Orang bilang… cerdas istimewa itu asyik
Orang bilang… Indigo itu keren
Tapi menurutku dua-duanya membuat
hidupku seperti hidup dalam kubangan dunia aneh yang berbeda dari kebanyakan
orang.
Tapi apapun kata mereka,
Ketika keluarga mencintaiku apa adanya,
itu lebih dari sekedar kata cukup buatku
·
Tokoh utama = Erina
·
Roddy = Star Boy
·
Reza = anak yang
dianggap autism
·
Zizi (sahabat Erina)
·
Fani (sahabat Erina
sebelum sekolah)
·
Viola = kekasih Roddy
I
·
Mika = kekasih Roddy
II
·
Wilson = penolong
Erina
·
Willy = therapis Erina
di saat kehilangan teman
·
Mozart = Cindo yang
suka Erina
·
Ayah = Dodi
·
Ibu = Arin
·
Adik 1 Erina = Haza
·
Adik 2 Erina = Ara
Erina adalah sosok
pribadi yang selalu terkontrol perilakunya. Ibunya selalu mengingatkan akan apa
yang terjadi dari dirinya. Ya, dia adalah anak Gifted sekaligus Indigo
Siapa Aku
Erina yang sejak kecil terkenal ibunya
suka protes dan mengkritik apapun yang dilihat maupun dialaminya membuat orang
tuanya berpikir bahwa ia sudah salah pola asuh pada sulungnya yang selama ini
menjalani Sekolah ala Homeschooling. Selain juga seorang negosiator ulung yang
selalu mengalahkan argumen-argumen orang tuanya disaat ia memiliki keinginan
akan sesuatu. Termasuk membeli mainan lego yang mahal-mahal, namun ibunya yang
sudah terbiasa dengan polanya seperti ini membuat ia harus selalu berada di
depan yang mengarahkan bagaimana pola berpikirnya yang seringkali tersesat
dengan logika berpikirnya sendiri dengan pengetahuannya yang masih sangat terbatas,
karena ia tidak suka membaca tulisan. Kecuali angka, gambar, serta imajinasinya
yang spektakuler ia juga seorang pemikir yang logis.
Sejak Erina mendapatkan Diagnosa Gifted
Visual Spatial dari seorang Psikolog terkenal di bidang per Gifted an, ibunya
antara percaya dan tidak, melihat skor total njeblok dari IQ Gifted. Tapi
membaca dari beberapa jurnal dan buku, ia kembali menyadari bahwa anak-anak
Gifted dengan Visual Spatial, cenderung susah terdeteksi, ditambah komorbid
kemampuan berbahasanya yang sedikit bermasalah, jadilah masalah tampak
benar-benar runyam dari tahun ke tahun.
Ibunya menduga ada kesalahan Diagnosa,
dan berharap satu saat bisa mengulangi tes lagi. Tapi alih-alih mencari
Diagnosa ulang, hari-harinya disibukkan dengan debat dan diskusi yang tiada
habisnya membuat dua orang adiknya hampir saja tidak terurus.
Itulah sekian alasan mengapa akhirnya
Arin mengikuti kemauan sulungnya untuk kembali masuk sekolah formal dan harus
jauh dari dirinya. Karena jika tidak, dua adiknya benar-benar tidak akan
terurus mengingat kebutuhan dirinya yang teramat besar, ia khawatir bakal akan
ada panggilan satu atau dua kali pihak sekolah. Dan untuk menghadapi itu,
rasanya kepala Arin benar-benar terasa berasap.
Itu adalah sekolah animasi terkenal se
Asia Tenggara di Indonesia.
Pertama kali survey sekolah, Arin
sempat takjub dengan gadis berambut pendek memakai rompi dan celana hitam yang mirip sekali di tokoh-tokoh anime
kesukaannya. Dibalik kaca matanya yang tebal, ada mata yang sipit sekali.
Saat itu Erina yang diajak tour ke
kelas dan ruang studio oleh gadis bermata sipit membuat ibunya kelimpungan
mencari keberadaan dirinya saat seorang guru mengajaknya tour melihat suasana
sekolah.
“Maaf bu, tadi murid sini juga ya?” tanya Arin
“Iya bun, anak sini itu emang banyak yang aneh-aneh” cletuk gurunya
senyum membuat Arin terkekeh dalam batin
“Ya sudah, klop sekali dengan karakter Erina” pikirnya.
Awal pendaftaran hingga tes, Erina selalu mendapat support dari gadis
unik yang membawanya tour ke kelasnya. Saat itu, ibunya harap-harap cemas
dengan bakal diterima atau tidaknya satu saat nanti.
Hingga pada saatnya pengumuman tiba dan Lulus membuat Erina kaget
sekaligus happy.
Hari berlalu begitu cepat, hingga tiba saatnya Erina harus benar-benar
pergi dari rumah membuat ibunya sedikit agak cemas sekaligus lega. Cemas karena
sepanjang tahun ia selalu dalam dekapan ibunya, tapi sisi lain ia lega; karena
artinya pekerjaan satu anak yang dulu menyita hari-harinya, kini mulai berkurang
dan lebih bisa memperhatikan pola tumbuh kembang dua adiknya yang masih balita
dan usia 12tahun namun memiliki lompatan perkembangan yang luar biasa tinggi dibanding
kakanya, namun bermasah dengan bicara dan bahasanya.
Dengan karakter Gifted khas yang doyan protes dan mengkritisi apapun
yang diperintahkannya, ibunya kembali berpikir dalam memilihkan tempat
tinggalnya. Dan pondok adalah salah satu pilihan tepat menurut kedua orang
tuanya mengingat selain Erina Gifted Visual Spatial, ia juga memiliki komorbid
Indigo. Yang bukan hanya dapat melihat makhluk dimensi lain, melainkan mampu
melihat benda-benda kecil dengan detil dan jelas seperti seekor semut yang
dilihat dari jarak dua hingga lima meter dari jarak pandangnya, atau seperti
kejadian melihat pendaki gunung yang tengah mendaki ke puncak sementara dirinya
berdiri di kaki gunung. Belum lagi ditambah dengan kemampuan jiwanya yang
sesekali waktu keluar dari tubuh fisiknya dan melakukan perjalanan dalam waktu
singkat.
Itulah serentetan alasan, mengapa Arin memilihkannya pondok kecil yang
tidak begitu ketat aturannya dibanding kost. Karena selain ngaji, ia bakal
terjaga sholatnya dengan aturan pondok yang belakangan justru membuat studinya
berantakan karena merasa tertekan dengan aturan yang dianggapnya tidak masuk
akal.
@@@
Untuk pertama kalinya Erina telphon dan tertawa memperlihatkan dirinya
memakai baju seragam putih abu-abu pada ibunya.
Erina si anak baru yang memang sepanjang hidupnya tidak pernah mengenal bangku
sekolah masih belajar beradaptasi dengan suasana sekolah yang baginya terlalu
banyak aturan ribet.
“Kenapa sih, sekolah mewajibkan pakai
seragam? Kenapa juga mesti pakai ID Card yang nyekak banget di leher”
“Kenapa juga mesti banyak jam kosong”
“Buang-buang duit aja kan, kalau
begini”
“Mending Homeschooling aja lagi, jelas
apa yang mau dipelajari dan waktu kita nggak banyak terbuangnya”
“Bener…??”
“Iya bener!”
“Nanti nggak punya teman lagi kamu…”
“Di sini aku juga nggak punya teman”
“Nggak bisa ngejar project mandiri
juga”
“Loh, jam kosong kan kamu bisa ngejar
kerjakan project mandiri”
“Jam kosong aku nggak boleh
meninggalkan kelas, Bu”
“Sementara kalau di kelas, telingaku
sakit karena mereka suka teriak-teriak. Kadang malah ada yang bawa speaker
lagi”
Mendengar keluhan sulungnya, Arin hanya
bisa menarik nafas dalam berusaha meluaskan kesabaran yang ekstra tinggi
dibanding ikut larut kedalam wacana anaknya yang memang sejak dulu suka
menuntut sempurna segalanya.
Memang, sejak kecil sekali ia punya
kebiasaan suka menyapa orang yang ia temui. Bahkan bagi orang tuanya Erina
dikenali sebagai anak yang telalu ramah. Hingga tak jarang ia justru akhirnya
dimusuhi dan dijauhi mereka hingga dirinya sendirian lagi. Tidak dimanapun
tempatnya. Sampai-sampai ibunya sendiri sering jatuh bangun mengatasi ini.
Memahami sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya.
Hingga satu saat tetangga jauh
mengatakan kalau anaknya main ke kuburan.
“Apa anaknya Indigo Pak?”
Saat itu ayahnya belum tahu jika selama
ini anaknya sering main ke kuburan. Hingga ibunya khawatir bukan main karena
kebiasaan ini. Sekalipun ia anak yang ramah, namun bukan berarti ia
diterima di semua tempat. Ia justru sering dijauhi dan dibenci.
Begitu masuk masa sekolah, ia punya
kebiasan nge jokes yang seringnya dianggap aneh teman perempuannya,
hingga akhirnya perlahan ia mulai
bergeser suka mencuri perhatian teman lelaki yang bisa diajak ngobrol santai
hingga prank. Baginya teman lelaki itu bisa diajak bercandanya ala dia
yang sering kebablasan konyolnya. Sekalipun kadang nggak paham, mereka bakal
membiarkannya begitu saja, atau tertawa ngakak bila paham. Tapi tidak demikian
dengan teman perempuannya yang dianggap terlalu anggun dan elegan menjaga sikap
serta kata-kata. Sementara gurauan Erina ini cenderung gurau berpikir atau
gurau kebablasan yang akhirnya mereka mulai menjauh dari teman kelas
perempuannya.
Tapi mereka tidak ada yang peduli, kecuali Erina
sendiri yang sengaja menjalin komunikasi.
Sekilas Erina ini seperti gadis kesepian yang kurang kerjaan. Padahal oleh
ibunya ia sering diberi tugas yang baginya itu sangatlah mudah. Bahkan bawakan
buku jadwal hingga diaturkan jadwalnya apa-apa saja yang perlu dilakukan dan
dihindari. Tapi gangguan luar membuatnya benar-benar sulit bertahan di sekolah
yang baginya sangat pusing.
Hari pertama, pertemuan wali murid.
"Bunda, kapan aku pindah dari asrama itu?”
“Benar-benar nggak nyaman, nggak bebas juga, terutama mbah nya itu"
"Memangnya kenapa?"
"Aku itu ceritanya manjat pagar," sepotong kata membuat Arin spontan melotot
“Apaaa??”
"Ahh.., Bukannya Ibu waktu kuliah juga pernah manjat pagar Kampus?"
"Iya itu kasusnya beda Non.."
“Sama aja, yang penting kan manjat pagar”
“Kalau Ibu nggak manjat pagar kampus, nggak bisa keluar karena pintu
gerbang sudah ditutup”
“Lha kamu?” wajah Arin berang
Ayahnya yang duduk di sebelahnya hanya menahan antara tawa geli dan marah serta
kecewa.
“Aku dulu waktu di Pondok juga begitu”
ayahnya menambahi
Perempuan muda itu menapuk jidat “Hhh…”
“Ini, anaknya dinasehati malah kamu
support”
“Terus, terus!”
“Dimarahi ibu asrama?”
“Enggak sih.. cuman dinasehati
aja”
“Sudah jadi keluar pagar berarti
kamu??”
“Sudah,” jawabnya innocent
“Ceritanya gimana kok bisa sampai manjat pagar?”
"Ya, gimana. Habis Isya’ gitu, aku dipanggil-panggil temanku yang kost
sebelah diajak main"
“Terus keluar?”
“Pertama Cofi dulu yang manjat setelah Madina naik, terus aku manjatlah
keluar”
“La illa ha illallah… ya jangan begitu lah"
"Terus??"
"Hari ini tadi, rencananya pagar mau dijadikan tembok"
Spontan pasangan suami istri itu saling berpaling dan tertawa lebar
"Kapok kamu!"
"Nggak apa-apa, emang sejak awal pertama kesini aku sudah kepikiran mau
panjat itu pagar" Ibunya tersirat tawa geli melihat kekonyolan gadisnya.
"Terus Ibu harus ngomong apa coba ke ibu Asrama?"
“Ya terserah Ibu lah?”
Siang itu mereka berdua kembali menemui ibu asrama. Dan, beliau pamit
tidak bisa menemuinya karena shock melihat seumur-umur baru kali ini santrinya manjat
pagar asrama.
“Maaf Bun, ini tadi ibu darah tinggi dengar
cerita Erina manjat pagar”
“Plakkk!!”
Bukan main rasanya wajah Arin berasa ditampar keras. Antara ingin nyerah atau
melanjutkan, Arin berpikir puluhan kali. Tapi sebagai seorang ibu yang sudah
bertahun-tahun mendampingi proses tumbuh kembang Erina dan Haza, hal semacam
ini jauh lebih ringan dibandingkan bagaimana rumahnya dulu sering dilempari
batu anak-anak tetangga sementara orang tua mereka yang melihatnya hanya diam.
Sepanjang jalan pulang, Arin terbayang
wajah sedih Erina saat mobil melaju meninggalkan halaman parkir asramanya yang
selalu sepi. Tapi bagaimanapun menurut pasangan suami istri itu, Erina harus
mengalami kondisi semacam itu, dimana ia
tidak bisa protes dan mendebat saat dinasehati orang tuanya. Ia harus paham apa
konsekuensinya ketika sebuah aturan dilanggar dan ketika tugas tidak ia
kerjakan.
Delapan minggu kemudian
“Om, Erina nggak makan sudah 15hari.
Katanya juga batuk sampai berdarah karena sakit tenggorokan” Begitu bunyi chat
keponakan suami yang kebetulan membaca status medsos milik Erina. Arin hanya
tersenyum lebar sembari meletakkan smartphone milik suaminya.
“Kenapa?”
“Laporan Sena, kalau sepupunya nggak
makan selama 15hari”
“Siapa?”
“Ya siapa lagi di keluarga besarmu yang
suka aneh-aneh kalau bukan anak kita” tawa Arin ringan duduk menyiapkan sarapan
malam.
“Siapa?”
“Erina lah, siapa lagi”
“Biarkan aja” kata Arin tenang
“Bukannya kemarin sudah kamu bawakan
lauk pauk frozen ya?” tanya Dodi heran
“Nah, baru tahu kan..?”
“Kalau di rumah aja, kamu nggak bakalan
tahu bagaimana repotnya ngatasi satu anak itu” jawab Arin melengos lelah
membuat semburat tawa di wajah Dodi membayangkan bagaimana dulu istrinya yang
dulu pendiam dan terkesan anggun itu mendadak berubah jadi cerewet, kadang seperti
orator, kadang seperti narator, atau kadang seperti mahasiswa yang tengah
berdiskusi dan debat dengan Mahasiswanya yang mencarikan solusi bagi semua
kerumitan masalah dua anaknya.
Dulu sekali ketika tahu bagaimana lucunya
melihat lompatan perkembangan Haza dengan segala lika-liku speech delayednya,
Dodi ingin menambah satu momongan lagi. Ia percaya betul bagaimana istrinya ini
punya bawaan bibit yang luar biasa hebat. Tapi Arin terus mendesaknya karena
alasan tidak tahan dengan pola dua anaknya yang menguras energi dan pikirannya
selama bertahun-tahun, hingga akhirnya Arin bertekuk lutut hingga keluarlah
adiknya Haza yang memiliki lompatan perkembangan yang bagus. Termasuk kemampuan
verbalnya yang terlampau cepat dengan perkembangan kosa kata yang pesat, namun
ia akan berubah pendiam begitu di muka umum.
“Erina, sekolahmu ini termasuk sekolah
yang menyenangkan lho menurut ibu. Coba bandingkan deh sama sekolah-sekolah di
luar sekolahmu”
“Iya juga sih”
“Berarti PR kamu sekarang adalah
menyesuaikan diri dengan mereka”
“Tapi aku itu paling nggak bisa
berteman sama mereka karena suka peluk-peluk Bu”
“Ya bilang aja, sory aku nggak suka
dipeluk atau dipegang-pegang”
“Sudah, tapi mereka maksa”
“Cewek atau cowok emangnya?”
“Cewek lah, kalau cowok sudah aku
tonjok dia”
“Husy! Jangan begitu”
“Lha iyalah,”
“Ya… begitu itu dunia anak cewek seusia
kamu di luar sana”
Tiba-tiba saja Erina tertawa sendiri
menandakan ia teringat sesuatu,
“Tahu nggak bu, kemarin ada temanku cowok
anak Air soft Gun yang aku tendang lututnya dia langsung ketakutan kalau lihat aku lagi”
“Haaa…? Hati-hati kamu”
“Lha iya, sudah aku peringatkan, jangan sentuh aku,
eh.. dia maksa aku tendang lah”
“Terus adalagi nih, ibu tahu Reza kan? Anak jawa
timur?”
“Iya,”
“Aku tendang juga
kemaluannya gara-gara elus kepalaku”
“Ampun… hati-hati lah”
“Ya gimana lagi, sudah aku ingatkan
sekali masih saja begitu”
“Terus, kamu bilang nggak punya teman
tuh, kira-kira mereka itu siapa coba kalau bukan teman?”
“Ya mereka cuman apaa.. lah”
“Ya begitu itu, namanya sekolah, Non”
“Kamu berharap bahwa semua anak satu
kelas bisa jadi teman ngobrol begitu?”
“Ya enggaklah!”
“Coba deh, kalau pas jam kosong gitu
kamu ngobrol sama mereka”
“Iya sudah, tapi aku nggak suka obrolan
mereka”
“Asessoris lah, ghibahin orang lain
lah, bicara soal cowoklah”
“Terus suruh ngobrol soal apa kalau
bukan ngobrol soal itu?”
“Minimal ngobrol soal film kek, atau
soal game lah”
“Hhh.. sepertinya dulu ketuker deh
kelaminmu sama Haza” tukas ibunya yang langsung disambut ledakan tawa Erina
“Kok bisa?”
“Lha iya, karaktermu itu lelaki banget”
“Makanya aku lebih suka ngobrol sama
teman cowok daripada cewek yang nyebelin begitu”
“Nahhh… nah..!! kan? Apa aku bilang?”
“Seperti ini makanya kamu dijauhi sama
teman kelasmu dan dikatai aneh sama mereka”
“Tenang Bu, aku sudah kebal dikatai
aneh sama orang”
“Lagipula aku bangga atas keanehanku”
Ibunya melenguh kesal membuang muka menahan
tawa
“Dikatai aneh kok bangga”
“Ya banggalah!”
“Aku nggak mau jadi seperti para jenius
dunia yang menderita karena keanehan dirinya”
Jleb!! sampai di sini ibunya terdiam
dan merasa bersyukur, bahwa akhirnya putrinya mampu mendapatkan kepercayaan
dirinya lagi setelah sekian tahun ia nyaris kehilangan jadi dirinya.
Sunyi, melihat teman-teman sekolahnya
yang bersliweran dengan pakaian cewek yang cantik dan ramah, ingin sekali
rasanya putrinya menjadi seperti itu.
“Tapi… ya sudahlah! Apapun itu, aku
cukup bangga punya anak sepertimu yang tangguh melewati penderitaanmu selama
ini” pikir ibunya memupus keinginan yang terlalu jauh untuk anaknya.
“Aku bisa melihatmu tersenyum lebar
bangga dengan kekonyolanmu saja sudah cukup, tinggal satu saat harus kamu
kuatkan lagi sisi lemahmu untuk mengejar apa yang perlu kamu kejar” pikir Arin
melambung
Diriku Tidak sebaik mereka
Seperti biasa, Erina selalu duduk
sendirian di depan kelas menghindari bisingnya suara teman-temannya yang
menyalakan musik atau sekedar ngobrol biasa. Tapi bagi Erina ini gangguan luar
biasa yang membuat telinganya sakit sekali. Bahkan terkadang ia merasakan sesak
nafas mendadak tanpa alasan yang jelas di dalam kelas.
Sebagai keluarga Homeschoolers, dulu
ayah dan ibunya sering sekali melakukan diskusi kecil menemani anak-anaknya
yang tengah melakukan sesuatu. Dan obrolan itu sering diprotes Erina kecil yang
dianggapnya sangat sangat berisik dan mengganggu. Hingga pada suatu saat ia
tantrum karena tidak memahami kondisi tubuhnya dengan lingkungannya yang
dianggap terlalu mengganggu.
Awalnya mereka memaklumi itu dan
beranggapan bahwa sensitivenya akan hilang seiring berjalannya waktu saat ia
tumbuh dewasa. Tapi kenyataannya hingga detik ini, dimana ia harus menjalani
sekolah seperti anak-anak pada umumnya justru itu sangat mengganggu
hari-harinya. Inilah yang menyebabkan ia sering duduk di luar kelas yang ber
AC.
Tapi sisi lain sebagai anak introvert,
sebenarnya ia senang sekali berkomunikasi, bahkan ahli dalam berargumentasi
pada siapapun dengan logika konyolnya yang selalu masuk akal. Karena sekalipun
ia anak Homeschooling, dia bukanlah tipikal anak yang suka baca buku. Bahkan
ibunya angkat tangan saat menyuruhnya membaca buku demi menambah pengetahuan
serta kosa katanya yang kadang belepotan.
Banyak upaya yang dilakukan ibunya
sejak awal tahun mereka menjalani Homeschooling untuk menarik minat bacanya.
Tapi Erina bingung dengan kata ataupun huruf yang kadang hilang begitu saja
dari lembaran -lembaran kerta yang menyebabkan gambaran global detilnya tidak
terbentuk hingga menyebabkannya ngantuk.
Dulu sekali Arin sering marah dengan
kebiasaan Erina yang dianggapnya doyan bengong saat dinasehati atau sekedar
diskusi. Tapi begitu sering mengikuti seminar, workshop, diskusi serta membaca
banyak buku dan artikel. Ia mulai bisa memetakan dimana letak masalahnya Erina.
Ia baru percaya dengan tes sidik jari
yang dilakukannya waktu usia lima tahun; bahwa anaknya ada kecenderungan
dominan otak kanan, yang mana pemrosesan informasi Audio harus diubah dulu
menjadi informasi detil Visual kedalam memorinya. Saat itu pula ibunya pasrah
memaksanya membaca buku yang dipenuhi dengan tulisan tinimbang gambar, hingga ia
harus banting stir membeli beberapa buku komik sains yang saat itu marak namun
harganya masih sangat mahal bagi kantong keluarga kecilnya. Dan Arin menyadari
betul setelah sulungnya mulai banyak menceritakan yang dialaminya di sekolah,
dimana kemampuan otak kiri lebih diandalkan daripada otak kanannya.
Dulu sekali Arin sangat bersemangat
ketika di usianya yang baru 2,5tahun Erina sudah mulai belajar menghitung
hitungan sederhana. Dan mulai membuat bangunan block menjadi sebuah bentuk yang
sama persis seperti di gambar bungkus Block. Ia mengira, bahwa anak usia
2,5tahun memang wajar saja bisa membangun Block hanya dengan melihat gambar.
Itulah awal mula dimana kehidupan Erina dimulai yang sedikit banyak terkalahkan
dengan kebutuhan adiknya Haza saat itu yang baru lahir, namun selalu saja
menangis hingga menjerit-jerit seperti bayi kesakitan disaat keinginannya tidak
segera terpenuhi yang membuat Arin selalu terengah-engah menjalani hari-hari
seorang diri. Sementara Doddi, suaminya kerja dari pukul 7 pagi hingga 5 sore
sementara sabtu dan minggu harus berangkat ke Yogya untuk melanjutkan S2nya.
Saat Erina masuk usia sekolah dasar, kemampuan
Aritmatika dan logikanya berkembang lumayan pesat. Di kelas satu, ibunya
menyodorkan soal-soal logika dari British. Namun lambat laun ia mulai
terkendala Bahasa karena memang menggunakan Bahasa inggris.
Arin mulai membeli buku soal-soal matematika
kurikulum Indonesia. Tapi Erina kecil mulai kesulitan ketika dihadapkan soal
cerita yang lebih banyak menggunakan kalimat dengan banyaknya huruf tinimbang
angka dan gambar.
Saat itu Arin benar-benar kewalahan mengatasi
adeknya Haza yang mengalami pola tumbuh kembang yang cepat tapi tidak seimbang
dan sangat rumit, menyebabkan hari-hari hampir habis hanya untuk mengatasi
kebutuhan ngurus rumah yang selalu berantakan.
Haza yang sering menghilang dari rumah membuat Arin
pun pasrah memasukkannya dari satu tempat kursus ke tempat kursus matematika
lainnya yang tidak ada satupun metode yang pas baginya, kecuali kursus
matematika yang sifatnya drilling angka-angka dan ia pun mulai pasrah yang
sudah terbilang mahal dan kurang worth it bagi kebutuhan anaknya yang
membutuhkan pengkayaan logika berpikir.
Itulah detik-detik awal dimana Arin harus nyerah
dengan pengembangan matematikanya selain saat itu sebenarnya ada potensi lain
yang patut ia kembangkan, yakni dunia bangun ruang yang sudah terlihat sejak
balita dengan block, lego, tenda rumah-rumahannya, hingga handy craft bangun
ruang seperti ayunan, mainan prosotan yang ia impikan sejak kecil, hingga
origami kertas yang membuat Arin selalu pasrah dengan kebersihan dan kerapian
rumahnya yang selalu terkesan berantakan sekalipun setiap saat sudah ia
bersihkan dan rapikan.
Di ujung kelas satu smp, ia mulai tertarik dengan
dunia gambar karakter yang saat itu tengah booming di media sosial anak abg
saat itu. Erina tertarik mengikuti kursus pembuatan karakter 3D yang hanya ada
di luar kota.
Ibunya tak patah semangat, sekalipun jauh dan mahal
bagi keuangan keluarganya saat itu, tapi berkat support Ayahnya, Erina pun akhirnya
harus menjalani itu selama satu tahun. Berangkat pagi bareng ayahnya dan pulang
maghrib di saat matahari benar-benar tenggelam hanya untuk mengikuti kursus di
luar kota selama dua jam.
@@@
Erina dan dunia Teman Kelas
Semenjak temannya cerita jika ada dua
teman cewek yang ghibah dirinya dan menganggapnya aneh, sejak itulah percaya
dirinya kembali jatuh. Ini seperti mengaduk-aduk memori di masa lalunya saat ia
dikucilkan teman sebaya tetangganya yang menganggapnya bodoh karena tidak
sekolah. Itulah awal mula ia menjauh dari teman kelas.
Apalagi di hari-hari berikutnya obrolan
dia selalu tidak nyambung dengan teman-teman ceweknya hingga membuat dirinya
tidak nyaman dan terasing bahwa itu bukanlah dunia yang ia harapkan sebelum
masuk sekolah.
Bahkan perlahan rasa percaya dirinya
tergerogoti oleh anggapan buruk tentang dirinya, termasuk menganggap dirinya
tidak cantik, bodoh, dan terus menerus membanding-bandingkan dirinya dengan
teman-temannya.
Belum lagi dengan masalah
pendengarannya yang sensitive membuat gendang telinganya sakit di jam kosong
yang membuatnya resah dan galau karena merasa waktunya banyak terbuang sia-sia.
Sementara ruang kelas yang gelap dari
sinar matahari, hanya beberapa buah lampu LED, AC yang begitu dingin menusuk membuat
hari-harinya stress menghadapi dirinya yang demikian rumit, hingga perlahan ia mulai
menangis sendirian di depan kelas dan tidak tahu apakah dirinya harus bertahan
dengan segala ketidaknyamanan itu, lalu menyerah atas cita-citanya menjadi
seorang 3D Modeller Arsitektur.
Beberapa teman cewek berusaha
membantunya, tapi ia sendiri makin asing dan tidak tahu kenapa dirinya
benar-benar seperti orang aneh, belum lagi penglihatannya yang tajam dari dunia
sebelah, dunia mikro seperti seekor semut yang terlihat jelas hingga disertai
imajinasinya yang luar biasa liar.
Terkadang salah satu teman kelas lelaki
datang menemani di depan kelas, dan Erina mulai menemukan dunia seru cerita
dunia fantasi, dunia film, game atau sekedar diskusi soal agama dan sains. Tapi
itu hanya sebentar, karena pada akhirnya ia jadi bahan ejekan teman-teman
lelaki lain, bahwa Erina suka dengan dirinya.
Perlahan di saat Ekstrakurikuler mulai
berjalan aktif, Erina mulai menemukan dunia seru lainnya. Ia bertemu dengan
banyak teman lelaki yang menurutnya jauh lebih seru dibanding teman-teman cewek
yang ia temui. Bahkan anak yang dianggap Autism di sekolahnya pun jauh lebih
seru isi obrolannya dibanding anak-anak pada umumnya.
Dialah Willy, lelaki keturunan Chinese
yang selama ini dianggap Autism namun justru karakternya mirip ibu-ibu yang
mampu menasehati Erina dengan bermacam kesulitan yang ia hadapi, termasuk
bagaimana rigidnya soal makanan di kantin.
“Daripada kamu nggak makan terus
pingsan, mending makan yang mengandung micin tapi kamu masih bisa hidup”
“Iya benar juga sih”
“Tapi masalahnya habis itu kepalaku
pusing”
“Ya carilah masakan di luar sekolah,
misal di deretan sebelah kostku tuh. Kamu bisa pesan sayur apa, nanti ibunya
buatkan. Bilang aja jangan dikasih micin”
“Oh, bisa ya?”
“Bisa”
“Ntar tuh, siang pulang sekolah kamu
beli, bisa buat makan siang sama malam”
“Oh… oke-oke”
Foto Kelas yang muram
Lewat foto-fotonya yang dikirimkan wali
kelasnya di grup orang tua, Arin melihat raut ketidakpercayaan diri putrinya
yang begitu dalam di antara teman-temannya yang selalu tersenyum ceria.
Entah berapa kali dalam sehari ia menelphon
putrinya hanya untuk memberi dukungan dan menaikkan rasa percaya dirinya dalam
segala hal. Termasuk menyuruhnya untuk kembali meditasi menemui masa kecilnya
yang tersakiti.
“Sebenarnya bukan bajumu atau wajahmu
yang tidak cantik, Non..”
“Tapi karena perspektif dirimu yang rendah”
“Rendah hati boleh, tapi rendah diri
jangan”
“Coba sering-sering kamu menatap cermin
dan tersenyum. Katakan pada diri sendiri, aku anak cerdas, aku anak hebat, aku anak cantik”
“Katakan itu berulang kali tiap kali kamu melihat
cermin”
“Dan katakan terimakasih karena kamu sudah
sempurna”
“Mata dan penglihatan yang utuh, hidung dan
penciuman yang luar biasa tajam, telinga dan pendengaran yang tajam, mulut dan
indera pengecap yang sempurna”
“Coba bayangkan bagaimana orang-orang buta, atau
orang tuli”
“Janganlah!”
“Ya iya kan??”
“Makanya banyak-banyak bersyukur sudah Allah kasih
kesempurnaan anggota tubuhmu”
“Lalu soal baju, menurut ibu sudah
cukuplah…”
“Hanya saja jilbabmu hijau itu sesekali
ganti, kalau main. Berapa tahun sendiri jilbabmu nggak pernah ganti”
“Bu, ada malah temanku yang kalau hari
bebas gitu bajunya itu-itu terus”
“Nah, kan??”
“Ya sudah, jadi itu masalahnya bukan di
baju atau wajahmu kan?”
“Tapi perspektif dirimu yang negatif”
“Coba biasakan wajahmu tersenyum,
jangan muram begitu”
“Coba deh lihat ibu, apa ibu sering
beli baju seperti ibu-ibu pada umumnya?”
“Enggak,”
“Nah, itu tuh hanya merubah-rubah
atasan dan bawahan, lalu mencocokkannya dengan jilbab yang kita pakai. Itu
saja. Kamu tahu ibu sendiri juga bukan tipikal yang suka nyampah baju”
“Jadi kalau beli baju, sekalian yang
berkualitas bagus”
“Iya, tapi kenapa sih seragam sekolah
anak cewek mesti pakai rok!”
“Aku benci itu, karena nggak bisa
bergerak bebas dan lari”
“Tapi nyatanya kamu masih bisa tendang
teman lelakimu?”
“Ya aku cincing lah!”
“Hadoohh…!” lenguh ibunya membuat Erina
mulai tertawa
“Kenapa sih!!” Erina tertawa nyengir
“Hoi! Aku masih pakai celana panjang
untuk dalamnya”
“Kalau pulang, aku lepas tuh roknya”
“Ampunnn!!”
Survival ala-ala
Sebagai anak yang gampang bosan namun selalu punya
cara untuk keluar dari kesulitannya, Erina yang sudah terbiasa duduk di luar
kelas sendiri di saat jam kosong mulai menyapa banyak orang yang lewat di
depannya. Tidak pandang itu laki, perempuan, guru maupun penjaga sekolah ia
sapa. Bahkan perlahan ada satu teman kelas sebelah cewek bernama Zizi selalu
menyapanya di saat ia duduk di luar kelas.
Meskipun perlahan ia mulai risih dengan perilaku
Zizi yang suka duduk dekat-dekat, bahkan kadang ndempel duduk di bawah kaki
Erina yang duduk di teras, seperti layaknya pembantu dan majikan.
Erina menentang keras perlakuan tidak setara
seperti itu, ia juga sangat menginginkan kesetaraan dirinya dengan semua orang,
termasuk Zizi yang selalu memakai masker karena wajahnya penuh dengan jerawat
hingga ada anggapan wajahnya aneh. Tapi bagi Erina, Zizi tetaplah cewek cantik
dibanding dirinya.
Lalu ada Mozart si kakak kelas beda jurusan, ada
Reza dan Willy yang keduanya dianggap anak autism dan dijauhi teman sekolah dan
beberapa orang lainnya.
Dibanding Reza, Willy masih jauh mendingan
keanehannya dengan bahasanya saja selalu membicarakan gurauan dunia fantasi
yang tidak masuk akal. Dia adalah programmer ulung yang di kemudian hari justru
dikeluarkan dari sekolah.
“Halo,” sapa Erina tiap kali ada orang
lewat di depannya.
“Namamu siapa?” begitu sapanya tiap
kali ia belum mengenalnya. Bahkan jika ia sudah kenal wajahpun, ia sering lupa
dengan nama orang tersebut yang membuat beberapa teman cewek sering protes.
“Erina… berapa kali kamu tanya namaku?”
Tapi Erina dengan karakter santuy hanya
bisa tertawa lebar menertawakan dirinya yang dianggap bodoh karena sulit
menghafal nama teman yang sudah ditemuinya berkali-kali. “Hehe… iya maaf”
Hingga perlahan ia mulai memiliki cara
untuk mengingat semua nama tersebut dengan cara mencatat kontak personnya yang
kadang lengkap dengan tanggal lahir, kelas dan jurusan hingga yang paling ekstrim
makanan atau kebiasaan orang tersebut.
Dalam sekejap, ia sudah kenal banyak
puluhan orang.
Ya! Dengan cara mencatat nama dan nomor
Hp mereka, ia mulai ingat satu persatu nama-nama mereka yang hampir satu
angkatannya berjumlah 400orang.
Dengan kebiasaannya duduk di luar kelas
sendiri itulah, satu persatu orang menyapa dan mengajaknya ngobrol
atau bahkan hanya sekedar bercanda hingga
rasa kesepian itu pun perlahan hilang.
Perlahan namun pasti, tatapan-tatapan mata tajam
dan tidak enak itu pun semakin terasa saat dirinya masuk ruang kelas, karena
dianggapnya tidak mau bergabung. Alih-alih mengeluh pada ibunya, ia mulai cuek
dan membiasakan diri dengan tekanan suasan kelas juga asrama.
Jangan lagi menoleh ke Belakang
Sejak Erina share pengumuman Beasiswa ke pulau seribu, ada seorang pemuda
yang nge chat bertanya-tanya tentang informasi itu. Ia adalah anak kelas 10
yang beda jurusan dengan Erina.
Seperti hari-hari sebelumnya, di saat jam-jam berangkat sekolah Erina selalu
ngendon nongkrongi - liar di sepanjang gang-gang sempit jalan alternative
menuju sekolahnya. Ia tak peduli dengan teman-teman sekolah yang berlalu-lalang
melintas. Ia tetap asyik dengan -nya yang ia beri makan dengan daging ayam dan
sapi bawaan ibunya dari rumah.
Saat itulah Erina melihat sekelebat sosok wajah yang ia kenal.
"Hei, Roddy!"
"Kamu Roddy ya??"
"Hm, iya"
"Kamu?”
“Erina"
"Oh.. yang Beasiswa ke Jepang itu ya?" jawabnya
“Iya,”
"Ohh, ya sudah sana!" jawab
Erina acuh kembali menekuri - liar
Sementara remaja tinggi dengan frame
kaca mata hitamnya itu kembali menoleh memastikan Erina yang kembali asyik
bermain-main dengan dengan - liarnya.
Satu saat karena saking seringnya Erina
memberi makan - liar, mereka pun mulai merasa dimanja hingga membiarkan - itu
duduk di pundaknya di atas jilbab dan baju putihnya, yang menyebabkan salah
satu dari mereka pup di atas pangkuannya mengenai baju dan rok abu-abunya.
“Ahh…!! Kenapa kamu pup di bajuku!”
keluh kesalnya lari pulang melintasi kost-kostan Roddy.
Saat itu Roddy melihat sekelebat
bayangan sosok Erina dari balik jendela kamarnya.
Ia sengaja menunggu Erina kembali dari kost-kostannya
setelah lari ngedumel kesal.
“Hei! Tumben berangkat siang?” sapa
Roddy
“Hm!” tawa Erina nyengir sekelebat dan
berjalan cepat yang diam-diam diikuti Roddy dari belakang
“Kenapa dengan bajumu?”
“Pup nya ”
Spontan Roddy mendengus tawa yang
terdengar Erina hingga ia menoleh ke belakang.
“Kenapa tertawa?”
“Enggak apa-apa” Roddy senyum-senyum
membayangkan keunikan gadis itu yang suka nongkrongi - liar tiap pagi.
“Lagipula aneh juga sih kamu,
membiarkan itu naik ke bajumu. Mana baju
putih lagi”
“Kalau bisa diajak ngobrol namanya
bukan , Rodd”
“Cewek satu ini memang lain” pikir
Roddy ngikik menahan tawa mengikuti langkah Erina dari belakang yang tak
mempedulikan dirinya.
“Formulirnya sudah kamu isi?”
“Belum”
“Oh...”
“Cepetan diisi”
“Kenapa emangnya?”
“Keburu telat”
“Tapi itu kenapa bayar, bukannya Gratis ya?”
“Nggak tahu,”
“Nggak punya duit”
“Minta ortumu lah” jawab Erina cuek dan berlalu begitu saja berjalan
cepat saat sampai di depan pintu gerbang sekolah.
Tiba-tiba saja ia melihat Reza si programmer jenius teman gila Erina
dari Ekskul Teater berjalan menuju pintu masuk.
“Halo cucuku.. gimana kabarmu?”
“Halo Kakek!” sapa Erina dadah dadah
Begitu Reza semakin dekat, tiba-tiba tangannya menepuk-nepuk pundak
Erina yang spontanitas membuat Erina ancang-ancang mengangkat roknya, dan…
“Duakkk!!” tendangan kaki mendarat pada kemaluannya membuat dua lelaki
itu melotot.
Spontan membuat Reza mengerang kesakitan terpincang-pincang, sementara
Roddy tertawa terkekeh-kekeh.
“Sudah aku ingatkan to kamu, jangan pernah pegang-pegang”
“Oittt??! Ini cewek nggak main-main” pikir Roddy membayangkan bagaimana
reaksi Viola saat dirinya dekat dengan Roddy yang selalu melakukan kontak fisik
dengannya.
“Ngeri bener kamu” Reza nyengir kesakitan
“Awas! Sekali lagi seperti itu, aku tendang sampai sakit bener”
“Ampun dah Er!” Reza lari terbirit-birit meninggalkan tawa Roddy yang
masih berdiri di sampingnya
“Ngapain kamu?”
“Oh, enggak!” jawab Roddy ketakutan dan pergi
“Yuk, duluan”
“Hm,”
Erina menatap lekat Gedung sekolah yang sudah dipenuhi banyak orang.
“Ah… gara-gara , jadi nggak enak berangkat kesiangan” pikirnya kembali
berjalan menelusuri Gedung-gedung tinggi seorang diri.
@@@
Erina kecil adalah anak yang sangat
ramah dan memiliki empati yang besar, ia juga antusias menyapa siapapun orang
yang ada di hadapannya, bahkan termasuk kadang orang yang baru dikenal.
Saat usianya belum genap menginjak
7tahun, ia sudah mahir mengasuh anak balita tetangganya. Beberapa kali komentar
tetangga membuat Arin kaget, dan kenyataannya dengan adiknya Haza yang hanya
selisih 20bulan sama sekali belum pernah melihatnya bertengkar.
“Bu, anaknya masih kecil tapi sudah
pinter momong anak kecil ya bu..” pujian beberapa ibu muda yang anaknya sempat
dijaga Erina di saat dirinya beres-beres.
Tapi lambat laun karakternya yang
seperti ini justru menjadi boomerang bagi kehidupannya sepanjang hari,
sepanjang bulan bahkan sepanjang tahun.
Dengan keramahan dan kepolosannya itu
rupanya justru menjadi bulan-bulanan anak-anak tetangga yang sebaya dengannya.
Karena selain dianggap tidak sekolah, ia juga dianggap bodoh karena tidak mampu
menjawab omongan mereka yang terlampau cepat dibanding dirinya yang harus
browsing kosa kata dulu.
Saat itulah hari-hari Erina mulai
terasa menyeramkan dan kesepian.
Satu-satunya teman perempuan,
tetangganya dulu yang sering main bersama, mulai diajak bersekongkol dengan
anak lelaki yang memiliki perawakan tinggi dan besar untuk memusuhi Erina yang
dianggapnya bodoh karena tidak sekolah.
Tapi keunikan Erina tak pernah melawan,
bahkan ia hanya diam di saat teman-temannya saking gregeten di depannya
ngata-ngatain bodoh karena nggak sekolah. Tapi Erina tetap diam dan diam,
bahkan sekilas ia seperti tak paham mengapa mereka mesti marah-marah kepada
dirinya.
Berulang kali ibunya melarang Erina
main bareng mereka, tapi peringatan keras ibunya tak pernah ia gubris. Ia
seperti anak kecil yang tengah menantang badai di saat cuaca benar-benar buruk,
hingga datanglah anak balita yang dulu sering diasuhnya kini seperti menjadi
perisai Erina hingga keduanya mulai tampak akbrab dan main bersama.
Perlahan namun pasti, Erina yang
sebelumnya dikucilkan perlahan makin diperhitungkan keberadaannya semenjak
ibunya menarik kedua anaknya dan mengikut sertakan bermacam-macam les di sore
hari demi menghindari cek cok yang melelahkan di saat anak-anak tetangga mulai
pulang sekolah.
Mendengar cerita panjang lebar tentang
dirinya di masa lalu di ruang kelasnya yang kosong, Roddy yang duduk tepat di
hadapannya tercengang iba dengannya yang begitu kuat dan tangguh menghadapi
semua itu.
“Apa yang kamu pikirkan ketika ibumu
panggil-panggil kamu untuk segera pulang saat mereka memarahimu, tapi kamu nggak segera pulang?”
“Tak pikir aku harus menghadapi, itu
saja”
Jlebbb!!! Roddy menarik nafas dalam
“Tapi itu kan nggak baik”
“Ya karena aku kan nggak punya teman”
“Tapi kan ada banyak cara untuk
mendapatkan teman”
“Maksudku, kamu kan juga sering diajak
pergi ke tempat saudara atau teman-temannya ayah atau ibumu kan?”
“Ya, tapi mereka sama saja suka
membully”
“Tapi mereka itu nggak baik buatmu,
Erina…” serunya gregetan
“Kamu ini gimana sih, dasar aneh!”
“Ya kenapa kau yang marah”
“Ya?!!! Mikir gitu loh Er! Mereka itu
jahat ke kamu, kok kamu masih bisa balik mendekati mereka lagi”
Erina tertawa lebar “Itulah aku”
jawabnya polos membuat perasaan Roddy antara iba, unik dan takjub dengan
kepribadiannya yang luar biasa unik dari cewek-cewek pada umumnya yang ia
kenal.
“Andai saja saat itu aku kenal dirimu,
mungkin aku akan melindungimu dengan berbagai cara” pikirnya iba
“Besok-besok lagi jangan pernah over
ekspose tentang dirimu, itu membuat kamu jadi bahan bulliyan teman-teman
sekolah”
“Aku sudah biasa menghadapi itu Rodd”
“Iya tapi jangan begitu juga kali
Erina…!”
“Hehe… oke”
Ruangan kelas yang sejak tadi kosong,
mendadak hening seakan ikut menyimak cerita Erina siang hari itu.
Siapa Dia
“Serius, mataku berkaca-kaca waktu kamu
cerita soal masa kecilmu yang terkena bullying”
“Besok lagi jangan overshare soal diri
kita begitu ke orang lain, nanti bakal dibully lagi”
“Overshare itu apa?”
“Over ekspose tentang
diri kita”
“Oh… oke-oke” Jawab gadis belia itu meletakkan
smartphone nya di sebelah bantal dan tertidur pulas.
Sementara di sisi lain, pemuda usia
16tahun dengan alis mata tebal di balik frame kaca mata hitam itu senyum-senyum
sendiri terpaku menatap langit-langit kamar. Tak lama kemudian ia mulai kembali
mengutak-atik program yang sedang ia kerjakan di depannya.
Ia tengah menyelesaikan project
kelompok bersama teman-teman kelasnya membuat aplikasi sederhana.
“Hei, Rod sudah selesai belum?”
“Oh, sory sory!”
“Ngantuk kamu?”
“Nggak,”
“Terus ngapain saja dah kamu?”
“Sory, baru chat sama teman”
“Jam segini?”
“Teman apa teman???”
Roddy hanya senyum-senyum membayangkan
wajah Erina yang suka jahil dan konyol jika bersamanya.
Pemuda dengan tinggi 180cm itu punya
hidung mancung, dan berwajah sedikit kearab-araban dengan poni sedikit
bergelombang membuat dia pas sekali dengan titpkal Erina dalam tokoh-tokoh
anime yang dia baca.
Satu jam kemudian, pemuda lelaki itu
diam melototi kerjaannya yang hamper selesai. Ia kembali memeriksa
smartphonenya.
“Tidur??”
Chat itu kembali terkirim dan hanya
centang satu yang menunjukkan pesan belum terbaca.
Pagi-pagi sekali Erina bangun, ia mulai
mengerjakan project pribadinya hingga suara adzan subuh berkumandang ia
siap-siap ke masjid untuk berjamaah hingga ngaji bareng bu Nyai sepuh untuk
membenarkan bacaannya.
Itu semua seperti sudah di setting dari
yang di atas dengan seruan doa ibunda untuk melanjutkan study formal sesuai
minat Erina sekaligus memperbaiki energinya yang njeblok.
Ia adalah gadis yang lugu dan polos,
namun ia punya bawaan giftedness juga Indigo yang membuat hari-hari ibunya
seperti jungkir balik mengatasi potensi ganda nya.
“Sudah berangkat?” Chat Roddy masuk,
“Belum”
Jawab Erina sekilas dan kembali sibuk membereskan
persiapan bekal makan dan peralatan sekolah
“Kenapa?”
“Berangkat bareng yuk, aku tunggu depan
asramamu”
“Loh???” pikir Erina sadar jika
kostannya jauh lebih dekat dengan sekolahnya ketimbang asramanya
“Kenapa dia lebih dekat dengan sekolah
justru kesini duluan?”
“Ok”
“Aku sudah di depan pintu gerbang”
“Hah??”
“Ok”
Saat itu Dona membuka pintu gerbang, lalu
menutup lagi kembali lari masuk sambil heboh.
“Hei mbak, Erina dijemput sama
pacarnya. Cepat sini! Sini!!” seru teman asramanya heboh mengundang kakak-kakak
asrama yang saat itu belum mandi.
Sementara Erina senyum-senyum risih
ngedumel dalam hati.
“Kenapa dah, semua orang salah paham?”
gerutu Erina menutup pintu gerbang
“Ada apa?” tanya Roddy saat ia
menggiring gadis itu berjalan melewati lorong jalanan menuju sekolahnya.
“Kenapa juga kamu mesti kesini?”
“Bukannya tadi kamu mengiyakan kalau
mau diajak berangkat bareng?”
“Iya, maksudku kostmu kan lebih dekat
sama sekolah”
“Enggak apa-apa kok, santai aja”
“Ya sudah sih,”
Di balik jenjang tinggi badannya ia hanya
senyum-senyum. “Anak ini benar-benar polos”
“Dah, biarin aja” potongnya sekilas
“Rod, bisa crackkan aplikasi 3Dku kah?”
“Lah??” spontan Roddy tertawa
menyipitkan mata
“Keluargaku itu aneh to?”
“Bukan aneh kali, tapi unik”
“Yah… begitulah”
“Bapak sama emakku itu sering berantem,
tapi setelah itu mereka tertawa cekikikan bareng lagi”
“Dulu aku sempat bingung sama mereka
berdua”
“Tapi lama-lama paham juga pola mereka
yang aneh itu”
“Tapi seru juga ya, keluargamu”
“Yaa.. bisa dibilang kurang lebihnya
begitu”
Saat mereka berdua berjalan, Erina yang
sudah tampak tinggi di mata teman-temannya masih jauh terlihat pendek ketika
jalan bareng Roddy yang tingginya tidak sampai sepundak, membuatnya harus
mendongakkan kepala saat ia harus berbicara.
Tulisan Misterius ala Aplikasi
Sejak hari dimana Roddy dimarahi
adiknya Erina via chat, melarang Roddy pacaran sama kakaknya, sejak itu pula
perlahan Roddy mulai menjauhi Erina. Kebetulan saat itu Viola yang terkenal
sebagai Gadis tercantik di angkatannya pun mulai mendekati Roddy yang langsung
gayung bersambut.
Erina mulai sakit hati di saat ia mulai
tumbuh rasa trust pada Roddy melihat kedekatan keduanya kemanapun. Tapi Erina
yang ramah dan suka menyapa banyak orang, menjadikan hari-harinya di depan kelas
selalu terhibur dengan beberapa orang yang lewat. Terutama dengan si kakak
kelas jurusan lain yang sebenarnya jauh lebih dulu dekat dengannya. Dia adalah
Mozart, si kakak kelas pendiam yang dibilang nggak suka berteman dengan banyak
orang.
Sejak saat itu Mozart sering
menghampiri Erina yang selalu duduk sendiri di depan deretan ruang kelas yang
selalu tertutup.
Di sela-sela waktunya menjelang tidur
ia menulis dalam sebuah aplikasi
“Apa yang kalian pikirkan saat ini?”
Boleh nggak aku naksir kamu? (from Anonymous)
Erina tanya ulang ke Roddy lewat pesan
singkatnya
Naksir itu apa?
“Naksir itu ya diam-diam memendam suka”
jawab Roddy
“Oh.. Oke” jawab Chika cepat
Boleh, kenapa memangnya kalau
nggak boleh? (Jawab
Erina pada Aplikasi tersebut)
Bukankah Naksir itu sah-sah saja??
Sisi lain Roddy yang membaca status
sosial media Erina kembali bertanya-tanya
“Ini gimana maksud anak ini?” Pikirnya
segera matikan smartphone dan tinggal tidur
Hari berikutnya Erina berkirim pesan
lagi di sebuah aplikasi
“Apa yang kamu pikirkan soal aku?”
Bukan tanpa alasan, ini mengingat Erina
sempat dibully beberapa orang teman perempuannya yang mengatainya “aneh”
Kamu mau jadian sama aku tidak? (From Anonymous)
Erina langsung kirim pesan ulang ke
Roddy
“Memangnya jadian itu apa?” Tanyanya
membuat Roddy seketika mengernyit aneh bertanya-tanya
“Masa kata “Jadian” dia nggak paham??”
pikirnya
“Ya ngajak pacaran”
“Terus? Ngapain?”
“Ya, jalan bareng aja”
“Oh…”
“Terus ngapa aja?”
“Yaaa… ngobrol aja. Kemana saja bisa
jalan bareng”
“Ah.. percuma, habiskan waktu sama
pikiran”
“Kok bisa?”
“Ya, kan? Buang-buang waktu”
“Maksudnya???”
“Kita itu masih pelajar, Bang… buat apa
hal begituan?”
“Banyak hal yang bisa dilakukan bersama
banyak teman, memikirkan banyak hal yang memang ingin dipikirkan dan dilakukan”
Roddy mengernyit aneh, bagaimana
sebenarnya pola pikir cewek yang satu ini.
“Lagipula, kita ini masih pelajar.
Banyak hal yang bisa dipelajari. Banyak waktu yang bisa digunakan untuk
menjalin banyak pertemanan. Lah, kalau cuman habiskan waktu sama satu orang
itu, rugilah”
“Kenapa Rugi?” tanyanya balik
“Memangnya orang nikah? Yang
mengerjakan apa saja harus berdua, kemanapun dan dimanapun harus berdua”
protesnya balik
“Pacaran di usia pelajar itu hal bodoh
yang merugikan ummat manusia”
“Ah, dasar kamu aneh” jawab Roddy kesal
seketika menutup Smartphonenya
“Lha memang kan?”
Jawab Erina yang merasa menang setelah
berhasil memainkan perasaan Erina berhari-hari.
Sabotase makanan berbuntut gempar
Sekali lagi Handphone Dodi kembali berbunyi, Arin
kembali membuka pesan masuk tersebut.
“Selamat malam, Bapak…”
“Mohon maaf, adakah agenda menjenguk
Erina dalam waktu dekat ini Pak?”
“Sepertinya ada sesuatu yang perlu
dibicaRezan terkait Erina”
“Oh? Iya pak? Soal apa ya?” jawab Arin
cepat membalas pesan
“Nggak ada apa-apa kok Pak, hanya
masalah sepele”
“Baik Pak, insya Allah minggu ini”
“Baik Pak” Begitu bunyi pesan singkat Wali Kelasnya
membuat Arin menarik nafas lelah
“Siapa?”
Letak kelas Erina berada di ujung
Gedung paling bawah sebelah tangga menjadikan tiap kali ada orang lewat yang
hendak naik ke lantai dua maupun tiga, selalu menyapanya.
Hari itu yang disapa adalah Roddy, anak jurusan
perangkat lunak yang dikenal starboy di angkatannya. Erina tak peduli
dengan julukan itu, bahkan ia tak paham apa itu starboy. Yang ia tahu,
ia hanya mencoba menghibur diri dengan segala kerumitan dirinya dan alam
sebelah yang masih sering seliweran mengganggu kenyamanannya di ruang kelas.
“Ayo cepetan diisi formulirnya” kata
Erina ramah pada Roddy
“Ntar, belum ada waktu” jawabnya sambil
berlalu menaiki tangga
“Hai, Pipit” sapa Erina lagi begitu ada
teman ceweknya yang lewat jalanan depan kelasnya
“Hai…”
Roddy dari anak tangga hanya menolehnya
sekilas melihat ia menyapa orang lain lagi. Ia menganggapnya ini sebagai
sesuatu yang menarik dari keumumannya anak-anak cewek.
Saat itu lelaki tinggi dengan kulit pucat berperilaku sedikit aneh itu
melintas di depannya.
"Hay, Hallo Wil"
"Hey, coeg.. inktobermu sudah selesai kah.."
"Sudahlah… Erina?!"
"Serius?" tatapnya heran campur curiga
"Seriuslah!" Jawab Erina cengingisan yang sebenarnya ia belum
mengerjakannya sama sekali
Bagi Erina, mengerjakan gambar yang
dianggap rumit sebenarnya mudah saja, tapi dengan catatan di tempat yang tenang
dan sunyi. Tapi apa yang terjadi di sekolah yang sekalipun punya studio yang
selalu sepi dan tenang tetap saja tidak bisa seenaknya meninggalkan kelas
sewaktu-waktu.
Wilson adalah anak yang ramai, ia
sering dikata Autis oleh teman-teman satu angkatannya. Tapi apa kata Erina,
anak Autis ataupun penyandang berkebutuhan khusus lainnya patut mendapatkan
perlakuan sama seperti yang lainnya. Toh mereka juga sama anak manusia yang
sama-sama punya perasaan seperti yang lainnya.
“Wali kelas Erina” jawab Arin dengan wajah lelah
memandang wajah suaminya yang tertawa geli.
“Apa aku bilang, sudah SMA saja masih begini”
“Coba dari dulu sekolah, paling badanku yang kurus
karena mbateg hadapi tingkah laku dia”
@@@
“Lalu susu cair yang ibu bawakan 5 karton
itu pada kemana?”
“Hehe… aku kasihkan ke Zizi satu, dua
aku minum, duanya buat persediaan minuman kucing-kucing yang sakit”
Spontan perempuan muda itu meledak
marah.
“Erina!!”
Spontan raut Erina nyengir ketakutan
“Tunggu dulu, Bu.. aku jelaskan dulu”
“Ekonomi keluarga Zizi sekarang lagi
kolaps, jadi kadang dia nggak bisa beli makan. Makanya aku kasih dia susu,
karena satu-satunya yang aku punya saat itu ya susu aja”
“Iya terus kenapa kamu kasihkan ke
kucing?”
“Mereka itu sama seperti kita Bu,
makhluk hidup yang butuh makan dan minum serta hidup yang layak”
“Iya, terus membiarkan kamu pingsan sampai mual-mual terus muntah dikira kurang gizi,
begitu??”
“Lalu kamu telphon Ibu, kalau selesai upacara kamu
pusing gara-gara malam nggak bisa tidur, terus minggunya kamu jalan kaki ke
Alun-alun sejauh 8km PP hanya untuk lihat acara Car Free Day”
“Maksudnya apa coba”
“Ya sudah, besok lagi aku nggak akan cerita ke ibu”
“Iya kamu nggak cerita ke ibu, tapi wali kelasmu
yang laporan ke ibu”
“Lha terus suruh gimana…?”
“Ya
jangan buat ulah”
“Aku
nggak buat ulah, Bu”
“Kalau
kamu pingsan dan guru lapor ke ibu, itu artinya kamu buat ulah. Karena
dianggapnya kurang gizi, nggak pernah dapat kiriman uang dari orang tuanya”
“Begitu
kan narasi yang berkembang?”
“Biar saja
mereka bilang seperti itu bu,”
“Haduh
ini anak,” suara Arin gregetan
@@@
Sejak Erina membuat status di medsos
tentang dirinya yang tidak makan selama 20 hari dan menunggu genap 35hari. Grup
satu Angkatan yang berjumlah 500 orang siswa itu spotan ramai akan pembicaraan
tentang dirinya. Dan itu mengundang berbagai reaksi. Dari reaksi negatif,
netral hingga positif. Beberapa diantaranya ada yang mengatainya sebagai Caper
(Cari Perhatian), Lebay, hingga sikap empati membelikan makanan untuknya segera
dimakan. Tapi bukannya diterima dengan senang hati, Erina justru bersikeras
menolak makanan tersebut yang membuat dirinya makin dipandang aneh dan dijauhi.
Namun perlakuan ia dijauhi ini bukan membuatnya berubah, tapi justru bersikukuh
dengan pendapat dan sikapnya.
Di bawah terik matahari siang itu,
Erina yang terasa keliyengan menahan pusing dan mual terpaksa harus berjalan
kaki lagi sepulang dari sekolah demi memenuhi titipan kakak-kakak asramanya.
“Yang jualan bubur ayam itu dimana kah?” Status
pesan di sosial medianya terkirim
Tiba-tiba Roddy datang nyamperi Erina
dari belakang dengan sepeda membuatnya kaget.
“Rin,”
“Eh, kenapa Rodd?” tanyanya polos
“Kamu cari bubur ayam kan?”
“Iya”
“Itu kamu jalan aja lurus nanti ada pertigaan,
nah di pertigaan kanan jalan itu di pojokan situ”
“Oh… oke” jawab Erina
“Jauh lho,”
“Oh nggak apa-apa, santai aja”
Tapi Roddy masih saja ngikutinya dari
belakang membuat Erina sedikit merasa tidak nyaman karena harus berjalan di
depannya.
“Ngebet banget sih jam segini mau makan
bubur ayam?”
“Titipan mbak asrama”
“Ha…?!” Roddy mengernyit aneh
“Mau-maunya kau disuruh-suruh beli makanan siang-siang begini” pikir Roddy aneh
“Kenapa anak ini masih saja ngikut?”
pikirnya
“Kamu mau kemana?” tanya Erina membuat
Roddy sedikit salah tingkah
“Ya sudah, nggak apa-apa kan sendiri?”
Spontan Erina tertawa “Ya enggak
apa-apalah”
“Oke, aku tinggal ya”
“Ya,”
“Ah… cewek ini, benar-benar deh”
pikirnya kesal beraduk jadi satu bingung bagaimana dirinya sebenarnya menyimpan
rasa khawatir atas perilakunya yang polos dan lugu itu.
@@@
Siang itu Erina duduk seorang diri di depan ruang kelas. Roddy hanya
memperhatikan gadis itu dari lantai atas yang sesekali menyapa orang lewat,
nggak peduli itu guru ataupun satpam.
"Eh, Erina, apa kamu pacaran sama Roddy?"
"Enggak, kita cuman berteman kok"
"Oh..."
"Kenapa?"
"Enggak.." jawab Erina yang spontan disambut raut cerah Viola
“Yess!! Berarti ada kesempatan aku jalan bareng sama Roddy”
Semenjak itu detik-detik terakhir Roddy mulai menjauhi Erina hingga mulai
terang-terangan Roddy jalan berdua kemana-mana bareng Viola. Itu membuat
suasana hati Erina perlahan mencelos seperti kehilangan sahabatnya dulu saat
SD, yang menganggapnya sebagai teman dekat layaknya sahabat, seketika sakit
karena sejak saat itu Roddy seperti terus menghindari Erina yang nggak tahu apa
penyebabnya.
Ia juga tidak begitu paham apa makna pacaran, apa maknanya jadian, dan
apa maknanya dua hati saling bertaut. Ia masih menganggap bahwa semua hanya
sekedar pertemanan, layaknya teman sesame jenis.
Ia juga tidak paham kenapa Viola sering jutek saat melihat dirinya.
Padahal, baginya sah-sah saja Roddy pacaran dengan Viola, tapi mengapa ia harus
menjauh bahkan menghindar darinya di saat ia tidak punya teman yang mau
memahami dirinya yang seperti hidup di tempat asing.
Awal jadian Roddy dan Viola
Lena adalah satu-satunya teman dekat Erina sejak SD hingga SMP, bahkan
detik-detik terakhir sebelum akhirnya Lena berangkat keluar kota untuk sekolah
atlet. Sejak itu Erina benar-benar merasa seperti terjun bebas ke laut lepas, saat
satu-satunya sahabat yang dia miliki kini benar-benar menjauh bahkan seolah
tidak lagi mau mengenal dirinya yang tinggal di desa.
Begitulah perasaan Erina pada Roddy yang menganggapnya sebagai sahabat
terdekatnya yang pernah jadi tempat curhatnya tahu-tahu menjauh begitu tahu
Roddy dan Viola jadian. Sementara di lingkungan sekolahnya ini, ia benar-benar seperti
orang asing yang sama sekali tidak bisa ia pahami dengan inderanya yang sangat
sensitive. Dari indera peraba yang geli dan risih dengan sentuhan seseorang
menjadikan ia menghindari teman-teman perempuan sekelasnya yang suka memeluk
dan menggandengnya. Telinganya yang sakit saat mendengar teman-temannya ngobrol
di kelas, organ pencernakannya yang bermasalah ketika makan makanan di kantin,
hingga Ia.. benar-benar merasa aneh dengan diri dan lingkungannya yang
benar-benar jauh dari bayangannya yang menyenangkan tentang sekolah.
“Bunda, badanku panas, tenggorokanku
sakit... Aku boleh pulang tidak?”
“Ah.. bukannya kemarin kamu baru pulang
kan ya?”
“Iya, tapi kepalaku sakit banget
rasanya”
“Tanya deh, sama Ayah”
“Lah, ayah suruh tanya Bunda”
“Ya kalau mau pulang ya pulang aja,
tapi jam segini mau naik apa kamu?”
“Okey, aku cari!” pesan Erina terakhir
kalinya hingga beberapa menit kemudian ayahnya telphon ajak diskusi terkait
sulungnya yang hendak pulang terkait transportasi memang sulit menuju
kabupatennya dari sekolah ke rumahnya.
“Hurrrayyyy!!!” pekik Erina begitu
mendapatkan pesan singkat ayahnya mendapatkan tiket travel.
Begitu sampai rumah, Erina langsung
mandi dan tidur.
Saat malam tiba, tahu-tahu pesan
singkat masuk di Handphonenya.
“Kata teman kelasmu kamu sakit?”
“Saki tapa?”
“Biasanya dikasih obat apa emang?”
Saat itu ibunya membaca pesan tersebut.
“Erina sudah tidur sejak sore tadi,
kak.. ini ibu nya”
“Oh.. iya tante, maaf”
“Demam saja kok,”
“Oh.. “
“Boleh tante tanya-tanya kak?”
“Oh..”
“Iya Tante,”
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan
Erina di sekolah ya?”
“Sepertinya Erina sering dapat bullyan
dari teman kelasnya, Tante”
“Oh… Iya, kalau itu tante tahu. Tapi
masalahnya kenapa kok Erina dapat Bullyan?”
“Kalau itu saya kurang tahu, Tante…”
“Oh…”
“Tolong dinasehati saja ya Kak, kalau
Erina nggak sering buat status aneh-aneh di medsosnya”
“Karena dia yang seperti itu jadi bahan
Bullyan teman-temannya”
“Iya tante”
“Maaf Tante, apa Erina bisa disembuhkan
ya?”
Spontan Arin tertawa cekikian geli
membayangkan status anaknya yang konyol dari cerita saudara sepupunya.
“Sebenarnya itu gurauan saja sih, Kak..”
“Dia nggak sebegitunya”
“O…”
“Termasuk urusan makan, kan?”
“Iya”
“Dia tetap makan kok, tapi kalau malam
memang…”
“Oh.. baik, Tante”
@@@
Sehari itu Arin membiarkan Erina tidur dan tidak menanyakan apapun soal
bagaimana dirinya di sekolah. Hingga di hari ketiga di rumah, ia mulai
bercerita bagaimana tidak nyaman dirinya di sekolah dengan segala keterbatasan
kemampuan dirinya menangkap keterangan guru di depan dengan pikirannya yang
sering meloncat mendarat kemana-mana.
Dalam kondisi lelah, Arin tak bisa diam begitu saja
dan menyerah pada keadaan anaknya yang seperti tak ada harapan untuk kembali ke
sekolah. Doddi memang sengaja melarang Arin tanya-tanya pada anaknya ketika
anaknya belum mau cerita. Tapi sebagai ibu ia tak tahan dengan cara yang
demikian, hingga Arin membaca gelagat diamnya yang mengisyaratkan dirinya itu
bodoh, jelek dan tidak berguna.
Sepanjang perjalanan dirinya mendampangi proses
Homeschooling anaknya, Arin memang tidak pernah meyakinkan jika anaknya ini
termasuk Gifted meskipun surat diagnose pernah ia lampirkan untuk urusan
Administrasi. Mau tidak mau Arin pun akhirnya membongkar-bongkar bagaimana
dirinya yang sebenarnya di mata teman-teman komunitas anak Gifted.
“Kata siapa kamu bodoh?”
“Kamu itu cerdas, tapi nggak percaya diri”
“Mau bukti?”
“Ini” kata Arin menunjukkan foto-foto dirinya di
antara teman-teman kelas yang membuat Erina seketika tertawa melihat wajahnya
yang manyun dan selalu menyingkir di antara teman-teman kelasnya.
Perlahan namun pasti, Arin mulai membongkar-bongkar
foto itu dan mendiskusikannya bagaimana dirinya selama di sekolah. Dan jenis
seperti apa anak-anak kelasnya.
Panggilan wali kelas
Pagi itu keluarga Erina datang ke
sekolah, sementara adiknya ikut dengan Erina, kedua orang tuanya menemui Wali
Kelasnya di sudut ruangan studio sekolahnya. Dan Haza masih tertidur karena
semalam suntuk ia begadang sampai pagi mengerjakan project development game
nya.
Wali kelasnya mulai menjelaskan
bagaimana keseharian Erina di sekolah dalam beberapa minggu, termasuk sering duduk menyendiri di luar kelas,
menolak pemberian makan orang lain, sampai kabar heboh yang menggemparkan
teman-teman satu angkatannya bahwa ada anak kelas satu yang tidak pernah makan.
Mendengar cerita Wali Kelasnya, Arin hanya tersenyum kecut bagaimana ini
ternyata menyulitkan pihak sekolah.
Tapi apapun itu, ibunya merasa sangat
bersyukur bahwa guru dan teman-temannya care dan aware dengan dirinya yang
tampaknya selalu menjauh dari teman-temannya.
“Sebenarnya ada awal cerita yang
membuat traumanya pembullyan di masa anak-anak yang membuatnya menjauh dari
teman kelasnya Pak”
“Apa ya Bu? Sepertinya teman-teman
kelasnya semua support”
“Jadi waktu perkenalan kelas, untuk
menghadapi rasa groginya ia melakukan intermezo dengan banyak tanya pada kakak
pembinanya”
“Dan ketika ia kembali ke mejanya, ada
chat-chatan masuk dari teman lelaki yang duduk di bangku sebelahnya”
“Erina, waktu kamu maju tadi kamu
dighibahin dua cewek di belakangku; “Eh, lihat tuh anak itu aneh ya?!””
“Sejak itulah trauma memori masa
kecilnya yang mengalami pembullyan seperti kembali hingga membuat dirinya tidak
nyaman di kelas, dan menghindar teman-teman kelasnya”
“Selain itu Erina ini anak dengan Dominan
Otak Kanan pak”
“Ohh… begitu Bu”
“Hm, iya”
“Salah satu ciri dari sekian anak
dengan dominan otak Kanan itu dia sangat sensitive”
“Katakanlah, mengapa ia tidak bisa main
dengan teman kelasnya yang cewek. Karena mereka suka pegang-pegang atau
peluk-peluk seperti umumnya anak-anak remaja cewek, dan Erina ini risih dengan
yang namanya sentuhan”
“Jangankan dengan orang lain, saya
sendiri ibunya nggak bisa memeluk dia. Bahkan ketika pertama kali hendak kami
tinggal”
“Oh… sebegitunya ya Bu?”
“Iya Pak, dulu kami juga menduga yang
tidak-tidak, tapi ketika tahu bahwa begitulah pola anak dengan Dominan Otak
kanan, kami pun mau nggak mau menyadari itu”
“Lalu mengapa ia sering duduk di luar
kelas sendiri?”
“Ini erat kaitannya dengan sensitifitas
telinganya”
“Dulu di waktu kecil, kami nggak paham
kenapa dia sering marah hingga nangis di saat ia mengerjakan sesuatu kami
ngobrol berdua”
“Ya ngobrol biasa seperti ini”
“Dia teriak kalau telinganya sakit
mendengar kami ngobrol”
“Saya kira ini akan hilang dengan
sendirinya saat remaja, tapi ternyata masih sama. Dia sering ngeluh saat
dikelas mendegarkan teman-temannya ngobrol kesana kemari, tapi ia tidak paham
apa yang mereka obrolkan”
“Bahkan ia sering ngeluh tidak paham
dengan penjelasan gurunya di depan kelas”
“Ini kaitannya merubah audio menjadi
visalisasi gambar ke dalam memorinya”
“Anak-anak dengan Dominan Otak Kanan
ini sering kesulitan menangkap penjelasan guru ketika mereka tidak bisa
memvisualisasikan global detil penjelasan gurunya ke dalam sebuah video dalam
memorinya”
“Bagi Erina, ini sangat penting dalam
memahami apapun”
“Jadi sekalipun gurunya bukan ahli
menggambar, satu dua goresan garis di papan tulis, akan ia kembangkan sendii
menjadi sebuah gambar menarik dengan iajinasinya yang luar biasa tinggi”
“Oh… kok bisa begitu ya Bu?”
“Nah, persoalan dia menghindari
teman-teman kelasnya”
“Sebenarnya bukannya ia tidak suka
dengan mereka teman-teman cewek sekelasnya, melainkan Erina merasa tidak cocok
dengan obrolan mereka”
“Erina juga mulai sering cerita kalau
ia duduk di depan kelas sering bertemu orang-orang yang sefrekuensi dengannya
yang membahas isyu sosial, budaya hingga sains”
“Ini kaitannya dengan karakter anak
berbakat istimewa atau Giftednesnya, yang sekilas ia rigid dengan hal-hal
semacam itu”
“Oh… syukur ibunya paham ya Bu.. karena
kadang ada kasus anaknya begini dan begitu, tapi orang tuanya nggak paham
sebenarnya apa yang terjadi dengan anaknya”
“Kalau mungkin ini masuk ranah
psikolog, mungkin akan ada banyak sekali caatan-catatan untuk dia,
termasuk dianggap sebagai gangguan
belajar, padahal masalahnya bukan di situ. Tapi ada di cara kerja otaknya yang
memang berbeda dari keumumannya orang”
“Lalu bagaimana cara mengatasinya Bu?”
“Diajak mengatasi kesulitannya ini
menjadi peluang bagus bagi dia”
“Oh.. bagus kalau begitu Bu”
“Hm, iya Pak”
“Misalkan, karena dia mudah terdistrak
dengan otaknya dia kita ajak untuk melihat dengan visual gambar
(Bersambung memahamkan bagaimana otak
kaannya bekerja)
@@@
Saat mereka keluar dari area sekolah, kendaraannya
berhenti di depan warung makan.
“Aku itu nggak mau menerima makanan
mereka bukan berarti aku nggak mau, Bu” jawab Erina begitu ibunya mulai ceramah
panjang lebar dalam kendaraan.
“Soalnya aku pernah menerima makanan
pemberian temanku, dan aku langsung dicap gimana sama temanku itu, terus
lama-lama dia menjauh”
“Hhh… Erina, tidak semua orang yang
memberi makanan itu selalu beranggapan seperti itu”
“Jangan-jangan mereka seperti itu
karena mereka empati sama kamu”
“Tapi aku nggak suka dikasihani”
“Hhh… terus kamu buat status nggak
makan 15hari itu tujuanmu apa coba?”
“Hahaha… seru aja. Kok pada percaya banget
sama hal begituan”
“Nah, kan?!”
“Mereka yang baru mengenalmu slengekan
seperti itu, dikira beneran kamu nggak makan”
“Karena lagi-lagi kamu ngeluh kalau
enggak pusing, mual mau muntah atau gemeteran dan nggak bisa tidur”
“Kemarin waktu di rumah, kamu tidur jam
2 sampai jam 3 pagi nggak masalah”
“Sekarang itu jadi masalah, karena
paginya kamu harus belajar di kelas”
“Lalu itu daging, ayam sama telormu
pada kemana kalau kamu sampai pingsan gara-gara nggak makan?”
“Ya aku makanlah, kalau malam”
“Terus?”
“Aku mau jujur tapi ibu jangan marah
ya?”
“Iya marah kalau sampai kamu bagi-bagi”
“Enggak, bu.. santai aja”
“Terus?”
“Aku kasihkan ke kucing-kucing liar di
pinggir jalan”
“Maksudmu??!” ibunya melotot geram
“Ya karena mereka kasihan, Bu… kurus-kurus.
Beberapa juga ada yang penyakitan”
“Lalu pilih mana? kamu yang penyakitan lalu nggak
bisa belajar, atau kucing yang penyakitan tapi kerjaannya makan, tidur, sama
pup?”
“Ya, kan nggak semua Bu, yang aku kasih”
“Iya, tapi itu tuh untuk stok laukmu setiap hari,
Non..”
@@@
Arin dan Mertua
“Darimana?”
“Jenguk
Erina, Nek..”
“Anak
tuh nggak usah dijenguk terus, biar dia mandiri”
Dua
pasangan muda itu saling menoleh berisyarat
“Ada
panggilan wali kelasnya Erina, Nek..” jawab Doddi santai
“Kenapa?”
“Nggak
apa-apa, cuma soal makan”
Mulailah
perempuan dengan kepalanya yang sudah ditumbuhi banyak uban itu bernyanyi, berkomentar
soal cucunya yang sejak dulu tidak disekolahkan.
“Coba
dari dulu dia sekolah, paling ya nggak buat gara-gara seperti itu” cletuknya
membuat Arin seketika menelan ludah seakan salah perhitungan saat menjawab
“Itu
karena anak nggak pernah kamu sekolahkan”
“Semua
anak Homeschooling yang aku kenal, anaknya baik-baik saja tuh Nek..”
“Ya tapi
kan anakmu nggak pernah keluar”
Arin mulai
menahan emosinya, ia hanya tersenyum kecut
“Lalu dia habis jutaan untuk
sekedar les antar kota itu apa kalau nggak berinteraksi dengan anak seumurannya,
Nek...”
“Bun,
tolong ambilkan bajuku” pinta suaminya yang jarang-jarang ia minta tolong pada
Arin. Tapi perempuan itu paham, ia hanya menghindarkan cek cok dirinya dengan
ibunya yang pensiunan guru.
“Bu,
Arin itu sudah berusaha keras membantu pertumbuhan dua anakku sejak bayi hingga
detik ini”
“Dia
berkorban meletakkan karirnya hanya gara-gara melihat pertumbuhan anakku yang
sejak dulu benar-benar merepotkan”
“Ya yang
namanya ngurus anak itu repot, Dod!”
“Ibu
dulu kan ada pembantu, nggak diasuh sendiri”
“Iya itu
karena aku kerja, istrimu sudah nggak kerja, anaknya nggak sekolah”
“Bu, ibu
tahu nggak…”
“Dibanding
anak-anak pada umumnya, kemampuan Erina itu jauh. Begitu juga dengan adiknya
yang menguasai Bahasa inggris sejak kecil tanpa ada yang ngajar”
“Aku
bangga sama usaha Arin sampai sejauh ini, Bu..”
“Untuk
mengatasi dua anak itu dia sering jatuh sakit karena capek ngatasi tenaganya yang
besar dan susah tidur. Belum lagi dia mesti belajar sana sini. Ikut seminar,
workshop, melonggarkan waktu dan uang untuk pertemuan anak-anak cerdas semacam Haza”
“Selain
dia masih membuat catatan perkembangan anak-anak sejak mereka bayi”
“Hari
ini, mana ada perempuan mantan aktivis semacam dia yang dulu dibilang anti
lelaki tapi waktu berkeluarga dia harus tekuk lutut berdiam diri di rumah
ngajar anaknya sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun sejak anak
masih bayi-bayi aku tinggal ke Yogya hingga mereka remaja”
“Kenapa Ibu
bisa bilang seperti itu?”
“Ya aneh
saja, orang anaknya pegawai kok nggak sekolah. Mau jadi apa nanti”
“Nek…
sebenarnya ujungnya sekolah itu untuk apa sih kalau bukan untuk kerja”
“Ya biar
jadi orang sholeh, dilindungi Allah hidupnya. Nggak berbuat maksiat”
“Anakku
sudah berbuat maksiat apa selama ini Nek…”
“Ya itu,
nggak sopan. Kalau dibilangi selalu jawab”
Spontan
Doddi tertawa
“Ya
memang anak-anak cerdas itu seperti itu, Nek.. beda sama anak-anak normal”
“Kalau
dibilangi apa selalu nurut, diam manggut-manggut meskipun mereka nggak suka”
“Karena
generasi seperti itulah negara kita bisa hancur, Nek… nggak ada yang berani
berkata baik dan salah dengan tegas”
“Coba saja lihat cucu-cucu nenek yang lain,
kalau dinasehati apapun selalu diam. Padahal mereka nggak suka sama nasehat
Nenek”
“Dosa
itu!” cletuk perempuan tua itu kesal yang langsung ditertawakan Doddi dengan
memeluknya erat-erat.
“Sudahlah
Nek.. tugas nenek sekarang itu cuman melihat cucu-cucunya tumbuh saja”
“Jamanku
sama anak-anak saja sudah berbeda, apalagi masanya nenek sama Erina terlalu
jauh yang membuat Nenek pusing sendiri kalau pikirannya khawatir terus”
“Bukannya
kata ustadz, belajar semeleh?”
“Lagipula
kalau dunia isinya seperti yang diinginkan nenek semua, dunia sepi karena
pemikiran semua orang sama”
“Pengadilan
sepi karena nggak ada orang ribut, dan anakmu ini nggak dapat pekerjaan” tawa Doddi
yang membuat perempuan yang jalannya sudah mulai sempoyongan itu ikut
terkekeh-kekeh lupa akan apa yang baru saja dikatakannya.
Bawa lari duitku
Pagi-pagi sekali Erina sudah rapi dengan seragam batik bawahan abu-abu.
Ia menelfon orang tuanya yang baru saja selesai sholat subuh untuk minta
kiriman uang.
“Jam berapa ini masih gelap seperti ini, kamu sudah mau berangkat
sekolah?”
“Enak, berangkat pagi. Sekolah masih sepi, udara di sini juga masih
sejuk”
“Ibu, aku boleh minta kirim uang tidak?”
Ayahnya yang baru keluar dari kamar mandi kaget melihat sulungnya di
layar ponsel sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
“Masih gelap begini kamu mau kemana”
“Sekolah lah”
“??”
“Ayah, duitku tinggal sisa seribu”
“Sekarang sudah menuju ATM”
“Sudah ngaji belum?”
“Sudah lah”
Sembari berjalan, ia menunjukkan dua buah rumah besar yang bagus dengan
halaman yang luas di sepanjang jalan yang ia lewati. Ia mulai bercerita
bagaimana design rumah-rumah yang unik dan menarik dengan pencahayaan dan
sirkulasi udara yang cukup. Sembari bercerita, ibunya hanya memperhatikan mimik
wajah yang banyak menahannya.
“Aku sudah sampai ATM yah,” kata Erina yang langsung dipandu ayahnya
untuk mengambil tarik tunai tanpa kartu. Begitu selesai ambil uang wajahnya
bersinar seketika.
“Yeahhh!!”
Ia berjalan tenang sendiri menelusuri pinggir jalan menuju ke
sekolahnya. Hingga tiba di depan gerbang, lagi-lagi ia terpesona dengan udara
pagi yang baginya terlalu sayang untuk dilewatkan hingga ia berdiri di depan
pintu gerbang sekolah.
Ia mengambil beberapa sudut foto sekolahnya yang dibangga-banggakannya
selama ini dari berbagai sudut, hingga duduk di emperan belakang untuk cek
foto-fotonya di layar ponselnya. Tiba-tiba saja seekor datang memainkan tiga lembaran merah di
pangkuannya, awalnya ia tidak berpikir macam-macam. Tapi begitu uangnya
digigit, ia melotot tarik-tarikan uangnya hingga si lari terbirit-birit meloncat pagar sekolah
sebelah.
“Sialannnn!!!”
Melihat adegan itu pak satpam tertawa geli.
“Kenapa uangnya nggak dimasukkan dompet saja tadi?”
“Nggak punya dompet, pak”
“Minimal dimasukkan tas kan bisa, Kak”
“Ya sudahlah Pak.. barangkali belum rejeki saya” ujarnya manyun
garuk-garuk kepala pergi meninggalkan tawa nyengir dua orang satpam di gardu
depan.
Tiba-tiba saja Wilson datang.
melihat ribut-ribut Erina dan pak satpam, Wilson berisyarat mata.
“Hei,”
“Kenapa kau?”
“Hehe…”
“Kenapa?!”
“Duitku digondol kucing”
spontan Wilson melotot
“Kok bisa?!”
“Berapa?”
“Seratus”
“Serius??!”
“Ngapain aku bohong?”
“Mampus”
“Sialan!”
“Tahu gitu nggak aku kasih
tahu”
“Ya habis kau ini aneh, uang
segitu kamu letakkan diluar”
“Sssttt… sudah diem kau! Nggak
tahu masalahnya cuman ngutuk aja”
“Terus kemana itu kucing,
kenapa nggak kau kejar?!”
“Gila apa, aku harus loncat
pagar sekolah sebelah”
“Ahh…?!”
Reza si anak Autism
Seperti hari-hari sebelumnya, Reza yang tidak pernah diberi uang cash
oleh orang tuanya mesti putar otak untuk mendapatkan uang cash dari uang
digital orang tuanya. Salah satu caranya dengan mengajak teman-temannya belanja
ke minimarket menggunakan kartu visanya, lalu teman-temannya membayar belanjaan
mereka dengan uang cash itu kepadanya.
Dan satu-satunya orang yang ber empati dengan Reza adalah Erina.
Awalnya Arin kesal karena uangnya cepat habis hanya untuk menolong
temannya belanja ke minimarket yang harganya jauh lebih mahal, atau sekedar
membelikan makan siang temannya yang belum sarapan dua tiga hari. Tapi lambat
laun ia mulai membaca empati Erina pada Reza yang sering dijauhi
teman-temannya. Ia cerita bahwa ada beberapa temannya yang mirip sekali dengan
adiknya Haza, bahkan perilakunya jauh lebih aneh daripada Haza. Dari situlah
Erina niat banget bantu Reza mendapatkan uang cash dari orang tuanya dengan
cara belanja di minimarket.
Di awal mereka masuk sekolah, banyak teman lelaki yang mau diajak
belanja, karena Reza selalu berikan potongan dari harga minimarket, termasuk
diantaranya Roddy, Nino, dan Wilson. Tapi satu persatu mereka tidak mau lagi,
karena dianggapnya pemborosan keuangan mereka sebagai anak kost.
Sementara satu-satunya teman yang masih mau membantu adalah Erina,
kadang juga Roddy. Tapi yang paling respek adalah Erina, karena ia melihat diri
Reza seperti halnya adiknya dulu yang sering dijauhi teman-temannya sekomplek
perumahan. Ia paham betul bagaimana rasanya dijauhi orang-orang di sekitarnya,
termasuk dirinya yang sejak awal pertama masuk sekolah ia sudah dianggap aneh
oleh dua anak cewek hingga Erina pun pilih menghindar dari teman kelasnya.
Seperti hari-hari biasanya, meskipun risih di kelas. Tapi semenjak ia
mendapatkan head set baru dari ibunya, ia selalu menutup telinganya dengan head
set dan menyalakan music, sementara ia mulai bisa menikmati suasana kelas yang
riuh sepanjang jam-jam kosong berlangsung. Ada pemandangan yang sebenarnya
sangat menjijikkan melihat beberapa orang teman kelasnya yang pacaran sampai
main peluk-peluk segala macam membuat ia benar-benar muak dengan pemandangan
itu dan selalu membuatnya protes pada guru BK agar menegakkan peraturan yang
sudah disepakati seorang calon siswa sebelum ia diterima di lingkungan sekolah
tersebut.
Ia benar-benar getol dengan pemandangan itu dan mendesak guru BK agar
mendisiplinkan mereka bagaimanapun caranya. Untuk apa aturan dibuat kalau
ujungnya hanya sebagai tempelan yang tidak ada gunanya.
Tapi alih-alih taat pada aturan, ia justru melanggar aturan itu dengan
tidak pernah memakai kartu tanda pengenal siswa yang harus dipakai di leher,
dengan alasan lehernya sakit berasa seperti ditekak jika itu dipakai.
Tiba-tiba saja handphone nya bergetar menandakan ada pesan masuk;
“Cucuku… ayo temani aku belanja” bunyi chat Reza
“Ntar aku belikan jajan dah!”
“Serius???” Erina melotot dengan mata bulatnya yang orang melihatnya
saja, dengan karakternya pasti tertawa
“Ya”
“Jam berapa? Nanti sore kau ikut Air Soft Gun nggak?”
“Ikut”
“Kalau gitu, selesai jam sekolah aja”
“Aku harus ngaji dulu soalnya”
“Kalau absen nanti bakal kena marah lagi sama ibu asrama”
“Oke”
Siang itu Reza sudah menunggunya di depan pintu gerbang utama. Bapak penjaga
pintu gerbang sampai hafal dengan mereka berdua, terutama Erina karena saking
ramenya dan doyan ngobrol di saat jam-jam santai.
Erina memang tipikal anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan
orang-orang usia di atasnya atau di bawahnya tinimbang seusianya. Meskipun
mulanya Arin tidak percaya dengan karakter giftedness anaknya yang demikian,
tapi lambat laun ia sadar bahwa itulah letak perjuangan Erina di sekolah
formal. Seperti katakanlah gurauan Erina yang tampak konyol dan kebablasan
sering dianggap tidak wajar dan susah dimengerti yang membuat teman-temannya
ini hanya diam dan bingung. Seperti halnya gurauan konyol kalau ia lompat pagar
asrama malam-malam untuk pergi ke gunung.
“Hallo
Cu…” sapa Reza dari jauh
“Lama
nian kau!”
“Baru
selesai” jawabnya kembali memperbaiki letak kacamatanya yang tebal
Mereka
berjalan beriringan sepanjang jalan menuju minimarket yang sudah banyak penjaja
makanan ringan di depan sekolah. Melihat sekelebat bayangan Roddy dan Viola
perasaan Erina sedikit mencelos, tapi ingat kata-kata ibunya untuk tetap fokus
pada tujuan sekolahnya di situ untuk apa, dan apa yang harus ia kejar saat
itulah ia mulai tidak peduli lagi.
Viola
yang melihatnya lebih dulu, pura-pura tidak melihat keduanya. Tapi kemudian
Roddy yang hanya menyapanya dengan wajah risih, hanya dilambaikan tangan saja
oleh Reza yang cuek.
Begitu
keduanya masuk, Erina hanya ngekor di belakang Reza yang mulai ambil barang
dengan keranjang belanjaan.
“Sudah,
kamu boleh ambil salah satu apa yang kamu mau”
“Wookeeeii!”
serunya membuat Erina semangat mencari makanan yang selama ini ia inginkan.
Ia
mengambil roti sobek besar.
“Woi!
Ini ya?!”
“Jangan
itu Cu..! mahal!”
“Kasihan
kakekmu ini yang dicekik sama ortunya ini”
“Ampuunnn..
terus??” Erina nolah noleh bengong, matanya yang bulat ngikuti kemana Reza sibuk
mencari sesuatu untuk dirinya.
“Ini
aja kamu” katanya mengambilkan minuman soda botol besar
“Aku
nggak minum ini, bodoh!”
“Tenggorokanku
bisa sakit, ntar”
“Halah!
Sesekali kamu coba, nggak bikin kamu mati”
“Haahhh…”
lenguhnya kecewa menatap botol minuman bersoda warna orange
Erina baru sadar, kali ini Reza membawa belanjaan begitu banyak tidak
seperti hari-hari sebelumnya.
“Tapi kenapa belanjaanmu banyak sekali?” tatap Erina pada keranjang
belanjaan yang penuh
“Biar aja, aku habiskan semua kirimannya”
“Gila!”
“Buat satu bulan kamu habiskan semua?”
“Lha kenapa?”
“Diatur kek,”
“Ssstt…! Sudah, jangan berisik” tangannya menghalau Erina untuk diam dan
terus berjalan
Gadis itu menatap bingung pada temannya yang sejak awal semester
menemaninya itu. Ia tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini ia tampak
frustasi dengan dirinya. Tapi alih-alih bertanya, ia lebih menahan untuk diam
dan mengikutinya keluar setelah membayar di kasir.
@@@
@@@
Saat itu Wilson dan Erina terlibat
dalam obrolan tugas jurusan mereka Animasi. Sementara Roddy mulai hanya menjadi
pendengar yang baik bagi keduanya. Viola yang melintas di depannya langsung
nyamperi Roddy. Ia mengalihkan perhatian dari keduanya dan mengajaknya pergi
dari sana.
"Aku itu nggak suka sama anak itu"
"Siapa?"
"Wilson?"
"Bukan"
“Lah? Siapa?”
"Erina?"
“Hm,” bibirnya cemberut yang hanya disenyumi Roddy
"Caper"
"Hmm?? Caper??"
"Iya, dari status-satusnya itu loh"
"Oh.. dia anaknya kan memang begitu" katanya tertawa lebar
membayangkan kekonyolan dia yang menganggap dirinya gila dengan gurauannya yang
sangat khas kebablasan.
"Menurutku, ya dia memang begitu cara menyapa banyak orang"
"Selalu bikin move yang membuat gempar"
"Iya itukan namanya Caper"
"Ya... mungkin seperti itu bahasamu"
"Tapi sepanjang aku tahu, dia nggak berniat seperti itu sih. Cuman,
begitulah cara dia menyapa banyak orang"
“Lagipula lihatlah anaknya, selalu
berantakan”
Roddy hanya senyum. Tapi lama kelamaan
Roddy mulai risih dengan kritikan Viola tentang Erina yang punya masa lalu
menyedihkan.
“Terserah kaulah,”
@@@
Cerita Ibu
"Ibu dulu pernah dapat kiriman surat dari cowok-cowok ganteng”
“Serius?”
“Terus terus???”
“Ya untuk apa?”
“Bersenang-senang begitu??”
“Noo…”
“Bagi ibu saat itu, sekali terlibat
dalam pacaran. Tamatlah Riwayat jadi anak remaja yang happy”
“Belum tentu cowok ganteng itu otaknya
cerdas, tapi orang cerdas belum tentu juga ganteng”
“Hahaha… pilihan ibu selalu rumit”
“Ya karena pada dasarnya kita, para
cewek itu harus bisa berdikari”
“Dulu sekali ibu paling benci sama
pacaran, karena prinsip yang dipakai selalu top and down. Dan ibu paling alergi
dengan positioning seperti itu. Di bawah perlindungan lelaki”
“Lelaki ideal ibu dulu seperti apa
sih?”
“Idealis ibu dulu??”
Arin senyum-senyum membayangkan
peristiwa beberapa puluh tahun lalu saat dirinya disukai anak starboy di
sekolah yang membuatnya gempar satu Angkatan.
“Yang jelas ganteng, tinggi, dan
cerdas”
“Tapi di akhir-akhir masa kuliah, pesan
nenekmu dulu cuman tiga, 1. sayang sama kamu, 2. mau nekuk lutut (alias sholat)
3. mau bekerja, sudah.. itu saja”
“Dan ternyata benar ketemu ayah yang
berasa ketemu ensiklopedi berjalan” Erina tertawa ngakak
Keduanya tertawa bahagia
“Kerasa nggak sih, kalau Ayah itu
berasa seperti jadi Babu nya ibu”
“Ya haruslah!”
“Ayah bisa bertekuk lutut pada Bunda
seperti itu bukan tanpa sebab”
“Itu melalui proses panjang, dari
sekedar doa, membuka pengetahuan lagi seputar bagaimana neurosains, sampai
diskusi panjang lebar dengan ayah”
“Tapi… ingat nih,”
“Kalau kita ingin dapat pasangan yang
cerdas, ya mau nggak mau kita harus cerdas juga”
“Itu hukum alam berlaku sekali”
“Kalau kamu ingin dapat pasangan yang
pintar dan cerdas, mulai detik ini asah kemampuanmu di bidang apa yang kamu
sukai”
“Biar kamu pun nggak mudah diremehkan
pasanganmu”
“Dan pesan ibu saat ini cuman satu”
“Kejar betul itu cita-citamu, perbaiki
citra dirimu”
“Itu yang membuat value dirimu lebih
tinggi diabnding cewek murahan yang mudah ditakhlukkan”
“Karena kau tahu kan… karakter lelaki
itu penantang ulung”
“Kalau ada cewek kok mudah banget
ditakhlukkan, percaya deh… mudah saja ditinggalkan”
“Itu rahasia public dunia lelaki”
“Ketika kamu ngejar betul cita-citamu, lelaki itu bakalan
pada datang sendiri kok ke kamu, percaya aja deh!”
“Asal karaktermu baik loh ya…”
“Jadi, ngapain kamu sakit hati kalau ditinggalkan
Roddy?”
“Kenapa juga sakit hati, ih! Ibu nih sama seperti
yang lainnya” Erina nrocos seketika membuat Arin tertawa terkekeh geli
membayangkan gadisnya yang belum paham apa makna jatuh cinta.
“Beneran bu! Aku itu nggak suka sama Roddy!”
“Iya deh, iyaa…”
“Perasaanku sama persis seperti waktu aku mulai
dicueki Lena, Bu”
“Iya, apalah itu Namanya”
“Lah, emangnya aku suka sama Lena?”
“Ibu ini gimana sih” gerutu Erina kesal
“Erina! Dalam hukum pertemanan, nggak ada yang
namanya hubungan akrab lelaki dan perempuan kecuali ada perasaan suka satu sama
lain”
“Nggak ada bu!”
“Iya deh iya…” tawa ibunya melirik Erina geli yang
masih cemberut hingga tersenyum hingga tertawa lebar
“Dibanding Roddy mending Fero lah bu,”
“Roddy tu apasih? Cuman menang tinggi aja. Ganteng
juga enggak, gigi juga enggak rata, hitam juga”
“Hush! Itu anak orang kamu jelek-jelekin!”
“Biar aja sih!”
“Orang aku bilang nggak suka ya enggak! Titik”
@@@
“Sadar dirilah…”
“Setahu ibu, Viola itu sudah deket duluan sama
Roddy sebelum kamu kenal dia kan ya?”
“Kok ibu tahu?”
“Ibumu itu selalu tahu teman siapapun
yang dekat denganmu sejak kamu kecil nak..”
Erina yang saat itu demam begitu sampai
di rumah ia merasa lebih baikan.
“Sudahlah Nak.. seperti nggak ada
lelaki lain aja”
“Maksud??”
“Ya.. ibu tahu dari cerita adekmu sama
Roddy”
“Kamu cerita apa sama ibu, Za??”
“Kan sepertinya kamu pacaran sama kak
Roddy” tawa Haza
“Sembarangan kamu”
“Nah, kan emang benar kan??” riuh suara
Haza berusaha mengacaukan suasana obrolan Erina dengan ibunya.
“Bu, ibu tahu nggak sih.. aku itu
rasanya seperti ditinggal Lena ke luar kota dulu”
“Ah… yang benar Kak?”
“Sialan kamu” spontan meraih bantal dan
melemparnya ke arah Haza “Buggg!!”
“Beneran Bu,”
“Aku sadar diri kok bu,”
“Cantik enggak, pinter juga enggak,
sudah kalau ngomong masih belepotan pula”
@@@
Pertama unggah foto di medsosnya
“Hwkwkwk… Erina yang nggak pernah mandi, nggak
pernah makan dan nggak pernah ganti seprei ternyata masih bisa foto bergaya
juga”
“Ngejek nih ceritanya?”
“Enggak”
“Aslinya banyak fotoku yang seperti itu, cuma nggak
pernah aku post aja ke medsos”
“Ya.. ya..”
“Akhirnya aku berhasil bohongin orang se sekolah
kalau nggak makan selama 30 hari”
“Jadi kamu bohongin aku nih, ceritanya?”
“Baru tahu to?”
“Hooo… begitu ya”
“Lagipula mana ada sih Rodd, orang nggak makan
selama tiga puluh hari, yang ada sudah gepeng jadi tempe”
“Bodoh banget, kok ya percaya?”
“Jadi kamu bodoh-bodohin aku nih?”
“Bersyukurlah kalau merasa, ternyata bukan cuman
aku orang yang bodoh di sekolah. Masih ada kamu”
“Hahaha… uh, dasar”
@@@
Tahu dirinya ada yang tak beres,
cepat-cepat Erina lari masuk kamar mandi.
“Ahhh.... Kenapa mesti sekarang, rok ku
kan putih.. mana aku nggak bawa Hp lagi”
Roddy yang tercengang liat Erina lari
masuk kamar dengan bercak merah di belakang roknya tanpa pedulikan keberadaan
dia ia hanya tersenyum aneh.
“Ah, dasar tuh anak dari dulu nggak
berubah” pikirnya berlalu begitu saja. Tapi sesaat langkahnya terhenti seolah
ada tengah menyimak pikirannya yang terlintas. Dan ia pura-pura lagi melintas
depan kamar mandi.
Erina yang berdiri cemas di depan kamar
mandi melongok-longok kanan kiri barangkali saja ada seseorang yang dikenalinya
lewat. Tapi saat itu tak ada seorang pun di sana yang lewat kecuali Roddy.
“Roddy!!!”
“Hei, kenapa kamu di situ?”
Erina cengar cengir ragu sambil
menutupi rok putihnya yang basah.
“Hehe.. boleh minta tolong, kah??”
“Apa??!”
Erina diam lama bingung mengucapkan
kata membuat Roddy bingung.
“Kenapa woi! ngomong aja”
“Gini aja deh, panggilkan aku Zizi”
“Hah! Ngapain juga aku capek-capek naik
ke lantai tiga panggil anak cewek yang nggak aku kenal”
“Please! Genting banget”
“Apa, bilang aja susah banget”
“Beli pembalut!” teriak Erina kesal
membuat Roddy melotot
“Kamu nggak mau kan?! Makanya
panggilkan aku Zizi” gertak Erina
Roddy menarik nafas kesal celingukan
bingung mencari-cari sosok cewek yang dikenalinya. Tapi situasi saat itu
benar-benar lengang.
“Cuman itu saja kan??” Roddy
garuk-garuk kepala antara kesal, bingung dan.. campur aduk.
“Iyalah!”
Roddy berlalu begitu saja meninggalkan
Erina yang bingung.
“Hei!! Rodd, tolong, please!”
“Nyebeli, kenapa itu anak malah pergi?”
pikir Erina bingung clingukan menunggu-nunggu orang yang lewat.
Saat itu Zizi lewat
“Ziziii... Ahh.. dewa penyelamatku”
“Kenapa kau?”
“Belikan aku pembalut, please..”
“Kenapa nggak bawa tadi?”
“Aku nggak tahu”
“Please, Zizi.. Cepetan” rengek Erina
mendorong balik tubuh Zizi pergi.
Saat di Minimarket sekolah tiba-tiba
kaget melihat Roddy di kasir tengah membayar pembalut yang diletakkan di
depannya.
Melihat itu Zizi spontan tertawa
cekikikan geli memunggungi Roddy.
“Sialan!” gumam Roddy kesal yang
diikuti tawa ibu kasir
“Aih... Buat cewekmu ya kak”
“Nggak bu” wajah Roddy merah padam
Saat keluar dari kantin beberapa
temannya menyapa, tapi takut ketahuan apa yang dibelinya Roddy jalan setengah
berlari.
Begitu sampai di depan toilet, Erina
masih jongkok. Tahu-tahu Roddy datang
“Erina, nih tangkap!”
“Swiiing... Bluk!!” Mendarat di got.
“Hah!!??”
“Gila kau, kenapa juga mesti dilempar?!”
“Maaf..” jawab Roddy melongo melihat
bungkusan kresek hitam itu masuk ke got yang menggenang. Tanpa ba bi bu, ia
langsung meraih sebilah potongan besi dan meraih-raih kresek hitam.
“Ngapain kalian?” tanya Zizi melongo
melihat dua orang yang mirip dan tikus
itu mendadak akur mencari cara mendapatkan benda di got.
“Gimana? Dapet??” tanya Erina
“Ini”
Erina menyambar kresek hitam milik
Zizi.
“Lah, terus?!!” Roddy bingung melihat
Erina segera menghilang ke kamar mandi, ia berhenti meraih kresek hitam itu
“Ini” kata Roddy memberikan potongan
besi pada Zizi dan pergi begitu saja membuat Zizi pun bingung, dan ia kembali
meraih-raih kresek hitam yang tengah tenggelam di got.
Saat Erina keluar, Zizi telah
mendapatkan kresek hitam yang telah basah kehitaman. Sementara begitu dilihat
berisi sebungkus pembalut spontan Zizi tertawa terpingkal-pingkal meninggalkan
rasa malu Roddy yang berlari menjauh.
“Hmmm... begitu rupanya”
“Apanya?” ucap Erina innocent
“Nih! Mana ada coba, cowok mau
membelikan pembalut kalau nggak ada rasa suka” kata Zizi memberikan kresek yang
telah basah membuatnya jijik dengan air got. Merasa eman Erina mencapitnya
dengan ujung jari ke wastafel dan mencucinya hingga bersih “Eman kan, uang
sepuluh ribu dibuang” katanya menyobek sedikit bungkusan pembalut yang masih
utuh dan bersih, lalu memasukkannya jadi ke dalam kresek dari Zizi.
“Itu tadi karena aku yang minta tolong
ke dia” katanya sambil menggiring Zizi keluar dari area kamar mandi
“Dan kamu nggak malu??”
“Kenapa malu? Orang dia tak suruh
panggilkan kamu nggak mau” katanya yang membuat Zizi spontan tertawa geli
“Erina...”
“Iya… Tapi??!!”
“Aah… sudahlah, berisik banget kamu”
“Siapa yang berisik coba, bukannya dari
tadi kamu yang ngomong terus?”
“Iya deh.. iya,”
@@@
Sore itu dengan cueknya Erina duduk di
emper depan kelas dengan rok putihnya.
“Rodd, tadi habis berapa?” chat Erina
pada Roddy
“9 ribu”
“Aku tunggu di bawah”
“Besok aja”
“Sekarang aja, mumpung aku bawa duit”
“Aku lagi sibuk ngejar tugasku”
“Sekarang”
“Besok”
“Sekarang”
“Sekarang! Atau enggak aku bayar
sekalian gara-gara kamu lempar ke got” Erina ngedumel melototi Hp
“Halo Erina” Sapa gadis dengan kulitan
kuning langsat yang selalu menutupi wajahnya dengan masker melintas di depan
kelasnya
“Halo Viola”
“Kamu ikut lomba?”
“Heee.. Enggak”
“Oh..”
“Kenapa? Padahal project-projectmu
bagus loh”
“Hehe… iya”
Tiba-tiba muncul Roddy turun dari
tangga, tapi begitu melihat sosok Viola, ia kembali naik.
“Hei kunyuk!!” seru Erina spontan
membuat Viola menoleh siapa sosok yang dipanggilnya.
Begitu ia melihat sekelebat bayangan
Roddy, Viola melotot menatap Erina yang nyengir merasa keceplosan.
“Hehe…”
“Roddy,”
Roddy nggak mau beranjak dari tangga,
ia tetap berdiri di tangga hingga Erina pun ngalah bangkit dari duduknya untuk memberikan
uang itu di samping tangga. Viola telah pergi dari sana saat Erina kembali.
Melihat kepergian mereka berdua, Erina
jadi merasa aneh “Ada apa dah, kalian berdua?”
“Mbok ya kalau pacaran itu baik-baik
aja!”
“Nggak usah pakai berantem”
“Tiwas capek kalian” ujarnya ngedumel
kembali duduk di lantai teras kembali bengong
@@@
Roddy dan Viola putus
Melihat Viola dan Roddy jalan bersimpangan seperti
tanpa kenal, Erina yang tengah duduk di depan kelas noleh kanan kiri seperti
orang bodoh.
“Ada apa
dengan mereka berdua? Bukannya dulu pacaran ya?”
“Hm
katanya ada masalah”
“Oh…”
“Tapi
kok Viola jadi baikan dan mau nyapa aku ya?” pikirnya aneh sambil mengamati
gerak-gerik keduanya yang seakan tak kenal satu sama lain.
@@@
Aurat
perempuan itu harus dijaga
Begitu
bunyi sekilas status medsos Roddy yang menggelitik pikiran Erina terbayang
bagaimana mereka pacaran begitu lengket di muka umum.
“Aurat
siapa maksudnya, bang?” bukannya kamu juga pacaran ya?”
“Tobat,
Erina..”
“Haha… tobat
besok paling nyambung lagi”
“Enggak,
serius aku tobat”
“Iyain
sajalah”
“Sadar
Erina..”
“Hahaha…
berarti kemarin-kemarin kamu gila ya?!”
“Ya…
bisa dibilang begitu”
“Haha..
jujur banget ngaku gila”
“Bukannya
kamu juga jalan bareng si Ega ya?”
“Yyee...
kalau kau tahu, semua temanku rata-rata laki semua”
“Iya
juga sih”
“Lagipula
ngapain kita pacaran hari ini”
“Kok
bisa?”
“Pikir
saja sendiri”
@@@
“Kenapa akhir-akhir ini kelopak matamu
kelihatan hitam banget”
Bunyi Chat Roddy yang membuat Erina langsung
mengambil potongan cermin kecil melihat matanya
Enggak lah
Iya
Nggak kelihatan,
Kelihatan
Sepertinya kurang tidur
Jam segini kenapa kamu belum tidur
Iya, susah tidur
Jangan bilang itu karena aku
Siapa yang ngajari aku begadang, hm?!
Bukan aku
Kamu
Bukan
Kamu,
Bukan,
Ya terserah, itu mata kamu sendiri
Iya, tapi siapa pertama kali yang
sering ajak aku main game sampai larut
Hehehe… siapa suruh, nurut
Oh.. begitu ya
Sisi
lain saat Roddy di rumah.
“Kak,
kamu kenal yang namanya Erina nggak?”
“Erina?”
“Dari Solo?”
“Nggak
tahu, pokoknya dia dari PKBM kita smp nya”
“Oh..?
kenapa emang?”
“Kamu
kenal kah?”
“Hm, ya
kenal lah!”
“Itu
temanku di team Anak Remaja lho, kita dulu sering banget chat-chatan”
“Serius?”
“Iya!”
“Anaknya
gimana sebenarnya Kak?”
“Oh..
agak gila” Roddy menelan senyum geli teringat kejadian dia ngejar ke gunung
malam-malam naik sepeda
“Hwkwk…
kenapa emang?” tawa Arlita terkekeh
“Enggak,”
“Cie…
jangan-jangan??”
“Tapi
keren lho kak, anak cewek yang ambil jurusan Animasi 3D itu”
“Hm, kerennya
sih keren. Tapi dia itu benar-benar nggak beres”
Lagi-lagi
adiknya terkekeh-kekeh melihat kakaknya meskipun kesal tapi wajahnya masih
tampak sumringah.
Pada Akhirnya semua pergi
Erina pergi bareng adiknya Haza ke gunung janjian
dengan Reza, satu2nya anak cerdas yang sedikit memiliki gangguan sosial
emosional
Menjelang kenaikan kelas orang tua
Erina sudah pasrah, kalau terpaksa tidak naik kelas ya sudah biarkan saja, dan ternyata
naik kelas.
Pertemuan dengan Roddy, Haza dan Erina memberikan
oleh-oleh gantungan kunci dari Bali warna pink yang diprotes Erina, ia minta
ganti warna.
“Huh! Dasar ini anak, nggak paham bener
ya…”
Dikeluarkan dari asrama dan difitnah
mencuri, pindah kost dan mulai ketemu teman baru anak Animasi 2D yang sering
menemaninya kerjakan tugas, berita pindah agama Zizi dan reaksi guru.
“Erina!” seru Roddy mengikuti langkah
Erina cepat dari balik Gedung sekolah
“Ya?!”
“Itu tuh ada kost-kostan ”
“Iya,”
“Kenapa memangnya?”
“Yah.. tahu sendirilah”
“Nggak bebas ya?”
“Niatnya ibuku masukkan ke sana untuk
bisa ngaji serta belajar agama, tapi nyatanya jadi bahan bullyan mbak asrama
dan limpahan emosi ibu asrama”
“Tapi kamu kuat satu tahun”
“Yah.. begitulah, siapa lagi kalau
bukan Erina yang Tangguh ini” katanya yang disambut tawa geli Roddy melirik
Erina dengan wajah innocent.
“Lah, kan memang begitu?”
“Tangguh kok bolak-balik UKS”
“Ya memangnya aku manusia besi yang
nggak bisa tepar, gitu?!”
“Ya.. ya.. ya” senyum Roddy yang jalan
di sampingnya
Tiba-tiba saja telfonnya bergetar, itu
adalah panggilan ayahnya.
“Hust! Sana-sana!” Erina menyuruh Roddy
menjauh
“Siapa?” tanya Roddy yang seketika
ditunjukkan layar ponselnya membuat Roddy seketika tertawa terkekeh-kekeh
membaca nama ayahnya dengan Awan Keabadian.
“Siapa?” bisik Roddy saat telpon
diangkat
“Ayahku” bisiknya
“Sudah berangkat sekolah?”
“Ini, baru jalan arah ke sekolah”
“Mbak Erina, sudah kamu blokir nomor
orang asrama?”
“Sudah kok, sudah”
“Oh.. ya sudah, biar mereka menghubungi
ayah aja”
“Ibu nggak kuat tuh, kemarin sesak
nafasnya kambuh”
“Lah?? Kenapa emangnya”
“Ya gara-gara dengar omongan mereka
yang nggak pantas banget aja”
“Tiba-tiba wajah ibunya muncul” membuat
Erina tertawa
“Bu, kenapa yang dimarahi aku yang
sakit ibu?”
“Ah.. orang-orang play victim seperti
itu tuh susah hadapinya”
“Tenang saja Bu, percayakan Erina”
“Lagipula aku juga masih bisa tertawa
dan aneh saja memandang mereka, kenapa sebegitu marahnya sama aku”
“Sudah, nggak usah diteruskan. Cukup”
sahut ayahnya lagi
“Sudah, ayah berangkat dulu. Nggak
perlu dibahas lagi soal itu nanti”
“Okey” jawab Erina mematikan ponselnya
yang disambut tatapan Roddy lama
“Kenapa kamu?”
“Pantesan kamu tertekan banget waktu
semester pertama”
“Ya begitulah,” jawabnya enteng kembali
berjalan
“Tapi soal asrama kamu nggak pernah
ngeluh”
“Lha ya masak aku harus cerita semua ke
kamu?”
“Ohh.. begitu ya”
“Hhh… sudahlah, bahas yang lain aja.
Bukannya kata ayahmu tadi suruh begitu ya?”
“Iya sih”
Pagi itu seperti meninggalkan jejak
senyap setelah sekian bulan ia jadi bahan bullying dan limpahan kemaraham ibu
asrama menjadikan ibunya jatuh sakit. Sementara dirinya,
Berita dikeluarkannya Reza dari sekolah
membuat Erina sedikit shock, apalagi seminggu setelahnya ayah Zizi dikabarkan
meninggal, yang membuat Zizi harus keluar dari sekolah itu. Rasanya baru
kemarin ia ajak main ke gunung dan menahan diri untuk tidak jajan terlalu
banyak dengan alasan uangnya disimpan untuk belikan jajan Erina saat masuk
sekolah nanti.
Ia bahkan ingat betul cerita Reza
setelah liburan nanti ia akan ikut camp di Jakarta bareng anak-anak Autism lainnya atas surat perintah dari Sekolahnya.
Tapi begitu dengar cerita wali kelas dan gurunya jika Reza dikeluarkan dari
sekolahnya membuatnya kaget. Karena selama ini, hanya Erina yang bisa paham
bagaimana si jenius yang dianggap aneh di sekolahnya itu berceloteh tentang
dunia imajinasinya yang liar.
Sementara mendengar cerita Reza yang
dikurung berminggu-minggu di sebuah Gedung dengan ruangan serba putih
membuatnya sesekali galau di saat Reza nge chat ke dirinya. Dan diantara sekian
banyak temannya, hanya Erina yang respek terhadap dirinya.
Ini semua tak lepas dari bantuan ibu
Erina yang sedikit banyak paham bagaimana karakter Giftedness dengan bermacam
keanehannya.
“Heyyyy... Kamu!!” seru Roddy meniru
gaya khas Erina seperti biasanya saat hendak berceramah mengacungkan jari
telunjuknya.
“Kenapa kau?”
“Ini,” serunya memberikan hadiah
gantungan kunci
“Ini buat adikmu”
“Oh..”
“Okey, makasih” ucap Erina menerima
gantungan kunci
Alis matanya spontan mengernyit aneh
melihat gantungan kunci tersebut “Kenapa juga harus warna pink? Padahal aku
paling benci warna pink” protes Erina dalam batin.
Tiba-tiba Viola lewat dan menyapa Erina
yang tengah diajak ngobrol Roddy. Erina yang merasa beberapa menit yang lalu
sudah ngobrol dengan Roddy, kini perhatian obrolannya teralihkan pada Viola
yang baru datang membuat Roddy agak nggak enak dan pergi begitu saja.
Melihat gelagat dua orang yang dulu
sempat lengket kemana-mana bareng ini Erina merasa aneh saat keduanya sama
sekali tidak menyapa dan seolah-olah tak melihat satu sama lain. Ditambah
dengan reaksi Roddy yang pergi begitu saja saat gantungan kunci warna pink itu
sudah mendarat di tangannya.
“Ada apa dengan dua anak ini, euy?!!”
Semenjak kepergian Zizi dan Reza,
hari-hari terasa makin berat. Bahkan ia merasa fisiknya makin lemah dan mulai sakit-sakitan.
Dulu yang kemana-mana selalu ditemani Zizi, kini ia sendiri. Dulu selalu ada
orang yang selalu rame saat bertemu dengan dirinya, yakni Reza, kini tak ada
lagi orang yang membuat hari-harinya terlalu heboh.
Dan kini, di saat ia pindah ke kost,
justru tak adalagi orang yang membuatnya rame.
Tapi lagi-lagi Erina menghilangkan
perasaan sakitnya dengan melakukan hal-hal konyol seperti membuat status media
sosial yang buat gempar satu sekolah dengan menulis angka satu hingga dua ribu.
Siang itu ia masuk Air Soft Gun, dan
mulai pamit pada kak Arfan si pengampu sekaligus pemegang kendali utama
ekstrakurikulernya. Ia adalah anak lulusan 3tahun yang lalu yang kini sudah
memiliki beberapa toko di beberapa kota. Ia kaget waktu Erina pamitan hendak
pindah sekolah.
“Padahal kamu yang paling aku andalkan
loh di Air Soft Gun ini”
“Tanpamu, ekskul ini nggak bisa jalan
karena nggak ada yang menghubungkan kita dengan guru di sekolah”
Akhir-akhir ini kamu kok jadi beda sapa Roddy lewat Chat
Kenapa?
Nggak tahu, beda aja
Apanya emang? Jarang Chat? Itu karena
jawabanmu lama
Biasanya itu karena aku sedang kerjakan
sesuatu
Oh…
Bukan sibuk Pacaran ta?
Termasuk Aku
Keluhan ingin pindah sekolah barulah
ditanggapi ibunya setelah sekian bulan Erina mengeluh kalau dirinya tidak bisa
fokus dan konsentrasi mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
“Serius kamu mau Homeschooling lagi?”
“Serius lah”
“Mau ngapain aja nanti kalau kamu di
rumah”
“Banyak Bu,”
“Apa?? Banyak ngobrolnya?”
“Enggaklah!”
“Lah, ibu tuh hafal karaktermu gimana”
“Ya ampun Bu… sekarang enggaklah,”
“Tahu diri saja aku,”
“Dulu kan aku bingung mau ngapain aja,
sekarang enggaklah”
“Coba dipikir-pikir ulang, nggak kecewa
kamu? kalau kehilangan pertemananmu?”
“Pertemanan apanya? Aku sudah nggak
punya teman sekarang?”
“Jujur saja sebenarnya apa sih yang
kamu masalahkan?”
“Masalah teman? Kompetisi? Atau fokus
pada targetmu yang tidak bisa kamu kejar?”
“Masalah teman dan target yang nggak
bisa ku kejar”
“Terus rencanamu apa dengan target”
“Buat portofilo karya, bu”
“Arsitektur itu kebanyakan design”
@@@
“Kenapa kamu pindah?” tanya seseorang
saat mereka tidak melihat kehadiran ibu Erina yang langsung menutup mulut
kaget
“Hehe… tante..”
“Tante, kasihan Erina tante…”
“Iya tante.. kok dipindah” sanggah
teman-temannya
“Tanya itu Erina nya sendiri, Kak” Perempuan muda itu
hanya senyum-senyum sembari pergi meninggalkan halaman depan kelasnya.
“Kemauanmu sendiri kah Rin?”
“Hm,” senyumnya lebar
Mendengar keributan beberapa teman di
depan kelas Erina, Roddy yang tengah berjalan dengan Karina mendadak penasaran.
Saat itu Wilson lewat,
“Ada apa dengan Erina?”
“Mau pindah sekolah” jawab Wilson
sambil lalu
Glukkk
“Pindah?”
Roddy sengaja pamit pada Karina untuk
segera naik ke kelasnya di lantai tiga. Sepanjang lorong menuju ruang kelasnya
di lantai tiga jemarinya cepat kirim chat pada Erina yang saat itu tengah sibuk
diajak ngobrol teman-teman kelasnya. Erina tidak peduli dengan smartphonenya
yang berdering berulang kali. Hingga datang Wilson si anak autis.
“Hei coeg! Kenapa kamu??”
“Kenapa memangnya?”
“Ngapain pindah sekolah?”
“Ehmmm… di sini berisik ketemu kamu”
tawa Erina yang tak pernah serius tanggapi teman-temannya
“Serius dikit kenapa sih? Aku tanya
beneran”
Lagi-lagi Erina hanya tertawa cekikian
sembari menahan air matanya yang hendak tumpah.
“Aku kan sudah bilang ke kamu kalau
kesulitan bikin project, bilang aja.. biar aku bantu” kata Ara si mantan ketua
kelas yang sempat disingkirkan teman kelasnya.
Lagi-lagi gadis itu hanya tertawa lebar
seolah tengah menghalau kesedihannya yang saat itu di datangi si kakak kelas
Mozart.
“Kamu serius pindah, Rin?”
“Hm,”
“Ya ampun…”
“Tapi gimana ceritanya? Bukannya
kemarin ibumu bilang pertimbangkan dulu ya?”
“Lagipula ulah kamu juga sih, suka
bikin gara-gara”
“Aku itu boring Za di sekolah”
“Kenapa memangnya?”
“Ya gimana nggak boring kalau ternyata
ini memang bukan duniaku”
“Lah, kenapa dulu kamu masuk kemari?”
“Dulu karena aku tertarik dengan dunia
anime. Aku kira itu duniaku, namun ternyata salah besar”
“Jangan-jangan galaumu buat status
sampai 2000 itu karena ini ya?”
“Enggak juga, lebih ke gatel aja
tanganku ingin nulis tapi bingung mau nulis apa”
“Hei! Kau masih hutang ke aku kalau mau cerita
masalahmu loh”
“Haha…
serius amat”
Tiba-tiba saja Roddy berdiri di sebelah Wilson
“Nah, kan?! Apa aku bilang”
“Eh, serius aku tanya sebenarnya ada masalah apa
dengan dirimu sampai mau pindah segala”
“Aku ingin ngejar targetku, Bro!”
“Apa targetmu?”
“Adalah! Orang hidup itu harus punya target
capaian”
Dua anak ini hanya diam memandang Erina yang masih
nglesot duduk di depan.
“Dia itu aslinya sepuh lho, tapi pura-pura bego
aja” kata Wilson
Tiba-tiba adiknya Erina datang “Dia mau pindah
karena katanya di sini nggak punya teman, Kak”
“Lah?? Terus bagimu kita ini apa?!” Wilson melotot
pada Roddy
“Ah.. ya begini ini”
“Memangnya kriteria teman menurutmu itu yang
seperti apa sih?”
“Yang se frekuensi sama aku lah”
“Ya yang seperti apa memangnya?”
“Seperti Kak Reza sama Kak Zizi”
“Hakim!” pelotot Erina pada adiknya membuat
keduanya melongo
“Ah.. jangan-jangan mereka jadian?!” pikir Roddy
lemas
“Apa yang aku tebak selama ini ternyata benar kah?
Diam-diam Erina jadian sama Reza waktu di gunung kemarin”
“Ya, nggak heran juga sih. Sejak awal masuk sekolah
mereka selalu bersama di saat aku menolak diajak belanja Kakek” pikirnya
@@@
Mozart diam seribu kata memikirkan kata-kata si ibu tentang kondisi Erina yang
tidak lumrahnya anak.
“Kok bisa begitu Tante?”
“Apa di keluarga tante ada yang seperti
itu juga?”
“Iya ada”
“Tapi karena dia menolak dengan
kemampuannya, dia datangi tuh banyak kyai, orang pinter sampai dukun yang
akhirnya penuh itu jiwa dia. Sementara jiwa dia terkubur di bawah goa”
“Karena tiap kali diobati, yang
dampingi si terapis masuk ke diri dia. Yang ujungnya dia Divorce dengan
suaminya”
“Makanya yang Tante ajarkan dia itu
cuman kesadaran”
“Untuk berkesadaran, dia nggak boleh
bengong”
“Itu saja sih kuncinya”
“Makanya tante titip, tolong diingatkan
aja dia kalau lagi pas bengong sendiri”
“Iya tante, dia itu kasihan banget
sering duduk sendiri di depan kelas”
“Iya, karena pendengaran dia kan
sensitive. Beda sama kita-kita nih”
“Waktu kecil dulu, saat dia sedang
serius belajar. Mendengar tante sama om ngobrol biasa begini nih.. dia sudah
marah-marah karena dianggapnya mengganggu. Suaranya kenceng sekali. Dan dari
situ dia bisa nangis tantrum”
“Tante kira sensitivenya yang seperti
itu sudah hilang”
“Masih sama Bun…” cletuk Erina
“Gendang telingaku rasanya seperti mau
pecah kalau di dalam kelas”
“Ada yang kerasin musik, ada yang
ngobrol kenceng, ada yang nyanyi-nyanyilah”
“Tapi nyatanya mereka enjoy aja, kan?”
“Nah! Berarti siapa yang…” tawa ibunya
terkekeh-kekeh
“Nah! Buka aib anak sendiri di depan
orang lain!!”
“Bukan begitu… artinya, kamu itu memang
punya bawaan khusus yang beda dari kebanyakan anak-anak lain. Gitu aja!”
“Disadari itu saja dulu”
“Bukan berarti kamu itu aneh, tapi ya…
real itulah kondisimu”
“Kalau kamu nggak akrab sama Mozart,
nggak bakalan Bunda cerita”
“Termasuk kata-kata kasar yang sering
ditujukan ke dia, itu memperparah kondisi Erina ketika dia accept itu sebagai
bagian dari dirinya. Padahal kan dia tidak seperti itu..”
“Karena ada kondisi-kondisi lain dimana
dia memiliki kemampuan liar seperti jiwanya yang keluar dari badan dia”
“Hah? Kok bisa begitu, Tante?”
“Iya, orang-orang tertentu memang
diberi kelebihan semacam itu”
“Itu yang dia tidak bisa jelaskan ke
orang lain”
“Iya! seperti kejadian waktu aku bilang
kepalaku pusing itu kan…”
“Saat itu aku bisa melihat kalian
berdua di dalam kelas”
“Bukannya waktu itu kamu bilang pusing
dan duduk di depanku ya?”
“Iya, aku lihat itu”
“Kok bisa?!”
“Nah, di situlah kadang tante bingung
harus berkata apa sama temannya”
“Tante cuman titip saja sih, cepat
dibangunkan atau disadarkan ketika dia bengong sendiri”
“Khawatirnya dia keluar dari badan dan
tidak kembali lagi, itu yang tante khawatirkan”
“Sorry Mozart… emakku kalau ceramah 1
sampai 2 jam nggak kelar tuh”
“Hwkwkwk… ampun lah kamu itu sama ibumu
kok begitu sih?”
“Nggak tante, justru seru dapat
pengetahuan baru. Saya merasanya ini sharing kok.. bukan menggurui”
"Tapi beneran kamu bisa sampai segitu?"
"Memangnya kalian nggak bisa?"
“Ya nggak bisalah, gila apa?”
@@@
Siang
itu
“Hey
Rodd, tugasmu pak Adit sudah kelar belum?”
“Belum,
ini masih aku kerjakan”
“Oh..”
Tiba-tiba
saja Gano tertawa geli
“Kenapa?”
“Enggak,
itu si Erina tuh konyol banget”
“Kenapa
emangnya?” tanya Roddy
“Ada
yang confess sama dia”
“Siapa?”
“Nggak
tahu, kata dia kakak kelas”
“Terus
terus??”
“Dijawab
apa sama dia?”
“Kan
dianya tanya, kamu mau nggak jadi pacarku?”
“Pacar?
Apa tuh?”
“Ah,
kamu tuh berlaga bego aja”
“Lah,
kalau bego kenapa mesti mau ajak pacaran, berarti kamu sama bego nya dong”
Roddy tertawa cekikikan
“Nah, ya
begitu itu anak, kalau ngomong nggak pernah serius”
“Nggak
juga lah, kalau sama aku seringnya serius kok”
“Iya
deh.. iya.. sama-sama anak Homeschooling”
“Ini
tadi dia ngeluh aja kalau di sini cuman buang-buang waktu, nggak bisa kejar
target”
“Target?”
“Dia kan
ngebet banget ingin cari Scholarship untuk Study Abroadnya”
“Oh…”
pikir Roddy, “Keren bettt… diam-diam”
“Ambil
jurusan apa katanya?”
“Arsitektur”
“Wow!!”
“Terus-terus
tadi ceritanya yang confess gimana jadinya??”
“Entah,
tanya apa tuh cowok, karena tadi Aldi nyapa sebentar gitu. tahu-tahu dia
nyolot”
“Ogah!!
Pacaran itu banyak merugikan cewek daripada cowok, nggak imbang banget. Rugi!”
tawa Roddy ngikik
“Kok
bisa?” tanya Roddy
Gano
yang terkenal sedikit kalem dari Roddy hanya tertawa geli membayangkan
bagaimana ekspresi Erina saat ngomong seperti itu.
“Kata
dia lagi; Ya iyalah, kalau kalian bangsa laki-laki mudah aja ninggalin cewek
masih bisa mikir pekerjaan kalian, lha kita bangsa cewek?!”
“Corpus
Calosum cewek itu lebih tebal Bang,”
“Loncatan
listrik antara otak kanan dan kiri kenceng”
“Lah
kalian??”
“Lebih
tipis, loncatan listrik di otak kalian lebih sedikit. Jadi ketika otak kanan
terganggu, otak kiri masih bisa bekerja seperti nggak ada masalah”
“Busyettt…!!”
mereka tertawa cekikikan geli
“Terus-terus?!”
“Aku
janji dah, nggak akan tinggalin kamu” kata itu si cowok
“Dasar
gombal”
“Emangnya
itu speaker dikerasin?”
“Iya!”
“Bodoh
banget, ada orang confess lagi…”
“Iya,
aku juga bingung. Padahal itu cowok tanya, kamu lagi sama siapa? Ada orang
nggak di situ”
“Itu si
cowok tanya lagi; “Gimana? mau nggak?”
“Apa
kata dia?”
“Ntar
deh, tak pikir-pikir dulu seberapa banyak untung dan ruginya”
Spontan
Roddy tertawa cekakakan
“Ngomong
soal cinta kok berasa jualan aja”
@@@
"Makanya aku nggak bisa makan sembarangan"
"Repot benar jadi diri kamu?"
"Itulah kenapa Ibuku sering menjengukku"
"Selain mensupportku, dia juga yang terus menerus memberiku pelajaran yang
dia dapat dari banyak praktisi"
"Gila ya, ibumu.."
"Sorry ya.. karena yang dia kenal cuman kamu"
"Tadi ditanya sama Viola ya?
"Hm,"
"Kamu nggak jawab tentang aku kan?"
"Tenang aja"
"Jadi, kapan kamu mau nge gym?"
"Ada nggak speed runner nya?"
"Nggak tahu juga aku"
"Nanti sore gimana?"
"Ya nggak apa-apa sih.."
"Kamu ajak Viola aja, ntar salah paham lagi"
"Okey, coba ya.. kalau dia mau"
"Harusnya mau lah"
"Anak-anak cewek itu suka pada mager"
"Tapi beneran yang dikatakan ibumu, kalau kamu itu harus gerak?"
"Hm, ya"
"Kalau enggak gerak efeknya panas”
“Oh…”
“Karena energi dalam tubuhku besar, dan
itu harus disalurkan. Kalau tidak rasanya panas dan rasanya nggak nyaman sama
sekali”
@@@
Arin dan Mertua
Saat
Arin pulang ke kampung halaman, ia sekedar keluh kesah pada Ibu mertuanya.
“Coba
dari dulu dia sekolah, paling ya nggak buat gara-gara seperti itu”
“Itu
karena anak nggak pernah kamu sekolahkan”
“Kak,
semua anak Homeschooling yang aku kenal, anaknya baik-baik saja tuh”
“Ya tapi
kan anakmu nggak pernah keluar”
Arin tersenyum
kesal
“Lalu dia habis jutaan untuk
sekedar les antar kota itu apa kalau nggak berinteraksi dengan anak
seumurannya”
“Bun,
tolong ambilkan bajuku” pinta suaminya yang jarang-jarang ia minta tolong pada
Arin. Tapi perempuan itu paham, ia hanya menghindarkan cek cok dirinya dan
ibunya yang pensiunan guru.
“Mak...
Arin itu sudah berusaha sekeras mungkin membantu pertumbuhan dua anak sejak bayi
hingga detik ini”
“Kalau
dibanding anak-anak pada umumnya, kemampuan Erina itu jauh. Begitu juga dengan adiknya
yang menguasai Bahasa inggris sejak kecil tanpa ada yang ngajar”
“Aku
bangga sama usaha Arin sampai sejauh ini, Nek..”
“Untuk
mengatasi dua anak itu, dulu dia sering sakit-sakitan karena capek ngatasi
tenaganya dua anak itu yang besar dan susah tidur. Belum lagi dia mesti belajar
sana sini. Ikut seminar, workshop, melonggarkan waktu dan uang untuk pertemuan
anak anak cerdas semacam Erina”
“Selain
dia masih membuat catatan perkembangan anak-anak sejak mereka bayi”
“Hari
ini, mana ada perempuan mantan aktivis semacam dia yang dulu dibilang anti
lelaki tapi waktu berkeluarga dia harus tekuk lutut berdiam diri di rumah
ngajar anaknya sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun sejak anak
masih bayi-bayi aku tinggal ke Yogya hingga mereka remaja”
“Kenapa
emak bisa bilang seperti itu?”
“Ya aneh
saja, orang anaknya pegawai kok nggak sekolah. Mau jadi apa nanti”
“Nek…
sebenarnya ujungnya sekolah itu untuk apa sih kalau bukan untuk kerja”
“Ya biar
jadi orang sholeh, dilindungi Allah hidupnya. Nggak berbuat maksiat”
“Anakku
sudah berbuat maksiat apa selama ini Nek…”
“Ya itu,
nggak sopan. Kalau dibilangi selalu njawab”
Spontan Doddi
tertawa
“Ya
memang anak-anak cerdas itu seperti itu, Nek.. beda sama anak-anak normal”
“Kalau
dibilangi apa selalu nurut, diam manggut-manggut meskipun mereka nggak suka”
“Karena
generasi seperti itulah negara kita rusak hancur, Nek… karena nggak ada yang
berani berkata baik dan salah dengan tegas”
“Coba saja lihat cucu-cucu nenek yang lain,
kalau dinasehati apapun selalu diam. Padahal mereka nggak suka sama nasehat
Nenek”
“Dosa
itu” cletuk perempuan tua itu kesal yang langsung ditertawakan Doddi dengan
memeluknya erat-erat.
“Sudahlah
Nek.. tugas nenek sekarang itu cuman melihat cucu-cucunya tumbuh saja”
“Jaman
saya sama anak-anak saja sudah berbeda, apalagi masanya nenek sama Erina
terlalu jauh yang membuat Nenek pusing kalau pikirannya khawatir terus”
“Bukannya
kata ustadz, belajar semeleh”
“Lagipula
kalau dunia isinya seperti yang diinginkan nenek semua, dunia sepi karena
pemikiran semua orang sama”
“Pengadilan
sepi karena nggak ada orang ribut, dan anakmu ini nggak dapat pekerjaan” tawa Doddi
yang membuat perempuan yang jalannya sudah mulai sempoyongan itu ikut terkekeh-kekeh
lupa akan apa yang baru saja dikatakannya.
@@@
Dengan
sensitifitas indra pendengaran, penciuman, penglihatan serta imajinasinya yang
luar biasa tinggi. Ia lebih memilih berangkat sekolah di saat Gedung itu masih
kosong dan lengang. Ia menikmati betul bagaimana nikmatnya udara pagi dengan
embun basah menempel di dedaunan serta segarnya udara dingin, sementara
lampu-lampu sekolah masih menyala. Bahkan ia menikmati kesendirian dalam kelas
yang lengang dan sunyi. Ia duduk di pojok paling belakang menghindari
sensifitas tubuhnya yang benar-benar mengganggu konsentrasinya di saat
pelajaran datang.
Saat
teman-temannya mulai berdatangan, ia lebih memilih duduk di luar kelas. Ia
tidak bisa mendengar suara berisiknya teman-teman kelasnya ngobrol biasa.
Bahkan terkadang ia kesulitan menangkap keterangan gurunya hingga mengubah
kata-katanya menjadi sebuah gambaran global detil ke dalam memorinya yang
terkadang ia senyum-senyum sendiri ketika imajinasinya melambung kemana-mana,
hingga sadar jam pelajaran telah selesai dan ia bingung bagaimana tugasnya.
Saat jam
siang datang, dimana teman-teman kelasnya mulai kembali berdatangan, penciumannya
yang tajam mulai terusik dengan aroma bau tubuh mereka yang baginya sangat
menyengat, jadi selain pendengarannya yang sakit saat mendengar keriuhan teman
kelasnya, ia masih tersiksa mencium bau keringat anak sekelas.
Di
situlah mengapa ia nyaris saja putus asa dan mengatakan pada orang tuanya,
bahwa dirinya bodoh, bahwa dirinya tidak bisa menangkap pelajaran seperti
teman-temannya dan ia ingin kembali menjalani Homeschooling.
Di saat
itu pula menjelang ujian berupa mengerjakan tugas-tugas, ia keteteran belum
satupun tugasnya yang selesai dikerjakannya hingga mendapat teguran guru BK,
guru mata pelajaran hingga wali kelas yang mendengar keluhannya soal
perilakunya yang dianggap lebay karena tidak makan berhari=hari.
“Kenapa
kamu tertawa?”
“Yah..
mulut mulutku sendiri tertawa kok kamu yang sewot”
@@@
“Pesan
Bunda cuman satu, kamu boleh saja suka sama seseorang, tapi tidak untuk
pacaran”
“Jadi,
terserah kamu mau mengartikan bagaimana. Tapi itulah rambu-rambu yang bunda
kasih”
@@@
Jiwaku keluar
Pagi itu
gara-gara ibunya gemes kata-katanya tidak digubris, ia marah pada Erina via
pesan singkat.
Siang
itu suasana kelas mulai lengang karena anak-anak sudah pulang sejak dua jam
yang lalu. Trio teman dekat Erina yang sering menemani dia di saat seperti itu,
Mozart dan Zizi masih ada di kelas menemaninya di saat Erina mengeluhkan sakit
kepala yang luar biasa hingga ia hanya mampu duduk dengan meletakkan kepalanya
di meja kelas. Namun tiba-tiba tubuhnya melambung keluar dan melihat
pemandangan sekitar ruangan kelas, termasuk melihat kepalanya diusap-usap
Mozart yang duduk di kursi depannya, sementara Zizi yang tengah berdiri di
depan kelas menunggu Erina lebih baikan mengatakan sesuatu untuk menenangkan sahabatnya,
hingga dalam beberapa detik kemudian ia kembali masuk ke dalam tubuh fisiknya
lagi dan terbangun dengan perasaan kaget melihat dirinya yang telah sadar.
“Oh,”
Erina kaget menggeragap melihat Mozart di depannya dan Zizi berdiri di depan
kelas. Ia memegang pergelangan tubuhnya sendiri hingga menarik nafas lega
“Gimana?
sudah baikan kamu?”
“Ah..
sudah kok, sudah” jawabnya sembari berdiri dan mengajaknya keluar
@@@
Suatu
hari ia duduk sendiri di kamar asramanya menghadap layar monitor tengah
mengerjakan karyanya, tiba-tiba saja ia keluar dari tubuhnya nyebur ke laut
lepas hingga tiba-tiba ia berdiri mengintip jendela rumahnya, melihat ibunya
tengah menyisir rambutnya di depan kaca seperti biasa. Sementara melihat adik
laki-lakinya tengah usil mengganggu adiknya yang paling kecil hingga ia mulai
menangis dan terjadi keributan antara keduanya yang menyebabkan ibunya mulai
bereaksi pada keduanya.
“Ah,
dasar kamu Haza” katanya hingga tiba-tiba saja ia kembali lagi masuk ke tubuh
fisiknya hingga kaget saat kakak asrama memanggil-manggil dirinya.
@@@
“Bu,
tahu nggak”
“Hm?!”
“Sepertinya
ada adek kelas yang naksir sama Roddy lho”
“Oh..”
si ibu hanya nyengir membayangkan betapa nyeri perasaan putrinya
“Terus?”
“Enggak…
gitu aja”
“Ada
yang jeles nih”
“Banyak
adik kelas yang lebih ganteng dari Roddy, ibu..”
“Seperti
aktor siapa tuh, dari jepang yang aku bilang mirip seperti orang yang jualan
daging di pasar tempo hari Bu”
“Oh..”
“Tenang
Bu, aku hanyalah seorang penonton dan support yang bersorak di pinggir arena”
“Jadi aku
tak merasa tersakiti oleh siapapun, termasuk hanya orang seperti Roddy”
“Ya
sudahlah kalau begitu”
@@@
Roddy
kaget, tiba-tiba saja muncul foto dirinya yang bergandeng tangan dengan teman
kelasnya lelaki di grup adik-adik kelas angkatannya.
“Erina…”
tegurnya via chat dengan emoticon senyum
“Ahh…
dasar itu cewek, harusnya itu kan kamu” pikir Roddy protes sembari senyum
ngikik memperhatikan foto menggandeng jemari Nino yang memang tampak lentik
seperti jari Erina. Ditambah lagi ia memakai baju seragam putih lengan panjang.
“Ciee…
ada adik kelas yang PDKT, ntar gimana tuh dengan perasaan Viola?”
“Yeeahh..
ganteng gitu loh, banyak yang naksir”
“Hah??!
Ganteng?? dilihat darimana coba?”
“Gigi
sudahlah nggak rata, hitam, kurus lagi”
“Ampun
Erina.. kamu syirik banget sih?”
“Noh,
ganteng tuh seperti ini” balas Erina mengirim foto remaja ganteng alm Galang
Rambu Anarki anaknya Iwan Fals dengan wajah bening
“Hah?!
Siapa tuh?”
“Ada
deh..” jawabnya dengan emot kedipan mata
Sebagai
anak jurusan Rekayasa Piranti Lunak, Roddy nggak mau kalah. Ia langsung
masukkan foto ke AI hingga menemukan nama Galang Rambu Anarki yang membuatnya
spontan mengirim emoticon tawa terbahak-bahak sambil menuding.
“Orang
sudah meninggal dijadikan Idol”
“Ya
terserah akulah”
“Iya
deh, iyaa…” jawab Roddy membuat tawa nyengir kembali meletakkan ponselnya
dengan mata tertuju pada project asset property 3D di layar laptopnya.
@@@
“Gimana?
sudah punya cewek kata adikmu?”
“Enggak
Pa, cewek apanya… susah”
Spontan
Papanya senyum nyengir
“Kenapa
emang?”
“Dulu,
hampir saja aku bisa meraih hati itu cewek, kebetulan kami kenalan sama adeknya
yang sedang belajar pengembangan Game”
“Wow,
keren”
“Iya Pa,
aku lihat dari project adiknya di group lumayan cerdas juga”
“Kenapa
nggak sama itu saja?”
“Nggak
mudah Pa, itu cewek konyol banget”
“Aku
ngomong serius selalu ditanggapi dengan gurau”
“Baguslah,
ciri orang cerdas itu”
“Cerdas
apaan, IQ nya setara IQ monyet” spontan lelaki dengan kaca mata frame hitam
tawa terbaha-bahak
“Husy!
Jangan sembarangan kalau ngomong”
“Iya…
yang bilang anak cowok teman dekatnya”
“Kamu
nggak khawatir tuh, sama teman dekat cowoknya”
“Teman
dekat dia rata-rata anak cowok, Pa”
“Setahuku
anak cewek yang dekat dengan dia cuma satu”
“Nah,
waktu dia telpon, adiknya curiga kalau kakaknya pacaran. Dia langsung warning
ke aku kalau kakaknya nggak boleh pacaran”
“Laporlah
dia sama ibunya”
“Nah,
kacau sudah dari situ”
“Kenapa?”
“Waktu
itu kebetulan ada cewek yang deketin aku, dia sering ajak janjian aku
kemana-mana”
“You
know lah Pa, yang buat Mama marah seperti dulu”
“Iya
kamu sudah keterlaluan sih”
“Iya benar
teman cewek yang kamu taksir itu, nggak boleh pacaran”
“Nih,
Papa kasih tahu ya.. cewek yang punya value tinggi itu seperti apa”
“Tapi
memang nggak mudah kamu mendapatkan cewek semacam ini”
“Sekalinya
kamu dapatkan hatinya, sudah deh.. lihat tuh Mama”
“Mamamu
itu dulu tipikal pekerja keras dan…”
“Ah.. ya
itu dia, target dia tinggi. Dia ingin masuk jurusan Arsitektur setelah ini”
“Wow
keren tuh”
“Aku
kira dulu kamu cewek polos, lugu, jorok, nggak percaya diri dan mudah
dibohongi. Eh.. ternyata”
“Hingga
hari ini, susah benar mendapatkan hatimu”
“Apalagi
aturan keluargamu ketat benar melarang anaknya pacaran”
@@@
“Luar
biasa Erina, dia benar-benar kuat menghadapi situasi, kondisi dan orang-orang
seperti itu selama satu tahun”
“Dia
anak yang berani ngalah dan ngalih”
“Berapa
kali saja dia sering disuruh-suruh sama kakak-kakak asrama untuk sekedar
membelikan makanan di saat siang hari yang menyengat dengan jalan kaki menempuh
jarak yang tidak dekat. Padahal kondisi dia tidak sedang baik-baik saja”
“Tante
dulu kesal sekali baca chat-chatan anak-anak asrama yang sering suruh-suruh
Erina”
“Tapi
apa kata dia, nggak apa-apa Bun.. aku juga ingin jalan kaki aja”
“Nggak
enak rasanya kalau kaki nggak diajak untuk banyak bergerak”
“Tapi giliran
hadiah milik ibunya dibuat mainan dan rusak, bukan main ledakan marahnya pada
adik asramanya yang membuat hari-hari berikutnya jadi bulan-bulanan di asrama.
Begitu juga dengan adik asramanya yang sering ditakut-takuti kakak-kakak
asrama, dia menjadi garda depan memaksa kakak-kakak asramanya untuk mengakui
kesalahannya”
@@@
“Kamu itu butuh banget teman cewek”
“Ada Bu, Zizi. Tapi aku nggak suka sama
bau badannya yang nyengat banget”
“Dari jarak lima meter aja kecium
banget bau badannya”
“Memangnya badanmu nggak bau?”
“Bau, tapi kan nggak nyengat banget
sama dia, Bu”
Sampai disini Arin benar-benar
gregeten, tapi paham karakter sulungnya yang 11-12 santainya seperti suaminya
ia hanya menelan nafasnya.
“Hallo!”
“Hai Erina!”
“Eh sory, siapa namamu?”
“Ampun Erina…”
“Tante, dia sering main bareng sama aku
kenapa dia lupa terus sama namaku”
“Dia ingat betul wajahmu bahkan dari
daerah mana saja Kak, tapi tidak dengan namamu, hwkwk..”
“Bener, Rin?”
“Hooh, memangnya kamu enggak?”
“Enggaklah”
Tiba-tiba saja ponselnya bergetar, itu
adalah pesan ayahnya.
“Bu, tolong kesini aja, di ruang VW.
Yang tahu seluk beluk Erina itu kamu kan, ini pak Anton mau tanya-tanya”
@@@
@@@
Erina
yang berniatan untuk lakukan kerja sosial demi mendapatkan catatan portofolio
demi mendapatkan scholarship untuk study abroadnya, justru terkena fitnah macam-macam
yang membuat dirinya sering dimarahi ibu asrama hingga dijauhi kakak-kakak
asrama.
Sebenarnya
ini bukan kali pertamanya dimarahi gara-gara pulang kesorean, melainkan
beberapa kali bahkan sering dicari-cari kesalahannya yang mengakibatkan dia sedikit
tertekan. Tapi sebagai seorang anak yang tahan banting ia menjadi anak yang
kuat dan tangguh.
Satu
saat Erina diusir dari asramanya
@@@
Hiking ke Gunung
Saat
liburan kenaikan kelas tiba, Erina pamit pergi berdua dengan adiknya si Haza ke
gunung. Mereka janjian ketemuan bareng Reza di pertengahan. Dan kebetulan sudah
lama pula Haza ajak ibunya kembali ke situs candi yang selama ini sedang ia
pelajari.
Sejak
jam 8 pagi, Reza sudah menunggu di depan pintu pendakian gunung lawu sambil
tiduran di atas motornya. Tapi Erina dan Haza baru berangkat dari rumah jam
08.30, itu membuat Reza mengumpat kesal begitu mereka ketemu 1,5jam kemudian
karena saking lamanya ia menunggu.
Begitu
ketemu, mereka berunding pergi ke tempat air terjun. Tapi akal Reza mencari
jalan alternative menghindari bayar tiket masuk yang memaksa Erina harus
belajar melewati jalan curam, sempit dan berliku. Itu yang membuat Erina
memaksa Haza harus bonceng Reza karena khawatir motor tidak kuat.
Sepanjang
jalan pulang dari air terjun, ternyata Reza mengambil jalan mutar turun gunung
yang ternyata mengikuti permintaan Haza untuk naik ke situs candi.
Dan
sepanjang jalan ke tempat wisata, Reza selalu menawarkan diri untuk
mengambilkan foto untuknya, tapi selalu Erina menolak dan tak peduli dengan
dirinya. Bahkan ia sendiri sebenarnya tidak percaya diri dengan dirinya yang
menggap dirinya jelek jika difoto orang lain.
Sepanjang
jalan pulang, mereka merencanakan untuk ikut tracking pendakian gunung lawu
bersama klub pendakiannya Erina. Reza juga membicarakan camp nya dengan
anak-anak Autism dari pihak sekolah mereka saat masuk pertama kali tahun ajaran
baru nanti. Bahkan ia sengaja tidak menghabiskan uang jajannya hanya untuk
membelikan jajan Erina saat masuk sekolah nanti.
Dan itu,
seperti cerita terakhir mereka selama satu tahun di sekolah.
Hingga
tiba saatnya Reza berangkat ke Camp di Jakarta yang ternyata jauh sekali dari
apa yang dibayangkan selama ini. Itu lebih mirip balai Rehabilitasi bagi
anak-anak cerdas dibanding Camp.
“Tapi
kenapa???”
“Selama
aku di sini, baru sekali aku ketemu anak seusiaku, itupun anak-anak yang menang
lomba olimpide sains”
“Keseharianku
hanya dalam ruangan yang serba putih, tanpa jendela dan tanpa ada peralatan
apapun kecuali laptop dan Hpku”
“Bahkan
aku tidak tahu itu pagi, siang, sore atau malam kecuali dari jam Hp dan
laptopku”
Satu
saat Erina mulai bertanya-tanya terkait keluhan Reza yang tidak pernah keluar
kecuali ke toko buku Gramedia, dan itu hanya sekali. Selanjutnya ia tidak lagi
pernah dibolehkan keluar. Sepanjang hari, sepanjang minggu. Ia mulai bosan dan
kangen dengan teman-teman sekolahnya. Erina menyarankan untuk kembali pada
kerjaan Codingnya, tapi beberapa saat kemudian ia justru dilarang main coding
karena bagi mereka coding lah pemicu stressnya dia.
Ia mulai
mengaku gila, berpikir untuk melarikan diri dari tempat itu untuk kembali ke
sekolahnya meskipun hanya sehari dan setelah itu ia kembali lagi ke sekolahnya.
Ia mulai bertanya-tanya tentang tiket bus dan kereta untuk kembali ke kota di
mana sekolahnya berada.
Erina
pun mulai bercerita pada ibunya dengan kasus yang tengah dialami Reza, yang
sejak awal ibunya menduga bahwa itu adalah Badan Intelegent Negara yang sengaja
merekrut anak-anak cerdas berbakat untuk dimasukkan dalam team jajarannya.
Entah
kenapa, Arin pun sempat khawatir mendengar kasus yang dialami Reza di balai
rehabilitasi tersebut. Bahkan ia memberanikan diri untuk bertanya langsung pada
kepala sekolahnya sekalipun ia tidak ada sangkut pautnya. Tapi ia khawatir jika
orang tuanya yang demikian tidak paham dan diminta nomor Hp nya, tapi justru
ditanya balik untuk apa minta nomor Hpnya. Karena anggapan Reza, bahwa orang
tuanya tidak suka sama dirinya karena keanehannya tersebut.
“Aaa…
kenapa dikeluarkan dari sekolah?!!” keluh Erina saat tahu jika satu-satunya
teman yang bisa diajak ngobrol gila ternyata justru harus pergi selama-lamanya
dari sekolah itu
@@@
Hari
pertama masuk sekolah ia sudah berharap-harap bakal ketemu dengan kakak
kelasnya Feni. Satu-satunya teman yang mensupport sekaligus melarang dirinya
masuk ke sekolah itu, hingga menuntun bagaimana proses wawancara yang bakal dia
dapatkan saat ujian masuk sekolah.
Awalnya
ia tak begitu kecewa ketika tahu Feni akan masuk di bulan kedua setelah tahun
ajaran baru karena tidak naik kelas. Tapi belakangan ia kecewa ketika tahu
ternyata justru Feni bolak-balik ke psikiater karena dianggap adanya gangguan
mentalnya yang akhirnya justru pindah sekolah.
Awal
tahun yang baginya cukup berat, tapi untungnya selain Feni, masih ada Mery yang
menemaninya sepanjang perjalanan semester satu. Sekalipun baginya ia merasa
dikucilkan di lingkup pertemanan kelas.
Dewa penyelamat
Hampir
lima hari Erina tidak pernah muncul di sekolahnya, ini membuat Roddy yang
pernah mendengar percakapan Erina dengan seseorang tentang niat dirinya keluar
dari sekolah hanya ingin menggeluti dunia Arsitektural art pun mulai curiga di
hari kelima saat Erina di rumahnya demi mengikuti Festival Arsitektur anak-anak
Mahasiswa dari beberapa kampus.
Sebagai
anak Homeschoolers murni, ia tidak pernah merisaukan dunia sekolah. Karena
baginya, dunia itu adalah tempat yang seru untuk mempelajari banyak hal. Dari
dunia arsitektur, gambar, matematika murni hingga dunia sains. Sementara
baginya sekolah adalah belenggu untuk bisa melakukan itu semua. Untuk itulah ia
tetap fun meskipun dianggap aneh dan dijauhi teman-teman kelasnya karena
perbedaan sudut pandang dirinya tentang banyak hal.
Malam
itu Erina sibuk mengerjakan tugas sekolahnya yang tersisa. Ia berusaha menuruti
apa kata ibunya agar tidak menyisakan tugas sekolah jika dirinya benar-benar
ingin keluar dari sekolah. Tahu-tahu Roddy kirim Chat;
“Kenapa
pindah sekolah kok nggak ngomong?”
“Lah,
kenapa juga mesti ngomong ke kamu”
“Kita
kan teman”
“Siapa
bilang kita teman”
“Oh..
begitu ya”
“Tapi
kan kalau nggak ada kamu nggak seru” chatnya lagi dengan emoticon tangis
“Lebay!”
“Lalu
apa Haza jadi masuk ke sekolah ini?”
“Sepertinya
tidak,” jawab Erina sambil ketawa-ketiwi
“Kenapa
senyam-senyum sendiri kamu?” tanya ibunya yang datang kemudian memastikan
putrinya beneran sedang kerjakan tugas
“Soal
Roddy kah?”
“Haha…
iya bu!” tawanya ngakak sambil kembali balas chat-chatannya
“Ibu
baca, dia itu aslinya naksir sama kamu”
“Hanya
saja kamu bukan tipikal cewek yang mudah ditakhlukkan”
“Woo
iyalah! Gila apa, aku bukan tipikal cewek gampangan yes?! Jadi, dia nggak masuk
kriteria cowok idealku”
“Ditambah
lagi pernah disemprot adekmu”
“Haha..!”
“Jadi,
mikir seribu kali kalau dia mau confess ke kamu”
“Lagipula,
kenapa juga kamu mau diajak makan mereka berdua”
“Yak!!
Karena mereka kan juga temanku, bu..”
“Enggak
begitu yang namanya teman, Non…”
“Ya
terserah kamu lah, pusing ibu dengar ceritamu”
“Pantes
aja kamu sering disemprit sama Willy”
@@@
Di awal masuk semester Erina mulai galau karena ternyata satu-satunya
teman yang ternyata selama ini bisa diajak kemana-mana keluar dari sekolah.
Sementara di kelas tidak ada satu teman pun yang bisa diajak ngobrol. Ia
benar-benar merasa sendiri dan tertekan. Satu-satunya hiburannya saat itu
adalah lingkungan pertemanan Ekstrakurikulernya Air Soft Gun yang rata-rata
anak RPL laki-laki seangkatan dengannya. Itulah salah satu alasan yang membuat
ia masih bisa bertahan di sekolah tersebut. Ia masih punya teman ngobrol dan bercanda
sekedar melepas penat, meskipun ia tahu di depan mata tugas menumpuk makin
banyak.
Sebagai anak gifted visual spatial, selain imajinasinya yang sangat
liar dan luas, di lingkungan sekolah ia menemukan banyak sekali teman-teman
perempuannya yang curhat dengan berbagai masalah dari depresi diri sendiri
hingga keluarga dan pertemanan. Ia adalah anak yang memiliki problem solving
yang cukup bagus di satu sisi, namun sangat buruk di sisi pemecahan masalah
tugas sekolah yang sebenarnya ia bisa mengerjakannya. Namun karena terdistraksi
dengan kondisi masalah pertemanan, ini menyebabkan ia benar-benar frustasi
menghadapi keduanya. Dan di waktu itu pula pikirannya nge blank bingung harus
mengerjakan apa dan bagaimana hingga menyebabkan gangguan tidur berhari-hari
bahkan berminggu-minggu.
Satu saat ia membuat status di salah satu sosial medianya angka satu
hingga dua ribu. Ini mengundang perhatian teman-temannya yang tidak ia blokir.
“Are you right, Erina?”
“Yes, right. What happen?”
“No, nothing”
“Please told me if you any some problem”
“Aku bisa menjadi therapis jika kamu mau, aku aman”
“Oh, tidak ada apa-apa… aku hanya nggak bisa tidur aja selama beberapa
minggu ini”
“What??”
“Kenapa?”
“Tidak tahu”
“Cerita saja jika kamu mau, aku aman”
“Oh, oke!”
Pagi itu ibunya telphon jika mereka hendak menjemput, siap untuk
pamitan boyong pulang.
Tiba-tiba sampai di pertengahan jalan, Erina telphon jika beberapa
hari ini ia mimpi jika ada tangan-tangan hanya berkabut putih yang ebrusaha
menarikku kembali. Dalam mimpi itu ia mendengarkan suara, “Sebaiknya kamu agak
lama di sini, nani daripada kamu kecewa ke depannya”
“Nih, ayah…! Gimana anak ini”
“Terus kita harus bilang apa ke gurunya coba?”
Badai di siang hari
Ketika tahu keluarganya bermasalah dengan keuangannya, Erina mulai
ancang-ancang antara keluar dari sekolah atau melanjutkan PKLnya di studio luar
sekolahnya. Berhari-hari ia mulai berhemat dengan makannya hingga badan pun
tampak terlihat lebih kurus dari hari-hari sebelumnya.
Tapi sebagai anak yang dulu sering membantu keuangan teman-temannya,
ia mulai sering mendapatkan bantuan makanan dari teman-temannya. Dari sekedar
makan pagi hingga makan siang hampir tiap hari. Ibunya yang mendengar cerita
tersebut tiap hari sebenarnya merasa tidak enak, tapi bagaimanapun kondisi saat
itu mereka benar-benar harus berhemat dengan keuangannya demi bisa makan.
Di ujung semester, keluarganya kembali datang untuk mengambil raport.
Tapi ternyata rapot ditahan karena ada satu tugas devisi persiapan PKL yang
belum berhasil ia selesaikan. Ini membuat ayahnya spontan naik pitam saat itu
juga.
“Sebenarnya apa saja sih yang kamu kerjakan di sekolah?”
@@@
Di saat mereka tengah bercocok tanam di ladangnya, gairah Mendengar
lagu Mahameru terbersit ingin mendaki gunung.
“Kapan kita bisa naik gunung lagi, Bu?”
“Kamu ini, kondisi masih seperti ini masih mau main-main”
“Aku kan kemarin dapat uang dari Bude-bude, cukuplah mesti”
“Sanalah cari teman kalau mau”
“Boleh??”
“Boleh, asal nggak minta uang”
“Oke!”
“Kira-kira ajak Reza mau nggak ya?”
“Coba saja, siapa tahu mau”
“Oke”
Beberapa saat kemudian
“Wuih! Willy mau katanya”
“Oh ya?”
“Coba cari teman lainnya, siapa tahu mau”
“Oh, iya! teman-teman Air Soft Gun”
Dua hari kemudian ia mulai menjaring beberapa teman dan membuat grup
di medsos sebagai persiapannya hingga muncul chat Roddy,
“Er, boleh nggak aku ikut muncak”
“Bukannya kau anak Osis ya? Nggak sibuk kau?”
“Boleh apa enggak!”
“Boleh”
“Beneran mau ikut naik?”
“Insya Allah”
“Fifty-fifty sih…”
“Berarti nggak pasti?”
Satu jam pertama Beberapa jam kemudian Erina kejar tugas persiapan
memasukkan lamaran magangnya di sebuah Studio.
“Kenapa kamu nggak jadi ikut naik ke Gunung?”
“Came on, I’m Chinese”
“Chinese new year”
“Oh.. oke”
Erina nyengir
“Hehehe…”
“Kenapa kamu?”
“Nggak apa-apa, Bu”
Seketika itu nyali Erina seperti meluncur dari tebing yang cukup
tinggi.
“Mengapa manusia mesti ada pengkotak-kotakan begitu ya Bu?”
“Maksudnya?”
“Ya… katakanlah, aku jawa lah, dia china lah, dia arab lah”
“Bukannya mereka sudah sama-sama tinggal di Indonesia puluhan tahun
ya?”
“Ya… begitulah kurang lebih dari dulu nggak kelar-kelar”
“Kenapa emangnya?”
“Willy?”
Erina hanya nyengir sekilas dan kembali ke kamarnya menekuri tugasnya.
@@@
@@@
“Ya
begitu itu tuh..”
“Disuruh
apa mau-mau aja sama temanmu”
“Sudah
deh, jangan hiraukan dia lagi. Percuma anak laki semacam itu, Bukan tipikal
lelaki baik-baik”
“Siapa
yang menghiraukan dia bu?”
“Itu
sikapmu”
“Karena
dia suka deketin aku bu”
“Ya
hindari ajalah”
“Sudah
Bu.. tapi dia deketin aku terus”
“Ya
cuekin aja”
“Sudah,
dianya yang senyum-senyum sendiri kalau lihat aku”
Dan
semenjak ibunya berpesan demikian, Erina benar-benar berhenti balas chat-chatan
Roddy. Hari-hari berikutnya Roddy menjadi orang yang lebih utama memantau
status sosial medianya Erina.
Saat
pertama kali Erina masuk sekolah, ia sering pura-pura tak melihatnya. Bahkan
isi chat pun ia arsipkan demi mental health dia. Ia ingat betul bagaimana pesan
ibunya pada dirinya yang sering mendapat perhatian dan harapan Roddy sementara tetap
jalan hingga pacaran di depannya.
“Se usia
kalian itu, luaskan betul dunia pertemananmu, kegiatan sosial masyarakatmu,
sampai kegiatan di luar sekolah. Nanti tiba saatnya kamu jelang usia menikah,
tinggal pilih tuh lelaki mana yang valuenya pas denganmu yang sudah terangkat
naik”
“Nanti
begitu tiba saatnya kamu menikah, enak.. nggak ada tuntutan dan tekanan kamu
harus cari nafkah atau tidak, karena minimal lelaki itu sayang saya sama kamu.
Kalau dia sayang sama kamu kan sudah otomatis dia nggak bakal menelantarkan
kamu cari nafkah sendiri untuk anak-anakmu”
“Ohhh…”
“Percaya
ibu deh, mau ganteng seperti apapun kalau value nggak ada, seiring berjalannya
waktu wajah yang ganteng bakal berubah jadi jelek kalau ekonominya keteteran”
“Haha..
ibu tuh ada-ada aja”
Malam
itu Chika yang baru pulang dari Ekstrakurikuler Air Soft Gun tiba-tiba lihat
Mika duduk sendirian di Gazebo.
“Hai,
sedang apa kamu di sini sendirian malam-malam”
“Tunggu
Bang Roddy”
“Oh..”
jawab Erina seketika hendak pergi, tapi keburu Roddy datang dan berdiri tepat
di hadapannya dengan jarak tidak lebih dari 30cm membuat Erina langsung mundur
selangkah karena ketika berdiri di hadapannya, ia berdiri tepat di dadanya yang
membuatnya risih. Meski Erina berusaha mundur, tetap saja Roddy maju
mendekatinya hingga dua langkah membuatnya kesal menyingsingkan rok sekolahnya,
dan…
“Dduakkkk!!!”
tendangan kaki itu mendarat di paha bagian atas meskipun yang diincar bagian
kemaluannya karena saking kesal dengannya. Itu membuat Roddy tertawa terkekeh-kekeh
melihat Erina gagal menendang dirinya setelah tempo hari sempat ditendang
pantatnya dari belakang.
“Minggir!
Aku mau pulang!”
Sementara
Mika pura-pura tak melihat adegan itu di depannya saat Erina pergi meninggalkannya
tanpa pamit dengan rasa kesal.
“Tahu
gitu tadi, aku nggak perlu menyapamu” pikir Erina cemberut kesal melayangkan
pandangannya sekilas pada Mika yang tetap cuek melihat layar Hp nya.
Kala Death Note Murka
Tiba-tiba saja ada pesan masuk di kotak pesan smartphone Willy. Itu
adalah pesan Erina dari ibunya yang marah-marah karena tugasnya keteteran.
Lelaki sipit dengan kacamata tanpa frame itu segera menutup layar monitor
laptopnya dan memasukkannya ke tas hingga bergegas keluar ruangan.
Willy segera masuk ke ruangan dimana siswa animasi 2D sibuk
mengerjakan tugasnya. Ia melihat Erina duduk sendiri di pojok meletakkan
kepalanya di atas meja dengan tumpuan tangannya yang tertekuk dan duduk di
sebelahnya.
Melihat Erina tanpa reaksi, Willy melongok wajah Erina dari bawah
membuat Erina kaget mengangkat wajahnya dengan matanya merah berair. Ia hanya
tertawa campur dengan air matanya yang ia usap berkali-kali.
“Kamu itu dimarahi seperti itu kok masih bisa-bisanya tertawa”
“Lha mau gimana”
“Ya dikerjakan aja sebisanya”
“Nggak bisa, pikiranku kacau susah konsentrasi”
“Ya mulai aja sekarang kerjakan, aku tunggu”
“Lama lho”
“Nggak apa-apa”
“Memangnya kamu nggak ada tugas?”
“Ada, tapi bisa aku kerjakan nanti kok”
“Ya jangan begitu”
“Sudah, ayo kerjakan sekarang”
Tanpa ba bi bu lagi Erina seperti ketakutan dan tidak enak ketika suara
anak lelaki itu sudah mulai tegas. Ia segera mengusap wajahnya yang sembab
campur basah air mata membenahi kursinya dan kembali membuka laptopnya.
Sementara Willy mulai mengambil posisi duduk paling nyaman dan membuka game di
smartphonennya. Saat itu pula Erina seakan tak berani berkutik melakukan
sesuatu lain di layar monitornya kecuali tugasnya. Bahkan teman-teman Erina
yang biasanya suka ajak ngobrol tak berani menyambangi dirinya saat ada Willy
di sebelahnya karena reaksi Erina yang hanya tersenyum melambaikan tangan
sekilas.
Meski begitu ia tak merasa terbebani karena akhirnya ia menemukan
alarmnya lagi yang membantu mengembalikan konsentrasinya di saat ia dikejar
dateline tugas dari guru-guru mata pelajaran.
Dari menit ke menit telah berlalu, tapi Erina tetap merasa terjaga
karena ada alarm di sebelahnya yang membuatnya tidak enak jika ia sedikit saja
leha-leha seperti biasanya. Hingga ruangan mulai sepi dan jarum jam pendek
berpindah ke dua angka setelahnya.
“Ahhh…!! Yehhh! Akhirnya kelar juga”
“Sudah?” tanya Willy lagi
“Ada tugas yang lainnya lagi nggak itu?”
“Hehe… masih empat mata pelajaran lagi yang belum”
“Ampun Erina, pantesan ibumu marah seperti itu”
“Hehe…”
“Tugas yang terdekat, apa tuh yang perlu dikejar”
“Ya ini, Cik”
“Ya sudah, kerjakan tugas lainnya lagi”
“Tapi aku harus pulang, mau makan”
“Mau nggak makan bekalku”
“Lah, terus makan siangmu?”
“Nggak, nanti aja”
“Nggak bisa begitulah”
“Kalau kamu mau, aku ambilkan”
“Nggak ah, aku pulang aja”
“Oh.. oke”
“Nanti ikut Air Soft Gun nggak?” tanya Erina sembari membereskan meja
dari barang-barangnya
“Sorry, aku masih ada tugas yang perlu diselesaikan”
“Lah, terus??! Dari tadi kamu?”
“It’s not problem, bro”
“Kenapa nggak bilang dari tadi?”
“Yaa…hh?!”
“No problem, its okey”
Siang menjelang sore itu
Wilson di Air Soft Gun
Saat jam
Ekstrakurikuler Air Soft Gun tiba, Erina duduk sendiri di atas tumpukan
material bebatuan. Wajahnya tampak pucat karena seharian belum makan. Melihat
pemandagan itu, tiba-tiba Wilson datang. Seperti biasa, ia berdiri tepat di
hadapannya, hingga membuat Erina kesal karena tepat di hadapan kemaluannya.
Rasa-rasanya pingin sekali ia menonjok, karena saking kesalnya sudah diingatkan
berulangkali jangan berdiri tepat di hadapannya saat ia duduk, tapi itu selalu
terjadi. Kali ini Erina tak menghiraukannya.
“Ayok
makan!”
“Nggak!”
“Ayok
makan!”
“Nggak!
Aku nggak punya duit”
“Aku
belikan deh,”
“Enggak,
aku lagi malas makan”
“Ayok
makan, atau aku tonjok lagi kau”
Spontan
Erina melirik kesal ke atas.
“Aku
lagi malas makan”
“Kalau
kau pingsan lagi siapa yang mau nolong?”
“Enggak!
Aku nggak akan pingsan”
“Bohong!”
“Ayok
makan!”
“Mau ku
tonjok lagi apa kau?” katanya yang seketika ditarik begitu saja tangannya
membuat dirinya yang sedang berdiri di atas batu nyaris saja terjatuh, tapi
seketika ditarik begitu saja oleh lelaki sipit berkacamata itu.
“Kau itu
kalau dikasih tahu jangan ngeyel!”
“Sudah
tahu sering masuk UKS, masih aja ngeyel” serunya begitu keduanya duduk di
kantin.
“Paket
ini aja, uangku cuma segini” kata Wilson ngedumel
Erina
hanya cengar cengir menahan tawa memikirkan bagaimana karakter Wilson yang
tampak kasar namun sebenarnya ia penuh welas asih.
“Siapa
juga yang suruh belikan makan” gerutunya lirih takut terdengar
Bagi
Erina, Wilson ini satu-satunya teman nyaris seperti ibunya yang selalu
menasehati dirinya selama penyesuaian diri di sekolah formal, sejak pertama
kali hari-hari di sekolah hingga hari ini. Jadi, sekalipun sikapnya kadang
terlihat kasar, tapi sebenarnya ia sangat care dan aware terhadapnya.
@@@
Hari-hari
berikutnya saat Roddy dan Erina berpapasan, Erina pura-pura tak melihat, bahkan
saat Roddy berusaha menyapanya, Erina berusaha menahan diri untuk tidak
bereaksi seperti sebelum-sebelumnya yang ramai.
“Apakah
itu artinya dia cemburu?” pikir Roddy
“Kalau
dia cemburu, kenapa signal yang aku kirim ke dia tidak pernah dia balas dengan
baik”
“Justru
mengenalkanku pada Mika?” pikir Roddy lagi dengan wajah datar
Seperti
hari-hari biasanya, Erina duduk sendiri di ruang studio animasi sembari serius
dengan layar laptopnya. Tiba-tiba Willy datang dan duduk di sebelahnya.
“Gimana
tugasmu?”
“Hm,
kurang sedikit. Matematika aja kok”
“Kenapa nggak
pakai AI aja?”
“Ngapain
aku sekolah di sini kalau kerjakan tugas pakai AI”
“Oh… good
lah”
“Tapi
kalau waktunya mepet kan mending pakai AI, daripada nilaimu jelek lagi”
“Nggaklah”
jawab Erina membuka laptopnya sendiri
Saat itu
Roddy turun dari tangga, ia melihat sekelebat bayangan Erina yang duduk
bersebelahan dengan Willy mengambil alih laptop Erina dan mulai serius
mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Sementara Erina yang tidak sengaja
membalas tatapan Roddy dari luar, kembali menjawab kata-kata Willy yang
membantu mengerjakan tugasnya.
@@@
Kedatangan Reza ke Sekolah
Semenjak
dirinya naik ke kelas dua, letak kelasnya yang ada di lantai dua tidak ada
tempat duduk di teras tersebut yang membuat dirinya harus duduk nglesot di
teras depan kelas yang lebarnya tidak ada dua meter. Pagar teras tersebut terdapat
lubang-lubang persegi berukuran 20cm x 40cm yang membuat Erina suka iseng
memasukkan kepalanya ke dalam lubang-lubang tersebut. Ia merasa seru aja ketika
memanggil teman-temannya dari balik lubang tersebut membuat beberapa orang yang
tidak jeli kadang kebingungan mencari-cari sosok suara itu, sementara ia
tertawa cekikian melihat temannya seperti orang bego yang clingukan.
Kadang
sembari menjawab telephone ibunya, ia meletakkan dagunya di dalam lubang
tersebut sambil nglesot di lantai depan kelas.
Ia
memang cenderung tidak bisa diam dan penasaran dengan segala uji coba tubuhnya
melakukan sesuatu yang membuat Nova ketawa geli hingga iseng mengambil gambar
lewat ponselnya dan mengirimkan gambar tersebut pada Reza.
“Reza,
lihat! Erina mau bunuh diri” chat itu terkirim ke Hp Reza membuatnya kaget.
“Cucu
yang bodoh, ngapain kamu mau bunuh diri segala?!”
“Dasar
nggak tahu diri! Tugas itu dikerjakan, bukannya malah mau menghilangkan diri”
Umpatnya bertubi-tubi dengan mengirim foto balik membuat Erina celigukan
bingung mencari-cari siapa gerangan yang mengambil foto dirinya.
Tak ada
satu orang pun yang ia kenal saat itu, kecuali Nova yang berjalan menjauh
menuju ke tangga lantai tiga.
“Hei
Nova! Kau yang ambil fotoku kah?!” teriak Erina membuat Nova tertawa cekakaan
“Gara-gara
kau, aku dimarahi Kakek!”
Tak lama
dari itu, tiba-tiba saja Reza telphon hingga ditunjukkan ponsel itu membuat Reza
seketika telphon balik sekedar untuk memastikan Erina. Begitu tahu Erina
mengangkat telphon, cepat-cepat Nova balik sengaja ingin menguping pembicaraan
itu.
Tiba-tiba
saja terdengar hamburan umpatan kemarahan seperti beberapa bulan yang lalu saat
mereka ketemu membuat Nova menahan suara tawa geli terkekeh-kekeh di
sebelahnya.
“Gini
deh, akan aku percepat ke sekolah”
Erina
berisyarat pada Nova, ia keder kebingungan apa yang mesti dijawab saat Reza memakinya
karena ingin melarikan diri dari dunia.
“Gini
aja deh, akan aku percepat datang ke Sekolah”
“Kalau
enggak, saat liburan nanti kita pergi ke gunung bareng-bareng aja lagi”
“Halah!
Kelamaan nunggu aku liburan masih dua bulan lagi”
“Tapi
kau yang traktir kita ya?!”
“Iya!
iya…!”
Di sidang Guru BK, Wali Kelas dan Guru Jurusan
Untuk bertahan
di sekolah itu, rasanya usaha orang tuanya sudah lebih dari sekedar kata cukup.
Dari riwa-riwi menjenguknya, memberikan pemahaman ke ibu asrama, kakak asrama,
hingga wali kelasnya. Bukannya Arin semerta-merta minta anaknya dipahami dan
dimaklumi. Tapi setidaknya tidak terjadi miskomunikasi antara guru, orang tua,
dirinya hingga teman sebaya.
Karena
dari kata-kata yang pernah dilontarkan Erina pada wali kelasnya, seakan
sekolahnya ini tidak memberikan kontribusi banyak pada perkembangan dirinya selama
ini. Dan ini membuat Arin merasa ketampar dihadapan Wali kelasnya. Karena
nyatanya 60% tugas sekolahnya, termasuk tugas produksi sama sekali belum
dikerjakan.
Tapi
dari karakter gurunya yang masih sangat muda dan mau memahami Erina, justru
menduga tugasnya ini sebenarnya sudah dikerjakan. Tapi ia tidak berani
mengumpulkan karena dianggap jelek dan tidak sempurna. Itulah mengapa menjelang
penerimaan raport, Arin mendapat panggilan dari sekolah untuk menemui guru BK
dan Wali kelasnya.
Begitu menjelang
jadwal pertemuan, Arin sudah mulai merasakan sakit perut, sariawan dan gejala
stress lainnya membayangkan bagaimana dan apalagi yang perlu dilakukan untuk
putri sulungnya yang sejak anak-anak selalu ada saja masalahnya.
Sementara
Erina tetap merasa aman damai sentosa sekalipun dimarahi orang tuanya maupun
ibu asrama karena sering melewatkan tugas ngaji dari asrama karena sering
pulang terlambat.
@@@
Ditengah
sidang ketiga guru, yakni guru BK, Wali kelas dan guru Produksi yang
menjelaskan laporan tugas Erina 60%
belum dikumpulkan, termasuk tugas Produksi yang dianggapnya kartu truff jika
tidak dikerjakan membuat Arin teringat keluhan sulungnya saat bercerita dalam
telphon.
“Maaf
boleh menyela sebentar kah, Pak?”
“Sebenarnya
sudah berkali-kali kami ingatkan untuk mengatur jadwal sekolah dan mengerjakan
tugas-tugasnya, tapi karena kami jauh, jadi tidak tahu apa yang terjadi yang
sebenarnya di lapangan”
“Erina
ini anaknya terlalu care dan aware sama teman-temannya, jadi kadang ia pulang
hampir malam hanya untuk mendengarkan curhatan teman-temannya”
“Nggak
itu kakak kelas maupun satu angkatannya”
“Hampir
setiap saya telphon, dia selalu mengeluhkan bagaimana ia harus mendengarkan teman-temannya
curhat, sementara ia punya empati besar terhadap mereka”
“Sementara
ia sendiri merasa tidak ada satu orang temanpun yang mau mendengarkan curhatan
dirinya”
“Untuk
itulah, daripada ia tidak punya teman. Ia rela mendengarkan curhatan
teman-temannya berjam-jam, sementara ia tidak enak jika harus memutus obrolan
demi mengerjakan tugas-tugasnya”
“Saya
rasa itulah mengapa tugasnya banyak yang keteteran”
“Karena
maaf Bu, basis sekolah kita kan memang Industri oriented”
“Jadi
anak-anak memang dipersiapkan untuk bisa kerja di dunia industri”
“Yang
namanya dunia industri itu penuh dengan target dan tekanan”
“Jadi
ketika anak tidak mengerjakan tugas-tugasnya, dianggap tidak bisa mengikuti
kurikulum sekolah. Yang pada akhirnya anak ini bisa tidak naik kelas, karena ia
harus mengulang semua materi yang diajarkan sampai ia benar-benar siap bersaing
di dunia kerja”
“Oh..”
“Jadi
Erina..”
“Bilang
saja sama teman-temanmu itu, kalau mereka menyuruhmu untuk mendengarkan cerita
mereka. Bilang saja, aku harus mengerjakan tugas-tugasku”
“Kamu
harus mengutamakan diri kamu dulu”
“Karena
kamu di sini kan untuk belajar”
“Iya
Pak, baik Pak” jawab Erina cengar-cengir seolah tanpa beban.
Sementara
wajah ibu dan ayahnya terlihat menarik nafas lelah membayangkan bagaimana anak
satu-satunya yang baru dilepas di sekolah umum hanya baru semester satu saja
sudah sering buat ulah.
@@@
Saat
selesai bertemu dengan ketiga guru tersebut, Erina mendapat tumpahan kemarahan
dari ibunya lewat telephone hingga sekedar pesan singkat hingga voice note,
membuat Erina yang awalnya hanya happy-happy saja saat disidang ketiga guru,
namun seketika ambles begitu dimarahi ibunya.
Saat itu
jam Ekstrakurikuler dimulai. Erina yang datang lebih awal di ruang aula duduk
di sudut ruangan di atas tumpukan meja dan kursi dengan mata sembab meratapi handphonenya.
Wilson yang membaca ekspresi Erina yang tidak seperti biasanya ramah dan selalu
riang curiga.
“Kamu
kenapa Er?” tanya Wilson memandang curiga wajah Erina yang makin ditenggelamkan
di antara kedua lututnya yang tertekuk menyembunyikan wajahnya yang sembab.
Bagaimanapun Erina merasa jatuh terperosok saat membaca chat-chatan ibunya yang
sudah luar biasa marah yang merasa gagal memahamkan bagaimana dirinya harusnya
selama ini.
“Hei!
Kenapa kamu?!” tanyanya lagi yang tidak dijawab namun justru membuat suara
tangis Erina makin terdengar jelas di balik kedua lututnya yang tertekuk.
Melihat handphonneya masih terbuka, seketika itu direbut paksa dan dibaca semua
chat-chatan ibunya yang meledak marah.
“Dasar,
orang tua Abuse. Kalu aku ketemu bakal ku tonjok dia” cetusnya kesal berusaha
meredakan tangis Erina yang makin menjadi-jadi.
Tiba-tiba
saja Mozart datang dengan menyalakan musik romantic keras membuat Wilson
langsung naik pitam direbut paksa dan dilempar keras.
“Ctakk! Prakkk!!”
Batangan
tipis itu terlempar jauh di sudut aula hingga layarnya pun pecah membuat Mozart
seketika diam merasa bersalah sekaligus menahan marah.
“Sudah
tahu ada orang sedih, bisa-bisanya kau nyalakan music sekeras itu”
“Gila
apa kau ini?!” teriaknya memicingkan mata menatap tajam pada Mozart yang kembali
memungut Hp nya dengan perasaan kesal yang tertahan melihat layarnya remuk.
Masuk kemari untuk mencari teman
Seperti
hari-hari biasanya, Erina tak bisa toleransi dengan telinganya yang terlalu
sensitive mendengarkan teriakan teman-temannya di dalam kelas. Ia memilih duduk
sendiri di luar kelas sembari menyapa orang-orang yang lewat di depannya. Bukan
hanya siswa dan guru yang ia sapa, melainkan ada satpam dan office boy yang ia
sapa dan menjadi teman ngobrol di saat ia boring di sekolah.
Tiba-tiba
seorang murid dengan memakai masker dan kacamata frame hitam memakai pita di
sebelah jilbabnya lewat di hadapannya.
“Hai,
namamu siapa?” sapa Erina membuat gadis itu celingukan menoleh bingung
“Oh, aku
Zizi”
“Boleh
minta kontakmu kah?”
“Hah?!!”
lagi-lagi cewek itu menoleh bingung, tapi ia segera membuka handphonenya dan
keduanya mulai bertukar nomor ponsel
Seorang
anak lelaki datang menyapa, ia adalah teman ekstrakurikuler.
“Hai,
hallo Wilson”
“Hai,” balas lelaki sipit berkulitan tipis dengan wajah sedikit kaku
itu melintas.
Erina kira anak lelaki itu akan berlalu begitu saja, namun ternyata
ia berhenti dan menyapa keduanya.
“Apa katamu Erina?”
“Yang
benar saja, kamu masuk kesini dengan biaya puluhan juta hanya untuk mencari
teman?”
“Iya,
terus kenapa?”
“Dasar
Bodoh!”
Erina
celingukan bingung merasa kata-katanya tidak ada yang salah.
“Buat 3D
itu kan mudah, dipelajari sendiri aja bisa” katanya terdengar sombong membuat
beberapa orang temannya seketika jlebb diam.
“Ya nggak
salah sih… tapi sekolah di sini itu kan mahal loh Erina,”
“Iya,
tahu! Terus kenapa?”
Plakkk!!
“Ah…! Bodohnya kamu Erina,”
“Lah,
memangnya kenapa?”
“Yak??!!”
Jatuhnya Ekonomi Keluarga
Pagi itu
dengan cueknya ia berangkat ke sekolah dengan memakai jaket kuning milik
almarhum kakeknya waktu kuliah dulu. Itu adalah jaket terkeren yang pernah ia
miliki. Dengan mata bengkak dan wajah kuyu ia cuek pergi ke sekolah dengan
tetap menyapa banyak orang yang ia kenal seperti hari-hari biasanya.
Saat itu
ia melihat Nova datang dari arah kiri dirinya, tapi ia sengaja tidak menyapa
karena rasanya malas jika harus ditanya macam-macam mengapa matanya bengkak.
Bahkan
saat ada teman lelaki yang menyapanya, enteng Erina berkata;
“Hai,
Hallo…” lalu pergi begitu saja
Saat ia
mulai masuk area sekolah, beberapa teman dan adik kelasnya mulai menyapa
dirinya. Bahkan ada yang sengaja mengikutinya, tapi ia tak menghiraukan itu,
tapi anak lelaki itu tetap mengikutinya dari belakang.
“Kenapa
kamu menangis?”
“Dimarahi
ibumu lagi kah?”
“Nggak!”
“Terus?”
“Berantem”
“Berantem??”
Tiba-tiba
Willy yang sudah tahu masalahnya sejak malam minggu sebelumnya langsung menarik
perhatian Erina untuk mendekat ke arahnya.
“Rin!”
Tapi ia
hanya tersenyum dan menghindari bredelan pertanyaan temannya yang sudah
mengikutinya sejak dari pintu gerbang depan.
“Sudah
makan?”
“Aku
bawa bekal kok”
“Oh.. ya
sudah makan dulu sana”
“Mau aku
temani nggak?”
“Nggak,
nggak usah”
“Bener?”
“Hm!”
Willy
pergi meninggalkan Erina sendiri di sudut studio, dimana anak-anak animasi
biasanya asyik ngobrol sambil makan di ruangan itu. Melihat gelagat Erina
menundukkan wajahnya di balik pet jilbab putihnya, Willy nggak yakin jika cewek
itu akan baik-baik saja. Ia mengirimkan pesan lewat ponselnya
“Beneran
nih, kamu nggak apa-apa?”
“Hm,
nggak apa-apa kok” balasnya cepat.
Tapi tak
bisa dipungkiri air matanya lagi-lagi jatuh, hingga belum sempat menyalakan
laptop cepat-cepat ia keluar dan kepergok
Willy yang berdiri di depan pintu kaca melihat ponselnya.
“Mau
kemana?”
“Kamar
mandi” suaranya menahan tangis
Diam-diam
Willy mengikuti langkah Erina dan berdiri lama menunggu di depan kamar mandi, hingga
saat Erina keluar kaget mendapati Willy di depan kamar mandi dengan wajahnya
yang basah air dan mengusap-usapnya dengan lengan baju batiknya. Tiba-tiba saja
Roddy melintas di depan mereka. Lirikan dan sorot mata Roddy pada keduanya
sedikit agak curiga melihat mata Erina yang sembab keluar dari kamar mandi.
Tapi Erina tak peduli dengan kehadiran Roddy saat itu yang hanya menyapa Willy
sekilas.
Saat
mereka berjalan berdua, Roddy hanya menoleh sekilas pada keduanya memasuki
ruang studio Animasi.
“Makan
dulu aja” kata Willy saat mereka duduk berhadapan di sofa sudut Studio
Saat
Erina mulai membuka bekal sarapan paginya, Willy mulai menceritakan bagaimana
dulu keluarganya yang punya perusahaan tiba-tiba bangkrut karena hutang. Dan
demi menutup hutang serta gaji karyawan akhirnya keluarganya harus menjual tanahnya
demi menutup itu semua. Hingga kini keluarganya harus membayar sewa tanah dari
tahun ke tahun demi perusahaannya agar tetap bisa berjalan.
Cerita
Willy membuat raut wajah Erina pun kembali terkesima seakan menyingkirkan
sejenak rasa nyeri yang dirasakannya saat itu.
“Dan
nyatanya sampai saat ini kami masih bisa hidup dengan baik”
“So,
wake up”
“Jangan
buang-buang waktumu dengan bersedih”
“Karena
kamu hanya butuh bangun dan kembali berjalan saat kamu terjatuh”
“Ya,
hanya itu yang bisa kamu lakukan saat ini”
“Karena
semua sudah terjadi dan tidak bisa diulang lagi” kata Willy membuat raut Erina
tampah lebih cerah dari beberapa menit sebelumnya.
@@@
Melihat
kejuaraan lomba tembak, ibunya hanya menahan nafas merasakan bagaimana putrinya selama ini mempertahankan cabang olah
raga itu di sekolahnya namun sekalipun tidak pernah diberikan kesempatan
mengikuti lomba tersebut dengan bermacam alasan.
“Nak,
kamu kok nggak ikut lomba”
“Nggak
boleh bu, nggak tahu kenapa?”
“Terus
untuk apa kamu bertahan di situ kalau hanya ikut lomba seperti itu saja tidak
dibolehkan”
“Nggak
tahu”
“Ya
sudah, kamu fokus ke portofoliomu aja. Lagipula itu juga untuk ekstrakurikuler
kan?”
“Iya
sih,”
Sore itu
Erina keluar dari group ektrakurikuler soft gun. Tiba-tiba saja Nino nge chat
“Kenapa
kok keluar dari grup?”
“Nggak
apa-apa, pingin keluar aja”
“Pasti
ada sesuatu”
“Nggak
ada, tenang saja”
“Aku nggak
percaya kamu, please! Cerita aja, aman sama aku”
“Nggak
usah”
“Pokoknya
kamu harus cerita”
“Kapan
mau ngobrol”
“Besok
sore kau ada kelas kah?”
“Nggak
ada”
“Oke”
Tiba-tiba
saja
menimbulkan beberapa pertanyaan
teman-temannya, terutama teman jurusan RPL yang rata-rata anak lelaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar