Jumat, 17 Januari 2025

 

 

Orang bilang… cerdas istimewa itu asyik

Orang bilang… Indigo itu keren

Tapi menurutku dua-duanya membuat hidupku seperti hidup dalam kubangan dunia aneh yang berbeda dari kebanyakan orang.

Tapi apapun kata mereka,

Ketika keluarga mencintaiku apa adanya, itu lebih dari sekedar kata cukup buatku

 

 

·         Tokoh utama = Erina

·         Roddy = Star Boy

·         Reza = anak yang dianggap autism

·         Zizi (sahabat Erina)

·         Fani (sahabat Erina sebelum sekolah)

·         Viola = kekasih Roddy I

·         Mika = kekasih Roddy II

·         Wilson = penolong Erina

·         Willy = therapis Erina di saat kehilangan teman

·         Mozart = Cindo yang suka Erina

·         Ayah = Dodi

·         Ibu = Arin

·         Adik 1 Erina = Haza

·         Adik 2 Erina = Ara

 

Erina adalah sosok pribadi yang selalu terkontrol perilakunya. Ibunya selalu mengingatkan akan apa yang terjadi dari dirinya. Ya, dia adalah anak Gifted sekaligus Indigo

 

 

 

 

 

 

 

Siapa Aku

Erina yang sejak kecil terkenal ibunya suka protes dan mengkritik apapun yang dilihat maupun dialaminya membuat orang tuanya berpikir bahwa ia sudah salah pola asuh pada sulungnya yang selama ini menjalani Sekolah ala Homeschooling. Selain juga seorang negosiator ulung yang selalu mengalahkan argumen-argumen orang tuanya disaat ia memiliki keinginan akan sesuatu. Termasuk membeli mainan lego yang mahal-mahal, namun ibunya yang sudah terbiasa dengan polanya seperti ini membuat ia harus selalu berada di depan yang mengarahkan bagaimana pola berpikirnya yang seringkali tersesat dengan logika berpikirnya sendiri dengan pengetahuannya yang masih sangat terbatas, karena ia tidak suka membaca tulisan. Kecuali angka, gambar, serta imajinasinya yang spektakuler ia juga seorang pemikir yang logis.

Sejak Erina mendapatkan Diagnosa Gifted Visual Spatial dari seorang Psikolog terkenal di bidang per Gifted an, ibunya antara percaya dan tidak, melihat skor total njeblok dari IQ Gifted. Tapi membaca dari beberapa jurnal dan buku, ia kembali menyadari bahwa anak-anak Gifted dengan Visual Spatial, cenderung susah terdeteksi, ditambah komorbid kemampuan berbahasanya yang sedikit bermasalah, jadilah masalah tampak benar-benar runyam dari tahun ke tahun.

Ibunya menduga ada kesalahan Diagnosa, dan berharap satu saat bisa mengulangi tes lagi. Tapi alih-alih mencari Diagnosa ulang, hari-harinya disibukkan dengan debat dan diskusi yang tiada habisnya membuat dua orang adiknya hampir saja tidak terurus.

Itulah sekian alasan mengapa akhirnya Arin mengikuti kemauan sulungnya untuk kembali masuk sekolah formal dan harus jauh dari dirinya. Karena jika tidak, dua adiknya benar-benar tidak akan terurus mengingat kebutuhan dirinya yang teramat besar, ia khawatir bakal akan ada panggilan satu atau dua kali pihak sekolah. Dan untuk menghadapi itu, rasanya kepala Arin benar-benar terasa berasap.

Itu adalah sekolah animasi terkenal se Asia Tenggara di Indonesia.

 

Pertama kali survey sekolah, Arin sempat takjub dengan gadis berambut pendek memakai rompi dan celana  hitam yang mirip sekali di tokoh-tokoh anime kesukaannya. Dibalik kaca matanya yang tebal, ada mata yang sipit sekali.

Saat itu Erina yang diajak tour ke kelas dan ruang studio oleh gadis bermata sipit membuat ibunya kelimpungan mencari keberadaan dirinya saat seorang guru mengajaknya tour melihat suasana sekolah.

“Maaf bu, tadi murid sini juga ya?” tanya Arin

“Iya bun, anak sini itu emang banyak yang aneh-aneh” cletuk gurunya senyum membuat Arin terkekeh dalam batin

“Ya sudah, klop sekali dengan karakter Erina” pikirnya.

Awal pendaftaran hingga tes, Erina selalu mendapat support dari gadis unik yang membawanya tour ke kelasnya. Saat itu, ibunya harap-harap cemas dengan bakal diterima atau tidaknya satu saat nanti.

Hingga pada saatnya pengumuman tiba dan Lulus membuat Erina kaget sekaligus happy.

 

Hari berlalu begitu cepat, hingga tiba saatnya Erina harus benar-benar pergi dari rumah membuat ibunya sedikit agak cemas sekaligus lega. Cemas karena sepanjang tahun ia selalu dalam dekapan ibunya, tapi sisi lain ia lega; karena artinya pekerjaan satu anak yang dulu menyita hari-harinya, kini mulai berkurang dan lebih bisa memperhatikan pola tumbuh kembang dua adiknya yang masih balita dan usia 12tahun namun memiliki lompatan perkembangan yang luar biasa tinggi dibanding kakanya, namun bermasah dengan bicara dan bahasanya.

 

Dengan karakter Gifted khas yang doyan protes dan mengkritisi apapun yang diperintahkannya, ibunya kembali berpikir dalam memilihkan tempat tinggalnya. Dan pondok adalah salah satu pilihan tepat menurut kedua orang tuanya mengingat selain Erina Gifted Visual Spatial, ia juga memiliki komorbid Indigo. Yang bukan hanya dapat melihat makhluk dimensi lain, melainkan mampu melihat benda-benda kecil dengan detil dan jelas seperti seekor semut yang dilihat dari jarak dua hingga lima meter dari jarak pandangnya, atau seperti kejadian melihat pendaki gunung yang tengah mendaki ke puncak sementara dirinya berdiri di kaki gunung. Belum lagi ditambah dengan kemampuan jiwanya yang sesekali waktu keluar dari tubuh fisiknya dan melakukan perjalanan dalam waktu singkat.

Itulah serentetan alasan, mengapa Arin memilihkannya pondok kecil yang tidak begitu ketat aturannya dibanding kost. Karena selain ngaji, ia bakal terjaga sholatnya dengan aturan pondok yang belakangan justru membuat studinya berantakan karena merasa tertekan dengan aturan yang dianggapnya tidak masuk akal.

 

@@@

 

Untuk pertama kalinya Erina telphon dan tertawa memperlihatkan dirinya memakai baju seragam putih abu-abu pada ibunya.
Erina si anak baru yang memang sepanjang hidupnya tidak pernah mengenal bangku sekolah masih belajar beradaptasi dengan suasana sekolah yang baginya terlalu banyak aturan ribet.

“Kenapa sih, sekolah mewajibkan pakai seragam? Kenapa juga mesti pakai ID Card yang nyekak banget di leher”

“Kenapa juga mesti banyak jam kosong”

“Buang-buang duit aja kan, kalau begini”

“Mending Homeschooling aja lagi, jelas apa yang mau dipelajari dan waktu kita nggak banyak terbuangnya”

“Bener…??”

“Iya bener!”

“Nanti nggak punya teman lagi kamu…”

“Di sini aku juga nggak punya teman”

“Nggak bisa ngejar project mandiri juga”

“Loh, jam kosong kan kamu bisa ngejar kerjakan project mandiri”

“Jam kosong aku nggak boleh meninggalkan kelas, Bu”

“Sementara kalau di kelas, telingaku sakit karena mereka suka teriak-teriak. Kadang malah ada yang bawa speaker lagi”

Mendengar keluhan sulungnya, Arin hanya bisa menarik nafas dalam berusaha meluaskan kesabaran yang ekstra tinggi dibanding ikut larut kedalam wacana anaknya yang memang sejak dulu suka menuntut sempurna segalanya.

 

 

Memang, sejak kecil sekali ia punya kebiasaan suka menyapa orang yang ia temui. Bahkan bagi orang tuanya Erina dikenali sebagai anak yang telalu ramah. Hingga tak jarang ia justru akhirnya dimusuhi dan dijauhi mereka hingga dirinya sendirian lagi. Tidak dimanapun tempatnya. Sampai-sampai ibunya sendiri sering jatuh bangun mengatasi ini. Memahami sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya.

Hingga satu saat tetangga jauh mengatakan kalau anaknya main ke kuburan.

“Apa anaknya Indigo Pak?”

Saat itu ayahnya belum tahu jika selama ini anaknya sering main ke kuburan. Hingga ibunya khawatir bukan main karena kebiasaan ini. Sekalipun ia anak yang ramah, namun bukan berarti ia diterima di semua tempat. Ia justru sering dijauhi dan dibenci.

Begitu masuk masa sekolah, ia punya kebiasan nge jokes yang seringnya dianggap aneh teman perempuannya, hingga akhirnya perlahan ia mulai bergeser suka mencuri perhatian teman lelaki yang bisa diajak ngobrol santai hingga prank. Baginya teman lelaki itu bisa diajak bercandanya ala dia yang sering kebablasan konyolnya. Sekalipun kadang nggak paham, mereka bakal membiarkannya begitu saja, atau tertawa ngakak bila paham. Tapi tidak demikian dengan teman perempuannya yang dianggap terlalu anggun dan elegan menjaga sikap serta kata-kata. Sementara gurauan Erina ini cenderung gurau berpikir atau gurau kebablasan yang akhirnya mereka mulai menjauh dari teman kelas perempuannya.


Tapi mereka tidak ada yang peduli, kecuali Erina sendiri yang sengaja menjalin komunikasi.
Sekilas Erina ini seperti gadis kesepian yang kurang kerjaan. Padahal oleh ibunya ia sering diberi tugas yang baginya itu sangatlah mudah. Bahkan bawakan buku jadwal hingga diaturkan jadwalnya apa-apa saja yang perlu dilakukan dan dihindari. Tapi gangguan luar membuatnya benar-benar sulit bertahan di sekolah yang baginya sangat pusing.

 

 


 

Hari pertama, pertemuan wali murid.

"Bunda, kapan aku pindah dari asrama itu?”

“Benar-benar nggak nyaman, nggak bebas juga, terutama mbah nya itu"
"Memangnya kenapa?"
"Aku itu ceritanya manjat pagar," sepotong kata membuat Arin spontan melotot

“Apaaa??”
"Ahh.., Bukannya Ibu waktu kuliah juga pernah manjat pagar Kampus?"
"Iya itu kasusnya beda Non.."

“Sama aja, yang penting kan manjat pagar”

“Kalau Ibu nggak manjat pagar kampus, nggak bisa keluar karena pintu gerbang sudah ditutup”

“Lha kamu?” wajah Arin berang
Ayahnya yang duduk di sebelahnya hanya menahan antara tawa geli dan marah serta kecewa. 

“Aku dulu waktu di Pondok juga begitu” ayahnya menambahi

Perempuan muda itu menapuk jidat “Hhh…”

“Ini, anaknya dinasehati malah kamu support”

“Terus, terus!”

“Dimarahi ibu asrama?”

“Enggak sih.. cuman dinasehati aja” 

“Sudah jadi keluar pagar berarti kamu??”

“Sudah,” jawabnya innocent

“Ceritanya gimana kok bisa sampai manjat pagar?”
"Ya, gimana. Habis Isya’ gitu, aku dipanggil-panggil temanku yang kost sebelah diajak main"

“Terus keluar?”

“Pertama Cofi dulu yang manjat setelah Madina naik, terus aku manjatlah keluar”

“La illa ha illallah… ya jangan begitu lah"
"Terus??"
"Hari ini tadi, rencananya pagar mau dijadikan tembok"
Spontan pasangan suami istri itu saling berpaling dan tertawa lebar
"Kapok kamu!"
"Nggak apa-apa, emang sejak awal pertama kesini aku sudah kepikiran mau panjat itu pagar" Ibunya tersirat tawa geli melihat kekonyolan gadisnya.
"Terus Ibu harus ngomong apa coba ke ibu Asrama?"
“Ya terserah Ibu lah?”

 

Siang itu mereka berdua kembali menemui ibu asrama. Dan, beliau pamit tidak bisa menemuinya karena shock melihat seumur-umur baru kali ini santrinya manjat pagar asrama.

“Maaf Bun, ini tadi ibu darah tinggi dengar cerita Erina manjat pagar”

“Plakkk!!”
Bukan main rasanya wajah Arin berasa ditampar keras. Antara ingin nyerah atau melanjutkan, Arin berpikir puluhan kali. Tapi sebagai seorang ibu yang sudah bertahun-tahun mendampingi proses tumbuh kembang Erina dan Haza, hal semacam ini jauh lebih ringan dibandingkan bagaimana rumahnya dulu sering dilempari batu anak-anak tetangga sementara orang tua mereka yang melihatnya hanya diam.

Sepanjang jalan pulang, Arin terbayang wajah sedih Erina saat mobil melaju meninggalkan halaman parkir asramanya yang selalu sepi. Tapi bagaimanapun menurut pasangan suami istri itu, Erina harus mengalami  kondisi semacam itu, dimana ia tidak bisa protes dan mendebat saat dinasehati orang tuanya. Ia harus paham apa konsekuensinya ketika sebuah aturan dilanggar dan ketika tugas tidak ia kerjakan.

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Delapan minggu kemudian

 

“Om, Erina nggak makan sudah 15hari. Katanya juga batuk sampai berdarah karena sakit tenggorokan” Begitu bunyi chat keponakan suami yang kebetulan membaca status medsos milik Erina. Arin hanya tersenyum lebar sembari meletakkan smartphone milik suaminya.

“Kenapa?”

“Laporan Sena, kalau sepupunya nggak makan selama 15hari”

“Siapa?”

“Ya siapa lagi di keluarga besarmu yang suka aneh-aneh kalau bukan anak kita” tawa Arin ringan duduk menyiapkan sarapan malam.

“Siapa?”

“Erina lah, siapa lagi”

“Biarkan aja” kata Arin tenang

“Bukannya kemarin sudah kamu bawakan lauk pauk frozen ya?” tanya Dodi heran

“Nah, baru tahu kan..?”

“Kalau di rumah aja, kamu nggak bakalan tahu bagaimana repotnya ngatasi satu anak itu” jawab Arin melengos lelah membuat semburat tawa di wajah Dodi membayangkan bagaimana dulu istrinya yang dulu pendiam dan terkesan anggun itu mendadak berubah jadi cerewet, kadang seperti orator, kadang seperti narator, atau kadang seperti mahasiswa yang tengah berdiskusi dan debat dengan Mahasiswanya yang mencarikan solusi bagi semua kerumitan masalah dua anaknya.

Dulu sekali ketika tahu bagaimana lucunya melihat lompatan perkembangan Haza dengan segala lika-liku speech delayednya, Dodi ingin menambah satu momongan lagi. Ia percaya betul bagaimana istrinya ini punya bawaan bibit yang luar biasa hebat. Tapi Arin terus mendesaknya karena alasan tidak tahan dengan pola dua anaknya yang menguras energi dan pikirannya selama bertahun-tahun, hingga akhirnya Arin bertekuk lutut hingga keluarlah adiknya Haza yang memiliki lompatan perkembangan yang bagus. Termasuk kemampuan verbalnya yang terlampau cepat dengan perkembangan kosa kata yang pesat, namun ia akan berubah pendiam begitu di muka umum.

 

“Erina, sekolahmu ini termasuk sekolah yang menyenangkan lho menurut ibu. Coba bandingkan deh sama sekolah-sekolah di luar sekolahmu”

“Iya juga sih”

“Berarti PR kamu sekarang adalah menyesuaikan diri dengan mereka”

“Tapi aku itu paling nggak bisa berteman sama mereka karena suka peluk-peluk Bu”

“Ya bilang aja, sory aku nggak suka dipeluk atau dipegang-pegang”

“Sudah, tapi mereka maksa”

“Cewek atau cowok emangnya?”

“Cewek lah, kalau cowok sudah aku tonjok dia”

“Husy! Jangan begitu”

“Lha iyalah,”

“Ya… begitu itu dunia anak cewek seusia kamu di luar sana”

Tiba-tiba saja Erina tertawa sendiri menandakan ia teringat sesuatu,

“Tahu nggak bu, kemarin ada temanku cowok anak Air soft Gun yang aku tendang lututnya dia langsung ketakutan kalau lihat aku lagi”

“Haaa…? Hati-hati kamu”

“Lha iya, sudah aku peringatkan, jangan sentuh aku, eh.. dia maksa aku tendang lah”

“Terus adalagi nih, ibu tahu Reza kan? Anak jawa timur?”

“Iya,”

“Aku tendang juga kemaluannya gara-gara elus kepalaku”

“Ampun… hati-hati lah”

“Ya gimana lagi, sudah aku ingatkan sekali masih saja begitu”

“Terus, kamu bilang nggak punya teman tuh, kira-kira mereka itu siapa coba kalau bukan teman?”

“Ya mereka cuman apaa.. lah”

“Ya begitu itu, namanya sekolah, Non”

“Kamu berharap bahwa semua anak satu kelas bisa jadi teman ngobrol begitu?”

“Ya enggaklah!”

“Coba deh, kalau pas jam kosong gitu kamu ngobrol sama mereka”

“Iya sudah, tapi aku nggak suka obrolan mereka”

“Asessoris lah, ghibahin orang lain lah, bicara soal cowoklah”

“Terus suruh ngobrol soal apa kalau bukan ngobrol soal itu?”

“Minimal ngobrol soal film kek, atau soal game lah”

“Hhh.. sepertinya dulu ketuker deh kelaminmu sama Haza” tukas ibunya yang langsung disambut ledakan tawa Erina

“Kok bisa?”

“Lha iya, karaktermu itu lelaki banget”

“Makanya aku lebih suka ngobrol sama teman cowok daripada cewek yang nyebelin begitu”

“Nahhh… nah..!! kan? Apa aku bilang?”

“Seperti ini makanya kamu dijauhi sama teman kelasmu dan dikatai aneh sama mereka”

“Tenang Bu, aku sudah kebal dikatai aneh sama orang”

“Lagipula aku bangga atas keanehanku”

Ibunya melenguh kesal membuang muka menahan tawa

“Dikatai aneh kok bangga”

“Ya banggalah!”

“Aku nggak mau jadi seperti para jenius dunia yang menderita karena keanehan dirinya”

Jleb!! sampai di sini ibunya terdiam dan merasa bersyukur, bahwa akhirnya putrinya mampu mendapatkan kepercayaan dirinya lagi setelah sekian tahun ia nyaris kehilangan jadi dirinya.

Sunyi, melihat teman-teman sekolahnya yang bersliweran dengan pakaian cewek yang cantik dan ramah, ingin sekali rasanya putrinya menjadi seperti itu.

“Tapi… ya sudahlah! Apapun itu, aku cukup bangga punya anak sepertimu yang tangguh melewati penderitaanmu selama ini” pikir ibunya memupus keinginan yang terlalu jauh untuk anaknya.

“Aku bisa melihatmu tersenyum lebar bangga dengan kekonyolanmu saja sudah cukup, tinggal satu saat harus kamu kuatkan lagi sisi lemahmu untuk mengejar apa yang perlu kamu kejar” pikir Arin melambung

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Diriku Tidak sebaik mereka

 

Seperti biasa, Erina selalu duduk sendirian di depan kelas menghindari bisingnya suara teman-temannya yang menyalakan musik atau sekedar ngobrol biasa. Tapi bagi Erina ini gangguan luar biasa yang membuat telinganya sakit sekali. Bahkan terkadang ia merasakan sesak nafas mendadak tanpa alasan yang jelas di dalam kelas.

Sebagai keluarga Homeschoolers, dulu ayah dan ibunya sering sekali melakukan diskusi kecil menemani anak-anaknya yang tengah melakukan sesuatu. Dan obrolan itu sering diprotes Erina kecil yang dianggapnya sangat sangat berisik dan mengganggu. Hingga pada suatu saat ia tantrum karena tidak memahami kondisi tubuhnya dengan lingkungannya yang dianggap terlalu mengganggu.

Awalnya mereka memaklumi itu dan beranggapan bahwa sensitivenya akan hilang seiring berjalannya waktu saat ia tumbuh dewasa. Tapi kenyataannya hingga detik ini, dimana ia harus menjalani sekolah seperti anak-anak pada umumnya justru itu sangat mengganggu hari-harinya. Inilah yang menyebabkan ia sering duduk di luar kelas yang ber AC.

Tapi sisi lain sebagai anak introvert, sebenarnya ia senang sekali berkomunikasi, bahkan ahli dalam berargumentasi pada siapapun dengan logika konyolnya yang selalu masuk akal. Karena sekalipun ia anak Homeschooling, dia bukanlah tipikal anak yang suka baca buku. Bahkan ibunya angkat tangan saat menyuruhnya membaca buku demi menambah pengetahuan serta kosa katanya yang kadang belepotan.

Banyak upaya yang dilakukan ibunya sejak awal tahun mereka menjalani Homeschooling untuk menarik minat bacanya. Tapi Erina bingung dengan kata ataupun huruf yang kadang hilang begitu saja dari lembaran -lembaran kerta yang menyebabkan gambaran global detilnya tidak terbentuk hingga menyebabkannya ngantuk.

Dulu sekali Arin sering marah dengan kebiasaan Erina yang dianggapnya doyan bengong saat dinasehati atau sekedar diskusi. Tapi begitu sering mengikuti seminar, workshop, diskusi serta membaca banyak buku dan artikel. Ia mulai bisa memetakan dimana letak masalahnya Erina.

Ia baru percaya dengan tes sidik jari yang dilakukannya waktu usia lima tahun; bahwa anaknya ada kecenderungan dominan otak kanan, yang mana pemrosesan informasi Audio harus diubah dulu menjadi informasi detil Visual kedalam memorinya. Saat itu pula ibunya pasrah memaksanya membaca buku yang dipenuhi dengan tulisan tinimbang gambar, hingga ia harus banting stir membeli beberapa buku komik sains yang saat itu marak namun harganya masih sangat mahal bagi kantong keluarga kecilnya. Dan Arin menyadari betul setelah sulungnya mulai banyak menceritakan yang dialaminya di sekolah, dimana kemampuan otak kiri lebih diandalkan daripada otak kanannya.

Dulu sekali Arin sangat bersemangat ketika di usianya yang baru 2,5tahun Erina sudah mulai belajar menghitung hitungan sederhana. Dan mulai membuat bangunan block menjadi sebuah bentuk yang sama persis seperti di gambar bungkus Block. Ia mengira, bahwa anak usia 2,5tahun memang wajar saja bisa membangun Block hanya dengan melihat gambar. Itulah awal mula dimana kehidupan Erina dimulai yang sedikit banyak terkalahkan dengan kebutuhan adiknya Haza saat itu yang baru lahir, namun selalu saja menangis hingga menjerit-jerit seperti bayi kesakitan disaat keinginannya tidak segera terpenuhi yang membuat Arin selalu terengah-engah menjalani hari-hari seorang diri. Sementara Doddi, suaminya kerja dari pukul 7 pagi hingga 5 sore sementara sabtu dan minggu harus berangkat ke Yogya untuk melanjutkan S2nya.

 

Saat Erina masuk usia sekolah dasar, kemampuan Aritmatika dan logikanya berkembang lumayan pesat. Di kelas satu, ibunya menyodorkan soal-soal logika dari British. Namun lambat laun ia mulai terkendala Bahasa karena memang menggunakan Bahasa inggris.

Arin mulai membeli buku soal-soal matematika kurikulum Indonesia. Tapi Erina kecil mulai kesulitan ketika dihadapkan soal cerita yang lebih banyak menggunakan kalimat dengan banyaknya huruf tinimbang angka dan gambar.

Saat itu Arin benar-benar kewalahan mengatasi adeknya Haza yang mengalami pola tumbuh kembang yang cepat tapi tidak seimbang dan sangat rumit, menyebabkan hari-hari hampir habis hanya untuk mengatasi kebutuhan ngurus rumah yang selalu berantakan.

Haza yang sering menghilang dari rumah membuat Arin pun pasrah memasukkannya dari satu tempat kursus ke tempat kursus matematika lainnya yang tidak ada satupun metode yang pas baginya, kecuali kursus matematika yang sifatnya drilling angka-angka dan ia pun mulai pasrah yang sudah terbilang mahal dan kurang worth it bagi kebutuhan anaknya yang membutuhkan pengkayaan logika berpikir.

Itulah detik-detik awal dimana Arin harus nyerah dengan pengembangan matematikanya selain saat itu sebenarnya ada potensi lain yang patut ia kembangkan, yakni dunia bangun ruang yang sudah terlihat sejak balita dengan block, lego, tenda rumah-rumahannya, hingga handy craft bangun ruang seperti ayunan, mainan prosotan yang ia impikan sejak kecil, hingga origami kertas yang membuat Arin selalu pasrah dengan kebersihan dan kerapian rumahnya yang selalu terkesan berantakan sekalipun setiap saat sudah ia bersihkan dan rapikan.

 

Di ujung kelas satu smp, ia mulai tertarik dengan dunia gambar karakter yang saat itu tengah booming di media sosial anak abg saat itu. Erina tertarik mengikuti kursus pembuatan karakter 3D yang hanya ada di luar kota.

Ibunya tak patah semangat, sekalipun jauh dan mahal bagi keuangan keluarganya saat itu, tapi berkat support Ayahnya, Erina pun akhirnya harus menjalani itu selama satu tahun. Berangkat pagi bareng ayahnya dan pulang maghrib di saat matahari benar-benar tenggelam hanya untuk mengikuti kursus di luar kota selama dua jam. 

 

@@@

 

 


 

Erina dan dunia Teman Kelas

Semenjak temannya cerita jika ada dua teman cewek yang ghibah dirinya dan menganggapnya aneh, sejak itulah percaya dirinya kembali jatuh. Ini seperti mengaduk-aduk memori di masa lalunya saat ia dikucilkan teman sebaya tetangganya yang menganggapnya bodoh karena tidak sekolah. Itulah awal mula ia menjauh dari teman kelas.

 

Apalagi di hari-hari berikutnya obrolan dia selalu tidak nyambung dengan teman-teman ceweknya hingga membuat dirinya tidak nyaman dan terasing bahwa itu bukanlah dunia yang ia harapkan sebelum masuk sekolah.

Bahkan perlahan rasa percaya dirinya tergerogoti oleh anggapan buruk tentang dirinya, termasuk menganggap dirinya tidak cantik, bodoh, dan terus menerus membanding-bandingkan dirinya dengan teman-temannya.

Belum lagi dengan masalah pendengarannya yang sensitive membuat gendang telinganya sakit di jam kosong yang membuatnya resah dan galau karena merasa waktunya banyak terbuang sia-sia.

 

Sementara ruang kelas yang gelap dari sinar matahari, hanya beberapa buah lampu LED, AC yang begitu dingin menusuk membuat hari-harinya stress menghadapi dirinya yang demikian rumit, hingga perlahan ia mulai menangis sendirian di depan kelas dan tidak tahu apakah dirinya harus bertahan dengan segala ketidaknyamanan itu, lalu menyerah atas cita-citanya menjadi seorang 3D Modeller Arsitektur.

 

Beberapa teman cewek berusaha membantunya, tapi ia sendiri makin asing dan tidak tahu kenapa dirinya benar-benar seperti orang aneh, belum lagi penglihatannya yang tajam dari dunia sebelah, dunia mikro seperti seekor semut yang terlihat jelas hingga disertai imajinasinya yang luar biasa liar.

Terkadang salah satu teman kelas lelaki datang menemani di depan kelas, dan Erina mulai menemukan dunia seru cerita dunia fantasi, dunia film, game atau sekedar diskusi soal agama dan sains. Tapi itu hanya sebentar, karena pada akhirnya ia jadi bahan ejekan teman-teman lelaki lain, bahwa Erina suka dengan dirinya.

Perlahan di saat Ekstrakurikuler mulai berjalan aktif, Erina mulai menemukan dunia seru lainnya. Ia bertemu dengan banyak teman lelaki yang menurutnya jauh lebih seru dibanding teman-teman cewek yang ia temui. Bahkan anak yang dianggap Autism di sekolahnya pun jauh lebih seru isi obrolannya dibanding anak-anak pada umumnya.

Dialah Willy, lelaki keturunan Chinese yang selama ini dianggap Autism namun justru karakternya mirip ibu-ibu yang mampu menasehati Erina dengan bermacam kesulitan yang ia hadapi, termasuk bagaimana rigidnya soal makanan di kantin.

“Daripada kamu nggak makan terus pingsan, mending makan yang mengandung micin tapi kamu masih bisa hidup”

“Iya benar juga sih”

“Tapi masalahnya habis itu kepalaku pusing”

“Ya carilah masakan di luar sekolah, misal di deretan sebelah kostku tuh. Kamu bisa pesan sayur apa, nanti ibunya buatkan. Bilang aja jangan dikasih micin”

“Oh, bisa ya?”

“Bisa”

“Ntar tuh, siang pulang sekolah kamu beli, bisa buat makan siang sama malam”

“Oh… oke-oke” 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Foto Kelas yang muram

 

Lewat foto-fotonya yang dikirimkan wali kelasnya di grup orang tua, Arin melihat raut ketidakpercayaan diri putrinya yang begitu dalam di antara teman-temannya yang selalu tersenyum ceria.

Entah berapa kali dalam sehari ia menelphon putrinya hanya untuk memberi dukungan dan menaikkan rasa percaya dirinya dalam segala hal. Termasuk menyuruhnya untuk kembali meditasi menemui masa kecilnya yang tersakiti.

“Sebenarnya bukan bajumu atau wajahmu yang tidak cantik, Non..”

“Tapi karena perspektif dirimu yang rendah”

“Rendah hati boleh, tapi rendah diri jangan”

“Coba sering-sering kamu menatap cermin dan tersenyum. Katakan pada diri sendiri, aku anak cerdas, aku anak hebat, aku anak cantik”

“Katakan itu berulang kali tiap kali kamu melihat cermin”

“Dan katakan terimakasih karena kamu sudah sempurna”

“Mata dan penglihatan yang utuh, hidung dan penciuman yang luar biasa tajam, telinga dan pendengaran yang tajam, mulut dan indera pengecap yang sempurna”

“Coba bayangkan bagaimana orang-orang buta, atau orang tuli”

“Janganlah!”

“Ya iya kan??”

“Makanya banyak-banyak bersyukur sudah Allah kasih kesempurnaan anggota tubuhmu”

“Lalu soal baju, menurut ibu sudah cukuplah…”

“Hanya saja jilbabmu hijau itu sesekali ganti, kalau main. Berapa tahun sendiri jilbabmu nggak pernah ganti”

“Bu, ada malah temanku yang kalau hari bebas gitu bajunya itu-itu terus”

“Nah, kan??”

“Ya sudah, jadi itu masalahnya bukan di baju atau wajahmu kan?”

“Tapi perspektif dirimu yang negatif”

“Coba biasakan wajahmu tersenyum, jangan muram begitu”

“Coba deh lihat ibu, apa ibu sering beli baju seperti ibu-ibu pada umumnya?”

“Enggak,”

“Nah, itu tuh hanya merubah-rubah atasan dan bawahan, lalu mencocokkannya dengan jilbab yang kita pakai. Itu saja. Kamu tahu ibu sendiri juga bukan tipikal yang suka nyampah baju”

“Jadi kalau beli baju, sekalian yang berkualitas bagus”

“Iya, tapi kenapa sih seragam sekolah anak cewek mesti pakai rok!”

“Aku benci itu, karena nggak bisa bergerak bebas dan lari”

“Tapi nyatanya kamu masih bisa tendang teman lelakimu?”

“Ya aku cincing lah!”

“Hadoohh…!” lenguh ibunya membuat Erina mulai tertawa  

“Kenapa sih!!” Erina tertawa nyengir

“Hoi! Aku masih pakai celana panjang untuk dalamnya”

“Kalau pulang, aku lepas tuh roknya”

“Ampunnn!!”

 

 


 

Survival ala-ala

Sebagai anak yang gampang bosan namun selalu punya cara untuk keluar dari kesulitannya, Erina yang sudah terbiasa duduk di luar kelas sendiri di saat jam kosong mulai menyapa banyak orang yang lewat di depannya. Tidak pandang itu laki, perempuan, guru maupun penjaga sekolah ia sapa. Bahkan perlahan ada satu teman kelas sebelah cewek bernama Zizi selalu menyapanya di saat ia duduk di luar kelas.

Meskipun perlahan ia mulai risih dengan perilaku Zizi yang suka duduk dekat-dekat, bahkan kadang ndempel duduk di bawah kaki Erina yang duduk di teras, seperti layaknya pembantu dan majikan.

Erina menentang keras perlakuan tidak setara seperti itu, ia juga sangat menginginkan kesetaraan dirinya dengan semua orang, termasuk Zizi yang selalu memakai masker karena wajahnya penuh dengan jerawat hingga ada anggapan wajahnya aneh. Tapi bagi Erina, Zizi tetaplah cewek cantik dibanding dirinya.

Lalu ada Mozart si kakak kelas beda jurusan, ada Reza dan Willy yang keduanya dianggap anak autism dan dijauhi teman sekolah dan beberapa orang lainnya.

Dibanding Reza, Willy masih jauh mendingan keanehannya dengan bahasanya saja selalu membicarakan gurauan dunia fantasi yang tidak masuk akal. Dia adalah programmer ulung yang di kemudian hari justru dikeluarkan dari sekolah.

 

“Halo,” sapa Erina tiap kali ada orang lewat di depannya.

“Namamu siapa?” begitu sapanya tiap kali ia belum mengenalnya. Bahkan jika ia sudah kenal wajahpun, ia sering lupa dengan nama orang tersebut yang membuat beberapa teman cewek sering protes.

“Erina… berapa kali kamu tanya namaku?”

Tapi Erina dengan karakter santuy hanya bisa tertawa lebar menertawakan dirinya yang dianggap bodoh karena sulit menghafal nama teman yang sudah ditemuinya berkali-kali. “Hehe… iya maaf”

Hingga perlahan ia mulai memiliki cara untuk mengingat semua nama tersebut dengan cara mencatat kontak personnya yang kadang lengkap dengan tanggal lahir, kelas dan jurusan hingga yang paling ekstrim makanan atau kebiasaan orang tersebut.

Dalam sekejap, ia sudah kenal banyak puluhan orang.

Ya! Dengan cara mencatat nama dan nomor Hp mereka, ia mulai ingat satu persatu nama-nama mereka yang hampir satu angkatannya berjumlah 400orang.

Dengan kebiasaannya duduk di luar kelas sendiri itulah, satu persatu orang menyapa dan mengajaknya ngobrol

atau bahkan hanya sekedar bercanda hingga rasa kesepian itu pun perlahan hilang.

Perlahan namun pasti, tatapan-tatapan mata tajam dan tidak enak itu pun semakin terasa saat dirinya masuk ruang kelas, karena dianggapnya tidak mau bergabung. Alih-alih mengeluh pada ibunya, ia mulai cuek dan membiasakan diri dengan tekanan suasan kelas juga asrama.

 


 

Jangan lagi menoleh ke Belakang

 

Sejak Erina share pengumuman Beasiswa ke pulau seribu, ada seorang pemuda yang nge chat bertanya-tanya tentang informasi itu. Ia adalah anak kelas 10 yang beda jurusan dengan Erina.

Seperti hari-hari sebelumnya, di saat jam-jam berangkat sekolah Erina selalu ngendon nongkrongi - liar di sepanjang gang-gang sempit jalan alternative menuju sekolahnya. Ia tak peduli dengan teman-teman sekolah yang berlalu-lalang melintas. Ia tetap asyik dengan -nya yang ia beri makan dengan daging ayam dan sapi bawaan ibunya dari rumah.

Saat itulah Erina melihat sekelebat sosok wajah yang ia kenal.
"Hei, Roddy!"
"Kamu Roddy ya??"
"Hm, iya"
"Kamu?”

“Erina"
"Oh.. yang Beasiswa ke Jepang itu ya?" jawabnya
“Iya,”

"Ohh, ya sudah sana!" jawab Erina acuh kembali menekuri - liar

Sementara remaja tinggi dengan frame kaca mata hitamnya itu kembali menoleh memastikan Erina yang kembali asyik bermain-main dengan dengan - liarnya.

Satu saat karena saking seringnya Erina memberi makan - liar, mereka pun mulai merasa dimanja hingga membiarkan - itu duduk di pundaknya di atas jilbab dan baju putihnya, yang menyebabkan salah satu dari mereka pup di atas pangkuannya mengenai baju dan rok abu-abunya.

“Ahh…!! Kenapa kamu pup di bajuku!” keluh kesalnya lari pulang melintasi kost-kostan Roddy.

Saat itu Roddy melihat sekelebat bayangan sosok Erina dari balik jendela kamarnya. Ia sengaja menunggu Erina kembali dari kost-kostannya setelah lari ngedumel kesal.

“Hei! Tumben berangkat siang?” sapa Roddy

“Hm!” tawa Erina nyengir sekelebat dan berjalan cepat yang diam-diam diikuti Roddy dari belakang

“Kenapa dengan bajumu?”

“Pup nya ”

Spontan Roddy mendengus tawa yang terdengar Erina hingga ia menoleh ke belakang.

“Kenapa tertawa?”

“Enggak apa-apa” Roddy senyum-senyum membayangkan keunikan gadis itu yang suka nongkrongi - liar tiap pagi.

“Lagipula aneh juga sih kamu, membiarkan  itu naik ke bajumu. Mana baju putih lagi”

“Kalau bisa diajak ngobrol namanya bukan , Rodd”

“Cewek satu ini memang lain” pikir Roddy ngikik menahan tawa mengikuti langkah Erina dari belakang yang tak mempedulikan dirinya.

“Formulirnya sudah kamu isi?”
“Belum”
“Oh...”
“Cepetan diisi”
“Kenapa emangnya?”
“Keburu telat”
“Tapi itu kenapa bayar, bukannya Gratis ya?”
“Nggak tahu,”

“Nggak punya duit”

“Minta ortumu lah” jawab Erina cuek dan berlalu begitu saja berjalan cepat saat sampai di depan pintu gerbang sekolah.

Tiba-tiba saja ia melihat Reza si programmer jenius teman gila Erina dari Ekskul Teater berjalan menuju pintu masuk.

“Halo cucuku.. gimana kabarmu?”

“Halo Kakek!” sapa Erina dadah dadah

Begitu Reza semakin dekat, tiba-tiba tangannya menepuk-nepuk pundak Erina yang spontanitas membuat Erina ancang-ancang mengangkat roknya, dan…

“Duakkk!!” tendangan kaki mendarat pada kemaluannya membuat dua lelaki itu melotot.

Spontan membuat Reza mengerang kesakitan terpincang-pincang, sementara Roddy tertawa terkekeh-kekeh.

“Sudah aku ingatkan to kamu, jangan pernah pegang-pegang”

“Oittt??! Ini cewek nggak main-main” pikir Roddy membayangkan bagaimana reaksi Viola saat dirinya dekat dengan Roddy yang selalu melakukan kontak fisik dengannya.

“Ngeri bener kamu” Reza nyengir kesakitan

“Awas! Sekali lagi seperti itu, aku tendang sampai sakit bener”

“Ampun dah Er!” Reza lari terbirit-birit meninggalkan tawa Roddy yang masih berdiri di sampingnya

“Ngapain kamu?”

“Oh, enggak!” jawab Roddy ketakutan dan pergi

“Yuk, duluan”

“Hm,”

Erina menatap lekat Gedung sekolah yang sudah dipenuhi banyak orang.

“Ah… gara-gara , jadi nggak enak berangkat kesiangan” pikirnya kembali berjalan menelusuri Gedung-gedung tinggi seorang diri.

 

@@@

 

Erina kecil adalah anak yang sangat ramah dan memiliki empati yang besar, ia juga antusias menyapa siapapun orang yang ada di hadapannya, bahkan termasuk kadang orang yang baru dikenal.

Saat usianya belum genap menginjak 7tahun, ia sudah mahir mengasuh anak balita tetangganya. Beberapa kali komentar tetangga membuat Arin kaget, dan kenyataannya dengan adiknya Haza yang hanya selisih 20bulan sama sekali belum pernah melihatnya bertengkar.

“Bu, anaknya masih kecil tapi sudah pinter momong anak kecil ya bu..” pujian beberapa ibu muda yang anaknya sempat dijaga Erina di saat dirinya beres-beres. 

Tapi lambat laun karakternya yang seperti ini justru menjadi boomerang bagi kehidupannya sepanjang hari, sepanjang bulan bahkan sepanjang tahun.

Dengan keramahan dan kepolosannya itu rupanya justru menjadi bulan-bulanan anak-anak tetangga yang sebaya dengannya. Karena selain dianggap tidak sekolah, ia juga dianggap bodoh karena tidak mampu menjawab omongan mereka yang terlampau cepat dibanding dirinya yang harus browsing kosa kata dulu.

Saat itulah hari-hari Erina mulai terasa menyeramkan dan kesepian.

Satu-satunya teman perempuan, tetangganya dulu yang sering main bersama, mulai diajak bersekongkol dengan anak lelaki yang memiliki perawakan tinggi dan besar untuk memusuhi Erina yang dianggapnya bodoh karena tidak sekolah.

Tapi keunikan Erina tak pernah melawan, bahkan ia hanya diam di saat teman-temannya saking gregeten di depannya ngata-ngatain bodoh karena nggak sekolah. Tapi Erina tetap diam dan diam, bahkan sekilas ia seperti tak paham mengapa mereka mesti marah-marah kepada dirinya.

Berulang kali ibunya melarang Erina main bareng mereka, tapi peringatan keras ibunya tak pernah ia gubris. Ia seperti anak kecil yang tengah menantang badai di saat cuaca benar-benar buruk, hingga datanglah anak balita yang dulu sering diasuhnya kini seperti menjadi perisai Erina hingga keduanya mulai tampak akbrab dan main bersama.

Perlahan namun pasti, Erina yang sebelumnya dikucilkan perlahan makin diperhitungkan keberadaannya semenjak ibunya menarik kedua anaknya dan mengikut sertakan bermacam-macam les di sore hari demi menghindari cek cok yang melelahkan di saat anak-anak tetangga mulai pulang sekolah.

Mendengar cerita panjang lebar tentang dirinya di masa lalu di ruang kelasnya yang kosong, Roddy yang duduk tepat di hadapannya tercengang iba dengannya yang begitu kuat dan tangguh menghadapi semua itu.

“Apa yang kamu pikirkan ketika ibumu panggil-panggil kamu untuk segera pulang saat mereka memarahimu,  tapi kamu nggak segera pulang?”

“Tak pikir aku harus menghadapi, itu saja”

Jlebbb!!! Roddy menarik nafas dalam

“Tapi itu kan nggak baik”

“Ya karena aku kan nggak punya teman”

“Tapi kan ada banyak cara untuk mendapatkan teman”

“Maksudku, kamu kan juga sering diajak pergi ke tempat saudara atau teman-temannya ayah atau ibumu kan?”

“Ya, tapi mereka sama saja suka membully”

“Tapi mereka itu nggak baik buatmu, Erina…” serunya gregetan

“Kamu ini gimana sih, dasar aneh!”

“Ya kenapa kau yang marah”

“Ya?!!! Mikir gitu loh Er! Mereka itu jahat ke kamu, kok kamu masih bisa balik mendekati mereka lagi”

Erina tertawa lebar “Itulah aku” jawabnya polos membuat perasaan Roddy antara iba, unik dan takjub dengan kepribadiannya yang luar biasa unik dari cewek-cewek pada umumnya yang ia kenal.

“Andai saja saat itu aku kenal dirimu, mungkin aku akan melindungimu dengan berbagai cara” pikirnya iba

“Besok-besok lagi jangan pernah over ekspose tentang dirimu, itu membuat kamu jadi bahan bulliyan teman-teman sekolah”

“Aku sudah biasa menghadapi itu Rodd”

“Iya tapi jangan begitu juga kali Erina…!”

“Hehe… oke”

Ruangan kelas yang sejak tadi kosong, mendadak hening seakan ikut menyimak cerita Erina siang hari itu.


 

Siapa Dia

 

“Serius, mataku berkaca-kaca waktu kamu cerita soal masa kecilmu yang terkena bullying”

“Besok lagi jangan overshare soal diri kita begitu ke orang lain, nanti bakal dibully lagi” 

“Overshare itu apa?”

Over ekspose tentang diri kita”

“Oh… oke-oke” Jawab gadis belia itu meletakkan smartphone nya di sebelah bantal dan tertidur pulas.

Sementara di sisi lain, pemuda usia 16tahun dengan alis mata tebal di balik frame kaca mata hitam itu senyum-senyum sendiri terpaku menatap langit-langit kamar. Tak lama kemudian ia mulai kembali mengutak-atik program yang sedang ia kerjakan di depannya.

Ia tengah menyelesaikan project kelompok bersama teman-teman kelasnya membuat aplikasi sederhana. 

“Hei, Rod sudah selesai belum?”

“Oh, sory sory!”

“Ngantuk kamu?”

“Nggak,”

“Terus ngapain saja dah kamu?”

“Sory, baru chat sama teman”

“Jam segini?”

“Teman apa teman???”

Roddy hanya senyum-senyum membayangkan wajah Erina yang suka jahil dan konyol jika bersamanya.

Pemuda dengan tinggi 180cm itu punya hidung mancung, dan berwajah sedikit kearab-araban dengan poni sedikit bergelombang membuat dia pas sekali dengan titpkal Erina dalam tokoh-tokoh anime yang dia baca.

Satu jam kemudian, pemuda lelaki itu diam melototi kerjaannya yang hamper selesai. Ia kembali memeriksa smartphonenya.

“Tidur??”

Chat itu kembali terkirim dan hanya centang satu yang menunjukkan pesan belum terbaca.

Pagi-pagi sekali Erina bangun, ia mulai mengerjakan project pribadinya hingga suara adzan subuh berkumandang ia siap-siap ke masjid untuk berjamaah hingga ngaji bareng bu Nyai sepuh untuk membenarkan bacaannya.

Itu semua seperti sudah di setting dari yang di atas dengan seruan doa ibunda untuk melanjutkan study formal sesuai minat Erina sekaligus memperbaiki energinya yang njeblok. 

Ia adalah gadis yang lugu dan polos, namun ia punya bawaan giftedness juga Indigo yang membuat hari-hari ibunya seperti jungkir balik mengatasi potensi ganda nya.    

“Sudah berangkat?” Chat Roddy masuk, 

“Belum” Jawab Erina sekilas dan kembali sibuk membereskan persiapan bekal makan dan peralatan sekolah 

“Kenapa?”

“Berangkat bareng yuk, aku tunggu depan asramamu”

“Loh???” pikir Erina sadar jika kostannya jauh lebih dekat dengan sekolahnya ketimbang asramanya

“Kenapa dia lebih dekat dengan sekolah justru kesini duluan?”

“Ok”

“Aku sudah di depan pintu gerbang”

“Hah??”

“Ok”

Saat itu Dona membuka pintu gerbang, lalu menutup lagi kembali lari masuk sambil heboh.

 

“Hei mbak, Erina dijemput sama pacarnya. Cepat sini! Sini!!” seru teman asramanya heboh mengundang kakak-kakak asrama yang saat itu belum mandi.

Sementara Erina senyum-senyum risih ngedumel dalam hati.

“Kenapa dah, semua orang salah paham?” gerutu Erina menutup pintu gerbang

“Ada apa?” tanya Roddy saat ia menggiring gadis itu berjalan melewati lorong jalanan menuju sekolahnya.  

“Kenapa juga kamu mesti kesini?”

“Bukannya tadi kamu mengiyakan kalau mau diajak berangkat bareng?”

“Iya, maksudku kostmu kan lebih dekat sama sekolah”

“Enggak apa-apa kok, santai aja”

“Ya sudah sih,”

Di balik jenjang tinggi badannya ia hanya senyum-senyum. “Anak ini benar-benar polos”

“Dah, biarin aja” potongnya sekilas

“Rod, bisa crackkan aplikasi 3Dku kah?”

“Lah??” spontan Roddy tertawa menyipitkan mata

“Keluargaku itu aneh to?”

“Bukan aneh kali, tapi unik”

“Yah… begitulah”

“Bapak sama emakku itu sering berantem, tapi setelah itu mereka tertawa cekikikan bareng lagi”

“Dulu aku sempat bingung sama mereka berdua”

“Tapi lama-lama paham juga pola mereka yang aneh itu”

“Tapi seru juga ya, keluargamu”

“Yaa.. bisa dibilang kurang lebihnya begitu”

Saat mereka berdua berjalan, Erina yang sudah tampak tinggi di mata teman-temannya masih jauh terlihat pendek ketika jalan bareng Roddy yang tingginya tidak sampai sepundak, membuatnya harus mendongakkan kepala saat ia harus berbicara.

 

 

 


 

Tulisan Misterius ala Aplikasi

 

Sejak hari dimana Roddy dimarahi adiknya Erina via chat, melarang Roddy pacaran sama kakaknya, sejak itu pula perlahan Roddy mulai menjauhi Erina. Kebetulan saat itu Viola yang terkenal sebagai Gadis tercantik di angkatannya pun mulai mendekati Roddy yang langsung gayung bersambut.

Erina mulai sakit hati di saat ia mulai tumbuh rasa trust pada Roddy melihat kedekatan keduanya kemanapun. Tapi Erina yang ramah dan suka menyapa banyak orang, menjadikan hari-harinya di depan kelas selalu terhibur dengan beberapa orang yang lewat. Terutama dengan si kakak kelas jurusan lain yang sebenarnya jauh lebih dulu dekat dengannya. Dia adalah Mozart, si kakak kelas pendiam yang dibilang nggak suka berteman dengan banyak orang.

Sejak saat itu Mozart sering menghampiri Erina yang selalu duduk sendiri di depan deretan ruang kelas yang selalu tertutup.   

Di sela-sela waktunya menjelang tidur ia menulis dalam sebuah aplikasi 

“Apa yang kalian pikirkan saat ini?”

Boleh nggak aku naksir kamu? (from Anonymous)

Erina tanya ulang ke Roddy lewat pesan singkatnya 

Naksir itu apa?

“Naksir itu ya diam-diam memendam suka” jawab Roddy

“Oh.. Oke” jawab Chika cepat

 Boleh, kenapa memangnya kalau nggak boleh? (Jawab Erina pada Aplikasi tersebut)

Bukankah Naksir itu sah-sah saja??

 

Sisi lain Roddy yang membaca status sosial media Erina kembali bertanya-tanya

“Ini gimana maksud anak ini?” Pikirnya segera matikan smartphone dan tinggal tidur

Hari berikutnya Erina berkirim pesan lagi di sebuah aplikasi

“Apa yang kamu pikirkan soal aku?”

Bukan tanpa alasan, ini mengingat Erina sempat dibully beberapa orang teman perempuannya yang mengatainya “aneh”

 

Kamu mau jadian sama aku tidak? (From Anonymous)

Erina langsung kirim pesan ulang ke Roddy

“Memangnya jadian itu apa?” Tanyanya membuat Roddy seketika mengernyit aneh bertanya-tanya

“Masa kata “Jadian” dia nggak paham??” pikirnya  

“Ya ngajak pacaran”

“Terus? Ngapain?”

“Ya, jalan bareng aja”

“Oh…”

“Terus ngapa aja?”

“Yaaa… ngobrol aja. Kemana saja bisa jalan bareng”

“Ah.. percuma, habiskan waktu sama pikiran”

“Kok bisa?”

“Ya, kan? Buang-buang waktu”

“Maksudnya???”

“Kita itu masih pelajar, Bang… buat apa hal begituan?”

“Banyak hal yang bisa dilakukan bersama banyak teman, memikirkan banyak hal yang memang ingin dipikirkan dan dilakukan”

Roddy mengernyit aneh, bagaimana sebenarnya pola pikir cewek yang satu ini. 

“Lagipula, kita ini masih pelajar. Banyak hal yang bisa dipelajari. Banyak waktu yang bisa digunakan untuk menjalin banyak pertemanan. Lah, kalau cuman habiskan waktu sama satu orang itu, rugilah”

“Kenapa Rugi?” tanyanya balik

“Memangnya orang nikah? Yang mengerjakan apa saja harus berdua, kemanapun dan dimanapun harus berdua” protesnya balik

“Pacaran di usia pelajar itu hal bodoh yang merugikan ummat manusia”

“Ah, dasar kamu aneh” jawab Roddy kesal seketika menutup Smartphonenya 

“Lha memang kan?” 

Jawab Erina yang merasa menang setelah berhasil memainkan perasaan Erina berhari-hari.

 


 

Sabotase makanan berbuntut gempar

 

Sekali lagi Handphone Dodi kembali berbunyi, Arin kembali membuka pesan masuk tersebut.

“Selamat malam, Bapak…”

“Mohon maaf, adakah agenda menjenguk Erina dalam waktu dekat ini Pak?”

“Sepertinya ada sesuatu yang perlu dibicaRezan terkait Erina”

“Oh? Iya pak? Soal apa ya?” jawab Arin cepat membalas pesan

“Nggak ada apa-apa kok Pak, hanya masalah sepele”

“Baik Pak, insya Allah minggu ini”

“Baik Pak” Begitu bunyi pesan singkat Wali Kelasnya membuat Arin menarik nafas lelah

“Siapa?”

Letak kelas Erina berada di ujung Gedung paling bawah sebelah tangga menjadikan tiap kali ada orang lewat yang hendak naik ke lantai dua maupun tiga, selalu menyapanya. 

Hari itu yang disapa adalah Roddy, anak jurusan perangkat lunak yang dikenal starboy di angkatannya. Erina tak peduli dengan julukan itu, bahkan ia tak paham apa itu starboy. Yang ia tahu, ia hanya mencoba menghibur diri dengan segala kerumitan dirinya dan alam sebelah yang masih sering seliweran mengganggu kenyamanannya di ruang kelas.

“Ayo cepetan diisi formulirnya” kata Erina ramah pada Roddy

“Ntar, belum ada waktu” jawabnya sambil berlalu menaiki tangga

“Hai, Pipit” sapa Erina lagi begitu ada teman ceweknya yang lewat jalanan depan kelasnya

“Hai…” 

Roddy dari anak tangga hanya menolehnya sekilas melihat ia menyapa orang lain lagi. Ia menganggapnya ini sebagai sesuatu yang menarik dari keumumannya anak-anak cewek. 

Saat itu lelaki tinggi dengan kulit pucat berperilaku sedikit aneh itu melintas di depannya.
"Hay, Hallo Wil"
"Hey, coeg.. inktobermu sudah selesai kah.."
"Sudahlah… Erina?!"
"Serius?" tatapnya heran campur curiga
"Seriuslah!" Jawab Erina cengingisan yang sebenarnya ia belum mengerjakannya sama sekali

Bagi Erina, mengerjakan gambar yang dianggap rumit sebenarnya mudah saja, tapi dengan catatan di tempat yang tenang dan sunyi. Tapi apa yang terjadi di sekolah yang sekalipun punya studio yang selalu sepi dan tenang tetap saja tidak bisa seenaknya meninggalkan kelas sewaktu-waktu.

Wilson adalah anak yang ramai, ia sering dikata Autis oleh teman-teman satu angkatannya. Tapi apa kata Erina, anak Autis ataupun penyandang berkebutuhan khusus lainnya patut mendapatkan perlakuan sama seperti yang lainnya. Toh mereka juga sama anak manusia yang sama-sama punya perasaan seperti yang lainnya. 

“Wali kelas Erina” jawab Arin dengan wajah lelah memandang wajah suaminya yang tertawa geli.

“Apa aku bilang, sudah SMA saja masih begini”

“Coba dari dulu sekolah, paling badanku yang kurus karena mbateg hadapi tingkah laku dia”

 

@@@

 

“Lalu susu cair yang ibu bawakan 5 karton itu pada kemana?”

“Hehe… aku kasihkan ke Zizi satu, dua aku minum, duanya buat persediaan minuman kucing-kucing yang sakit”

Spontan perempuan muda itu meledak marah.

“Erina!!”

Spontan raut Erina nyengir ketakutan “Tunggu dulu, Bu.. aku jelaskan dulu”

“Ekonomi keluarga Zizi sekarang lagi kolaps, jadi kadang dia nggak bisa beli makan. Makanya aku kasih dia susu, karena satu-satunya yang aku punya saat itu ya susu aja”

“Iya terus kenapa kamu kasihkan ke kucing?”

“Mereka itu sama seperti kita Bu, makhluk hidup yang butuh makan dan minum serta hidup yang layak”

“Iya, terus membiarkan kamu pingsan sampai mual-mual terus muntah dikira kurang gizi, begitu??”

“Lalu kamu telphon Ibu, kalau selesai upacara kamu pusing gara-gara malam nggak bisa tidur, terus minggunya kamu jalan kaki ke Alun-alun sejauh 8km PP hanya untuk lihat acara Car Free Day”

“Maksudnya apa coba”

“Ya sudah, besok lagi aku nggak akan cerita ke ibu”

“Iya kamu nggak cerita ke ibu, tapi wali kelasmu yang laporan ke ibu”

“Lha terus suruh gimana…?”

“Ya jangan buat ulah”

“Aku nggak buat ulah, Bu”

“Kalau kamu pingsan dan guru lapor ke ibu, itu artinya kamu buat ulah. Karena dianggapnya kurang gizi, nggak pernah dapat kiriman uang dari orang tuanya”

“Begitu kan narasi yang berkembang?”

“Biar saja mereka bilang seperti itu bu,”

“Haduh ini anak,” suara Arin gregetan

 

@@@

 

 

Sejak Erina membuat status di medsos tentang dirinya yang tidak makan selama 20 hari dan menunggu genap 35hari. Grup satu Angkatan yang berjumlah 500 orang siswa itu spotan ramai akan pembicaraan tentang dirinya. Dan itu mengundang berbagai reaksi. Dari reaksi negatif, netral hingga positif. Beberapa diantaranya ada yang mengatainya sebagai Caper (Cari Perhatian), Lebay, hingga sikap empati membelikan makanan untuknya segera dimakan. Tapi bukannya diterima dengan senang hati, Erina justru bersikeras menolak makanan tersebut yang membuat dirinya makin dipandang aneh dan dijauhi. Namun perlakuan ia dijauhi ini bukan membuatnya berubah, tapi justru bersikukuh dengan pendapat dan sikapnya.

 

Di bawah terik matahari siang itu, Erina yang terasa keliyengan menahan pusing dan mual terpaksa harus berjalan kaki lagi sepulang dari sekolah demi memenuhi titipan kakak-kakak asramanya.

“Yang jualan bubur ayam itu dimana kah?”  Status pesan di sosial medianya terkirim  

Tiba-tiba Roddy datang nyamperi Erina dari belakang dengan sepeda membuatnya kaget.

“Rin,”

“Eh, kenapa Rodd?” tanyanya polos

“Kamu cari bubur ayam kan?”

“Iya”

“Itu kamu jalan aja lurus nanti ada pertigaan, nah di pertigaan kanan jalan itu di pojokan situ”

“Oh… oke” jawab Erina

“Jauh lho,”

“Oh nggak apa-apa, santai aja”

Tapi Roddy masih saja ngikutinya dari belakang membuat Erina sedikit merasa tidak nyaman karena harus berjalan di depannya.

“Ngebet banget sih jam segini mau makan bubur ayam?”

“Titipan mbak asrama”

“Ha…?!” Roddy mengernyit aneh “Mau-maunya kau disuruh-suruh beli makanan siang-siang begini” pikir Roddy aneh

“Kenapa anak ini masih saja ngikut?” pikirnya

“Kamu mau kemana?” tanya Erina membuat Roddy sedikit salah tingkah

“Ya sudah, nggak apa-apa kan sendiri?”

Spontan Erina tertawa “Ya enggak apa-apalah”

“Oke, aku tinggal ya”

“Ya,”

“Ah… cewek ini, benar-benar deh” pikirnya kesal beraduk jadi satu bingung bagaimana dirinya sebenarnya menyimpan rasa khawatir atas perilakunya yang polos dan lugu itu.

 

@@@

 

Siang itu Erina duduk seorang diri di depan ruang kelas. Roddy hanya memperhatikan gadis itu dari lantai atas yang sesekali menyapa orang lewat, nggak peduli itu guru ataupun satpam.
"Eh, Erina, apa kamu pacaran sama Roddy?"
"Enggak, kita cuman berteman kok"
"Oh..."
"Kenapa?"
"Enggak.." jawab Erina yang spontan disambut raut cerah Viola

“Yess!! Berarti ada kesempatan aku jalan bareng sama Roddy”
Semenjak itu detik-detik terakhir Roddy mulai menjauhi Erina hingga mulai terang-terangan Roddy jalan berdua kemana-mana bareng Viola. Itu membuat suasana hati Erina perlahan mencelos seperti kehilangan sahabatnya dulu saat SD, yang menganggapnya sebagai teman dekat layaknya sahabat, seketika sakit karena sejak saat itu Roddy seperti terus menghindari Erina yang nggak tahu apa penyebabnya.

Ia juga tidak begitu paham apa makna pacaran, apa maknanya jadian, dan apa maknanya dua hati saling bertaut. Ia masih menganggap bahwa semua hanya sekedar pertemanan, layaknya teman sesame jenis.

Ia juga tidak paham kenapa Viola sering jutek saat melihat dirinya. Padahal, baginya sah-sah saja Roddy pacaran dengan Viola, tapi mengapa ia harus menjauh bahkan menghindar darinya di saat ia tidak punya teman yang mau memahami dirinya yang seperti hidup di tempat asing.

 

 


 

Awal jadian Roddy dan Viola
Lena adalah satu-satunya teman dekat Erina sejak SD hingga SMP, bahkan detik-detik terakhir sebelum akhirnya Lena berangkat keluar kota untuk sekolah atlet. Sejak itu Erina benar-benar merasa seperti terjun bebas ke laut lepas, saat satu-satunya sahabat yang dia miliki kini benar-benar menjauh bahkan seolah tidak lagi mau mengenal dirinya yang tinggal di desa.

Begitulah perasaan Erina pada Roddy yang menganggapnya sebagai sahabat terdekatnya yang pernah jadi tempat curhatnya tahu-tahu menjauh begitu tahu Roddy dan Viola jadian. Sementara di lingkungan sekolahnya ini, ia benar-benar seperti orang asing yang sama sekali tidak bisa ia pahami dengan inderanya yang sangat sensitive. Dari indera peraba yang geli dan risih dengan sentuhan seseorang menjadikan ia menghindari teman-teman perempuan sekelasnya yang suka memeluk dan menggandengnya. Telinganya yang sakit saat mendengar teman-temannya ngobrol di kelas, organ pencernakannya yang bermasalah ketika makan makanan di kantin, hingga Ia.. benar-benar merasa aneh dengan diri dan lingkungannya yang benar-benar jauh dari bayangannya yang menyenangkan tentang sekolah.

“Bunda, badanku panas, tenggorokanku sakit... Aku boleh pulang tidak?”

“Ah.. bukannya kemarin kamu baru pulang kan ya?”

“Iya, tapi kepalaku sakit banget rasanya”

“Tanya deh, sama Ayah”

“Lah, ayah suruh tanya Bunda”

“Ya kalau mau pulang ya pulang aja, tapi jam segini mau naik apa kamu?”

“Okey, aku cari!” pesan Erina terakhir kalinya hingga beberapa menit kemudian ayahnya telphon ajak diskusi terkait sulungnya yang hendak pulang terkait transportasi memang sulit menuju kabupatennya dari sekolah ke rumahnya.

“Hurrrayyyy!!!” pekik Erina begitu mendapatkan pesan singkat ayahnya mendapatkan tiket travel.

Begitu sampai rumah, Erina langsung mandi dan tidur.

Saat malam tiba, tahu-tahu pesan singkat masuk di Handphonenya.

“Kata teman kelasmu kamu sakit?”

“Saki tapa?”

“Biasanya dikasih obat apa emang?”

Saat itu ibunya membaca pesan tersebut.

“Erina sudah tidur sejak sore tadi, kak.. ini ibu nya”

“Oh.. iya tante, maaf”

“Demam saja kok,”

“Oh.. “

“Boleh tante tanya-tanya kak?”

“Oh..”

“Iya Tante,”

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Erina di sekolah ya?”

“Sepertinya Erina sering dapat bullyan dari teman kelasnya, Tante”

“Oh… Iya, kalau itu tante tahu. Tapi masalahnya kenapa kok Erina dapat Bullyan?” 

“Kalau itu saya kurang tahu, Tante…”

“Oh…”

“Tolong dinasehati saja ya Kak, kalau Erina nggak sering buat status aneh-aneh di medsosnya”

“Karena dia yang seperti itu jadi bahan Bullyan teman-temannya”

“Iya tante”

“Maaf Tante, apa Erina bisa disembuhkan ya?”

Spontan Arin tertawa cekikian geli membayangkan status anaknya yang konyol dari cerita saudara sepupunya.

“Sebenarnya itu gurauan saja sih, Kak..”

“Dia nggak sebegitunya”

“O…”

“Termasuk urusan makan, kan?”

“Iya”

“Dia tetap makan kok, tapi kalau malam memang…”

“Oh.. baik, Tante”

 

 

@@@


Sehari itu Arin membiarkan Erina tidur dan tidak menanyakan apapun soal bagaimana dirinya di sekolah. Hingga di hari ketiga di rumah, ia mulai bercerita bagaimana tidak nyaman dirinya di sekolah dengan segala keterbatasan kemampuan dirinya menangkap keterangan guru di depan dengan pikirannya yang sering meloncat mendarat kemana-mana.

Dalam kondisi lelah, Arin tak bisa diam begitu saja dan menyerah pada keadaan anaknya yang seperti tak ada harapan untuk kembali ke sekolah. Doddi memang sengaja melarang Arin tanya-tanya pada anaknya ketika anaknya belum mau cerita. Tapi sebagai ibu ia tak tahan dengan cara yang demikian, hingga Arin membaca gelagat diamnya yang mengisyaratkan dirinya itu bodoh, jelek dan tidak berguna.

Sepanjang perjalanan dirinya mendampangi proses Homeschooling anaknya, Arin memang tidak pernah meyakinkan jika anaknya ini termasuk Gifted meskipun surat diagnose pernah ia lampirkan untuk urusan Administrasi. Mau tidak mau Arin pun akhirnya membongkar-bongkar bagaimana dirinya yang sebenarnya di mata teman-teman komunitas anak Gifted.

“Kata siapa kamu bodoh?”

“Kamu itu cerdas, tapi nggak percaya diri”

“Mau bukti?”

“Ini” kata Arin menunjukkan foto-foto dirinya di antara teman-teman kelas yang membuat Erina seketika tertawa melihat wajahnya yang manyun dan selalu menyingkir di antara teman-teman kelasnya.

Perlahan namun pasti, Arin mulai membongkar-bongkar foto itu dan mendiskusikannya bagaimana dirinya selama di sekolah. Dan jenis seperti apa anak-anak kelasnya.

 


 

Panggilan wali kelas

 

Pagi itu keluarga Erina datang ke sekolah, sementara adiknya ikut dengan Erina, kedua orang tuanya menemui Wali Kelasnya di sudut ruangan studio sekolahnya. Dan Haza masih tertidur karena semalam suntuk ia begadang sampai pagi mengerjakan project development game nya.

Wali kelasnya mulai menjelaskan bagaimana keseharian Erina di sekolah dalam beberapa minggu, termasuk  sering duduk menyendiri di luar kelas, menolak pemberian makan orang lain, sampai kabar heboh yang menggemparkan teman-teman satu angkatannya bahwa ada anak kelas satu yang tidak pernah makan. Mendengar cerita Wali Kelasnya, Arin hanya tersenyum kecut bagaimana ini ternyata menyulitkan pihak sekolah.

Tapi apapun itu, ibunya merasa sangat bersyukur bahwa guru dan teman-temannya care dan aware dengan dirinya yang tampaknya selalu menjauh dari teman-temannya.

“Sebenarnya ada awal cerita yang membuat traumanya pembullyan di masa anak-anak yang membuatnya menjauh dari teman kelasnya Pak”

“Apa ya Bu? Sepertinya teman-teman kelasnya semua support”

“Jadi waktu perkenalan kelas, untuk menghadapi rasa groginya ia melakukan intermezo dengan banyak tanya pada kakak pembinanya”

“Dan ketika ia kembali ke mejanya, ada chat-chatan masuk dari teman lelaki yang duduk di bangku sebelahnya”

“Erina, waktu kamu maju tadi kamu dighibahin dua cewek di belakangku; “Eh, lihat tuh anak itu aneh ya?!””

“Sejak itulah trauma memori masa kecilnya yang mengalami pembullyan seperti kembali hingga membuat dirinya tidak nyaman di kelas, dan menghindar teman-teman kelasnya”

“Selain itu Erina ini anak dengan Dominan Otak Kanan pak”

“Ohh… begitu Bu”

“Hm, iya”

“Salah satu ciri dari sekian anak dengan dominan otak Kanan itu dia sangat sensitive”

“Katakanlah, mengapa ia tidak bisa main dengan teman kelasnya yang cewek. Karena mereka suka pegang-pegang atau peluk-peluk seperti umumnya anak-anak remaja cewek, dan Erina ini risih dengan yang namanya sentuhan”

“Jangankan dengan orang lain, saya sendiri ibunya nggak bisa memeluk dia. Bahkan ketika pertama kali hendak kami tinggal”

“Oh… sebegitunya ya Bu?”

“Iya Pak, dulu kami juga menduga yang tidak-tidak, tapi ketika tahu bahwa begitulah pola anak dengan Dominan Otak kanan, kami pun mau nggak mau menyadari itu”

“Lalu mengapa ia sering duduk di luar kelas sendiri?”

“Ini erat kaitannya dengan sensitifitas telinganya”

“Dulu di waktu kecil, kami nggak paham kenapa dia sering marah hingga nangis di saat ia mengerjakan sesuatu kami ngobrol berdua”

“Ya ngobrol biasa seperti ini”

“Dia teriak kalau telinganya sakit mendengar kami ngobrol”

“Saya kira ini akan hilang dengan sendirinya saat remaja, tapi ternyata masih sama. Dia sering ngeluh saat dikelas mendegarkan teman-temannya ngobrol kesana kemari, tapi ia tidak paham apa yang mereka obrolkan”

“Bahkan ia sering ngeluh tidak paham dengan penjelasan gurunya di depan kelas”

“Ini kaitannya merubah audio menjadi visalisasi gambar ke dalam memorinya”

“Anak-anak dengan Dominan Otak Kanan ini sering kesulitan menangkap penjelasan guru ketika mereka tidak bisa memvisualisasikan global detil penjelasan gurunya ke dalam sebuah video dalam memorinya”

“Bagi Erina, ini sangat penting dalam memahami apapun”

“Jadi sekalipun gurunya bukan ahli menggambar, satu dua goresan garis di papan tulis, akan ia kembangkan sendii menjadi sebuah gambar menarik dengan iajinasinya yang luar biasa tinggi”

“Oh… kok bisa begitu ya Bu?”

“Nah, persoalan dia menghindari teman-teman kelasnya”

“Sebenarnya bukannya ia tidak suka dengan mereka teman-teman cewek sekelasnya, melainkan Erina merasa tidak cocok dengan obrolan mereka”

“Erina juga mulai sering cerita kalau ia duduk di depan kelas sering bertemu orang-orang yang sefrekuensi dengannya yang membahas isyu sosial, budaya hingga sains”

“Ini kaitannya dengan karakter anak berbakat istimewa atau Giftednesnya, yang sekilas ia rigid dengan hal-hal semacam itu”

“Oh… syukur ibunya paham ya Bu.. karena kadang ada kasus anaknya begini dan begitu, tapi orang tuanya nggak paham sebenarnya apa yang terjadi dengan anaknya”

“Kalau mungkin ini masuk ranah psikolog, mungkin akan ada banyak sekali caatan-catatan untuk dia, termasuk  dianggap sebagai gangguan belajar, padahal masalahnya bukan di situ. Tapi ada di cara kerja otaknya yang memang berbeda dari keumumannya orang”

“Lalu bagaimana cara mengatasinya Bu?”

“Diajak mengatasi kesulitannya ini menjadi peluang bagus bagi dia”

“Oh.. bagus kalau begitu Bu”

“Hm, iya Pak”

“Misalkan, karena dia mudah terdistrak dengan otaknya dia kita ajak untuk melihat dengan visual gambar

(Bersambung memahamkan bagaimana otak kaannya bekerja)

 

@@@

 

Saat mereka keluar dari area sekolah, kendaraannya berhenti di depan warung makan.

“Aku itu nggak mau menerima makanan mereka bukan berarti aku nggak mau, Bu” jawab Erina begitu ibunya mulai ceramah panjang lebar dalam kendaraan.

“Soalnya aku pernah menerima makanan pemberian temanku, dan aku langsung dicap gimana sama temanku itu, terus lama-lama dia menjauh”

“Hhh… Erina, tidak semua orang yang memberi makanan itu selalu beranggapan seperti itu”

“Jangan-jangan mereka seperti itu karena mereka empati sama kamu”

“Tapi aku nggak suka dikasihani”

“Hhh… terus kamu buat status nggak makan 15hari itu tujuanmu apa coba?”

“Hahaha… seru aja. Kok pada percaya banget sama hal begituan”

“Nah, kan?!”

“Mereka yang baru mengenalmu slengekan seperti itu, dikira beneran kamu nggak makan”

“Karena lagi-lagi kamu ngeluh kalau enggak pusing, mual mau muntah atau gemeteran dan nggak bisa tidur”

“Kemarin waktu di rumah, kamu tidur jam 2 sampai jam 3 pagi nggak masalah”

“Sekarang itu jadi masalah, karena paginya kamu harus belajar di kelas” 

“Lalu itu daging, ayam sama telormu pada kemana kalau kamu sampai pingsan gara-gara nggak makan?”

“Ya aku makanlah, kalau malam”

“Terus?”

“Aku mau jujur tapi ibu jangan marah ya?”

“Iya marah kalau sampai kamu bagi-bagi”

“Enggak, bu.. santai aja”

“Terus?”

“Aku kasihkan ke kucing-kucing liar di pinggir jalan

“Maksudmu??!” ibunya melotot geram

“Ya karena mereka kasihan, Bu… kurus-kurus. Beberapa juga ada yang penyakitan”

“Lalu pilih mana? kamu yang penyakitan lalu nggak bisa belajar, atau kucing yang penyakitan tapi kerjaannya makan, tidur, sama pup?”

“Ya, kan nggak semua Bu, yang aku kasih”

“Iya, tapi itu tuh untuk stok laukmu setiap hari, Non..”

 

@@@

 


Arin dan Mertua

 

“Darimana?”

“Jenguk Erina, Nek..”

“Anak tuh nggak usah dijenguk terus, biar dia mandiri”

Dua pasangan muda itu saling menoleh berisyarat

“Ada panggilan wali kelasnya Erina, Nek..” jawab Doddi santai

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa, cuma soal makan”

Mulailah perempuan dengan kepalanya yang sudah ditumbuhi banyak uban itu bernyanyi, berkomentar soal cucunya yang sejak dulu tidak disekolahkan.

“Coba dari dulu dia sekolah, paling ya nggak buat gara-gara seperti itu” cletuknya membuat Arin seketika menelan ludah seakan salah perhitungan saat menjawab

“Itu karena anak nggak pernah kamu sekolahkan”

“Semua anak Homeschooling yang aku kenal, anaknya baik-baik saja tuh Nek..”

“Ya tapi kan anakmu nggak pernah keluar”

Arin mulai menahan emosinya, ia hanya tersenyum kecut

“Lalu dia habis jutaan untuk sekedar les antar kota itu apa kalau nggak berinteraksi dengan anak seumurannya, Nek...”

“Bun, tolong ambilkan bajuku” pinta suaminya yang jarang-jarang ia minta tolong pada Arin. Tapi perempuan itu paham, ia hanya menghindarkan cek cok dirinya dengan ibunya yang pensiunan guru.

“Bu, Arin itu sudah berusaha keras membantu pertumbuhan dua anakku sejak bayi hingga detik ini”

“Dia berkorban meletakkan karirnya hanya gara-gara melihat pertumbuhan anakku yang sejak dulu benar-benar merepotkan”

“Ya yang namanya ngurus anak itu repot, Dod!”

“Ibu dulu kan ada pembantu, nggak diasuh sendiri”

“Iya itu karena aku kerja, istrimu sudah nggak kerja, anaknya nggak sekolah”

“Bu, ibu tahu nggak…”

“Dibanding anak-anak pada umumnya, kemampuan Erina itu jauh. Begitu juga dengan adiknya yang menguasai Bahasa inggris sejak kecil tanpa ada yang ngajar”

“Aku bangga sama usaha Arin sampai sejauh ini, Bu..”

“Untuk mengatasi dua anak itu dia sering jatuh sakit karena capek ngatasi tenaganya yang besar dan susah tidur. Belum lagi dia mesti belajar sana sini. Ikut seminar, workshop, melonggarkan waktu dan uang untuk pertemuan anak-anak cerdas semacam Haza”

“Selain dia masih membuat catatan perkembangan anak-anak sejak mereka bayi”

“Hari ini, mana ada perempuan mantan aktivis semacam dia yang dulu dibilang anti lelaki tapi waktu berkeluarga dia harus tekuk lutut berdiam diri di rumah ngajar anaknya sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun sejak anak masih bayi-bayi aku tinggal ke Yogya hingga mereka remaja”

“Kenapa Ibu bisa bilang seperti itu?”

“Ya aneh saja, orang anaknya pegawai kok nggak sekolah. Mau jadi apa nanti”

“Nek… sebenarnya ujungnya sekolah itu untuk apa sih kalau bukan untuk kerja”

“Ya biar jadi orang sholeh, dilindungi Allah hidupnya. Nggak berbuat maksiat”

“Anakku sudah berbuat maksiat apa selama ini Nek…”

“Ya itu, nggak sopan. Kalau dibilangi selalu jawab”

Spontan Doddi tertawa

“Ya memang anak-anak cerdas itu seperti itu, Nek.. beda sama anak-anak normal”

“Kalau dibilangi apa selalu nurut, diam manggut-manggut meskipun mereka nggak suka”

“Karena generasi seperti itulah negara kita bisa hancur, Nek… nggak ada yang berani berkata baik dan salah dengan tegas”

 “Coba saja lihat cucu-cucu nenek yang lain, kalau dinasehati apapun selalu diam. Padahal mereka nggak suka sama nasehat Nenek”

“Dosa itu!” cletuk perempuan tua itu kesal yang langsung ditertawakan Doddi dengan memeluknya erat-erat.

“Sudahlah Nek.. tugas nenek sekarang itu cuman melihat cucu-cucunya tumbuh saja”

“Jamanku sama anak-anak saja sudah berbeda, apalagi masanya nenek sama Erina terlalu jauh yang membuat Nenek pusing sendiri kalau pikirannya khawatir terus”

“Bukannya kata ustadz, belajar semeleh?

“Lagipula kalau dunia isinya seperti yang diinginkan nenek semua, dunia sepi karena pemikiran semua orang sama”

“Pengadilan sepi karena nggak ada orang ribut, dan anakmu ini nggak dapat pekerjaan” tawa Doddi yang membuat perempuan yang jalannya sudah mulai sempoyongan itu ikut terkekeh-kekeh lupa akan apa yang baru saja dikatakannya.


 

Bawa lari duitku

 

Pagi-pagi sekali Erina sudah rapi dengan seragam batik bawahan abu-abu. Ia menelfon orang tuanya yang baru saja selesai sholat subuh untuk minta kiriman uang.

“Jam berapa ini masih gelap seperti ini, kamu sudah mau berangkat sekolah?”

“Enak, berangkat pagi. Sekolah masih sepi, udara di sini juga masih sejuk”

“Ibu, aku boleh minta kirim uang tidak?”

Ayahnya yang baru keluar dari kamar mandi kaget melihat sulungnya di layar ponsel sudah rapi dengan seragam sekolahnya.

“Masih gelap begini kamu mau kemana”

“Sekolah lah”

“??”

“Ayah, duitku tinggal sisa seribu”

“Sekarang sudah menuju ATM”

“Sudah ngaji belum?”

“Sudah lah”

Sembari berjalan, ia menunjukkan dua buah rumah besar yang bagus dengan halaman yang luas di sepanjang jalan yang ia lewati. Ia mulai bercerita bagaimana design rumah-rumah yang unik dan menarik dengan pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup. Sembari bercerita, ibunya hanya memperhatikan mimik wajah yang banyak menahannya.

“Aku sudah sampai ATM yah,” kata Erina yang langsung dipandu ayahnya untuk mengambil tarik tunai tanpa kartu. Begitu selesai ambil uang wajahnya bersinar seketika.

“Yeahhh!!”

Ia berjalan tenang sendiri menelusuri pinggir jalan menuju ke sekolahnya. Hingga tiba di depan gerbang, lagi-lagi ia terpesona dengan udara pagi yang baginya terlalu sayang untuk dilewatkan hingga ia berdiri di depan pintu gerbang sekolah.

Ia mengambil beberapa sudut foto sekolahnya yang dibangga-banggakannya selama ini dari berbagai sudut, hingga duduk di emperan belakang untuk cek foto-fotonya di layar ponselnya. Tiba-tiba saja seekor  datang memainkan tiga lembaran merah di pangkuannya, awalnya ia tidak berpikir macam-macam. Tapi begitu uangnya digigit, ia melotot tarik-tarikan uangnya hingga si  lari terbirit-birit meloncat pagar sekolah sebelah.

“Sialannnn!!!”

Melihat adegan itu pak satpam tertawa geli.

“Kenapa uangnya nggak dimasukkan dompet saja tadi?”

“Nggak punya dompet, pak”

“Minimal dimasukkan tas kan bisa, Kak”

“Ya sudahlah Pak.. barangkali belum rejeki saya” ujarnya manyun garuk-garuk kepala pergi meninggalkan tawa nyengir dua orang satpam di gardu depan.

Tiba-tiba saja Wilson datang. melihat ribut-ribut Erina dan pak satpam, Wilson berisyarat mata.

“Hei,”

“Kenapa kau?”

“Hehe…”

“Kenapa?!”

“Duitku digondol kucing” spontan Wilson melotot

“Kok bisa?!”

“Berapa?”

“Seratus”

“Serius??!”

“Ngapain aku bohong?”

“Mampus”

“Sialan!”

“Tahu gitu nggak aku kasih tahu”

“Ya habis kau ini aneh, uang segitu kamu letakkan diluar”

“Sssttt… sudah diem kau! Nggak tahu masalahnya cuman ngutuk aja”

“Terus kemana itu kucing, kenapa nggak kau kejar?!”

“Gila apa, aku harus loncat pagar sekolah sebelah”

“Ahh…?!”


 

Reza si anak Autism

 

Seperti hari-hari sebelumnya, Reza yang tidak pernah diberi uang cash oleh orang tuanya mesti putar otak untuk mendapatkan uang cash dari uang digital orang tuanya. Salah satu caranya dengan mengajak teman-temannya belanja ke minimarket menggunakan kartu visanya, lalu teman-temannya membayar belanjaan mereka dengan uang cash itu kepadanya.

Dan satu-satunya orang yang ber empati dengan Reza adalah Erina.

Awalnya Arin kesal karena uangnya cepat habis hanya untuk menolong temannya belanja ke minimarket yang harganya jauh lebih mahal, atau sekedar membelikan makan siang temannya yang belum sarapan dua tiga hari. Tapi lambat laun ia mulai membaca empati Erina pada Reza yang sering dijauhi teman-temannya. Ia cerita bahwa ada beberapa temannya yang mirip sekali dengan adiknya Haza, bahkan perilakunya jauh lebih aneh daripada Haza. Dari situlah Erina niat banget bantu Reza mendapatkan uang cash dari orang tuanya dengan cara belanja di minimarket.

Di awal mereka masuk sekolah, banyak teman lelaki yang mau diajak belanja, karena Reza selalu berikan potongan dari harga minimarket, termasuk diantaranya Roddy, Nino, dan Wilson. Tapi satu persatu mereka tidak mau lagi, karena dianggapnya pemborosan keuangan mereka sebagai anak kost.

 

Sementara satu-satunya teman yang masih mau membantu adalah Erina, kadang juga Roddy. Tapi yang paling respek adalah Erina, karena ia melihat diri Reza seperti halnya adiknya dulu yang sering dijauhi teman-temannya sekomplek perumahan. Ia paham betul bagaimana rasanya dijauhi orang-orang di sekitarnya, termasuk dirinya yang sejak awal pertama masuk sekolah ia sudah dianggap aneh oleh dua anak cewek hingga Erina pun pilih menghindar dari teman kelasnya.

 

Seperti hari-hari biasanya, meskipun risih di kelas. Tapi semenjak ia mendapatkan head set baru dari ibunya, ia selalu menutup telinganya dengan head set dan menyalakan music, sementara ia mulai bisa menikmati suasana kelas yang riuh sepanjang jam-jam kosong berlangsung. Ada pemandangan yang sebenarnya sangat menjijikkan melihat beberapa orang teman kelasnya yang pacaran sampai main peluk-peluk segala macam membuat ia benar-benar muak dengan pemandangan itu dan selalu membuatnya protes pada guru BK agar menegakkan peraturan yang sudah disepakati seorang calon siswa sebelum ia diterima di lingkungan sekolah tersebut.

Ia benar-benar getol dengan pemandangan itu dan mendesak guru BK agar mendisiplinkan mereka bagaimanapun caranya. Untuk apa aturan dibuat kalau ujungnya hanya sebagai tempelan yang tidak ada gunanya.

Tapi alih-alih taat pada aturan, ia justru melanggar aturan itu dengan tidak pernah memakai kartu tanda pengenal siswa yang harus dipakai di leher, dengan alasan lehernya sakit berasa seperti ditekak jika itu dipakai.

 

Tiba-tiba saja handphone nya bergetar menandakan ada pesan masuk;

 

“Cucuku… ayo temani aku belanja” bunyi chat Reza

“Ntar aku belikan jajan dah!”

“Serius???” Erina melotot dengan mata bulatnya yang orang melihatnya saja, dengan karakternya pasti tertawa

“Ya”

“Jam berapa? Nanti sore kau ikut Air Soft Gun nggak?”

“Ikut”

“Kalau gitu, selesai jam sekolah aja”

“Aku harus ngaji dulu soalnya”

“Kalau absen nanti bakal kena marah lagi sama ibu asrama”

“Oke”

 

Siang itu Reza sudah menunggunya di depan pintu gerbang utama. Bapak penjaga pintu gerbang sampai hafal dengan mereka berdua, terutama Erina karena saking ramenya dan doyan ngobrol di saat jam-jam santai.

Erina memang tipikal anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang usia di atasnya atau di bawahnya tinimbang seusianya. Meskipun mulanya Arin tidak percaya dengan karakter giftedness anaknya yang demikian, tapi lambat laun ia sadar bahwa itulah letak perjuangan Erina di sekolah formal. Seperti katakanlah gurauan Erina yang tampak konyol dan kebablasan sering dianggap tidak wajar dan susah dimengerti yang membuat teman-temannya ini hanya diam dan bingung. Seperti halnya gurauan konyol kalau ia lompat pagar asrama malam-malam untuk pergi ke gunung.

 

“Hallo Cu…” sapa Reza dari jauh

“Lama nian kau!”

“Baru selesai” jawabnya kembali memperbaiki letak kacamatanya yang tebal

Mereka berjalan beriringan sepanjang jalan menuju minimarket yang sudah banyak penjaja makanan ringan di depan sekolah. Melihat sekelebat bayangan Roddy dan Viola perasaan Erina sedikit mencelos, tapi ingat kata-kata ibunya untuk tetap fokus pada tujuan sekolahnya di situ untuk apa, dan apa yang harus ia kejar saat itulah ia mulai tidak peduli lagi.

Viola yang melihatnya lebih dulu, pura-pura tidak melihat keduanya. Tapi kemudian Roddy yang hanya menyapanya dengan wajah risih, hanya dilambaikan tangan saja oleh Reza yang cuek.

Begitu keduanya masuk, Erina hanya ngekor di belakang Reza yang mulai ambil barang dengan keranjang belanjaan.

“Sudah, kamu boleh ambil salah satu apa yang kamu mau”

“Wookeeeii!” serunya membuat Erina semangat mencari makanan yang selama ini ia inginkan.

Ia mengambil roti sobek besar.

“Woi! Ini ya?!”

“Jangan itu Cu..! mahal!”

“Kasihan kakekmu ini yang dicekik sama ortunya ini”

“Ampuunnn.. terus??” Erina nolah noleh bengong, matanya yang bulat ngikuti kemana Reza sibuk mencari sesuatu untuk dirinya.

“Ini aja kamu” katanya mengambilkan minuman soda botol besar 

“Aku nggak minum ini, bodoh!”

“Tenggorokanku bisa sakit, ntar”

“Halah! Sesekali kamu coba, nggak bikin kamu mati”

“Haahhh…” lenguhnya kecewa menatap botol minuman bersoda warna orange

Erina baru sadar, kali ini Reza membawa belanjaan begitu banyak tidak seperti hari-hari sebelumnya.

“Tapi kenapa belanjaanmu banyak sekali?” tatap Erina pada keranjang belanjaan yang penuh

“Biar aja, aku habiskan semua kirimannya”

“Gila!”

“Buat satu bulan kamu habiskan semua?”

“Lha kenapa?”

“Diatur kek,”

“Ssstt…! Sudah, jangan berisik” tangannya menghalau Erina untuk diam dan terus berjalan

Gadis itu menatap bingung pada temannya yang sejak awal semester menemaninya itu. Ia tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini ia tampak frustasi dengan dirinya. Tapi alih-alih bertanya, ia lebih menahan untuk diam dan mengikutinya keluar setelah membayar di kasir.

  

@@@

 

 

 

@@@

 

Saat itu Wilson dan Erina terlibat dalam obrolan tugas jurusan mereka Animasi. Sementara Roddy mulai hanya menjadi pendengar yang baik bagi keduanya. Viola yang melintas di depannya langsung nyamperi Roddy. Ia mengalihkan perhatian dari keduanya dan mengajaknya pergi dari sana. 


"Aku itu nggak suka sama anak itu"
"Siapa?"
"Wilson?"
"Bukan"

“Lah? Siapa?”
"Erina?"

“Hm,” bibirnya cemberut yang hanya disenyumi Roddy
"Caper"
"Hmm?? Caper??"
"Iya, dari status-satusnya itu loh"
"Oh.. dia anaknya kan memang begitu" katanya tertawa lebar membayangkan kekonyolan dia yang menganggap dirinya gila dengan gurauannya yang sangat khas kebablasan.
"Menurutku, ya dia memang begitu cara menyapa banyak orang"
"Selalu bikin move yang membuat gempar"
"Iya itukan namanya Caper"
"Ya... mungkin seperti itu bahasamu"
"Tapi sepanjang aku tahu, dia nggak berniat seperti itu sih. Cuman, begitulah cara dia menyapa banyak orang"

“Lagipula lihatlah anaknya, selalu berantakan”

Roddy hanya senyum. Tapi lama kelamaan Roddy mulai risih dengan kritikan Viola tentang Erina yang punya masa lalu menyedihkan.

“Terserah kaulah,”


@@@

 


 

Cerita Ibu

"Ibu dulu pernah dapat kiriman surat dari cowok-cowok ganteng”

“Serius?”

“Terus terus???”

“Ya untuk apa?”

“Bersenang-senang begitu??”

“Noo…”

“Bagi ibu saat itu, sekali terlibat dalam pacaran. Tamatlah Riwayat jadi anak remaja yang happy”

“Belum tentu cowok ganteng itu otaknya cerdas, tapi orang cerdas belum tentu juga ganteng”

“Hahaha… pilihan ibu selalu rumit”

“Ya karena pada dasarnya kita, para cewek itu harus bisa berdikari”

“Dulu sekali ibu paling benci sama pacaran, karena prinsip yang dipakai selalu top and down. Dan ibu paling alergi dengan positioning seperti itu. Di bawah perlindungan lelaki”

“Lelaki ideal ibu dulu seperti apa sih?” 

“Idealis ibu dulu??”

Arin senyum-senyum membayangkan peristiwa beberapa puluh tahun lalu saat dirinya disukai anak starboy di sekolah yang membuatnya gempar satu Angkatan.

“Yang jelas ganteng, tinggi, dan cerdas”

“Tapi di akhir-akhir masa kuliah, pesan nenekmu dulu cuman tiga, 1. sayang sama kamu, 2. mau nekuk lutut (alias sholat) 3. mau bekerja, sudah.. itu saja”

“Dan ternyata benar ketemu ayah yang berasa ketemu ensiklopedi berjalan” Erina tertawa ngakak

Keduanya tertawa bahagia

“Kerasa nggak sih, kalau Ayah itu berasa seperti jadi Babu nya ibu”

“Ya haruslah!”

“Ayah bisa bertekuk lutut pada Bunda seperti itu bukan tanpa sebab”

“Itu melalui proses panjang, dari sekedar doa, membuka pengetahuan lagi seputar bagaimana neurosains, sampai diskusi panjang lebar dengan ayah”

“Tapi… ingat nih,”

“Kalau kita ingin dapat pasangan yang cerdas, ya mau nggak mau kita harus cerdas juga”

“Itu hukum alam berlaku sekali”

“Kalau kamu ingin dapat pasangan yang pintar dan cerdas, mulai detik ini asah kemampuanmu di bidang apa yang kamu sukai”

“Biar kamu pun nggak mudah diremehkan pasanganmu”

“Dan pesan ibu saat ini cuman satu”

“Kejar betul itu cita-citamu, perbaiki citra dirimu”

“Itu yang membuat value dirimu lebih tinggi diabnding cewek murahan yang mudah ditakhlukkan”

“Karena kau tahu kan… karakter lelaki itu penantang ulung”

“Kalau ada cewek kok mudah banget ditakhlukkan, percaya deh… mudah saja ditinggalkan”

“Itu rahasia public dunia lelaki”

“Ketika kamu ngejar betul cita-citamu, lelaki itu bakalan pada datang sendiri kok ke kamu, percaya aja deh!”

“Asal karaktermu baik loh ya…”

“Jadi, ngapain kamu sakit hati kalau ditinggalkan Roddy?”

“Kenapa juga sakit hati, ih! Ibu nih sama seperti yang lainnya” Erina nrocos seketika membuat Arin tertawa terkekeh geli membayangkan gadisnya yang belum paham apa makna jatuh cinta.

“Beneran bu! Aku itu nggak suka sama Roddy!”

“Iya deh, iyaa…”

“Perasaanku sama persis seperti waktu aku mulai dicueki Lena, Bu”

“Iya, apalah itu Namanya”

“Lah, emangnya aku suka sama Lena?”

“Ibu ini gimana sih” gerutu Erina kesal

“Erina! Dalam hukum pertemanan, nggak ada yang namanya hubungan akrab lelaki dan perempuan kecuali ada perasaan suka satu sama lain”

“Nggak ada bu!”

“Iya deh iya…” tawa ibunya melirik Erina geli yang masih cemberut hingga tersenyum hingga tertawa lebar

“Dibanding Roddy mending Fero lah bu,”

“Roddy tu apasih? Cuman menang tinggi aja. Ganteng juga enggak, gigi juga enggak rata, hitam juga”

“Hush! Itu anak orang kamu jelek-jelekin!” 

“Biar aja sih!”

“Orang aku bilang nggak suka ya enggak! Titik”

 

@@@

 

“Sadar dirilah…”

“Setahu ibu, Viola itu sudah deket duluan sama Roddy sebelum kamu kenal dia kan ya?”

“Kok ibu tahu?”

“Ibumu itu selalu tahu teman siapapun yang dekat denganmu sejak kamu kecil nak..”

Erina yang saat itu demam begitu sampai di rumah ia merasa lebih baikan.

“Sudahlah Nak.. seperti nggak ada lelaki lain aja”

“Maksud??”

“Ya.. ibu tahu dari cerita adekmu sama Roddy”

“Kamu cerita apa sama ibu, Za??”

“Kan sepertinya kamu pacaran sama kak Roddy” tawa Haza

“Sembarangan kamu”

“Nah, kan emang benar kan??” riuh suara Haza berusaha mengacaukan suasana obrolan Erina dengan ibunya.

“Bu, ibu tahu nggak sih.. aku itu rasanya seperti ditinggal Lena ke luar kota dulu”

“Ah… yang benar Kak?”

“Sialan kamu” spontan meraih bantal dan melemparnya ke arah Haza “Buggg!!”

“Beneran Bu,”

“Aku sadar diri kok bu,”

“Cantik enggak, pinter juga enggak, sudah kalau ngomong masih belepotan pula”

 

 

@@@


 

Pertama unggah foto di medsosnya

 

“Hwkwkwk… Erina yang nggak pernah mandi, nggak pernah makan dan nggak pernah ganti seprei ternyata masih bisa foto bergaya juga”

“Ngejek nih ceritanya?”

“Enggak”

“Aslinya banyak fotoku yang seperti itu, cuma nggak pernah aku post aja ke medsos”

“Ya.. ya..”

“Akhirnya aku berhasil bohongin orang se sekolah kalau nggak makan selama 30 hari”

“Jadi kamu bohongin aku nih, ceritanya?”

“Baru tahu to?”

“Hooo… begitu ya”

“Lagipula mana ada sih Rodd, orang nggak makan selama tiga puluh hari, yang ada sudah gepeng jadi tempe”

“Bodoh banget, kok ya percaya?”

“Jadi kamu bodoh-bodohin aku nih?”

“Bersyukurlah kalau merasa, ternyata bukan cuman aku orang yang bodoh di sekolah. Masih ada kamu”

“Hahaha… uh, dasar”

 

 

@@@

 

 

Tahu dirinya ada yang tak beres, cepat-cepat Erina lari masuk kamar mandi.

“Ahhh.... Kenapa mesti sekarang, rok ku kan putih.. mana aku nggak bawa Hp lagi”

Roddy yang tercengang liat Erina lari masuk kamar dengan bercak merah di belakang roknya tanpa pedulikan keberadaan dia ia hanya tersenyum aneh.

“Ah, dasar tuh anak dari dulu nggak berubah” pikirnya berlalu begitu saja. Tapi sesaat langkahnya terhenti seolah ada tengah menyimak pikirannya yang terlintas. Dan ia pura-pura lagi melintas depan kamar mandi.

Erina yang berdiri cemas di depan kamar mandi melongok-longok kanan kiri barangkali saja ada seseorang yang dikenalinya lewat. Tapi saat itu tak ada seorang pun di sana yang lewat kecuali Roddy.  

“Roddy!!!”

“Hei, kenapa kamu di situ?”

Erina cengar cengir ragu sambil menutupi rok putihnya yang basah.

“Hehe.. boleh minta tolong, kah??”

“Apa??!”

Erina diam lama bingung mengucapkan kata membuat Roddy bingung.

“Kenapa woi! ngomong aja”

“Gini aja deh, panggilkan aku Zizi”

“Hah! Ngapain juga aku capek-capek naik ke lantai tiga panggil anak cewek yang nggak aku kenal”

“Please! Genting banget”

“Apa, bilang aja susah banget”

“Beli pembalut!” teriak Erina kesal membuat Roddy melotot

“Kamu nggak mau kan?! Makanya panggilkan aku Zizi” gertak Erina

Roddy menarik nafas kesal celingukan bingung mencari-cari sosok cewek yang dikenalinya. Tapi situasi saat itu benar-benar lengang.

“Cuman itu saja kan??” Roddy garuk-garuk kepala antara kesal, bingung dan.. campur aduk.

“Iyalah!”

Roddy berlalu begitu saja meninggalkan Erina yang bingung.

“Hei!! Rodd, tolong, please!”

“Nyebeli, kenapa itu anak malah pergi?” pikir Erina bingung clingukan menunggu-nunggu orang yang lewat.

Saat itu Zizi lewat

“Ziziii... Ahh.. dewa penyelamatku”

“Kenapa kau?”

“Belikan aku pembalut, please..”

“Kenapa nggak bawa tadi?”

“Aku nggak tahu”

“Please, Zizi.. Cepetan” rengek Erina mendorong balik tubuh Zizi pergi.

Saat di Minimarket sekolah tiba-tiba kaget melihat Roddy di kasir tengah membayar pembalut yang diletakkan di depannya.

Melihat itu Zizi spontan tertawa cekikikan geli memunggungi Roddy.

“Sialan!” gumam Roddy kesal yang diikuti tawa ibu kasir

“Aih... Buat cewekmu ya kak”

“Nggak bu” wajah Roddy merah padam

Saat keluar dari kantin beberapa temannya menyapa, tapi takut ketahuan apa yang dibelinya Roddy jalan setengah berlari.

Begitu sampai di depan toilet, Erina masih jongkok. Tahu-tahu Roddy datang

“Erina, nih tangkap!”

“Swiiing... Bluk!!” Mendarat di got.

“Hah!!??”

“Gila kau, kenapa juga mesti dilempar?!”

“Maaf..” jawab Roddy melongo melihat bungkusan kresek hitam itu masuk ke got yang menggenang. Tanpa ba bi bu, ia langsung meraih sebilah potongan besi dan meraih-raih kresek hitam.

“Ngapain kalian?” tanya Zizi melongo melihat dua orang yang mirip  dan tikus itu mendadak akur mencari cara mendapatkan benda di got.

“Gimana? Dapet??” tanya Erina

“Ini”

Erina menyambar kresek hitam milik Zizi.

“Lah, terus?!!” Roddy bingung melihat Erina segera menghilang ke kamar mandi, ia berhenti meraih kresek hitam itu

“Ini” kata Roddy memberikan potongan besi pada Zizi dan pergi begitu saja membuat Zizi pun bingung, dan ia kembali meraih-raih kresek hitam yang tengah tenggelam di got.

Saat Erina keluar, Zizi telah mendapatkan kresek hitam yang telah basah kehitaman. Sementara begitu dilihat berisi sebungkus pembalut spontan Zizi tertawa terpingkal-pingkal meninggalkan rasa malu Roddy yang berlari menjauh.

“Hmmm... begitu rupanya”

“Apanya?” ucap Erina innocent

“Nih! Mana ada coba, cowok mau membelikan pembalut kalau nggak ada rasa suka” kata Zizi memberikan kresek yang telah basah membuatnya jijik dengan air got. Merasa eman Erina mencapitnya dengan ujung jari ke wastafel dan mencucinya hingga bersih “Eman kan, uang sepuluh ribu dibuang” katanya menyobek sedikit bungkusan pembalut yang masih utuh dan bersih, lalu memasukkannya jadi ke dalam kresek dari Zizi.

“Itu tadi karena aku yang minta tolong ke dia” katanya sambil menggiring Zizi keluar dari area kamar mandi

“Dan kamu nggak malu??”

“Kenapa malu? Orang dia tak suruh panggilkan kamu nggak mau” katanya yang membuat Zizi spontan tertawa geli

“Erina...”

“Iya… Tapi??!!”

“Aah… sudahlah, berisik banget kamu”

“Siapa yang berisik coba, bukannya dari tadi kamu yang ngomong terus?”

“Iya deh.. iya,”

 

@@@

 

Sore itu dengan cueknya Erina duduk di emper depan kelas dengan rok putihnya.

“Rodd, tadi habis berapa?” chat Erina pada Roddy

“9 ribu”

“Aku tunggu di bawah”

“Besok aja”

“Sekarang aja, mumpung aku bawa duit”

“Aku lagi sibuk ngejar tugasku”

“Sekarang”

“Besok”

“Sekarang”

“Sekarang! Atau enggak aku bayar sekalian gara-gara kamu lempar ke got” Erina ngedumel melototi Hp

“Halo Erina” Sapa gadis dengan kulitan kuning langsat yang selalu menutupi wajahnya dengan masker melintas di depan kelasnya

“Halo Viola”

“Kamu ikut lomba?”

“Heee.. Enggak”

“Oh..”

“Kenapa? Padahal project-projectmu bagus loh”

“Hehe… iya”

Tiba-tiba muncul Roddy turun dari tangga, tapi begitu melihat sosok Viola, ia kembali naik.

“Hei kunyuk!!” seru Erina spontan membuat Viola menoleh siapa sosok yang dipanggilnya.

Begitu ia melihat sekelebat bayangan Roddy, Viola melotot menatap Erina yang nyengir merasa keceplosan.

“Hehe…”

“Roddy,”

Roddy nggak mau beranjak dari tangga, ia tetap berdiri di tangga hingga Erina pun ngalah bangkit dari duduknya untuk memberikan uang itu di samping tangga. Viola telah pergi dari sana saat Erina kembali.

Melihat kepergian mereka berdua, Erina jadi merasa aneh “Ada apa dah, kalian berdua?”

“Mbok ya kalau pacaran itu baik-baik aja!”

“Nggak usah pakai berantem”

“Tiwas capek kalian” ujarnya ngedumel kembali duduk di lantai teras kembali bengong

 

@@@

 


 

Roddy dan Viola putus

 

Melihat Viola dan Roddy jalan bersimpangan seperti tanpa kenal, Erina yang tengah duduk di depan kelas noleh kanan kiri seperti orang bodoh.

“Ada apa dengan mereka berdua? Bukannya dulu pacaran ya?”

“Hm katanya ada masalah”

“Oh…”

“Tapi kok Viola jadi baikan dan mau nyapa aku ya?” pikirnya aneh sambil mengamati gerak-gerik keduanya yang seakan tak kenal satu sama lain.

 

@@@

 

Aurat perempuan itu harus dijaga

Begitu bunyi sekilas status medsos Roddy yang menggelitik pikiran Erina terbayang bagaimana mereka pacaran begitu lengket di muka umum.

“Aurat siapa maksudnya, bang?” bukannya kamu juga pacaran ya?”

“Tobat, Erina..”

“Haha… tobat besok paling nyambung lagi”

“Enggak, serius aku tobat”

“Iyain sajalah”

“Sadar Erina..”

“Hahaha… berarti kemarin-kemarin kamu gila ya?!”

“Ya… bisa dibilang begitu”

“Haha.. jujur banget ngaku gila”

“Bukannya kamu juga jalan bareng si Ega ya?”

“Yyee... kalau kau tahu, semua temanku rata-rata laki semua”

“Iya juga sih”

“Lagipula ngapain kita pacaran hari ini”

“Kok bisa?”

“Pikir saja sendiri”

 

 

@@@

“Kenapa akhir-akhir ini kelopak matamu kelihatan hitam banget

Bunyi Chat Roddy yang membuat Erina langsung mengambil potongan cermin kecil melihat matanya

 

Enggak lah

Iya

Nggak kelihatan,

Kelihatan

Sepertinya kurang tidur

Jam segini kenapa kamu belum tidur

Iya, susah tidur

Jangan bilang itu karena aku

Siapa yang ngajari aku begadang, hm?!

Bukan aku

Kamu

Bukan

Kamu,

Bukan,

Ya terserah, itu mata kamu sendiri

Iya, tapi siapa pertama kali yang sering ajak aku main game sampai larut

Hehehe… siapa suruh, nurut

Oh.. begitu ya

 

Sisi lain saat Roddy di rumah.

“Kak, kamu kenal yang namanya Erina nggak?”

“Erina?”

“Dari Solo?”

“Nggak tahu, pokoknya dia dari PKBM kita smp nya”

“Oh..? kenapa emang?”

“Kamu kenal kah?”

“Hm, ya kenal lah!”

“Itu temanku di team Anak Remaja lho, kita dulu sering banget chat-chatan”

“Serius?”

“Iya!”

“Anaknya gimana sebenarnya Kak?”

“Oh.. agak gila” Roddy menelan senyum geli teringat kejadian dia ngejar ke gunung malam-malam naik sepeda

“Hwkwk… kenapa emang?” tawa Arlita terkekeh

“Enggak,”

“Cie… jangan-jangan??”

“Tapi keren lho kak, anak cewek yang ambil jurusan Animasi 3D itu”

“Hm, kerennya sih keren. Tapi dia itu benar-benar nggak beres”

Lagi-lagi adiknya terkekeh-kekeh melihat kakaknya meskipun kesal tapi wajahnya masih tampak sumringah. 


 

Pada Akhirnya semua pergi

Erina pergi bareng adiknya Haza ke gunung janjian dengan Reza, satu2nya anak cerdas yang sedikit memiliki gangguan sosial emosional

Menjelang kenaikan kelas orang tua Erina sudah pasrah, kalau terpaksa tidak naik kelas ya sudah biarkan saja, dan ternyata naik kelas.

Pertemuan dengan Roddy, Haza dan Erina memberikan oleh-oleh gantungan kunci dari Bali warna pink yang diprotes Erina, ia minta ganti warna.

“Huh! Dasar ini anak, nggak paham bener ya…”

Dikeluarkan dari asrama dan difitnah mencuri, pindah kost dan mulai ketemu teman baru anak Animasi 2D yang sering menemaninya kerjakan tugas, berita pindah agama Zizi dan reaksi guru.

“Erina!” seru Roddy mengikuti langkah Erina cepat dari balik Gedung sekolah

“Ya?!”

“Itu tuh ada kost-kostan ”

“Iya,”

“Kenapa memangnya?”

“Yah.. tahu sendirilah”

“Nggak bebas ya?”

“Niatnya ibuku masukkan ke sana untuk bisa ngaji serta belajar agama, tapi nyatanya jadi bahan bullyan mbak asrama dan limpahan emosi ibu asrama”

“Tapi kamu kuat satu tahun”

“Yah.. begitulah, siapa lagi kalau bukan Erina yang Tangguh ini” katanya yang disambut tawa geli Roddy melirik Erina dengan wajah innocent.

“Lah, kan memang begitu?”

“Tangguh kok bolak-balik UKS”

“Ya memangnya aku manusia besi yang nggak bisa tepar, gitu?!”

“Ya.. ya.. ya” senyum Roddy yang jalan di sampingnya

Tiba-tiba saja telfonnya bergetar, itu adalah panggilan ayahnya.

“Hust! Sana-sana!” Erina menyuruh Roddy menjauh

“Siapa?” tanya Roddy yang seketika ditunjukkan layar ponselnya membuat Roddy seketika tertawa terkekeh-kekeh membaca nama ayahnya dengan Awan Keabadian.

“Siapa?” bisik Roddy saat telpon diangkat

“Ayahku” bisiknya

“Sudah berangkat sekolah?”

“Ini, baru jalan arah ke sekolah”

“Mbak Erina, sudah kamu blokir nomor orang asrama?”

“Sudah kok, sudah”

“Oh.. ya sudah, biar mereka menghubungi ayah aja”

“Ibu nggak kuat tuh, kemarin sesak nafasnya kambuh”

“Lah?? Kenapa emangnya”

“Ya gara-gara dengar omongan mereka yang nggak pantas banget aja”

“Tiba-tiba wajah ibunya muncul” membuat Erina tertawa

“Bu, kenapa yang dimarahi aku yang sakit ibu?”

“Ah.. orang-orang play victim seperti itu tuh susah hadapinya”

“Tenang saja Bu, percayakan Erina”

“Lagipula aku juga masih bisa tertawa dan aneh saja memandang mereka, kenapa sebegitu marahnya sama aku”

“Sudah, nggak usah diteruskan. Cukup” sahut ayahnya lagi

“Sudah, ayah berangkat dulu. Nggak perlu dibahas lagi soal itu nanti”

“Okey” jawab Erina mematikan ponselnya yang disambut tatapan Roddy lama

“Kenapa kamu?”

“Pantesan kamu tertekan banget waktu semester pertama”

“Ya begitulah,” jawabnya enteng kembali berjalan

“Tapi soal asrama kamu nggak pernah ngeluh”

“Lha ya masak aku harus cerita semua ke kamu?”

“Ohh.. begitu ya”

“Hhh… sudahlah, bahas yang lain aja. Bukannya kata ayahmu tadi suruh begitu ya?”

“Iya sih”

 

Pagi itu seperti meninggalkan jejak senyap setelah sekian bulan ia jadi bahan bullying dan limpahan kemaraham ibu asrama menjadikan ibunya jatuh sakit. Sementara dirinya,  

 

Berita dikeluarkannya Reza dari sekolah membuat Erina sedikit shock, apalagi seminggu setelahnya ayah Zizi dikabarkan meninggal, yang membuat Zizi harus keluar dari sekolah itu. Rasanya baru kemarin ia ajak main ke gunung dan menahan diri untuk tidak jajan terlalu banyak dengan alasan uangnya disimpan untuk belikan jajan Erina saat masuk sekolah nanti.

Ia bahkan ingat betul cerita Reza setelah liburan nanti ia akan ikut camp di Jakarta bareng anak-anak Autism  lainnya atas surat perintah dari Sekolahnya. Tapi begitu dengar cerita wali kelas dan gurunya jika Reza dikeluarkan dari sekolahnya membuatnya kaget. Karena selama ini, hanya Erina yang bisa paham bagaimana si jenius yang dianggap aneh di sekolahnya itu berceloteh tentang dunia imajinasinya yang liar.

Sementara mendengar cerita Reza yang dikurung berminggu-minggu di sebuah Gedung dengan ruangan serba putih membuatnya sesekali galau di saat Reza nge chat ke dirinya. Dan diantara sekian banyak temannya, hanya Erina yang respek terhadap dirinya.

Ini semua tak lepas dari bantuan ibu Erina yang sedikit banyak paham bagaimana karakter Giftedness dengan bermacam keanehannya.

“Heyyyy... Kamu!!” seru Roddy meniru gaya khas Erina seperti biasanya saat hendak berceramah mengacungkan jari telunjuknya.

“Kenapa kau?”

“Ini,” serunya memberikan hadiah gantungan kunci 

“Ini buat adikmu”

“Oh..”

“Okey, makasih” ucap Erina menerima gantungan kunci

Alis matanya spontan mengernyit aneh melihat gantungan kunci tersebut “Kenapa juga harus warna pink? Padahal aku paling benci warna pink” protes Erina dalam batin.

Tiba-tiba Viola lewat dan menyapa Erina yang tengah diajak ngobrol Roddy. Erina yang merasa beberapa menit yang lalu sudah ngobrol dengan Roddy, kini perhatian obrolannya teralihkan pada Viola yang baru datang membuat Roddy agak nggak enak dan pergi begitu saja.

Melihat gelagat dua orang yang dulu sempat lengket kemana-mana bareng ini Erina merasa aneh saat keduanya sama sekali tidak menyapa dan seolah-olah tak melihat satu sama lain. Ditambah dengan reaksi Roddy yang pergi begitu saja saat gantungan kunci warna pink itu sudah mendarat di tangannya.

“Ada apa dengan dua anak ini, euy?!!”

 

Semenjak kepergian Zizi dan Reza, hari-hari terasa makin berat. Bahkan ia merasa fisiknya makin lemah dan mulai sakit-sakitan. Dulu yang kemana-mana selalu ditemani Zizi, kini ia sendiri. Dulu selalu ada orang yang selalu rame saat bertemu dengan dirinya, yakni Reza, kini tak ada lagi orang yang membuat hari-harinya terlalu heboh.

Dan kini, di saat ia pindah ke kost, justru tak adalagi orang yang membuatnya rame.

Tapi lagi-lagi Erina menghilangkan perasaan sakitnya dengan melakukan hal-hal konyol seperti membuat status media sosial yang buat gempar satu sekolah dengan menulis angka satu hingga dua ribu.

Siang itu ia masuk Air Soft Gun, dan mulai pamit pada kak Arfan si pengampu sekaligus pemegang kendali utama ekstrakurikulernya. Ia adalah anak lulusan 3tahun yang lalu yang kini sudah memiliki beberapa toko di beberapa kota. Ia kaget waktu Erina pamitan hendak pindah sekolah.

“Padahal kamu yang paling aku andalkan loh di Air Soft Gun ini”

“Tanpamu, ekskul ini nggak bisa jalan karena nggak ada yang menghubungkan kita dengan guru di sekolah”

 

 

 

Akhir-akhir ini kamu kok jadi beda  sapa Roddy lewat Chat

Kenapa?

Nggak tahu, beda aja

Apanya emang? Jarang Chat? Itu karena jawabanmu lama

Biasanya itu karena aku sedang kerjakan sesuatu

Oh…

Bukan sibuk Pacaran ta?

Termasuk Aku

 

Keluhan ingin pindah sekolah barulah ditanggapi ibunya setelah sekian bulan Erina mengeluh kalau dirinya tidak bisa fokus dan konsentrasi mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

“Serius kamu mau Homeschooling lagi?”

“Serius lah”

“Mau ngapain aja nanti kalau kamu di rumah”

“Banyak Bu,”

“Apa?? Banyak ngobrolnya?”

“Enggaklah!”

“Lah, ibu tuh hafal karaktermu gimana”

“Ya ampun Bu… sekarang enggaklah,”

“Tahu diri saja aku,”

“Dulu kan aku bingung mau ngapain aja, sekarang enggaklah”

“Coba dipikir-pikir ulang, nggak kecewa kamu? kalau kehilangan pertemananmu?”

“Pertemanan apanya? Aku sudah nggak punya teman sekarang?”

“Jujur saja sebenarnya apa sih yang kamu masalahkan?”

“Masalah teman? Kompetisi? Atau fokus pada targetmu yang tidak bisa kamu kejar?”

“Masalah teman dan target yang nggak bisa ku kejar”

“Terus rencanamu apa dengan target”

“Buat portofilo karya, bu”

“Arsitektur itu kebanyakan design”

 

@@@

 

“Kenapa kamu pindah?” tanya seseorang saat mereka tidak melihat kehadiran ibu Erina yang langsung menutup mulut kaget 

“Hehe… tante..”

“Tante, kasihan Erina tante…”

“Iya tante.. kok dipindah” sanggah teman-temannya

“Tanya itu Erina nya sendiri, KakPerempuan muda itu hanya senyum-senyum sembari pergi meninggalkan halaman depan kelasnya.

“Kemauanmu sendiri kah Rin?”

“Hm,” senyumnya lebar

Mendengar keributan beberapa teman di depan kelas Erina, Roddy yang tengah berjalan dengan Karina mendadak penasaran. Saat itu Wilson lewat,

“Ada apa dengan Erina?”

“Mau pindah sekolah” jawab Wilson sambil lalu

Glukkk

“Pindah?”

Roddy sengaja pamit pada Karina untuk segera naik ke kelasnya di lantai tiga. Sepanjang lorong menuju ruang kelasnya di lantai tiga jemarinya cepat kirim chat pada Erina yang saat itu tengah sibuk diajak ngobrol teman-teman kelasnya. Erina tidak peduli dengan smartphonenya yang berdering berulang kali. Hingga datang Wilson si anak autis.

“Hei coeg! Kenapa kamu??”

“Kenapa memangnya?”

“Ngapain pindah sekolah?”

“Ehmmm… di sini berisik ketemu kamu” tawa Erina yang tak pernah serius tanggapi teman-temannya

“Serius dikit kenapa sih? Aku tanya beneran”

Lagi-lagi Erina hanya tertawa cekikian sembari menahan air matanya yang hendak tumpah.

“Aku kan sudah bilang ke kamu kalau kesulitan bikin project, bilang aja.. biar aku bantu” kata Ara si mantan ketua kelas yang sempat disingkirkan teman kelasnya.

Lagi-lagi gadis itu hanya tertawa lebar seolah tengah menghalau kesedihannya yang saat itu di datangi si kakak kelas Mozart.

“Kamu serius pindah, Rin?”

“Hm,”

“Ya ampun…”

“Tapi gimana ceritanya? Bukannya kemarin ibumu bilang pertimbangkan dulu ya?”

“Lagipula ulah kamu juga sih, suka bikin gara-gara”

“Aku itu boring Za di sekolah”

“Kenapa memangnya?”

“Ya gimana nggak boring kalau ternyata ini memang bukan duniaku”

“Lah, kenapa dulu kamu masuk kemari?”

“Dulu karena aku tertarik dengan dunia anime. Aku kira itu duniaku, namun ternyata salah besar”

“Jangan-jangan galaumu buat status sampai 2000 itu karena ini ya?”

“Enggak juga, lebih ke gatel aja tanganku ingin nulis tapi bingung mau nulis apa”

“Hei! Kau masih hutang ke aku kalau mau cerita masalahmu loh”

 “Haha… serius amat”

Tiba-tiba saja Roddy berdiri di sebelah Wilson

“Nah, kan?! Apa aku bilang”

“Eh, serius aku tanya sebenarnya ada masalah apa dengan dirimu sampai mau pindah segala”

“Aku ingin ngejar targetku, Bro!”

“Apa targetmu?”

“Adalah! Orang hidup itu harus punya target capaian”

Dua anak ini hanya diam memandang Erina yang masih nglesot duduk di depan.

“Dia itu aslinya sepuh lho, tapi pura-pura bego aja” kata Wilson

Tiba-tiba adiknya Erina datang “Dia mau pindah karena katanya di sini nggak punya teman, Kak”

“Lah?? Terus bagimu kita ini apa?!” Wilson melotot pada Roddy

“Ah.. ya begini ini”

“Memangnya kriteria teman menurutmu itu yang seperti apa sih?”

“Yang se frekuensi sama aku lah”

“Ya yang seperti apa memangnya?”

“Seperti Kak Reza sama Kak Zizi”

“Hakim!” pelotot Erina pada adiknya membuat keduanya melongo

“Ah.. jangan-jangan mereka jadian?!” pikir Roddy lemas

“Apa yang aku tebak selama ini ternyata benar kah? Diam-diam Erina jadian sama Reza waktu di gunung kemarin”

“Ya, nggak heran juga sih. Sejak awal masuk sekolah mereka selalu bersama di saat aku menolak diajak belanja Kakek” pikirnya

 

@@@


Mozart diam seribu kata memikirkan kata-kata si ibu tentang kondisi Erina yang tidak lumrahnya anak.

“Kok bisa begitu Tante?”

“Apa di keluarga tante ada yang seperti itu juga?”

“Iya ada”

“Tapi karena dia menolak dengan kemampuannya, dia datangi tuh banyak kyai, orang pinter sampai dukun yang akhirnya penuh itu jiwa dia. Sementara jiwa dia terkubur di bawah goa”

“Karena tiap kali diobati, yang dampingi si terapis masuk ke diri dia. Yang ujungnya dia Divorce dengan suaminya”

“Makanya yang Tante ajarkan dia itu cuman kesadaran”

“Untuk berkesadaran, dia nggak boleh bengong”

“Itu saja sih kuncinya”

“Makanya tante titip, tolong diingatkan aja dia kalau lagi pas bengong sendiri”

“Iya tante, dia itu kasihan banget sering duduk sendiri di depan kelas”

“Iya, karena pendengaran dia kan sensitive. Beda sama kita-kita nih”

“Waktu kecil dulu, saat dia sedang serius belajar. Mendengar tante sama om ngobrol biasa begini nih.. dia sudah marah-marah karena dianggapnya mengganggu. Suaranya kenceng sekali. Dan dari situ dia bisa nangis tantrum”

“Tante kira sensitivenya yang seperti itu sudah hilang”

“Masih sama Bun…” cletuk Erina

“Gendang telingaku rasanya seperti mau pecah kalau di dalam kelas”

“Ada yang kerasin musik, ada yang ngobrol kenceng, ada yang nyanyi-nyanyilah”

“Tapi nyatanya mereka enjoy aja, kan?”

“Nah! Berarti siapa yang…” tawa ibunya terkekeh-kekeh

“Nah! Buka aib anak sendiri di depan orang lain!!”

“Bukan begitu… artinya, kamu itu memang punya bawaan khusus yang beda dari kebanyakan anak-anak lain. Gitu aja!”

“Disadari itu saja dulu”

“Bukan berarti kamu itu aneh, tapi ya… real itulah kondisimu”

“Kalau kamu nggak akrab sama Mozart, nggak bakalan Bunda cerita”

“Termasuk kata-kata kasar yang sering ditujukan ke dia, itu memperparah kondisi Erina ketika dia accept itu sebagai bagian dari dirinya. Padahal kan dia tidak seperti itu..”

“Karena ada kondisi-kondisi lain dimana dia memiliki kemampuan liar seperti jiwanya yang keluar dari badan dia”

“Hah? Kok bisa begitu, Tante?”

“Iya, orang-orang tertentu memang diberi kelebihan semacam itu”

“Itu yang dia tidak bisa jelaskan ke orang lain”

“Iya! seperti kejadian waktu aku bilang kepalaku pusing itu kan…”

“Saat itu aku bisa melihat kalian berdua di dalam kelas”

“Bukannya waktu itu kamu bilang pusing dan duduk di depanku ya?”

“Iya, aku lihat itu”

“Kok bisa?!”

“Nah, di situlah kadang tante bingung harus berkata apa sama temannya”

“Tante cuman titip saja sih, cepat dibangunkan atau disadarkan ketika dia bengong sendiri”

“Khawatirnya dia keluar dari badan dan tidak kembali lagi, itu yang tante khawatirkan”

“Sorry Mozart… emakku kalau ceramah 1 sampai 2 jam nggak kelar tuh”

“Hwkwkwk… ampun lah kamu itu sama ibumu kok begitu sih?”

“Nggak tante, justru seru dapat pengetahuan baru. Saya merasanya ini sharing kok.. bukan menggurui”  

"Tapi beneran kamu bisa sampai segitu?"
"Memangnya kalian nggak bisa?"

“Ya nggak bisalah, gila apa?” 

 

 

@@@

 

 

Siang itu

“Hey Rodd, tugasmu pak Adit sudah kelar belum?”

“Belum, ini masih aku kerjakan”

“Oh..”

Tiba-tiba saja Gano tertawa geli

“Kenapa?”

“Enggak, itu si Erina tuh konyol banget”

“Kenapa emangnya?” tanya Roddy

“Ada yang confess sama dia”

“Siapa?”

“Nggak tahu, kata dia kakak kelas”

“Terus terus??”

“Dijawab apa sama dia?”

“Kan dianya tanya, kamu mau nggak jadi pacarku?”

“Pacar? Apa tuh?”

“Ah, kamu tuh berlaga bego aja”

“Lah, kalau bego kenapa mesti mau ajak pacaran, berarti kamu sama bego nya dong” Roddy tertawa cekikikan

“Nah, ya begitu itu anak, kalau ngomong nggak pernah serius”

“Nggak juga lah, kalau sama aku seringnya serius kok”

“Iya deh.. iya.. sama-sama anak Homeschooling”

“Ini tadi dia ngeluh aja kalau di sini cuman buang-buang waktu, nggak bisa kejar target”

“Target?”

“Dia kan ngebet banget ingin cari Scholarship untuk Study Abroadnya”

“Oh…” pikir Roddy, “Keren bettt… diam-diam”

“Ambil jurusan apa katanya?”

“Arsitektur”

“Wow!!”

“Terus-terus tadi ceritanya yang confess gimana jadinya??”

“Entah, tanya apa tuh cowok, karena tadi Aldi nyapa sebentar gitu. tahu-tahu dia nyolot”

“Ogah!! Pacaran itu banyak merugikan cewek daripada cowok, nggak imbang banget. Rugi!” tawa Roddy ngikik

“Kok bisa?” tanya Roddy

Gano yang terkenal sedikit kalem dari Roddy hanya tertawa geli membayangkan bagaimana ekspresi Erina saat ngomong seperti itu.

“Kata dia lagi; Ya iyalah, kalau kalian bangsa laki-laki mudah aja ninggalin cewek masih bisa mikir pekerjaan kalian, lha kita bangsa cewek?!”

“Corpus Calosum cewek itu lebih tebal Bang,”

“Loncatan listrik antara otak kanan dan kiri kenceng”

“Lah kalian??”

“Lebih tipis, loncatan listrik di otak kalian lebih sedikit. Jadi ketika otak kanan terganggu, otak kiri masih bisa bekerja seperti nggak ada masalah”

“Busyettt…!!” mereka tertawa cekikikan geli

“Terus-terus?!”

“Aku janji dah, nggak akan tinggalin kamu” kata itu si cowok

“Dasar gombal”

“Emangnya itu speaker dikerasin?”

“Iya!”

“Bodoh banget, ada orang confess lagi…”

“Iya, aku juga bingung. Padahal itu cowok tanya, kamu lagi sama siapa? Ada orang nggak di situ”

“Itu si cowok tanya lagi; “Gimana? mau nggak?”

“Apa kata dia?”

“Ntar deh, tak pikir-pikir dulu seberapa banyak untung dan ruginya”

Spontan Roddy tertawa cekakakan

“Ngomong soal cinta kok berasa jualan aja”

 

 

@@@


"Makanya aku nggak bisa makan sembarangan"
"Repot benar jadi diri kamu?"
"Itulah kenapa Ibuku sering menjengukku"
"Selain mensupportku, dia juga yang terus menerus memberiku pelajaran yang dia dapat dari banyak praktisi"
"Gila ya, ibumu.."
"Sorry ya.. karena yang dia kenal cuman kamu"
"Tadi ditanya sama Viola ya?
"Hm,"
"Kamu nggak jawab tentang aku kan?"
"Tenang aja"
"Jadi, kapan kamu mau nge gym?"
"Ada nggak speed runner nya?"
"Nggak tahu juga aku"
"Nanti sore gimana?"
"Ya nggak apa-apa sih.."
"Kamu ajak Viola aja, ntar salah paham lagi"
"Okey, coba ya.. kalau dia mau"
"Harusnya mau lah"
"Anak-anak cewek itu suka pada mager"
"Tapi beneran yang dikatakan ibumu, kalau kamu itu harus gerak?"
"Hm, ya"
"Kalau enggak gerak efeknya panas”

“Oh…”

“Karena energi dalam tubuhku besar, dan itu harus disalurkan. Kalau tidak rasanya panas dan rasanya nggak nyaman sama sekali”

 

@@@


 

Arin dan Mertua

 

Saat Arin pulang ke kampung halaman, ia sekedar keluh kesah pada Ibu mertuanya.

“Coba dari dulu dia sekolah, paling ya nggak buat gara-gara seperti itu”

“Itu karena anak nggak pernah kamu sekolahkan”

“Kak, semua anak Homeschooling yang aku kenal, anaknya baik-baik saja tuh”

“Ya tapi kan anakmu nggak pernah keluar”

Arin tersenyum kesal

“Lalu dia habis jutaan untuk sekedar les antar kota itu apa kalau nggak berinteraksi dengan anak seumurannya”

“Bun, tolong ambilkan bajuku” pinta suaminya yang jarang-jarang ia minta tolong pada Arin. Tapi perempuan itu paham, ia hanya menghindarkan cek cok dirinya dan ibunya yang pensiunan guru.

“Mak... Arin itu sudah berusaha sekeras mungkin membantu pertumbuhan dua anak sejak bayi hingga detik ini”

“Kalau dibanding anak-anak pada umumnya, kemampuan Erina itu jauh. Begitu juga dengan adiknya yang menguasai Bahasa inggris sejak kecil tanpa ada yang ngajar”

“Aku bangga sama usaha Arin sampai sejauh ini, Nek..”

“Untuk mengatasi dua anak itu, dulu dia sering sakit-sakitan karena capek ngatasi tenaganya dua anak itu yang besar dan susah tidur. Belum lagi dia mesti belajar sana sini. Ikut seminar, workshop, melonggarkan waktu dan uang untuk pertemuan anak anak cerdas semacam Erina”

“Selain dia masih membuat catatan perkembangan anak-anak sejak mereka bayi”

“Hari ini, mana ada perempuan mantan aktivis semacam dia yang dulu dibilang anti lelaki tapi waktu berkeluarga dia harus tekuk lutut berdiam diri di rumah ngajar anaknya sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun sejak anak masih bayi-bayi aku tinggal ke Yogya hingga mereka remaja”

“Kenapa emak bisa bilang seperti itu?”

“Ya aneh saja, orang anaknya pegawai kok nggak sekolah. Mau jadi apa nanti”

“Nek… sebenarnya ujungnya sekolah itu untuk apa sih kalau bukan untuk kerja”

“Ya biar jadi orang sholeh, dilindungi Allah hidupnya. Nggak berbuat maksiat”

“Anakku sudah berbuat maksiat apa selama ini Nek…”

“Ya itu, nggak sopan. Kalau dibilangi selalu njawab”

Spontan Doddi tertawa

“Ya memang anak-anak cerdas itu seperti itu, Nek.. beda sama anak-anak normal”

“Kalau dibilangi apa selalu nurut, diam manggut-manggut meskipun mereka nggak suka”

“Karena generasi seperti itulah negara kita rusak hancur, Nek… karena nggak ada yang berani berkata baik dan salah dengan tegas”

 “Coba saja lihat cucu-cucu nenek yang lain, kalau dinasehati apapun selalu diam. Padahal mereka nggak suka sama nasehat Nenek”

“Dosa itu” cletuk perempuan tua itu kesal yang langsung ditertawakan Doddi dengan memeluknya erat-erat.

“Sudahlah Nek.. tugas nenek sekarang itu cuman melihat cucu-cucunya tumbuh saja”

“Jaman saya sama anak-anak saja sudah berbeda, apalagi masanya nenek sama Erina terlalu jauh yang membuat Nenek pusing kalau pikirannya khawatir terus”

“Bukannya kata ustadz, belajar semeleh

“Lagipula kalau dunia isinya seperti yang diinginkan nenek semua, dunia sepi karena pemikiran semua orang sama”

“Pengadilan sepi karena nggak ada orang ribut, dan anakmu ini nggak dapat pekerjaan” tawa Doddi yang membuat perempuan yang jalannya sudah mulai sempoyongan itu ikut terkekeh-kekeh lupa akan apa yang baru saja dikatakannya.

 

@@@

 

 

Dengan sensitifitas indra pendengaran, penciuman, penglihatan serta imajinasinya yang luar biasa tinggi. Ia lebih memilih berangkat sekolah di saat Gedung itu masih kosong dan lengang. Ia menikmati betul bagaimana nikmatnya udara pagi dengan embun basah menempel di dedaunan serta segarnya udara dingin, sementara lampu-lampu sekolah masih menyala. Bahkan ia menikmati kesendirian dalam kelas yang lengang dan sunyi. Ia duduk di pojok paling belakang menghindari sensifitas tubuhnya yang benar-benar mengganggu konsentrasinya di saat pelajaran datang.

Saat teman-temannya mulai berdatangan, ia lebih memilih duduk di luar kelas. Ia tidak bisa mendengar suara berisiknya teman-teman kelasnya ngobrol biasa. Bahkan terkadang ia kesulitan menangkap keterangan gurunya hingga mengubah kata-katanya menjadi sebuah gambaran global detil ke dalam memorinya yang terkadang ia senyum-senyum sendiri ketika imajinasinya melambung kemana-mana, hingga sadar jam pelajaran telah selesai dan ia bingung bagaimana tugasnya.

Saat jam siang datang, dimana teman-teman kelasnya mulai kembali berdatangan, penciumannya yang tajam mulai terusik dengan aroma bau tubuh mereka yang baginya sangat menyengat, jadi selain pendengarannya yang sakit saat mendengar keriuhan teman kelasnya, ia masih tersiksa mencium bau keringat anak sekelas.

Di situlah mengapa ia nyaris saja putus asa dan mengatakan pada orang tuanya, bahwa dirinya bodoh, bahwa dirinya tidak bisa menangkap pelajaran seperti teman-temannya dan ia ingin kembali menjalani Homeschooling.

Di saat itu pula menjelang ujian berupa mengerjakan tugas-tugas, ia keteteran belum satupun tugasnya yang selesai dikerjakannya hingga mendapat teguran guru BK, guru mata pelajaran hingga wali kelas yang mendengar keluhannya soal perilakunya yang dianggap lebay karena tidak makan berhari=hari.

 

“Kenapa kamu tertawa?”

“Yah.. mulut mulutku sendiri tertawa kok kamu yang sewot”

 

@@@

 

“Pesan Bunda cuman satu, kamu boleh saja suka sama seseorang, tapi tidak untuk pacaran”

“Jadi, terserah kamu mau mengartikan bagaimana. Tapi itulah rambu-rambu yang bunda kasih”

 

@@@


 

Jiwaku keluar

 

Pagi itu gara-gara ibunya gemes kata-katanya tidak digubris, ia marah pada Erina via pesan singkat.

Siang itu suasana kelas mulai lengang karena anak-anak sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Trio teman dekat Erina yang sering menemani dia di saat seperti itu, Mozart dan Zizi masih ada di kelas menemaninya di saat Erina mengeluhkan sakit kepala yang luar biasa hingga ia hanya mampu duduk dengan meletakkan kepalanya di meja kelas. Namun tiba-tiba tubuhnya melambung keluar dan melihat pemandangan sekitar ruangan kelas, termasuk melihat kepalanya diusap-usap Mozart yang duduk di kursi depannya, sementara Zizi yang tengah berdiri di depan kelas menunggu Erina lebih baikan mengatakan sesuatu untuk menenangkan sahabatnya, hingga dalam beberapa detik kemudian ia kembali masuk ke dalam tubuh fisiknya lagi dan terbangun dengan perasaan kaget melihat dirinya yang telah sadar.

 

“Oh,” Erina kaget menggeragap melihat Mozart di depannya dan Zizi berdiri di depan kelas. Ia memegang pergelangan tubuhnya sendiri hingga menarik nafas lega

“Gimana? sudah baikan kamu?”

“Ah.. sudah kok, sudah” jawabnya sembari berdiri dan mengajaknya keluar

 

@@@

 

Suatu hari ia duduk sendiri di kamar asramanya menghadap layar monitor tengah mengerjakan karyanya, tiba-tiba saja ia keluar dari tubuhnya nyebur ke laut lepas hingga tiba-tiba ia berdiri mengintip jendela rumahnya, melihat ibunya tengah menyisir rambutnya di depan kaca seperti biasa. Sementara melihat adik laki-lakinya tengah usil mengganggu adiknya yang paling kecil hingga ia mulai menangis dan terjadi keributan antara keduanya yang menyebabkan ibunya mulai bereaksi pada keduanya.

“Ah, dasar kamu Haza” katanya hingga tiba-tiba saja ia kembali lagi masuk ke tubuh fisiknya hingga kaget saat kakak asrama memanggil-manggil dirinya.

 

  

 

@@@

 

“Bu, tahu nggak”

“Hm?!”

“Sepertinya ada adek kelas yang naksir sama Roddy lho”

“Oh..” si ibu hanya nyengir membayangkan betapa nyeri perasaan putrinya

“Terus?”

“Enggak… gitu aja”

“Ada yang jeles nih”

“Banyak adik kelas yang lebih ganteng dari Roddy, ibu..”

“Seperti aktor siapa tuh, dari jepang yang aku bilang mirip seperti orang yang jualan daging di pasar tempo hari Bu”

“Oh..”

“Tenang Bu, aku hanyalah seorang penonton dan support yang bersorak di pinggir arena”

“Jadi aku tak merasa tersakiti oleh siapapun, termasuk hanya orang seperti Roddy”

“Ya sudahlah kalau begitu”

 

@@@

 

Roddy kaget, tiba-tiba saja muncul foto dirinya yang bergandeng tangan dengan teman kelasnya lelaki di grup adik-adik kelas angkatannya.

“Erina…” tegurnya via chat dengan emoticon senyum

“Ahh… dasar itu cewek, harusnya itu kan kamu” pikir Roddy protes sembari senyum ngikik memperhatikan foto menggandeng jemari Nino yang memang tampak lentik seperti jari Erina. Ditambah lagi ia memakai baju seragam putih lengan panjang.

“Ciee… ada adik kelas yang PDKT, ntar gimana tuh dengan perasaan Viola?”

“Yeeahh.. ganteng gitu loh, banyak yang naksir”

“Hah??! Ganteng?? dilihat darimana coba?”

“Gigi sudahlah nggak rata, hitam, kurus lagi”

“Ampun Erina.. kamu syirik banget sih?”

“Noh, ganteng tuh seperti ini” balas Erina mengirim foto remaja ganteng alm Galang Rambu Anarki anaknya Iwan Fals dengan wajah bening

“Hah?! Siapa tuh?”

“Ada deh..” jawabnya dengan emot kedipan mata

Sebagai anak jurusan Rekayasa Piranti Lunak, Roddy nggak mau kalah. Ia langsung masukkan foto ke AI hingga menemukan nama Galang Rambu Anarki yang membuatnya spontan mengirim emoticon tawa terbahak-bahak sambil menuding.

“Orang sudah meninggal dijadikan Idol”

“Ya terserah akulah”

“Iya deh, iyaa…” jawab Roddy membuat tawa nyengir kembali meletakkan ponselnya dengan mata tertuju pada project asset property 3D di layar laptopnya.

 

 

@@@

 

“Gimana? sudah punya cewek kata adikmu?”

“Enggak Pa, cewek apanya… susah”

Spontan Papanya senyum nyengir

“Kenapa emang?”

“Dulu, hampir saja aku bisa meraih hati itu cewek, kebetulan kami kenalan sama adeknya yang sedang belajar pengembangan Game”

“Wow, keren”

“Iya Pa, aku lihat dari project adiknya di group lumayan cerdas juga”

“Kenapa nggak sama itu saja?”

“Nggak mudah Pa, itu cewek konyol banget”

“Aku ngomong serius selalu ditanggapi dengan gurau”

“Baguslah, ciri orang cerdas itu”

“Cerdas apaan, IQ nya setara IQ monyet” spontan lelaki dengan kaca mata frame hitam tawa terbaha-bahak

“Husy! Jangan sembarangan kalau ngomong”

“Iya… yang bilang anak cowok teman dekatnya”

“Kamu nggak khawatir tuh, sama teman dekat cowoknya”

“Teman dekat dia rata-rata anak cowok, Pa”

“Setahuku anak cewek yang dekat dengan dia cuma satu”

 

“Nah, waktu dia telpon, adiknya curiga kalau kakaknya pacaran. Dia langsung warning ke aku kalau kakaknya nggak boleh pacaran”

“Laporlah dia sama ibunya”

“Nah, kacau sudah dari situ”

“Kenapa?”

“Waktu itu kebetulan ada cewek yang deketin aku, dia sering ajak janjian aku kemana-mana”

You know lah Pa, yang buat Mama marah seperti dulu”

“Iya kamu sudah keterlaluan sih”

“Iya benar teman cewek yang kamu taksir itu, nggak boleh pacaran”

“Nih, Papa kasih tahu ya.. cewek yang punya value tinggi itu seperti apa”

“Tapi memang nggak mudah kamu mendapatkan cewek semacam ini”

“Sekalinya kamu dapatkan hatinya, sudah deh.. lihat tuh Mama”

“Mamamu itu dulu tipikal pekerja keras dan…”

“Ah.. ya itu dia, target dia tinggi. Dia ingin masuk jurusan Arsitektur setelah ini”

“Wow keren tuh”

 

“Aku kira dulu kamu cewek polos, lugu, jorok, nggak percaya diri dan mudah dibohongi. Eh.. ternyata”

“Hingga hari ini, susah benar mendapatkan hatimu”

“Apalagi aturan keluargamu ketat benar melarang anaknya pacaran”

 

 

@@@

 

 

“Luar biasa Erina, dia benar-benar kuat menghadapi situasi, kondisi dan orang-orang seperti itu selama satu tahun”

“Dia anak yang berani ngalah dan ngalih”

“Berapa kali saja dia sering disuruh-suruh sama kakak-kakak asrama untuk sekedar membelikan makanan di saat siang hari yang menyengat dengan jalan kaki menempuh jarak yang tidak dekat. Padahal kondisi dia tidak sedang baik-baik saja”

“Tante dulu kesal sekali baca chat-chatan anak-anak asrama yang sering suruh-suruh Erina”

“Tapi apa kata dia, nggak apa-apa Bun.. aku juga ingin jalan kaki aja”

“Nggak enak rasanya kalau kaki nggak diajak untuk banyak bergerak”

“Tapi giliran hadiah milik ibunya dibuat mainan dan rusak, bukan main ledakan marahnya pada adik asramanya yang membuat hari-hari berikutnya jadi bulan-bulanan di asrama. Begitu juga dengan adik asramanya yang sering ditakut-takuti kakak-kakak asrama, dia menjadi garda depan memaksa kakak-kakak asramanya untuk mengakui kesalahannya”  

 

@@@

 

“Kamu itu butuh banget teman cewek”

“Ada Bu, Zizi. Tapi aku nggak suka sama bau badannya yang nyengat banget”

“Dari jarak lima meter aja kecium banget bau badannya”

“Memangnya badanmu nggak bau?”

“Bau, tapi kan nggak nyengat banget sama dia, Bu”

 

Sampai disini Arin benar-benar gregeten, tapi paham karakter sulungnya yang 11-12 santainya seperti suaminya ia hanya menelan nafasnya.

“Hallo!”

“Hai Erina!”

“Eh sory, siapa namamu?”

“Ampun Erina…”

“Tante, dia sering main bareng sama aku kenapa dia lupa terus sama namaku”

“Dia ingat betul wajahmu bahkan dari daerah mana saja Kak, tapi tidak dengan namamu, hwkwk..”

“Bener, Rin?”

“Hooh, memangnya kamu enggak?”

“Enggaklah”

Tiba-tiba saja ponselnya bergetar, itu adalah pesan ayahnya.

“Bu, tolong kesini aja, di ruang VW. Yang tahu seluk beluk Erina itu kamu kan, ini pak Anton mau tanya-tanya”

 

@@@

 

@@@

 

Erina yang berniatan untuk lakukan kerja sosial demi mendapatkan catatan portofolio demi mendapatkan scholarship untuk study abroadnya, justru terkena fitnah macam-macam yang membuat dirinya sering dimarahi ibu asrama hingga dijauhi kakak-kakak asrama.

Sebenarnya ini bukan kali pertamanya dimarahi gara-gara pulang kesorean, melainkan beberapa kali bahkan sering dicari-cari kesalahannya yang mengakibatkan dia sedikit tertekan. Tapi sebagai seorang anak yang tahan banting ia menjadi anak yang kuat dan tangguh.

Satu saat Erina diusir dari asramanya

 

@@@

 


 

Hiking ke Gunung

Saat liburan kenaikan kelas tiba, Erina pamit pergi berdua dengan adiknya si Haza ke gunung. Mereka janjian ketemuan bareng Reza di pertengahan. Dan kebetulan sudah lama pula Haza ajak ibunya kembali ke situs candi yang selama ini sedang ia pelajari.

Sejak jam 8 pagi, Reza sudah menunggu di depan pintu pendakian gunung lawu sambil tiduran di atas motornya. Tapi Erina dan Haza baru berangkat dari rumah jam 08.30, itu membuat Reza mengumpat kesal begitu mereka ketemu 1,5jam kemudian karena saking lamanya ia menunggu.

Begitu ketemu, mereka berunding pergi ke tempat air terjun. Tapi akal Reza mencari jalan alternative menghindari bayar tiket masuk yang memaksa Erina harus belajar melewati jalan curam, sempit dan berliku. Itu yang membuat Erina memaksa Haza harus bonceng Reza karena khawatir motor tidak kuat.

Sepanjang jalan pulang dari air terjun, ternyata Reza mengambil jalan mutar turun gunung yang ternyata mengikuti permintaan Haza untuk naik ke situs candi.

Dan sepanjang jalan ke tempat wisata, Reza selalu menawarkan diri untuk mengambilkan foto untuknya, tapi selalu Erina menolak dan tak peduli dengan dirinya. Bahkan ia sendiri sebenarnya tidak percaya diri dengan dirinya yang menggap dirinya jelek jika difoto orang lain.

Sepanjang jalan pulang, mereka merencanakan untuk ikut tracking pendakian gunung lawu bersama klub pendakiannya Erina. Reza juga membicarakan camp nya dengan anak-anak Autism dari pihak sekolah mereka saat masuk pertama kali tahun ajaran baru nanti. Bahkan ia sengaja tidak menghabiskan uang jajannya hanya untuk membelikan jajan Erina saat masuk sekolah nanti.

Dan itu, seperti cerita terakhir mereka selama satu tahun di sekolah. 

Hingga tiba saatnya Reza berangkat ke Camp di Jakarta yang ternyata jauh sekali dari apa yang dibayangkan selama ini. Itu lebih mirip balai Rehabilitasi bagi anak-anak cerdas dibanding Camp.

“Tapi kenapa???”

“Selama aku di sini, baru sekali aku ketemu anak seusiaku, itupun anak-anak yang menang lomba olimpide sains”

“Keseharianku hanya dalam ruangan yang serba putih, tanpa jendela dan tanpa ada peralatan apapun kecuali laptop dan Hpku”

“Bahkan aku tidak tahu itu pagi, siang, sore atau malam kecuali dari jam Hp dan laptopku”

Satu saat Erina mulai bertanya-tanya terkait keluhan Reza yang tidak pernah keluar kecuali ke toko buku Gramedia, dan itu hanya sekali. Selanjutnya ia tidak lagi pernah dibolehkan keluar. Sepanjang hari, sepanjang minggu. Ia mulai bosan dan kangen dengan teman-teman sekolahnya. Erina menyarankan untuk kembali pada kerjaan Codingnya, tapi beberapa saat kemudian ia justru dilarang main coding karena bagi mereka coding lah pemicu stressnya dia.

Ia mulai mengaku gila, berpikir untuk melarikan diri dari tempat itu untuk kembali ke sekolahnya meskipun hanya sehari dan setelah itu ia kembali lagi ke sekolahnya. Ia mulai bertanya-tanya tentang tiket bus dan kereta untuk kembali ke kota di mana sekolahnya berada.

Erina pun mulai bercerita pada ibunya dengan kasus yang tengah dialami Reza, yang sejak awal ibunya menduga bahwa itu adalah Badan Intelegent Negara yang sengaja merekrut anak-anak cerdas berbakat untuk dimasukkan dalam team jajarannya.

Entah kenapa, Arin pun sempat khawatir mendengar kasus yang dialami Reza di balai rehabilitasi tersebut. Bahkan ia memberanikan diri untuk bertanya langsung pada kepala sekolahnya sekalipun ia tidak ada sangkut pautnya. Tapi ia khawatir jika orang tuanya yang demikian tidak paham dan diminta nomor Hp nya, tapi justru ditanya balik untuk apa minta nomor Hpnya. Karena anggapan Reza, bahwa orang tuanya tidak suka sama dirinya karena keanehannya tersebut.

“Aaa… kenapa dikeluarkan dari sekolah?!!” keluh Erina saat tahu jika satu-satunya teman yang bisa diajak ngobrol gila ternyata justru harus pergi selama-lamanya dari sekolah itu

 

@@@

 

Hari pertama masuk sekolah ia sudah berharap-harap bakal ketemu dengan kakak kelasnya Feni. Satu-satunya teman yang mensupport sekaligus melarang dirinya masuk ke sekolah itu, hingga menuntun bagaimana proses wawancara yang bakal dia dapatkan saat ujian masuk sekolah.

Awalnya ia tak begitu kecewa ketika tahu Feni akan masuk di bulan kedua setelah tahun ajaran baru karena tidak naik kelas. Tapi belakangan ia kecewa ketika tahu ternyata justru Feni bolak-balik ke psikiater karena dianggap adanya gangguan mentalnya yang akhirnya justru pindah sekolah.

Awal tahun yang baginya cukup berat, tapi untungnya selain Feni, masih ada Mery yang menemaninya sepanjang perjalanan semester satu. Sekalipun baginya ia merasa dikucilkan di lingkup pertemanan kelas.

 

 


 

Dewa penyelamat 

 

Hampir lima hari Erina tidak pernah muncul di sekolahnya, ini membuat Roddy yang pernah mendengar percakapan Erina dengan seseorang tentang niat dirinya keluar dari sekolah hanya ingin menggeluti dunia Arsitektural art pun mulai curiga di hari kelima saat Erina di rumahnya demi mengikuti Festival Arsitektur anak-anak Mahasiswa dari beberapa kampus.

Sebagai anak Homeschoolers murni, ia tidak pernah merisaukan dunia sekolah. Karena baginya, dunia itu adalah tempat yang seru untuk mempelajari banyak hal. Dari dunia arsitektur, gambar, matematika murni hingga dunia sains. Sementara baginya sekolah adalah belenggu untuk bisa melakukan itu semua. Untuk itulah ia tetap fun meskipun dianggap aneh dan dijauhi teman-teman kelasnya karena perbedaan sudut pandang dirinya tentang banyak hal. 

Malam itu Erina sibuk mengerjakan tugas sekolahnya yang tersisa. Ia berusaha menuruti apa kata ibunya agar tidak menyisakan tugas sekolah jika dirinya benar-benar ingin keluar dari sekolah. Tahu-tahu Roddy kirim Chat;  

“Kenapa pindah sekolah kok nggak ngomong?”

“Lah, kenapa juga mesti ngomong ke kamu”

“Kita kan teman”

“Siapa bilang kita teman”

“Oh.. begitu ya”

“Tapi kan kalau nggak ada kamu nggak seru” chatnya lagi dengan emoticon tangis

“Lebay!”

“Lalu apa Haza jadi masuk ke sekolah ini?”

“Sepertinya tidak,” jawab Erina sambil ketawa-ketiwi

“Kenapa senyam-senyum sendiri kamu?” tanya ibunya yang datang kemudian memastikan putrinya beneran sedang kerjakan tugas

“Soal Roddy kah?”

“Haha… iya bu!” tawanya ngakak sambil kembali balas chat-chatannya

“Ibu baca, dia itu aslinya naksir sama kamu”

“Hanya saja kamu bukan tipikal cewek yang mudah ditakhlukkan”

“Woo iyalah! Gila apa, aku bukan tipikal cewek gampangan yes?! Jadi, dia nggak masuk kriteria cowok idealku”

“Ditambah lagi pernah disemprot adekmu”

“Haha..!”

“Jadi, mikir seribu kali kalau dia mau confess ke kamu”

“Lagipula, kenapa juga kamu mau diajak makan mereka berdua”

“Yak!! Karena mereka kan juga temanku, bu..”

“Enggak begitu yang namanya teman, Non…”

“Ya terserah kamu lah, pusing ibu dengar ceritamu”

“Pantes aja kamu sering disemprit sama Willy”

 

@@@

 

Di awal masuk semester Erina mulai galau karena ternyata satu-satunya teman yang ternyata selama ini bisa diajak kemana-mana keluar dari sekolah. Sementara di kelas tidak ada satu teman pun yang bisa diajak ngobrol. Ia benar-benar merasa sendiri dan tertekan. Satu-satunya hiburannya saat itu adalah lingkungan pertemanan Ekstrakurikulernya Air Soft Gun yang rata-rata anak RPL laki-laki seangkatan dengannya. Itulah salah satu alasan yang membuat ia masih bisa bertahan di sekolah tersebut. Ia masih punya teman ngobrol dan bercanda sekedar melepas penat, meskipun ia tahu di depan mata tugas menumpuk makin banyak.

Sebagai anak gifted visual spatial, selain imajinasinya yang sangat liar dan luas, di lingkungan sekolah ia menemukan banyak sekali teman-teman perempuannya yang curhat dengan berbagai masalah dari depresi diri sendiri hingga keluarga dan pertemanan. Ia adalah anak yang memiliki problem solving yang cukup bagus di satu sisi, namun sangat buruk di sisi pemecahan masalah tugas sekolah yang sebenarnya ia bisa mengerjakannya. Namun karena terdistraksi dengan kondisi masalah pertemanan, ini menyebabkan ia benar-benar frustasi menghadapi keduanya. Dan di waktu itu pula pikirannya nge blank bingung harus mengerjakan apa dan bagaimana hingga menyebabkan gangguan tidur berhari-hari bahkan berminggu-minggu.

Satu saat ia membuat status di salah satu sosial medianya angka satu hingga dua ribu. Ini mengundang perhatian teman-temannya yang tidak ia blokir.

“Are you right, Erina?”

“Yes, right. What happen?”

“No, nothing”

“Please told me if you any some problem”

“Aku bisa menjadi therapis jika kamu mau, aku aman”

“Oh, tidak ada apa-apa… aku hanya nggak bisa tidur aja selama beberapa minggu ini”

“What??”

“Kenapa?”

“Tidak tahu”

“Cerita saja jika kamu mau, aku aman”

“Oh, oke!”

 

Pagi itu ibunya telphon jika mereka hendak menjemput, siap untuk pamitan boyong pulang.

Tiba-tiba sampai di pertengahan jalan, Erina telphon jika beberapa hari ini ia mimpi jika ada tangan-tangan hanya berkabut putih yang ebrusaha menarikku kembali. Dalam mimpi itu ia mendengarkan suara, “Sebaiknya kamu agak lama di sini, nani daripada kamu kecewa ke depannya”

“Nih, ayah…! Gimana anak ini”

“Terus kita harus bilang apa ke gurunya coba?”


 

Badai di siang hari

 

Ketika tahu keluarganya bermasalah dengan keuangannya, Erina mulai ancang-ancang antara keluar dari sekolah atau melanjutkan PKLnya di studio luar sekolahnya. Berhari-hari ia mulai berhemat dengan makannya hingga badan pun tampak terlihat lebih kurus dari hari-hari sebelumnya.

Tapi sebagai anak yang dulu sering membantu keuangan teman-temannya, ia mulai sering mendapatkan bantuan makanan dari teman-temannya. Dari sekedar makan pagi hingga makan siang hampir tiap hari. Ibunya yang mendengar cerita tersebut tiap hari sebenarnya merasa tidak enak, tapi bagaimanapun kondisi saat itu mereka benar-benar harus berhemat dengan keuangannya demi bisa makan.

Di ujung semester, keluarganya kembali datang untuk mengambil raport. Tapi ternyata rapot ditahan karena ada satu tugas devisi persiapan PKL yang belum berhasil ia selesaikan. Ini membuat ayahnya spontan naik pitam saat itu juga.

“Sebenarnya apa saja sih yang kamu kerjakan di sekolah?”

 

 

@@@

 

Di saat mereka tengah bercocok tanam di ladangnya, gairah Mendengar lagu Mahameru terbersit ingin mendaki gunung.

“Kapan kita bisa naik gunung lagi, Bu?”

“Kamu ini, kondisi masih seperti ini masih mau main-main”

“Aku kan kemarin dapat uang dari Bude-bude, cukuplah mesti”

“Sanalah cari teman kalau mau”

“Boleh??”

“Boleh, asal nggak minta uang”

“Oke!”

“Kira-kira ajak Reza mau nggak ya?”

“Coba saja, siapa tahu mau”

“Oke”

Beberapa saat kemudian

“Wuih! Willy mau katanya”

“Oh ya?”

“Coba cari teman lainnya, siapa tahu mau”

“Oh, iya! teman-teman Air Soft Gun”

Dua hari kemudian ia mulai menjaring beberapa teman dan membuat grup di medsos sebagai persiapannya hingga muncul chat Roddy,

“Er, boleh nggak aku ikut muncak”

“Bukannya kau anak Osis ya? Nggak sibuk kau?”

“Boleh apa enggak!”

“Boleh”

“Beneran mau ikut naik?”

“Insya Allah”

“Fifty-fifty sih…”

“Berarti nggak pasti?”

Satu jam pertama Beberapa jam kemudian Erina kejar tugas persiapan memasukkan lamaran magangnya di sebuah Studio.

 

“Kenapa kamu nggak jadi ikut naik ke Gunung?”

“Came on, I’m Chinese”

“Chinese new year”

“Oh.. oke”

Erina nyengir

“Hehehe…”

“Kenapa kamu?”

“Nggak apa-apa, Bu”

Seketika itu nyali Erina seperti meluncur dari tebing yang cukup tinggi.

“Mengapa manusia mesti ada pengkotak-kotakan begitu ya Bu?”

“Maksudnya?”

“Ya… katakanlah, aku jawa lah, dia china lah, dia arab lah”

“Bukannya mereka sudah sama-sama tinggal di Indonesia puluhan tahun ya?”

“Ya… begitulah kurang lebih dari dulu nggak kelar-kelar”

“Kenapa emangnya?”

“Willy?”

Erina hanya nyengir sekilas dan kembali ke kamarnya menekuri tugasnya.

 

@@@

 

 

 

 

 

@@@

 

 

 

 

  

“Ya begitu itu tuh..”

“Disuruh apa mau-mau aja sama temanmu”

“Sudah deh, jangan hiraukan dia lagi. Percuma anak laki semacam itu, Bukan tipikal lelaki baik-baik”

“Siapa yang menghiraukan dia bu?”

“Itu sikapmu”

“Karena dia suka deketin aku bu”

“Ya hindari ajalah”

“Sudah Bu.. tapi dia deketin aku terus”

“Ya cuekin aja”

“Sudah, dianya yang senyum-senyum sendiri kalau lihat aku”

 

Dan semenjak ibunya berpesan demikian, Erina benar-benar berhenti balas chat-chatan Roddy. Hari-hari berikutnya Roddy menjadi orang yang lebih utama memantau status sosial medianya Erina.

Saat pertama kali Erina masuk sekolah, ia sering pura-pura tak melihatnya. Bahkan isi chat pun ia arsipkan demi mental health dia. Ia ingat betul bagaimana pesan ibunya pada dirinya yang sering mendapat perhatian dan harapan Roddy sementara tetap jalan hingga pacaran di depannya.

“Se usia kalian itu, luaskan betul dunia pertemananmu, kegiatan sosial masyarakatmu, sampai kegiatan di luar sekolah. Nanti tiba saatnya kamu jelang usia menikah, tinggal pilih tuh lelaki mana yang valuenya pas denganmu yang sudah terangkat naik”

“Nanti begitu tiba saatnya kamu menikah, enak.. nggak ada tuntutan dan tekanan kamu harus cari nafkah atau tidak, karena minimal lelaki itu sayang saya sama kamu. Kalau dia sayang sama kamu kan sudah otomatis dia nggak bakal menelantarkan kamu cari nafkah sendiri untuk anak-anakmu”

“Ohhh…”

“Percaya ibu deh, mau ganteng seperti apapun kalau value nggak ada, seiring berjalannya waktu wajah yang ganteng bakal berubah jadi jelek kalau ekonominya keteteran”

“Haha.. ibu tuh ada-ada aja”

 

Malam itu Chika yang baru pulang dari Ekstrakurikuler Air Soft Gun tiba-tiba lihat Mika duduk sendirian di Gazebo.

“Hai, sedang apa kamu di sini sendirian malam-malam”

“Tunggu Bang Roddy”

“Oh..” jawab Erina seketika hendak pergi, tapi keburu Roddy datang dan berdiri tepat di hadapannya dengan jarak tidak lebih dari 30cm membuat Erina langsung mundur selangkah karena ketika berdiri di hadapannya, ia berdiri tepat di dadanya yang membuatnya risih. Meski Erina berusaha mundur, tetap saja Roddy maju mendekatinya hingga dua langkah membuatnya kesal menyingsingkan rok sekolahnya, dan…

“Dduakkkk!!!” tendangan kaki itu mendarat di paha bagian atas meskipun yang diincar bagian kemaluannya karena saking kesal dengannya. Itu membuat Roddy tertawa terkekeh-kekeh melihat Erina gagal menendang dirinya setelah tempo hari sempat ditendang pantatnya dari belakang.

“Minggir! Aku mau pulang!”

Sementara Mika pura-pura tak melihat adegan itu di depannya saat Erina pergi meninggalkannya tanpa pamit dengan rasa kesal.

“Tahu gitu tadi, aku nggak perlu menyapamu” pikir Erina cemberut kesal melayangkan pandangannya sekilas pada Mika yang tetap cuek melihat layar Hp nya.


 

Kala Death Note Murka

 

Tiba-tiba saja ada pesan masuk di kotak pesan smartphone Willy. Itu adalah pesan Erina dari ibunya yang marah-marah karena tugasnya keteteran. Lelaki sipit dengan kacamata tanpa frame itu segera menutup layar monitor laptopnya dan memasukkannya ke tas hingga bergegas keluar ruangan.

Willy segera masuk ke ruangan dimana siswa animasi 2D sibuk mengerjakan tugasnya. Ia melihat Erina duduk sendiri di pojok meletakkan kepalanya di atas meja dengan tumpuan tangannya yang tertekuk dan duduk di sebelahnya.

Melihat Erina tanpa reaksi, Willy melongok wajah Erina dari bawah membuat Erina kaget mengangkat wajahnya dengan matanya merah berair. Ia hanya tertawa campur dengan air matanya yang ia usap berkali-kali.

“Kamu itu dimarahi seperti itu kok masih bisa-bisanya tertawa”

“Lha mau gimana”

“Ya dikerjakan aja sebisanya”

“Nggak bisa, pikiranku kacau susah konsentrasi”

“Ya mulai aja sekarang kerjakan, aku tunggu”

“Lama lho”

“Nggak apa-apa”

“Memangnya kamu nggak ada tugas?”

“Ada, tapi bisa aku kerjakan nanti kok”

“Ya jangan begitu”

“Sudah, ayo kerjakan sekarang”

Tanpa ba bi bu lagi Erina seperti ketakutan dan tidak enak ketika suara anak lelaki itu sudah mulai tegas. Ia segera mengusap wajahnya yang sembab campur basah air mata membenahi kursinya dan kembali membuka laptopnya. Sementara Willy mulai mengambil posisi duduk paling nyaman dan membuka game di smartphonennya. Saat itu pula Erina seakan tak berani berkutik melakukan sesuatu lain di layar monitornya kecuali tugasnya. Bahkan teman-teman Erina yang biasanya suka ajak ngobrol tak berani menyambangi dirinya saat ada Willy di sebelahnya karena reaksi Erina yang hanya tersenyum melambaikan tangan sekilas.

Meski begitu ia tak merasa terbebani karena akhirnya ia menemukan alarmnya lagi yang membantu mengembalikan konsentrasinya di saat ia dikejar dateline tugas dari guru-guru mata pelajaran.

Dari menit ke menit telah berlalu, tapi Erina tetap merasa terjaga karena ada alarm di sebelahnya yang membuatnya tidak enak jika ia sedikit saja leha-leha seperti biasanya. Hingga ruangan mulai sepi dan jarum jam pendek berpindah ke dua angka setelahnya.

“Ahhh…!! Yehhh! Akhirnya kelar juga”

“Sudah?” tanya Willy lagi

“Ada tugas yang lainnya lagi nggak itu?”

“Hehe… masih empat mata pelajaran lagi yang belum”

“Ampun Erina, pantesan ibumu marah seperti itu”

“Hehe…”

“Tugas yang terdekat, apa tuh yang perlu dikejar”  

“Ya ini, Cik”

“Ya sudah, kerjakan tugas lainnya lagi”

“Tapi aku harus pulang, mau makan”

“Mau nggak makan bekalku”

“Lah, terus makan siangmu?”

“Nggak, nanti aja”

“Nggak bisa begitulah”

“Kalau kamu mau, aku ambilkan”

“Nggak ah, aku pulang aja”

“Oh.. oke”

“Nanti ikut Air Soft Gun nggak?” tanya Erina sembari membereskan meja dari barang-barangnya

“Sorry, aku masih ada tugas yang perlu diselesaikan”

“Lah, terus??! Dari tadi kamu?”

“It’s not problem, bro”

“Kenapa nggak bilang dari tadi?”

“Yaa…hh?!”

“No problem, its okey”

Siang menjelang sore itu

 

 

 

   

 

Wilson di Air Soft Gun

Saat jam Ekstrakurikuler Air Soft Gun tiba, Erina duduk sendiri di atas tumpukan material bebatuan. Wajahnya tampak pucat karena seharian belum makan. Melihat pemandagan itu, tiba-tiba Wilson datang. Seperti biasa, ia berdiri tepat di hadapannya, hingga membuat Erina kesal karena tepat di hadapan kemaluannya. Rasa-rasanya pingin sekali ia menonjok, karena saking kesalnya sudah diingatkan berulangkali jangan berdiri tepat di hadapannya saat ia duduk, tapi itu selalu terjadi. Kali ini Erina tak menghiraukannya.

“Ayok makan!”

“Nggak!”

“Ayok makan!”

“Nggak! Aku nggak punya duit”

“Aku belikan deh,”

“Enggak, aku lagi malas makan”

“Ayok makan, atau aku tonjok lagi kau”

Spontan Erina melirik kesal ke atas.

“Aku lagi malas makan”

“Kalau kau pingsan lagi siapa yang mau nolong?”

“Enggak! Aku nggak akan pingsan”

“Bohong!”

“Ayok makan!”

“Mau ku tonjok lagi apa kau?” katanya yang seketika ditarik begitu saja tangannya membuat dirinya yang sedang berdiri di atas batu nyaris saja terjatuh, tapi seketika ditarik begitu saja oleh lelaki sipit berkacamata itu.

“Kau itu kalau dikasih tahu jangan ngeyel!”

“Sudah tahu sering masuk UKS, masih aja ngeyel” serunya begitu keduanya duduk di kantin.

“Paket ini aja, uangku cuma segini” kata Wilson ngedumel

Erina hanya cengar cengir menahan tawa memikirkan bagaimana karakter Wilson yang tampak kasar namun sebenarnya ia penuh welas asih.

“Siapa juga yang suruh belikan makan” gerutunya lirih takut terdengar

Bagi Erina, Wilson ini satu-satunya teman nyaris seperti ibunya yang selalu menasehati dirinya selama penyesuaian diri di sekolah formal, sejak pertama kali hari-hari di sekolah hingga hari ini. Jadi, sekalipun sikapnya kadang terlihat kasar, tapi sebenarnya ia sangat care dan aware terhadapnya.

 

@@@

 

 

 

Hari-hari berikutnya saat Roddy dan Erina berpapasan, Erina pura-pura tak melihat, bahkan saat Roddy berusaha menyapanya, Erina berusaha menahan diri untuk tidak bereaksi seperti sebelum-sebelumnya yang ramai.

“Apakah itu artinya dia cemburu?” pikir Roddy

“Kalau dia cemburu, kenapa signal yang aku kirim ke dia tidak pernah dia balas dengan baik”

“Justru mengenalkanku pada Mika?” pikir Roddy lagi dengan wajah datar

Seperti hari-hari biasanya, Erina duduk sendiri di ruang studio animasi sembari serius dengan layar laptopnya. Tiba-tiba Willy datang dan duduk di sebelahnya.

“Gimana tugasmu?”

“Hm, kurang sedikit. Matematika aja kok”

“Kenapa nggak pakai AI aja?”

“Ngapain aku sekolah di sini kalau kerjakan tugas pakai AI”

“Oh… good lah”

“Tapi kalau waktunya mepet kan mending pakai AI, daripada nilaimu jelek lagi”

“Nggaklah” jawab Erina membuka laptopnya sendiri

Saat itu Roddy turun dari tangga, ia melihat sekelebat bayangan Erina yang duduk bersebelahan dengan Willy mengambil alih laptop Erina dan mulai serius mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Sementara Erina yang tidak sengaja membalas tatapan Roddy dari luar, kembali menjawab kata-kata Willy yang membantu mengerjakan tugasnya.   

 

@@@

 

 


 

Kedatangan Reza ke Sekolah

 

Semenjak dirinya naik ke kelas dua, letak kelasnya yang ada di lantai dua tidak ada tempat duduk di teras tersebut yang membuat dirinya harus duduk nglesot di teras depan kelas yang lebarnya tidak ada dua meter. Pagar teras tersebut terdapat lubang-lubang persegi berukuran 20cm x 40cm yang membuat Erina suka iseng memasukkan kepalanya ke dalam lubang-lubang tersebut. Ia merasa seru aja ketika memanggil teman-temannya dari balik lubang tersebut membuat beberapa orang yang tidak jeli kadang kebingungan mencari-cari sosok suara itu, sementara ia tertawa cekikian melihat temannya seperti orang bego yang clingukan.

Kadang sembari menjawab telephone ibunya, ia meletakkan dagunya di dalam lubang tersebut sambil nglesot di lantai depan kelas.

Ia memang cenderung tidak bisa diam dan penasaran dengan segala uji coba tubuhnya melakukan sesuatu yang membuat Nova ketawa geli hingga iseng mengambil gambar lewat ponselnya dan mengirimkan gambar tersebut pada Reza.

“Reza, lihat! Erina mau bunuh diri” chat itu terkirim ke Hp Reza membuatnya kaget.

“Cucu yang bodoh, ngapain kamu mau bunuh diri segala?!”

“Dasar nggak tahu diri! Tugas itu dikerjakan, bukannya malah mau menghilangkan diri” Umpatnya bertubi-tubi dengan mengirim foto balik membuat Erina celigukan bingung mencari-cari siapa gerangan yang mengambil foto dirinya.

Tak ada satu orang pun yang ia kenal saat itu, kecuali Nova yang berjalan menjauh menuju ke tangga lantai tiga.

“Hei Nova! Kau yang ambil fotoku kah?!” teriak Erina membuat Nova tertawa cekakaan

“Gara-gara kau, aku dimarahi Kakek!”

Tak lama dari itu, tiba-tiba saja Reza telphon hingga ditunjukkan ponsel itu membuat Reza seketika telphon balik sekedar untuk memastikan Erina. Begitu tahu Erina mengangkat telphon, cepat-cepat Nova balik sengaja ingin menguping pembicaraan itu.

Tiba-tiba saja terdengar hamburan umpatan kemarahan seperti beberapa bulan yang lalu saat mereka ketemu membuat Nova menahan suara tawa geli terkekeh-kekeh di sebelahnya.

“Gini deh, akan aku percepat ke sekolah”

Erina berisyarat pada Nova, ia keder kebingungan apa yang mesti dijawab saat Reza memakinya karena ingin melarikan diri dari dunia.

“Gini aja deh, akan aku percepat datang ke Sekolah”

“Kalau enggak, saat liburan nanti kita pergi ke gunung bareng-bareng aja lagi”

“Halah! Kelamaan nunggu aku liburan masih dua bulan lagi”

“Tapi kau yang traktir kita ya?!”

“Iya! iya…!”


 

Di sidang Guru BK, Wali Kelas dan Guru Jurusan

 

Untuk bertahan di sekolah itu, rasanya usaha orang tuanya sudah lebih dari sekedar kata cukup. Dari riwa-riwi menjenguknya, memberikan pemahaman ke ibu asrama, kakak asrama, hingga wali kelasnya. Bukannya Arin semerta-merta minta anaknya dipahami dan dimaklumi. Tapi setidaknya tidak terjadi miskomunikasi antara guru, orang tua, dirinya hingga teman sebaya.

Karena dari kata-kata yang pernah dilontarkan Erina pada wali kelasnya, seakan sekolahnya ini tidak memberikan kontribusi banyak pada perkembangan dirinya selama ini. Dan ini membuat Arin merasa ketampar dihadapan Wali kelasnya. Karena nyatanya 60% tugas sekolahnya, termasuk tugas produksi sama sekali belum dikerjakan.

Tapi dari karakter gurunya yang masih sangat muda dan mau memahami Erina, justru menduga tugasnya ini sebenarnya sudah dikerjakan. Tapi ia tidak berani mengumpulkan karena dianggap jelek dan tidak sempurna. Itulah mengapa menjelang penerimaan raport, Arin mendapat panggilan dari sekolah untuk menemui guru BK dan Wali kelasnya.

Begitu menjelang jadwal pertemuan, Arin sudah mulai merasakan sakit perut, sariawan dan gejala stress lainnya membayangkan bagaimana dan apalagi yang perlu dilakukan untuk putri sulungnya yang sejak anak-anak selalu ada saja masalahnya.

Sementara Erina tetap merasa aman damai sentosa sekalipun dimarahi orang tuanya maupun ibu asrama karena sering melewatkan tugas ngaji dari asrama karena sering pulang terlambat.

 

@@@

 

Ditengah sidang ketiga guru, yakni guru BK, Wali kelas dan guru Produksi yang menjelaskan laporan tugas Erina  60% belum dikumpulkan, termasuk tugas Produksi yang dianggapnya kartu truff jika tidak dikerjakan membuat Arin teringat keluhan sulungnya saat bercerita dalam telphon.

 

“Maaf boleh menyela sebentar kah, Pak?”

“Sebenarnya sudah berkali-kali kami ingatkan untuk mengatur jadwal sekolah dan mengerjakan tugas-tugasnya, tapi karena kami jauh, jadi tidak tahu apa yang terjadi yang sebenarnya di lapangan”

“Erina ini anaknya terlalu care dan aware sama teman-temannya, jadi kadang ia pulang hampir malam hanya untuk mendengarkan curhatan teman-temannya”

“Nggak itu kakak kelas maupun satu angkatannya”

“Hampir setiap saya telphon, dia selalu mengeluhkan bagaimana ia harus mendengarkan teman-temannya curhat, sementara ia punya empati besar terhadap mereka”

“Sementara ia sendiri merasa tidak ada satu orang temanpun yang mau mendengarkan curhatan dirinya”

“Untuk itulah, daripada ia tidak punya teman. Ia rela mendengarkan curhatan teman-temannya berjam-jam, sementara ia tidak enak jika harus memutus obrolan demi mengerjakan tugas-tugasnya”

“Saya rasa itulah mengapa tugasnya banyak yang keteteran”

“Karena maaf Bu, basis sekolah kita kan memang Industri oriented”

“Jadi anak-anak memang dipersiapkan untuk bisa kerja di dunia industri”

“Yang namanya dunia industri itu penuh dengan target dan tekanan”

“Jadi ketika anak tidak mengerjakan tugas-tugasnya, dianggap tidak bisa mengikuti kurikulum sekolah. Yang pada akhirnya anak ini bisa tidak naik kelas, karena ia harus mengulang semua materi yang diajarkan sampai ia benar-benar siap bersaing di dunia kerja”

“Oh..”

“Jadi Erina..”

“Bilang saja sama teman-temanmu itu, kalau mereka menyuruhmu untuk mendengarkan cerita mereka. Bilang saja, aku harus mengerjakan tugas-tugasku”

“Kamu harus mengutamakan diri kamu dulu”

“Karena kamu di sini kan untuk belajar”

“Iya Pak, baik Pak” jawab Erina cengar-cengir seolah tanpa beban.

Sementara wajah ibu dan ayahnya terlihat menarik nafas lelah membayangkan bagaimana anak satu-satunya yang baru dilepas di sekolah umum hanya baru semester satu saja sudah sering buat ulah.

 

@@@

 

Saat selesai bertemu dengan ketiga guru tersebut, Erina mendapat tumpahan kemarahan dari ibunya lewat telephone hingga sekedar pesan singkat hingga voice note, membuat Erina yang awalnya hanya happy-happy saja saat disidang ketiga guru, namun seketika ambles begitu dimarahi ibunya.

Saat itu jam Ekstrakurikuler dimulai. Erina yang datang lebih awal di ruang aula duduk di sudut ruangan di atas tumpukan meja dan kursi dengan mata sembab meratapi handphonenya. Wilson yang membaca ekspresi Erina yang tidak seperti biasanya ramah dan selalu riang curiga.

“Kamu kenapa Er?” tanya Wilson memandang curiga wajah Erina yang makin ditenggelamkan di antara kedua lututnya yang tertekuk menyembunyikan wajahnya yang sembab. Bagaimanapun Erina merasa jatuh terperosok saat membaca chat-chatan ibunya yang sudah luar biasa marah yang merasa gagal memahamkan bagaimana dirinya harusnya selama ini.

“Hei! Kenapa kamu?!” tanyanya lagi yang tidak dijawab namun justru membuat suara tangis Erina makin terdengar jelas di balik kedua lututnya yang tertekuk. Melihat handphonneya masih terbuka, seketika itu direbut paksa dan dibaca semua chat-chatan ibunya yang meledak marah.

“Dasar, orang tua Abuse. Kalu aku ketemu bakal ku tonjok dia” cetusnya kesal berusaha meredakan tangis Erina yang makin menjadi-jadi.

Tiba-tiba saja Mozart datang dengan menyalakan musik romantic keras membuat Wilson langsung naik pitam direbut paksa dan dilempar keras.

“Ctakk! Prakkk!!”

Batangan tipis itu terlempar jauh di sudut aula hingga layarnya pun pecah membuat Mozart seketika diam merasa bersalah sekaligus menahan marah.

“Sudah tahu ada orang sedih, bisa-bisanya kau nyalakan music sekeras itu”

“Gila apa kau ini?!” teriaknya memicingkan mata menatap tajam pada Mozart yang kembali memungut Hp nya dengan perasaan kesal yang tertahan melihat layarnya remuk.

 

 

  

 

 


 

Masuk kemari untuk mencari teman

 

Seperti hari-hari biasanya, Erina tak bisa toleransi dengan telinganya yang terlalu sensitive mendengarkan teriakan teman-temannya di dalam kelas. Ia memilih duduk sendiri di luar kelas sembari menyapa orang-orang yang lewat di depannya. Bukan hanya siswa dan guru yang ia sapa, melainkan ada satpam dan office boy yang ia sapa dan menjadi teman ngobrol di saat ia boring di sekolah.

Tiba-tiba seorang murid dengan memakai masker dan kacamata frame hitam memakai pita di sebelah jilbabnya lewat di hadapannya.

“Hai, namamu siapa?” sapa Erina membuat gadis itu celingukan menoleh bingung

“Oh, aku Zizi”

“Boleh minta kontakmu kah?”

“Hah?!!” lagi-lagi cewek itu menoleh bingung, tapi ia segera membuka handphonenya dan keduanya mulai bertukar nomor ponsel

Seorang anak lelaki datang menyapa, ia adalah teman ekstrakurikuler.

“Hai, hallo Wilson”

“Hai,” balas lelaki sipit berkulitan tipis dengan wajah sedikit kaku itu melintas.

Erina kira anak lelaki itu akan berlalu begitu saja, namun ternyata ia berhenti dan menyapa keduanya.

 

“Apa katamu Erina?”

“Yang benar saja, kamu masuk kesini dengan biaya puluhan juta hanya untuk mencari teman?”

“Iya, terus kenapa?”

“Dasar Bodoh!”

Erina celingukan bingung merasa kata-katanya tidak ada yang salah.

“Buat 3D itu kan mudah, dipelajari sendiri aja bisa” katanya terdengar sombong membuat beberapa orang temannya seketika jlebb diam.

“Ya nggak salah sih… tapi sekolah di sini itu kan mahal loh Erina,”

“Iya, tahu! Terus kenapa?”

Plakkk!! “Ah…! Bodohnya kamu Erina,”

“Lah, memangnya kenapa?”

“Yak??!!”

 

 


 

Jatuhnya Ekonomi Keluarga

 

Pagi itu dengan cueknya ia berangkat ke sekolah dengan memakai jaket kuning milik almarhum kakeknya waktu kuliah dulu. Itu adalah jaket terkeren yang pernah ia miliki. Dengan mata bengkak dan wajah kuyu ia cuek pergi ke sekolah dengan tetap menyapa banyak orang yang ia kenal seperti hari-hari biasanya.

Saat itu ia melihat Nova datang dari arah kiri dirinya, tapi ia sengaja tidak menyapa karena rasanya malas jika harus ditanya macam-macam mengapa matanya bengkak.

Bahkan saat ada teman lelaki yang menyapanya, enteng Erina berkata;

“Hai, Hallo…” lalu pergi begitu saja

Saat ia mulai masuk area sekolah, beberapa teman dan adik kelasnya mulai menyapa dirinya. Bahkan ada yang sengaja mengikutinya, tapi ia tak menghiraukan itu, tapi anak lelaki itu tetap mengikutinya dari belakang.

“Kenapa kamu menangis?”

“Dimarahi ibumu lagi kah?”

“Nggak!”

“Terus?”

“Berantem”

“Berantem??”

Tiba-tiba Willy yang sudah tahu masalahnya sejak malam minggu sebelumnya langsung menarik perhatian Erina untuk mendekat ke arahnya.

“Rin!”

Tapi ia hanya tersenyum dan menghindari bredelan pertanyaan temannya yang sudah mengikutinya sejak dari pintu gerbang depan.

“Sudah makan?”

“Aku bawa bekal kok”

“Oh.. ya sudah makan dulu sana”

“Mau aku temani nggak?”

“Nggak, nggak usah”

“Bener?”

“Hm!”

Willy pergi meninggalkan Erina sendiri di sudut studio, dimana anak-anak animasi biasanya asyik ngobrol sambil makan di ruangan itu. Melihat gelagat Erina menundukkan wajahnya di balik pet jilbab putihnya, Willy nggak yakin jika cewek itu akan baik-baik saja. Ia mengirimkan pesan lewat ponselnya

“Beneran nih, kamu nggak apa-apa?”

“Hm, nggak apa-apa kok” balasnya cepat.

Tapi tak bisa dipungkiri air matanya lagi-lagi jatuh, hingga belum sempat menyalakan laptop  cepat-cepat ia keluar dan kepergok Willy yang berdiri di depan pintu kaca melihat ponselnya.

“Mau kemana?”

“Kamar mandi” suaranya menahan tangis

Diam-diam Willy mengikuti langkah Erina dan berdiri lama menunggu di depan kamar mandi, hingga saat Erina keluar kaget mendapati Willy di depan kamar mandi dengan wajahnya yang basah air dan mengusap-usapnya dengan lengan baju batiknya. Tiba-tiba saja Roddy melintas di depan mereka. Lirikan dan sorot mata Roddy pada keduanya sedikit agak curiga melihat mata Erina yang sembab keluar dari kamar mandi. Tapi Erina tak peduli dengan kehadiran Roddy saat itu yang hanya menyapa Willy sekilas.

Saat mereka berjalan berdua, Roddy hanya menoleh sekilas pada keduanya memasuki ruang studio Animasi.

“Makan dulu aja” kata Willy saat mereka duduk berhadapan di sofa sudut Studio

Saat Erina mulai membuka bekal sarapan paginya, Willy mulai menceritakan bagaimana dulu keluarganya yang punya perusahaan tiba-tiba bangkrut karena hutang. Dan demi menutup hutang serta gaji karyawan akhirnya keluarganya harus menjual tanahnya demi menutup itu semua. Hingga kini keluarganya harus membayar sewa tanah dari tahun ke tahun demi perusahaannya agar tetap bisa berjalan.

Cerita Willy membuat raut wajah Erina pun kembali terkesima seakan menyingkirkan sejenak rasa nyeri yang dirasakannya saat itu.

“Dan nyatanya sampai saat ini kami masih bisa hidup dengan baik”

“So, wake up”

“Jangan buang-buang waktumu dengan bersedih”

“Karena kamu hanya butuh bangun dan kembali berjalan saat kamu terjatuh”

“Ya, hanya itu yang bisa kamu lakukan saat ini”

“Karena semua sudah terjadi dan tidak bisa diulang lagi” kata Willy membuat raut Erina tampah lebih cerah dari beberapa menit sebelumnya.

 

@@@

 

Melihat kejuaraan lomba tembak, ibunya hanya menahan nafas merasakan bagaimana  putrinya selama ini mempertahankan cabang olah raga itu di sekolahnya namun sekalipun tidak pernah diberikan kesempatan mengikuti lomba tersebut dengan bermacam alasan.

“Nak, kamu kok nggak ikut lomba”

“Nggak boleh bu, nggak tahu kenapa?”

“Terus untuk apa kamu bertahan di situ kalau hanya ikut lomba seperti itu saja tidak dibolehkan”

“Nggak tahu”

“Ya sudah, kamu fokus ke portofoliomu aja. Lagipula itu juga untuk ekstrakurikuler kan?”

“Iya sih,”

Sore itu Erina keluar dari group ektrakurikuler soft gun. Tiba-tiba saja Nino nge chat

“Kenapa kok keluar dari grup?”

“Nggak apa-apa, pingin keluar aja”

“Pasti ada sesuatu”

“Nggak ada, tenang saja”

“Aku nggak percaya kamu, please! Cerita aja, aman sama aku”

“Nggak usah”

“Pokoknya kamu harus cerita”

“Kapan mau ngobrol”

“Besok sore kau ada kelas kah?”

“Nggak ada”

“Oke”

 

Tiba-tiba saja

 

   

 

 

  menimbulkan beberapa pertanyaan teman-temannya, terutama teman jurusan RPL yang rata-rata anak lelaki.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar