinganya meninggalkan senyum tenang dan kembali masuk ke kostannya.
@@@
Sepanjang malam hampir saja ia gusar
tak bisa tidur membayangkan ada guling hangat yang membuat malam-malamnya
begitu damai. Lagi-lagi ia tersenyum membayangkan tiap lekukan tubuh lelaki
yang diam-diam ia mulai menikmatinya di antara perasaan canggung dan cemas.
Tiba-tiba pesan masuk;
Sudah tidur?
Belum
Cepat tidur, kamu terlalu capek
akhir-akhir ini. Jangan begadang terus
Sudah
sampai kah (tanya Chika lagi)
Sudah
Ini sudah dijemput Ozin
Yok,
Bye
Belum sempat mematikan kabel
data, ia teringat janji dengan seniornya Dhani di Perpustakaan kemarin.
“Ah…! Iya”
Ia kembali bangun untuk
mengambil laptop, tapi hp nya kembali bergetar.
“Tidur,” wajah geram Izack
membuka video call
“Hehe.. iya, Bang. Ini baru mau
tidur” tangannya kembali meletakkan laptop
“Aku nggak percaya jika masih
online”
Lagi-lagi Chika beralasan
membuat Izack kembali kesal, ia hanya menatap diam penuh penegasan membuat
gadis itu kembali diam tak berkutik.
“Baik.. baik”
Klik! Layar ponsel mati dan ia
kembali tidur meringkuk di bawah selimut halus nan lembut berandai-andai dalam
dekapan tubuh Izack yag selalu hangat.
18
Pertemuan dengan
Dhani
Saat jarum jam menunjukkan angka
10.30 Chika lari tergopoh-gopoh menuju perpustakaan pusat. Melihat sekelebat
juniornya di balik dinding kaca, lelaki bermata sipit itu tersenyum lebar. Ia
kembali membuka buku dan mulai menulisnya ke dalam laptop.
“Halo, Kak. Sudah lama ya?”
“Halo… belum, tenang aja” sambut
Dhani ramah
Gadis imut dengan hem bergaris
kecil putih itu mengambil tempat duduk di sebelahnya yang menghadap ke dinding
kaca.
“Sepertinya aku tertarik dengan proyek
ini, Kak.. kebetulan aku punya gagasan penghijauan di atas lahan bekas Tempat
Pembuangan Akhir”
“Oh, bagus itu”
“Daerah mana?”
“Entah deh, aku browsing dulu”
“Dananya gede itu”
“Hm,” jawabnya mengangguk
“Kota-kota besar, bahkan Yogya
sendiri sebenarnya butuh itu tuh”
“Itu nanti bakal kerja sama
dengan Balai Lingkungan Hidup daerah setempat”
“Emm… sebenarnya Skripsiku
membahas itu juga, Kak”
“Oh… baguslah!”
“Gimana?”
Dengan jarinya yang cekatan dan
menahan nafasnya yang tersengal-sengal, Chika membuka file skripsi.
“Kamu baru lari?”
Chika nyengir “Hm!”
Entah berapa lama mereka terlibat
asyik dalam obrolan. Tiba-tiba seseorang dengan sengaja mengambil foto mereka
berdua. Melihat sekelebat bayangan lelaki yang mengambil foto mereka, Chika
diam sejenak.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa” jawabnya cepat
membuka file dan menunjukkan Bab demi Bab.
Siang itu selesai mereka dari
Perpustakaan Dhani sengaja mentraktir makan siang di Kantin. Di sana beberapa
orang memandang aneh pada Chika membuatnya salah tingkah.
“Kenapa orang-orang melihatmu
seperti itu?”
“Ada yang salah denganku kah
Kak?”
Dhani menggeleng bingung merasa
gadis itu baik-baik saja.
Sore itu belum juga ia masuk ke
kostannya, tiba-tiba ibu kost datang mengadu.
“Mbak, kamu kenapa? Kok
tiba-tiba ada orang yang melempari jendela dan pintu kamarmu dengan telor dan
sampah busuk”
“Tolong cepat dibersihkan mbak”
kata si ibu itu pergi begitu saja
Chika melotot kaget, feelingnya
langsung teringat dirinya waktu di Perpustakaan dan di kantin, beberapa orang
memandangnya dengan tatapan tidak enak.
“Ah.. ada apalagi ini?” pikirnya
lelah cepat-cepat membuka pintu kamar meletakkan tas dan mulai membersihkannya
dengan membawa alat pel. Tiba-tiba saja seseorang datang
“Mbak, sebaiknya hati-hati
dirimu kalau waktu di luar, suamimu itu orang berpengaruh dalam gerakan
mahasiswa di pusat”
“Situasi di luar sedang memanas”
suara perempuan itu terdengar bersahaja. Ia ragu menoleh ke arah wajah orang
itu, tapi setelah sekian detik barulah ia menoleh namun ternyata perempuan itu
pergi begitu saja meninggalkan tanda tanya siapa sosok perempuan mengenakan rok
se betis.
@@@
Selesai ngepel lantai dan
membersihkan pintu serta jendela, Chika rebahan di kamarnya memandang ponsel
yang sepi sejak kemarin.
“Ada apa dengan dirimu, Bang?”
pikirnya
Tiba-tiba saja suara itu
terdengar keras,
“Ibu mohon, kamu di sini dulu
menunggu situasi membaik ya Nak..”
Chika menghela nafas panjang
“Rupanya seperti ini” pikirnya lagi
Setengah ragu ia mengirim pesan
singkat
Bang..
Pesan itu terkirim dan
ditunggunya sekian menit menatap layar penuh harap. Tapi tak ada tanda-tanda
bakal ada jawaban, ia kembali merebahkan punggungnya.
“Dulu memang aku tidak punya
uang, tapi kehidupanku rasanya jauh lebih bebas daripada hari ini” pikirnya
“Ahhh…”
Matanya kembali melirik pada
ponsel di genggaman. Ia baru sadar tak memiliki satu foto pun yang tersimpan di
galeri ponselnya. Demi mengobati rasa rindu ia mulai browsing foto-fotonya di sosial
media hingga menemukan foto paling keren menurutnya, dan bibirnya yang ranum
pun kembali tersenyum lebar.
Ada rasa sakit yang entah
bagaimana ia melukiskan, terbayang perlakuan dirinya yang terlalu keras dan
curiga. Perlahan senyumnya mengembang pahit terbayang bagaimana suaminya
memperlakukan dirinya terlalu istimewa hingga membuat teman-teman Markas Besar
AMI marah terhadap dirinya.
Sorot matanya yang sayu tersapu
sejuknya pendingin ruangan hingga terpejam erat. Ponselnya kembali bergetar
membuatnya kaget dan terbangun. Itu adalah telephone Dhani.
“Halo, iya Kak?”
“Gimana? sudah kamu lanjutkan?”
“Sepertinya bakal berat, karena
harus bertemu dengan pemerintah daerah segala”
“Tapi ya tidak apa-apa juga.
Kan, prosedurnya memang begitu. Tanah TPA milik daerah”
“Coba konsultasikan sama pak
Iwan yang pernah menangani Penghijauan di daerah-daerah”
“Oke”
“Lalu bagaimana dengan KKNmu?”
“Hehe… biayanya kurang Kak”
“Oh..”
“Jadi di Kalimantan, kan?”
“Hm, iya”
“Apa saja rencanamu?”
“Sttt…” suaranya mendesis seakan
menarik rasa ingin tahunya “Berdasarkan PPL kemarin, aku jadi ingin kembali ke
sana bagaimana dan apa saja yang perlu dilakukan di sana”
“Apa rencananya?”
“Konservasi hutan yang telah
dibakar, Kak”
Tiba-tiba saja telphon masuk.
Itu adalah Izack.
“Maaf kak, ada telphon masuk”
“Hm, oke”
“Besok aku tunggu proposalmu
sampai mana”
Chika nyengir “Tapi…”
“Ayookk!! Jangan menyerah begitu
saja”
“Oke nanti aku coba Kak,” Chika
memutus suara itu dan menerima telphon Izack.
“Gimana? jadi, apa hasil diskusi
siang tadi?”
“Siang??” Chika bingung
menebak-nebak, darimana lelaki itu tahu kalau dirinya siang tadi ngobrol
panjang lebar dengan seniornya dari pasca sarjana.
“Bang… kamu baik-baik saja di situ?” tanyanya
penasaran
Terdengar desis suara tawa di
ujung “Mimpi apa aku semalam, istriku yang imut ini mengkhawatirkanku?”
“Ee… sore tadi pintu kamarku
dilempari telor dan sampah busuk lumayan banyak”
“Kamu tahu siapa pelakunya?”
“Hm,” Chika geleng-geleng kepala
bingung
“Siang tadi, waktu aku ngobrol
dengan kakak pasca sarjana juga ada yang ambil foto kami”
“Oh…”
Izack yang tahu foto itu hanya
senyum-senyum geli membayangkan kepolosan istrinya.
“Seberapa genting sebenarnya
kondisi di sana, Bang?”
“Emm… biasalah yang namanya
proses perubahan seringnya diiringi dengan kekacauan. Tapi bagaimanapun itu
harus dihadapi dan dilakukan”
“Jika tidak, kita akan begini
begini terus”
“Kenapa tidak menuruti kata
kakakmu saja, Bang?”
“Emm… Itulah cita-cita yang aku
rintis sejak smp dulu, membenahi carut marutnya negeri ini”
“Iya tapi resikonya kan besar buat
perusahaanmu, Bang”
“Rizqi sudah diatur sama yang
atas, tenang saja”
Hening,
“Bang, emmm…”
“Bulan depan aku ikut KKN ke
Kalimantan”
Mendadak suara itu seperti
hilang begitu saja
“Bang,”
“Bang!”
“Sudah berapa kali aku katakan,
tunda dulu KKNmu”
“Tapi kan,”
“Tunda dulu” suaranya tegas dan
mati begitu saja
“Nggak bisa, aku kan sudah
daftar”
“Kan bisa aja alasan sakit”
“Pokoknya ditunda”
“tut.. tut.. tut..”
19
Pamit
Mendengar kabar Chika hendak ikut
KKN, bukan main gelisahnya. Ia menunggu telphon yang tak kunjung diangkat
setelah beberapa hari keduanya ribut via Chat untuk menunda KKN. Hingga satu
saat pamannya telphon bahwa Chika hendak KKN di Kalimantan yang kebetulan
bersamaan dengan waktu pemberangkatan Transmigrasi pamannya, spontan tangan Izack
lunglai.
“Oh, begitu…”
"Coba dibicarakan dulu Nak,
benar atau tidaknya"
"Iya pak lek"
"Nak, kalau ngobrol baiknya
langsung ketemu saja. Jangan lewat telphon"
"Itu saran pak lek”
“Pak lek juga paham kesibukanmu,
tapi ya mau gimana lagi? Orang namanya awal berkeluarga, kalau berjauhan ya
seperti itu itu…"
“Maaf ya Nak.. Pak lek gagal
jadi orang tua yang baik. Chika ya begitu itu anaknya”
"Saranku, baiknya kalian
ini satu atap dulu, menghindari hal-hal yang tidak baik" suara Buleknya
dari kejauhan samar-samar terdengar
Izack menarik nafas seakan
meneguk kesabaran di langit teringat saran dirinya untuk istrinya yang ditolak
begitu saja.
"Kemarin dinasehati Mama
juga begitu Bulek, tapi ternyata Chika justru pulang ke Yogya tanpa pamit" jawab
Izack menarik nafas sejuta kesabaran membayangkan betapa sulit istrinya
ditakhlukkan.
“Oh ya?!”
“Ya Allah Nak… Pak lek minta
maaf ya Nak, nanti biar pak lek yang bilang”
“Nggak usah Pak Lek, biar saya
aja”
“Bagaimanapun dia, sekarang
sudah jadi tanggung jawabku”
Saat itu Izack yang berada di
ruang kerja ayahnya seperti orang bingung setelah pamit mengakhiri obrolan. Ia
meletakkan smartphonenya hanya dilirik ayahnya yang tengah serius menekuri
data-data.
"Siapa?"
"Pak lek,"
"Sudah sampaikan maaf Papa,
kalau sampai detik ini keluarga kita belum bisa kesana?"
"Hm, sudah dari kemarin Pa"
Lelaki bertubuh gempal itu
langsung bangkit dari tempat duduknya.
“Izack, dari sejak pertama kali
Papa ngobrol sekilas sama Istrimu, sepertinya dia itu bukan gadis biasa”
"Dia bukan tipikal gadis
yang mudah menggantungkan hidupnya pada orang lain. Termasuk suaminya sendiri"
"Hm, begitulah dia"
jawab Izack memainkan jari
"Dan sekarang kamu biarkan
dia jauh darimu"
"Kamu tidak tahu kan, apa
yang dia pikirkan?"
Izack diam tak berkutik
"Papa dengar, katanya dia
juga sempat dekat dengan salah seorang asisten Dosennya"
"Kamu yakin dia tidak ada
hubungan apa-apa?"
Lagi-lagi Izack hanya diam.
“Bukankah Mamamu pernah
menyarankan dia untuk tinggal di Jakarta sementara waktu?”
“Hm, iya. Tapi saat itu dia kesal
bukan main karena merasa diperlakukan tidak setara dengan lelaki" spontan
Papanya tertawa geli
“Kabarnya KKN dimana?”
“Kalimantan”
“Temuilah dia sebentar,
setidaknya kalian harus ngobrol”
“Aku sudah tidak enak sama
teman-teman Mabes yang sering aku tinggalkan, Pa”
“Kamu pilih keluarga atau
jabatan?”
Izack diam tak berkutik
memainkan ponselnya seperti tengah berpikir keras.
"Siapa yang sponsori aksi
turun jalan kalian??"
“Murni swadaya masyarakat dan
masing-masing BEM se Indonesia serta alumni”
“Berkaca dari yang sudah-sudah Zack,
jangan sampai reformasi hanya menjadi regenerasi. Percuma”
“Hari ini kalian menginginkan
Presiden turun dan kalian me reformasi total”
“Tapi berkaca dari pengalaman
yang sudah-sudah, ketika akhirnya para aktivis Mahasiswa ini masuk ke dalam
politik praktis, bubar semua sudah seperti sekarang”
“Di dalam tubuh kami sendiri
sebenarnya sudah ada bibit itu, Pa”
“Nah, kan?”
“Berapa kali saja rapat berakhir
gaduh. Dan hingga hari ini kami mesti membentuk tim inti untuk mengawal aksi
ini”
“Jangan-jangan yang membocorkan
data Mabes, orang dalam sendiri?”
“Hm, iya”
“Terus gimana?”
“Rencananya kami mau adakan
rapat untuk menyidang orang-orang yang kami duga pelaku, Pa”
"Bagaimana tanggapan
Istrimu"
"Sama sekali tidak
mendukung, karena dianggap pemborosan anggaran negara"
"Loh?"
"Iya, dia berpikir ketika
turun jalan bakal merusak fasilitas umum, dan ketika rusak artinya negara
mengucurkan dana lagi untuk perbaikan" katanya dengan wajah manyun yang
spontan ditertawakan ayahnya
"Sudah ku katakan demo kita
akan aman,"
"Dia ngotot, menolak.
Makanya dia mem blokir nomorku setelah kami diskusi panjang lebar dan dia
marah-marah menekanku untuk menghentikan aksi di jalananan lewat handphone”
Lelaki paruh baya itu hanya
tertawa
“Bukankah dulu kamu selalu
mengharapkan pasangan yang cerdas dan kritis? Ini kamu dihadapkan dengan
pasangan seperti itu kamu nggak siap?”
“Iya, tapi dia itu keras kepala.
Pa”
“Bukan keras kepala tepatnya, Zack…”
“Ya karena dia punya prinsip dan
alasan yang jelas”
“Lha iya, tapi kenapa juga mesti
marah-marah begitu”
“Dia seperti itu karena defense
dia hanya dengan cara seperti itu”
“Dia selalu merasa dalam keadaan
bahaya dan tidak aman. Makanya satu-satunya cara memberi rasa aman dia, kamu
peluk deh”
“Dijamin itu cewek sekeras
apapun bakalan takhluk”
“Itu rahasianya orang berumah
tangga, Zack…”
“Kalau kalian mau berpisah,
peluk deh! Kalau perlu, malam sebelumnya kamu ajak tidur bersama”
“Papa yakin memorinya bakalan nempel
ke kamu, apalagi kamu itu lelaki yang digadang-gadang para cewek sejak dulu”
“Jangankan tidur bersama, Pa!
aku cium dia aja curi-curi”
“Woohhh…!”
“Lalu selama kalian tinggal
bersama?”
“Kami tidur di kamar terpisah”
“Itu kesalahanmu”
“Coba sesekali deh, tonton film
romantic anak-anak muda begitu! Jangan nonton film detektif dan aksi terus”
Izack diam tak menjawab. Ia
hanya menarik nafas dalam dan menghembuskannya cepat seakan ingin melepaskan
kekesalannya pada gadis yang ia idam-idamkan selama.
@@@
Dua hari kemudian
Jumat sore, tepatnya di saat
matahari nyaris tenggelam, ia keluar dari kantor Mabes AMI dengan perasaan lega
setelah mendapatkan pelaku pembobolan data Mabes. Sembari berjalan cepat menuju
ruang parkir, Ozin lari mengejar Izack yang hendak masuk mobil, lelaki itu menyerahkan
selembar kertas tiket pesawat.
“Ini cetak tiketnya,
Bang”
“Oke, thanks”
“Sampai Jakarta lagi
kapan?”
“Senin, kali ya?”
“Oke”
“Kalau ada apa-apa,
langsung hubungi aku”
“Baik, bang”
Sesampainya di Yogya, di tengah
kemacetan yang mengular ia melihat istrinya masih bersih-bersih di Rumah Makan
tempat dimana ia sering mampir saat keluar dari Bandara. Melihat itu Izack
geram bukan main, tanpa ambil pusing ia langsung memutar roda depan mobil yang
nyaris saja menabrak kendaraan roda dua dari belakang yang membuatnya diklakson
kendaraan di sekelilingnya. Dan saat itulah ia parkir mobilnya di halaman
parkir warung makan yang tak begitu luas.
Melihat Izack keluar dari
kendaraan, Chika kaget.
"Kamu Bang?!!" ujarnya
melotot lirih
Sekalipun hatinya bergemuruh, Izack
tetap tersenyum tenang duduk di salah satu kursi.
"Makan sini, Mas?"
"Iya, Bu"
"Silahkan ambil sendiri
Mas," kata ibu pemilik Rumah Makan
"Tidak Bu, aku mau istriku
yang ambilkan makanku. Sudah hampir sebulan ini aku nggak pernah dilayani istriku"
kata Izack dengan mata tertuju pada Chika yang melotot membuat ibu si pemilik
Rumah Makan melongo.
"Maksudnya??"
Melihat gelagat Chika pura-pura
tidak melihat, si ibu pemilik Rumah Makan menunjuk Chika penuh isyarat pada Izack
yang hanya menganggukkan dagunya pelan..
"Dia suamimu, Nduk?"
tanya si ibu bingung
Chika mengangguk malu sekilas
dan langsung menghilang mengambilkan sarapan untuknya.
"Lho, tunggu tunggu!! Mas
nya ini bukannya sering kesini juga kan ya?"
"Iya bu, dulu saya sering
banget makan disini, sekarang sudah balik ke Jakarta. Kalau ke Yogya saya
sering mampir kemari bareng teman"
"Oh..."
"Lha terus?? Kenalnya
Chika?"
"Dia junior saya di
organisasi, Bu"
Si ibu bingung, ia cepat-cepat
mendekati Chika yang tengah mengambilkan sarapan untuknya di depan etalase
masakan.
"Kenapa kamu nggak pernah bilang
ke Ibu, Nduk?"
Chika nyengir.
"Kapan?"
"Apanya Bu?"
"Nikah"
"Sepulangku dari Rumah
Sakit"
"Berarti???" pandangan
mata si ibu owner pada keduanya
Izack hanya mengembangkan
senyumnya lebar penuh isyarat melihat Chika diinterogasi si ibu pemilik Rumah
Makan.
Melihat penampilan Izack yang terlalu
elegan, sementara penampilan Chika yang seadanya pandangan si Ibu merasa
aneh.
"Beneran itu suamimu,
Nduk?" Tanyanya lagi balik ke arah Chika dan berbisik yang hanya
dianggukkan
"Kamu sudah menikah, kenapa
nggak bilang-bilang?!!" bisik ibu pemilik Rumah Makan mengikuti Chika yang
tengah menyiapkan menu
"Kalau sampai terjadi
sesuatu, misal kamu dilukai cerita saja Nduk..." bisik ibu melihat gelagat
Chika tak mau buka mulut.
Sayup-sayup Izack mendengar
ucapan itu membuatnya menarik nafas dan memalingkan wajah kesal. Ingin sekali
ia menjawab kecurigaan si ibu pemilik Rumah Makan, tapi percuma saja, toh dia
bukan siapa-siapa.
"Hehe.. bukan Bu, bukan
begitu ceritanya" jawab Chika lirih takut terdengar Izack
"Terus?"
Chika diam tak berkutik. Ia
meletakkan sarapan untuk Izack dan kembali pergi hendak membuatkan jus alpukat
kesukaan Izack. Tapi si ibu pemilik Rumah Makan menarik pergelangannya dan
mendorong Chika untuk kembali duduk di kursi depan Izack yang membuatnya kikuk
dan salah tingkah setelah sekian lama tidak berinteraksi tatap muka dengannya.
Si Ibu pemilik Rumah Makan agak aneh dengan pasangan muda itu, ia ikut duduk di
kursi sebelah Chika.
“Mas nya mau minum apa?”
“Tanya istriku, Bu”
“Jus Alpukat, Bu”
“Jus Alpukat, Na!” seru si ibu
owner pada pelayan lainnya
Izack hanya tersenyum geli
melihat ekspresi keterpaksaan Chika.
"Bang, selesai makan
pulanglah dulu" ujarnya lirih sembari memberi kode Izack untuk segera
menyelesaikan sarapannya.
"Coba dengar bu, aku datang
jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk menemui dia. Teganya aku disuruh
pulang" katanya seakan mengadu
"Kerjaanku belum
kelar..." ujarnya lirih sambil melotot
"Lalu berapa banyak biaya
yang kuhabiskan untuk datang kemari dan meninggalkan pekerjaanku juga?"
“Apa urusanku? Siapa juga yang
suruh datang kemari?!”
“Loh, kok begitu to Nduk?!”
"Nggak baik berkata seperti
itu sama swami, sekalipun kita kesal”
“Manut'o sama swami, biar
hidupmu berkah" ujarnya sedikit berbisik yang membuat Chika masih
bersikukuh melanjutkan beberesnya.
"Sudah, ibu nggak membolehkan
kamu kerja disini kalau kamu nggak nurut sama suamimu"
Gadis itu menghempas nafas kesal
melirik Izack yang menyiratkan senyum lebarnya.
Sunyi, keduanya diam dan saling
menjaga mulut membuat si ibu bingung melihat keduanya.
Si Ibu membisik di belakang
punggung Chika "Suamimu ini sepertinya orang baik-baik, Nduk.. Jangan
sampai membuatnya marah"
Melihat bujukan si ibu owner
membuat Izack mengulum tawa kemenangan, sementara Chika melotot kesal. Ia
kembali menikmati sarapannya cuek dengan wajah happy mendengar istrinya
dinasehati, hanya dalam hitungan menit semua makanan sudah pindah ke perutnya.
"Nikmat rasanya kalau makan
ditunggu istri, Bu" ujar Izack selengekan melirik Chika yang kikuk
"Lha ya iya, to mas...
Banyak anak-anak Mahasiswa yang dulu sering kemari makannya nggak kalah banyak,
tapi entah itu badan kurus ceking seperti tengkorak berjalan gitu. Begitu
mereka datang lagi sudah beristri badannya langsung segar" cerita
panjang lebar si Ibu Owner yang berusaha mengalihkan pembicaraan saat Chika
pergi membawa piring kotor milik Izack.
"Ibu titip Chika ya Mas...
dirawat baik-baik. Jangan dimarahi" ujarnya lirih memandang Izack yang
terus mengamati gerak-gerik Chika di dalam
"Ibu sedih kalau dengar
cerita teman-temannya soal bagaimana kehidupannya sehari-hari”
“Ya Allah mas… pertama kali dia
datang kemari cari kerjaan itu permintaan dia cuman satu, nggak digaji uang
nggak apa-apa asal dibolehkan ikut makan” cerita si ibu Owner dengan mata mulai
nampak berkaca-kaca
“Selama kerja disini juga nggak
pernah ngeluh”
“Padahal ibu tahu, kalau dia itu
sering ngampet capeknya karena mondar-mandir mengatasi kerjaan sampingan juga
tugas-tugas kuliahnya”
“Kadang kalau sudah malam,
warung sepi, dia mulai baca buku sambil buat catatan”
“Nggak jarang juga ibu lihat dia
tertidur di atas bukunya karena saking capeknya. Kadang kalau saya suruh antar
mbaknya dia sering menolak, tapi ibu nggak tega orang tidurnya sudah pulas
banget”
“Lha kemarin ceritanya ibu
dengar dia masuk rumah sakit, tapi ditanya rumah sakit mana nggak ada yang
tahu”
Izack hanya tersenyum, saat
itulah gadis yang selalu memakai hem dengan rambut dikucir itu datang dengan
membawa segelas jus Alpukat segar yang langsung ditangkap Izack dengan sengaja
membuat Chika reflek menarik tangannya hingga si ibu Owner tertawa geli melihat
reaksi anak buahnya yang malu-malu. Sementara Izack tetap merayunya
terang-terangan dengan buaian kata-kata yang menjadikan gadis itu langsung
menyingkir pergi.
"Terimakasih banyak sudah
menjaga istriku, Bu" ucapnya membuat si Ibu menyuruh Chika segera pulang
"Sudah, ayo.. pulang dulu
sana temani suamimu" si ibu menuntun Chika keluar dari Rumah Makan saat Izack
berdiri di depan kasir
Si Ibu merangkul Chika dan
berbisik tanya "Kerjaannya suamimu apa?"
"Seperti yang ibu lihat,
dia nggak kerja. Tukang demo. Makanya saya harus bekerja mencari nafkah"
spontan Izack melirik Chika dengan tatapan kesal
“Halo Bang!!” seru dua orang Mahasiswa
turun dari motornya di parkiran depan Rumah Makan
“Bang, boleh minta fotonya
bareng dong, siapa tahu nanti aku ketularan jadi CEO” dua orang Mahasiswa itu
mendekati Izack saat ia berdiri di sebelah istrinya.
“Hm, Boleh”
“CEO??!” si ibu melototi Chika
“Ah… usaha kecil-kecilan saja
Bu”
“Nggak Bu, bohong. Abang ini
punya perusahaan besar penerbitan dan percetakan di Jakarta”
Lagi-lagi si ibu melotot pada
Chika yang ditinggal pergi begitu saja setelah keduanya bersalaman.
"Ya Allah Nduk... terus
kamu kerja di sini untuk apa?” tawa si Ibu terkagum-kagum menertawakan kekonyolan
Chika yang dianggap merendahkan suaminya.
“Bejo benar nasibmu, Nduk"
ujar si ibu lirih saat empat Mahasiswa itu berdiri bingung melihat ada
perempuan dituntun masuk ke mobilnya
"Itu seperti hadiah
terbesar dari Gusti Allah untuk kerja kerasnya selama ini mas…"
"Lha iya ya bu, susah cari
suami baik, ganteng, dan kaya seperti mas nya" kata seorang Mahasiswi yang
spontan dilirik dua orang lelaki di depannya membuat mereka semua tertawa
@@@
Sepanjang perjalanan Chika tak
berkutik. Ia memalingkan wajahnya pada jendela kaca mobil.
"Czhhh!! Aku paling benci
dengan budaya menganggap lelaki itu segalanya” Ujarnya ngedumel
“Nggak itu Mamamu, nggak itu ibu
Rumah Makan. Sama saja”
Izack hanya senyum sekilas
“Benar aja ya, kalau
teman-temanmu bilang, kamu itu nggak butuh lelaki?”
“Kalaupun nge jomblo itu nggak
jadi stigma buruk di masyarakat, aku pilih hidup sendiri sepanjang usiaku”
“Aku ingat waktu SD dulu, ada
teman cewek; kulitannya putih, kurus ceking, matanya bulat, bibirnya seksi. Aku
paling muak sama dia karena sering bela mati-matian teman cowok”
“Eh kasihan dia, bla bla bla!”
bibirnya nyinyir kesal membuat Izack spontan tertawa geli mencubit hidungnya
yang mungil langsung diusap
“Ampunnn…” lagi-lagi tawa Izack
geli
“Kenapa juga dikasihani, orang kalian
itu makhluk kuat. Harusnya perempuan yang perlu dikasihani?”
“Aneh kan? Sebel banget dengan
budaya seperti ini”
“Bukannya kamu nggak mau
dikasihani juga?”
“Iya, sebel.. berasa lemah”
Spontan Izack tertawa terkekeh
“Terus maumu gimana?”
“Harusnya laki sama perempuan
itu sama”
Izack menghela nafas sesaat
namun ia masih saja tertawa geli mendengar umpatan istrinya.
“Nanti kalau laki sama perempuan
sama, aku nggak bakal suka sama kamu dong”
“Baguslah” potong Chika membuat
Izack berpikir sejenak
“Dan nggak ada ceritanya aku
harus buang uang 200juta percuma ke Rumah Sakit, kan?”
Chika nyengir nggak enak, dan
melotot kemudian seperti baru sadar
“200juta?!!”
Izack hanya menghela nafas menggelengkan
kepala menanggapi gadis berwajah tipis baby face namun karakternya keras kepala.
Chika mulai kembali berhitung dengan uang yang sudah ia pinjam merajuk dan
melakukan bergaining dengan rumahnya.
“Aku nggak butuh pegadaian
rumah, apalagi rumah tua”
“Terus?”
“Aku butuh pegadaian manusia”
“Maksudnya?” Chika melotot
berpikir keras membuat Izack geli melihat ekspresi sekilas istrinya yang keras
kepala tapi lugu
“Maksudnya pegadaian manusia?”
Lagi-lagi Izack hanya melirik
sekilas dan tersenyum geli memperhatikan ekspresi wajah istrinya yang terlalu
imut dengan matanya yang kecil dan bibir tipisnya yang ranum
“Bukannya kamu manusia”
Spontan Chika kaget saat
menangkap apa yang dimaksud Izack yang hanya disenyumi geli. Namun begitu sadar
mobil arahnya tidak menuju ke rumah, Chika mulai melotot
“Mau kemana kita?”
“Kamu maunya kemana?” ujarnya
sembari mengikuti rambu-rambu lalu lintas yang ada di depannya
“Ayo pulang”
“Pulang kemana, kan kamu sudah
pulang di hatiku” ujarnya membuat Chika menahan tawa mendengar rayuan mautnya
Teringat pandangan tidak enak
ibu kostnya yang terlihat sangat mencolok, Izack diam agak lama memperhatikan
pakaian istrinya yang terlihat kumal dan kotor.
“Baju-baju yang kemarin aku
belikan pada kemana?”
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa, aku khawatir
kamu jual lagi” sindir Izack
Spontan Chika tertawa
terpingkal-pingkal “Ampun Bang.. pikiranmu kenapa sejauh itu”
Izack kembali menarik nafas
dalam “Apa susahnya sih perbaiki penampilan?”
“Jlebb!” Chika diam
“Dengan penampilanmu yang
seperti itu, dikira suamimu pelit”
“Ya ini karena aku kerja aja
Bang”
“Tugasmu sekarang belajar, bukan
kerja” nadanya dingin
“Carilah pekerjaan yang ringan
jika masih ingin kerja sebagai aktivitas yang tidak membosankan. Tapi jika
sampai sakit lagi, kamu harus ikut ke Jakarta”
Mendengar ceramah Izack dengan
kekhawatirannya, bukan perasaan takut namun justru rasa kantuk mulai bergelayut
hingga kelopak matannya pun terpejam dan terlelap.
Ia menepiskan laju kendaraanya
dan menutupkan dada Chika dengan jas miliknya yang tergantung di belakang.
Hingga saat senja, laju roda
mulai melambat saat tiba di tanjakan jalanan berliku dengan bentangan
perbukitan dan gunung yang kokoh berdiri seakan menyapa. Hingga berhenti di
sebuah cafe dengan view perbukitan menampakkan semburat keemasan cahaya
matahari di balik gulungan awan kelabu.
"Haaaaahhhhh!!!" pekiknya
lepas begitu keluar dari mobil
"Nah! Nggak jadi
bertelor" cletuk Izack tertawa lebar
"Enak aja!"
"Lah?! Memang iya kan,
sepanjang jalan wajahmu seperti ayam mengerami telor"
Chika terdiam sejenak mengamati tampilan
Café di depannya.
“Bukannya ini dulu Resto ya?”
“Hm, tumben ingat” jawabnya
mendahului langkah Chika masuk dan mendahului naik tangga yang terbuat dari
plat besi.
“Masih ingat?? ada cewek innocent
yang duduk di sudut sana sambil melepas kucir”
Chika melongo penasaran,
sebenarnya sejak kapan lelaki itu punya rasa suka dengan dirinya. Ia masih
ingat betul bagaimana perasannya serasa terjun dari Gedung ratusan meter melihat
naskah buku yang masuk ke penerbit seniornya dikembalikan oleh orang tak
dikenal.
“Kau tahu Bang, aku kesal bukan
main saat itu sama kamu” ujarnya berdiri di bibir lantai berteralis besi
stainless yang berhadapan langsung dengan perbukitan di seberang mata memandang,
sementara tepat di bawahnya dimana ia berdiri adalah jurang yang curam.
“Padahal itu naskah sudah aku
gadang-gadang royaltinya bisa keluar untuk membayar hutang Bank, ternyata justru
kamu kembalikan dan diminta soft copy” ujarnya
“Laptop saja masih pinjam, suruh
ketik ulang” gerutunya lagi
Lelaki itu menarik pandangannya
pada kabut yang mulai menyelimuti perbukitan di seberang sana.
“Sebenarnya itu buku sangat layak
terbit”
“Terus??”
“Kamu tahu nggak sih, ketika
orang baca dengan serius. Itu buku ada kode dan Bahasa sandi untuk mencari
surat perjanjian penyimpanan harta kekayaan negara kita di luar negeri”
“Dan sepertinya itu ada di
Basement rumahmu”
Chika mengernyit lama menatap Izack
yang hanya dibiarkan begitu saja
“Maksudnya?!!”
Tak tahan dengan tatapan wajah
gadis imut itu ia langsung mengalihkan pandangannya pada bentangan perbukitan
nan luas.
“Sebenarnya saat kamu mengajakku
masuk ke Basement sudah aku temukan surat perjanjian itu di balik lukisan
dinding”
“Untungnya aku masih ingat kode
dan petunjuk lewat buku yang kamu masukkan ke perusahaan”
“Saat itu, aku kirim orang untuk
selalu mengawasi kondisi rumah beserta halamannya, karena kata kakek depan
rumahmu sering ada orang yang keluar masuk rumah itu”
“Bahkan satu saat pernah ada
orang yang mencari rumahmu, tapi dia tidak melihatnya sama sekali meskipun sudah
ditunjukkan berkali-kali di depan mata”
“Jadi, aku pikir ayah atau
kakekmu sudah memagari rumah itu dengan kekuatan magic”
“Kamu ngomong apa dari tadi,
Bang?!”
“Respect sedikit kenapa? Sampai
detik ini negara sedang mencari surat perjanjian yang ditanda tangani dua orang
Founding Father dua negara”
“Jika surat perjanjian itu
ditemukan, harta kekayaan kita melimpah. Bahkan untuk melunasi hutang negara”
“Hm???” Chika melotot bingung menahan
pandangannya pada Izack seakan tengah mencari jawaban lebih lanjut di sana.
“Kamu nggak tahu urusan soal
itu?”
Chika menggeleng bingung
“Jadi, founding fathers kita
dulu diserahi harta kekayaan dari raja-raja di seluruh nusantara untuk membangun
negeri ini pasca perang”
“Tapi harta kekayaan itu
disimpan di bank luar negeri yang ditanda tangani oleh dua orang presiden
Indonesia dan Amerika”
“Yang mana saat sebelum beliau
dijebloskan ke penjara, surat perjanjian itu diserahkan pada seorang kurir
untuk disampaikan pada seorang Badan Intelegent Negara. Tapi rupanya kurir itu
dikuntit dalam perjalanan dan kena tembak hingga sekarat”
“Sebelum meninggal, beliau
menyerahkannya pada tentara Indonesia yang saat itu menolong kurir tersebut”
“Surat itu ada dalam galangan
sepeda”
“Maka dari itu dibawalah sepeda
tersebut ke rumahnya demi keamanan surat itu”
“Beliau itu diduga adalah
kakekmu”
“Oh…”
“Nah, ayahmu harusnya tahu soal
itu”
“Apa karena itu ayah diculik?”
“Yyuppp! Saya duga juga seperti
itu”
“Jadi, andaikan itu buku jadi
terbit”
“Rumahmu bakal diincar banyak
orang”
“Kok bisa-bisanya kamu gadaikan
ke Bank, apalagi dengan biaya murah lagi”
Chika melongo
“Kenapa kamu tahu banyak soal
itu?”
“Itu rahasia negara, sayang”
“Yang tahu itu hanya orang-orang
tertentu”
“Terus?”
“Ini proses pelunasan, tinggal
tunggu tanda tanganmu”
Chika bengong
Chika diam seakan
memikirkan sesuatu. Ia menengadahkan wajahnya ke angkasa saat
kabut turun berduyun-duyun menyelimuti pandangannya samar. Izack yang berdiri
di belakangnya hanya menarik baju menyuruhnya duduk.
"Jangan coba-coba terjun
bebas dari situ, Non. Ijazahmu belum keluar" kata Izack mengundang tawa
Chika
Izack kembali duduk di salah
satu kursi kecil membiarkan istrinya kembali berdiri dan menghirup udara fresh
dalam-dalam dan membiarkan wajahnya tersapu kabut yang makin tebal. Sesekali ia
mengambil beberapa foto istrinya dari balik kamera DSLR.
Tahu dirinya jadi objek foto
lelaki di belakangnya, Chika melotot.
"Sedang apa kamu?"
"Terserah akulah, kamera
kameraku... tangan juga tanganku"
"Tapi ini badan,
badanku"
"Salah kamu berdiri di depanku"
Chika langsung berdiri di depan
lelaki itu dan menatap kamera DSLRnya yang hendak direbut. Tapi Izack terlalu
erat menggenggamnya hingga terjadi adegan tarik-tarikan kamera DSLR.
“Ampun! Kehapus semua dataku
nanti” seru Izack membuat Chika sedikit kaget melihat ekspresinya marah
"Ieeeghh...!!" Chika
menggigit tangan Izack spontan membuatnya kesakitan sekaligus tertawa geli. Di
tengah kelengahannya, lelaki bermata bulat itu menarik tangan istrinya hingga
ia terduduk di pangkuannya membuat Chika malu campur grogi. Ia berusaha
bangkit, tapi Izack terus menahannya.
“Nggak enak dilihat orang, Bang”
“Berarti baiknya di kamar?”
“Enak aja!” bibirnya yang merah
ranum manyun membuat Izack gemas mencium pipinya berulang kali
“Dilarang berbuat Asusila di
tempat umum” ujar Chika membungkam mulut Izack
“Coba kamu mau aku sentuh saat
di rumah” pikirnya “Aku nggak akan se gila ini melihat kecantikanmu yang
natural” batinnya bergemuruh
“Gimana rencana KKNmu?” tanyanya
masih tetap menahan Chika dalam pangkuannya
“Hehe… biaya administrasinya
kurang, makanya aku kerja”
Izack berkecap kesal
“Apa susahnya ngomong?”
“Kalau aku ngomong, terus mau
kamu bayari gitu?”
“Lalu biaya rumah sakit itu apa?”
“Aku nggak mau memberatkanmu lagi,
Bang” ucapnya lirih
Izack membelai rambut Chika yang
tergerai lurus dan halus
“Sejak awal niat menikahimu, aku
sudah siap menanggung hidupmu, Cantik” ujarnya kembali mendekap erat hingga
gadis itu merasa tak bisa berkutik
“Ngomong-ngomong Kalimantan
mana?” tanyanya lagi mengendurkan dekapan di balik rambutnya yang tergerai
lurus
“Kalimantan tengah”
Saat seorang pramusaji datang
membawakan menu pesanan mereka, Chika melepas paksa dekapan risih saat pengunjung
mulai berdatangan satu persatu mengisi tempat duduk di sekitar mereka.
Seperti tak ingin hilang dari
hadapannya, Izack bertopang dagu menatap istrinya bercerita seru wacana Konservasi
hutan Kalimantan Tengah untuk KKNnya.
Ia mulai bercerita bagaimana
kehidupan Orang Utan, Bekantan, Tanah Rawa Gambut hingga tanaman obat-obatan
yang dipakai oleh masyarakat suku Dayak perlahan mulai terancam punah.
“Aku nggak yakin, gadis se lemah
kamu bisa bekerja di hutan, apalagi hutan Kalimantan yang masih liar”
“Lagipula kenapa sih, cewek
sekurus kamu suka bidang itu”
“Hahaha… biarpun kurus, aku kuat
Bang”
“Hm?? Kuat?” alis matanya naik
seakan mengingatkan peristiwa pingsan membuat gadis itu tertawa geli teringat
dirinya yang begitu lemah saat dilarikan ke Rumah Sakit. Ada moment perasaan
hangat yang membuat rasa perih itu reda sejenak saat ia dalam dekapan gendongan
turun dari kamarnya menuju parkir mobil.
“Apa yang terjadi andai dia
tidak menolongku saat itu?” pikirnya curi-curi perhatian pada lelaki dengan
tulang rahang tampak kurus itu memandang lurus bentangan alam
“Terimakasih sudah membantuku
sejauh ini, Bang” ujarnya diam-diam memberanikan diri menggapai tangan Izack
yang diletakkan di atas meja membuat lelaki itu kaget
Izack tersenyum membuang muka “Bilang
terimakasih kok baru sekarang,”
“Hehe…” tawanya setika dengan
mata berkaca-kaca
“Aku susah mempercayai orang
lain, Bang”
Izack menarik nafas panjang
seakan memahami apa yang dirasakan gadis itu selama ini. Kehidupannya tidak
semudah yang dijalani sekalipun kondisinya jauh lebih buruk dari yang ia alami.
“Mulai sekarang percayalah
kepadaku”
“Hm,”
“Aku sering berpikir, kita ini
berada di kelas yang berbeda”
“Aku takut satu saat kamu bosan
dan meninggalkanku begitu saja”
Lelaki itu menarik nafas
panjang
“Ketakutanmu itu mengurungmu
selama ini”
“Bantu aku, sayang…”
Teringat kata-kata Hendrik bahwa
sebenarnya banyak lelaki yang menyukainya, namun dia terlalu cuek, rupanya
inilah alasan mengapa ia cuek; ia tidak mudah percaya orang lain.
"Apa nggak ada pilihan lain
selain Kalimantan?" tanya Izack seakan tak rela ditinggal
"Ya itu dari fakultas"
“Aku dengar di lereng pegunungan
Jawa juga ada”
Chika nyengir “Bang..
mati-matian aku berusaha kuliah di bidang ini demi bisa masuk hutan Kalimantan”
Izack melengos berkecap kesal “Tahu
badan bertenaga dikit, nggak bisa diam”
Spontan Chika tertawa lebar
“Aku tertarik dengan vegetasi asli
Kalimantan yang sudah mulai punah karena eksploitasi hutan habis-habisan”
“Siapa tahu bisa aku bawa benih itu
kemari”
“Terus??”
“Jadi proyek lagi”
Izack tersenyum lebar “Apa
hidupmu mau kamu habiskan dari satu proyek ke proyek berikutnya?”
“Hm!” angguknya semangat membuat
dirinya tampak kesal karena merasa tidak dibutuhkan lagi. Ia tampak menarik
nafas pelan seakan sedang menarik seribu kesabaran di udara.
“Okey, kamu bisa pakai semua
uang yang ada di rekening itu untuk bayar Administrasi KKNmu, tapi dengan satu
syarat”
"Okey, baik. Apa?!" nadanya
seakan menantang
Izack mendoyongkan punggungnya
ke atas meja dan memberi isyarat Chika untuk mendekat
"Nanti malam tidurlah
denganku, dan layani aku layaknya suamimu" ujarnya lirih tersenyum
nakal
Glukkkk!! tangan Chika spontan
terkulai lemas terbayang apa yang mesti dilakukannnya bakal fatal. Ya! Tepatnya
dia tidak lagi menjadi gadis suci yang tahan godaan lelaki. Tapi ini, tradisi
maupun budaya mengatakan untuk melayani suami, batinnya benar-benar hancur.
Chika menarik nafas kesal
sembari memainkan jari-jarinya di bawah meja menahan hawa dingin yang mulai
menyerang sekujur tubuhnya membeku.
"Kalau kamu nggak siap, aku
akan buat laporan ke kepala jurusan menggunakan dokumen Rumah Sakitmu kemarin "
Chika mendengus tertawa sinis
"Memangnya bisa?"
"Hari gini, apa yang nggak
bisa aku lakukan, Non"
Terbayang bagaimana ia
menggerakkan Mahasiswa se Indonesia, membuat harga dirinya seakan meluncur
tajam dari ketinggian gedung puluhan meter.
Gadis itu diam tak berkutik nyeri
dengan tatapan dalam suaminya yang seakan tengah mengancam dirinya yang selama
ini mampu bersikap arogan karena mampu selesaikan masalah apapun sendirian.
Diam-diam Izack mengulum tawa
kemenangan meninggalkan Chika yang meletakkan wajahnya di atas meja bundar.
Lelaki itu hanya mengamati istrinya yang terbius sembari menghabiskan minumannya,
hingga sadar klakson mobil berbunyi.
"Nunggu cowoknya,
Non?" seru Izack membuat beberapa orang menoleh pada keduanya
"Hiihh! dasar suka
jahil" senyum tawa Chika lebar ngluyur menahan malu tatapan beberapa orang
di sana.
Chika bergegas lari keluar dan
membuka pintu mobil.
“Siapa kamu? Fans gelapku kah?” canda
Izack membuat Chika manyun tak bisa membalas gurauan konyol, ditambah
instrument santai gitar dari audio membuat suasana perlahan rileks.
"Bang, bukankah dulu kamu
pernah bilang, kalau saat menikah nanti aku bisa menggapai semua mimpiku?” ujarnya
melirik Izack cemas
“Dengan KKN di sana aku berencana
menyusun proyek yang bisa dikembangkan. Dan itu bakalan aku ajukan ke CSR
Perusahaan-perusahaan penambang yang sudah merusak alam di sana”
"Itu daerah strategis buat
observasi vegetasi hutan wilayah terluar di Indonesia, aku bakal dapat proyek
dengan dana besar untuk Observasiku juga, Bang"
"Aku sudah konsultasi ke
kepala jurusan. Beliau mempersilahkan, dan bakal memfasilitasi. Hebat, kan?!"
Izack tak menjawab. Ia diam
sepanjang jalan hingga mereka tiba di rumah orang tua Izack.
"Bang," rengek Chika
mengikuti kemanapun Izack beranjak hingga akhirnya ia harus menunggu lelaki itu
mengupas apel yang ia keluarkan dari kulkas.
"Menurutmu aku harus
bagaimana?" ujar Izack tenang
"Kamu mau tinggal jauh
dariku aku ijinkan, kamu tidak mau aku sentuh aku ikhlas, kamu memakiku aku
berusaha diam"
"Aku harus sabar sampai
dimana lagi, Sayang?"
"Untuk itu aku minta satu
malam ini saja sebagai ganti dari itu semua” ujarnya melirik menahan geli
meninggalkan wajah Chika yang sudah cemas bukan main. Gadis itu menelan nafas
yang terasa kering di tenggorokannya.
Spontan Chika menangis sejadi-jadinya
bersimpuh di hadapan Izack
"Aku belum siap berkeluarga,
Bang..." Tangisnya pecah sejadi-jadinya
"Kenapa?"
“Bukankah aku sudah katakan tadi
siang, betapa bencinya aku terhadap lelaki”
“Lalu kenapa kamu bisa berteman
akrab dengan lelaki gondrong itu?”
“Bukankah dulu sudah pernah aku
katakan, dia itu tetanggaku”
“Dia tetanggamu bisa bergurau se
bebas itu, lalu aku yang sudah resmi jadi suamimu?!” kata Izack tenang menatap
lekat wajah istrinya yang kemudian ditinggal begitu saja masuk ke kamarnya
hingga Chika ikut masuk dan bersimpuh di bawahnya
"Bang, aku ini orang miskin
yang sudah tidak punya keluarga satu pun"
Izack mendengus kesal “Masih
mending keluarga ada tapi meninggal, daripada jadi bayi buangan”
“Tapi Bang,”
“Kenapa sih selalu menggunakan senjata
itu, aku muak mendengarmu berkata seperti itu” suaranya geram menahan egonya
yang nyaris saja meledak
Jleb!! Chika kaget mendengar
lelaki itu marah. Karena sejak hari pertama bertemu hingga detik ini, rasanya
belum pernah menunjukkan kemarahannya seperti saat ini. Chika diam gemetar
menekan rasa takutnya, ia segera pergi dari kamar tersebut dan masuk ke
kamarnya meninggalkan Izack yang menutup raut wajah kesal gagal menekan
emosinya.
@@@
Malam semakin pekat, dengan perasaan
gamang Chika memberanikan diri memakai piyama slip seksi berwarna krem se lutut.
Meskipun sebenarnya ia risih mengenakan piyama yang dibeli Izack di awal
pernikahannya dulu. Tapi apapun itu, demi proyek mandiri dan KKNnya, ia merasa
sedang mencoba jadi pelacur bagi suaminya sendiri.
Ia bahkan merasa dirinya seperti
sedang dijadikan seekor umpan ikan dihadapan seekor kucing buas yang siap
menerkam sewaktu-waktu.
Kali ini ia tampak sedikit lebih
cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai hingga sebahu. Setengah ragu ia
memberanikan diri masuk kamar Izack yang kedap dan hangat dengan lantai parquet
kayu yang menjadikan suaranya sedikit berderit saat kaki melintas di atasnya.
Lelaki dengan kaos abu panjang
tipis itupun menoleh sejenak seperti sedang memastikan bahwa ada orang masuk ke
kamarnya. Tapi wajahnya kembali menoleh kaget seperti sedang memastikan bahwa
apa yang dia lihat, nyata.
Melihat tatapan mata suaminya,
spontan jantung berdebar-debar bahkan nyaris saja nafasnya terhenti
membayangkan apa yang bakal terjadi malam itu saat senyuman lelaki itu kembali
mengembang.
Tidak ada kata-kata.
Lelaki itu kembali menekuri
laptopnya dan dengan cekatan jemarinya berselancar seakan tengah menuntaskan
pikirannya ke dalam kata-kata. Saat itulah Chika merasa lega, jika akhirnya
lelaki itu tidak peduli terhadapnya.
Di saat pikirannya mulai tenang,
saat itulah ia mulai mengambil sebuah buku di salah satu rak yang menempel di
dinding-dinding belakang sofa dimana ia duduk. Tapi ia mulai menguap dan mata
sulit terjaga. Bahkan entah beberapa menit kemudian ia mulai hilang kesadaran
dan buku itu terjatuh membuat Izack menoleh kaget.
Merasa sudah selesai dengan
pekerjaannya, ia menutup laptop dan beranjak mendekati gadis itu dengan mulut
menganga bersandar pada sofa hijau keabu-abuan.
“Bagaimana perasaanku bisa
tenang melepas gadis selemah kamu untuk study ke hutan Kalimantan” ujarnya
lirih jongkok di depannya.
Sulit rasanya menahan
jari-jemarinya untuk tidak menyentuh wajahnya yang halus tanpa make up.
Bibirnya tersenyum geli teringat
kata-katanya siang tadi, “Untuk apa make up, kalau hanya menjadikan perempuan
seperti umpan seekor ikan asin di depan kucing”
“Sepertinya kamu perlu belajar
Neurosains, Sayang..”
“Setidaknya kamu tahu bagaimana
otak lelaki dan perempuan bekerja”
“Bukan kehendak kami
menginginkan mata tertarik pada keindahan yang ada pada diri kalian, tapi
begitulah Tuhan setting otak kami” ujarnya lirih menyibakkan rambutnya yang
tergerai menutupi sebagian wajahnya yang halus alami.
Malam kian larut, dan udara
dingin pun semakin menusuk menerobos masuk lewat pintu yang sedikit terbuka. Tak
ingin mengganggu tidurnya, ia kembali membawakan sehelai selimut dan
menenggelamkan seluruh tubuhnya dengan selimut itu.
“Aku takut menikah dengan orang
sepertimu” suaranya lirih mengigau, yang tanpa sadar ia melepas selimutnya hingga sebagian tubuhnya yang
putih halus terekspose jelas membuat detak irama jantung Izack pun seketika berdegup keras.
“Aku khawatir kamu akan pergi” suaranya
sayup-sayup
Bagaimanapun, sebagai seorang
lelaki rasanya tidak tahan melihat gadis cantik di kamarnya. Perlahan ia
mencium bibirnya hangat. Saat itulah Chika terbangun kaget, pelototan matanya
seperti sedang menerima sekapan serigala yang siap menerkam membuat Izack lagi-lagi
tersenyum geli dan duduk di sudut tempat tidur.
Ia menyangga dagu dan tersenyum
manis menatap Chika yang menarik selimutnya tinggi-tinggi menutup dagu.
“Kenapa kau ketawa?”
“Bukankah baru bulan kemarin
kita pernah tidur bersama? Bahkan aku pernah melihat tubuhmu utuh”
Chika melotot seperti sedang mengingat-ingat
kapan peristiwa itu terjadi, spontan ia tertawa cekakaan.
“Hahaha… dasar pengarang cerita”
“Hm??! Kamu nggak ingat waktu di
Apartemen?!”
Lagi-lagi
Chika tertawa cekakaan “Haha… betul-betul, pengarang cerita ulung kamu, Bang”
katanya berusaha memecah keheningan malam yang makin horror. Tapi rupanya Izack
tak bergerak sedikitpun, ia terus saja tersenyum menatap dirinya seakan tengah
menghipnotis pikirannya, bahwa itu pernah terjadi. Karena menurutnya, kerja
otak itu bisa dimanipulatif.
“Coba ingat lagi?” senyumnya
ringan tapi dalam
“Okeylah kamu nggak ingat”
katanya
"Bukankah kamu kemari untuk
melayani aku?"
Chika tertawa kikuk, dari sorot
matanya seperti tengah ancang-ancang untuk lari dari sekapan harimau. "Sudah
kadaluwarsa" katanya menghalau badan Izack yang menghalangi jalannya. Ia melipat
selimut dan bangkit dari tempat duduknya. Izack usil, ia menyadukkan kakinya hingga
nyaris terjatuh yang langsung ditahan dari belakang, tapi Chika segera menjaga
keseimbangan agar tak jatuh dalam pelukannya dan menghapus bekas sentuhan
tangan lelaki itu membuat Izack geleng-geleng kepala.
“Terlalu drama kamu, Bang”
ucapnya membuat Izack tertawa lebar geleng-geleng
“Ampuuunnn…”
"Sudah lunas kan tugasku?
Jangan halangi keberangkatanku loh ya”
“Awas! Jangan curang” tudingnya
dengan jari telunjuknya
"Loh? Apaan?!" Izack
tertawa ngakak
"Yang penting kan aku sudah
berusaha" ujarnya dengan wajah innocent melenggang pergi
keluar dari kamar Izack
"Tega bener kamu, nggak
tahu ada orang lagi kangen” seru Izack mengejar Chika, namun keduanya terkejut
waktu kepergok seorang lelaki berparas rupawan yang kaget melihat gadis imut
itu bersama adiknya.
“Eh, kamu Bang…”
Lelaki itu menunjuk Chika
bingung
“O, Ohh.. hhh kenalkan ini
istriku, Bang” kata Izack langsung menggamit Chika erat
“Ayah belum kasih tahu kah?”
Lelaki itu menggeleng bingung.
Tanpa mempedulikan keduanya yang kikuk berpapasan dengannya, ia cuek
meninggalkan keduanya ke dapur mengambil segelas air putih dari kulkas dan
duduk di ruang depan tv meletakkan tasnya. Izack mendorong Chika kembali ke
kamar menyuruhnya ganti pakaian yang lebih tertutup.
“Kamu boleh pakai baju seperti
ini hanya di depanku” ujarnya menutup pintu kamar
Izack kembali ke ruang tv dan
mengambilkan air putih untuk kakaknya.
“Seriously itu istri? Bukan
pacarmu?”
“Sejak kapan aku punya pacar,
Bang”
“Hmmm… ya ya ya??” jawab lelaki
itu senyum manggut-manggut menatap adiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Ternyata seperti itu seleramu”
“Kenapa emangnya?”
“Hmm… hari gini masih ada cewek
bening imut” jawabnya tenang kembali meneguk air putih sembari menyilangkan
kaki
“Sudah makan?”
“Hm, belum”
“Pesanlah”
“Apa nih?” tanyanya
“Apa saja, yang penting kenyang”
jawabnya membuat Izack segera membuat pesanan delivery
Sekedar menyapa, Chika kembali
muncul dan menyalami kakaknya yang lebih tinggi dan lebih besar dari suaminya.
Melihat istrinya memakai kaos oblong dan celana panjang miliknya, Izack hanya
tersenyum sekilas.
“Gimana??” tanyanya lagi menatap
Izack dalam seakan tak peduli kehadiran Chika, membuat lelaki itu mengedikkan
isyarat untuk pergi dari sana.
“Tunggu Bang, maksudmu apa ini” senyum
Izack agak dipaksakan membuat lelaki itu menarik nafas kesal
“Sudah berapa kali aku ingatkan,
tinggalkan AMI” suara lelaki itu sayup-sayup terdengar di telinga Chika yang
meloncat kaget saat ia hendak masuk kamar Izack.
“Apa sih yang kamu cari?”
“Kamu mau jadi pahlawan
kesiangan di negara bobrok seperti ini?”
“Sudah deh, cari kehidupan yang
lebih baik ke negara mana yang kamu mau, aku bantu atur semuanya”
“Kalian bisa hidup damai di sana
bersama istrimu”
“Kamu tahu resiko apa yang harus
dihadapi Papa saat mereka tahu kalau promotor penggerak ini salah satunya
adalah AMI yang dipimpin oleh anaknya Jendral”
“Dengan heroiknya kamu mau melengserkan
pak presiden?” senyum lelaki itu sinis
Mendengar lelaki itu
marah-marah, diam-diam Chika nguping di balik dinding kamar suaminya yang
bersebelahan dengan tempat dimana mereka duduk. Ia duduk menyudut di pojok
pintu sambil mengintip bagaimana reaksi suaminya yang tak bereaksi apapun saat
kakaknya murka.
“Izack…”
“10 tahun yang lalu aku sama
idealisnya sepertimu, tidak tahan melihat carut marutnya negara kita ini”
“Kami tergabung dalam gerakan
massa yang ingin mereformasi total system negara ini yang sudah melenceng jauh
dari cita-cita Pancasila”
“Apa yang terjadi?? Kakakmu jadi
taruhan korban pelecehan seksual, yang untungnya diselamatkan teman-teman
aktivis saat itu”
“Saat itu Papa menyuruh kami
pindah keluar negeri”
“Untuk itu aku sarankan,
sudahlah! Jangan sia-siakan masa mudamu hanya untuk bertarung dengan singa
raksasa”
Izack menarik nafas panjang,
namun ia hanya diam dan diam. Melihat suaminya hanya diam tak berkomentar
apapun, membuat dirinya ingin segera keluar dan meledakkan kemarahannya pada
lelaki itu. Kepalanya mendidih batinnya mengumpat sejadi-jadinya
“Bang! Kamu pikir semudah itu
menghentikan gerakan jutaan Mahasiswa se Indonesia?”
“Untungnya Indonesia tidak
dipenuhi orang pengecut sepertimu yang melarikan diri hanya gara-gara pacarmu”
“Di tangan para pecundang
sepertimu lah negara ini hancur” pikirnya lagi seakan tidak terima dengan
kemarahan itu membuatnya menutup telinga keras hingga tertidur.
@@@
Entah jam berapa Izack kembali
masuk ke kamarnya, ia memaksa pintunya yang berat untuk dibuka dan kaget saat
melongok ke dalam melihat Chika tertidur di bawahnya.
“Ampuun...”
Ia jongkok di depannya memandang
lama alis matanya yang tipis dan mulai menyentuh bibirnya yang kecil dan kering,
perlahan ia angkat dan dipindahkan di atas ranjangnya.
Ada gurat kesedihan yang
tergambar jelas di wajahnya teringat penuturan kakaknya tentang kakak iparnya.
Ia menatap dalam wajah Chika yang polos. Tak terbayangkan andai itu terjadi
pada istrinya.
Sesaat Chika sadar jika dirinya
tertidur di atas Bed kamar suaminya, dan ia juga sadar jika suaminya tengah
memandang wajahnya. Melihat kelopak matanya bergerak-gerak, Izack mencubit
ujung hidungnya.
“Aku tahu kamu nggak tidur” kata
Izack membuatnya tersipu malu menarik selimutnya
“Kenapa tidur di belakang
pintu?”
“Aku nggak tega dengar kamu
dimarahi”
Izack tersenyum tipis “Masih
mendingan dia yang menekan daripada intel” ujarnya segera beranjak dari bed dan
duduk di sofa sudut kamarnya
“Kapan?” tanyanya membenjatkan
mata kaget dengan keriyepan “Sudah, tidur saja dulu. Aku masih perlu
mengerjakan narasi buat teman-teman”
Melihat langkah gontai suaminya,
setengah hati melanjutkan tidurnya dan setengah berlari ia memeluknya erat dari
belakang membuat Izack kaget.
“Maafkan aku selama ini, Bang”
Izack kaget, nyaris saja tak
percaya. Ia berbalik membalas pelukan itu hingga keduanya mendekap erat satu
sama lain dalam balutan udara malam yang kian dingin. Chika mengijinkan
keningnya dicium saat lelaki itu menghimpit kepala dengan dua tangannya yang
terasa halus dan kuat. Tak hanya sampai di situ ia membiarkan bibirnya dicium penuh dengan kehangatan dan
cinta.
“Jangan sampai dia tersentuh
orang lain, siapapun itu orangnya” batin Izack bergemuruh menatap dalam hingga
perlahan memberanikan diri mendesaknya kembali jatuh ke atas tempat tidur
membuat irama jantungnya berdegup keras mengikuti gerakan jemari serta tubuh
suaminya yang mendadak bergairah. Tapi perasaan ragu kuat membuatnya tak tenang
merasakan gerakan Izack terlanjur kalap berusaha melepas kancing piyama hingga
Izack pun sadar membaca raut wajah dan gerakan tubuh Chika yang menahan
“Apa yang kamu takutkan,
sayang..”
“Aku belum siap, Bang..” ucap
Chika membuat Izack melepas dekapannya perlahan dengan raut kecewa. Ia kembali
berjalan ke meja kerjanya dan membuka laptopnya. Ia mulai memakai kacamata anti
radiasi dengan raut wajah yang cukup serius meneliti satu persatu pekerjaannya.
Saat itu Chika yang mulai merasa
bersalah kembali bangkit dan diam-diam berdiri di samping tempat dimana ia
duduk. Lelaki itu pun tetap fokus pada layar laptopnya, sampai-sampai ia baru
sadar jika istrinya ada di sampingnya.
Merasa dirinya dicueki, dengan
perasaan mencelos Chika pun hendak kembali beranjak. Tapi tiba-tiba saja ada
tangan yang menarik pergelangannya erat membuat dirinya terjatuh dalam pangkuan
Izack yang seketika melepas kacamata dan meletakkannya.
“Apa sih yang kamu pikirkan?”
ujarnya memborgol kedua tangannya membuat Chika kikuk tak berkutik.
“Sejujurnya, aku nggak rela kalau
jari ini kamu gunakan untuk mencuci baju orang lain, apalagi mencuci piring di
tempat orang lain lagi” ujar Izack membelai tangannya, namun merasa risih
dengan jemarinya yang lebih berotot dan kasar dibandingkan tangan suaminya, ia
menarik tangannya membuat lelaki itu lagi-lagi merasa bingung dengan sikapnya.
“Kenapa?” senyumnya mengembang
“Sebenarnya aku juga nggak rela
jika tubuhmu yang mungil ini kamu gunakan untuk bekerja di hutan”
Kali ini Chika mulai berani
menatap wajah lelaki itu, tapi saat lelaki itu memandangnya ia justru
mengalihkan pandangan matanya ke arah lain
“Bang, aku ini anak kehutanan, bukan
penari ballet”
“Dihadapanku, kamu ini lebih
dari sekedar penari ballet” jawabnya mencibir
“Sepertinya kamu lelaki perayu
ulung, Bang”
“Maaf ya, aku sudah tahan yang
begituan”
Saking gemesnya melihat sikap
dingin istrinya, Izack mendaratkan kecupan kecil di bibir tipisnya membuat
wajahnya melotot seperti bayi saat dicium. Tidak berhenti sampai di situ, ia
kembali memburu pipi hingga leher menjadikan jantungnya kembali berirama
seiring nafasnya yang merasa sesak saat gairah seksnya kembali dipicu ciuman
berulangkali suaminya.
“Aku
tidak rela kamu pergi tanpa memberiku kesempatan kali ini” suaranya merintih
memburu kecupan sepanjang leher dan wajah membuatnya pasrah menikmati tiap
kecupan hingga basah.
Sesaat ia seperti disadarkan,
ingin rasanya ingin menolak. Tapi lelaki beralis tebal bermata lembut itu terus
memburunya dengan ciuman menggebu mendorongnya hingga rebah di atas tempat
tidur menjadikan detak irama jantung tak beraturan seakan terlempar keluar. Sembari
merasakan perasaan takut, khawatir, cemas serta kenikmatan yang tak pernah ia
rasakan seumur hidup saat jemari lembut itu menelusuri tiap lekukan sekujur
tubuh membuatnya menggelinjang kuat hingga kembali hendak menarik celana, tapi
tangan Chika reflek menggenggam erat jarinya.
“Stop, please!” ujarnya dengan
suara gemetar
“Sebenarnya apa yang kamu
khawatirkan, Sayang…” suara Izack kembali merintih kesakitan merasakan tubuhnya
kembali orgasme
“Tolong beri aku waktu, Bang…”
Izack tak putus asa, jemarinya
yang lembut terus menelusuri tiap lekukan tubuh istrinya yang terlihat indah
dan nikmat membuat matanya memejam erat menikmati perlahan hingga sampailah
diantara buah dada yang menyembul dari balik kaosnya yang tipis, nyaris saja
Chika memekik keras menikmati gesekan jari dan ujung putingnya yang tersentuh.
“Please, tolong sudah”
Bukannya berhenti, Izack justru
menerjang tubuhnya yang kecil dan sengaja menggesekkan ujung puting dan
penisnya membuat Chika kembali memekik keras saat jemari Izack perlahan membasahi
lehernya dengan kecupan menggebu-gebu.
“Aku senang kamu menikmatinya,
Sayang…”
“Aku berharap kamu bahagia lahir
batin hidup bersamaku” dekap Izack membuatnya meringkuk dalam dekapan hangat
dadanya yang lembut serta menentramkan setelah ia merasa lelah bertaruh dengan
kesucian tubuhnya sebagai seorang gadis. Namun ada perasaan damai serta nyaman
yang tak terbayangkan sebelumnya. Dan ia tak bisa membayangkan dirinya harus
berpisah jauh demi mengikuti KKN di luar Jawa.
Malam kian dingin, Izack pun
menarik nafas panjang seakan menyisakan perasaan bersalah pada istrinya yang
masih merasa ketakutan melakukan hubungan badan dengan dirinya. Tapi lagi-lagi
ia tak mau meneruskan pikiran buruknya dan kembali mengecup kening istrinya
yang meringkuk dalam dekapannya.
“Dulu teman-teman selalu
menertawakanku jika saat menikah, malam pertamaku bakalan baca buku”
“Bukankah dulu memang begitu?”
tawa Izack mengingatkan dirinya pertama kali datang ke Apartemen
“Tapi tidak apa, kan memang
suamimu jualan buku” ujar Izack santai
“Belajarlah menilai sesuatu dari
banyak sudut, biar hatimu ringan” ujarnya lembut dan parau seakan melumerkan
rasa sakit hatinya yang dingin dan keras
Izack kembali membelai rambutnya
yang lembut
“Kecuali ajal, aku tidak akan
menceraikanmu”
“Tidak menceraikan, tapi
poligami. Sama saja”
Izack langsung membungkam mulut
Chika “Kapan kamu bisa menjaga mulutmu, Sayang?”
“Jangan sampai kata-kata burukmu
menjadi boomerang bagi kehidupan kita”
Jlebb!! Tatapan mata Chika yang
polos seketika tidak enak dan ingin kembali menelan semua kata-katanya.
@@@
Pagi hari ia mendapati dirinya
tertidur dalam pelukan lelaki yang selalu memiliki aroma tubuh yang segar
sekalipun baru bangun dari tidur di pagi hari. Saat itulah dua pasang bola mata
saling menatap hangat penuh cinta. Jemari Izack kembali menyibakkan rambutnya
yang panjang menutupi sebagian wajah istrinya yang tipis.
“Terimakasih banyak sudah banyak
membantu hidupku, Bang”
“Tanpamu, mungkin aku tak bisa
kembali menulis apalagi melakukan penelitian” ujarnya, sementara jemari lelaki
itu membelai bibirnya yang kecil dan ranum, lalu mencium lehernya tanpa henti
membuat gairah seksnya kembali bergelora.
“Sepertinya hari ini aku tak
bisa keluar dari kamar”
“Kenapa?” tatap Chika polos yang
membuat Izack kembali tersenyum
“Ada tamu kecil yang mau
menyerahkan diri”
“Maksudnya?” tatap Chika kembali
mengernyit curiga
Izack tertawa lebar menatap penuh
cinta pada sorot matanya yang bening, lalu mendekapnya erat seakan tak ingin
melepaskan sedikitpun.
“Sakit,” suara Chika terdengar
lirih di balik dekapan membuat Izack melonggarkan dekapannya dan menatap lama
seakan tengah menyusun kalimat.
“Aku sedih mendengar kata-katamu
seolah kamu bukan bagian dari kehidupanku” tatapnya dalam penuh cinta dengan
sesekali kecupan bibir.
Lagi-lagi ia mencium dan
menghirup keningnya “Diingat baik-baik, aku tak akan menceraikanmu sampai
kapanpun kecuali ajal”
“Bagiku kamu adalah pilihanku.
Apapun yang aku pilih, baik burukmu aku akan menanggung”
“Jadi, mohon bantu aku untuk menjadi
lebih baik lagi dari hari-hari kemarin” ujarnya membuat Chika kembali
melingkarkan tangannya pada leher lelaki itu.
“Itu bawalah laptop dan kamera,
jika memang dibutuhkan” katanya
“Serius?!” sorot mata spontan
bersinar bahagia
“Hm,”
Chika memekik girang
“Terimakasih banyak, Bang” pekiknya melingkarkan tangan memeluk hangat tubuh Izack
“Kemarin aku bingung pakai peralatan
apa untuk mendokumentasikan keberadaan satwa di sana”
“Hummm… ahhh…”
“Rasanya sudah tercium aroma pepohonan
menjulang terkena embun pagi” matanya bersinar terang membayangkan dirinya
sudah berdiri di antara rimba raya. Ia bahkan lupa ada lelaki di sisinya yang
tengah memeluk hangat dirinya dan memperhatikan mimik wajahnya yang bersinar
cerah membayangkan aroma pepohonan basah diselimuti kabut pagi.
“Saat ini bisa saja kamu jatuh
cinta pada duniamu, dunia hutan rimba. Tapi aku pastikan setelah ini bakal tak
akan tahan jauh dariku” pikirnya mengembangkan senyum penuh percaya diri
memandang wajah gadis imut yang masih tampak menghalu.
Malam itu… adalah menjadi malam
pertama bagi dua pasangan muda setelah sekian lama menikah.
20
KKN
Sebelas orang Mahasiswa
Kehutanan, baru saja turun dari pesawat Hercules dengan tentengan carier.
Wajah-wajah mereka tampak sumringah merasakan udara sejuk di antara bentangan
alam perbukitan yang luas di depan mata. Di bawah naungan langit biru yang
cerah mereka tampak seru berlarian kesana kemari mencari spot view terbaik
untuk berfoto dan segera berkirim pesan lewat gawainya. Mereka memanfaatkan gawai
yang kehilangan signalnya beberapa saat dan lancar kemudian hingga tiba-tiba
puluhan pesan masuk. Termasuk milik Chika yang membuatnya senyum-senyum membaca
pesan lebay dari Izack yang baru beberapa jam berpisah.
“Kenapa kamu, Chik.
Senyam-senyum?”
“Pesan Abang ya…” kata Nana
melirik layar tipisnya
“Eh, beneran suami? Suami apa
pacar sih?” tanya Dodi
“Suami Bro!” jawab Fredi
“Lembut banget sumpah orangnya”
jawab Nana lagi
“Lembut tapi tegas dan cekatan,
bisa bayangkan nggak sih?”
“Nggak lihat tadi waktu bawakan
koper dan tasnya Chika di Bandara?”
“Iya, suaranya itu loh. Duhh!!
Lembut dan seksi” jawab Fira
“Hati-hati nanti kalau jenguk
kamu, Chik” cletuk Fredi lelaki berambut gondrong “Bakal banyak yang
tebar-tebar pesona” jawabnya yang hanya disenyumi Chika tak peduli dengan
clotehan teman-temannya namun justru asyik mengeluarkan kamera dan mengambil
posisi terbaik tele kameranya dan siap-siap ambil foto burung dari kejauhan yang
terbang melayang dari satu pohon ke pohon lainnya.
“Wuihhh!! Keren kameramu”
“Kameranya Ketua Umum AMI Jakarta,
Bro! nggak main-main kasih bekal istrinya”
“Whuattt??? Itu suamimu?!” tanya
Tata yang sejak tadi sibuk dengan smartphonennya
“Hm,” jawab Chika menatap datar
“Nge fans ya? huuu…!!” sorak
teman-temannya ramai membuat gadis itu menelan rasa malu menelungkupkan kedua
tangannya ke wajah
“Serius, aku nggak tahu kalau
dia suamimu. Kita banyak yang nge fans sama dia lho..” kata Tata sekenanya
membuat semua mata melotot dan tertawa
“Sepertinya cuman kamu saja deh
yang nge fans, kok kami??” cletuk Nana lagi yang hanya membuat Chika tersenyum
lebar
“Santai aja, Ta. Aku sudah
kenyang ketemu orang yang nge fans sepertimu kok”
“Wuihhh!!”
“Keren, mujur benar kamu dapat
lelaki seperti dia Chik” jawab Nana membuat Chika hanya tersenyum lebar
membayangkan kemarin malam baru melakukan hubungan badan dengannya.
“Ahhh… nggak tahu kalian,
rasanya aku seperti sedang bertaruh dengan seluruh hidupku” batin Chika
bergemuruh, nyeri membayangkan tubuhnya telah terjamah lelaki idola banyak
gadis. Seakan ingin mengusir bayangan-bayangan yang mengerikan itu, ia kembali mengambil
beberapa foto view lewat tele kameranya.
Ia mulai mengambil foto bentangan
perbukitan yang biru kehijauan tertutup kabut tipis. Sementara salah satu dari
mereka mengeluarkan drone dan menerbangkannya membuat Chika berdiri spontan dan
berteriak.
“Haaahhhhh!!!” teriaknya yang
diikuti empat orang kawannya yang duduk bersama tumpukan barang
Senyumnya kembali mengembang
terbayang mimpi masa kanak-kanaknya yang tinggal di sebuah rumah di antara
bentangan perbukitan yang luas. Namun saat teringat wajah keluarga rautnya
kembali muram seakan ada awan gelap yang meluluh lantakkan memorinya yang indah.
“Berapa jam dari sini, Pak?”
tanya seorang temannya pada tentara di depan
“Kurang lebih 6 jam perjalanan
jika lancar, mbak..”
“Ouhhh…”
Ia menarik nafas lama seakan
membuyarkan semua memori buruk keluarganya hingga teringat kata-kata Izack
bagaimana latar belakang kehidupannya yang jauh lebih pahit dari kehidupan dirinya.
Hingga ia pun kembali mengendurkan urat syarafnya perlahan.
“Andaikan keluarga masih utuh
seperti dulu, mungkin nasibku tidak semujur sekarang” pikirnya seolah menutup
pikiran dan menerima kenyataan hidupnya hingga memejamkan mata.
@@@
Chika adalah tim regu 04 dari
sekitar 50 orang Mahasiswa yang diterjunkan ke hutan Kalimantan. Dalam sebuah
rapat, Chika mendebat pendapat beberapa orang temannya untuk mendatangkan
tanaman dari jawa.
“Maaf, aku tidak setuju dengan
pendapatmu Reno”
“Bagaimanapun, ini tanah
Kalimantan, beda jauh dengan tanah Jawa”
“Struktur dan konstruk tanahnya
juga berbeda, jadikita hanya akan meamksa tanaman itu menunggu mati atau kerdil
menyesuaikan semuanya”
“Lalu apa solusimu?”
“Kita akan cari bibit tanaman
dari hutan sekitar yang masih tersisa”
“Itu butuh waktu tersendiri,
Chik”
“Memang, kita butuh waktu dan
tenaga”
“Tapi itulah cara kita yang tahu
betul bagaimana habitat hutan Kalimantan”
@@@
Tiga minggu setelah mereka tiba
di daerah perbatasan, rasanya hari benar-benar senyap. Hanya terdengar gemuruh
suara alam dan tonggeret di sela-sela pepohonan. Medan masuk ke area pemukiman
masih berupa tanah bergelombang bekas lintasan truk pembuatan jalan beraspal
dan mobil tentara dengan pos penjagaan.
Memang, pemerintah memberikan
sarana dan prasarana seperti kendaraan dan mobil untuk angkutan ke kota. Tapi untuk
mendapatkan bahan bakar, bukanlah perkara mudah karena harus menempuh puluhan
kilometer medan yang berat.
Sebenarnya ada rasa sakit dan
putus asa menjalani hari-hari berat dan penuh tantangan. Entah berapa kali saja
diam-diam ia menangis merindukan Izack. Apalagi di saat malam tiba, ia sering
sekali duduk di depan teras rumah membayangkan tidur di bed Apartemen yang
empuk dan lembut. Bahkan beberapa kali ia berkhayal tidur berpelukan dengan
suaminya.
Sesekali matanya melirik
smartphone dan menggeser-geser kotak pesan dari Izack.
“Jahat sekali, kirim pesan pun
tidak”
“Boro-boro telphon” gerutunya
kembali menengadahkan wajah ke angkasa yang gelap bertabur bintang
“Wuaaahhh… keren! Galaksi kah
itu?”
Tiba-tiba dikagetkan getar
smartphonenya, pikirannya langsung nyaut pada Izack. Tapi begitu yang dilihat
nama Rendra kembali lemas.
“Halo”
“Gimana kabarmu di situ?”
“Kemarin aku dimintai alamatmu
sama tetangga kostmu dulu, Bang Hendrik”
“Oh.. ada apa?”
“Mau kirim barang, katanya”
“Kamu kasih?”
“Ya aku kasih, lah”
“Oh, ya sudahlah”
“Nomornya kamu blokir kah?”
“Enggak lah,”
“Katanya kamu blokir”
“????”
“Tunggu, tunggu? Sudah dulu ya,
aku cek”
“Huu..! dasar gemblung!
Pengantin baru nomor pasangannya di block tanpa ada masalah itu apa namanya
coba?!” suaranya terdengar kesal membuat Chika tertawa ngakak membayangkan
kebodohan dirinya.
“Oke-oke, bye!”
Ia teringat awal hendak
berangkat, ia blokir nomor Izack yang dianggapnya banyak mengganggu tugas
sebelum pemberangkatan. Saat itu di sela-sela diklat, ia blokir nomornya karena
sering menanyakan kabar.
Saat dibuka blokiran, ratusan
pesan masuk bertubi-tubi hingga hingga bibirnya tersenyum lebar.
@@@
Pagi itu ia harus membersihkan
lahan bekas penebangan liar dengan bude dan pakde nya. Sementara seorang
tentara muda melintas dengan diikuti beberapa anak sekolah, termasuk Bagus dan
Ani yang panggil-panggil dari kejauhan pada orang tuanya.
"Mbak Chika!!" panggil
Ani
Melihat seorang lelaki dengan
baju hijau doreng, lamunannya langsung terbayang pada sosok Jendral bintang III
dan senyuman Izack. Tanpa disadari seekor ular meliuk-liuk di depannya yang
membuatnya spontan berteriak histeris.
Tanpa berpikir panjang lelaki
dengan seragam hijau doreng itu melompat lari mendekati Chika mengisyaratkan
untuk tetap diam dan tenang. Tetap saja raut Chika masih pucat pias saat
tentara itu telah mengambil alih perhatian si ular dengan kepala yang
meliuk-liuk. Begitu kepala ular berhasil dijinakkan, anak-anak kecil itu
berlarian mendekat dan tertegun-tegun.
"Wooaaa... hebat!"
seru anak-anak yang diisyaratkan agar mereka tetap tenang dan diam
"Jangan pernah bersuara,
apalagi teriak jika bertemu ular, Non"
"Itu ancaman bagi
mereka"
Tanpa mengatakan apapun,
perhatian tentara itu langsung tertuju pada anak didiknya yang kini mulai
mengerumuninya. Lelaki dengan kulit kecoklatan itu menjelaskan bagaimana
kehidupan dan macam-macam jenis ular pada anak-anak yang mulai mengelus-elus
ekornya dan berceloteh riang.
Chika terkesima kedekatan
tentara muda itu pada anak-anak yang tampak serius mendengarkan keterangannya
memberi tugas.
"Masih ingat keterangan
kakak kemarin? Binatang apa saja yang termasuk jenis Reptil?"
"Buaya"
"Ular,"
"Kadal," jawab mereka
berceluit.
"Sekarang, untuk PR di
rumah. Keluarkan wadah yang kakak kasih ke kalian kemarin"
"Kalian boleh ambil
binatang atau benda apapun yang kalian lihat, kita akan diskusikan besok
pagi"
"Diskusi itu apa kak?"
"Ngobrol"
"Hahaha... bodoh kamu"
umpat kawan-kawannya noyor bocah laki yang nyengir malu
"Oke, sampai jumpa lagi
besok pagi"
"Dadaah kak.." senyum
riang mereka meninggalkan tentara muda
"Terimakasih banyak,
Bang" ucap Chika
"Sama-sama, Non"
"Warga Transmigran
ya?"
"Oh, saya anak KKN
sekaligus ikut bantu paman yang transmigasi, Bang"
"Yang dari Jawa?"
"Iya"
"Sekolah Alam sungguhan ya
Bang," ujar Chika membuka percakapan sembari kembali memunguti batangan
kayu yang sudah ia potongi
"Di Jawa mah, Sekolah model
pembelajaran seperti ini bisa puluhan juta"
"Ya enggaklah Non, mereka
kan pakai peralatan mahal dan fasilitas yang serba tercukupi"
"Iya, tapi materinya kan
sama saja, Bang"
"Kalau mentransfer
pengetahuan itu harus dengan biaya mahal, lalu kapan anak-anak ini bisa
menikmati pendidikan yang katanya gratis dari negara"
Sejenak Chika terdiam terbayang
keinginan meminta bantuan buku pada perusahaan Izack.
"Sebenarnya aku punya teman
di Jakarta yang punya perusahaan penerbitan buku anak-anak berkualitas,
Bang"
"Oh ya?"
"Sepertinya dia juga sering
kirim buku ke pelosok-pelosok lewat CSR perusahaannya"
"Oh ya? Boleh lah!"
Gadis dengan rambut dikucir
sebahu itu mulai menggigit bibirnya seakan memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan terbesar, jika setelah membuka blokiran nomornya
tahu-tahu telphon lagi minta kirim buku anak-anak.
"Coba deh nanti Bang, aku
tanya-tanya dulu, bisa atau enggak ya?!" katanya
"Boleh! boleh?!"
tentara muda itu manggut-manggut sambil memperhatikan Chika mulai mengangkat
tumpukan ranting-ranting pohon yang sudah ia rapikan
"Kayu-kayunya untuk apa itu
Non, rapi benar potongannya" kata tentara yang disambut tawa Chika
"Hwkwk... untuk banyak hal,
Bang"
"Mari aku bantu bawa"
ujarnya
"Hehe... beneran ini?"
"Iya bener lah"
Siang menjelang sore itu mereka
kembali bersama melewati jalanan setapak berupa tanah menuju kawasan pemukiman
Transmigran yang masih gersang.
@@@
Pagi-pagi sekali, gadis yang
makin hari tampak makin kurus dan kusam itu lari tergesa-gesa menuju kamar
mandi umum yang berjarak kurang lebih 500m dari rumahnya.
“Ah… begini repotnya orang-orang
pelosok, tak bisa buang air besar sewaktu-waktu” katanya ngedumel saat melintas
halaman gardu pos penjagaan lintas Negara.
Seorang tentara yang menjinakkan
ular kemarin hari itu baru saja keluar dari pos jaga. Melihat gadis itu lagi,
si tentara muda tertawa geli melihat gadis itu berlari sambil menggerutu.
“Kenapa?” tanya kawannya yang
baru saja keluar
“Oh itu, pendatang baru dari
Jawa”
“Lumayan ada hiburan, Bang” tawa
mereka spontan
Entah berapa lama kemudian Chika
kembali melintasi pos jaga dengan gerak-gerik aneh seakan ada sesuatu yang
membuatnya risih. Saat itu langit mulai terang, tentara muda yang saat itu
tengah menyirami sayuran di sekelilingnya tiba-tiba dikejutkan Chika yang
kembali melintas.
"Pagi, pak!" sapa Chika
cengar-cengir
"Maaf Pak, boleh minta
airnya?"
"Satu ember ini saja"
jawabnya menunjukkan ember kecil yang dibawanya
"Buat???"
Chika cengar-cengir
bingung
“BAB, Pak” jawab Chika meringis
malu
Tentara itu mempersilahkannya
masuk. Tak lama kemudian Chika membawa seember kecil air.
“Terimakasih banyak”
“Mari, Pak…” seru Chika cuek
melangkah pergi
“Hei, Kak! Sepertinya kita kan
sebaya toh… jangan panggil Pak, lah”
“Oh, terus?” jawab Chika
berwajah polos sembunyikan tawa geli
“Bang, lah…”
“Cie… Abang!” sorak
teman-temannya
“Ingat ya, kalau ada ular…”
Chika tertawa lebar, ia hanya
mengangkat tangannya pergi begitu saja.
“Tomboy sekali itu anak?” tawa
tentara muda itu geli
(Dalam penelitiannya,
Chika berhasil menemukan beberapa spesies tanaman yang berhasil bertahan dan
akan kembali tumbuh saat musim penghujan tiba. Jadi tugas dirinya saat itu
adalah bagaimana caranya mendatangkan air ke tengah lahan bekas hutan yang kini
gersang karena pembakaran hutan)
@@@
Begitu sampai di rumah panggung
yang terbuat dari lempengan-lempengan kayu itu, ia terkejut ada seorang tamu
bapak-bapak.
“Chika, kamu diminta Pak Idrus
ngajar di SD depan”
“SD? Dimana?” katanya sembari
duduk
“Dekat pos jaga tentara, Mbak”
“SD?” Chika menelan tawa
terbayang gubug kecil yang sering dilewatinya itu
“Oh, dengan senang hati, Pak”
“Tapi maaf, sebelumnya… di sana
baru ada peralatan seadanya”
“Oh, baik Pak… akan saya
usahakan sebisa mungkin belajar tanpa alat” jawabnya terbayang cara pengajaran
model tentara kemarin
“Dia ini seorang wartawan
sekaligus penulis buku, Pak” jelas Pak lek pada pak Idrus
Chika melotot geram “Pak lek…!”
“Beneran? Bagus kalau begitu,”
“Kalau begitu sekarang saja,
Mbak”
“Tapi??” Chika gelagepan merasa
belum siap
“Sudah ada guru baru yang
datang, itu luar biasa senang bagi anak-anak” jawab Pak Idrus membuat
perasaannya spontan teriris
Saat itu Chika segera pergi
berkemas membawa beberapa peralatan dan pamit berangkat.
Dinginnya udara pagi itu masih
terasa begitu menggigit. Ia mulai terbiasa jarang mandi mengingat kamar mandi
umum harus ngantri. Sementara aliran air di rumahnya tidak begitu lancar,
kadang hanya cukup untuk keperluan buang air kecil, cuci piring dan masak.
Baginya inilah perjuangan yang sebenarnya, dibanding ngoceh ngalor ngidul di
mass media, ataupun sekedar basa-basi menjadi mahasiswi yang baik dan cepat
selesai.
Di Tapal Batas ini, untuk
pertama kalinya aku belajar mengerti bagaimana hidupku begitu berharga bagi
keberlangsungan generasi penerus negeri ini di Garda paling depan pulau yang
terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Yang tiap saat bisa dihisap
kapanpun negara butuhkan, sementara mereka hanya bisa menghisap debu dan asap
yang dihamburkan dari truk-truk yang melintas jalanan makin rusak.
Begitu tiba di lokasi, kakinya
mulai terayun pelan memandangi lekat-lekat tiap sudut bangunan lempengan kayu,
dengan sebuah tiang bendera yang berkibar saat mereka datang. Sepetak halaman
untuk mereka bermain, dan palangan papan peniti sebagai tempat
bermain-main.
Dengan perasaan ragu ia
melangkah naik tangga kecil sederhana dari papan kayu. Ia terkejut begitu
melihat tentara muda itu ternyata masih mengajarkan matematika di depan kelas,
lengkap dengan seragam hijau doreng Angkatan Daratnya.
Entah mengapa tiba-tiba
perasaannya tergetar. Ada rasa heroik yang muncul dalam hatinya yang membuatnya
spontan menitikkan air mata. Entah bagaimana tepatnya, tapi ini benar-benar
luar biasa.
Begitu tentara itu selesai
menuliskan latihan penghitungan di papan tulis ia segera keluar menemui Chika.
“Selamat pagi,”
“Pagi,” jawab Chika
“Benar ini yang namanya Luchika
Arino, calon guru baru?”
Spontan Chika tertawa lebar
mendengar kata-kata “guru”
“Kenalkan, saya Mahardika”
“Oh,” jawab Chika membalas
jabatan tangan berotot itu
“Jujur saja, sebenarnya saya
tidak punya background guru, Bang”
“Oh, tenang saja Non… di sini,
siapapun bisa jadi guru asal bisa mengajarkan sesuatu yang baik untuk mereka.
Terutama bebas buta huruf dan hitung”
“Di daerah terpencil seperti
ini, orang-orang seperti kita ini sangat dibutuhkan. Tidak peduli backgroundnya
apa"
“Inilah kerja yang sebetulnya
untuk negeri ini” pikirnya tergetar semangat
“Mari, silahkan perkenalan dulu”
katanya
Begitu masuk, wajah-wajah
polos itu memandang penuh antusias.
"Masih ingat dengan kakak
kemarin?"
"Ingatlah,"
Mereka saling bersahutan celoteh
antara satu dengan yang lain. Wajah-wajah polos mereka benar-benar tampak
hidup, termasuk Bagus dan Ani yang dulu selalu murung saat di kelas karena
beban PR dan kewajiban mengerjakan. Tapi kini, wajah mereka tampak antusias
mendengarkan apapun yang diucapkan orang di depan.
"Mbak Chika pacaran sama
pak tentara ya?" cletuk salah satu dari mereka
"Hush!"
"Hei! mbak Chika itu sudah
menikah sama orang Jakarta"
Tentara muda itu kaget, ia diam
gugup menyembunyikan kekecewaannya.
Chika langsung mengalihkan
perhatiannya pada sebuah peta yang ia tunjukkan di layar laptopnya. Mereka
diminta maju sekitar dua sampai tiga anak untuk bisa melihat peta kawasan
dimana mereka tinggal dan menunjukkan hanya seberapa luas hutan yang tersisa
bagi keberlangsungan satwa liar.
Mulailah terjadi diskusi kecil
yang menghidupkan suasana kelas.
Tak terasa, ia mampu membawa
suasana kelas itu kembali hidup dengan dialog maupun nyanyian yang terkadang ia
sendiri tidak hafal.
Sementara di luar sana, matahari
mulai beranjak naik memancarkan sinarnya di segenap alam raya yang terasa
hening.
@@@
Sore hari selepas pulang dari
kawasan hutan yang masih utuh dengan jarak puluhan kilometer, Chika duduk
termangu di atas teras depan anak tangga kayu Basecamp sambil mengurut-urut
kakinya yang tampak kusam dan pecah-pecah sekalipun selalu tertutup sepatu
boot. Sorot matanya memandang lepas hamparan tanah gersang yang telah
digunduli. Sesekali matanya tertuju pada smartphonenya. Dengan perasaan ragu ia
kembali mengirim pesan.
Halo Bang, bagaimana kabarmu?
Pesan itu terkirim begitu saja
sembari menarik nafas lega.
“Ah… barangkali saja dia sudah
melupakanku dan bertemu dengan perempuan lain” batinnya menghela nafas
panjang.
Ia terdesak terlanjur janji pada
tentara yang mengajar di sekolahnya untuk mencarikan bantuan buku bacaan
anak-anak yang dibutuhkan. Dan satu-satunya orang terdekat yang 99% bantuannya
keluar, itu Izack. Tapi ia bingung harus darimana ia memulai percakapan dengan
swaminya yang sudah lama blokir nomornya karena selain kesal menanyakan kabar,
ia juga kesal membiarkan agenda turun jalan Mahasiswa akhirnya dijalankan.
Pikirannya melayang kemana-mana
membayangkan lelaki itu sudah berpindah hati pada perempuan lain dan disibukkan
bersama kemana-mana dengan agenda politik negara yang tengah digaungkan
detik-detik ini.
Dalam ketidaksadarannya, ia
dikagetkan dengan getar smartphone yang masih dalam genggaman tangannya spontan
kaget terpelanting jatuh reflek tangannya hendak meraih tapi ia tak sadar
dirinya duduk di atas tangga dengan kemiringan lumayan tajam sehingga ia pun
jatuh tersungkur dari tangga.
“Gdebugkk!!”
“Eishh!”
“Nggak apa-apa, Non?” tiba-tiba
saja ada suara dan tangan berotot menolongnya bangun
Ia nyengir kesakitan nggliyeng
dipapah kembali duduk di anak tangga paling bawah.
“Ada telephon, Non”
“Halo?” tentara itu menjawab
panggilan telphon smartphonenya
“Mbaknya baru jatuh dari tangga,
Mas” jawab tentara itu lagi yang langsung memberikannya pada Chika
Ia melihat permintaan video call
dari Izack membuatnya terkejut. Cepat-cepat ia membersihkan wajahnya. Dua
tentara itu seperti tercengang melihatnya jatuh dari ketinggian tangga tapi
masih bersikap seolah baik-baik saja.
“Kamu nggak apa-apa, Non?”
Chika nyengir “Nggak apa-apa,
Bang… beneran” katanya menekan kening dan matanya yang mulai tampak lebam dan
sedikit berdarah
“Terimakasih banyak”
“Oh.. okey, kita tinggal ya”
“I iya Bang, terimakasih”
jawabnya gugup nyengir antara kesakitan dan malu
Dua orang tentara itu pergi
meninggalkan Chika sambil senyum-senyum “Emang yahud kekuatan cinta mengalahkan
rasa sakit” suara itu terdengar sayup-sayup di telinganya membuatnya malu. Ia
segera mebuka video call tersebut, melihatnya lelaki tampan beralis tebal itu
membuat irama jantungnya seperti sedang menari-nari.
“Halo??!” suara itu terdengar
jelas
“Iyyya, Bang” jawab Chika gugup
meluap-luap bahagia seakan tengah mengatur degup jantungnya yang seakan meledak
keras setelah sekian lama tidak pernah melihat wajah lelaki ganteng yang kata
teman-temannya mirip artis asia itu.
“Kenapa kamu?” terkejut melihat
wajah Chika lebam
“Jatuh dari tangga”
Melihat kelopak mata Chika yang
bengkak kebiru-biruan, Izack tampak menahan tawa.
“Itu tandanya kualat kamu,
nomorku kamu blokir”
Chika berkecap kesal “Sudahlah
Bang.. jangan ajak berantem lagi sakit semua badanku”
“Katamu tadi nggak apa-apa…”
tawa Izack geli
“Iya, masa aku ngadu
nangis-nangis begitu di depan tentara”
“Aku tebak akhirnya kamu kangen
juga kan…”
Chika mencibir
“Iya, aku kangen bantuan buku
bacaan anak-anak”
“Gimana mau bantu, alamat saja
nggak tahu”
“Bukannya Rendra sudah kasih
ya?”
“Hm, siapa tahu alamtnya palsu”
“Bagaimana dengan proyekmu?”
“Ini aku sendiri malah justru
diminta ngajar di SD komplek Transmigrasi desa paman. Rencananya anak-anak aku
libatkan juga dengan proyek penelitianku untuk melihat langsung flora dan fauna
asal daerah ini”
“Lalu aku gabung dengan proyek
kelompok”
“Mantap…”
“Nggak salah pilih aku, istriku
selalu cerdas meramu masalah dan mengatasinya sekaligus”
“Tapi kelompokmu setuju dengan
itu”
“Pastilah... kan aku libatkan
warga lokal juga untuk melakukan penelitian dan pengumpulan object yang aku
butuhkan”
“Sip!”
“Tapi, aaahhhh…”
“Kenapa?”
“Airnya minim, tiap pagi harus
bolak balik ke kamar mandi umum yang tempatnya jauh”
Izack tersenyum lebar “Gimana?
Mau nyerah”
“Enggaklah,”
“Good! Bukan Luchika Arino kalau
nyerah”
Pettt… tiba-tiba layar hang
tidak keluar video. Ia lihat signal kembali minim
“Hahh...”
@@@
Ditengah keriuhan urusan
organisasi dan perusahaan, tiba-tiba Papanya kirim pesan singkat yang isinya
pemberitahuan lelang tanah di daerah Yogya bagian ujung. Beliau menyarankan
dibeli dengan menggunakan uang bekal pernikahan simpanan miliknya, dan ayahnya
menambahinya jika kurang. Tanah itu adalah tanah lelang hasil sitaan korupsi
negara milik salah satu pejabat.
“Tapi Pa, kalau aku membelikan
tanah untuk observasi dia, dia bakal nggak peduli lagi dengan rumah tangga
kami”
“Hmm... aku kira Chika bukanlah
gadis semacam itu, Izack...”
“Hari gini, mana ada cewek se
usianya yang mau bekerja keras di saat suaminya sudah mapan dengan
pekerjaannya. Jadi, bersyukur saja”
“Tinggal kamu perlu membuat
pagar, agar dia tidak sampai keluar dari range keluarga”
“Otak dia itu sepertinya nggak
pernah berhenti berpikir yang menyebabkan dia terus bergerak kesana kemari”
“Itulah orang cerdas”
“Bersyukurlah kamu punya calon
ibu cerdas yang bakal melahirkan anak-anakmu”
Izack melenguh kesal
“Tahu nggak sih, Yah! Aku bisa
tidur bersama itu lama sekali setelah pernikahan, itupun..?!!” suaranya
tercekat diam membayangkan dirinya seringkali harus onani karena istrinya yang
menolak diajak berhubungan badan
Lagi-lagi ayahnya tertawa paham
“Sebenarnya kamu itu sama seperti
dia”
“Tinggal trikmu saja, seberapa
bisa kamu membuatnya nyaman”
“Awal pernikahan dulu aku kira
dia bakal tertarik bekerja di kantorku. Sudah aku siapkan magang di sana. Tapi
ternyata… begitu pulang Yogya, sudah bawa proposal KKNnya sekaligus proposal
penelitian untuk Skripsinya di Kalimantan”
Ayahnya tersenyum lebar “Hebat!”
“Bukankah harusnya KKNnya ini
sudah selesai?”
“Hm, dia terlalu baik, diminta
warga untuk mundur 2 bulan, dia mengikuti dan cuti dari Kampus”
“Kampus membolehkan?”
“Tentulah”
“Haha… mantap, dan kamu kesepian
lagi”
“Hhh…”
@@@
Sementara di Desa Transmigran
dimana pamannya tinggal, musim hujan mulai tiba, bibit tanaman yang ditanam
oleh anak-anak KKN dengan cepat tumbuh subur membuat lahan yang awalnya nampak
gersang kini terlihat hijau segar dimana-mana. Tapi sisi lain, jalanan yang
masih berupa tanah, kini perlahan mulai lembek dan berlumpur saat dilewati
kendaraan yang menjadikan bergelombang dan susah dilewati.
Hari demi hari sejak anak-anak KKN
meninggalkan daerah itu, cuaca mendadak ekstrim menjadikan warga mulai
berjatuhan sakit. Dari sekedar demam, batuk pilek, gatal hingga ISPA.
Cuaca terus menerus mendung,
menjelang waktu sore hujan selalu lebat tak terkira menjadikan warga tak bisa
mendapatkan pertolongan apapun, karena selain listrik sering mati, jaringan
signal jelek, komunikasi antar warga pun jadi terputus, karena jarak antara
satu rumah dengan rumah lainnya saling berjauhan.
Hari demi hari beberapa warga
diungsikan ke serambi masjid sebagai pengganti Rumah Sakit. Chika salah satu
pemudi yang diandalkan warga pun akhirnya mau tidak mau turun ke lapangan
membantu dokter yang sengaja didatangkan dari daerah lain dengan segala
keterbatasan fasilitas.
Di tengah kelelahan yangtidak
lagi peduli pada kondisi tubuhnya pasca operasi, apalagi keluarga pamannya yang
beberapa hari ia tinggalkan sampai pada satu ketika tetangga dekat yang datang
ke serambi masjid untuk mencari pertolongan untuk anaknya mengatakan pak lek
dan bu leknya demam tinggi.
Saat itu pula Chika lari keluar
tunggang langgang seperti orang hilang ingatan. Bahkan ia tak mendengar
panggilan orang-orang yang mengingatkan akan makanannya yang tertinggal. Ia
hanya ingat Hp nya masih dalam genggamannya.
Di bawah langit yang
mendung lupa segalanya kecuali bayangan
wajah satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini. Langit tampak mendung,
setetes demi setetes jatuh membasahi pipinya yang basah hingga berubah menjadi
hujan lebat. terperosok ke dalam tanah berlumpur hingga hujan deras pun tiba
dan menangis sejadi-jadinya, karena kesal dengan dirinya yang merasa lemah.
Orang-orang sibuk dengan keluarganya masing-masing yang berjatuhan sakit,
sebagian ada yang sampai meninggal tak tertolong.
Ia pasrah dengan bajunya yang
sudah terlanjur basah kuyup, hingga di depan rumah ia mengelap air matanyanya
dan bersikap seolah semua baik-baik saja.
“Mbak Chika…!!” tangis pecah
Bagus berlari mendekap Chika yang basah kuyup
“Bapak, mbak Chika….!! sudah
nggak bernafas” tangisnya pecah di tengah hujan lebat dan Guntur yang
menggelegar, saat ia masuk tampak bulik dan Ani sudah terkulai lemah di balik
selimutnya terdiam memandang Chika yang datang.
Siang menjelang sore itu hujan
luar biasa lebat disertai angin menerbangkan apapun yang ada di sekitar,
termasuk beberapa genting rumah yang terbuat dari seng. Saat itu pula ia lari
keluar menjerit sekeras-kerasnya.
“Toloooongg…!!”
Sepi, tak ada seorang pun yang
keluar.
“Toloooong…!!” entah berapa kali
ia berteriak nyaris seperti orang gila, hingga datang dua orang tentara
mengendarai motor yang sudah belepotan lumpur.
Saat ia masuk rumah, kaget mendapati
gadis kecil itu sudah tak lagi bernafas.
Lewat Walky Talky tentara itu,
mereka meminta bantuan mobil ambulans berharap masih bisa diselamatkan, saat
itulah Buliknya lirih memanggil-manggil Chika.
“Ndukk… duduk sini saja”
“Aku buatkan air panas dulu,
Bulik”
“Nggak usah, aku pingin dekat
sama kamu”
Glukkk! Air matanya tumpah
berderai menahan suara tangis
“Maaf, Bulik.. aku nggak pulang
dari kemarin”
Berkali-kali tangannya mengusap
air matanya yang tumpah hingga pedih melihat satu-satunya keluarga yang
dimilikinya sekarat.
"Andai kamu pulang ikut
kelompokmu, kamu sudah aman Nduk…"
“Inilah bentuk pengabdianku,
Bulik…”
Jemarinya yang keriput dan gelap
mengelus tangan Chika “Bulik bersyukur banget punya keponakan sepertimu Nduk..
mandiri, cerdas dan gigih”
“Bulik dan Paklik minta maaf
tidak kuat menyekolahkanmu, Nduk...” suaranya parau oleh tangisnya yang
mendadak pecah
“Gimana suamimu?”
“Jangan terlalu cuek sama dia, orang
seperti kita mendapatkan lelaki seperti nak Izack itu sudah sangat bersyukur..”
tuturnya lirih tersengal-sengal dengan air mata kembali tumpah melirik paman
dan Ani yang sudah diangkat dua tentara. Mereka menutup seluruh tubuhnya dan
membawanya keluar. Saat itulah Bagus menangis sejadi-jadinya menarik-narik
tubuh ayahnya yang telah kaku membuat tentara itu kesulitan meminta pertolongan
Chika.
“Ani.. bangun, An!!”
“Mas minta maaf kalau main
sering meninggalkanmu, mas janji nggak akan meninggalkanmu lagi!!” tangisnya
lagi-lagi pecah hingga Chika mendekapnya erat dari belakang
“Bangun An..!!!” jeritnya
menarik-narik jasad gadis kecil yang diabawa dengan tandu
“Bagus, tenang”
“Tenang, Bagus!!” dekap Chika
berderai air mata
“Mbak Chika…” panggil tentara
itu tenang mengundang perhatian pada Buliknya yang sudah tak bernafas lagi
Spontan ia menangis kencang
sejadi-jadinya seperti tengah memecahkan keriuhan suasana hujan di luar yang
perlahan mereda.
Hening,
Chika memeluk erat Bagus yang
seketika pingsan.
“Bagus!! Kamu harus sehat
Bagus!!” pekik Chika mengguncangkan tubuhnya keras, tapi pak tentara itu segera
mengambil alih dan membopongnya keluar dan melarikannya ke Masjid saat ada
seorang mengendarai motor.
@@@
“Tolong, kawal
reformasi kita jangan sampai ada pihak asing yang masuk”
“Dan jangan sampai
kondisi chaos”
“Se marah apapun kita
pada mereka, tapi tolong jaga sikap kita di publik”
“Asing sudah membangun
pangkalan militer di sekitar Indonesia. Kalau sampai terjadi sesuatu,
Sisi lain Izack yang masih sibuk
ngurusi move Mahasiswa dari berbagai belahan penjuru negeri terkait
pelengseran Presiden, kalang kabut bingung mendengar kabar dari kampus jika
daerah yang ditinggali Chika terjangkit wabah Malaria mengakibatkan puluhan
orang meninggal karena tak tertolong.
Ia ngadu pada ayahnya untuk
menjangkau daerah tersebut dengan bantuan pesawat Hercules terbaru milik
ayahnya.
“Zack… Papa minta kamu hentikan
aksi demo, tidak pernah kamu gubris. Dan sekarang kamu mengemis-ngemis minta
bantuan pemerintah”
“Lagipula sejak kapan Papa
memakai pesawat untuk kepentingan pribadi, Izack..” ujar Papanya santai
“Ini bukan hanya Chika saja,
Pah”
Ia menceritakan kejadian yang
melanda warga Transmigran yang terjangkit wabah Malaria dan terisolir karena keadaan
yang lumpuh.
Lelaki itu merasa risih dan
menelpon bawahannya untuk mengirimkan pasukan dan bantuan obat-obatan langsung
dari Jakarta ke daerah tersebut.
“Papa ingatkan kamu untuk segera
akhiri demo-demo itu, Izack... apapun alasanmu”
“Pa, apa niat Papa dulu waktu
ingin jadi prajurit?”
“Bukankah melindungi negara ini”
“Sama Pa, kita tidak bisa lagi
menutup mata dan pura-pura nggak melihat kenyataan yang dirasakan rakyat kita hari
ini”
“Saya dan Chika juga sempat
berantem via telphon terkait demo ini”
“Benar, memang dari kalangan AMI
yang menggulirkan bola panas itu ke publik, tapi bola itu sudah menggelinding kemana-mana
dan sudah bukan milik kami lagi, apalagi saya”
Papanya diam memandang mata Izack
lekat-lekat antara paham apa yang dikatakannya, dengan posisi dirinya yang
sudah tidak aman-aman saja di mata pemerintah karena dianggap anaknya
memberontak kepemimpinan saat itu.
“Kamu akan tahu sanksi apa yang
bakal Papa terima saat membantumu kan, Zack”
“Di depan ada pak Irwan yang
bakal mengantarmu ke Bandara, sementara logistik sedang mereka siapkan. Mungkin
tiga jam dari sekarang mereka akan segera diberangkatkan bersama tim
penanggulangan bencana. Ikutlah bersama mereka”
“Terimakasih banyak Pa” ucap Izack
tampak sumringah menyalami tangan lelaki tua itu dan menciumnya lalu keluar.
@@@
Sabtu pagi para tentara dan warga
setempat sibuk memperbaiki jembatan yang terputus akibat guyuran hujan dan
terpaan angin berhari-hari. Saat itu kondisi Chika mulai membaik, ia membantu ibu-ibu memasak di tempat yang tak
jauh dari sana.
“Katanya mau ada bantuan dari Jakarta,
tapi sampai hari ini belum sampai juga pesawatnya”
“Mungkin karena cuacanya buruk, Bu”
jawab Chika yang masih memakai jaket tebal sedikit basah
Tak lama kemudian, dari jauh tampak
iring-iringan tentara dengan mobil bak yang membawa logistik. Diantara
kerumunan itu, nampak seorang lelaki dengan wajah mirip artis asia muncul di
balik wajah bapak-bapak tentara. Lelaki itu memakai rompi cokelat muda dengan
kacamata hitam diiringi dua orang lelaki di belakangnya turun dari mobil bak di
Basecamp tentara yang tak jauh dari sana. Mereka dipersilahkan masuk, tapi
sepertinya ia menolak hingga ditunjukkan rumah dimana Chika berada.
“Wah, ada artis Jakarta yang datang”
seru ibu-ibu
Saat Chika menoleh ia terkejut melihat
lelaki itu berjalan melenggang melintasi jalanan sedikit berlumpur menuju ke
arahnya.
Ia melotot kaget saat dua pasang mata
itu saling terhubung.
“Siapa itu?” celoteh ibu-ibu sambil
sesekali ngobrol kesana kemari meracik bumbu sarapan pagi.
Bagus yang sejak tadi asyik main bareng
beberapa anak lainnya ikut kaget dan berlari ke arah Izack.
“Mas Izack…!!”
Semua mata justru menoleh pada Chika
yang seperti tercekat tak bisa berkata-kata.
Lelaki itu melepas kacamatanya dan
memeluk erat Bagus yang masih kotor
“Hallo Boy!!”
“Loh? Siapanya mbak Chika?”
“Pacarnya mbak Chika ya?” tanya ibu-ibu
melongo yang hanya disenyumi Chika
Antara haru dan tak percaya, Chika
terdiam mendadak berkaca-kaca seakan menemui oase di tengah gurun pasir yang
kering.
“Mbak Chika, Mas Izack datang…!”
“Ayo sana Mbak, temui saja dulu.
Kasihan jauh-jauh dari Jawa”
“Hm, terimakasih bu.. pamit dulu”
“Ya mbak, iya”
Chika berjalan ragu ke arah dimana dua
orang itu berada.
“Bagus, kamu ngotori bajunya Kak Izack”
“Masih ada mesin cuci di rumah,
sayang..” senyum Izack menyambut Chika yang langsung dipeluknya erat dan
mencium bibirnya
“Nggak baik dilihat banyak orang,
Bang…”
“Biarin saja, toh kita sudah halal”
“Iya tapi..” tangannya membungkam mulut
Chika seketika
Spontan ibu-ibu terpesona dan
senyum-senyum salah tingkah dengan sikap agresif lelaki tampan itu. Saat itu
dua orang teman Izack datang membawakan tiga tas backpacernya. Mereka dituntun
Chika pergi ke rumah pamannya yang tak jauh dari sana.
Izack kembali memakai kaca mata riben
nya yang gelap. Ia mengembangkan senyumnya sekilas pada kerumanan ibu-ibu yang
tengah sibuk memasak.
Saat mereka tiba di rumah, Izack
langsung membongkar tas gunungnya dihadapan Bagus dan dua orang temannya.
“Wuaaa…!”
“Boleh minta, mas?”
“Boleh, ini buat kamu semua”
“Boleh aku bagikan ke teman-temanku?”
“Boleh, kenapa tidak?”
Tak lama kemudian dua ibu-ibu datang
membawakan sarapan hasil dari masak-masaknya.
“Loh, bu?”
“Nggak apa-apa mbak… kita sudah matur
nuwun banget sama mbak Chika yang mau tinggal di sini, sekalipun KKNnya sudah
selesai”
“Loh??” Izack melotot
“Mas, mbaknya ini orangnya baikan
banget. Berhari-hari dia bantu ngurus warga yang berjatuhan sakit, tapi…”
“Pakliknya sendiri nggak ketolong” si
ibu mulai mewek
Izack bingung harus bersikap bagaimana,
ia menundukkan pandangan mendengarkan paparan cerita si ibu, hingga ia diajak
pamit oleh temannya.
Sunyi…
Izack kembali memeluk Chika yang kini
tampak lebih kurus dan pucat.
“Aku belum berhasil mendapatkan bibit
tanaman yang aku cari, Bang” ujar Chika
“Kapan-kapan aja, sekarang mau nggak
mau kamu harus pulang dulu”
“Tapi,..” Izack membungkam mulutnya
“Sesekali kamu patuhi perintahku apa
salahnya, sih?”
“Tolong kondisi badanmu sendiri dulu,
baru menolong orang lain”
@@@
Tak seperti biasanya, malam itu nampak
cerah. Bintang gemintang terlihat berhamburan di atas langit yang gelap.
Beberapa warga menemani Izack membuat api unggun di samping rumahnya. Tak lama
kemudian Bagus dan dua orang temannya datang membawa perbekalan mereka.
“Besok pagi kita jadi pulang kan, Izack?”
“Hm, iya” jawab Izack menatap Chika
“Kamu ikut pulang kan, Non?” tanya
lelaki dengan poni terbelah dua di tengah itu pada Chika
“Pulang saja Non, kita nggak ingin ada
orang gila yang suka marah-marah nggak jelas” timpalnya lagi sambil
senyum senyum. Sementara Izack santai menambah kayu-kayu yang masih basah ke
api unggun. Sementara bagus memasukkan plastik bekas makanan ringan itu ke
dalam api hingga api kembali meledak saat botol kotak minuman itu menyemburkan
udara menimbulkan percikan api.
“Jujur saja, setengah gila dia minta
bantuan Papa nya”
Chika melotot
“Aku bukan seorang milyuner, Non...
kalau nggak minta bantuan Papa mana bisa dapat pesawat Hercules sampai sini”
Glekkk… Chika sadar perjuangan suaminya
nggak main-main.
Izack kembali memegang jemari tangannya
dan menatap mesra.
“Hmm..h! sudah sudah! Kita nggak mau
jadi obat nyamuk” cletuk temannya lagi yang hanya disambut tawa semua.
Malam itu kembali terasa hangat, dan ia
mulai merasakan demamnya benar-benar telah turun setelah sejak kemarin masih
merasakan
@@@
Saat pagi buta mereka dijemput
dua mobil milik tentara. Chika, Izack dan Bagus terpisah dengan mobil satunya
yang berisi dua orang teman Izack dari AMI. Mereka mendapat perintah langsung
dari atasan mereka di Jakarta untuk menjemput anak dan menantu pimpinannya.
"Oh, mbak Chika... kenapa
tidak pernah cerita kalau kamu ini menantunya pak Jendral?" ujar seorang
tentara di depannya membuat Chika spontan melongo
Chika hanya tersenyum lemas
"Kalau bilang terus gimana, pak?"
"Kalau seperti ini kan saya
kena teguran dari atasan saya"
"Dikira tidak menghormati
atasan"
"Kan yang jadi Jendral
mertua saya pak,"
"Iya, tapi.." Izack
menyikut Chika hingga mulutnya kembali diam
“Luar biasa menantunya pak
Jendral ini, saya salut sama istrimu mas..”
“Benar-benar humble. Meskipun
KKN sudah berakhir, tapi dia masih mau mengabdi untuk anak-anak di sana”
“Masyarakat yang meminta, pak...
saya tidak tega melihat mereka semangat pergi ke sekolah, tapi sampai sana
nggak ada guru”
“Hm, begitulah kondisinya mbak”
“Mas, tolong sampaikan salam
maaf saya sama Pak Jendral ya..”
“Siap pak, dari bapak siapa?”
“Dari pak Purnomo” katanya
sembari menyebut kode kompi nya
Sepanjang perjalanan dengan
mobil TNI FWD 4x4, Bagus masih saja murung. Sesekali ia menahan tangisnya
merasa tidak enak dengan Izack yang duduk di sebelahnya.
“Kenapa Boy? Kalau mau nangis,
nangis aja” katanya menatap dalam.
Bocah lelaki dengan mata besar itu menggamit pergelangan tangan sepupunya,
sementara Chika mengusap-usap lembut rambutnya yang mulai gondrong "Mbak
Chika, kasihan bapak sama mamak… kenapa nggak dibawa saja?"
"Kapan-kapan kita jenguk
makam bapak sama mamakmu Bagus. Ok?" kata Izack yang hanya dianggukkan
bocah laki kelas 4 SD itu.
Saat itu mata Bagus mulai sayu
menahan kantuk.
“Sini, kepalamu sandarkan sama
mas Izack” setengah ragu Bagus merebahkan kepalanya, tapi Izack menekannya dan
mengusap keningnya hingga ia memejamkan mata dan tertidur pulas. Chika yang
merasa tidak enak hanya melirik raut Izack mengusap kepala dan membiarkan
pangkuannya sebagai penumpu kepala dan badan Bagus.
Senyap, hanya suara mesin dan
kaki-kaki mobil melewati jalanan bergelombang diiringi suara serangga sepanjang lahan hutan yang telah
dibabat menjadi ladang gersang.
Melihat sepupunya telah
mendengkur, Chika kembali membuka mulutnya lirih
“Kamu nggak keberatan bawa
Bagus, Bang?” ujarnya lirih menatap mata Izack
Izack menyilangkan jarinya untuk
diam
"Terus, kalau mau ditinggal
dia mau hidup sama siapa?" ujarnya
"Iya aku tahu, tapi aku
takut sama orang tuamu kalau nggak menerima dia"
“Itu urusanku”
"Mulai sekarang apapun yang
berkaitan dengan orang di luar kita, aku yang akan menghadapi”
“Kelak, aku serahkan urusan
urusan rumah dan Bagus kepadamu”
“Tapi,”
“Kalau memang ada kendala, kita
akan diskusikan bersama”
“Mungkin dalam beberapa minggu
ke depan aku akan sering di luarnya daripada di rumah”
“Aku minta penjagaan satu orang
bawahan ayah dan dua orang dari AMI untuk menjaga kalian”
“Haa..? enggak! Aku nggak mau”
“Please! Kondisi sekadang masih
genting”
“Ketika orang sudah tahu kalau
kamu bagian dari aku, mungkin sasaran mereka bukan lagi aku melainkan kamu”
kata Izack
@@@
Penerbangan
dari Kalimantan ke Jakarta kurang lebih memakan waktu 1.30.
Bocah lelaki kecil yang baru pertama
kali merasakan naik pesawat benar-benar merasa excited. Rautnya yang sedih perlahan
pudar semenjak Izack menukar tempat duduk untuknya dekat jendela yang
memperlihatkan bentangan alam hijau yang beberapa sudah gersang ditumbuhi
beton, hingga ia lupa saat sampai di Bandara dan masuk ke salah satu sudut
foodcourt. Seorang lelaki datang dari belakang Chika menyapa Izack membuat gadis
itu kaget bukan main hingga diam-diam menutup matanya dengan cover penutup
wajah dan pura-pura tidur. Dia adalah Dhani, senior Chika di fakultas Kehutanan.
"Ampuuunn!" pekik
batinnya keras memejamkan mata erat merebahkan punggungnya pura-pura tidur.
“Gimana? Lancar?” tanya Izack
lagi
“Lumayanlah, selain memasarkan
produk warga binaan pengelola hutan, bisa untuk tambahan uang saku teman-teman”
"Sekarang tinggal
dimana?"
"Yogya, cari tempat yang
nyaman buat Papa"
“Loh?!”
“Lalu disini?”
“Dikelola teman-teman, Bro”
“Kamu fakultas Kehutanan kan?
Istriku juga loh.. tapi S1” kata Izack hendak mengenalkan Chika, tapi gadis itu
pura-pura pulas tertidur.
Bagus yang duduk di sampingnya
mengguncangkan tubuh Chika membuat gadis itu pura-pura kaget.
“Lohhh???” Dhani melotot
"Sudah lama?"
“Apanya?”
“Menikah”
"Belum, baru beberapa bulan
ini lah"
"Terus dia??” tunjuknya
pada Bagus yang seketika itu ramah mengulurkan tangan mengajaknya
bersalaman
“Hai, Boy!”
"Loh? anak?"
Izack garuk-garuk kening
tersenyum
"Aku sepupunya mbak Chika,
istrinya om Izack" jelas Bagus
"Oh… loh-loh, tunggu!"
“Kenal darimana?”
"Kamu nggak pernah cerita
kalau kamu sudah menikah?"
"Baru berapa bulan ini,
Bro"
“Wah, jahat kamu. Nggak kasih
kabar teman-teman”
“Kita baru nikah KUA, Bro”
"Oh..."
"Aku ke Toilet dulu Bang,
mari Kak.." Chika cengar cengir pura-pura ngelap wajah meninggalkan senyum
lebar di bibir Dhani yang paham bagaimana perangainya sekilas
“Kenapa?”
“Kalian saling kenal kah?”
"Ini" tunjuk keningnya
bekas luka jahit
Ia mulai menceritakan pertemuan
pertamanya dengan Chika di hutan kampus gara-gara terkena lemparan batu darinya
karena masalahnya.
"Jadi??" Izack melongo
dan tertawa terkekeh melihat bekas luka di kening Dhani
"Serius?"
"Iya, makanya dia nggak
enak melihatku?"
"Oh..."
"Pilihanmu memang unik,
Bro" ujarnya
"Kenapa?"
“Pantesan, dari dulu banyak
cewek yang ngejar-ngejar tapi kau nggak respek sama sekali”
"Dia itu gadis lugu, polos,
tapi pekerja keras juga" ujarnya menceritakan pengalamannya melihat
dirinya dimarahi preman di pinggir jalan gara-gara melepaskan bocah kecil
pencuri apel.
“Loh?? Tunggu-tunggu! Saat itu
kamu dimana? Aku melihat kejadian itu juga”
“Oh ya??!”
“Aku di mobil”
“Aku di Café pojok”
“Oh…” keduanya tertawa bersama
yang seketika Izack diam dengan raut sedikit aneh
"Hari gini cari cewek
seperti dia susah, Bro" katanya menepuk pundak Izack
Izack senyum-senyum seakan maksud
kata-kata kawan lamanya. Melihat Chika berdiri dan seolah menunggu kepergian
lelaki di depannya, Izack pun paham.
"Kenal dimana kalian?"
“Dia anak AMI”
“Oh… loh?!”
“Aktivis?”
“Lebih tepatnya bisa disebut
Jurnalis, daripada Aktivis”
“Loh??!”
“Hm, dia sering menulis di mass
media”
“Aku kenal dia juga karena
temanku memasukkan naskah bukunya ke tempatku”
“Waaa… hebat! Hebat!! Istrimu
benar-benar cocok dengan duniamu” katanya
Hingga beberapa menit kemudian
Dhani pun pamitan pergi sambil melambaikan tangan pada Chika dari kejauhan yang
tampak malu-malu berjalan ke arahnya. Ia menarik nafas lega dan kembali ke
mejanya.
Tahu kedatangan istrinya, Izack
hanya senyum-senyum menyruput jus di depannya
"Diam-diam istriku banyak
juga yang naksir" pikir Izack sedikit ada rasa nyeri menyimak kecemburuannya
sembari mengacak rambut Chika
“Kamu kenal dia, Bang?”
“Hm, teman SMA”
“Oh…”
Sepanjang perjalanan dalam
kendaraan pikiran Chika melayang beberapa bulan yang lalu, ia mulai
menceritakan pertemuan dengan Dosen muda indo-cina itu di hutan kampus. Dan Izack
hanya tersenyum lebar membayangkan betapa konyol istrinya yang melempar batu ke
wajah temannya.
“Pertanyaanku adalah, apa nggak lihat
kalau ada orang disana?”
“Enggak Bang” senyumnya nyengir
“Beneran?!”
“Hm,”
“Kalau aku tahu di situ ada
orang, kenapa juga berani lempar batu”
“Tapi kenapa sih, harus
lempar-lempar batu segala?” katanya yang spontan membuat Chika nyengir
menceritakan pikirannya saat itu yang tengah galau memikirkan uang cicilan Bank
dan SPP serta biaya kost. Izack yang menyimak penuturan polos gadis itu hanya diam
bermuka datar seakan tidak ekspresif pada ceritanya. Tapi di balik itu,
diam-diam Izack mengamati penampilannya dari kepala hingga ujung kaki.
“Ssshhtt... sebenarnya apa yang
menarik dari gadis ini?” pikirnya berulangkali
“Kenapa perasaanku benar-benar
lega hanya melihatnya saja, sementara gadis ini dari dulu ya begini-begini
saja?!” batinnya terus menggerutu
Saat ia mulai selesai menceritakan
peristiwa itu dengan gaya khasnya yang heboh, baru sadar bahwa lelaki itu tidak
sedang mendengarkan ceritanya melainkan mengamati mimik mukanya. Ia seperti
sedang tersihir dengan semua yang melekat di diri gadis itu. Dari rambutnya
yang lurus pirang tergerai sepunggung, postur tubuhnya yang ramping, hingga
alis matanya yang tipis dan bulu matanya yang lentik, sementara memiliki
pancaran mata yang selalu bening dengan bibir kecilnya yang ranum tanpa
lipstick. Meskipun saat ini kulitannya terlihat sedikit kusam dan kotor
dibanding pertama kali hendak berangkat ke Kalimantan yang lebih cerah. Tapi
baginya itu tetaplah menarik.
“Hoi!!” seru Chika membuyarkan
tatapannya
“Ah…?!! Percuma saja aku ngobrol
panjang lebar dari tadi kamu cuma bengong, Bang” tutur Chika kesal merasa dirinya
dicueki
“Ayok, habiskan dulu makanmu”
“Itu sudah ditunggu Ozin”
katanya dengan dagu menunjuk pada lelaki dengan perawakan ramping tengah
menunggu di salah satu sudut area Bandara yang luas
“Oh?!” lirih suaranya merasa
tidak enak
@@@
Sepanjang perjalanan dari Bandara
ke Apartemen sebenarnya hanya butuh waktu 30menit, tapi karena macet menjadi
2jam lebih 15menit.
Setelah beberapa jam berjibaku
dengan kemacetan jalanan ibukota dari bandara ke rumah, tiba saatnya kendaraan
itu masuk Kawasan Apartemen elite. Ia nyaris tak sadar apa yang dibicarakan Izack
dengan sepupunya, hingga mereka masuk ke Unit dan ngluyur masuk ke kamar. Tak
peduli itu kamar siapa, dan menghambur di atas kasur. Matanya
benar-benar tak tahan, ia bahkan tak peduli lagi dengan Bagus.
“Ahhh…!! Akhirnya bisa tidur di kasur empuk
lagi” pekiknya menghambur di atas bed
“Eishhh..!! mandi dulu” Izack menarik kerah
bajunya
“Bang.. sebentar aja, aku capek banget”
suaranya lirih
“Mandi,”
“Lima menit” suaranya setengah sadar
“Apa perlu aku mandiin?” suaranya menggoda,
yang kini duduk tepat di sebelahnya memperhatikan tubuh gadis itu tampak makin
kurus dengan kulitnya tampak gelap dan kasar, namun wajahnya tampak lebih hidup
dibanding sebelum berangkat KKN.
Dan tak lama kemudian terdengar suara
dengkuran lembut dari balik badannya yang tengkurap. Sementara Bagus diam-diam
mengintip sepupunya yang tertidur pulas di kamar suaminya.
“Hei, Boy! Kenapa intip-intip, sini!” suara Izack
melihat sekelebat bayangan Bagus di balik pintu kamarnya.
Terdengar bel pintu, Izack segera keluar
membukakan pintu. Mereka adalah dua wanita cantik yang mengenakan seragam pusat
Spa dan Massage home visit.
“Dia baru saja tertidur Sis, gimana?”
“Oh??”
Izack menggiringnya masuk ke kamar
pribadinya, melihat gadis itu tertidur pulas perempuan itu kembali berkata.
“Tidak apa-apa, Pak.. biar kami massage
sekalian saja”
“Bagus kalau begitu, dia baru saja datang
dari Kalimantan belum mandi langsung tidur”
“Kelihatan capek sekali” jawabnya
“Baik, Pak..”
Dua wanita itu masuk ke kamar Izack dan mulai
menata Chika yang sudah tidak sadar lagi.
Kurang lebih perawatan selama 2jam
berlangsung. Dan Bagus yang selesai mandi langsung duduk di sofa menunggu
sepupunya tidak sadar di massage. Ia benar-benar pulas tertidur, hingga sadar
ada dua wanita cantik di sebelah kanan dan kiri membuatnya kaget.
“Bagaimana rasanya, Non.. sudah baikan kah?”
“Oh..” Chika meringis bingung
Mencium aroma wewangian dari tubuhnya Chika
langsung paham. Apalagi baju yang ia kenakan sudah ganti membuatnya
terkaget-kaget.
“Tenang saja Non, yang mengganti kami kok..”
Lagi-lagi Chika hanya nyengir
Saat itulah mereka pamit pergi yang diiringi
keduanya sampai di depan pintu membuat Izack senyum-senyum atas kerisihan
dirinya dengan aroma minyak dan lengket tubuhnya.
“Kenapa nggak ngomong kalau mereka datang?”
“Sudah aku tebak kalau kamu tahu bakal kamu
tolak”
Izack kembali masuk mengikuti langkah
istrinya, hingga ia berdiri di kamar mandi
“Bang, badan itu bisa menyembuhkan dirinya
sendiri dengan cara break semua alias tidur”
“Hm.. ya ya ya!” jawab Izack malas menyangkal
karena bakal menjadi perdebatan panjang yang melelahkan.
“Besok lagi kita perlu berhemat, aku tidak
suka gaya hedon seperti itu”
“Hm, ya” jawab Izack tak mau berdebat dan ke
dapur menyiapkan sarapan untuk keduanya.
@@@
Sebelum Chika selesai menyiapkan
sarapan pagi, tiba-tiba Izack sudah kedatangan dua orang tamu. Mereka adalah
tangan kanan Izack di Markas AMI. Chika merasa bersalah karena ia terlalu lama
membuatkan sarapan pagi untuknya, sementara lelaki itu tak tega melihat wajah
keduanya tampak letih. Sebenarnya Izack tak tega meninggalkan keduanya sendiri,
hingga dua orang perempuan datang membawakan makanan untuknya.
“Bang, jangan khawatirkan kami
di sini”
“Lagipula aku masih ngantuk”
“Bolehkan, sehari ini aku tidur
lagi?” katanya yang lagi-lagi menguap
Izack berjalan mendekati Chika
di dapur dengan pakaian seadanya. Ia langsung memeluk dan menciumnya di balik
sekat dapur dan ruang tamu.
“Nggak baik dilihat orang”
bisiknya risih saat ketahuan tamu-tamunya mereka tengah berpelukan
“Tidurlah, kalau ingin
tidur”
“Kalau AMI tidak dalam kondisi
genting, mungkin aku akan menemanimu sampai besok pagi”
“Tidak apa-apa, tenang saja”
jawab Chika mencium pipinya lalu menurunkan pandangannya malu yang hanya
disenyumi Izack
“Syukurlah ada peningkatan”
senyumnya lirih menatap dalam
"Ini, kamu bisa gunakan
untuk keperluanmu selama aku tinggal nanti" katanya mengeluarkan kartu debit
dari dalam kantongnya
“Passwordnya tanggal lahirmu”
Chika melotot heran, mengapa ada
orang hafal dengan tanggal lahirnya yang selama ini menganggapnya itu bukan hal
penting dalam hidupnya.
Tiba-tiba Bagus datang “Mbak Chika, aku mencium bau makanan dari tas itu enak
sekali” tunjuknya pada tas kain di atas meja makan
“Mencium aroma makanan dari tas
itu, perutku benar-benar lapar” katanya lagi yang kemudian matanya tertuju pada
kartu yang dipegang Chika
“Itu buat apa, Mas?”
“Buat belanja keperluanmu sama
mbak Chika”
“Oh..” jawab Bagus masih
kriyepan
“Tapi kata mamak, aku tidak boleh menerima
uang dari orang lain”
Izack hanya bisa tersenyum lebar dan jongkok menghampiri bocah kecil itu
“Mas Izack kan sekarang sudah
jadi suaminya Mbak Chika, jadi bukan orang lain lagi”
“Kita ini sudah jadi satu keluarga” katanya sambil berdiri mengacak rambut
“Tapi?!”
“Kita ngobrol kapan-kapan saja ya Boy, okey?!” kata Izack mengacak rambut Bagus
dan mencium kening Chika begitu saja tanpa ia bisa mengelak membuat Bagus
senyum-senyum.
@@@
Malam kembali tiba, Chika yang
masih terdiam di depan tv membuat Izack kaget saat melihat air mata Bagus masih
basah tertidur di pangkuan Chika.
"Kenapa dia?"
Mendengar suara seseorang, Bagus langsung berjingkat bangun.
"Aku lapar sekali, Bang..." tangisnya pecah
Izack melotot
"Berarti dari tadi pagi???"
“Makanan yang dikirim mbaknya
tadi pagi sudah habis kami makan bersama”
“Kenapa nggak ngomong? Lagipula
bukannya kartu debit itu sudah aku kasihkan ke kamu?" tanyanya lagi
"Maaf Bang, mataku
benar-benar nggak bisa melek sehari ini”
Izack melongo setengah shock
"Tadi bukannya ada orang kantor kesini?"
“Aku nggak dengar”
“Aku dengar tapi nggak berani
buka pintu, Mas” jawab Bagus
Sampai detik itu Izack menarik nafas kehabisan kata-kata.
"Chika, aku menggaji dia
untuk mengerjakan tugas itu. Termasuk menjagamu sementara aku tidak di
rumah"
Gadis itu menggigit bibir merasa
bersalah membuat Izack ingin sekali menggigit bibirnya yang ranum tanpa polesan
jika tidak ingat ada sepupunya di situ.
"Bagus, kamu mau makan apa?"
"Ayam yang seperti di tv itu, Bang"
"TV?"
"Tunggu! Nanti pasti keluar lagi" katanya menunjuk pada sederet
tayangan iklan tv.
"Ayo kita makan di luar" kata Izack seolah sudah paham apa yang
dimaksud
"Itu dia, Bang!" Teriak Bagus semangat menunjuk pada iklan tv
Izack tertawa
"Oohh... ayo!" Serunya
Tanpa canggung lagi Bagus langsung beranjak keluar lebih dulu.
Kini langit benar-benar telah gelap saat ketiganya menelusuri Lorong-lorong
unit.
"Aahh… seperti keluar dari penjara"
"Ternyata nggak enak tinggal di rumah seperti di tv"
"Nggak bisa naik sepeda muter”
“Kamu mau naik sepeda?”
“Mau” jawabnya spontan yang
hanya dilirik Chika hingga kedua mata itu saling berpapasan
“Sudah…!”
“Okey, besok kita beli sepeda yang kamu mau”
“Beneran?!”
“Hm, kenapa tidak?” jawab Izack
menggandengnya masuk lift. Melihat senyumnya yang sumringah, Izack mencubit
pipi Bagus yang tampak kurus.
“Nanti di sini makan yang
banyak, belajar yang rajin” kata Izack membuat Chika kikuk.
Begitu ketiganya keluar dari
lift, melihat ruangan yang luas dan licin Bagus mulai lari kesana kemari dan
bermain seluncuran dengan kedua sandalnya. Hingga tiba saatnya mereka masuk ke
food corner, Bagus terdiam agak lama di depan pintu masuk hendak melepas
sandal.
"Hei! Ngapain kamu di situ"
Bocah kecil itu langsung lari masuk setelah melepas sandalnya.
Chika malu melihat sepupunya yang dianggap kampungan. Beberapa orang tersenyum
geli melihat Bagus melepas sandal di depan pintu. Tapi Izack melenggang santai
mengambilkan sandal dan meletakkannya di bawah kursi dimana bocah lelaki itu
duduk. Sementara ia mulai main perosotan lari kesana kemari di atas lantainya yang licin.
Saking malunya, Chika tertawa menelungkupkan wajahnya. Tapi Izack justru asyik
melihat bocah lelaki itu jungkir balik kayang dan sesekali mencoba berjalan
dengan dua tangannya, membuat orang yang ada dalam mall terkagum-kagum. Ia
bahkan tak peduli dengan pandangan beberapa pasang mata yang menatap aneh.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya saat mereka hanya berdua. Kehadiran Bagus
membuat suasana benar-benar cair dan makin hidup.
"Maaf Bang, sepupuku anaknya nggak bisa anteng "
"Kenapa? Aku suka kok gaya khasnya anak ini"
"Lihat! ceria sekali dia. Aku bersyukur dia sudah melupakan kepedihannya
kemarin"
Chika menelan saliva.
"Nggak usah berpikiran kemana-mana, aku terhibur dia di sini" ujarnya
membuat Chika menarik nafas lega perlahan.
Setelah ia berhasil jungkir balik nggak karuan. Ia datang dan duduk dengan
badan berpeluh membuatnya basah mandi keringat.
Izack menyodorkan sekeranjang ayam goreng bertepung renyah.
“Bagus, cuci tangan dulu” cegah Chika membuat bocah lelaki itu langsung ngluyur
turun dari tempat duduknya ke wastafel. Begitu di depan wastafel ia mengamati
kran otomatic itu lama, hingga Izack datang memberi contoh.
Begitu selesai cuci tangan ia
langsung lari, membuat orang-orang di sekitarnya kaget dan menoleh.
“Hei, hati-hati… mbak Chika
nggak mau kamu nabrak orang” suara Chika agak menekan yang hanya disenyumi Izack
sambil mengusap kepala Bagus
"Capek?" Izack tertawa
melihat Bagus ngos-ngosan.
"Seharian seperti dipenjara"
"Kenapa nggak keluar?"
"Dilarang mbak Chika, katanya bisa diculik"
Chika melotot yang langsung dihalangi tangan Izack
“Bagus, kamu kan anak laki..”
“Anak laki tuh harus berani”
“Besok deh, kita beli jam tangan
GPS biar kalau kamu kemana-mana kita juga tahu”
"Besok mau main kemana?
Biar diantar temannya mas Izack"
"Lalu mbak Chika?"
"Mulai besok kakakmu harus belajar"
Spontan wajahnya langsung melorot.
"Aku ikut Mbak Chika aja"
"Kenapa?"
"Kata bapak, aku harus jaga mbak Chika biar nggak diganggu orang"
Spontan Izack tertawa sambil mengacak kepalanya
"Dasar! Iri aku punya body guard sepertimu"
“Sekarang kan ada Mas Izack?”
“Ngg… nggaklah”
Izack langsung melirik Chika
dengan raut kecewa, karena akhirnya tidak leluasa hanya untuk berdua dan
meluapkan rasa kangennya.
“Besok kamu jadi beli sepeda,
kan?” rayu Izack
“Boleh mbak?”
“Hm, boleh”
“Kalau begitu besok kamu akan
diantar temannya mas Izack keliling Jakarta sambil menghafal nama tempat dan
fasilitas umum juga cari sekolah”
“Gimana?”
Lagi-lagi ia melirik Chika yang
hanya dijawab dengan anggukan dan kedipan mata sekali.
“Boleh,”
“Nha begitu dong anak ganteng”
“Yess!!” pekik Bagus mengepalkan
tangannya erat erat membuat keduanya tertawa
@@@
Siang itu ketiganya tiba di
kantor penerbitan milik Izack, Bagus mulai menyapa semua pegawai di sana dengan
anggukan dan senyuman.
“Halo Pak,”
“Pagi, Bang”
“Pagi, tante” sapanya sambil
menganggukkan wajah membuat Chika menutup wajah malu melihat sepupunya terlalu
ramah menyapa banyak orang yang menyebabkan pegawai yang agak sungkan dengan Izack
melihat aneh ke arah mereka.
Bahkan saat dirinya ke toilet,
mendengar percakapan pegawainya tentang status suaminya yang menikah dengan
janda muda ber anak satu, spontan ia menahan tawa, dan meledakkan tawanya begitu
ia kembali ke ruangan suaminya.
“Kenapa?” tanya Izack bingung
melihat Chika berdiri terpasung sambil tertawa
“Bagus, lihat wajah Kak Chika”
“Hm?” bocah lelaki itu langsung
berpaling kepadanya
“Apa muka Kak Chika ini mirip
ibu-ibu?”
“Iya,“ jawab Bagus sekenanya
membuat Izack yang tengah konsentrasi spontan tersenyum geli membuat wajah
Chika berubah bad mood kembali menekuri laptop di seberang meja sepupunya. Saat
itulah seorang pegawainya masuk memberikan map.
“Pak, Pemerintah mau tanda
tangan kontrak untuk Kerjasama Perpustakaan digital, tapi ada beberapa syarat
yang mereka ajukan”
“Apa
syaratnya?”
“Ini” jawab lelaki muda dengan
tubuh gempal menyodorkan map biru tua
Sembari membaca
lembaran-lembaran itu, tiba-tiba,
“Mbak Chika! Lihat ini,” seru
Bagus yang spontan membuat pegawainya menoleh kaget
“Kenapa?”
“Oh, aku kira putranya” ucap
pegawainya keceplosan nyengir membuat ia merasa bersalah dengan kata-katanya
Izack hanya tersenyum sekilas
menutup map disodorkan kembali dan membiarkan pegawainya keluar dari
ruangannya. Melihat Izack senyum-senyum, Chika pun sedikit merasa penasaran.
“Kenapa?”
“Hm, nggak apa” senyumnya
melirik Chika dari ujung rambut hingga ujung kaki dan kembali menekuri lembaran
kertas di depannya sambil menggoyang-goyangkan kursi putarnya
“Ada apa memangnya?”
“Nggak
apa-apa, tenang aja” jawab Izack yang masih tetap geli meneruskan pekerjaannya
Tiba-tiba saja Ozin masuk, ia
memberi kode pada Izack.
“Bagus, jadi beli sepeda kah?”
“Jadilah!”
“Hmm..??” Chika melirik tidak
suka pada Bagus
“Kalau begitu, itu diantar Kak
Ozin. Mbak Chika biar disini kerjakan tugasnya”
“Nggak apa-apa mbak?”
“Hm,” jawab Chika sedikit agak
berat hingga Bagus beranjak pergi meninggalkan ruangan dengan lari dan
seluncuran dengan sandalnya meninggalkan ruangan.
Hening
Meskipun sebenarnya mererka
sudah pernah bersama dalam satu ruangan, tapi suasana canggung masih tetap
menyelimuti ruangan itu makin beku.
“Kamu nggak tertarik belanja
kah?”
“Hmm…” jawab Chika seakan
memecah konsentrasi
“Nggak!”
“Sesekali belanjalah baju sana,
kalau mau ajak Lina”
Glekkk..
Menyinggung
soal pakaian, Chika merasa tidak enak dengan baju yang dipakainya. Ia
memastikan lagi kemeja kotak-kotak dan jins biru yang lusuh lengkap dengan
sepatu kets. Baginya itu adalah baju terbaik menurutnya yang masih pantas
dipakai ke kantor. Tapi sesaat ia melirik suaminya yang memakai kemeja putih
berbalut jas hitam.
Memang, selain mengatur sikap
dan perkataan Izack memang tidak pernah mengatur-ngatur dirinya soal pakaian.
Tapi bagaimanapun juga, ia mulai berpikir ulang dengan penampilannya sebagai
sosok istri pimpinan sebuah perusahaan.
Ia menarik nafas dalam “Nah, kan??
Nggak bebas lagi?!” pikirnya dengan jemarinya terkulai lemah seakan harga
dirinya kembali nyungsep
@@@
Saat
istirahat makan siang, Zack memanggil Lina ke ruang kerjanya. Di sana ia
diminta menemani Chika keluar sekedar membeli baju membuat dua gadis itu kaget
setengah bingung. Tapi bagaimanapun keduanya tak berani menolak apalagi
membantah, dan Chika mulai belajar memahami kuasa penuh suaminya saat di tempat
kerja.
Awalnya
keduanya sama-sama canggung, tapi perempuan itu menanyakan tempat tujuan “Maaf,
kita makan siang saja dulu, gimana?” Chika menawarkan
“Oh..
okey”
“Mau
makan dimana, Non?”
“Biasanya
kakak makan dimana?” tanyanya melewati koridor ruang kerja karyawannya yang
tampak sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Beberapa ada yang berceluit dan
sekedar menyapa penuh isyarat pada Lina. Hingga keduanya diam tak bersuara saat
di depan lift hingga masuk di dalamnya.
Chika
merasa ini seperti dunia khayalan atau dunia mimpinya beberapa tahun yang lalu,
membayangkan dirinya bekerja sebagai editor buku di sebuah perusahaan besar.
Tapi hari ini, bahkan detik ini, ia sudah tidak tertarik lagi bekerja di dunia
penerbitan. Karena dunia rimba raya seakan memanggilnya untuk kembali mengabdi.
Saat
keduanya keluar dari lift, Lina yang mulai kikuk karena Chika yang pendiam
memaksa dirinya membuka obrolan terlebih dulu.
“Gimana
dengan KKNnya kemarin, Non?”
“Oh..
baik”
“Aku
dengar, Nona sakit”
“Iya
Kak,” jawab Lina senyum-senyum teringat kepanikan Izack saat itu
“Ada apa
ya Kak?”
“Oh,
enggak.. Pak Izack itu orangnya sayang banget sama Non”
“Sampai
waktu KKN, dia hawanya nggak tenang. Mudah lupa sama pekerjaannya” jawab Lina
begitu keduanya masuk kantin dan mulai mengambil menu makan siang dan mengambil
tempat duduk di pojok sebelah dinding kaca.
“Boleh
tanya kah Kak.. sebenarnya dia itu orangnya seperti apa?”
“??!”
Lina melotot bingung
“Setahuku
Bapak itu orangnya baik banget kok Kak,”
“Humble
juga,”
“Jadi
kadang ada perempuan yang suka salah menafsirkan kebaikannya itu dengan rasa
suka”
“Kalau
selama ini saya tahu, Pak Izack memanfaatkan jejaringnya itu untuk
mengembangkan usahanya semata”
“Dan
sekalipun, kita nggak pernah mendengar desas desus kalau pak Izacky punya
kekasih. Sementara yang sering datang itu pak Alvin”
“Ah..
haha...”
Chika
terkekeh membuat Lina bingung campur cemas
“Eh,
maaf Kak.. maaf..”
“Tenang
saja, cerita seperti ini tidak akan sampai ke dia kok”
“Beneran
ya Kak”
“Hm”
Isyarat Chika mengunci mulut
Saat itu
temannya datang
Lina
diam agak lama sembari mengunyah makanan di mulutnya
“Halo
Lin,” sapa seorang karyawan perempuan melirik penuh isyarat pada Chika yang
duduk membelakangi
“Istrinya
pak bos”
“Serius??!”
lirih suaranya kaget terdengar di balik punggung Chika yang duduk membelakangi
mereka hingga Chika pun menoleh
“Oh, Bu”
Mendengar
panggilan Bu, Chika menahan tawa ngakak. Sejak kapan ia jadi emak-emak. Gaya
juga anak Mahasiswa, tapi mengapa dipanggil Ibu. Mereka salah tingkah dan
mengajak salam setengah menunduk hormat, membuat Chika risih dengan perilaku
semacam itu yang dianggapnya berlebihan.
Tapi
lagi-lagi mengingat posisi dirinya di situ, ia pun belajar menjaga perilaku dan
perkataannya sebagai istri seorang pimpinan.
“Mari
Bu..”
“Jangan
panggil saya Bu, Kak.. usiaku kan lebih muda dari kalian. Panggil saja nama
saya Chika” senyum Chika menyipitkan matanya yang kecil membuat wajahnya yang
putih makin tampak imut.
Ia mulai lega mendengar sekilas penjelasan dari mulut perempuan itu. Meskipun
ia masih merasa haus informasi tentang lelaki yang menikahinya itu.
Melihat bos nya melewati dinding kaca kantin tersebut, Lina merasa
tidak enak.
“Dicari Pak Izack, Non..”
“Oh,” Chika menoleh hingga dua pasang mata itu berpapasan. Lelaki itu
hanya memberi kode sekilas dengan dagunya untuk keluar.
“Itu Non,”
“Hhh…” Chika melengos lelah
“Enak ya jadi bos, tapi aku kan bukan anak buahnya” tuturnya nggak
suka yang terbaca oleh Lina
Perempuan itu hanya menahan senyum geli setengah khawatir melihat
reaksi Chika enggan bangkit dari tempat duduknya.
“Maaf ya Kak…”
Izack hanya diam menatap datar pada Chika yang akhirnya bangkit dari
tempat duduknya dan keluar. Lina pun tersenyum geli pada kawannya yang baru
datang
“Unik selera Bos kita”
“Tapi aku suka lho, gaya
istrinya. Humble banget”
Saat Chika mulai mendekat, Izack
pun kembali berbalik dan berjalan beriringan membuat beberapa orang menoleh
sembari senyum-senyum. Izack tak menghiraukan itu, tapi Chika sedikit
tersinggung.
“Aku menyuruhmu untuk belanja
pakaian kenapa mendaratnya ke kantin pegawai? Hmh?!!”
“Ampun, Bang… kan nggak harus
hari ini juga kali,”
“Ya sudah, ayok temani aku makan
saja kalau begitu”
@@@
Selesai muter-muter siang itu, Bagus
kembali lagi ke kantor Izack di sore hari menjelang maghrib. Ia tak sabar menunggu
sepupunya segera keluar dari kantor dan mencoba sepedanya untuk berputar-putar
di sekitar Apartemen.
Sembari mengurangi kebosanannya,
ia mulai pegang-pegang Komputer yang baginya itu barang istimewa. Bahkan Izack
membiarkan Bagus duduk di kursinya dan memutar-mutarkan tubuhnya di atas kursi
Bos perusahaan yang sedang berkembang itu.
Sesekali Izack mencuri waktu mengerjakan tugasnya. Tapi sebagai anak desa yang
telah terlatih dengan perilaku sopan santunnya. Ia langsung menyuruh Izack kembali
duduk di kursinya. Ia melihat dan menyentuh semua benda yang ada di sekitar,
hingga ia terhenti pada foto Izack bersama keluarganya.
"Waaahhh.... itu ayahmu ya Bang?"
"Hm, iya!"
"Jendral, keren..."
Izack mengernyit.
"Darimana kamu tahu dia Jendral"
"Ini lah" tunjuknya pada pangkat bintang 3 di pundaknya
"Hebat kamu, aku kira orang desa sepertimu nggak kenal pangkat TNI"
"Ngertilah??"
"Orang bapak sering cerita tentang ayahnya mbak Chika"
"Hm?!" Gerakan tangan Izack langsung terhenti menunggu kelanjutan
cerita Bagus. Tapi ternyata bocah itu cuek mengamati foto satu per satu di atas
rak hiasan dinding.
"Siapa ayahnya mbak Chika?"
"Tentara"
Kini Izack meletakkan bolpennya dan menyimak keterangan Bagus.
"Aku pernah dengar bapak sama mamak cerita, kalau di rumahnya mbak Chika
punya ruang bawah tanah" tuturnya mengambil mainan rubrik dan tetap cuek
sambil membolak-balik.
"??"
Kini mata Izack tertuju pada Bagus dan siap menyimak semua penuturan bocah
yatim piatu itu.
“Terus-terus??”
Bagus melotot bingung melihat
tatapan raut Izack yang begitu penasaran.
“Ya sudah,”
Saat itulah Chika masuk
“Kapan kita pulangnya Bang?”
“Bagus,”
“Aku nggak sabar ingin coba
sepeda baruku”
“Ooohh.. sory-sory, Abang lupa”
“Ayok, sekarang aja sekalian cari makan malam”
“Aku nggak lapar kok”
“Iya, tapi kakakmu harus makan
dulu”
“Tapi nggak lama kan?”
“Enggak… tenang aja”
Malam itu ketiganya keluar
bersama hingga beberapa karyawan yang begadang melihatnya sekilas seperti kakak
beradik yang sedang main bersama.
“Kapan aku jadi orang se
beruntung kak Chika?” tutur Karyawati pada teman kantornya sekilas sembari
nyruput es teh yang hanya disenyumi temannya.
“Terlalu kebanyakan nonton drama
kamu”
“Siapa tahu anganku yang seperti
ini membawa magnet di masa depanku”
“Kan Low of Attraction” tawanya
lebar nggak mau kalah
“Bangun! Bangun!!”
“Ah… aku cuman mau mimpi aja
seperti dia” jawabnya tetap mengkhayal mengamati kepergian mereka bertiga yang
kemudian ditinggalkan temannya
@@@
Hari berikutnya Chika
memberanikan diri berjalan-jalan di taman sekitar Apartemen menemani Bagus yang
bersepada.
Ia ingin bisa mandiri dan berusaha menjadi istri yang terbaik, meskipun sampai
detik itu kedengarannya lucu. Bahkan masih menganggap pernikahannya seperti
permainan petak umpet yang sewaktu-waktu bisa bubaran. Itulah mengapa, ia tetap
berusaha menjaga perasaanya agar tak sampai jatuh hati pada lelaki itu
sungguh-sungguh.
Sembari menunggu Bagus bersepeda
dan mengenal anak-anak di sekitarnya, ia mulai menelphon Rendra
“Halo, sedang apa kamu”
“Hm, mengatur jadwal anak-anak”
“Ren, kenapa ya? Baru kali ini
aku ketemu orang sebaik Kak Izack?”
“Kamu itu aneh, kenapa sih
selalu berpikir negatif”
“Maksudku begini…”
“Kamu tahu sendiri bagaimana
hidupku dalam beberapa tahun terakhir yang jungkir balik nggak karu-karuan
kan?”
“Eh, tiba-tiba ini ketemu lelaki
tampan, baik hati, sayang, kaya pula”
“Hmmh… iya deh, iya…!” suara itu
disambut tawa lebar Chika
“Lah, harusnya justru kamu
bersyukur”
“Aku berpikir sebaliknya, Ren…”
“Khawatir kalau dia ternyata
mengujiku lalu dia pergi di saat aku mulai ketergantungan hidup dengan dia”
“Begitulah keinginan lelaki,
Chik”
“Menjadikan dirinya sebagai hero
bagi perempuan yang disayanginya” pikir Rendra sembari menarik nafas
“Terus maumu gimana?”
Chika terdiam bingung dengan
dirinya
“Mbak Chika, aku dapat teman
baru!” seru Bagus
“Dimana kamu?”
“Taman, sama Bagus anaknya pak lik”
“Oh...”
“Gimana? Senang dia disitu?”
“Hm,”
“Kemarin aku mengurungnya
sepanjang hari sampai kelaparan”
“Kok bisa?! Tega benar kamu”
“Ren, kamu tahu siapa aku kan…”
“Gila nggak sih, apa-apa serba
mahal di sini, aku khawatir Bagus minta ini itu sama Izack”
“Ya wajar, ibu kota. Apalagi
dari nama tempatnya saja itu untuk kalangan elite”
“Maka dari itu aku shock”
Terdengar suara dengusan tawa
“Dasar orang ndeso, nikmati saja apa susahnya sih?”
“Enggak bisa, kalau
sewaktu-waktu dia meninggal atau pisah gimana aku mengatasi hidup yang sudah terlanjur
seperti ini”
“Eisyhhh!! Kenapa sih pikiranmu
selalu negative begitu, hati-hati dengan ucapanmu Chik… itu bisa jadi kenyataan
loh”
Chika diam termangu
@@@
Karena pengabdiannya selama dua
bulan itulah Chika mendapat panggilan dari kampus untuk mendapatkan penghargaan
dari pihak Kampus beserta Dinas Transmigrasi berupa Beasiswa S2 di luar negeri.
Antara gembira dan cemas Izack
mendengarnya, Chika tetap menghadiri panggilan pihak Kampus dan menolak tawaran
tersebut dengan alasan masih ingin mengabdikan pada pelestarian hutan.
Lagi-lagi Chika mendapat tawaran
untuk bekerja di NGO Asing sebagai fasilitator penyuluh perlindungan Hutan di
Kalimantan. Tapi Izack berat.
@@@
25
Sebidang Tanah
Hadiah
Setibanya dari tanah Transmigran, Izack
disupport Papa membeli sebidang lahan luas untuk Chika. Hal ini sengaja tidak
diberitahukan Chika sebagai kejutan hadiahnya saat ulang tahunnya yang ke
20tahun nanti.
Tapi berita ini bocor saat ia mendengar
percakapan pegawainya di pojok Pustaka perusahaan.
Awal mula Chika galau. Ia menduga bahwa
pembelian tanah itu adalah untuk istri sah nya Izack yang tidak ia ketahui.
Dirinya juga menduga bahwa sejak kepergiannya ke Kalimantan, Izack menikah lagi
dengan wanita lain. Karena selain sibuk, ia juga jarang sekali pulang ke
Apartemen. Terkadang Chika yang ingin ikut tidak diperbolehkan dengan alasan
“Sayangi badanmu, nanti capek”.
Hingga suatu malam Chika kesal tidak
bisa kemana-mana karena harus menjaga Bagus yang saat pulang sekolah tiba-tiba
demam, drop teringat orang tua dan adiknya. Saat Izack pulang, Chika duduk
termangu sendiri di kitchen bar sembari memegang segelas air minum.
“Belum tidur?” Sapa Izack berjalan dari
lorong pintu menuju dapur
“Hm,”
“Bagus gimana, sudah
baikan?”
Melihat Chika menarik nafas panjang
dengan pandangan kosong, Izack beranjak dan duduk di sebelahnya.
“Demamnya sudah turun, tadi
panggil-panggil Ani”
Izack mengulas kepala dan memeluknya,
tapi tubuh Chika terasa kaku dan beku. Izack memeluknya makin erat, tapi
kebekuan itu tak kunjung cair.
“Bang…”
“Hm,”
“Gimana kalau kita pisah saja?” katanya
yang langsung disambut tarikan nafas lelah melepas pelukannya perlahan. Tapi
Izack seperti sudah hafal dengan kata-kata yang tidak enak didengar.
“Ada apa nih?”
“Maaf, beberapa minggu ini mungkin kamu
sering aku tinggal di rumah sendiri, banyak hal yang perlu aku kerjakan di
luar”
“Termasuk mengurus cewek di luar juga
kan ya” senyum Chika kecut
“Maksudnya?”
“Membeli sebidang lahan untuk istri
baru”
Izack masih mengernyit bingung,
pikirannya masih bertautan antara urusan pekerjaan dan segudang urusan lain di
luar sana. Namun mendadak ia tersenyum geli.
“Syukurlah akhirnya istriku cemburu”
tawanya geli sembari kembali memeluknya erat yang disodok dadanya keras.
“Aukhhh!!”
“Sakit kan?” rautnya tampak
kesal melihat dirinya ditertawakan
Lelaki beralis lebar bermata
bulat itu beranjak pergi, tak lama kemudian ia muncul lagi dengan menyodorkan
map.
“Ini, buat istri baruku” katanya
menahan tatapan
“Hm, Bukalah”
Chika sudah terlanjur malu, ia
tak mau mempermalukan dirinya yang kedua kali dengan menolak Map tersebut. Tapi
Izack memaksanya dengan tangan lemas gemetar membuka map hijau muda tersebut.
“Kamu teliti satu persatu, ada
nggak nama istri baruku di situ?”
Gadis itu membuka lembaran demi
lembaran, namun yang ada hanya nama dirinya dan nama pemilik tanah sebelumnya
berjenis kelamin lelaki. Sementara Izack kembali sibuk membalas pesan-pesan
yang masuk dan menjawabnya sebagian dengan voice note hingga ia kembali menoleh
istrinya yang membolak-balik lembaran tipis tersebut.
“Ini… buat siapa?” suaranya
sumbang
“Kemampuan literasimu itu
sebenarnya cukup tinggi, tapi mengapa baca seperti itu saja nggak paham?”
Antara ingin tertawa dan kesal
bercampur jadi satu tampak di wajah.
“Lalu, kamu beli tanah pakai
uangnya siapa?” Tanyanya bingung yang disambut hembusan nafas kesal Izack
sembari membuang muka
“Nah, salah lagi” jawabnya membuat
Chika tertawa dengan mata berkaca-kaca
“Tapi, 10 Ha itu nggak sedikit,
Bang” rautnya tercengang menatap lembaran demi lembaran
“Iya, siapa bilang 10Ha itu
sepetak rumah”
“Tapi bukannya perusahaan saat
ini masih krisis?” suaranya lambat campur bingung membuat Izack kembali menarik
nafas kesabarannya di langit
“Aku nggak mau nanti tiba-tiba
kamu keciduk Lembaga Pemberantasan Korupsi”
Spontan Izack tertawa “Kenapa?
Kamu takut kehilangan aku?”
“Aku tanya serius, Bang”
Ia menarik nafas dalam “Aku
menikah denganmu tidak main-main, Chika…”
“Jauh sebelum kita menikah, aku disuruh
Papa untuk menyimpan sebagian uang untuk biaya pernikahanku kelak”
“Ceritanya waktu kamu di
Kalimantan, Papa menyarankan aku menggunakan uang simpanan itu untuk membeli
sebidang tanah lelang. Nah, biar aman Papa menyarankan segera proses balik nama
atas nama kamu”
Spontan mata Chika berkaca-kaca
membaca luas tanah seluas 10Ha
“Tapi ini terlalu luas, Bang”
tangannya gemetar campur lemas hingga lunglai sertifikat itu meluncur jatuh yang
kembali dipungut Izack dari lantai
“Beliau berani menggunakan itu
karena kamu bersikukuh tidak mau mengadakan pesta pernikahan secara besar-besaran”
“Sisi lain Papa juga merasa
tertolong. Karena biasanya ketika ada pernikahan semacam itu, akan jadi ajang
gratifikasi dari para pejabat dan pengusaha yang memang punya niat tertentu sama
Papa”
“Sekalipun sudah tertulis tidak
menerima sumbangan apapun, tetap saja ada yang menyodorkan”
Chika menarik nafas dalam,
seakan memahami tantangan dan tekanan para pejabat di pusat. Lagi-lagi segelintir
air mata jatuh membasahi pipi hingga tak berani mengangkat wajahnya.
“Hei! Kenapa lagi?”
Chika tersenyum lebar menitikkan
air mata berulangkali.
“Tapi itu terlalu banyak, Bang…”
“Aku takut…!” suara tangisnya
perlahan pecah
“Apalagi itu tanah bekas korupsi
pejabat negara, bagaimana nasibku nanti kalau seperti itu juga?” tangis Chika
membuat Izack tertawa bingung,
“Apalagi… yang dia pikirkan?”
pikirnya tertawa geli sembari memeluk erat Chika yang tubuhnya kini tak lagi
kaku
“Dari pembelian tanah itu, Mama
Papa berharap banyak kita bisa hidup satu atap, itu saja”
“Waktu kamu di Kalimantan, Mama Papa
juga mendesakku untuk melepas atribut AMI dan konsentrasi pada bisnis”
“Kamu bisa mendirikan
laboratorium hutan buatan di sana sembari teruskan studimu S2 di sini”
“Aku nggak akan ambil tawaran
itu” jawabnya tegas membersihkan titik air matanya
“Lah?! Kenapa?”
“Bang, kuliah itu hanya
menghabiskan waktu untuk teori”
“Justru dengan teori itu, kamu
bisa menentukan mana yang terbaik untuk alam”
“Kata siapa?”
lulusan kehutanan mungkin
banyak. Tapi hanya berapa persen yang benar-benar mau peduli dengan konservasi hutan?”
jawabnya membuat Izack melengoskan wajah sembari memegang kepalanya bingung
“Tahu gitu tadi aku nggak perlu ngomong”
rautnya kesal yang disambut tawa lebar Chika
“Kamu nggak takut kulitmu
gosong?”
Chika tertawa lebar “Kenapa?”
“Suruh siapa kamu mau sama anak
Kehutanan? Kenapa nggak cari penari balet aja atau artis yang kulitannya tetep
mulus dan glowing?”
“Bener???”
Lagi-lagi Chika tersenyum nyengir.
“Tolong, tahan pikiran burukmu”
“Aku tahu kamu gatel ingin mengucapkan,
tapi tolong.. ditahan” ujar Izack membuat Chika mencelos
“Kamu juga sudah tahu siapa aku
dari teman dan orang tuaku”
“Kalau begitu, minggu depan aku
pulang ke Yogya ya?”
Izack menarik nafas dalam
sembari menatap matanya membuat Chika menunduk malu
“Terus Bagus gimana… dia baru
mau masuk sekolah lho?”
“Enggg…”
“Begini deh, tadi pagi Mama
bilang kalau Bagus disuruh tinggal di sana aja”
“Nggak bisa! Bagus terlalu
banyak polah, aku khawatir…” spontan mulutnya dibungkam membuat Chika melirik
nggak suka yang hanya ditertawakan Izack tersenyum manis
“Sudah lama Mama Papa kangen ada
anak kecil di rumah, makanya mengapa ia mendorongku segera menikah”
@@@
Sore
itu Chika berniat mengambil buku di perpustakaan rumah Izack yang memang
direkomenkan Izack. Tapi melihat banyak kendaraan roda dua terparkir di depan
rumahnya dengan pintu garasi terbuka lebar, langkahnya terhenti ragu. Ia
berniat balik arah atau lurus ke Basecamp Rendra. Tapi saat itulah Hpnya
bergetar dari dalam kantong celana.
“Kenapa
putar balik?”
“Hehe…
banyak orang, Bang”
“Kamu
dimana?” Chika tolah-toleh bingung memastikan tidak ada seorangpun di sekitar,
hingga pandangannya tertuju pada cctv di atas pagar garasi.
“Hah…
repot, hidup denganmu benar-benar seperti hidup dalam sangkar”
“Sangkar
gimana? Masih bisa keluyuran seenaknya asih bisa bilang hidup dalam sangkar”
“Hehe…
yang penting kan aku sudah pamit Papa Mama”
“Kamu
itu istriku, bukan milik mereka”
“Hhh…”
Terdengar
tawa kecil Izack melihat gerak gerik kesal gadisnya.
“Kamu
mau makan apa?”
“Apa
saja, aku lapar banget”
“Lapar
pelukanku kah?”
“Ahhshhh!!”
“Hwkwk…”
“Okey,
masuk dulu aja. Di luar dingin” kata Izack sembari memegang kendali setir
“Apa
kamu menunggu selimut hidup?”
“Ahhh..
terimakasih”
“Hwkwk…”
“Bahasamu
bikin mau muntah yang dengar, Izack…” celoteh teman-temannya di ujung suara
ponselnya membuat Chika tersenyum lebar dan langsung ditutup
“Ya,
Bahasa ke dia memang harus digitukan. Kalau enggak bisa mental dia”
“Bukannya
itu dirimu ya?”
“Nah,
sama kan?!” tawa teman-temannya di dalam kendaraan
“Ah..
rupanya sudah mulai paham kamu ya”
“Sudahlah,”
“Fisik
boleh LDR, tapi hati jangan”
“Huekkkhh…
ya ya ya!” tawa Izack lebar teap tenang scroll layar tipisnya
Awalnya
Chika menyelinap masuk. Berharap tidak ada yang kenal dengan dirinya. Tapi
begitu sampai di depan ruang Pustaka para seniornya dari Cabang langsung
menyambutnya ramai.
“Halo
Kak…” sapa seorang cewek
“Eh,
Kak Chika” sapa mereka rame-rame menyalaminya. Bahkan beberapa adek kelas
hendak mencium tangannya, tapi Chika langsung menarik tangannya. Begitu juga
dengan Leo yang satu letting dengan Izack, langsung menyambut kedatangannya.
“Halo,
bu ketua”
“Jangan
ngomong gitu lah, Bang”
“Gimana
kabar? Sudah sehat benar kah?”
“Bang!
Dia itu baru datang dari KKN di Kalimantan” bisik seorang lelaki
“Whuatttt?!”
“Pantesan..”
“Kenapa?”
“Jarang
absen”
“Hahaha…”
tawa mereka rame
“Biasanya
kan, dia kenapa dikit langsung absen. Hp dimatikan”
“Haha..”
“Heran
aku, kamu kasih ramuan apa coba?”
“Lengket
benar”
“Orang
sedingin Izack berubah romantic, saking romantisnya anggap kita semua ngontrak”
Chika
yang tak pintar berkata-kata hanya cengar-cengir dengan raut kemerahan menahan
malu.
“Oke,
silahkan, lanjutkan!!” ujar Chika kikuk sedikit membungkuk seakan ingin
membubarkan kerumunan menyambut kehadiran dirinya
“Aku
cari buku referensi dulu, Bang”
“Lah!
Ya itu itu, yang membuat kak Izack lengket sama dia”
“Kutu
buku”
“Yup!”
“Hwkwkwk…
wah, berat- berat!”
“Ya
sudah, kalau gitu ucapkan say good bye lelaki idaman”
Chika
yang mendengar celotehan mereka hanya tersenyum geli membuka pintu kaca ruang
Pustaka Pribadinya.
"Ayo,
makan malam Kak..." pinta seorang gadis membuka pintu kaca tersebut.
“Oh,
iya. Kalian saja dulu” ujar Chika ramah meletakkan tasnya dan mulai mencari
referensi di antara rak-rak buku.
Saat
gadis itu keluar, sayup-sayup terdengar suara
“Wuaaa…
pantas kak Izack jatuh cinta setengah mati. Mana ramah, lembut, baik hati dan
imut lagi”
“Nggak
tahu kalian, kalau aku lagi marah bisa mirip singa kelaparan” tawa Chika dengan
jemari mulai memilih deretan buku
Saat
ia menemukan buku-buku referensi tersebut, ia pun mulai duduk di bantal Bean
Bag di atas lantai. Namun matanya tiba-tiba meluncur pada lelaki yang
ditunggu-tunggu kedatangannya. Ia tengah ngobrol dengan dua seniornya yang
cantik dari kantor cabang di Gazebo. Alvin yang tiba-tiba masuk mengagetkan
dirinya menjatuhkan buku yang dia pegang membuatnya tertawa terkekeh-kekeh.
Melihat Izack duduk berhadapan dan berbicara seru dengan dua perempuan cantik
ia pun hanya tersenyum.
"Tenang
saja Non, Izack itu orangnya nggak macam-macam kok" ujar Alvin
"Hm?!
Apa Kak?"
Alvin
hanya tersenyum dan mulai beranjak mencari buku di antara rak-rak buku di
dinding
“Dia
bisa cair seperti itu saat sudah beristri aja”
“Sebelum-sebelumnya,
berasa kuburan bener”
"Dulu,
aku sempat mengira kalau dia itu suka aku" tawanya meledek
sambil matanya tetap teliti mencari buku, bahkan ia sempat menaiki tangga untuk
mencari buku di rak paling atas.
Chika
ikut tertawa nyengir,
“Perasaan
itu buku ada di sekitar situ deh” suaranya lirih lalu turun lagi
"Kamu
tahu kenapa?"
"Sekalipun
sering dikerubungi cewek-cewek, tapi tak satupun ada yang nyantol” Chika
tertawa kecil mendengar cerita lelaki ber mata sipit itu di sudut ruangan
menuruni tangga perlahan dan mengambil dua buku
“Sampai-sampai
justru si cewek yang menyatakan suka duluan ke dia, aneh kan?!”
“Coba
kalau kamu jadi aku?”
Lagi-lagi
Chika hanya tertawa
“Bahkan
satu saat dia dijebak koleganya dengan perempuan nakal di kamar hotel. Tapi
dasar lelaki dingin, perempuan itu justru dinasehati panjang lebar yang
membuatnya malu menutup pakaiannya dan ngejar Izack sampai sekarang"
“Jadi,
hati-hati aja. Jangan keburu sakit hati suatu saat kalau ketemu cewek yang suka
sama dia” ujar Alvin membuat Chika menarik nafas panjang
"Sejak
itulah dia mau cerita jujur, alasannya bersikukuh nggak mau pacaran"
ujarnya menuruni tangga dan bersandar pada sebuah meja
Seperti
ada yang ingin dikatakannya dengan berat, Alvin diam lama memandang Chika yang
memandang dirinya dari jauh.
"Masa
lalunya menjadi bayi buangan itu sangat menyakitkan. Dan dia menghindari itu
terjadi pada dirinya, makanya dia sangat hati-hati pada perempuan"
"Pun,
dalam memilih pasangan"
"Dia
sempat cerita soal kamu yang mengira dirinya tipikal lelaki mesum yang baru
kenal sudah berani ajak nikah”
“Kalau
kamu tahu, sebenarnya proses penjelajahan tentang dirimu sudah sejak dua tahun
lalu, Non..”
Chika
melongo
“Jadi
itu beneran?”
“Hm!”
"Oh
ya, waktu pertama kalinya kamu pulang tanpa pamit dari Jakarta, dia pingsan di
Apartemennya"
Chika
melotot
“Maka
dari itu aku telpon kamu pakai nomorku… itu kondisinya masih pakai selang
Oksigen”
"Makanya
aku heran aja ada cewek yang memperlakukan Izack seperti itu, baru kamu”
"Dia
itu memang orang baik, bukan hanya pada kamu saja. Dan memang dia membuat sibuk
dengan aktivitasnya di luar, hanya untuk mengusir rasa pahit serta kangen pada
dua orang tuanya. Tapi itu ternyata menjadi kebiasaannya hingga hari ini”
"Kenapa
tidak berusaha mencarinya saja, Kak?" ujarnya dengan mata berkaca-kaca
"Sudah,
tapi hasilnya nihil"
Serasa
ada angin yang mendesak kerongkongannya, Chika merasa sesak. Ia membayangkan perlakuan
dirinya terhadap lelaki itu karena mengira sebagai lelaki hidung belang.
"Seolah
hidupnya didedikasikan hanya untuk keperluan banyak orang"
"Kerja
kerasnya siang dan malam seperti pelarian hidupnya dari rasa sakit"
"Makanya
kita semua kaget, ketika satu minggu penuh dia menunggumu di Rumah Sakit dan
antar jemput ke rumahmu dan ke Jakarta"
"Untuk
itulah keluarganya membiarkan pernikahan itu terjadi sekehendak dia"
"Menurut
kakaknya yang ada di Jerman, ayahnya cukup lega dia menemukan tambatan hatinya.
Dan tidak memprotes keinginannya" jelasnya panjang lebar membuat Chika
mengusap air matanya berulang kali.
"Jadi,
kalau ketemu. Sering-seringlah peluk dia, dia hanya butuh itu saja sebenarnya
demi mengobati rasa sakitnya"
"Berbahagialah
menjadi gadis pilihan di antara puluhan gadis yang mengejar dia" tawa
Alvin seakan ingin memecah suasana mendung
Tiba-tiba
saja Izack masuk membuat Alvin kaget yang disambut Chika geragap mengelap
pipinya yang basah.
"Hei...
kau apakan pacarku sampai nangis"
"Ah,
biasa cewek gampang terharu" tawanya lebar
"Aku
pinjam buku ini, Bro" katanya sembari menepuk pundak Izack dan pergi
meninggalkan ruangan itu kembali menutup pintu kaca hitam
"Kenapa?"
"Baru
kali ini lihat cewek sekokoh karang bisa nangis"
Chika
tertawa sambil menangis memeluknya erat-erat. Izack sedikit heran dengan reaksi
istrinya yang berinisiatif dulu memeluknya dengan penuh kehangatan.
“Maafkan
aku selama ini Bang...”
“Kenapa?”
“Aku
nggak tahu kamu di Rumah Sakit”
Izack
tersenyum lebar memeluknya. Ia menatap wajah itu dan mengelap pipinya yang
basah.
"Ya
sudah ayo makan dulu" katanya menarik tangannya keluar
“Tunggu”
“Kenapa?”
“Kelihatan
kah kalau aku menangis?”
“Sudah..
nggak apa-apa”
“Atau
cuci muka saja dulu”
“Tapi
kan kelihatan”
“Emmhhh...
yang lagi bermanja” sahut Alvin membuka pintu sliding kaca hitam
“Bro,
orang perusahaan datang tuh”
“Oh,”
“Suruh
tunggu saja dulu” jawab Izack sembari merangkul istrinya
Alvin
kembali menutup pintu dan menghalau dua orang cewek yang hendak masuk.
“Kenapa?”
“Ada
Big Boss sama istrinya” bisik Alvin
Melihat
adegan itu dari dalam Chika kaget saat tiba-tiba ada dua tangan yang
menghadapkan wajahnya dan menciumnya bibirnya hangat.
“Ingat,
kamu di sini sebagai tuan rumah, bukan lagi tamu. Jadi belajarlah untuk
bersikap lebih dewasa meskipun itu sulit” ciumannya mendarat di kening
“Gimana
caranya?”
“Ikuti
saja caraku”
“Mungkin
satu saat kamu yang akan menemui mereka, di saat aku tidak ada”
“Termasuk
bagaimana penampilanmu” jawab Izack membuatnya melengos kesal
Izack
tersenyum lebar “Sebenarnya aku tidak masalah, tapi itu akan mengurangi sudut
pandang mereka terhadapmu”
“Hahhh…!
Repot benar hidup denganmu”
“Semua
butuh proses belajar” kata Izack lagi
“Aku yakin kamu bisa” senyumnya
lebar menyibakkan poninya yang menutup sebagian pandangan matanya
@@@
21
Wisuda
Pagi-pagi sekali Chika berjalan cepat menuju ruang Tata Usaha dan keluar
beberapa menit kemudian dengan membawa kertas kecil dan lari tergopoh-gopoh
menuju toilet dengan membawa sebandel bingkisan toga dan jubah.
Melihat pemandangan itu, beberapa orang teman kelasnya tertawa
cekikikan.
“Emang itu anak, nggak berubah dari dulu” ujar mereka tertawa melihat
tingkahnya yang energik lari kesana kemari.
"Rendra! titip tasku" teriak Chika melempar tasnya hingga
melambung ke udara yang berhasil ditangkap lelaki itu
"Ayo cepetan ikut baris dulu sana!"
“Ya!”
"Chika!!" seru seorang teman lelaki mengacungkan dua jempol
dari seberang melihat Chika tanpa riasan sedikitpun
Tiba-tiba seorang lelaki tampan dengan kulit putih kekuningan berjalan
melewati kerumunan mereka. Beberapa teman perempuan senyum-senyum sambil
berbisik lirih melirik lelaki yang menyapanya dengan senyuman tipis sekilas
pada mereka.
“Wow!” seorang perempuan melongo cekikikan heboh mengamati gerak langkah
lelaki tersebut.
"Baru kali ini aku lihat cowok bening begini lewat di halaman
fakultas kita" kata si gendut yang spontan ditertawakan beberapa teman
lelaki
"Saudaranya siapa coba?"
Rendra yang tahu bahwa itu Izack hanya diam pura-pura tidak tahu, tapi
rupanya Izack kenal betul wajah itu.
“Hallo, Rendra ya?”
“Iya, Bang”
“Chika mana?”
“Ohh.. itu” tunjuknya pada Chika yang tengah berlari menyingsingkan
jubah wisuda menuju barisan kirab Wisudawan yang sudah berjalan menuju Hall
"O.. oke, makasih” jawab Izack pamitan pergi
Sebelum akhirnya lelaki itu berjalan cepat mengejar Chika, dari jauh
terdengar namanya dipanggil-panggil.
"Bang Izack!!" seru beberapa Mahasiswa yang ternyata anak AMI
dari fakultas Hukum.
Saat itulah ia diserbu pertanyaan macam-macam dengan beberapa minta foto
selfie bersama.
Chika yang sekelebat lihat bayangan Izack yang dikerumuni anak-anak AMI
terkejut.
"Gawat!"
"Bisa-bisa gagal rencanaku" pikirnya sembari mengikuti barisan
masuk ke ruangan
Sementara beberapa teman kelasnya yng masih bergerombol saling berbisik.
"Siapa dia Ren?" bisik teman-temannya
"Cowoknya Chika ya?"
“Loh, kalian belum tahu?”
“Itu suaminya Chika”
"Whatt??? serius??"
“Yang katanya anaknya jendral itu bukan sih?”
“Iya! Betul banget”
“Dia punya penerbitan buku di Jakarta kan?”
“Berarti dia ya?”
"Serius kamu?!"
Seseorang langsung menunjukkan foto di ponselnya
“Beneran dia, ketua Pengurus Besar AMI kan”
“Hm! Mantap!”
“Berasa mimpi ya?”
“Kita nggak tahu bagaimana perjuangan Chika selama ini untuk bisa kuliah
dengan kerja serabutan sana-sini”
"Eh, eh!! Bukannya yang kemarin diisukan menikah karena adat itu
bukan sih?"
"Siapa yang menikah karena sangsi adat?"
"Itu, ketua umum AMI Jakarta"
"Loh?? Kalian belum tahu?"
"Itu Chika, kan?"
"Serius kamu, Ren?"
"Iya,"
"Ah... Dia termakan sama berita yang dia buat sendiri berarti"
tawa ngikik seorang teman lelaki
"Aku dengar berita itu karena dia tetangga desaku.
Nah laki-lakinya siapa, aku belum tahu... Eh.. begitu tahu ternyata itu
Chika. Ngakak aku,"
"Ketua AMI Jakarta, yang kita baca di koran"
"Seriusss??"
"Tapi nggak lama kemudian beritanya tenggelam dan nggak pernah
keluar lagi"
“So pastilah, langsung dia bredel”
“Keren betttt!!”
“Ceritanya berasa di drama-drama Asia aja”
@@@
Saat selesai wisuda
"Selamat..." ujar
teman-teman kelasnya menyambut Chika saat keluar ruangan. Beberapa orang
memberikan kado berisi boneka atau sekedar buku.
Izack beserta empat orang senior
lainnya datang membawakan buket bunga besar sambil tersenyum berseri-seri.
"Selamat ya sayang..."
ujar Izack yang hanya disambut tatapan nyeri melirik buket bunga yang ia terima
dari tangan Izack
"Woooww...!!" Teman
kelasnya melongo saat ada lelaki tampan itu datang di belakang mereka
"Kapan kamu datang,
Bang?"
"Kenapa wajahmu kusam
banget" kata Izack mencubit hidungnya yang lancip dan kecil
"Aku paling nggak suka
dikomentari soal wajahku" ujarnya ngedumel yang spontan membuat Izack
tertawa gemas menenggelamkan wajahnya dengan toga
"Pakai riasan dikit, Chika.
Sini aku bantu"
"No!!!"
"Untuk apa, sudah selesai
juga?"
"Kalian kan harus foto
bersama"
"Tidaaakkkkk...!!"
teriak Chika
"Serius, aku bisa muntah
pakai begituan" ujarnya disambut riuh tawa beberapa orang seniornya
"Czzhhhh! Bukan Chika kalau
ke Salon, Zack" tawa Hendrik dari jauh sambil mengacungkan dua jempol pada
gadis itu
"Ciumlah...?!" cletuk
Hendrik dan Leo yang spontan disambut sorak sorai teman kelasnya
"Kalah kalian sama Indra,
baru pacaran sudah berani pamer foto ciuman segala"
"Nanti pulang wajahku babak
belur kena sasak tinju dia, Leo!" sanggah Izack
"What??? Serius??!"
Leo dan Hendrik melotot heran
"Aku paling tidak suka
dapat beginian" lirih Chika meringis mengomentari buket bunga yang wangi
dengan lirikan nyeri
Spontan Rendra tertawa ngakak
"Dia itu cewek rasa cowok,
Bang"
"Maksudnya??"
"Dia kan nggak suka
bunga"
"Bagi dia, bentuk bunga aja
sudah seperti ulat bulu"
Chika melototi Rendra
"Ck! Tidak romantis sama
sekali, kamu tuh"
Izack merebut kembali buket
bunga dan pergi begitu saja
"Kamu nggak tahu kan, harga
buket bunga seperti itu harganya bisa jutaan"
Chika melotot
"Serius?!!"
"Kenapa sih Oon bener
kamu?"
"Itu bunga hidup, Non...
bukan imitasi"
"Non, suamimu itu ganteng.
Kamu nggak kepikiran kalau bunga itu bakal mendarat ke cewek lain?"
"Chika! Kalau aku di
posisimu, badanku sudah auto melambung ke awan" ujar teman perempuannya
Spontan ia lari menarik kemeja Izack
dari belakang yang berjalan menuju tong sampah
"Eh, eh!!" gadis itu
merebut buket kembali dengan tawa nyengir
"Bukannya kamu nggak
suka?"
"Hmmm...h" Chika
nyengir
"Mending kamu traktir aku
makan es krim saja daripada beli barang seperti ini"
Spontan mendengus kesal sambil
tertawa geli jewer telinga Chika
"Aduh!"
"Sakit!"
"Lebih sakit mana, bunga
dibilang ulat bulu?"
"Jangan dibuang, nanti aku
jual aja nggak apa-apa kan?"
Izack geleng-geleng kesal
"Selain uang, apalagi yang
ada dalam pikiranmu?"
Keduanya melangkah kaki bersama
meninggalkan kerumunan teman-temannya yang bercengkerama.
"Nanti malam kita diundang
ke rumah suaminya Chika untuk makan-makan" kata Rendra
"Serius?!!"
“Wuaaa?!!” seru heboh
teman-teman cewek kelas
Sepanjang jalan mereka berdua
berjalan, jemari Izack ragu untuk sekedar menggandeng tangan Chika.
"Bang, bulan depan beneran
berangkat ke Kalimantan lagi, loh ya?!"
"Terus?"
"Ya sudah"
Izack menarik nafas kesal “Terus,
tanah yang aku beli itu buat apa?”
Chika tertawa nyengir
“Aku cari dana buat pengembangan
hutan, Bang”
“Butuh berapa?”
“Nggak! Aku bisa cari sendiri”
"Nggak kapok kamu balik
lagi ke sana?"
Chika hanya tersenyum lebar
“Enggak?!”
"Lalu apa maknanya
pernikahan kita"
"Banyak orang yang
berjauhan setelah menikah, Bang. Toh baik-baik saja"
"Lalu apa maknanya aku
bekerja keras selama ini?"
Chika menarik nafas kesal
"Seperti inilah yang paling aku benci dari pernikahan, apa-apa jadi serba
terikat"
"Okey, terserah kamu"
katanya menarik nafas lelah membalikkan badan dan pergi begitu saja
meninggalkan Chika seorang diri.
Entah berapa langkah Izack
berjalan, ia berharap gadis itu mencegahnya pergi, tapi apa yang terjadi saat
ia menoleh ke belakang gadis itu kembali melenggang santai menuju pintu lorong
gedung.
"Ini cewek
bener-bener,"
Rendra dan beberapa orang teman
kelasnya hanya geleng-geleng melihat keduanya kembali terpisah.
Gadis itu berjalan tenang
melepas toga dan jubah kebesaran dan dimasukkannya lagi ke dalam ransel.
Ia sengaja meninggalkan
keramaian melewati lorong gedung yang lengang dan sepi menuju hutan kampus yang
cukup luas di area kampus paling belakang.
Ia hanya ingin sendiri,
mengenang masa lalu awal mula menjadi seorang Mahasiswa di kota besar, luar
biasa berat. Ia harus meloncat pagar yang teruat dari besi di saat menyendiri
dan tiba-tiba ingat ada jadwal kerja serabutannya.
Waktu semua masih menikmati
suasana keceriaan masuk bangku baru dengan teman baru, ia harus banting tulang
kerja paruh waktu kesana kemari, yang kadang di saat uang tidak cukup ia harus
bekerja tengah malam sebagai cleaning service di sebuah mall. Di saat pagi, ia
harus lebarkan mata dan kuatkan tenaga untuk belajar di kampus, menyelesaikan
semua tugas beberapa hari berikutnya, lalu berusaha keras mempertahankan
nilainya agar tidak mengulang semester berikutnya.
Ia merasa benar-benar kesal
karena harus menikah dan hidup dalam kurungan seorang lelaki yang belum lama ia
kenal, sekalipun dulu ia sempat naksir lelaki bak pangeran berkuda tersebut.
Tapi masalahnya, ia tak yakin bagaimana kehidupan yang akan ia lalui bersama
lelaki yang jauh di atasnya. Ia benar-benar merasa kesal karena dibanding
dirinya dan keluarganya, ia seperti gadis pengais sampah di pinggir jalan yang
berhasil diselamatkan.
Begitu sampai di ujung lorong,
langkahnya mendadak terhenti melihat lelaki yang ia kenali itu tengah sibuk
memindahkan bibit tanaman yang diiringi instrument music. Merasa ada gelagat
seseorang di belakangnya Dhani pun menoleh.
“Eh, hei!”
“Halo Nyonya besar AMI”
“Hehe… jangan bilang begitulah,
Bang”
“Selamat dan Sukses ya”
“Terimakasih, Bang”
“Mana Abangmu?”
Melihat ada lelaki yang berjalan
menuju ke arahnya Dhani langsung menyapa.
“Halo Bro, ketemu lagi kita” sapa
Dhani membuat Chika menoleh dan kaget melihat kedatangan Izack menuju ke
arahnya.
“Ah…! Niatnya kemari mencari
suasana sepi, justru gaduh jadinya” pikir Chika menepuk jidat
@@@
Makan malam di
rumah Izack
Sore itu keduanya kembali ke
rumah Izack bekas perusahaan penerbitan yang telah disulap jadi hunian yang
hommy.
“Kalau mau istirahat, tidurlah
dulu. Biar aku bersihkan untuk pertemuan nanti malam”
“Pertemuan teman-teman AMI
lagi?”
Izack diam merasa keceplosan,
karena ia ingin memberikan kejutan untuk istrinya dalam rangka upaya untuk
mendekatkan dirinya dengan teman-teman sekelas ketika tahu dirinya selama masa
kuliah jarang sekali menikmati kebersamaan itu.
“Lha gimana?”
Chika melenguh kesal, tapi ia
tidak berani protes.
“Kalau begitu, aku pulang ke
kost aja dulu lah” katanya balik badan dan melangkah keluar
“Eits!! Tunggu-tunggu!” sahutnya
menarik lengan Chika
“Teman-temanmu nanti malam mau
kesini”
“Hhh???”
“Siapa yang suruh?”
“Kenapa nggak menolaknya aja,
mereka itu kebiasaan begitu. Apa dikit, acara makan-makan”
Izack menurunkan pundak “Aku
yang undang mereka”
“Tapi Bang, bukannya kita baru
berhemat uang kan?”
“Kamu jadi Mahasiswa seumur
hidup hanya sekali ini saja, Chika..!”
“Okey kita sedang berhemat”
“Tapi siapa tahu dengan
bersedekah, nanti dilancarkan lagi rejeki kita”
Chika pasrah dan mengalah. Izack
mendorongnya ke kamar untuk mengganti pakaian mereka. Hingga keduanya mulai
bersih-bersih dan hidangan pun mulai tiba begitu keduanya keluar dari kamar.
“Sudah siap Mak?”
“Sudah mas, tinggal tunggu
buahnya.. anakku tak suruh keluar”
“Hm, makasih Mak…”
“Halo mbak Chika..!”
“Selamat atas wisudanya ya
mbak..”
“Mbok kadang tuh main-main
kesini, kalau pas mas Izack di Jakarta”
“Hehe… iya Bu”
“Jangankan kesini, Mak”
“Kalau nggak aku tarik selesai
Wisuda, nggak bakalan dia datang”
“Ini kan sudah jadi rumahnya
mbak Chika juga,”
Tiba-tiba terdengar bel pintu
rumah.
“Bukannya nggak ditutup ya?”
kata Chika sembari bangkit membuat ketiganya menoleh pada pintu rumah dari
balik pintu kaca dapur
“Haloooo…!” seru Chika ramai
yang diikuti beberapa teman kelasnya yang bermunculan dari balik pintu
Satu persatu beberapa orang temannya
datang, bersamaan dengan teman-teman AMI yang membuat suasana rumah seketika
ramai riuh.
Mereka mulai ngobrol rame ini
dan itu, ada beberapa yang berkenalan dan bersalam sapa satu sama lain membuat
keseruan pun kian terasa. Izack segera mempersilahkan menikmati hidangan yang
telah mereka sediakan sambil bercakap-cakap membentuk obrolan-obrolan seru.
Selang berapa menit Izack
berbicara lewat pengeras suara di depan teras ruang keluarga yang bersebelahan
dengan dapur. Ia mulai bicara tentang pernikahannya yang mendadak, Chika
menolak untuk dibuatkan acara pesta pernikahan besar-besaran hingga acara
wisuda yang sangat sederhana.
“Hei! Berdirilah di sebelah dia”
isyarat Rendra pada Chika membuat gadis itu malu-malu berdiri di belakangnya
“Beruntunglah kamu dapat istri
super hemat seperti itu, Bro!” cletuk seseorang membuat tawa gerr orang-orang.
Izack yang tahu kehadiran istrinya di belakangnya, dirangkul begitu saja
membuat wajah Chika yang pura-pura dingin seketika kemerah-merahan.
“Huu…?!!”
Selesai Izack berbicara di
depan, masing-masing dari mereka mulai kembali ke kelompok obrolan seperti
semula. Bahkan Chika membentuk tim kecil sendiri di ruang Pustaka yang hangat.
Chika bersama 4 orang temannya kembali
serius membuka laptop masing-masing membahas project penanaman pohon.
“Kamu sudah buat surat tembusan
dinas kan?”
“Sudah-sudah!”
“Ini daftar tanaman yang
kira-kira cocok untuk daerah itu” kata Chika geser menunjukkan daftar nama
tanaman
“Oh ya, aku sudah dapat Bank
bibit gratis loh”
“Lumayan kan kalau beneran
gratis, cost bisa dialihkan pada tenaga penanaman bibit”
Tiba-tiba saja tiga orang senior
masuk. Mereka adalah Leo, Hendrik dan Izack
“Halo Chika” sapa Leo
“Wah, istrimu ini memang beda
dari yang lain. Sudah wisuda masih mau-maunya belajar lagi” tawanya
“Hwkwk.. bukan belajar Bang, cari
uang”
“Sekelas kamu masih repot cari
duit sendiri?”
“Dia itu bukan cari duit, Bro!
tapi nggak bisa diam” cletuk Hendrik membuat ketiga orang itu tertawa
“Nah, Itu!”
“Aku membayangkan kalau kalian punya
anak, kelar hidupmu. Anakmu tipikal anak yang super aktif” spontan mereka
tertawa membuat dua pasangan muda itu seketika bermuka merah.
Izack memberi kode untuk
menyingkir sejenak dari teman-temannya, mereka berdiri di sudut ruangan itu
sejenak membuat suasana sepi dan hening seketika.
“Kenapa nggak kamu sapa dulu
teman-temanmu di luar?”
“Hehe!”
“Ayok, keluar dulu”
“Tapi Bang,” protesnya yang langsung
mengkirut melihat tatap dalam penuh isyaratnya
“Iya-iya! Nggak perlu melotot”
gumamnya bersungut membuat Izack tersenyum sekilas sembari menuntunnya untuk
segera keluar saat memberi kode teman-temannya keluar ruangan.
“Masih ada kita di sini, Bro…
nantilah?!” tawa mereka seketika
“Apa sih kalian?!” cletuk Izack
kikuk menuntun Chika dan teman-temannya keluar ruangan
Saat kelima orang itu keluar,
Hendrik mendekat.
“Kamu apakan dia sampai muram begitu”
“Orang aku mengundang mereka
untuk merayakan perpisahannya, malah dia serius mengerjakan projectnya”
“Ok, lanjut!” kata Leo
Saat itu Izack mulai
menceritakan ulang bagaimana dokumen kekayaan negara bisa tersimpan di ruang
bawah tanah rumah Chika.
“Serius?!”
“Jadi itu memang benar ada?!”
“Tunggu! Tunggu!!”
“Jangan-jangan kamu menikahinya
karena alasan itu, Bro”
“Nggak ada kaitannya, Hen”
“Iya, tapi kamu tahu kode itu
dari buku yang dia tulis kan?”
Keduanya tampak kesal.
“Kenapa kamu mengungkit soal itu
sih?”
“Jujur saja aku nggak terima
kamu nikahi dia atas dasar alasan itu”
“Kenapa kalian jadi tengkar
sendiri?”
“Teruskan Bro!”
“Baru saja aku lunasi hutangnya
di Bank untuk mendapatkan sertifikat rumah itu”
“Oh…?! Jadi?”
“Ya, untuk mendapatkan pinjaman
biaya kuliah dia selama ini”
“Ah… benar-benar keren, salut
aku sama kerja keras istrimu”
“Nah, kemarin aku sempat cerita
ke Papa”
“Apa kata beliau?”
“Tunggu sampai kondisi negara
benar-benar tenang”
“Masalahnya para pakar
mengatakan kondisi seperti ini akan terjadi sekitar 5 sampai 10 tahun
mendatang, saat kita semua sudah berkeluarga dan tidak sempat ngubek-ubek soal
seperti ini”
“Melihat perjanjian harta
kekayaan apa saja yang mereka simpan. Rasanya itu lebih dari cukup untuk
melunasi hutang negara, Bro!”
“Masalahnya, benar kah ketika
hutang dilunasi tidak akan hutang kembali?”
“Dan tentunya negara penyimpan tidak
akan melepas begitu saja, Bro! bakal anjlok itu ekonominya”
Malam itu, keempat orang itu
ngobrol serius hingga teman-temannya pulang dan berakhir Chika tertidur
pulas di sofa, saat empat orang itu
meninggalkan pergi.
@@@
26
Hari itu keduanya bersitegang
setelah surat pemberitahuan penerimaan proyek Chika dan teman-temannya dari
sebuah CSR perusahaan tambang akhirnya sampai ke tangannya. Karena obrolan via
telphon tidak berjalan dengan baik justru menjadikan keributan, akhirnya Izack nyerah
kembali ke Yogya.
Di saat ia serius berdiskusi
dengan 4 orang temannya di depan kostannya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti
tepat di depan mereka. Awalnya Chika tidak menggubris kendaraan itu, mengira
orang lain. Tapi begitu dua orang teman ceweknya terpesona pada kegantengan
seorang lelaki, barulah Chika menoleh.
“Gluk!” Antara senang dan sedih
bercampur jadi satu
“Cowoknya teman kostmu ya?
Wuiiihhhh… ganteng banget!” bisik keduanya senyum-senyum genit dari balik tirai
bamboo ruang tamu.
“Loh, itu bukannya suamimu ya?”
tanya temannya yang hanya tersenyum nyengir
Setengah ragu ia bangkit dari
tempat duduknya dan segera keluar untuk menghalau Izack masuk ke teras.
“Halo, Sayang” sapa Izack hangat
langsung memeluk Chika
“Wuaaa…!”
“Kalau mau peluk-peluk jangan di
depan kita, Bang” cletuk teman lelakinya
“Emangnya kenapa?” tawa Izack
merengkuh Chika yang lebih pendek dari dirinya
“Czhh! Dasar sialan!”
“Okey, kalau gitu aku pinjem
dulu yah!” katanya mencium ubun-ubun hingga menggamitnya erat
“Iiighh..! aku paling risih
begini, Bang”
“Kami ini masih serius rapat,
tunggu sampai selesai”
“Okey” jawab Izack tiba-tiba
duduk di seberang kursi dimana mereka duduk
Chika meraup wajahnya kesal
“Begini nggak enaknya kalau
menikah” gerutunya yang terdengar Izack
“Tinggal aja Chika, masih satu minggu
lagi kan?” bujuk teman-temannya
“Tinggal aja sudah…” kali ini temannya
mendorong-dorong dari tempat duduknya yang hanya didiamkan Izack hingga ia pun
pasrah meninggalkan senyum tipis Izack sambil mengacungkan dua jempol ke arah
mengikuti Chika keluar
“Sudah makan?”
“Sudah,”
“Ya sudah, temani aku makan aja
kalau gitu” ujarnya santai
Sepanjang perjalanan keduanya
diam. Sementara Chika sesekali sibuk menjawab chat-chatan temannya.
“Bang, kalau mau datang mbok ya
bilang dulu”
“Kenapa?”
“Aku nggak enak sama temanku”
“Lalu kamu enakan sama aku,
begitu?”
“Ya… nggak begitu juga kali,”
Izack menarik nafas panjang dan
mulai menceritakan kondisi perusahaannya yang tengah mendapatkan proyek besar
dari pemerintah pusat berupa Perpustakaan Digital yang memprakarsai puluhan
penerbitan buku di Indonesia untuk menerbitkan buku digital. Sementara kantor
AMI sedang ada pekerjaan besar-besaran antara Badan Intelegent Negara dengan
team IT AMI terkait penelusuran uang-uang negara yang mengalir ke
rekening-rekening luar negeri.
“Aku ingin merayakan ini bareng
istrku tercinta” ujarnya
“Bang,”
“Kamu kira, cuman proyekmu yang
paling berharga kah?”
“Bagaimana dengan isyu Climate
Change di negara kita yang makin tahun suhunya makin meningkat karena
penggundulan hutan?”
“Aku sedang memperjuangkan itu
ke CSR perusahaan terkait, dan itu tidak mudah”
“Tapi dengan santainya kamu
datang untuk ajak makan siang di saat kami sedang serius membicarakan itu”
Dengan agak kasar Izack membanting
setir ke pinggiran badan jalan. Ia diam tak mengeluarkan kata-kata, tapi Chika
tahu seketika diam menahan ribuan kata yang hendak ia tumpahkan.
“Apakah aku salah, jauh-jauh
datang hanya untuk sekedar makan siang, sayang?”
Nyesss…
Hening
Keduanya tampak sama-sama
menahan emosi hingga garis urat kemarahan pun perlahan pudar.
Sampai berapa menit kemudian
petugas datang hendak mendatangi mobil mereka, seketika ia menggeber kendaraan
begitu cepat meninggalkan jejak suara yang memekakkan jalanan yang tampak
sedikit lengang.
Keduanya kembali diam hingga
kendaraan itu berhenti di depan Resto. Tapi mata Izack tampak sayu, hingga tak
sadarkan diri ia memejamkan mata tertidur dalam beberapa detik kemudian
terdengar suara dengkuran lembut.
Chika yang awalnya sudah
siap-siap turun, begitu melihat suaminya tertidur pulas, tangannya terhenti
lemas menarik nafas panjang.
“Ya ampun, betapa egoisnya aku”
“Jauh-jauh datang kemari hanya
untuk ajak makan, masih dibarengi rasa lapar”
Setengah ragu Chika menyentuh
lengannya yang terbalut hem kerja.
“Bang,”
“Bang, jadi makan nggak??”
Ia benar-benar tertidur pulas
hingga mulutnya menganga.
Entah berapa jam Chika menunggu
sembari chat, kadang telphon teman teamnya. Tapi hingga dua jam kemudian, Izack
belum juga terbangun. Terpaksa meminta tolong Hendrik datang untuk menggantikan
jadi driver.
Sepanjang jalan menuju rumahnya,
Izack benar-benar pulas tak bergeming dari posisi semula.
“Kenapa?”
“Kalian bertengkar lagi?”
“Di mata dia, kamu itu istimewa
loh”
“Dia sudah banyak mengalahnya
hanya buat kamu”
“Belajarlah memahami kondisi
satu sama lain”
Dan saat malam tiba, Izack kaget
mendapati dirinya tertutupi selimut di dalam mobil dengan garasi yang masih
terbuka. Ia keluar dari mobil seperti orang bingung.
“Tadi siapa yang bawa aku
kesini?” tanyanya keriyepan bingung pada Chika yang masih di dapur
“Sory, aku minta tolong temanku
nyopir kesini”
“Emhh… terus kemana?”
“Siapa?”
“Temanmu”
“Ya sudah pergilah”
“Ayok keluar, aku lapar banget”
“Ogah! Ntar kamu tinggal tidur
lagi”
“Hwkwk… sory-sory, aku ngantuk
banget. Hampir satu minggu ini aku nggak ada waktu untuk tidur” katanya duduk
di depan sofa sembari memperhatikan Chika sibuk di dapur
“Memangnya ada sisa bahan
makanan?”
“Enggak, tadi aku beli di jalan”
“Coba tiap hari selalu ada yang
masakan begini” ujarnya lirih menyalakan tv yang ternyata suara itu terdengar
ke telinga Chika
Chika menghembuskan nafas kesal
“Kamu enak, dunia lelaki!”
“Bisa semau gue kesana kemari”
“Sudah aku tebak, kehidupanku
bakalan seperti ini!” ujarnya kesal membanting serbet yang tengah ia genggam dan
pelototi kesal menunggu minyak panas pada wajan di depannya.
Tiba-tiba ada tangan yang
melingkarkan di pinggangnya dan meletakkan dagu di pundaknya yang membuat
tubuhnya tergetar membisu.
“Apa ada yang salah dengan
serbet?”
“Bukan, tapi yang punya serbet”
@@@
“Mbak Chika, tanah seluas ini
bagus untuk dijadikan tempat wisata”
“Oh, maaf pak.. sedikitpun saya
tidak tertarik untuk itu”
“Maksud saya tempat wisata itu
kan bisa diwujudkan menjadi wana wisata”
“Emmm…”
“Ide bagus itu, saya setuju”
“Di bawah bebatuan gitu
terkandung sungai dengan mata air yang luar biasa besar loh?”
“Oh ya?”
“Iya pak, tapi ketika jadi
tempat wisata. Polusi udara dan sampah akan tidak bisa dihindari melihat
kebiasaan orang di Indonesia seperti ini”
(Agenda besar adalah
melengserkan presiden karena kasus KKN yang sudah tak tertangguhkan lagi. Namun
Presiden dengan wibawanya, dia mundur dari kursinya yang menjadikan orang-orang
di sekitarnya kaget karena sudah otomatis mereka bakal menerima hukuman mati)
(Diam-diam Izack menemui
Presiden, mereka bertemu di istana saat malam hari. Mereka bicara banyak
tentang bagaimana masa depan dirinya, masa depan anak-anak lainnya yang mirip
dengan istrinya yang tidak bisa sekolah dengan tenang karena terkait
biaya)
@@@@
Sesekali ia mengajaknya keliling
Indonesia hanya untuk mendapatkan tanaman tahunan yang bakal ia kembangbiakkan
di laboratoriumnya.
Chika sempat berpikir untuk me
reboisasi lahan bekas tambang yang mangkrak begitu saja di beberapa titik
daerah. Idenya yang demikian disambut baik oleh Papa mertuanya yang memiliki
anak buah di beberapa daerah
Lewat tangan besi mertuanya, ia
diberikan kesempatan menghijaukan kembali lahan-lahan rusak tersebut.
Dan ini mengundang perhatian pak
Presiden yang saat itu kebetulan tengah berupaya memperbaiki lahan bekas
tambang yang cukup besar di daerah Papua.
Dibantu dengan LSM dan Kementrian Energi dan Mineral, Chika berhasil
menghijaukan lahan tersebut dan perlahan menggerakkan roda perekonomian di
sana.
Karena keberhasilannya itulah ia
mendapat panggilan dari bebeapa instansi untuk jadi pembicara.
Izack yang masih di kantornya
hanya bisa melihat istrinya berbicara di muka umum
Nama Negara ; Nagari
Astana ; ibu kota