Jumat, 17 Januari 2025

 

Izack adalah pemuda berusia 23 yang menentang keras pacaran. Masa lalunya menjadi bayi buangan di tempat pembuangan sampah akhir adalah pengalaman menyakitkan yang terpatri sepanjang hidupnya. Ia enggan mendekati perempuan, bahkan di saat ia memutuskan untuk suka pada seorang gadis, ia tetap tidak berani menyentuhnya sebelum ia memutuskan untuk menikahinya. Dari konsentrasinya pada karir politik dan bisnis yang ia bangun semenjak es em a, ia menjadi pemuda yang sukses di saat usianya baru 23tahun. 

Chika adalah pemudi berusia 19tahun yang tidak pernah pedui dengan yang namanya dunia cinta. Baginya itu seperti buang-buang waktu percuma. Ia tidak bisa mengandalkan hidupnya pada siapapun, bahkan keluarga pamannya yang tergolong petani miskin yang hidup hanya untuk menyambung hidup. Meskipun demikian ia tak pernah menyerah begitu saja, di sela-sela waktunya sebagai mahasiswa, ia habiskan waktunya untuk bekerja serabutan demi menutup hutang bank, demi menyambung pendidikannya hingga masuk perguruan tinggi.

Di saat tubuh fisiknya terkoyak karena tidak adanya asupan gizi yang cukup, ia masih sering merasakan sakit perut yang luar biasa. Hingga satu peristiwa ia jatuh pingsan dan dibawa lari Izack dan Hendrik yang jadi tetangga kostnya.

Bagaimanakah pertemuan dua orang sejoli yang sama-sama saling tidak peduli soal pacar, namun ujungnya menikah secara mendadak karena hukum adat mayarakat setempat?

 

 

Di Balik Bayangan Negeri Malam

 

1

Tanpanya, aku tidak baik-baik saja  

 

Siang menjelang sore, lelaki berwajah lembut itu berdiri di depan jendela sebuah ruang perkantoran. Handponennya tiba-tiba saja berbunyi, dering nada panggilan itu adalah nomor pribadi ibunya.

“Halo, iya Ma?”

“Kamu sekarang dimana, Nak?” tanya perempuan di ujung ponselnya

"Di Penerbitan Ma, gimana?"

"Kenapa sekarang jarang pulang ke rumah?"

"Iya, biasa Ma. Tahun pertama pindah kantor agak ribet, banyak urusan yang harus diselesaikan"

“Begini… Kemarin Papamu bilang, besok mau diajak ketemuan sama pak Menhan”

“Ada apa??” Izack mengernyit

“Ee…”  suara itu geragap bingung mencari kata

“Kebetulan putrinya beliau baru pulang dari Belanda”

“Lalu, apa urusannya denganku?”

“Kau ini, sudah umur segini belum punya cewek juga,”

Izack menghela nafas pelan “Ma, urusan lain-lainnya Mama bisa atur-atur, tapi soal yang satu ini biarkan Izack yang memilih”

”Okey Ma?!" 

“Tunggu tunggu!!”

“Apa salahnya sih dicoba, siapa tahu jodoh”

“Sudahlah Ma, doakan saja semua urusan Izack lancar” nadanya sopan menjauhkan batangan tipis itu sambil meringis saat suara di ujung sana terdengar mulai geram.

“Baik Ma... baik” suaranya menekan rasa kesal

“Mama tunggu loh ya, jam 7 malam”

“Ma, selesai kerja. Izack punya agenda rapat dengan teman-teman di Mabes AMI” nadanya sopan menutup telphon

Hening. Izack melenguh kesal melonggarkan kerah hem nya.

"Siapa? Mamamu?" tanya Alvin yang bersandar di meja kerjanya

"Hm!"

"Mampus! apa kataku dulu, punya pacar itu penting untuk menghindari perjodohan"

"Perempuan itu ribet, Bro!" ujarnya yang spontan ditertawakan Alvin

"Mereka itu makhluk paling manja"

"Tidak semua"

"Kamu lihat Hera, dia pekerja keras. Tapi apa yang terjadi, dia seperti nggak membutuhkanku lagi karena saking mandirinya"

"Nah, kan??"

"Terus maumu gimana?!"

"Yak, setidaknya bisa diajak kerja sama lah"

"Hadeeh...! kamu itu lelaki Bro, seharusnya kamu bisa melindungi mereka"

"Masalahnya tahu sendiri kan, sekarang bukan saatnya untuk itu"

"Melindungi karyawan dan perusahaanmu yang sudah kamu rintis tahunan, begitu??? sampai mengorbankan hajat hidupmu"

"Halo... Hutang 3M, Bro! Kalau nggak kerja keras mau dibawa kemana hidupku"

Alvin tertawa ngikik “Hutang segitu dengan perusahaan sebesar ini, kecil itu, Bro!”

“Hei… Meja yang kamu duduki itu termasuk duit hutang itu” spontan Alvin ngakak pindah tempat duduk di kursi depan mejanya.

Mendengar pintu diketuk, Izack kaget. Dia terhenyak memutar posisi duduknya dan mempersilahkannya masuk. Saat itu lelaki setengah baya masuk dan menyodorkan Map tua membuat Alvin segera pamitan pergi.

“Ada naskah buku dari penerbit teman Bapak dari AMI Cabang Yogya”

“Awan?” selintas pikirnya melihat Map Cokelat

Lelaki itu membuka map dengan ketikan manual mesin ketik. “Penuturan orang-orang eks tapol tentang sejarah”

Saat dikeluarkan bandelan kertas dari Amplop besar, raut Izack nampak tak begitu semangat, apalagi melihat ketikan manual dengan coretan tipe ex sana-sini dengan kertas yang sedikit kusam. 

“Meskipun isinya berat, tapi gaya tutur ceritanya ringan dan enak dibaca, Pak” jelas lelaki tengah baya

“Benar-benar nggak terasa, kalau itu kisah nyata”

“Dan sepertinya ada arsip negara yang tersirat disembunyikan dari penuturan naskah itu”

“Tapi ya itu, si penulis meminta agar namanya tidak dicantumkan jika berhasil terbit"

“Coba Bapak baca dulu,”

“Kalau saya sendiri ragu, karena kemungkinan besar buku itu bakal ditarik dari peredaran”

“Lalu, kenapa mesti?”

Lelaki itu diam kembali memandang Map tua seperti ada yang tengah dipertimbangkannya dengan berat.

“Katanya, penulisnya ini anak Mahasiswa semester dua yang butuh sekali uang untuk biaya kuliah. Jadi dibayar murah pun tidak masalah, asal ada hasil”

“Dia pikir kita ini ATM?!”

“Sudah, kembalikan saja”

“Maaf Pak Izack, mohon dibaca dulu"

Pak Yusuf diam dan pergi meninggalkan kernyit alis mata Izack yang memandang Map Coklat tua. Begitu lelaki paruh baya keluar, setengah ragu lelaki berwajah tipis itu kembali menarik map tersebut.

“Luchika Aria” Izack membacanya pelan

"Hmmm... nama yang keren" pikirnya lagi-lagi melototi Biodata penulis, namun tak ada jenis kelamin dan foto

"Ini laki atau perempuan?"

Sesaat ia kembali duduk membuka map tua dan mulai membaca paragraf demi paragraf.

Entah berapa lama ia terhanyut dalam alur penulisan buku, hingga tak terasa jarum jam dinding di depan meja kerjanya telah menunjukkan pukul empat. Ia membuat panggilan untuk seseorang,

“Ada nomor kontak penulisnya?"

"Tidak ada, Pak. Katanya penulisnya tidak punya Hp”

"Yang benar saja, hari gini mahasiswa nggak punya Handphone?"

"Maaf Pak Izack, keponakan saya kuliah di universitas negeri handphonneya juga masih barengan sama adeknya"

“Kabarnya, penulisnya ini anak AMI Yogya”

“Hm, dari tulisannya, ini bukan bukan buku biasa”

“Ya sudah, saya urus sendiri aja"

“Baik, Pak” jawabnya pergi dengan senyum lebar lelaki itu saat memunggungi Izack

Tak lama kemudian seorang lelaki dengan rambut keriting masuk membawa map berisi laporan keuangan bulan itu. Izack diam meneliti lembar demi lembar dan menutupnya lagi.

“Bagus, ternyata siasat menerbitkan buku sains fiction bisa mendongkrak penjualan semua buku kita” kata lelaki berhidung lancip itu sembari membubuhkan tanda tangan.

“Tapi Bang, rasanya ini masih terlalu berat dari goal kita menutup hutang beberapa bulan ke depan dibanding pendapatan kita hari ini”

“Oke, yang terpenting jangan sampai turun aja, cukup”

“Sebenarnya ada banyak proyek yang bisa kita garap”

“Seperti misalkan gagasan perpustakaan proposal pemerintah yang isinya e-book dari beberapa penerbit di Indonesia kerjasama dengan Kementrian Kependidikan dan Kearsipan Nasional”

“Bukankah sudah ada ya Bang?”

“Kita ingin semua buku yang pernah terbit bisa dibuat e-book semua di sana”

“Tapi bukankah E-book  sudah banyak juga yang dijual, ya Bang?”

“Kita sedang bicara soal literasi masyarakat kita yang rendah, dan ini sebenarnya tugas negara, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa”

“Bukan soal buku itu sendiri” sekretarisnya hanya manggut-manggut

“Goal kita adalah mengarsipkan semua buku berkualitas yang pernah beredar di Indonesia, agar bisa dinikmati semua warga negara, ketika internet kita hari ini jauh lebih terjangkau tinimbang beberapa tahun yang lalu”

“Tujuan lainnya adalah menghindari kepunahan karya cipta anak negeri”

“Bukankah itu dananya besar sekali ya Bang”

Izack hanya tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya menatap sudut-sudut ruangan yang tampak terang oleh pantulan sinar matahari dari dinding kaca.

“Kita itu negara kaya, Ron”

“Kita itu negara besar, kenapa seringkali kita mau dikerdilkan”

“Maksud saya,”

“Aku paham maksudmu”

“Di situlah peluangnya, Ron”

“Kamu tahu siapa aku kan?” lelaki itu hanya menerka pesimis melihat gaya optimis bos mudanyayang terlalu idealis

“Dua tahun lebih aku mengendalikan AMI pusat, dan selama itu pula aku tahu betul bagaimana kondisi negara ini yang sebenarnya secara keuangan jauh dari kata mampu”

“Tinggal mau atau tidak”

“Tinggal bagaimana lobi dan negosiasi kita dengan mereka”

“Bagaimana bunyi proposal kita, dan bergaining kita dalam hal ini” ujarnya lagi sembari menekan remot gordyn hingga ruangan itu kembali redup.

“Ada beberapa point yang bisa kita jadikan alasan, mengapa proyek ini penting untuk pemerintah” katanya membuat sekretarisnya cepat-cepat mengeluarkan catatan kecil

“Pertama; isyu wacana literasi negara kita masih sangat rendah dibandingkan negara-negara tetangga”

“Kedua; itu bukan tanpa sebab, literasi kita rendah karena buku di masyarakat kita selain harganya mahal, juga sulit terjangkau” ujar Izack terus menerangkan beberapa point yang seakan mengalir begitu saja dari kepalanya membuat bawahannya kewalahan mencatat semua hingga harus mengeluarkan perekam dari kantong dan meletakkannya di meja.

“Itu point pentingnya”

“Tolong aturkan jadwal rapat untuk membicarakan itu dengan tim inti, aku butuh pendapat dan masukan mereka” kata Izack melihat asistennya cekatan mencatat semua kata-katanya

“Okey, begitu saja. Silahkan lanjut”

“Baik, Pak” jawab pemuda itu melirik handphonenya tetap aktif

“Terus ada gagasan penting juga buat kita untuk menambah income, yakni bekerjasama dengan Home Production”

“Kita sodorkan tuh novel sains fiction kita untuk dijadikan film”

“Karena sejauh ini, drama sains di negeri kita itu minim, bahkan langka”

“Ajak kerjasama juga dengan badan-badan penelitian negara maupun swasta untuk membantu proses film itu, karena film sains itu enggak main-main”

“Oke, Bang” jawabnya mengambil handphone dan pergi.

Saat lelaki itu keluar, Izack kembali berdiri di depan kaca jendela dengan alis matanya yang tebal seakan menyambung di kedua sisi memikirkan sesuatu yang lebih jauh dari itu dan tanpa sengaja sorot matanya kembali tertuju pada meja kerjanya. Melihat sebandel map tua itu, rasanya enggan ia bergerak. Bahkan nyaris saja memasukkan tong sampah andaikan screen savernya tidak memunculkan foto-foto dirinya di masa remaja.  

Ia sadar, saat ini adalah hasil metamorphose dirinya di masa lalu dengan masa pahit menjadi anak buangan sepasang orang tua yang tidak menginginkannya.

Suara batinnya seakan meronta-ronta teringat bagaimana dirinya berjuang mengatasi masa remajanya yang nyaris hilang kendali hingga ditolong si abang foto copy yang sabar mendengarkan keluhan dan menasehati dirinya di sela-sela waktu istirahat atau jam pulang. Teringat pesan karyawannya bagaimana latar belakang sang penulis buku, ia menarik nafas kembali duduk dan mulai membuka selembar demi selembar naskah yang masih terbilang sedikit berantakan tata letaknya. 

Tak terasa ia mulai serius terbawa tulisannya mengalir begitu saja seperti membaca sebuah buku cerita meskipun keningnya harus mengkirut lama saat membaca bagian-bagian yang ia indikasikan seperti sebuah kode kode rahasia yang sengaja disembunyikat si penulisnya. Hingga tak sadar jarinya menggeragap lampu meja mencari cahaya penerangan di saat sisi ruangan mulai gelap. Suasana yang hening dan senyap dipecahkan oleh suara ketukan pintu.

“Masuk”

“Bang, jadi berangkat nggak?”

“Hum!?” Izack meatap lama bingung seakan mencari ingatan apa yang perlu ia lakukan di saat sekretarisnya mengingatkan

“Oh.. oke. Sory! Sory!! Lupa aku”

Ia menutup map dan membawa serta meninggalkan ruangan yang ia matikan membuat sekretarisnya Ozin melihat sekilas tentengan tersebut.

“Tumben bawa pekerjaan, Bang”

“Hm, sepertinya ini buku menarik”

“Tapi entah bisa kita terbitkan atau tidak”

“Kenapa?”

“Ah, banyak tanya kau” jawab Izack membuat lelaki berkacamata itu hanya tersenyum nyengir berjalan di sampingnya

 

 

2.

Siapa dia

 

Malam semakin pekat saat ia keluar dari Markas AMI setelah selesai rapat dengan tim inti mereka. Saat masuk mobil, Izack kaget jika map yang tadi ia bawa tidak ada.

“Dimana naskah itu?”

“Naskah apa Bang?” tanya Ozin lagi

“Oh..! aku letakkan di belakang, Bang”

“Ah…” jawabnya langsung diambil dan mulai membukanya lagi saat Ozin kembali memutar kendali mobil keluar dari parkir kantor AMI

Izack tak lagi membaca naskah tersebut namun justru pandangan matanya tampak keluar dari jendela. Ia masih penasaran dengan sosok misterius penulis buku naskah sejarah yang katanya dikirim oleh anak Mahasiswa semester 2. Ia mulai scroll phonebooknya dan memasang earphone wireless.

“Halo, Bro! Kamu tahu yang namanya Luchika Aria, anak Kehutanan?"

"Hm, kenapa? Dia tetangga depan kostku"

"Oh?!"

"Cowok atau Cewek sih?"

"Cewek lah"

"Loh?! aku kira cowok"

“Kalau di sini terkenalnya anak blesteran. Haha..” tawa Rendra

“Maksudnya?”

“Iya, karena rambutnya pirang, matanya kecil, kulitannya putih pucat, kurus pula”

“Cantikkah?”

“Kalau nggak cantik nggak banyak yang suka, Bro!”

Glekkk… mata Izack kembali tampak lebar membayangkan gadis imut yang seksi 

“Cuma karena dia terlalu cuek aja”

“Ditambah nggak ngeh soal perasaan seseorang juga” ujarnya yang membuat persepsi penggambaran sosok gadis cantik imut yang lembut gemulai berubah total jadi kepiting yang galak.

“Dia penulis lepas juga loh di mass media”

“Oh, ya? Keren dong, baru semester dua sudah sering masukkan artikel”

“Hm, dulu yang sering mengarahkan tulisannya itu, si Leo”

“Leo anak cabang?”

“Hm, ya”

“Pernah nih, dia menulis tentang adat tradisi kampung pamannya yang menikahkan anak gadis desa setempat yang membawa pulang teman lelakinya ke desa itu”

“Makanya pernah ada yang sempat bilang begini”

“Kalau memang suka sama dia, mudah. Jebak aja dia ketemuan di desanya malam-malam”

“Hmm... kurang ajar itu anak” tawa Izack miris

“Lha habis, serius. Susah banget deketin anak itu”

“Kalau di mata teman perempuan dia dianggap sombong”

“Ngomong-ngomong, ada apa nih?" nada suara lelaki di ujung ponsel itu curiga

"Oh… Itu, si Awan memasukkan naskah buku dia ke tempatku"

"Tulisannya kok berat banget, seperti pelaku sejarah aja"

"Berita yang beredar, dia anaknya komunis tapi ada juga yang bilang anak veteran yang membawa kabur dokumen negara"

"Oh?!!"

"Heee...??! Apa?!!"

"Iya, nggak tahu yang benar yang mana"

"Emmm..."

"Tapi termasuk keren lho dia itu, masih semester 2 tulisannya sudah tembus ke mass media berulang kali. Aku yang segini tua, ditolak terus"

"Cerdas ya?"

"Lumayan lah, menurutku"

“Padahal Fakultas Kehutanan itu kan banyak praktek di lapangan kan, dibanding kita ilmu humaniora”

"Tapi masih bisa lho, kerja serabutan"

"Loh?"

"Iya, kadang kalau malam hari ikut kerja jadi operasional SPBU"

"Kalau siang kadang masih ikut jualan koran dan assessoris mobil di perempatan jalan"

"Pernah juga aku lihat dia kerja di warung makan"

"Loh? Memangnya orang tuanya kemana?"

"Ya itu dia Bro, kita nggak tahu juga latar belakang dia seperti apa"

"Lalu kuliahnya?"

"Ya kuliah,"

"Tapi ya itu, kalau di luar jam kuliah dia langsung nge post ke tempat-tempat itu"

"Oh.. pantesan" pikir Izack kebayang bagaimana bukunya didesak untuk bisa diterbitkan

"Anaknya yang seperti apa sih?"

"Ah… kalau kamu lihat, bakal tertarik bahaya”

“Haha… segitu rendahnya seleraku” ujarnya lagi

“Jangan salah, dia aslinya cantik kok”

“Tapi ya itu, anaknya nggak begitu peduli dengan lingkungan pertemanannya, jadi dianggap sombong”

"Dia anak AMI juga kok"

"Oh.."

"Tapi dia memang jarang sekali ikut kegiatan kita sih"

"Sesekali ajak ke kantor Cabang dong, aku butuh ngobrol sama anak itu"

"Wah, itu anak jadwalnya padat, Bro. Jarang banget di kost"

"Se padat apa sih..."

"Serius, aku yang jadi tetangganya aja jarang lihat dia duduk-duduk di depan seperti anak-anak lainnya"

"Ya wajar sih, kalau ikut kerja serabutan begitu"

"Sudah, gratis bon warung mak Inah sehari deh"

“Seminggu”

“Gila kau!”

“Aku datang ke kostanmu aja deh”

“Oh ya, sabtu besok kebetulan kan ada acara di kantor Cabang AMI. Jadi pastikan aja besok kamu datang”

"Gimana? seminggu kan?"

"Haduh, gila kau!"

"Kalau berhasil dua hari deh. Tapi kalau gagal tidak sama sekali"

"Yah…!"

"Mending aku minta tolong yang lain"

"Oke-oke!!"

Dialog di ujung smartphone itu mengalir begitu saja meninggalkan jejak tanya Ozin yang tetap tenang mengendalikan kendaraan di ruas jalan yang mulai lengang.

“Tolong carikan tiket kereta untuk ke Yogya besok pagi”

“Jam berapa Bang?”

“Sore aja”

“Oke” jawab Ozin melirik Izack penuh tanya

 


 

3. 

Perkenalan sekilas

 

Udara sore itu terasa begitu dingin meski terik matahari tetap terasa menyengat kulit. Akhir-akhir ini udara dingin memang begitu terasa menusuk hingga ke tulang yang menandakan pergantian musim segera tiba.

Seorang gadis yang sering mengenakan hem biru kotak-kotak itu berjalan santai di Kawasan pemukiman elit yang selalu tampak lengang dan asri dengan pepohonan rindang di tengah badan jalan. Sementara rumah dengan pagar tinggi-tinggi terasa tampak angkuh saat kita berjalan seorang diri melewati jalanan itu.

Sepi,

Entah apa yang gadis itu pikirkan, ia terlihat seperti sedang menghitung dengan jari-jarinya yang kurus dan kuat sembari menerawang ke angkasa seolah mengingat dan menghitung sesuatu di pikirannya. Lagi-lagi ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya menahan udara dingin yang menerpa dari sela-sela rimbun pepononan yang berjajar di sepanjang depan pagar rumah lantai dua.

Dari jarak lima meter dimana ia berdiri, tiba-tiba dikejutkan lelaki ganteng mirip artis asia yang keluar dari pintu pagar kayu dengan cat coklat klasik. 

"Hei?! Kapan datang, Bro?" sambut dua pemuda yang datang kemudian dari seberang jalan lari menghampirinya. Ya, mereka berdua adalah senior dari Cabang AMI. Entah siapa namanya, tapi ia tidak asing dengan wajah itu.

"Oh, anak orang kaya… mujur benar hidupmu" pikir Chika si gadis kurus pucat sambil melirik sekilas saat melintasi mereka bertiga yang kebetulan dua pasang mata itu saling bertatapan sejenak. Dan berlalu begitu saja mengikuti langkah kaki yang seakan tak bisa ia hentikan sedikitpun karena rupanya badan jalan mulai turun. Ia tak berpikir banyak tentang mereka bertiga, karena pikirannya tersedot pada kondisi keuangannya beberapa bulan ini yang ia pinjam dari Bank untuk menopang biaya hidup dan kuliahnya selama di Yogya.

“Sepertinya dari sekian cicit Presiden kedua kita, yang paling mirip wajahnya itu kamu deh"

"Iya nggak Bro?"

"Kalau dia mah artisnya AMI" tawa seseorang

Menyimak cletukan-cletukan itu, Chika jadi penasaran. Seperti apa sebenarnya cicit Presiden? Ia kembali menoleh memastikan siapa lelaki yang dimaksud. Tanpa disengaja keduanya saling menatap sejenak hingga  Chika pun kembali meneruskan langkahnya.

"Hei, Luchika" suara itu terdengar dari belakang membuat kakinya mendadak gemetar campur lemas terdengar namanya disebut. Ia kembali menoleh memastikan siapa diantara tiga lelaki itu yang memanggil dirinya, bahkan ia berharap lelaki tampan itulah yang memanggil. Tak terasa tangannya yang menggamit beberapa buku pun luluh dan…

“Brakkk!!!” buku-buku itu jatuh berserakan membuatnya malu bukan kepalang.

Saat ia memungut buku-bukunya, ada sepasang sepatu lelaki di depannya membuat jantungnya berdecak halus serasa ada yang melayang. Namun begitu ia mendongakkan wajahnya, ada Rendra yang tengah menertawakan dirinya.

"Ah… dasar sontoloyo" raut Chika jutek yang langsung berdiri dan menarik lengan Rendra berjalan cepat menghindari tiga orang lelaki tersebut.

"Kenapa jadi salah tingkah, eh?!"

"Bukan sama kamu, dodol…!" bisik Chika

Rendra ngikik menertawakan Chika yang salah tingkah. Ia paham, gadis itu salah tingkah pada tiga orang lelaki di belakangnya yang berjarak lima meter di mana mereka berdiri. Tapi rupanya mereka berjalan lebih cepat sambil asyik ngobrol seru tanpa pedulikan dirinya.

"Kenapa? Cakep ya?"

Chika cuma nyengir menarik nafas sekilas

"Di luar jangkauan itu mah.." katanya sambil membiarkan ketiga lelaki itu berjalan mendahului dirinya membuat Izack menoleh sekilas

“Kenal, kamu?”

“Enggak!”

“Cieee… ganteng tuh”

“Hahh! Sudah lah, jangan menghalu terlalu tinggi, nanti terkilir leher”

"Mana? Katanya mau pinjami aku laptop barumu?"

"Ini," Rendra mengeluarkan tas laptop dengan paper bag kecil

"Lalu tugas-tugasmu gimana?"

"Tenang aja, masih ada komputer kantor "

"Lha ini apa?" Chika baru sadar jika isi paper bag itu berupa kado kecil

"Buat kamu,"

Chika tersenyum mengernyit aneh 

"Tumben?? Nggak salah makan to kamu?"

"Nggak ingat? sama tanggal lahirmu sendiri?"

Kata-kata itu terdengar Izack saat mereka sampai di depan rumah senior AMI seorang dosen, tepatnya lagi seberang jalan Basecamp AMI. 

"Oiii… kapan datang?" Seru dosen muda dengan kaca mata nangkring di kepalanya yang tengah menyiram tanaman di depan rumahnya.

"Tadi malam, Bang”

Chika melirik aneh, mengapa lelaki itu memanggil dosen muda di kampusnya dengan panggilan Bang. Ia mulai menebak-nebak jika dia adalah senior AMI.

"Eeehh…?! Apa?"

Seperti baru sadar di sebelahnya Rendra baru berkata apa.

"Seumur-umur baru kali ini ada yang kasih kado di hari ulang tahunku"

"Serius?!!"

"Ya ampun Nak… kasihan amat" tangannya mengelus-elus kepala Chika yang spontan langsung ditangkis dan dipuntir membuat Rendra teriak kesakitan. Izack yang melihat itu hanya senyum-senyum.

"Ih!! Sebel banget aku kalau dikasihani"

"Berasa kere banget hidupku,"

"Lha memangnya kamu kaya?"

"Iya lah, kaya hati, kaya pikiran"

"Kaya wajah? Enggak?!"

"Ah… aku mah sadar diri, wajah pas-pasan. Cuman inner beauty ku aja yang memancar"

"Aisyyy…!! Dasar narsis" tawa Rendra ngakak 

 "Ya sudah, yok aku duluan!" Ujar Rendra berjalan cepat mendahului Chika yang berhenti di depan Basecamp.

Jarak dari Basecamp AMI ke Rumah Singgah tempat di mana Rendra kerja memang tidak begitu jauh. Makanya kadang mereka hanya janjian untuk sekedar pinjam uang ataupun barang seperti kamera, dan mereka ketemuan di jalanan menuju Basecamp. Jadi, teman-teman Basecamp mengira, bahwa Chika pacarnya Rendra.

"Oke, trimakasih ya!" Ujar Chika mengocok kado dengan tangannya.

"Doa buat ulang tahunmu, semoga ketemu pacar yang baik hati dan kaya" kata Rendra sembari melirik Izack yang saat itu berjalan di belakang Chika menuju pintu masuk

"Haha… dasar!!"

Begitu Chika berdiri di depan pintu Basecamp, beberapa orang tampak melongo memberi kode pada Chika supaya minggir. Tapi gadis polos itu bingung, ia berusaha menghindar dengan membuka pintu dan...

"Byurr…!!" dua ember air jatuh dari atas pintu membuat Chika seperti ayam kedinginan yang spontan membuatnya menarik nafas kesal.

"Ihhh… kenapa mesti kamu sih?!" seru teman-temannya antara kasihan dan geli. Sementara Izack yang berdiri di belakangnya hanya terkena cipratan air tertawa cekakaan menertawakan para juniornya salah sasaran.

"Kelewat kan?!"

Spontan dua orang senior membawa tepung dan dilempar tepat mengenai punggung dan kepalanya lelaki tampan itu.

"Enggak tuh?"

Bugghhh!!

"Ahh! Sialan!!" 

Izack spontan memungut bungkusan tepung dan melemparkan pada para juniornya yang mendadak jadi riuh gaduh.

Chika sadar, ada laptop dalam tasnya, cepat-cepat ia menghindari kegaduhan itu masuk ke dalam salah satu ruangan dan segera membuka tas laptop memastikan tidak terkena air.

"Hahhhh... Syukurlah!!" serunya tak peduli dengan bajunya yang telah basah kuyup

Entah bagaimana kacaunya di luar, suasana benar-benar gaduh.

Saat itu Izack masuk, melihat baju gadis itu basah kuyup tak peduli namun justru mempedulikan laptopnya, Izack merasa bersalah.

"Tidak apa-apa kan laptopmu?"

"Oh??"

"Tidak apa-apa Bang, syukur"

"Bukumu basah semua?"

"Hm, iya"

"Tapi nggak apa-apa, nanti aku jemur kering sendiri. Semoga saja nggak dimarahi petugas perpustakaan"

"Oh, itu buku milik Perpus?"

"Iya"

"Lalu bajumu?"

Chika menghela nafas sedikit kesal dengan diamnya yang menandakan dia sedang tidak baik-baik saja, sementara tangannya sibuk membersihkan cipratan air dan membawa keluar buku-buku ke teras menjemurnya di sana. Izack yang merasa bersalah mengikutinya dari belakang dan memperhatikan ia berjemur mengeringkan diri dengan berjemur.

"Bawa baju ganti nggak?" tanya Izack lagi yang hanya dijawab dengan menggelengkan kepala. Merasa dirinya diperhatikan lelaki itu, ia merasa risih dan mengibas-kibaskan bukunya agar segera kering.

"Terus?"

"Ya sudah?!!"

"Nggak sakit nanti kamu?"

"Nggak apa, Bang. Sudah kebal saya mah,"

"Mau aku pinjami baju kakakku?" tanyanya iba

"Iya Chik, masak kamu mau pulang seperti itu nanti, rumahnya kak Izack dekat kok" jawab salah satu teman laki-laki.

“Iya, mau?”

“Iya Bang, kasihan lho..”

“Salah kalian juga kan?” kata Izack yang membuat mereka saling tuding dan menyalahkan.

Ada decak kagum dan terharu dirinya pada lelaki yang tadi sempat membuatnya grogi ternyata baik hati, pikir Chika melihat kepergian lelaki itu dengan sepeda motor yang dipinjam dari teman lelaki dengan sesekali merasakan tubuhnya menggigil kedinginan saat angin bertiup menerpa dirinya.    

"Eh, ulang tahunmu kan hari ini juga toh?" Cletuk teman-teman Basecamp

Chika cuma nyengir, ia khawatir ditodong diminta traktiran makan-makan yang sudah menjadi kebiasaan teman-teman Basecamp.

"Kata siapa?"

"Tadi bukannya cowokmu kasih kado ulang tahun ya?"

"Beneran berarti, ulang tahun?"

"Enggak…"

Salah satu ngluyur mencari berkas daftar profil keanggotaan.

"Matilah aku?!!" Pikir Chika

"Haha… iya!" tunjuk seseorang pada selembar kertas

"Sipp ada dua orang yang ulang tahun berarti?" kata seseorang yang spontan disambut riuh suara ruangan yang bersorak kegirangan bakal ada acara makan-makan besar membuat Chika melenguh.

“Haduh…”

Saat itulah Izack datang dengan membawa tas kertas

“Ini, pakai aja punya kakakku”

“Loh?”

“Sudah nggak dipakai kok, santai aja” kata lelaki ganteng itu menyodorkan tas kertas yang spontan membuat teman-temannya riuh sorak

“Yuhuuuu…”

"Terimakasih Kak, nanti kalau ada waktu aku titipkan di Basecamp saja ya"

"Oh, nggak usah pakai aja"

“Sorry ya,” ujar Izack lagi dengan segaris senyuman lebar 

“Huuu….” Lagi-lagi suasana gaduh membuat Izack bingung

“Apalagi..."

“Kalau merasa bersalah, harusnya kalian yang tanggung jawab"

“Kalian tanggal lahirnya sama Kak" seseorang menunjukkan daftar profilnya pada Izack yang membuatnya kaget saat matanya melihat nama Luchika Aria 

"Serius?!" pikir Izack yang langsung mendekati Hendrik berdiri di ambang pintu

"Itu anaknya, Bro?" suaranya setengah membisik

"Hm, iya?!” jawab Hendrik mantap

"Oh...!" Izack manggut-manggut “Semesta selalu tepat memberiku jawaban” pikir Izack tersenyum tipis teringat pertanyaan ibunya tentang calon pasangan untuk dirinya 

"Double dong, makan-makannya" cletuk mereka

"Ayookk... lah!" jawab Izack dengan mata masih terus mengamati gadis berhidung kecil

"Lah? Kita jadi diskusi nggak?" cletuk seseorang membuat lamunan Izack buyar

"Diskusi di rumah makan aja sekalian" Hendrik senyum-senyum pada Izack “Jadi kan??”

“Jadi lah”

Raut Chika spontan mulai panik, diam-diam ia masuk kamar mandi dan sengaja berlama-lama menunggu kepergian mereka ke rumah makan, tapi tak berapa lama Hendrik gedor-gedor pintu tersebut.

"Ayo Chika! gantian, aku mau BAB" desak Hendrik yang membuat Izack senyum-senyum “Licik!”

“Tahu kan, dia itu gimana” suara Hendrik penuh isyarat

Entah berapa menit berlalu, Chika muncul dengan memakai baju tersebut membuatnya canggung saat Izack muncul di hadapannya.

"Tumben kamu baru muncul?" kata Leo yang baru datang

"Hehe… iya Kak, mau ketemu Bang Awan"

"Oh? Lho? Tadi nggak ketemu apa?" tanya Hendrik pura-pura 

"Belum,"

"Sudah pergi tadi" kata Izack yang muncul kemudian seakan sudah kompak dengan Hendrik

"Bukannya dari tadi di sini aku nggak lihat Bang Awan ya?"

Hendrik langsung memberi kode pada anak itu hingga senyum-senyum dan pergi meninggalkan jejak tanya lirikan Chika. Tapi sebagai gadis yang lugu, ia tak paham apa yang mereka maksud. Dan sebenarnya ia risih saat Izack melihat dirinya memakai baju setelan blouse milik kakaknya

"Agak kebesaran ya?" senyum Izack di sebelahnya

Tak berapa lama Izack bericara lirih pada Leo yang duduk di sebelahnya, hingga lelaki berbadan kurus itu berseru.

“Pengumuman!” seru Leo

“Hari ini kita akan diskusi sambil makan-makan di Resto selatan Kampus III”

“Bagi yang mau ikut, langsung saja menuju ke sana”

Meskipun sebenarnya tergiur mendengar kata makan-makan, tapi teringat jadwal terakhir kursusan dua anak smp menjelang ujian, rasanya ia merasa sangat bersalah jika tidak hadir malam sore ini. Apalagi angkutan umum di Kawasan itu agak sulit.

Izack yang hanya mengawasi gerak-geriknya mengikuti gadis itu keluar hingga Hendrik yang sudah nangkring di atas motor pun menyadari sorot mata Izack yang tertuju pada siapa, perlahan ia menggerakkan motornya tepat di depan lelaki itu.

“1 bulan” tawa Hendrik meledek Izack yang langsung ditanggapi dengan dagunya ke arah Chika yang tengah berjalan.

Beberapa motor telah siap meluncur kecuali Hendrik dan Izack yang masih bingung mencari tumpangan untuk gadis itu yang keluar lebih dulu. Saat itu ia mendapati Heni keluar dari ruangan yang langsung dicegat Hendrik untuk memberinya tumpangan pada Chika yang tidak ada teman. Awalnya Heni agak berat melihat teman kostnya yang sering hutang pada dirinya itu, tapi dengan berat hati akhirnya ia setuju dan segera menyusul Chika yang berjalan cepat.

“Hei Chik, bukannya kamu yang ulang tahun ya?”

Izack dan Hendrik yang memperhatikannya dari jauh agak alot segera meluncur mendekati keduanya.

“Tenang saja, soal makan-makan dia yang bayar” jawab Hendrik pada Izack yang duduk di belakangnya

“Aduh Bang, mohon maaf… ini soal pendidikan anak bangsa, bukan sekedar nilai rupiah” mendengar itu Heni langsung melengos mengingat dirinya masih banyak hutang ke cewek itu.

 

"Refreshing mentor juga investasi kecerdasan anak bangsa lho"

Chika mencibir,

Saat itu Hendrik berhenti di belakang mereka. Melirik senior-seniornya yang sudah berduyun-duyun dengan motornya keluar dari area parkir, Chika yang merasa tersudut terpaksa langsung naik ke motor Heni saat Heni memberinya helm.

Ia pikir begitu sampai depan Resto, secepat itu akan nylonong pergi. Tapi begitu tiba di depan Resto, secara kebetulan mereka berhenti bersama, meski sebenarnya Hendrik mendahului mereka, tepat di samping motor Heni.

Sikap Heni yang agak tomboy, nylonong masuk begitu motor ia parkir di area parkiran. Tak peduli ia meninggalkan mereka bertiga lebih dulu yang disusul Hendrik dan Izack yang berjalan beriring-iringan bersama datangnya kawan-kawan AMI lainnya. Diam-diam Chika menyusup keluar diantara sekian banyaknya teman-teman AMI yang mulai memadati ruang parkir Resto.

“Loh, mau kemana?” kata Izack yang ditujukan pada Chika 

“Hm?!” Chika nyengir nggak enak merasa tertangkap basah

“Nggak ikut masuk?”

“Ada acara, Bang”

“Oh,”

“Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan denganmu sebentar” langkahnya terhenti 

"Soal apa, Bang?!" Chika mulai deg-degan terkait tulisannya akhir-akhir ini soal AMI

"Soal tulisanmu"

"Tulisan yang mana?" tanyanya antara bingung dan cemas terkait tulisannya yang seringnya berupa kritikan pedas pada organisasi poiltik mahasiswa.

“Acara apa tho?”   

“Privat anak smp” jawabnya cepat

“Mata pelajaran?”

“Biologi sama Matematika”

“Oh, Nggak bisa diganti jadwal, apa?"

"Bisa sih, tapi... aku nggak bisa kontak ke mereka"

"Kenapa? Anaknya dosenmu itu kan?” kata Hendrik yang datang belakangan

“Hm, iya Bang”

“Ayolah masuk dulu”

“Tapi Bang,”

“Ayooo…” ucap Hendrik sembari menggiring Chika masuk.

“Selamat ulang tahun…!!!” seru mereka serempak saat ketiganya datang.

Spontan Chika menyingkir dari samping Izack dan masuk barisan teman-temannya. Lagi-lagi ia sadar, hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-18. Tapi itu hanya sebuah peringatan untuk dirinya, dan semoga mereka tidak ada yang mengingatnya lagi. Karena kalau ingat, Mampus... bakal membayar tagihan bon makanan mereka. 

“Mana nomornya”

“Ha?!” tanyanya bingung, pikiran Chika masih tersedot pada bon yang bakal ia keluarkan

“Ini,” jawab Chika mengeluarkan ponsel jadul dari dalam sakunya.

“Lha itu kamu punya Hape”

“Hehe, iya Bang… jadul, dan pulsaku juga cepat habis”

"Kenapa nggak beli Smartphone nya aja? Begitu kan pulsa lebih boros"

“Hehe… iya, nanti kalau ada rejeki”

Saat itu Izack menelphon seseorang, itu adalah murid Chika. Saat terdengar suara anak gadis di ujung ponselnya, ia memberikannya pada Chika dan membiarkan obrolan mengalir begitu saja membuat kesepakatan di lain hari. Sesekali Izack ngobrol dengan Rendra di depannya hingga muncul gadis cantik dengan rambut tererai lurus sebahu membawa sebuah kado dengan pita merah.

“Selamat ulang tahun, Bang…” ucap gadis itu setengah menundukkan malu dan segera pergi dari sana

“Glukkk!!” Chika kaget melihat gadis itu, ia mengira gadis itu adalah pacar gelap Izack. Begitu selesai telphon, cepat-cepat ia mengembalikan ponsel Izack.

Semua terkejut menatap kepergian gadis yang tak ada satupun mengenalinya, kecuali Izack. Dan waktu serasa mendadak terhenti memandang kepergiannya.

“Bravo!” sorak mereka heboh

Dua orang lelaki tersenyum menepuk-nepuk pundak Izack.

“Gila itu cewek, punya nyali” cletuk seseorang

“Siapa dia, Bro?”

Izack hanya mengembangkan senyumnya sekilas membolak-balikkan kado tersebut. Di saat itulah, pandangannya tertuju pada gadis dengan mata kecil dan bibir kecil ranum yang sudah mulai sibuk mencari buku dalam tas dan mulai asyik membacanya. Ia tak peduli dengan kegaduhan teman-temannya yang ngobrol kesana kemari, bahkan suara mereka tertawa kadang sangat keras. Sesekali ia membuat catatan kecil di atas blocknotenya.

Melihat pemandangan yang begitu tenang dan damai, Izack mulai merasakan ada sesuatu dalam perasaannya. Ia berniat memberikan kado itu pada gadis tersebut.

“Ini, untukmu” katanya membuat Chika kaget

“Apa?”

“Hm,” lelaki itu menyodorkan bingkisan kado tersebut

“Bukannya itu tadi dari cewekmu ya Bang?”

Izack hanya tersenyum sekilas

“Aku paling malas dapat beginian dari cewek, apalagi nggak kenal orangnya”

Spontan Chika diam terpaku menatap Izack lama

“Bang, aku tahu kamu ini orang kaya, orang terpandang juga”

“Tapi apa tidak bisa menghargai perasaan cewek sedikitpun?”

Leo yang mendengar ucapan itu spontan langsung tersedot pandangannya pada mereka berdua yang tampak bersitegang dan perlahan diikuti beberapa orang lainnya membuat Izack cengar-cengir merasa malu. Tapi sebagai seorang ksatria ia paling pintar mengalihkan perhatian mereka.

“Oh ya, bukankah tadi mau ada diskusi. Sok… silahkan diteruskan” 

“Iya Bang, ini kita lagi ngobrol itu”

“Oh, baguslah… teruskan aja” kata Izack yang kembali menolehkan pandangannya pada gadis di sebelahnya yang kembali menekuri buku bacaannya. Terbetik ide waktu seseorang asyik bermain game di seberang mejanya.

“Dika, ambil fotoku sama jurnalis di sebelahku dong?!” lirik Izack pada gadis di sebelahnya yang kembali tenang membaca buku

“Dia?” isyaratnya

“Hm!”

“Chika!” panggil Dika setelah memastikan kameranya siap mengambil beberapa foto bersama Izack yang duduk di sebelahnya membuat gadis itu mengernyit lama pada Izack yang tengah nyengir. Saat itulah beberapa adik juniornya menyerbu dirinya untuk minta foto bareng-bareng membuat Chika terdesak dan minggir agak jauh dari mereka.

Saat pramusaji datang membawa hidangan penuh di nampan-nampannya, mereka langsung bubar kembali ke tempat duduknya. Saat itulah Chika kembali duduk bersandar pada pagar bamboo besar gazebo.

Chika meringis aneh memperbaiki posisi duduknya sembari membuka buku “Dasar! Mahasiswa hedonis, begini bilangnya mau memperjuangkan rakyat. Nasib rakyat, apa nasib perut kalian, huh?!”

Izack tersenyum melirik Chika ngedumel.

“Jangan suka menggerutu, mending sampaikan saja di depan” katanya lirih

Chika kaget jika suaranya yang ia anggap lirih di antara riuh suara teman-temannya ternyata terdengar oleh seniornya.

"Ya memang benar, kan Bang?"

"Coba kamu pikir, apa namanya?”

“Di saat semua harga sembako naik 100 persen, kalian masih bisa buang-buang tepung dan telur yang mungkin sedang diperjuangkan orang tua kalian di rumah"

"Apa namanya jika bukan Mahasiswa Hedonis dan Oportunis?"

"Ck!" Chika berkecap lebih berani. Ia bahkan tak peduli dengan siapa ia berbicara sekarang.

"Kalau kalian memang benar peduli dengan kondisi rakyat sekarang, harusnya perilaku kalian tidak norak seperti tadi" suara Chika menekan

"Apa nggak tahu detik ini, di luar sana rakyat mengantri berpanas-panasan demi bantuan sosial untuk sepiring nasi”

“Berapa ribu karyawan di PHK karena ekonomi anjlok”

"Bisa-bisanya kalian di sini membuang-buang bahan makanan yang mungkin sedang diperjuangkan orang tua kalian di rumah" suaranya mulai menekan tinggi hingga menyedot perhatian semua yang hadir

Chika kaget ketika tahu senior di sebelahnya itu hanya senyum manggut-manggut dan bertepuk tangan menganggapnya sedang mengejek hingga ia meriut tidak suka pada Izack.

“Good! Aku suka ada anggotaku yang kritis dan jeli melihat keadaan”

“Kalian dengar kan, apa yang baru saja dia katakan?”

“Harusnya begitulah anak-anak AMI berpikir”

“Sebagai pimpinan mereka, aku minta maafkan mereka ya, begitulah kakak-kakak seniormu itu” ujar Izack senyum-senyum mengejek dua orang yang sudah melempar tepung pada dirinya hingga semua terdiam membisu.

“Sesekali kan ya nggak apa to, Chika”

Tidak berapa lama seorang pelayan kembali datang membawakan dua kue Tart dengan lilin kecil angka 18 dan lilin besar angka 24. Melihat itu, seorang gadis berbisik pada lelaki di sebelahnya. Hingga bisikan itu membuat beberapa teman merasa aneh.

“Buat siapa ini?”

“Jurnalis kita” jawab Izack spontan membuat kawan-kawannya terbungkam

"Bersyukur kalian punya corong suara ke mass media, jadi bersikap dan berkatalah yang baik, itu akan menjadi cerminan kalian di mass media" ujar Izack tersenyum lebar sekilas melirik Chika yang masih bingung mengapa teman-temannya menatap dirinya. Lagi-lagi gadis itu mengambil posisi sedikit geser menjauh. 

Dengan wajah polosnya, Chika juga tidak paham apakah yang dikatakan Izack itu ditujukan pada dirinya. Hingga ia sadar saat mereka menyanyi dan semua mata tertuju kepadanya dan mereka meminta tiup lilin. 

Chika mendelik kaget, Izack hanya tersenyum melirik gadis itu sekilas yang masih tampak bingung.

“Gila kamu, apa maksudnya ini, Bro?!” bisik Hendrik yang hanya disenyumi Izack

"Ayo tiup" lirih Izack memberi kode Chika

"Kenapa aku?" telunjuknya menuding mata bingung

"Itu buat kamu, Chika"

"Gimana sih?!!" wajah Heni tidak enak

"Hm?!"

Gadis itu celingukan bingung campur grogi saat semua mata tertuju pada dirinya. Lagi-lagi Izack mengedipkan mata untuk meniup lilin.

"Hm, ayo" bisiknya lirih

Dengan sorot mata bingung dan ragu, ia meniup lilin begitu saja yang seketika mendapat tepuk tangan dari Izack yang diikuti teman-temannya membuat Chika nyengir bingung.

“Selamat Ulang Tahun Chika…” Cletuk Leo, sang senior AMI dari cabang yang sering memberi dukungan pada Chika dalam penulisan artikel-artikelnya dan mengarahkan media mana saja yang harus ia tembus.

Chika yang awalnya bersungut-sungut, kini merasa tidak enak dan berubah wajah datar hingga matanya mulai berkaca-kaca.

"Seumur-umur baru kali ini, di hari lahirku ada ucapan selamat ulang tahun dari banyak orang" pikirnya menahan air mata agar tidak tumpah  

Tak lama kemudian Leo memberi kode pada seorang pegawai hingga terdengar alunan musik, yang ia tahu itu adalah musik Mars AMI. Spontan saja semua berdiri.

 

Negeri kepulauan terbesar di jagad bumi ini

Kunci peradaban tertinggi ada di sini

Mengapa hari ini kita hanya seonggok daging tanpa tulang

Membeo dikala burung nazar bernyanyi 

 

Akankah kita bangkitkan kembali nenek moyang Negeri Atlantis di laut kita

Atau prabu Jaya Katwang untuk memutus telinga oligarki

Atau membangkitkan jiwa Sukarno dalam tidurnya 

Demi menemani perjalananmu wahai anak muda 

 

Kita adalah bangsa besar yang dikerdilkan

Siapa ijinkan itu, nyawa anak cucu sebagai taruhan

Kita bangkit hari ini

Atau jadi budak di negeri sendiri

 

"Oh keren…" riuh ramai suara mereka 

Saat diskusi dimulai, diam-diam Chika menyingkir mencari tempat yang sepi sembari menikmati es teh di depannya dengan niatan membaca buku. Ia pindah tempat ke lantai dua Resto dengan atap terbuka menikmati kabut yang datang berduyun-duyun menyelimutkan udara dingin membuatnya menggigil di balik setelan blouse tipis. Saat itu ia melepas karet kucirnya hingga rambutnya tergerai sebahu membuat Izack yang baru keluar dari lorong tangga terpesona melihat pemandangan itu sekilas.

Chika kaget melihat kedatangan lelaki beralis lebar berhidung mancung itu berdiri di seberang belakang meja di mana ia duduk menghadap ke alam terbuka.

"Kenapa nggak ikut diskusi?"

“Males, kalau diskusi sekedar diskusi tapi tidak ada kesadaran diri mereka harus berbuat apa, untuk apa Bang? Tiwasan habiskan waktu percuma” jawabnya menekan buku untuk siap dibaca.

“Mending baca buku toh? lebih faedah” jawabnya sesekali melirik Izack yang berdiri di sebelahnya melepas pandangannya pada bentangan pegunungan bak tertutup karpet hijau sejauh mata memandang.

“Oh ya, aku sudah baca tulisanmu hari ini di Koran Kampus”

“Oh,” Chika kaget

"Hehe..." senyumnya nyengir seakan menampakkan Chika seperti kaget mendadak nafasnya seperti tercekat hingga menyisakan degup jantungnya yang terputus-putus. Ia merasa sebentar lagi akan ada interogasi tajam dari ketua AMI cabang yogya.  

“Maaf, aku tidak bermaksud…”

Ia hanya tersenyum paham akan sindiran untuk organisasi politik yang tengah ia pimpin

“Semester berapa sekarang?”

“Dua, Bang”

“Oh, Aku kira sudah semester enam”

“Tulisanmu cukup kritis”

“Waktu SMA dulu pernah ikut Jurnalis sekolah?” tanya Izack lagi

“Hm, iya”

“Waktu SMA dulu sering menulis apa?”

“Ah… apa sih? Cuman kolom komentar aja kok”

“Oh… keren. Sip-sip!!”

“Bang Leo dulu yang pertama mengarahkan tulisanku, Bang”

“Oh… loh? Ketemu Leo dimana? Leo anak Cabang, kan ya?”

“Hm, iya Bang”

“Waktu Gladi Kepemimpinan begitu, dulu disuruh menulis, katanya tulisanku bagus. Lalu disarankan masuk ke surat kabar online” jelas Chika membuat Izack mendekat

“Ngomong-ngomong rumahmu mana?”

“Asliku Wonogiri, Bang”

“Tapi aku ikut paman di Mojokerto”

“Oh..”

“Bapak Ibu masih?”

Gluk!! Detik itu juga gadis itu terdiam menatap lekat-lekat meja yang terbuat dari plat besi yang menyatu dengan tiang besi sebagai penyangga area terbuka Resto. 

“Ehmm… sudah meninggal” nada suaranya pelan seakan tercekat tampak ada sesuatu yang disembunyikan dari sinar matanya yang terbaca Izack.

“Oh, maaf” jawab Izack membaca gelagat tidak enak bicara soal orang tuanya.

“Fakultas apa?”

“Kehutanan, Bang”

“Kenapa tidak memilih Hubungan Internasional saja, atau Ilmu Sosiologi”

“Atau Hukum”

Chika nyengir “Aku lebih suka dunia alam yang damai dan menenangkan ketimbang dunia manusia, Bang” ujarnya membuat Izack tersenyum geli

“Tapi kenapa artikel yang kamu tulis sering berbicara soal sosial dan politik”

Chika hanya tersenyum sekilas meneguk es teh tersebut seakan menyiratkan rahasia yang ia benamkan dalam-dalam.

“Aku hanya ingin marah sama mereka”

“Loh??! Kenapa?!” tanyanya sembari menyeret kursi itu dan duduk di sebelahnya

“Hehe… banyak”

“Keren dong, marah saja bisa jadi tulisan”

“Daripada teriak-teriak di jalanan, tiwasan capek nyawa kita juga bisa jadi taruhan”

“Mending ditulis saja”

Izack hanya tersenyum lebar teringat nama samaran yang ia ketahui dari Hendik di setiap tulisannya.

“Hwkwk… bener kamu”

“Menguntungkan juga ya,”

“Itu yang pertama, Bang” jawab Chika terkekeh

“Yang kedua apa nih?” tanya Izack lagi menekuk kedua sikunya ke meja dengan sedikit menyerong menghadap Chika yang sedikit risih. 

Sebenarnya ada lelaki ganteng duduk di sebelahnya ini membuatnya salah tingkah, apalagi posisi duduk Izack sedikit ndoyong ke arahnya membuat kakinya yang bertumpu pada pijakan kursi di bawahnya meleset berulangkali saat hendak memperbaiki posisi duduknya.

Tapi Chika yang terkenal sebagai gadis kulkas 5 pintu, pandai sekali menyembunyikan ekpresi malunya berubah cuek sekalipun dalam batinnya ingin tertawa ngakak.

Sekalipun ia berkhayal andaikan jadi pacarnya, hingga lagi-lagi ada raut senyum di wajahnya yang tergambar samar. Tapi bagaimanapun ia menepis perasaan konyol itu. 

"Nama panjangmu benar Luchika Aria kah?"

"Hm, iya"

"Pernah masukkan naskah buku ke tempatnya Bang Awan?"

"Hm, iya" jawabnya reflek melotot kaget “Kok tahu, Bang?” cletuknya spontan menutup mulut merasa keceplosan dengan ucapanya sendiri membuat lelaki bermata bulat ber alis tebal itu lagi-lagi tersenyum geli.

"Boleh tahu, itu sumbermu darimana? Karena sepertinya itu bukan karya tulis biasa ya?"

"Itu... Kakek dan teman-temannya yang menulis, Bang. Aku cuma memperbaiki ejaannya saja menjadi ejaan baru"

"Oh... pantes!"

"Emmm..." Izack diam berpikir

"Boleh tahu, kakekmu sekarang dimana?"

Perlahan namun pasti, raut wajahnya perlahan ditarik dari tatapan mata Izack, dan kini ia menekuri meja di depannya membuat Chika menarik nafas berdebar-debar seakan menghadapi eksekusi. Apalagi saat seseorang datang membawakan map.

“Oh.. ternyata dia datang untuk ini” perasaannya yang melayang tinggi spontan seperti meluncur dari ketinggian Gedung ratusan meter membuatnya tampak menarik nafas perlahan menahan degup jantungnya berdebar-debar campur dingin berbalut rasa cemas dan takut.

“Ini, Bang” kata seseorang menyerahkan sebandel map coklat

“Okey, sip. Terimakasih Ozin”

"Begini saja deh," Izack mulai mengeluarkan sebandel naskah dengan ketikan manual itu dari amplop coklat

"Ini aku ingin kamu tulis lagi deh yang rapi, naskahnya"

"Nanti kalau sudah diketik rapi, kamu kirim soft copy sama hard copy nya ke aku" jelasnya sembari meletakkan kartu nama

"Kalau itu bukan Awan yang kirim, mungkin naskah dengan hard copy semacam itu sudah kami tolak di meja pertama"

"Maaf Bang" jawabnya menahan perasaannya yang mendadak mencelos

Suara lembut terdengar keras dalam pikirannya seakan tengah mengutuk dirinya yang terlalu percaya diri mendapat kue tart dari lelaki berkelas “Jangan terlalu halu deh kamu… mana ada lelaki berkelas sekelas dia tertarik sama kamu yang dekil dan kere begitu”

"Hm, nggak apa-apa"

Saat itu ia menarik nafas panjang seakan tengah menuntaskan perasannya yang pecah berantakan. Seperti tengah menghandel perasannya yang terluka, ia langsung banting stir mengingatkan dirinya, ujuan datang ke Basecamp demi naskah buku milik kakeknya tersebut. Namun ketika urusannya selesai, artinya selesai sudah urusannya.

“Tak perlu ada yang disesalkan” pikirnya

“Hmm… Maaf Bang, tadi habisnya berapa?”

Izack mengernyit bingung

“Habis apanya?”

“Traktiran makan-makannya” suaranya pelan denan sisa nyalinya yang ciut meski sadar ia tak punya uang sebanyak itu. Tapi dengan begitu, setidaknya harga dirinya tertolong, tak masalah sekalipun hutang.

“Oh..” Izack tersenyum lebar “Kenapa?”

“Aku harus bayar berapa ini?”

“Nggak usah, itu memang niatku sendiri kok”

“Beneran nih?!” senyumnya mengembang tampak cerah

“Serius?!!!”

“Iya”

Raut wajah Chika yang tampak berat tertekan, spontan langsung cerah bercahaya di bawah temaramnya neon yang menyala terang seketika seperti menyambut rasa bahagianya yang tak terkira.

“Terimakasih banyak, Bang” Chika menunduk hormat merasa senang luar biasa

“Ah… rupanya karena itu kamu tampak ketakutan?” pikir Izack mengembangkan senyumnya lebar

“Kalau begitu aku pamit dulu, Bang” katanya bergegas kembali menggendong tas ranselnya

"Loh, loh??! mau kemana?"

“Bagi orang seperti kami, waktu adalah uang, Bang…”

“Karena kalau tidak, bakal ada dua taruhan, 1. Putus kuliah karena nggak mampu bayar,  atau 2. Mati kurus karena kelaparan” tawanya lebar

“Tapi,” Izack merasa kaget dengan tingkahnya yang tergesa-gesa hendak pergi

"Oh iya, terimakasih kue dan traktirannya Bang. Baru kali ini aku dapat kue tart di hari ulang tahunku" tuturnya dalam dan pergi begitu saja meninggalkan banyak tanya Izack

“Jangan lupa, aku tunggu tulisanmu lagi”

“Hmmm… aku nggak janji, Bang” 

Chika nyengir pergi begitu saja saat beberapa orang seniornya mulai berdatangan menaiki tangga lantai dua Resto.

"Loh, mau kemana itu anak?"

"Kemana Chika?"

"Pulang, Bang... keburu habis mini Bus"

"Loh, bukannya tadi kamu sama Heni?"

“Ada keperluan lain, Bang” seru Chika sigap menuruni tangga dan hilang di balik itu hingga muncul lagi tampak dari atas gadis itu lari gesit menuruni jalanan berliku.

“Jalan saja Chik, nggak usah lari. Jalanan licin!” seru Leo dari lantai atas melongok kebawah

“Hehe… iya Bang” senyumnya mengembang membuat Izack membalas senyumannya sembari mengacungkan jempol 

Sepanjang perjalanan dalam Bus, gadis itu duduk seorang diri di sudut paling belakang sembari mendekap ranselnya menangis sesenggukan.    

"Kenapa naskah yang aku gadang-gadang keluar duitnya, justru ditolak" 

Hari itu adalah hari pertama dan terakhir ia bertemu dengan Izack yang selama ini menjadi idola teman-teman AMI. Namun bagi Chika, ia adalah luka. Luka yang sangat menyakitkan, meskipun secara logika itu bukanlah kesalahan lelaki tersebut. Tapi entah mengapa, dengan ditolaknya naskah buku garapan kakek dan ayahnya itu seperti sedang diinjak hatinya terlalu dalam. 

Sementara di sudut lain, di bawah romantisnya lampu neon keemasan beberapa orang senyum-senyum menepuk pundak Izack membuatnya salah tingkah.

“Ouhhh…! Yang lagi pendekatan” seru mereka senyum-senyum

Izack hanya senyum sekilas menerima kekalahan dirinya ditinggalkan begitu saja seorang gadis.

“Baru kali ini lihat pak Ketua kita ditinggalkan cewek, biasanya dia sendiri yang menghindari cewek” tawa mereka meledek

“Gimana diskusinya?” tanyanya mengalihkan

“Maka dari itu kita kemari suruh kau turun” katanya

“Aku kemari karena ada keperluan sama anak itu Zin” katanya ramai-ramai menuruni tangga dan kembali diskusi

“Ya.. ya ya!! Terserah apa kata mulutmu lah, tapi sorot matamu tidak bisa kamu bohongi” ujar Leo menepuk-nepuk Pundak Leo


 

 

4

Dua tahun kemudian

 

Jumat siang menjelang sore Chika duduk di sebelah kedai rokok mengibas-kibaskan tangannya menahan terik panas yang kian menyengat.

Sembari menunggu lampu merah untuk menjajakan sisa Koran pada pengguna jalan, ia membaca sekilas judul halaman depan Koran; BMKG menyatakan musim kemarau akan segera berakhir di akhir bulan ini.

Wajahnya kembali menengadah ke angkasa yang cerah, hingga segaris senyum pun muncul dari bibirnya yang tipis.

"Semoga hasil panen kali ini benar-benar bagus, Pak Lik..." lirihnya menerawang jauh.

Ia sadar rasa haus terasa mencekik tenggorokannya, namun begitu pandangannya turun dan menoleh sekilas menangkap segelas jus di atas meja bundar depan Café sudut jalan, milik seorang lelaki yang tengah santai ngobrol dengan seseorang di sudut ponsel tipisnya, membuat rasa haus makin terasa mencekik.

“Segar benar,” ujarnya menelan saliva kering

Ia sadar jus itu terangkat tangan seorang lelaki di depannya.

“Oh, orang kaya... betapa nikmatnya hidup kalian dari hasil jerih payah kerja keras orang-orang seperti kami”

"Jeruk itu dipanen dari para buruh tani yang belum tentu tamat SD, gelas cantik itu dibuat dari buruh pabrik-pabrik yang panas, dan kursi-kursi licin itu dibuat dari para pengrajin desa yang mungkin cerdas tapi nasibnya kurang beruntung" pikirnya sembari menarik nafas

Begitu sadar, lelaki si pemilik jus berwajah indo-cina itu memperhatikan dirinya, spontan Chika mengalihkan pandangannya cuek tak menghiraukan lelaki tak dikenalinya itu sembari menyeka keringat yang kini benar-benar menetes dari balik kaosnya yang sedikit agak lengket.  

Matanya kembali tertuju pada seorang pemulung yang tengah mangais sampah di atas tumpukan sampah pojok café tersebut.

“Andaikan tiap orang punya kesadaran memilah sampah, alangkah ringannya pekerjaan bapak itu” pikirnya. Lalu imajinasinya mengembara pada impiannya penanaman pohon mengurangi karbon.

“Wuihhh… bagus, iya juga ya?” pikirnya lagi membayangkan bahwa di atas tanah sanitary landfill bisa dijadikan lahan penghijauan tanaman tahunan. Ia membayangkan dengan kekuatan akar pohon tahunan itulah, sampah organik akan hancur lebih cepat.

“Tapi bagaimana dengan gas metan yang dihasilkan gunungan sampah itu? Apa kira-kira pohon tidak akan mati?”

Lalu ia membayangkan andaikan pemerintah membuat cekungan tanah sekian ratus meter untuk pembuangan sampah akhir. Lalu meratakan gunungan sampah dan menimbunnya dengan tanah hasil galian itu untuk menutup gunungan sampah dengan tanah yang kemudian dijadikan lahan hijau.

“Tapi harusnya kan, memang seperti itu to?” pikirnya lagi seakan menerawang langit yang mendadak mendung

“Jadi dengan hanya menggunakan sekian ratus hektar saja sebagai lokalisasi tempat pembuangan sampah akhir, pemerintah tidak perlu mencari lahan lain”

“Cukup dibutuhkan sekian hektar dalam satu Kawasan untuk beberapa daerah”

“Bisa juga sih, kalau kerjasama dengan pihak PLTS”

“Wah, bagus itu jadi artikel baru!” senyumnya mengembang

Tiba-tiba terdengar teriakan pedagang buah di sebelah Café memecah hiruk pikuk perempatan jalan.

“Maliii… ng!!!”

Chika yang baru saja mendarat dari imajinasinya, sadar begitu melihat bocah dekil lari terbirit-birit dan menabrak dirinya hingga koran-koran dalam genggamannya meluncur jatuh berserakan. 

Saat itulah bocah dekil tersebut jatuh tersungkur hingga tergelinding dua buah apel dari balutan kaosnya. Terhuyung-huyung ia kembali bangkit dan lari menghilang di telan lalu lalang orang depan Mall ujung jalan.

Saat itu lampu merah menyala, Chika diam seribu bahasa begitu pedagang buah dan Calo berkaki buntung itu mendekati dirinya dan terus menyalahkannya karena dianggap tak cekatan menangkap pencuri kecil itu lari begitu saja.

"Ooohhh??? Sial benar dua hari ini" keluhnya sembari memunguti koran-korannya yang berserakan di bawah makian lelaki bertato tersebut

Tak jauh dari itu, lelaki si pemilik Jus itu terus mengamati peristiwa itu tanpa berkutik sedikitpun. Sedan hitam berhenti perlahan tepat di belakang garis penyeberangan jalan. Mendengar ribut-ribut, Izack si pengemudi sedan itu menoleh.

"Cewek itu…??" pikirnya lama seperti tengah mengaduk-aduk memorinya sembari mengamati wajah gadis yang tengah dimaki-maki

“Ah.. iya!”

“Itu dia!”

"Luchika Aria" suara Izack lirih nyaris tak terdengar 

Samar-samar ia ingat redaksi kalimat dalam naskah buku yang sempat dikirim ke penerbitannya dua tahun lalu, yang implisit menunjukkan keberadaan naskah perjanjian penyimpanan harta kekayaan negara yang pernah diberikan pada presiden kedua negeri ini sebagai modal pembangunan dari para raja yang ada saat itu.

Entah bagaimana cara ia menggali informasi itu, tapi ia merasa bahwa perlu melakukan pendekatan terlebih dulu sebelum akhirnya ia mendapatkan informasi dokumen penting negara yang selama ini dianggap hilang dari permukaan bumi.

Alvin yang duduk di sebelahnya senyum-senyum begitu sadar yang diamati kawannya itu adalah cewek penjual koran.

"Ehm!!"

"Kamu… tidak tertarik cewek penjual koran itu kan??"

"Hm??!” Izack baru sadar Alvin mengamatinya

Diam-diam Alvin memencet tombol sunroof mobil dan mengeluarkan sebagian kepalanya dari atap mobil hingga Izack pun melotot geram.

“Koran!” serunya

Mata Chika yang jeli langsung beranjak.

“Ngapain kamu?!” Izack melotot geram

Sebelum gadis itu sampai di samping mobilnya, Izack langsung menutup jendela otomatis nya dan tancap gas saat lampu hijau menyala. Dan Alvin yang langsung kembali duduk tertawa ngakak membetulkan sabuk pengamannya

“Apanya yang lucu?!”

“Baru kali ini aku lihat kamu memperhatikan cewek seserius itu,” Alvin geli mengamati raut Izack yang terlihat grogi.

“Ah…? Syukurlah,” lelaki berkulit putih licin itu manggut-manggut

“Aku kira kamu suka aku”

“Sembrono!”

“Ya…? Coba saja pikirkan. Selama ini mana ada cewek yang nyantol, kecuali mereka yang lengket sendiri seperti perangko, Zarah, Sefti, dan Shaika”

“Sory Bro, kelasku bukan pacaran lagi”

Alvin mencibir,

“Kamu pikir pacaran bukan ajang mencari calon istri?”

“Yang bertahun-tahun seperti dirimu, begitu?! Sudah bukan jamannya habiskan duit percuma ke orang-orang yang nggak jelas” 

“Dasar pelit, pantas saja sejak dulu nge jomblo!”

“Hidup itu harus penuh perhitungan, Bro!”

“Ish! Benar-benar nggak asyik kamu”

"Kita cari makan dulu lah, lapar aku"

"Dimana?"

"Itu tuh, depan. Enak, masakan jawa. Tempatnya juga bersih"

"Oke," ujarnya langsung menepiskan laju kendaraannya 

Saat mereka masuk, gadis penjual koran di perempatan jalan itu masuk sembari mengibaskan keringat.

Alvin terkejut, "Bro!" lirih Alvin penuh isyarat pada Chika yang baru masuk

Seorang ibu-ibu keluar dari dalam menyambut gadis itu.

"Gimana? Laku banyak?" Ujar ibu pemilik warung menyambut kedatangan Chika yang baru datang dan duduk begitu saja melepas topi ala kompeni

"Ah, sekarang mah orang lebih memilih baca media elektronik tinimbang koran, Bu.."

"Iya yah, sabar" Ujar si ibu sembari menawarkan makan

"Rumah Makan beberapa hari ini juga sepi banget, Nduk.."

"Tak kirain karena liburan aja sepi, tapi sampai sekarang mereka sudah mulai masuk kuliah juga sepi"

Saat mereka mengambil menu makanan, Alvin senyum-senyum isyarat pada Izack yang sedikit terlihat grogi.

"Makan dulu, nah.." ujar perempuan muda sembari membawakan sepiring nasi dan lauk untuk Chika.

"Terimakasih, bu.." ujar Chika tanpa ba bi bu, langsung melahap makanannya

Diam-diam Izack mencelos memperhatikan wajah Chika yang kemerah-merahan bekas sengatan terik matahari siang itu. Gadis itu dengan cekatan mengeluarkan buku kecil dan bolpen. Ia menuliskan sesuatu dengan cepat, seakan tengah menggelontorkan gagasan-gagasannya ke dalam tulisan.

"Mengapa dia lebih memilih bekerja seperti ini dibanding memanfaatkan kecerdikannya mengulas berita?" pikirnya dalam seakan ada sesuatu yang menusuk, membuat makanan yang tengah ia santap nyaris tak berasa.

Sesekali ia melirik gadis di seberang meja sibuk memeriksa hape jadulnya

"Halo, Rendra, Laptopmu kamu pakai tidak?" 

"Oh..."

"Aku punya proyek bagus, sepertinya bisa diusulkan ke Kampus untuk PPL nanti"

“Penghijauan di lahan Sanitari landfill”

“Ah… bisa!”

“Hm,”

“Oke, aku tunggu ya!”

“Sip! Sip!!”

Mendengar pembicaraan Chika dengan seorang lelaki di ujung telephon, lamunan Izack pun ambyar begitu saja dan sengaja mempercepat habiskan makan siangnya. Ia segera pergi ke kasir dengan niat membayarkan tagihan makan gadis itu. Tapi si Kasir justru bingung 

"Mas nya kenal sama mbak Chika tho?"

"Hm,"

"Tapi dia kerja di sini kok, mas"

"Oh?" mulutnya melongo

"Jadi? Gratis?"

"He em"

"Oh, ya sudah"

Izack dan Alvin pun berlalu begitu saja meninggalkan warung masakan jawa. Izack menggeber laju roda kendaraannya sambil sesekali melirik Chika yang mulai membersihkan warung.

"Kenapa tidak kamu samperin saja tadi?"

"Aku takut salah orang, Bro"

"Kita pernah ketemu dua tahun yang lalu saat aku masih sibuk berbenah perusahaan"

"Dia penulis cerdas" Izack membuka cerita. Sepanjang jalan ia bercerita bagaimana kehidupan Chika dengan latar belakang keluarga dan tulisannya yang sempat ia tolak karena ketikannya yang manual dan tidak ada soft copy.

"Sepertinya kamu kenal betul cewek itu"

"Tidak juga" jawab Izack mengelak yang terus ditatap Alvin dengan senyum lebarnya seakan sedang menertawakan

"Kencapa??!"

"Kamu jatuh cinta sama dia, kah?"

"Ck!!" Izack kecap lelah "Hahhh...?! kamu, apa-apa sangkut pautnya kesana" 

"Soalnya baru kali ini aku lihat kamu perhatikan cewek selama itu"

"Payah! Payah!!"

"Tapi ngomong-ngomong cantik juga loh"

"Kalau ekonominya ketolong dikit saja. Sudahlah... banyak yang melirik, dia"

"Sok! Kalau kamu tertarik! Tetangga kostnya Hendrik"

"Hati-hati Bro! Jodoh itu tidak ada yang tahu"

"Hari ini kamu nggak suka karena terkesan kumuh, siapa tahu berapa hari mendatang kamu terpesona sama dia" kata Alvin seakan peringatan keras dalam pikiran membuatnya tersenyum sinis seakan mengelak ungkapan Alvin.

Gelombang panas di luar benar-benar membuat ac yang full, nyaris tak berasa.

Diam-diam Izack teringat gadis itu dua tahun yang lalu dimana wajahnya masih tampak bersih dengan senyumnya yang mahal membuat ia spontan jatuh hati pada pandangan pertama saat datang ke Basecamp. Bahkan ia sempat memberinya kue ulang tahun bersamaan dengan ulang tahun dirinya. Tapi hari ini, mendengar sapaan gadis itu pada seorang lelaki di ujung handphonenya seketika perasaannya berubah.

 


 

5

Yes, that’s right


Entah apa yang terjadi. Sejak koran dinding hari ini ditempel di dinding kaca halaman kampus terlihat ramai dengan bisikan beberapa orang setelah membaca cover halaman depan. Dian, kawan se-kampung halaman Heni tiba-tiba melotot begitu membaca huruf AMI tercetak besar di satu sisi halaman utama Koran itu dan berteriak memberitahu Heni yang ada di balik dinding koran itu. 

AMI, pergerakan Mahasiswa yang hanya bisa membeo. 

“Hah?! Itu anak gila benar bisa bilang seperti itu?” teriak Heni

“Ini kalau abang-abang AMI dengar, pasti bisa meledak marah”

“Tunggu saja nanti kalau dia di kost, pasti akan ku pukul dia” canda Heni

“Memangnya kamu berani memukul orang se serius itu?” tawa Dian mengolok.

Chika yang ternyata telah berdiri di belakang mereka hanya mengembangkan senyumnya begitu dengar umpatan Heni. Tanpa berkomentar apapun, ia melenggang pergi tanpa sepengetahuan mereka yang masih melototi paragraf demi paragraf.

“Tidak sia-sia kau pinjamkan aku Laptop, Ren. Aku bisa mengungkapkan rasa kesalku pada khalayak juga akhirnya” senyumnya menarik nafas panjang sembariu menjulurkan alisnya mendongakkan wajahnya ke langit mengantongi dua tangannya pada jas almamater yang ia kenakan.

Langit di atas kampus pagi itu benar-benar cerah. Sesekali angin basah berhembus dari rindang pepohonan yang menjulang berjajar di depan ruangan dosen, terasa begitu segar menyeka pikirannya yang akhir-akhir ini sedikit ruwet. Ia kembali duduk di bangku panjang setelah tahu kelas hari itu kosong, hanya pesan tugas yang disampaikan lewat grup medsos.

Merasakan perutnya mulai melilit dibukanya dompet, tampak sebuah foto seorang lelaki dengan alis mata tipis, mata bulat mirip dirinya dengan topi veteran. Ia mulai merasakan dadanya sesak merasakan rasa rindu yang sudah harus dikubur dalam-dalam. Tiba-tiba sehelai angin menerpa wajahnya bersamaan dengan dedauanan yang menghujani rambutnya.

Sesekali ia terlihat menarik nafasnya dalam-dalam dan melepaskannya ke udara, seperti ada yang ingin diikhlaskannya.  

“Tidak ada yang bisa diharapkan dari negeri ini kecuali kekuatan diri sendiri…” suaranya lirih menerawang jauh 

Perlahan bayangan beberapa tahun yang lalu seakan turun menghantui; 



Suara letusan peluru seperti menjadi pemandangan tiap sore.  

Wajah-wajah garang bersenjatakan parang dan clurit mendadak meledak saat terdengar siulan di tengah jalan. Sontak pertikaian menumpahkan darah puluhan warga di tengah jalan raya antar kota antar propinsi. 

 

"Chika, memaafkan sebuah peristiwa itu bukan berarti melupakan peristiwanya dan mengubur dalam-dalam. Karena bagaimanapun, peristiwa itu tidak akan pernah pergi dari ingatanmu"

"Belajarlah melihat sesuatu layaknya seekor burung melihat alam sekitar dari atas awan, maka kamu akan tahu bagaimana sebenarnya lalu perlahan memaafkan peristiwa tersebut" kata-kata Rendra seperti jelas terdengar

Pandangannya turun menyorot lepas angannya yang seakan turun dari langit, dan spontan nggragap  kaget ketika sebuah gulungan kertas menepuk pundaknya.

“Hoi! di sini kau rupanya?” sapa lelaki gondrong itu meloncat duduk di sebelahnya 

“Tulisanmu dimuat lagi tuh!”

“Hm!” senyum Chika lebar,

“Lumayan lah, dengan bantuan laptopmu” kata Chika mengeluarkan laptop dari tas ranselnya

“Pakai aja dulu” isyarat dengan dagunya

“Beneran ini, nggak kamu pakai?”

“Ya aku pakai lah,”

“Tapi demi otak si jenius yang banyak akal, aku ikhlas lah mengalah” katanya membuat Chika tertawa lebar

Sepi,

“Kira-kira bisa sih nggak ya?”

“Bisa! Apa sih yang enggak buat kamu!”

“Tuhan saja mau kamu atur” lagi-lagi Chika tertawa meledak

“Berapa ya, harga smartphone paling murah?”

"Kenapa?"

"Tugas-tugas mata kuliah sekarang lewat email semua, kadang juga lewat group" Chika menggigit jari dengan kernyitan di antara kedua alis.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar keluargamu?” tanyanya khawatir

"Selesaikan urusanmu sendiri, Non!" jawab Rendra cuek yang perlahan membuat gadis itu diam bertopang dagu memandang lepas pada lalu lalang orang yang melintas di jalanan di depan.

"Kamu mau kerja serabutan nggak?"

"Apa?"

"Jadi pekerja sosial di LSM tempat temanku"

"Berapa rewardnya?"

"Yah... sudah tanya reward"

"Lha iyalah, ini tenaga sama pikiran berbanding lurus sama isi perut je" katanya spontan membuat  Rendra ngakak

"Tapi, ngomong-ngomong adek dan bapakmu sudah ada kabar kah?"

Rendra menggelengkan kepala. Namun dari gerak-geriknya ia menangkap aura kesedihan lewat diamnya yang sengaja ia benamkan dalam-dalam dan kembali berdiri menengadahkan wajahnya di bawah rindang pepohonan yang menggugurkan dedaunan.

“Hoo…kh! Hidup ini rasanya seperti mengairi ladang tanpa tanaman, Percuma to?!” senyumnya getir sembari berdiri

“Sudah makan?"

Chika nyengir

"Makan dulu yuk! Aku traktir lah, buat makan aja pelit banget kamu ini" ajaknya sembari beranjak

“Nah, kalau itu aku mau” tawanya lebar

“Huuu… dasar! Makan itu nomor satu Non, beli buku nomor dua"

"Ah... kau ini nggak tahu. Aku bisa sampai di kota ini dan bertahan di sini saja syukur Alhamdulillah"

"Apalagi sampai bisa lulus"

"Bisa lah, kenapa nggak bisa?!"

"Bukan Luchika namanya kalau belum apa-apa sudah nyerah!"  

Di sepanjang jalan tampak teman-teman AMI berduyun-duyun menuju jalanan dengan membawa spanduk, sebagian menyebarkan selebaran kepada para pengemudi yang melintas di depan kampus yang diiringi orasi lewat corong pengeras suara yang begitu memekakkan telinga.

"Kamu nggak ikut turun?" tanya Rendra

"Nggak lah,"

"Kalau ada apa-apa, siapa yang mau menolongku?"

“Hei, Non! Ayo turun!!” teriak teman lelaki yang melintas dengan sepeda motornya 

“Kau ini Chik! Teriakkan suaramu di publik! Jangan cuma koar-koar di mass media saja!” sahut lainnya   

“Aku nggak punya energi lebih seperti kalian, Bro!” tawa Chika menimpali 

“Alah! kau ini, bilang saja nggak punya nyali” sahut beberapa kawan AMI yang datang dari belakang

"Ya... ya ya!" senyumnya nyengir sembari mengacungkan dua jempolnya ke udara “Sip!! Aku dukung kalian dari belakang lah” ujarnya dengan perasaan sedikit pahit

Mereka berdua berjalan santai menuju kantin kampus sambil sesekali berdiskusi akan dikemanakan nasib negeri ini di saat biaya pendidikan semakin melangit, sementara kualitasnya belum memenuhi standart kebutuhan negara dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja.

"Aku bisa merasakan mereka yang tidak bisa kuliah karena terkendala biaya bukan main rasanya"

"Sementara hari ini kita yang sering melihat Mahasiswa hura-hura kadang rasanya pingin sekali nonjok mukanya" spontan Rendra tertawa

"Kenapa kamu yang emosi?! "

"Ya iyalah, bagaimana nggak emosi. Beberapa aku tahu orang tuanya jadi kuli bangunan, ada yang petani, ada juga jadi pedagang di pasar. Sementara anaknya di sini kuliah cuman diisi pacaran dan foya-foya kadang malah nggak masuk kelas"

Lagi-lagi Rendra hanya menertawakan gadis dengan rambut yang selalu dikucir sebahu "Baru taraf itu berpikirmu, Non"

"Coba berpikir terbalik, dengan bermain kesana kemari pengetahuan dia akan bertambah. Karena pengetahuan kan akan bertambah tidak hanya dengan membaca buku seperti dirimu, Non!"

“Ren!”

"Bayangkan saja kalau ada 1000 orang tua yang menjual tanah ke orang asing demi membiayai kuliah anaknya, sementara semangat anaknya untuk menambah ilmu di sini jongkok"

"Mau jadi apa coba negara ini?" protes Chika kesal saat kakinya melangkah masuk Kantin

Suasana ramai sesak mulai terasa. Rendra melangkah santai di depan Chika.

Dari seberang deretan meja makan tampak tiga orang senior AMI Cabang tengah menikmati makan sambil diskusi. Sepertinya mereka tengah berunding sesuatu. Melihat pemandangan Chika dan Rendra tengah ngobrol sambil mengambil hidangan, Izack hanya memperhatikannya dari jauh sembari menyruput Jus Alpukatnya terasa pekat tanpa gula di depannya. Sesekali ia nyambung obrolan dua orang di depannya yang tengah membahas soal keamanan data kantor Cabang AMI.

“Kalau soal IT aku pasrah ke kalian deh, tapi soal kebijakan pemerintah terkait organisasi politik di kampus, biar aku yang urus”

“Nah! Gitu dong” kata Leo

Lagi-lagi pandangan mata Izack tertuju pada gadis dengan rambut yang dikucir sebahu itu mulai mengambil menu di etalase dan berdiri menunggu lelaki di belakangnya. Ia tengah mengincar lauk yang harus ia ambil.

“Beneran loh ya? Kamu yang traktir…”

“Boleh ambil ayam, nggak nih?” bisik Chika

“Ampun, Chika… ambil! Mau ambil dua juga nggak apa-apa”

“Hehe… enggaklah, takutnya uangmu nggak cukup”

“Kalau nggak mau, aku ikhlas kok kalau kamu yang bayar” ujar Rendra

“Mau lah, woi!!” tawanya lebar cepat cepat nyomot paha ayam satu lagi.

Dari seberang meja, Izack terkesima dengan lesung pipit Chika saat tersenyum. Saat itulah Leo menoleh pandangan mata sejurus pandangan Izack mengikuti kemana gadis itu mengambil tempat duduk yang diikuti lelaki yang duduk di depannya.

“Oh, itu.. tetangganya Hendrik”

“Anak AMI juga”

“Oh, masih di sana toh?”

“Hm, masih”

Chika dan Rendra mulai menikmati sarapannya dan ngobrol sana sini.

"Tahu nggak, kasusnya si Fendi? tanah pekarangannya dibeli orang asing atas nama orang indonesia untuk mendirikan Pabrik yang letaknya tepat dengan tanah kas desa" kata Chika membuka obrolan

"Itu duit orang tuanya untuk membiayai si Fendi, tapi dia disini aku lihat pagi siang sore malam lengket sama ceweknya"

"Mending kalau pinter, Oon pula"

"Tugas dia, aku juga yang kerjakan"

“Pluk!” spontan Rendra memukulnya dengan sumpit yang masih terbungkus

“Aduh! Sakitlah!!” ujarnya manyun ngusap-usap kepalanya

“Yang penting kan kau dapat fee dari dia" 

"Iya lah, kalau enggak rugi aku"

"Nha ya sudah, ambil positifnya saja"

"Nanti kalau semua orang sepertimu, dunia nggak seru" kritik Rendra panjang lebar yang hanya diperhatikan Izack dari jauh

“Halah! Itu karena kamu punya pacar juga, coba kalau belum”

"Sudah, makan dulu. Gatel telingaku dengar kamu protes terus!" kata Rendra yang membuat Chika tertawa terkekeh-kekeh kembali menyantap sarapannya

Melihat keduanya tampak seru ngobrol, Izack hanya menghela nafas sembari kembali nyambung obrolan dua orang teman di hadapannya. Tapi karena seringnya Izack memperhatikan keduanya, dua orang di depannya pun menoleh sejurus pandangan mata Izack.

“Itu cewek nulis artikel di koran tentang AMI, ngawur benar”

“Apa?”

“Ini lihat” ujarnya menunjukkan artikel di koran online

Izack hanya tersenyum sembari melipat dua tangannya ke atas meja

“Memang begitu, kan? Kita?!”

“Rupanya ada yang jeli melihat kondisi kita hari ini”

“Ya!”

“Harus kita akui itu” sanggah Leo

“Hanya gara-gara tokoh politik memberikan seminar ke kampus, lalu kita mengiyakan dan membenarkan apa kata beliau. Padahal kita sudah tahu bagaimana track record dia selama ini”

“Hm, betul sekali”

“Harusnya kita bisa correct”

“Bahkan seorang presiden pun, harusnya kita berani meng correct kebijakannya yang keliru”

“Karena Mahasiswa itu posisinya bisa jadi Oposisi jika terjadi kekeliruan langkah pemerintah”

“Begitu juga dengan Pemerintah, harusnya nggak boleh alergi dengan pihak Oposisi”

“Hm, bener banget”

“Tapi kenyataannya hari ini setelah sekian tahun berkuasa, pemerintah kita kembali bersikap otoriter dan mulai menancapkan kuku-kukunya”

“Itu yang membuat kita gerah”

“Dan kata-kata dia benar adanya..”

“Kita di sini seperti kehilangan wacana; negara harus dibawa kemana, lalu kita hanya membeo” sanggah Leo seakan membenarkan anak didik jurnalisnya yang sudah berani bersuara lantang.  

Obrolan itu mengalir begitu saja hingga tak terasa dua orang tersebut telah selesai makan dan pergi meninggalkan meja makannya dengan obrolan dan tawa yang sepertinya tampak akrab membuat perasaan Izack sedikit mencelos.


 

6

Enyahlah

 

Gejolak pikirannya kini benar-benar mulai terasa berat saat kakinya melangkah masuk lorong-lorong bangunan menuju hutan kampus yang senyap. Sesekali langkahnya terhenti seperti sedang menyimak pikirannya satu persatu.

SPP semester kemarin yang belum ia lunasi dari Heni. Cicilan Bank dengan jaminan rumahnya untuk biaya masuk kuliah dulu, juga kebutuhan smartphone dan laptop yang sangat mendesak, belum lagi biaya kost bulan depan. Begitu sadar kakinya melangkah masuk kawasan hutan kampus, ia langsung menjerit sekencang-kencangnya.

“Aaaargh!!!”  

Tanpa berpikir panjang ia memungut beberapa batu yang ia lihat.

“Ayo! kita lihat, seberapa jauh kamu pergi dari pikiranku”

“Jika lemparan ini semakin jauh, berarti masalah akan semakin jauh” lirihnya tertawa aneh

“Pertama, untuk SPP semester kemarin” 

“Ctaakk!!” ia melempar batu itu kuat-kuat mengenai batang kayu pohon jati

“Kedua, untuk membeli smartphone dan laptop”

“Krsskkk!!” lemparnya lagi mengenai semak-semak

“Aah? Tidak begitu jauh?” katanya kesal mengamati batu itu terlempar

“Ketiga, untuk tagihan hutang bank bulan ini” katanya lagi 

“Ini harus lebih jauh daripada semuanya” katanya sembari ancang-ancang meloncat  

“Aaaa… aaa… aaa… rgh!!!” teriaknya kuat-kuat sambil meloncat teriak keras-keras hingga

“Ctakkk!!”

“Aduh!” kaca matanya terlepas dan seketika keningnya mengucurkan banyak darah membuat orang-orang di sekitarnya kaget dan seketika mencari-cari dimana suara itu berasal.

Melihat kemunculan beberapa orang lelaki membuat Chika kaget, meringis pias ketakutan teringat batu yang ia lempar terakhir lumayan besar.

“Maaf, ada apa ya?” sapanya cemas

Tanpa berkata-kata lagi salah satu dari mereka tampak gregetan mencekal siku Chika dan menyeretnya ke kerumunan orang-orang yang rupanya tengah melakukan penelitian.

Mereka adalah kelompok Mahasiswa S2 Jurusan Konservasi Hutan yang tengah melakukan penelitian kandungan air dan kadar keasaman tanah di hutan kampus yang dulunya merupakan Kawasan Tempat Pembuangan Akhir.

Melihat lelaki berkacamata sipit itu Chika kaget, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Tapi pernah melihatnya dimana, ia tak sanggup mengingatnya lagi terkalahkan rasa takut dan cemasnya yang sudah sampai ubun-ubun melihat kening lelaki itu masih saja mengucurkan darah segar.

“Oh, Maaf kak… maaf!!” Chika menunduk nunduk merasa sangat bersalah, sementara kutukan dari mereka terdengar jelas membuat lelaki yang terluka itu menyuruhnya diam dan tenang.

“Dibawa ke Rumah Sakit saja Bro, biar dia yang tanggung jawab”

“Iya, cepat saja dibawa ke Rumah Sakit”

Bukan main rasanya, sudah jatuh ketimpa tangga besi, berasa luar biasa menyakitkan. Tapi apapun itu, ia memang merasa bersalah atas kejadian itu hingga ia hanya mengikuti dua orang lelaki itu keluar dari hutan.

Sepanjang jalan dua orang yang mengiring lelaki sipit itu sesekali diam melirik ketus pada Chika di belakang mereka hingga ketiganya masuk ke dalam mobil Chika masih bingung berdiri di sisi mobil tersebut.

“Masuk!”

“Iya,” jawab Chika segera masuk mobil dan duduk mojok di seat sebelah lelaki sipit tersebut.

“Siapa namamu?”

“Chika”

“Semester berapa?”

“Enam”

“Fakultas?”

“Kehutanan”

Dua orang lelaki di depannya yang lagi-lagi mulai menyalahkan Chika diisyaratkan untuk diam oleh lelaki di sebelahnya nyengir kesakitan menekan kepalanya yang terus mengeluarkan darah segar sekalipun telah disumbat kain putih, membuat gadis itu semakin merasa bersalah.

Dalam ruang mobil yang dingin, tangannya terkepal makin dingin menelungkupkannya di tengah pangkuannya makin beku membuat lelaki itu tahu gelagatnya, ditambah dengan garis kerutan di dahi yang terlihat jelas.

“Kak, aku..”

Lelaki itu langsung memberinya isyarat untuk diam menekan kepalanya yang terus mengeluarkan darah. Hingga tak lama kemudian mereka tiba di rumah sakit International membuat kecemasan Chika makin meningkat, apalagi saat lelaki sipit itu turun dari mobil dan langsung disambut perawat membawa kursi roda dan membawanya hilang dari pandangannya.

“Kenapa tadi aku seperti itu” pikirnya kesal

 

Siang itu udara terasa panas menyengat. Chika yang berjalan di belakang mereka rasanya ingin sekali cepat-cepat lari menghindari tanggung jawab biaya yang bakal ia tanggung. Tapi ia bukanlah tipikal gadis semacam itu, meskipun ia bisa saja melakukannya.

Mereka masuk ke ruang IGD dan mulai diambil tindakan jahit. Saat dua orang lelaki itu menyuruhnya ke bagian Administrasi, lelaki sipit itu mencegahnya dan menyuruhnya menunggu dirinya selesai. Sempat ketiganya bersitegang, tapi lagi-lagi lelaki itu tampak ngotot menyuruh Chika menunggunya di luar sampai selesai.

“Kalian pulanglah dulu, biar aku selesaikan baik-baik sama dia” ujar lelaki sipit itu setelah dua orang perawat datang dengan membawa peralatan medis.

“Ini kunci mobilmu”

“Nggak usah, bawa aja”

“Loh?”

“Tenang saja…”

“Serius??”

“Hm,”

Saat keduanya keluar, mereka menatap tajam wajah Chika yang melorot tertunduk.

“Kalau kamu laki sudah aku jotos dari tadi, mbak!” ketus lelaki itu kesal sembari ditarik temannya meninggalkan Chika sendiri di ruang IGD.

Entah berapa menit berlalu, lelaki itu keluar dari ruang bertirai dengan kepala berbalut perban. Melihat gadis itu menenggelamkan wajah dalam pangkuannya di atas kursi ruang tunggu, lelaki bermata sipit itu pura-pura batuk membuatnya kaget dan terbangun dengan wajah sembab dan basah air mata.

“Aku minta maaf Kak, sungguh… aku nggak sengaja”

“Sudah makan?”

“Hmm??!” rautnya seperti kecele, tapi sebenarnya ia bingung  

“Ayo makan dulu”

“Tapi Kak…”

“Sudah, tenang saja”          

“Ayok”

Chika berjalan di belakangnya seperti seorang tawanan dengan kepalan tangannya yang kepalang dingin.

Saat mereka duduk di meja food court Rumah Sakit, antara kikuk, cemas, takut dan berharap-harap agar ia tidak membuat perjanjian gila terkait biaya Rumah Sakit. 

“Aku benar-benar minta maaf Kak” pekik suaranya hendak menangis

“Aku melakukan itu karena benar-benar pusing dengan kondisi ekonomiku akhir-akhir ini Kak...”

Lelaki itu diam tak menimpali, ia justru sibuk membuka dan scrolling tabletnya dalam genggaman.

Merasa dirinya dicueki, Chika merasa kecele. Ia diam mulai gusar dengan pikiran dan hatinya menunggu apa yang tengah dilakukan lelaki itu dengan tabletnya.

“Oh ya, kenalkan.. namaku Dhani, anak Pasca Kehutanan jurusan Konservasi Hutan”

Pelayan membawa menu pesanan sepiring goreng seafood membuat gairah lambungnya seakan meronta saat melihat sepiring nasi goreng yang dipenuhi udang, cumi dan lalapan.

“Ayok, makan dulu”

Tanpa dipersilahkan lagi, diam-diam ia mulai menyentuh piringnya sembari menarik nafasnya tersengal-sengal seakan menemukan cekungan air bening di gurun pasir yang kering dan panas.

“Masih jualan asessoris mobil?”

“Hm?!!” Chika melotot bingung pura-pura tidak tahu

“Kakak yang kemarin di depan Café depan kampus??”

(Isyarat mereka seakan saling menangkap yang dimaksud Chika adalah peristiwa dirinya jualan koran dan assessoris mobil di depan kios buah)

“Iya!” potong Dhani cepat yang langsung disambut senyum nyengir merasa tidak enak

“Hm, lumayan bagus ingatanmu”

“Kamu tertarik ikut proyek, nggak?”

“Proyek?”

“Ngomong-ngomong kenapa kamu ambil jurusan Kehutanan? Aku juga sering lihat kamu duduk-duduk sendiri di pintu belakang yang menghadap langsung dengan hutan kampus kita”

“Oh…”

“Tapi maaf, biaya lukamu gimana Kak?”

“Oh, tenang aja. Aku punya biaya asuransi kok, sia-sia kalau nggak dipakai”

“Oh…”

“Jadi, beneran ini?”

“Apanya?”

“Nggak aku bayar? Atau gimana?”

“Maksudku biaya pengobatan…”

“Iya…” jawabnya spontan membuat Chika menghembuskan nafas panjang yang hanya ditertawakan Dhani

“Kalau kamu bayarkan iuran Asuransi bulananku, nggak apa-apa” candanya membuat suasana mulai cair.

“Haduh Kak… buat makan sehari sekali aja sudah bagus” tawa mereka renyah

Keduanya mulai bercerita mengapa ia sering duduk sendiri di pintu masuk area hutan kampus, hingga mengapa ia mengambil jurusan Kehutanan.

“Kamu serius tertarik bekerja di Hutan?”

“Hm, kenapa nggak serius kalau mesti mati-matian cari biaya buat kuliah di jurusan itu, Kak”

“Kebetulan banget, aku juga sedang kerjakan proyek dari LSM asing penelitian penghijauan di atas lahan bekas sanitary landfill”

“Wow!”

“Aku sempat terpikir itu kemarin, Kak”

“Oh ya?”

“Hm, sebenarnya kami butuh 1 personal lagi. Tapi minimal materi sudah selesai semua”  

Chika terdiam lama seperti tengah memikirkan banyak hal, ia meraup wajahnya seperti ingin mengatasi semua kesulitannya saat ini. Melihat reaksi Chika terpasung sejenak lelaki itu langsung membrowsing situs lainnya.   

“Ada juga proyek bagus khusus anak-anak S1 Kehutanan”

“Dana nya lumayan besar juga tuh”

“Coba kamu buka ini” katanya menyodorkan smartphonenya menunjukkan beberapa link proyek kehutanan

Cepat-cepat Chika mengeluarkan pen dan mini block note, segera mencatatnya.

“Coba deh, ikuti proyek di link ini” katanya menunjukkan situs kampus pada sebuah layar tipis tabletnya

“Kenapa nggak kamu tulis di hpmu saja?”

Chika nyengir “Aku punya Hp cuma ini saja, kak” katanya mengeluarkan telpon selluler model jaman dulu

“Oh…” rautnya mencelos

“Kalau begitu, aku minta nomormu saja deh”

“Siapa tahu kalau ada project lagi, aku hubungi kamu” pinta Dhani penuh maksud

Tanpa enggan, Chika menunjukkan nomornya pada layar kecilnya. Dan Dhani mulai sedikit paham mengapa juniornya ini kalut bukan main ketika diajak ke Rumah Sakit membayangkan untuk makan keseharian saja masih kesulitan, apalagi untuk sekedar memiliki smartphone.

Perlahan namun pasti terjadi obrolan ringan bagaimana dirinya mengerjakan tugas sehari-hari sampai pekerjaan serabutannya yang menyita banyak waktu dan menguras banyak tenaga tanpa menyebutkan bahwa dirinya juga seorang penulis di media sosial.

Entah berapa lama Chika mencatat semua link yang ada di tablet tersebut sembari menghabiskan menu yang didatangkan.

Tanpa terasa dua jam telah berlalu, mereka duduk di sana dan ngobrol seru seputar proyek-proyek yang berhasil Dhani kerjakan hingga menghasilkan semua yang ia kenakan, termasuk penelitiannya keluar negeri membuat sorot mata gadis itu pun kembali tambah hidup.

“Setelah ini kamu mau kemana?”

“Kursus anak SMP Kak”

“Oh, dimana?”

“Di Blok perumahan dosen”

“Naik apa?”

“Jalan kaki”

“Oh, jauh lho”

“Iya,”

“Naik angkotan umum aja, ayok”

“Aku bayari deh”

Chika nyengir merasa tidak enak.

“Nggak usah Kak, aku nggak suruh tanggung biaya Rumah Sakit saja sudah syukur, masih ditraktir makan lagi” jawabnya menghabiskan sisa jus jeruk sisanya

“Dah, ayok…”

“Santai aja, dulu aku juga seperti kamu” jawabnya santai membuat Chika ragu-ragu yang ditarik ranselnya begitu saja.

Siang jelang sore itu mereka berdua naik mini bus bersama hingga keduanya terpisah di halte bus depan kompleks perumahan dosen. Dhani yang sebenarnya arahnya berlawanan dari tujuan Chika terpaksa berhenti di Halte Bus setelahnya demi bisa ngobrol lebih lama lagi di kendaraan. Dan itu membawa kesan tersendiri untuk Dhani yang berhasil mengenal Chika lebih jauh lagi tentang dirinya yang dikenal sebagai penulis kritis.

 

@@@

 

Selesai pulang dari les, hari sudah larut. Chika keluar dari komplek perumahan menjelang malam dengan senyum lebar mengantongi selembar uang yang mampu untuk bertahan hidup dua hingga tiga hari ke depan. Sepanjang perjalanannya dalam bus, lamunannya seakan mengurutkan lintasan peristiwa sejak pagi tadi. Dari melempar batu, keributan dengan anak pasca sarjana hingga duduk bersama di dalam bus dan ngobrol kesana kemari. Andaikan boleh berandai, ia jadi pacarnya betapa ringannya menjalani hidup.

Tapi alih-alih mencari perlindungan dengan punya pacar, perhatianya justru tersedot pada badannya yang mulai merasakan ngilu-ngilu sakit setelah sehari pikirannya terkoyak kemana-mana, hingga sadar ia harus turun di halte.

Sepanjang jalan menuju kost ia hanya senyum-senyum sendiri berandai-andai, jika dan hanya jika punya pacar seperti Kak Dhani.

“Bukankah semua orang berhak mimpi ya?”

“Sah-sah aja kan, mimpi punya pacar kaya raya?” pikirnya senyum-senyum sendiri

Ia sadar, selama ini tidak berani bermimpi. Bahkan sekedar mimpi punya pacar pun, ia tidak berani. Baginya dihadapkan dengan kehidupan pahit sepanjang hidupnya seperti minum obat pahit sepanjang hari, sepanjang bulan bahkan sepanjang tahun. Bahkan air mata yang harusnya menetes pun, harus ia tahan dan telan dalam-dalam agar dirinya tidak limbung dan jatuh.

Begitu sampai di kost-kostan tumpukan baju kotor sudah menghadang di depan pintu dengan sticky notes merah dan biru pertanda dari dua orang yang berbeda.

“Tolong ya Chika, aku pakai untuk lusa”

“Hey, say! Jangan lupa untuk hari minggu”

Ia kembali menarik nafas perlahan membayangkan badan rasanya nyaris tidak kuat lagi. Tapi bagaimanapun ia tetap harus mendapatkan kepercayaan emak laundry teman-temannya demi menyambung hidup.

Selesai meletakkan tas dan ganti baju, ia sudah membopong dua keranjang penuh itu ke kamar mandi. Sembari mulai merendam ke dalam ember mereka, wajahnya senyum-senyum sendiri membayangkan pertemuan siang itu antara rasa bahagia, takut, dan harap-harap cemas campur jadi satu.

Terbayang project-project yang disodorkan seniornya siang hari itu, ia hanya membayangkan kapan ia punya laptop sendiri. Hingga sadar saat pandangan matanya tertuju pada tangannya yang mesti menyikat dan kucek baju-baju kotor milik teman kost.

“Ah.. andai saja”

“fokus, fokus!!” lirihnya mengacak wajah

Tapi lagi-lagi sirkuit otaknya seperti sedang menelusuri gagasan-gagasan besar untuk dijadikan proposal proyeknya yang bakal dikerjakan beberapa orang temannya. 

Ia membayangkan lahan-lahan bekas galian tambang yang mangkrak untuk dijadikan revitalisasi lahan hijau.

Tiba-tiba ia lamunannya buyar oleh colekan jari tangan yang lentik. Itu adalah Heni.

“Hei Non, ada yang ingin ketemu sama kamu tuh” 

“Siapa?”

"Orang lah, masa kucing"

"Ada perlu apa?"

"Nggak tahu"

"Sory, nggak bisa "

"Kapan kamu punya waktu longgar?"

Gadis itu diam sejenak menatap temannya lama. "Kamu mau uangmu balik kan,"

"Ya iyalah,"

"Ya sudah, sana "

Heni menarik nafas kesal "Ngusir kamu,"

"Terimakasih kalau paham" senyumnya sekilas

Dengan wajah kecewa Heni pergi. Ia menuruni tangga menemui Izack di kost-kostan lelaki. Di sana Izack dan Hendrik sudah siap menunggu kabar Heni yang berjalan cepat menuju ke kostan tersebut.

"Sudah aku bilang, kan?"

"Dia tanya ada urusan apa, aku bingung jawab"

"Malah justru ditanya balik, kamu pingin uangmu balik kan?"

Spontan Hendrik tertawa cekakaan

"Maksudnya apa?" Izack bingung

“Dia kan punya hutang ke aku, sekarang ini dia sedang kerjakan sesuatu untuk menghasilkan uang”

“Oh… haha!”

"Bahasa dia itu seperti itu, Bro!"

“Emangnya kerjaan apa? Menulis?!”

Heni gagap, matanya cemas menatap Hendrik yang sudah paham jika Chika kadang jadi buruh cuci bagi teman-teman kost-kosatannya, ia tak berani menjawab. Justru dialihkan Hendrik dengan membicarakan pembicaraan yang lainnya.

"Susah juga ya?"

“Hm,”

“Pantesan” pikir Izack dengan segaris senyum samarnya teringat peristiwa pertemuannnya beberapa tahun yang lalu.

Jarum jam menunjukkan pukul 00.35, ia tampak sibuk menjemur baju di lantai dua dan kembali membentangkan tangannya di teras lantai dua yang terlihat Izack saat itu masih lembur mengerjakan pekerjaan dengan laptopnya di depan kamar Hendrik.

Sorot matanya lepas menatap angkasa yang gelap. Sesekali ia menguap puas sembari merentangkan kedua tangannnya ke angkasa.

“Hah!!” teriaknya keras membuat Izack senyum-senyum mencuri pandang gadis tipis dengan rambut panjang lurus tergerai sebahu.


 

7

Siapa dia?

 

Chika, ya... orang memanggilnya begitu. Luchika Aria. Pawakannya ramping, tidak terlalu pendek untuk ukuran cewek. Wajahnya yang dingin selalu tampak pucat dengan kulitannya yang putih, namun tampak kurang sehat. Meskipun ketika ia tersenyum, dunia seakan ikut runtuh dengan suaranya yang khas. Tapi itu hampir saja tak pernah terjadi kecuali sesekali dalam sehari.

Di waktu senggang, ia selalu menekuri buku-buku dengan raut serius. Beberapa orang sekitar menjulukinya si kutu buku.

“Apa tidak capek kamu tiap hari begitu?” tawa lebar teman-teman kos yang selalu menertawakannya. 

"Aku nggak bisa membayangkan nanti kalau dia punya suami, malam pertamanya yang dipegang pasti buku" ledek teman kelasnya yang membuat gerrr... semua orang di sekitar. Namun Chika tak begitu peduli dengan olokan semacam itu. Beda dengan Rendra yang kerap kali jengkel jika tetangganya jadi bahan olok-olokan teman kelasnya.

"Kenapa juga aku harus marah, Ren?"

"Toh, dia nggak nyakiti aku"

"Iya, tapi gurauan seperti itu menjijikkan"

"Rendra... mereka berkata seperti itu karena kondisi mereka jauh lebih mudah daripada kita yang tiap menit dihitung dengan kualitas otak dan otot" 

"Lagipula kenapa kamu nggak mengajukan Beasiswa saja, aku kira nilaimu kan lumayan?" Chika hanya senyum sekilas tanpa menimpali sepatah katapun. 

Begitulah ia, tak banyak kata kecuali segaris senyumnya yang benar-benar cool membuat para lelaki merasa tertantang menakhlukkan hatinya dengan berbagai cara. 

Dari sekedar surat, pesan salam, pesan bingkisan yang ditolak, hingga mengikutinya pergi. Bahkan suatu saat saking sulitnya ia didekati, seorang lelaki yang merasa terinjak harga dirinya, ia membalas dengan mendekati teman kelas yang sering jalan bareng dengannya dengan harapan ia cemburu. Tapi sampai mereka "jadian" pacaran, gadis itu tetap saja tak menggubris mereka berdua yang akhirnya ia ditinggalkan. 

Bahkan suatu saat ia pernah dikatakan "cewek abnormal" oleh salah satu tetangga kostan lelaki  karena dianggapnya "tidak butuh lelaki". Ada juga teman perempuan yang sempat akrab dan pudar gara-gara isyu kalau dia itu lesbian.

“Haduh!! Macam-macam saja orang menganggapku” batinnya kesal 

Tapi daripada mempedulikan pertemanan, ia lebih peduli pada isi dompetnya demi menyambung kebutuhan hidup dan biaya kuliahnya selama di kota pelajar.  

Bicara soal lawan jenis, sebenarnya ia tak begitu tertarik urusan itu. Baginya, itu hanya menghambur-hamburkan waktu percuma dibanding harus bekerja demi menyambung kehidupan keseharian hingga selesai kuliah. Meski sebenarnya ini bukan berarti dia tidak menyukai lawan jenis. Melainkan memiliki standar yang cukup tinggi. Namun lelaki yang selama ini ia temui, tidak ada satupun yang dianggap sesuai dengan standart dia. Inilah yang menyebabkan dia tampak arogan dan acuh pada lelaki.

Ada satu lagi alasan yang membuatnya pantang pacaran. Di mata dia, lelaki adalah "beban hidup" atau tepatnya mirip "Bom waktu" yang sewaktu-waktu bisa meledak. Karena sebagai perempuan, ia sudah terbiasa hidup mandiri, bahkan membiayai keperluan sekolah hingga kebutuhan sehari-hari. Jadi andaikata ada seseorang yang bakal membelenggu hidupnya, baginya ini seperti bom waktu. Apalagi ia membenci anggapan bahwa, perempuan itu makhluk lemah yang tidak berdaya dan harus dilindungi.

Dulu sekali ada sosok lelaki yang sempat mencuri perhatiannya. Ya! Dialah teman lelaki semasa duduk di bangku sekolah menengah pertama yang meninggal karena peluru nyasar di depan Sekolah. Dan hingga hari rasanya ia belum ketemu dengan lelaki yang mirip dengan anak lelaki itu, sampai-samapi ia mengubur dalam-dalam untuk menemukan lelaki pilihannya yag bakal menemaninya sisa hidup.

 


 

8

Malaikat tak bersayap

Siang itu udara terlalu panas dari hari-hari sebelumnya. Chika yang membawa pulang angin segar berita proyek Kehutanan dari sebuah LSM asing membuatnya bersemangat menulis proposal yang bakal ia ajukan. Dan kini, ia membawa setumpuk buku yang siap dijadikan referensi bahan tulisannya yang bakal ia tulis menggunakan laptop pinjaman Rendra.

Tapi tiba-tiba saja Hendrik dan serombongan temannya datang ke kostannya. Di sana mereka mulai gurau dan ngobrol kesana kemari, beberapa ada yang mengeluarkan gitar dan mulai bernyanyi.

Kamar Hendrik yang letaknya paling depan memang sering dijadikan Basecamp anak-anak AMI. Apalagi detik-detik seperti saat ini banyak aktivis Mahasiswa mengupayakan kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja dengan turun ke jalanan untuk menyampaikan aspirasinya ke pemerintah.

Chika yang masih duduk di teras lantai dua depan kamar Hendrik langsung menepuk jidat saat tahu mereka bakal lama duduk-duduk di sana seperti biasanya. Ia mencoba fokus pada deretan paragraf demi paragraph yang ia baca, namun telinganya tetap awas mendengar diskusi kecil di antara keriuhan suara mereka yang ngobrol kesana kemari. Matanya yang kecil sejenak memburu suara diskusi kecil itu.

Dia adalah lelaki tampan yang sebenarnya wajahnya tidak asing lagi. Tapi pernah ketemu dimana ia tak punya waktu untuk memikirkan itu.

Gadis dengan rambut pirang terkucir sebahu itu mulai kesal mendengar mereka gaduh. Ia melotot kesal pada mereka semua tanpa ekspresi apapun kecuali wajah dinginnya. Apalagi saat ada satu orang datang dengan membawa motor knalpot brong yang suaranya benar-benar memekakkan telinga. Moodnya spontan njeblok

Izack si pemilik wajah tampan di antara mereka, menoleh spontan karena merasa ada seseorang yang menatap dirinya dari jauh. Ia kaget jika itulah gadis yang sengaja ditunggu-tunggu dari kemarin, dan  gagal ditemuinya karena ia menolak menemui orang yang dianggapnya tidak ada kepentingan apapun.

Lelaki berkulitan tebal kecoklatan tiba-tiba saja menghentikan petikan gitar klasiknya sambil berkecap.

"Lihat adik-adik kita sekarang menyedihkan" ujar Hendrik melihat Chika yang berkutat pada perbukuan dan serius mencatat

Diam-diam Izack mencuri pandang dan memastikan bahwa gadis yang dilihatnya adalah gadis yang ia tunggu-tunggu kehadirannya beberapa tahun silam. Ia berniat mengambil beberapa foto gadis itu dengan kamera handphone dan mencocokkan dengan gadis yang diguyur di basecamp AMI 2 tahun yang lalu.

"Tiap hari kegiatannya kampus kost, kampus kost. Padahal dulu dia jurnalis muda di kampus kita lho. Tulisannya sangat tajam dan kena banget. Makanya kita tarik ke AMI" kata Hendrik lirih bernada kesal

“Tugas mereka sekarang di kampus, padat Bro! Nggak seperti jaman kita dulu” kata Leo

“Sekarang proyek untuk mahasiswa di kampus juga banyak. Jadi jangan heran, mereka lebih sibuk ngurus dunia akademik yang melangit itu dibanding dunia nyata"

"Meskipun ketika lulus, mereka bingung cari pekerjaan"

Sementara yang lain sibuk ngobrol, diam-diam Izack mencari sisi lebih jelas mengambil gambar gadis itu dengan kamera smartphone nya dan nge zoom hingga di titik terdekat.

Saat rambutnya tergerai lepas dari karet kucirnya, saat itulah Chika sadar ada seseorang yang tengah mengambil gambar dirinya. Tapi tetap saja ia berusaha cuek tak menghiraukan tatapan mata lelaki itu. Ia pikir, mungkin dugaannya salah.

"Ah... yang lagi galau cari pekerjaan" ujar Izack berusaha masuk dalam obrolan mereka setelah berhasil mengambil beberapa gambar

"Kamu nggak tahu, emakku jual ladang hanya untuk biaya kuliahku di Jawa"

"Dan sekarang kau masih bisa kongkow-kongkow enak di sini, sementara mamak bapakmu susah payah di ladang, ya?" cletuk Hayes yang diikuti tawa Izack yang sesekali curi-curi pandang gadis di balkon.

"Hey... kau jawa, enak... menikmati hasil pembangunan dari eksploitasi tanah kami" ujar Hendrik nggak mau kalah

"Sudah sudah..." 

"Memikirkan negara, makin hari makin runyam"

"Itu karena kebebasan pers, coba seperti jamannya Orde Baru"

"Ahai... kau nggak tahu jamannya presiden ketiga kita, masih bisa ngomong begitu"

"Jamannya beliau, sekali ada yang buat masalah, itu orang bisa dipastikan pagi mayatnya sudah tergeletak di jalanan"

"Iya, tapi sisi lain kan memang suasana jadi terkendali"

"Aku melihat kondisi negara seperti ini, jauh-jauh hari aku mengkondisikan diri bakal loncat keluar negeri" kata Acit dari jurusan Design Grafis

"Jiwa Nasionalismu payah, Acit"

"Lah?! manusia kan memang begitu toh, kalau dihadapkan dengan kondisi terjepit. Dua kemungkinan, dia akan melawan atau lari"  

"Terus di sini ini kita untuk apa, kalau berpikirmu seperti itu, Acit..."

"Nggak perlu Nasionalis buta lah. Perubahan itu terus bergulir Bro"

"Dari kesimpulan Skripsinya Reza tentang masyarakat dunia apa coba?"

"Ada kemungkinan bahwa satu saat mungkin kita ini tidak akan ada lagi yang namanya pemerintah"

"Kok bisa"

"Karena adanya negara dibawah pemerintahan itu hanya membuat perang dunia pecah berkali-kali"

"Lha terus?"

"Lalu siapa yang menggerakkan?"

"Korporasi lah"

"Kelemahannya sebuah pemerintahan itu kadang hanya untuk memoderasi sekelompok orang untuk menggoalkan kepentingannya dengan berbagai cara"

"Bisa jadi sih, lihat fenomena diaspora masyarakat dunia hampir merata" 

"Kalau bicara soal Diaspora, sebenarnya diaspora orang Indonesia di luar negeri juga banyak lho," ujar Izack cool down

"Jadi kalau dibilang ancaman. Yah.. bisa iya, bisa tidak"

"Tapi menurutku itulah yang dinamakan dengan Perubahan, mau nggak mau, suka nggak suka, enak nggak enak, harus dihadapi"

"Bisa saja negara berkuasa penuh mengendalikan rakyatnya, tapi nanti akhirnya seperti yang terjadi di Korea Utara atau China"

"Memangnya kalian mau...?"

"Kita ini termasuk bangsa yang maju, kau bilang itu terjadi hanya di Jawa"

"Lihat di kota-kota daerahmu, seberapa banyak anak mati karena busung lapar. Kalaupun ada, sekali viral, pagi itu bantuan sudah ngalir"

"Itu artinya apa?"

"Dengan budaya kita yang suka tolong menolong, ditambah jumlah masyarakat menengah ke atas semakin bertambah banyak. Tanpa turun tangan negara, cukup kok, kita mengcover kebutuhan rakyat yang kekurangan. Bahkan mungkin lebih"

"Bahkan ada yang bilang, kita bantingan untuk membayar hutang negara, sebenarnya lebih dari kata sanggup "

"Tapi masalahnya, hari gini siapa yang bisa dipercaya untuk mengelola. Lalu akankah negara hutang lagi jika hutang sebelumnya berhasil kita lunaskan"

“Nah itu dia!”

"Posisi kita ini sebenarnya posisi yang strategis, karena kita bisa turun ke ranah akademik, ranah hukum, maupun ranah publik" 

Entah sejak kapan Chika bertopang dagu memperhatikan gaya khas Izack menceramahi anak buahnya. Ia tersenyum sinis melihat lelaki itu terus bicara yang membuat Izack sadar ada seseorang yang sedang menatapnya dari kejauhan. 

Chika baru sadar ia sama-sama saling menatap. 

Chika yang berusaha mengalihkan perhatiannya dengan membuka buku, tiba-tiba saja tumpukan buku di atas dinding teras itu tersenggol sikunya dan jatuh berhamburan menjebol kanopy lantai dibawahnya yang sebenarnya memang sudah rapuh. Ia menatap kesal pada Izack yang menelan tawa geli menatap dia kaget.

Diam-diam Izack tengah menyembunyikan tawanya melihat Chika kalang kabut lari menuruni tangga memunguti buku-bukunya.

Hampir saja ia menenggelamkan seluruh wajahnya ke dalam kerah kaos turtle necknya yang cukup tebal, tapi tiba-tiba Hendrik dan lelaki tinggi dengan alis tebal itu muncul ikut memunguti lembaran-lembaran halaman buku yang terlepas dan puing-puing kanopy yang sudah lapuk.

Itu semacam tontonan bagi penghuni kost-kost'an sekitar. Hendrik yang menyadari dirinya jadi tontonan langsung kembali berdiri.

"Hei! lihat apa kalian!!"

Diam-diam Izack mendekati Chika setengah membisik.

"Ini kan?? hasil kau menertawakanku tadi" sindir Izack menahan tawa

Chika diam menahan pandangan lelaki itu dengan bibir beradu kesal. Ia merebut kertas yang ada dalam genggamannya yang hanya disenyumi Izack.

"Hei Bang, mahasiswa seperti kalian itu tahu apa soal nasib rakyat?" bisik Chika

"Tahu nggak sih? telingaku itu gatel dengar kalian demo-demo nggak jelas?"

"Bahkan kadang demo titipan. Malu kalau aku Bang, mending balik kampung aja netek ibumu tuh" 

Spontan Izack tertawa ngikik dengar kata-kata terakhir yang membuat Chika lagi-lagi melotot kesal.

Dari jauh mereka seperti tengah berembuk. Termasuk teman juniornya yang tengah memainkan gitar mendadak enghentikan petikan gitarnya saat melihat orang yang dianggap nomor satu di AMI mendekati gadis yang dianggap kampus misterius..

"Sejak kapan dia peduli sama cewek?" ujar Hayes heran

"Mantap…! si Bos kita ini memang mata elang," Beny tertawa cekakaan  

"Tapi serius, cewek itu tuh aslinya cantik loh,"

"Iya seh.. tapi"

"Itulah maknanya cantik natural, Bro!"

"Rupanya begitu ya selera pak Bos? Hmm??"

Hayes senyum-senyum isyarat pada Hendrik yang tengah memperhatikan keduanya.

 

Seperti ada yang nyangkut dalam pikirannya, Izack diam menatap lurus Chika yang masih memunguti buku-bukunya yang sebagian robek dan rusak.

"Oh, dia bukan cewek biasa," pikir Izack melihat gerak gerik Chika yang menahan malu

"Ngapain lihat-lihat!" Chika risih tatapan lelaki ganteng, sebelum akhirnya kaget bukan main begitu mendengar suara serak lelaki tua yang selalu memakai celana kolor pendek tanpa kaos, dengan perut selalu bergelambir.

Wajah gadis itu spontan pucat yang langsung terbaca Izack. Lagi-lagi ia mengulum tawa geli melihat kecemasan di wajah gadis di depannya. Namun ia masih terpasung oleh lesung pipit di kedua pipinya saat ia berusaha tersenyum sekalipun perlahan berubah senyum masam memperhatikan Hendrik  mengalihkan perhatian pak kost yang mulai ngomel. 

"Ooohhh!" batin Izack terpesona

Ia berusaha menyingkirkan ukiran senyum wajah gadis itu dengan cara mengalihkan perhatiannya pada pak kost.

Leo dan Hayes yang masih memperhatikan gerak gerik Izack sedikit geli dan mengambil beberapa foto di kamera DSLR yang tengah ia pegang. Obrolan mereka sejenak terhenti begitu melihat pak kost yang mulai memaki gadis tersebut.

“Bayar kost-kostan selalu telat, listrik selalu nunggak, sekarang ganti pecahkan kanopy. Kalau besok nggak bisa ganti, kamu tak usir dari sini mbak!” suaranya meledak membuat seluruh penghuni kost tersedot perhatian pada mereka.

Melihat tangan gadis itu mulai gemetaran, Izack merebut setumpuk buku dari dekapannya, Sementara Hendrik membisiki Chika untuk segera masuk. Tapi gadis itu justru seperti menjadikan dirinya tumbal kemarahan pak kost, sekalipun berkali-kali menahan air matanya tumpah. Pada akhirnya jatuh juga membuat Izack makin iba.

Tak ada teman perempuan satupun yang berani mendekat saat itu, bahkan Heni pun cenderung tidak mau ikut campur. Dan kini semua orang menghujaninya dengan tatapan tak suka pada Chika. Hanya Izack yang kemudian maju, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, tak tega melihat tangan Chika yang sudah gemetaran.

Entah apa yang dibicarakan mereka berdua, tak lama kemudian pak tua pun pergi sambil menepuk pundak Izack yang lebih tinggi darinya dan menatap Chika penuh kebencian.

Chika melotot melihat lelaki itu mengeluarkan uang segitu banyak diberikan pak kost, sementara Leo dan Hayes melongo memperhatikan pak kost yang pergi melenggang begitu saja meninggalkan kebekuan suasana pagi itu. 

"Itu orang, gendeng. Kenal juga enggak?"

"Biarin aja... orang dia sudah nggak butuh uang"

"Nggak mungkin kalau nggak ada niat tersembunyi" lirih Leo senyum-senyum teringat beberapa hari yang lalu saat melihat juniornya dilirik teman satu lettingnya.

"Lihat apa kalian?!!!” bentak Hendrik melotot pada teman kost putri yang masih memandang aneh Chika menekan perutnya sembari nyengir kesakitan.

Gadis itu tak berkutik, ia bahkan merasa harga dirinya jatuh tersungkur begitu tahu lelaki yang diejeknya memberikan ganti rugi kerusakan kanopy.

"Bang, jangan sok jadi pahlawan kesiangan" nada suaranya tersendat-sendat menahan sakit yang hanya disenyumi Izack saat melihat tangan gadis itu gemetaran

"Chika, kamu ini aneh. Harusnya kamu ini berterimakasih sama Izack, bukannya memarahi dia"

"Apa urusanmu Bang, ikut campur urusan orang lain"

"Oooorgghh... beneran kamu ini keras kepala ya"

"Itu pak kost kalau nggak disumbat uang sama Izack, kamu bakal jadi tontonan mereka. Ngerti kamu?!" bentak Hendrik yang membuat nyalinya sekilas menciut

"Iya aku tahu. Tapi itu lebih baik daripada harus melunasi uang sebanyak yang dia berikan ke pak Kost!!" ujarnya gemetar bercampur marah

"Itu Kanopy memang sudah rusak, kalau mengganti dengan baru, gila apa aku?"

"Pantas saja kamu tidak punya teman kalau watakmu keras bukan main seperti itu" pupus Hendrik menarik nafas panjang melangkah balik kehabisan akal pikir

"Dari tadi yang suruh ganti uangku itu siapa, Non..." cletuk Izack yang spontan menghentikan langkah Hendrik mengernyit aneh

Chika diam menarik nafas panjang seakan meneguk sejuta kesabaran di langit

"Sudah, tolong kasih nomor rekeningmu saja, Bang" ujar Chika tak mau bertele-tele sembari membungkuk menekan perutnya makin keras

Membaca gerak-gerik Chika yang sesekali nyengir kesakitan menekan perut, Izack merasa ada sesuatu yang tak beres dengannya. Tapi melihat sikapnya yang keras kepala, ia hanya diam mengikuti apa yang dia mau.   

"Okey,"

"Kasih aku nomor telphon yang bisa dihubungi saja, aku kirim via messenger" pinta Izack memperhatikan wajah Chika mulai pucat

"Aku tidak ada nomor telphon"

"Jangan bohong, mana ada penulis freelance nggak punya nomor telphon"

"Dug!!" Chika merasa terpukul begitu lelaki itu tahu dirinya

Ia tak mau berpikir panjang

"Oke, aku ambil kertas dulu sama bolpen"

"Hari gini mencacat nomor telphon pakai kertas?" cletuk Izack sengaja membuat kesal gadis di depannya

Merasa kondisi tubuhnya yang sudah lemah dan kesakitan luar biasa, ia tak peduli lagi dengan kata-kata lelaki itu. Bahkan saat hendak menaiki tangga karena ketidaksabarannya, ia sempat jatuh tersungkur membuat beberapa orang tertawa yang tak ia pedulikan lagi meninggalkan senyum miris Izack dengan masih membawa tumpukan buku di gendongannya.

"Huuuuu....!!"

Hendrik tertawa lebar "Dasar kau ya"

Izack hanya tersenyum lebar melihat teman-temannya berceloteh sembari memberi isyarat pada dirinya.

"Mantappp...! Trikmu memang joss, Bang" celoteh para juniornya ramai

"Apaan nggak mutu!" cletuk Hendrik

"Dibawa naik saja Bang, buku-bukunya" kata beberapa anak kost perempuan yang sekilas respect pada dirinya membawa setumpuk buku milik Chika 

"Memangnya boleh, cowok masuk?"

"Boleh kok,"

"Serius?!" seperti tengah mendapatkan angin segar, Izack memberi isyarat pada Hendrik untuk menunjukkan arah sembari membawakan buku-bukunya yang robek.

Spontan Hendrik tertawa "Pinter kali kau ini?!"

"Jangan salah, aku cuman mengikuti kehendak dia saja, kan?" Wajah Izack menyimpan tawa lebar kemenangan

Sesampai di depan kamarnya, gadis itu tengah jongkok di pintu sembari nyengir kesakitan.

"Di sini kamarmu?" kata Hendrik yang spontan membuat Chika berdiri dengan keringat bercucuran di dahi.

"Oh!" Chika melotot bingung campur grogi membenahi kamarnya

"Berat ini," ujar Izack membopong buku-buku tebal dalam dekapnya

"Oh, letakkan situ saja" tunjuknya pada bibir pembatas teras yang hanya setinggi paha 

"Nanti jatuh lagi kena kepala temanmu" kata Izack yang membuat Chika tersenyum pasrah

"Cowok boleh masuk, kan?" tunjuk Hendrik meletakkan buku yang di ambil alih dari tangan Izack

"Eeehhh...?!" suaranya gugup melirik kamarnya yang masih berantakan, tapi Hendrik langsung masuk meletakkan tumpukan buku-buku itu di sebelah pintu. Riwa-riwi teman-teman kost di depan kamarnya yang sempit membuat Izack yang masih berdiri terpaku di depan kamar risih memposisikan diri hingga mengajaknya turun.

Apalagi melihat postur tubuh Izack yang atletis dan wajahnya yang tampan membuat teman-teman ceweknya yang centil sengaja lewat menyapa Chika yang dianggap misterius selama ini 

"Chika, boleh dong... kenalkan seniormu" nada genit dua orang cewek centil dengan baju tank top yang membuat Izack risih dan menerobos masuk kamar Chika

"Temanmu kok serem-serem gitu?" cletuk Izack yang spontan ditertawakan Hendrik

"Makanya kalau punya wajah itu jangan ganteng-ganteng, repot kamu ketemu cewek seperti itu"

Saat berdiri di depannya, Chika mesti mendongak lebih tinggi. Padahal ia menganggap Hendrik sudah termasuk cukup tinggi dibanding seniornya yang lain. Kali ini ia berusaha mengingat wajah di depannya yang tak asing dalam benak memorinya. 

"Tapi siapa...?" pikirnya makin melilit rasa sakit di perut

"Tulis sini nomor rekeningmu, Bang" ujarnya nyengir kesakitan

"Aku minta nomor telphonmu saja, ada nomor massanger, kan?"

Chika nyengir tidak enak "Aku... tidak ada" suaranya parau tersendat menekan rasa nyeri di perut yang muncul tenggelam bagai ditusuk-tusuk jarum. Tapi lagi-lagi melihat sekilas mata bulat beralis tebal di depannya membuat memorinya kembali terusik. Namun untuk mengingatnya, ia merasa sudah tidak kuat hingga duduk bersimpuh sambil meringis kesakitan menggigit bibir bawah dengan keringat dingin mulai menetes di punggung dan wajahnya. 

"Kenapa ini orang tidak segera pulang" pikir Chika kesal berharap bisa segera tiduran  

"Handphone ku hanya bisa untuk kirim pesan dan telphon saja kok, Bang" ujarnya menunjukkan ponsel batangan kecil keluaran tahun 2000an awal

"Oh...?!!"

"Lalu bagaimana dengan tugas kuliahmu?"

"Heni sekelas denganku, biasanya dia yang kasih info apa-apa dari grup" ujarnya nyengir membenamkan wajah ke pangkuannya dengan posisi bersila

"Oh, begitu,"

"Sudah, nggak apa-apa, nomormu saja. Tapi selalu hidup, kan?

"Insya Allah lah..." suaranya dalam pangkuan dan hanya menyodorkan nomor kontak di handphonenya

Izack sadar begitu jarinya tersentuh dengan jari Chika yang kepalang beku.

"Kenapa kamu?!"

Hendrik masih terkesima dengan tulisan-tulisan di dinding tidak begitu peduli dengan keduanya.

 

Kita adalah pemilik masa depan, kencangkan ikat pinggang untuk menang.

Kami sejajar dengan yang lain, tegapkan punggung untuk melihat segalanya lebih luas dan dalam. 

Katakan Aku Bisa

 

"Kamarnya anak cerdas sama mahasiswa reguler itu memang beda ya," puja Hendrik menurunkan pandangan pada Izack yang melotot kaget penuh isyarat pada Chika yang sudah tak berkutik meringkuk kaku dan dingin

"Kenapa dia Bro?" Izack merasa bersalah 

Hendrik melotot "Chik, Chika! kamu tidak apa-apa kan?!"

Kali ini Chika sudah tak lagi bersuara, tubuhnya terhempas jatuh meringkuk ke samping sembari menjerit dalam. 

"Bagaimana ini?!" 

"Bawa ke Rumah Sakit saja!" 

Hendrik terdiam sejenak menatap Izack dalam.

"Sudah! biaya belakangan"

Tanpa berkata lagi, Izack langsung mengangkat Chika yang meringkuk kaku berkeringat dingin. Bahkan saat diangkat, ia menjerit kesakitan menekan perutnya yang sudah tak mampu membuka mata. 

"Kenapa, Bang?!" isyarat Heni dengan wajah manisnya menunjuk Chika dalam gendongan Izack

"Entah"

“Ringan sekali badanmu?”

“Apa kamu nggak pernah makan, huh?!”

Chika mendengar kata-kata Izack yang lirih sudah tidak mampu ia tanggapi, bahkan ia hanya melihat sekilas dagu lelaki tersebut yang nyaris sempurna. Dalam kondisi koma, ia sempat terbayang peristiwa dua tahun yang lalu dimana lelaki itu muncul dan menawarkan senyum kepadanya. Tapi ia tidak ingat peristiwa itu kapan terjadi dan dimana, semua bercampur aduk dengan rasa sakita yang sudah tidak mampu ia tahan.

Setengah berlari Izack menuruni anak tangga. Ia tak menghiraukan tatapan anak kost di ruang tamu, bahkan ada suara sumbang yang terdengar sayup-sayup.

"Haduuu...h lebay amat itu anak, baru dimarahi begitu saja sudah sakit," mendengar cletukan itu Hendrik yang berjalan di belakang Izack menuruni anak tangga seketika berurat 

"Hei mbak! Tahan kata-katamu atau aku sobek mulutmu!" 

"Hei... Bro-bro!! Tolong bukakan pintu mobil aja!!" isyarat Izack tergesa-gesa

Tatapan sinis benar-benar nyolok mata. Dan Chika sudah tidak sanggup melihat semua peristiwa itu. Setengah lari Hendrik menuju tempat parkir yang tepat berada di sebelah kost putri.

Spontan ia menjerit kesakitan begitu digeletakkan di jok belakang.

“Aaaakkkhhhh!!!” jerit lengkingnya kesakitan

"Bang... ke puskesmas saja. Aku maag" suaranya lirih nyaris tak terdengar.

"Apa Chik?" 

"Pus. kes. mas..." suaranya tersendat sendat nyengir kesakitan

"Apa katanya?"

"Puskesmas saja,"

Izack menggeleng kesal. Ia tak menghiraukannya lagi dan menggeber laju kendaraan secepat maglev yang beberapa kali nyaris menabrak kendaraan lain. 

Begitu sampai di depan ruang loby Rumah Sakit, beberapa perawat sigap membawakan kursi roda. Tapi melihat gerak Chika yang lambat dan sempoyongan, Izack tak sabar seketika mengangkat gadis itu yang langsung digladak perawat yang berlarian mendorong ke salah satu bilik bertirai.

"Salah satu masnya urus administrasi" ujar perawat sambil cek kondisi tubuh yang tak lama datang dokter nyaris berlari.

"Oke Bro, tolong kamu ikuti dia" ujar Izack pada Hendrik sembari berjalan cepat menuju ruang administrasi.

 

@@@

 

20 menit kemudian

 

Di balik bilik bertirai, Chika yang masih terdiam dengan keringat dingin pucat menahan sakit, hampir saja ia tak kuat bersuara, apalagi berbicara.

"Maaf ya mbak..." ujar dokter membawa stetoskop. Chika setengah malu membuka perutnya. Tapi Izack dan Hendrik langsung paham, ia mengalihkan pandangannya.

"Sejak kapan sakitnya, mbak?" tanya dokter sambil meletakkan stetoskop ke sekitar perut

"Sudah biasa saya begini, dok?!"

"Biasanya hanya berapa menit sembuh, tapi tidak tahu ini kenapa.." nafasnya tampak tersengal-sengal menahan rasa sakit

"Tidak apa-apa kan?" tanya gadis itu tak sabar menahan keringat dingin

"Tolong cek semua saja dok," ujar Izack tanpa ragu

"Weikkk?!!" Hendrik melotot memalingkan wajahnya pada teman lamanya yang disambut demikian juga oleh Chika yang mulai marah, hingga ia kembali melengking kesakitan. Dan Izack tak menghiraukan tatapan tajam gadis itu. Ia justru menjalin komunikasi dengan dokter muda tersebut sembari menggiringnya keluar.

Bayangan biaya semakin membengkak membuat Chika makin tegang dan makin kesakitan hingga beberapa kali terdengar merintih-rintih.

"Okey, kita akan CT- Scan nanti Mas. Karena jika dilihat dari gejala, ini bukan hanya Maag. Tapi harus puasa dulu dari sekarang" ujarnya sembari memastikan semua dan keluar bersama iring-iringan beberapa perawat.

"Siap dok,"

Chika mendelik,

"Kira-kira berapa nanti biayanya dok, kalau CT Scan?" katanya sembari hendak bangkit.

Izack menghempas nafas kesal mendengar pertanyaan itu sembari langsung menahan pergelangan tangannya agar tetap tertidur.

"Akhhh...." pekiknya lagi melengking kesakitan menahan perut

"Asal kamu sehat, biaya bisa dicari, Chika" ujar Hendrik

"Semoga ada jalan yang terbaik biar kembali sehat, ya mbak.." ujar dokter sembari pamit dan berlalu meninggalkan bilik bertirai ruang UGD.

"Yang ditanyakan apa... jawabannya apa...?" matanya memutar kesal

Saat rombongan dokter dan perawat pergi, raut Chika spontan bersungut-sungut. Ia berusaha bangkit berniat bangun dari bed besi putih. Tapi lagi-lagi ia kesal dengan rasa sakit yang membuatnya nyaris pingsan.

"Chika!" teriak Izack dan Hendrik melihat gadis itu hendak turun. Tapi perawat sigap menahan tubuh Chika yang hendak limbung oleh keseimbangannya dan mengembalikannya ke atas bed.

"Sing sareh ya mbak... biar sakitnya disembuhkan pak dokter dulu"

Spontan Chika menangis tanpa suara, kecuali isak tangisnya yang berusaha ia tekan dengan mengusap air mata yang berulangkali berhasil ia bendung.

“Buruan mbak," pinta Izack tak sabar melihat dua orang perawat memasukkan suntikan ke dalam pembuluh darahnya, hingga akhirnya mereka menggladak bed ke salah satu bilik kamar rawat inap VIP.

Chika tampak menghela nafas kesal begitu masuk ke kamar dan melihat ruangan yang tidak terlalu luas, namun cukup lengkap dengan barang elektronik dan dua sofa tempat tidur penunggu. Begitu melihat kedatangan Izack, Chika bersungut dan melengos kesal. 

Ia menelan saliva kesal sembari menahan rasa sakit perut berusaha mengambil posisi duduk.

"Bang," ujarnya kehabisan kata-kata

"Aku nggak main-main" 

"Keluarkan aku sekarang juga dari sini"

"Aku sudah biasa sakit seperti ini" katanya berusaha bangkit dari bed

"Gubrak!!!!" badannya jatuh terhempas, kepala terbentur bibir besi bed membuat selang infus pun ketarik hingga terlepas membuatnya melengking kesakitan 

"Akhhh!!!" Nyaris saja gadis itu hilang kesadaran menahan antara rasa sakit hebat dan rasa cemas berlebihan. Saat itulah ia seperti pasrah dalam diam sembari menitikkan air matanya perlahan yang seketika itu dihapus. 

Izack lari keluar dan kembali masuk dengan diikuti dua orang perawat yang tergopoh-gopoh membawa peralatan mengangkat Chika kembali ke atas bed dengan bantuan Hendrik.

"Sabar mbak..." ujar perawat mulai membuka dialog mencoba menenangkan Chika 

"Obat penenangnya sudah masuk, kan?" tanya Izack

"Sudah kok, sudah" jawab perawat

"Kapan terakhir kali mbaknya makan?"

"Aku puasa mbak"

"Oh... bagus kalau begitu, kita langsung tunggu antrian di ruang CT Scan saja"

Izack mengangkat ponselnya keluar.

Begitu Izack keluar, Chika mulai ngomel.

"Bang... aku kuliah saja kudu kerja mati-matian cari biaya, ini kerusakan tadi belum aku bayar, sekarang masuk Rumah Sakit di ruang seperti ini, memangnya aku harus jual ginjal buat bayar hutang?"

"Sini! berapa to? harga ginjalmu?" suara itu membuat Chika spontan kaget

"Biar sehat dulu, nanti kalau mau jual ginjal urusan belakangan" cletuk Izack yang disambut tawa Hendrik seketika

"Kamu ini, Zack. Ada ada aja"

"Lha iya? aneh-aneh aja kok. Sakit ya ke Rumah Sakit"

"Kalau mau bunuh diri jangan nanggung begini, sekalian ke Timur Tengah sana, biar jasadmu nggak sia-sia kalau mati" ujar Izack kesal membuat Chika langsung bersungut menekan perut yang disambut tawa geli Hendrik 

Rautnya langsung mengkeret begitu Izack dengan percaya dirinya langsung duduk di sofa sebelah bed. Ia bahkan tak berani menatap langsung lelaki yang baru pertama kali ia lihat dari dekat.

"Bang? sebenarnya ada niat apa kamu mengantarku kemari?" kata-katanya tersendat keceplosan membuat Hendrik senyum-senyum meninggalkan ruangan itu.

“Silahkan selesaikan urusan kalian, aku cari makan dulu” 

Jujur saja sebenarnya Chika sempat tersanjung saat dibopong lelaki dengan rambut lurus disasak rapi terbelah oleh poninya yang hampir menutupi sebagian alis matanya yang tebal. Tapi ia sadar diri, siapa dirinya, dan siapa lelaki di hadapannya. Ia hanya tak ingin salah paham dengan perasaan sejenak tadi.

“Siapa sih aku? Mahasiswa kere yang mengais receh demi selembar ijazah di kota pelajar” pikirnya menekan perasaan yang nyaris saja melambung.

Melihat Chika kesulitan bangkit, Izack segera menekan tombol ranjang hingga posisi duduk membuat Chika kembali terpesona dengan kebaikannya. 

"Bantuanmu bisa jadi malapetaka kuadrat bagi kehidupanku, Bang"

"Maksudnya saat kamu pingsan tadi, harusnya kita tinggal pergi?"

"Atau... Saat kamu menjatuhkan buku-bukumu dan menjebolkan kanopy, kita diamkan saja, lanjutkan diskusi. Begitu?"

Chika terdiam seperti disekap mulutnya.

"Semua lelaki pasti akan menolong, Chika... Itu wajar" ujar Hendrik yang tiba-tiba muncul

"Yang tidak wajar itu menolong dengan biaya besar" bisik Hendrik senyum-senyum di belakang Izack 

"Bang! menolong dengan bantuan fisik, itu wajar. Tapi memasukkan aku ke Rumah Sakit dengan ruangan yang sebegini bagus, lalu harus CT-Scan, aku harus bayar dengan apa?"

"Hidupku sudah sulit, tolong jangan menjeratkku dengan kesulitan yang lain"

Izack diam sejenak menatap wajah putihnya yang pucat dengan rambut hitam kemerahan acak-acakan tergerai sebahu sembari membayangkan bagaimana kerasnya kehidupannya.

"Chika,"

"Pernahkah kamu sadar dengan tubuh fisikmu?"

"Dengan organ tubuhmu yang kamu paksa bekerja keras sampai terluka. Dan itupun kamu masih tidak mau peduli"

"Mereka itu juga makhluk Tuhan, loh!"

"Cukup!" 

"Aku tidak mau dengar ceramahmu, Bang.. Tahu apa kamu dengan kehidupan orang-orang seperti kami?"

"Iya... Aku memang tidak tahu"

"Tapi perlakuan fisikmu sendiri itu terlalu kejam"

Tidak tega mendengar orang sakit diajak ribut, Hendrik kembali keluar dan menutup pintu begitu saja.

"Kamu sadar tidak sih, kamu itu cewek hebat loh"

"Sejak Awan memasukkan naskah bukumu ke tempatku, aku sering baca artikelmu di mass media"

"Aku menolongmu bukan sekedar cuma-cuma, tapi karena aku melihat potensimu yang besar bisa dikembangkan lebih lagi. Apalagi naskah buku yang dulu pernah kamu kirimkan itu" ujar Izack meletakkan tablet dengan foto naskah buku.   

Sembari menyeka air matanya, Chika yang tertunduk melirik foto yang ditampilkan tablet di atas pangkuannya, spontan melotot membenjatkan mata.

"Sekarang aku tanya, dimana bukumu yang dulu aku minta ketik ulang itu”

“Kenapa tidak pernah kamu kembalikan?"  

"Inilah yang membuatku datang ke Yogya untuk menemuimu"

"Tapi kamu menolak menemuiku"

"Kapan?!" Chika kaget spontan mengerang kesakitan menekan perutnya 

"Aku minta tolong Heni untuk memanggilkanmu, tapi kamu menyuruhnya tutup pintu dari luar"

"Oh," rautnya merasa bersalah

Chika mulai paham alasan lelaki itu menolong dirinya, tapi ia masih belum paham. "Mengapa sampai sebesar ini pertolongan pada dirinya"

"Tapi melihatmu belajar serius seperti itu, aku merasa bukan waktu yang tepat untuk mengganggumu"

"Berarti?!"

"Hm! aku sudah tahu sedikit banyak tentang dirimu"

"Jadi, soal biaya Rumah Sakit aku punya jaminannya, sekalipun entah bisa terbit atau tidak"

Spontan Chika meraup wajah dan menenggelamkan wajahnya ke dalam lutut yang tertekuk ke dada. Izack yang hendak menepuk pundaknya langsung ditangkis tangan kecil itu.

"Sory! Aku nggak suka disentuh, apalagi lelaki" ujarnya dingin 

"Oh, maaf" Izack menyemburkan senyumnya dan meremas tangannya sendiri merasa bersalah

"Boleh menolongku, tapi tidak untuk kamu manfaatkan" 

"Cziahhh!!" Izack tertawa geli

"Baru kali ini aku lihat cewek dalam kondisi sakit, terpuruk, masih bisa juga menolak rengkuhan" pikirnya menarik nafas bingung sembari mengambil tabletnya.

"Luchika Aria" sebut Izack membaca naskah pada layar tabletnya

"Nama yang keren, se keren tulisannya" 

"Jangan salah, itu kakekku yang menulis, Bang. Aku cuma mengumpulkannya saja tulisan-tulisan beliau lalu merangkumnya"

Izack hanya menjulurkan alisnya dan berpaling menatap wajah Chika dalam.

"Siapa sebenarnya kamu ini?"

Chika berkecap melengoskan wajah dengan raut pucat menahan sakit yang datang dan pergi.

"Sudah aku duga, kamu nggak jauh beda dengan orang-orang yang menguntitku"

"Menguntit gimana maksudnya?"

Lagi-lagi Chika mengerang kesakitan

"Bang... tolong, aku nggak mau berdebat lagi denganmu. Sudah nggak kuat sakitku "

"Oh, sory-sory. Istirahatlah dulu. Kalau ada apa-apa, pencet tombol itu"

"Hm," Chika mengedikkan mata dan bergegas membaringkan tubuhnya yang dibantu menurunkan bed pada posisi tidur.

Saat itu Chika mulai memjamkan mata dan Izack pun meninggalkan ruangan itu dan menutup pintu

 

@@@

 

Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam, Chika yang baru saja kembali dari unit Radiologi, setengah berlari dokter masuk ke kamar Chika.

"Mbak, mbak.. sudah makan belum?"

"Belum dok,"

"Jangan makan dulu, nanti 30 menit lagi kita akan operasi. Ususnya ada yang robek"

"Duarrrrrrr!!!" serasa petir menyambar di kepala mendengar berita dokter

"Operasi kecil kan dok?"

"Ya operasi besar mbak..." balas perawat berasa seperti dicekik, 

Chika diam seribu bahasa dengan mata berkaca-kaca perlahan menekan air mata yang akhirnya tumpah juga sambil menghirup nafas dalam, ia tak lagi bisa merasakan rasa nyeri lagi. Bahkan jiwanya seperti melayang melayang, berharap ia sudah mati atau bahkan ini adalah terakhir kali melihat bagaimana hiruk pikuknya dunia.

"Jadi ususnya mbak ini ada yang robek dan harus dipotong untuk disambung lagi. Makanya mbaknya merasakan sakit luar biasa karena sisa makanan yang harusnya dikeluarkan justru keluar dari usus"

"Sudah ya mbak.. berdoa, persiapan dulu semoga operasinya berjalan lancar" kata perawat

Izack dan Hendrik diam terpasung.

"Oke Bu, terimakasih" ujar Izack yang tak lama kemudian rombongan dokter dan perawat itu keluar dari bangsal.

"Sudah.. tidak apa-apa.. yakin semua akan baik-baik saja" kata Izack tenang dengan wajah tetap optimis.

"Tidak apa-apa gimana?"

"Kamu pikir aku bayar pakai apa ini semua?"

Izack meraup wajah kecele menyimpan tawa

"Ahhh... lagi-lagi uang"

"Lha iya, memangnya mau dibayar pakai kertas hvs?" Cletuknya menahan suaranya berat tertahan di tenggorokan. Tapi kali ini si gadis benar-benar tidak bisa membendung pertahananya yang perlahan rapuh dan menangis sejadi-jadinya.

"Chik, Izack sudah membawamu kemari itu artinya dia sudah siap dengan segalanya. Termasuk biaya semua Rumah Sakit"

"Iya, tapi aku harus lunasi hutangku dengan apa?!" teriaknya dengan suara parau hingga tangisnya pun pecah sejadi-jadinya

“Andaikan uang itu bukan masalah, kamu tidak takut kan untuk di operasi?”

“Kalaupun Tuhan mau mencabut nyawaku, itu lebih baik daripada aku nggak bisa membayar tagihan hutangku yang sudah menumpuk banyak, Bang!”

"Apalagi naskah yang masuk ke penerbitannya belum tentu bisa diterbitkan"

“Hah..! Chika.. Chika!”

“Orang mau masuk ruang operasi itu biasanya takut karena peralatannya, tapi ini kamu masih sempat-sempatnya memikirkan biaya dan hutang” kata Hendrik geleng-geleng heran pada Chika yang masih keder dan itu membuat Izack hanya menyembunyikan senyumnya memperhatikan bibir gadis imut yang yang tipis makin terlihat seksi saat basah terkena cucuran air mata dan ingusnya membasahi wajah. 

Lagi-lagi saat kedua lelaki menatap hanya tersenyum geli membuyarkan kemarahan Chika.

"Sudah Non... tenangkan pikiranmu dulu, operasimu biar bisa berjalan lancer”

“Uang mah bisa dicari" tambah Hendrik

Saat itu dua perawat kembali datang mencoba menenangkannya.

"Ayo mbak, belajar tenangkan pikiran dulu ya. Kita berdoa semoga operasinya berjalan lancar dan baik" kata perawat sambil menggladak Chika keluar dari unit diikuti Izack yang berdiri di sampingnya, sementara Hendrik berjalan pelan di belakang mereka.

 

@@@

 

Malam kian terasa mencekam menunggu Chika selesai operasi. Izack juga tak tahu, mengapa hari-harinya mendadak terlalu spesial sekalipun ia tahu, Rumah Sakit bukanlah tempat terbaik untuk mengenal gadis ini lebih jauh.

"Kamu ini gila ya, kenal juga enggak. Berani-beraninya tanggung biaya Rumah Sakit"

Izack menarik nafas dalam sambil tersenyum "Aku tahu dia lebih banyak daripada kamu, Bro. Tenang saja"

Hendrik mengernyit "Darimana?"

"Adalah,"

"Ya... ya ya! Anak jendral memang lebih mudah mendapatkan informasi apapun, bahkan cewek yang sedang ditaksir sekalipun" Hendrik manggut-manggut bingung darimana dia mendapat informasi latar belakang tetangga kostnya

"Lalu, kalaupun tahu dia lebih banyak. Bukannya membantu biaya operasi di Rumah Sakit Internasional itu gila?" tanyanya heran memperhatikan wajah Izack yang masih tetap tampak tenang.

"Lagipula ada apa dengan wajahmu? sudah se larut ini matamu masih saja on dan segar" kata Hendrik heran

Seperti ada yang terbetik dalam ingatannya Hendrik melotot tertawa "Jangan bilang kalau kamu naksir dia sejak ulang tahunmu dua tahun lalu ya?" 

Izack diam tak menjawab, tapi dari pancaran sinar wajahnya ada senyum lebar tergambar.

"Beneran?"

"Plakkk!!!" Hendrik memukul pundaknya keras

"Aduh! apaan sih, sakitlah"

“Ya masak dari dulu kamu nggak paham juga?” kata Izack

“Seriuss?!!” Hendrik melotot tak percaya

Izack tetap diam tak menjawab sedikitpun

“Wuaahhhh…” bertepuk tangan

“Ternyata begini ya, cara kerja orang elit naksir cewek?” Hendrik manggut-manggut

Malam itu, di depan ruang operasi suasana terasa senyap dan kosong. Entah perasaan apa, tapi Izack enggan beranjak dari sana membuat Hendrik mondar mandir lelah menunggu.

"Ngomong-ngomong, keluarganya meninggal dalam peristiwa pembunuhan oknum tak dikenal itu berarti beneran?"

"Hm, Iya, ayahnya sekarang jadi eks tapol di Pulau Buru"

"Ouch... mantap bener, info yang kamu dapat"

"Dengar darimana?"

"Kami yang di Pusat, daftar anggota yang punya latar belakang khusus pasti bakal diketahui, Bro”

“Dan hari ini mencari data semacam itu bukanlah hal sulit”

“Mantap… kok bisa?”

“Bukankah keluarganya sudah meninggal semua?”

“Ah… hari gini, Bro! mudah itu”

“Tapi…???”

“Kami punya tim khusus”

“Bagaimana cara kerjanya? Datang langsung saja ke Pusat dan kamu bakal tidak akan mendapatkan apa-apa” spontan Izack tertawa cekakaan

“???”

“Rahasia?”

“Ya tentulah,”

“Sebenarnya seseorang ketika masuk AMI itu seperti membuka dirinya untuk dibongkar lebar-lebar profilenya”

“Berarti kamu tahu dong, latar belakangku?”

Izack hanya tersenyum lebar

“Tenang, itu sifatnya rahasia kok”

“Hanya orang-orang tertentu yang tahu?”

“Kemarin waktu Kongres Nasional pemilihan ketua umum, profileku terpampang luas ke daerah. Tapi begitu kongres selesai, data musnah semua di Situs AMI maupun laman pencarian internet”

“Makanya ketika kemarin aku menolong Chika, pikiranku sudah berkecamuk”

“Dan hari ini bener berita itu muncul”

“Terus gimana itu?”

“Cari saja di laman pencarian”

Hendrik kembali membuka isyu miring Izack di smartphonenya, namun tak satupun yang muncul.

“Oakhh… keren!”

“Bawahanmu yang bekerja?”

“Hari ini kalau kita nggak seperti itu, bisa mudah dibombardir orang luar Bro”

“Iya, benar juga ya?”

“Hm”

“Ohh… ternyata AMI tidak seperti organisasi politik mahasiswa yang aku kenal dulu ya?!”

“Makanya, ayok selesaikan kuliahmu. Kejar jabatan di pusat, cepat benar itu jika kamu ingin mendapatkan jabatan di jajaran pemerintah pusat. Karena senior kita juga banyak di sana”

“Tolong emakmu biar hidup enak dan bangga punya anaknya sukses di Jakarta”

“Ya… meskipun sikut menyikut tetap ada, Bro. Namanya juga manusia”

Sunyi.

Keduanya diam membisu seperti tengah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

“Bicara soal Chika, aku jadi ingat kata-katanya siapa dulu ya?” pikir Hendrik menerawang

“Ada yang ngomong begini; Di desa pamannya Chika itu ada hukum adat yang cukup aneh"

"Kenapa?"

"Jadi, kalau ada laki-laki yang datang bersama anak gadis desa itu malam-malam, bakal di gruduk warga desa dan dinikahkan"

"Ah, benar apa?"

“Benar!”

"Sepertinya Chika juga pernah menulis itu kok, di koran online"

"Oh iya, aku sempat baca yang itu"

"Sudah lama kan dia menulis itu"

“Hm”

"Waktu itu ada yang bercanda"

"Chika itu kan orangnya sulit"

"Jebak dia, ajak ke rumah pamannya saja malam-malam" tawa Hendrik terkekeh membuat Izack diam tampak tidak suka dengan perlakuan melecehkan seperti itu

“Iya, kamu dulu pernah cerita soal itu” kata Izack lagi

"Sesulit apa memangnya?"

"Pokoknya sulitlah, dia anaknya terlalu serius, tidak peduli soal orang lain”

“Waktunya hampir habis seharian untuk pekerjaan sampingan dan belajar serta kuliah, jadi tidak ada waktu untuk ngobrol seperti anak-anak mahasiswa lainnya" 

Hening,

Izack diam menyandarkan punggungnya membayangkan pertemuan dua tahun yang lalu, saat ia pergi begitu saja tanpa bisa mengenal lebih jauh, karena email dan pesan singkatnya tidak pernah dibalas sama sekali. Tiba-tiba Hendrik melirik curiga pada Izack.

"Ngomong-ngomong... Bener juga kecurigaan Chika sama kamu”

“Serius ini kamu?!”

Izack hanya senyum tak menjawab.

Begitu seorang dokter keluar dari ruang operasi, Izack langsung terbangun.

"Gimana dok?"

"Alhamdulillah operasi berjalan lancar mas,"

"Sementara ini kami bawa ke ruang sadar dulu, nanti saat dia bangun akan kami bawa ke unit perawatan"

"Ok, dok. Terimakasih"

Izack menarik nafas lega. Hendrik membaca raut itu seperti tengah menunggu istri sakit. Ia hanya menepuk pundak sambil tertawa geli.

"Sabar, Bro!" ujarnya sambil berlalu pergi 

“Kamu pernah dengar kasus di Pengadilan tidak sih?”

“Gara-gara seseorang mati serangan jantung di depan temannya, temannya dituntut di Pengadilan loh?”

“Ah… itu mah jauh”

“Loh, Bro!”

“Benar dia sakit sendiri. Tapi apa jadinya jika dia posisi kesakitan seperti itu kita tinggal dan yahh.. katakan sampai meninggal. Kita bisa dituntut lho, dikira dikasih apa coba?”

“Hm, jadi itu yang kamu pikirkan?”

“Ya iyalah!”

“Lalu kamu naksir dia itu, beneran?”

Izack menarik nafas panjang dan beranjak pergi dari tempat duduknya yang langsung dikejar Hendik mengikutinya dari belakang.

 

@@@

 

Saat adzan subuh terdengar, Chika kembali digladak masuk ke unit perawatan. Mendengar pintu dibuka, Izack langsung terbangun dan menyapa kedatangan gadis itu yang tergolek lemah dengan selang dipasang di sana sini. Melihat itu Izack menarik nafas miris melihat gadis yang dikenal keras kepala tergolek tak berdaya.  

"Ini puasa dulu ya mas, boleh minum nanti atas rekomendasi dari dokter" kata perawat sambil membenahi selang yang masih terpasang, termasuk tabung oksigen.

"Siap, Bu…"

"Aku tidur dulu, Bang… mataku nggak bisa melek" ujar Chika pada Hendrik yang seketika itu matanya terpejam erat.

“Oh, iya Chik. Istirahat saja dulu”

Pagi berganti siang, siang berganti sore, sore berganti malam. Gadis itu hanyamembuka matanya sesekali dan kembali terlelap, begitu terus menerus membuat Izack mulai khawatir.

“Itu reaksi morfin, Kak. Jadi biarkan saja dia istirahat dulu”

“Tapi tidak apa-apa kan, Sus?”

“Nggak apa-apa”

“Oh,” jawab Izack menghela nafas tenang

Hendrik hanya senyum-senyum sambil menepuk pundaknya.

"Selama lima tahun berteman denganmu, baru kali ini aku melihatmu secemas ini"

Izack hanya diam tak menimpali, ia kembali keluar dan menutup pintunya perlahan yang diikuti Hendrik. Entah yang ke berapa kalinya handphonenya berbunyi, hingga yang terakhir kalinya ia rubah hanya getar saja. 

"Kenapa tidak diangkat?"

"Teman-teman PB" 

"Kamu tinggalkan perusahaan beberapa hari tidak khawatir terjadi sesuatu kah?!"

Izack hanya menarik nafasnya dalam-dalam. 

"Tapi aku lebih khawatir kehilangan moment lagi dengannya seperti dulu" pikir Izack sambil menatap langit-langit lorong ruangan.

"Bisa tidak yah, minta tolong Hayes?!"

"Bro, kalau bisanya sih bisa... Untuk sekedar tunggu"

"Tapi masalahnya seluruh keputusan, kan larinya ke biaya Rumah Sakit"

"Tentu saja mereka pikir-pikir kalau berkaitan dengan biaya Rumah Sakit"

"Ah.. itu, tidak usah dipikir lah. Itu tanggung jawabku"

"Sampai sekarang teman-teman kost belum aku jawab, pertanyaan mereka" 

"Ngomong-ngomong... aku sudah lapar nih. Ayoklah makan dulu" pinta Hendrik

"Ayo" Jawab Izack mengikutinya sembari sibuk menjawab pesan-pesan yang belum terbalas sambil melenggang keluar menelusuri lorong-lorong ruangan yang terasa senyap.

 

@@@

 

 


 

9

Itu Aku

 

Matahari kembali tenggelam, dan lampu pun mulai kembali menyala. Chika mulai menahan rasa haus yang luar biasa di saat mulut benar-benar kering tanpa saliva. Tapi dokter baru memberinya resep berupa air 50-75ml dalam 1×24jam.

Hingga di pagi buta ia tidak tahan lagi melihat sebotol air mineral yang tergeletak di nakas seberang bed nya. Setengah memaksakan diri ia berusaha bangkit dan mengendap-endap turun mengambil sebotol air mineral sisa milik seniornya. Ia tak lagi peduli milik siapa dan persetan dengan resep dokter. 

Ia hanya peduli pada tenggorokannya yang luar biasa gatal, dengan sisa-sisa lendir yang menyumbat dada hingga mulutnya yang kering. Ia hanya butuh sedikit air mineral untuk mengencerkan dahak itu agar bisa keluar mengurangi rasa gatal yang menyebabkan ingin batuk tapi khawatir dengan tekanan kuat di bekas sayatan lukanya dalam perban.

Ini bukan masalah ia bisa bernafas atau tidak. Karena meskipun sudah memakai tabung oksigen, tetap saja ia tidak bisa bernafas karena sumbatan lender di tenggorokannya yang terlalu banyak.

Sesekali ia colongan meminum sedikit air mineral di dekat bed nya hingga ia mampu batuk dan mengeluarkan lender berwarna hijau pekat seperti lumut membuat nafasnya kembali lega.

Hingga di suatu malam, ac yang dingin membuat tenggorokannya makin gatal dengan lendir yang makin menyumbat tenggorokan hingga ia kesulitan bernafas. Melihat sebotol besar air mineral bekas milik Izack, ia pun sudah tidak bisa lagi menahan untuk menenggaknya, dan diam-diam ia mengendap-endap turun dari bed di saat Izac dan Hendrik terlelap dalam tidurnya.

Dengan sedikit tenaga yang masih sempoyongan, ia mulai berjalan perlahan hingga memutar langkahnya arah ke kamar mandi. Tapi ia lupa dengan selang infusnya yang terpasang pada tiang, hingga ketarik dan menjatuhi kepala Izack.

"Auuchh!!!"

Seketika Chika mematung menggigit bibir merasa bersalah melihat Izack yang terbangun kesakitan mengusap usap kepalanya.

"Mau kemana?"

"Hehe.. enggak"

"Ke kamar mandi?"

"Iya,"

"Perlu aku tuntun?"

"Tidak perlu, aku sudah bisa sendiri" suaranya tegang

"Beneran?"

"Hm!" jawab Chika mengangguk yakin

Perlahan ia melangkah dengan dibantu Izack mengambilkan infusnya agar tetap lebih tinggi dari badan Chika beserta cairan drain.

"Beneran bisa sendiri?"

"Iya" jawab Chika yang hanya diawasi Izack sampai masuk kamar mandi 

Entah berapa menit berlalu, Izack dan Hendrik kembali tertidur. Saat itulah ia keluar mengendap-endap tanpa alas kaki dan...

"Ssseetttt!!!" sebotol air mineral sudah ada dalam genggaman tangannya 

Izack yang terbangun, melotot melihat Chika sudah menggenggam erat air mineral.

"Chika!! Tolong, jangan!" pekik Izack

"Sayang banget kalau terjadi sesuatu kamu harus operasi lagi"

Chika melotot tegang saat Izack turun dan berusaha menyadarkan Chika yang sudah kekeh mendekap botol  tersebut layaknya anak kecil yang ketakutan mainannya direbut. Dengan sigap Chika membuka tutup sebelum  akhirnya Izack merebut hingga terjadi tarik-tarikan dan air muncrat saat ditekan Chika dengan posisi mulutnya yang sudah terbuka, dan..

“Glekkk!!” air itu masuk tenggorokan yang disambut batuk keras membuat segelondong lendir hijau bercampur darah keluar dari tenggorokannya membuatnya lega

"Akhhh!! Segar…"

"Chika!!!!" Izack melotot kaget saat melihat air itu terteguk masuk ke tenggorokan

Hendrik yang terbangun bingung melihat dua orang itu saling menjepit.

"Tolong panggilkan dokter jaga, Hend!!"

"Uhukk!!" lagi-lagi suara batuk keras terasa merontokkan dahak di tenggorokannya menekan nyeri perut bekas jahitan

Izack melotot melihat air itu masuk ke mulut, sementara ia tersenyum lebar terasa lega.

"Kasihan ususmu, Chika!"

"Sia-sia saja operasi"

"Kamu mau sembuh apa tidak, hh?!!"

"Itu ususmu tidak boleh dilewati makanan dulu"

"Ingat Bang, ini bukan makanan. Tapi air... Hanya air putih"

"Itupun tidak akan sampai ke usus, hanya sampai tenggorokan"

"Iya tapi kamu tadi muntah kan?"

"Bang, organ pencernaanku itu bukan hanya usus"

"Iya, tapi,"

“Kamu belum tahu rasanya tenggorokan gatal karena dahak nggak bisa keluar gara-gara kering, kan?” 

Melihat kedatangan dokter jaga dan memberitahukan agar lebih berhati-hati, Chika justru memarahi dokter tersebut dan mengusirnya keluar dari ruangan.

"Aku tidak butuh ceramahmu, Dok"

"Pergi sana!!"

Hendrik melotot mendengar Chika mengusir dokter muda itu memberikan nasehat. Izack menarik nafas sesak dan meminta maaf pada dokter muda yang diiringi dua perawat cantik.

"Kalian tahu kan, air itu sumber kehidupan?!"

"Iya ususku bisa sembuh, tapi nafasku bisa bablas gara-gara sesak tidak ada cairan masuk sama sekali, bahkan ludah pun tidak ada" suaranya serak sambil berlalu kembali naik ke bed menarik selimutnya dan kembali tidur.

"Kan ada bantuan oksigen, mbak.."

"Dok, oksigen sama air beda dok!"

“O2 dan H2O, you know Dok?!”

"Iya, tapi usus mbaknya tidak boleh dilewati makanan dan minuman dulu"

"Dok, kamu tahu kan.. organ tubuhku itu bukan cuma usus"

"Setelah rongga mulut masih ada kerongkongan, setelah kerongkongan masih ada esofagus yang panjang, setelah itu barulah lambung, setelah lambung barulah usus!" teriaknya dengan suara serak. 

Entah apa yang dikatakan dokter jaga itu pada Izack, lelaki itu hendak mengikutinya keluar, tapi mendengar Chika kembali batuk, langkahnya pun terhenti menoleh pada gadis itu dan saat itupun dokter tersebut menutup pintu.

"Bang, tolong tisyu" pinta Chika pada Hendrik

Dengan wajah kesal Izack memberikan tisyu itu. Begitu melihat warna dahak hijau pekat bercampur darah raut Izack benar-benar kesal.

"Dasar keras kepala!"

"Bang, darah ini berasal dari tenggorokanku yang terluka bekas selang oksigen yang masuk ke tenggorokanku kemarin"

"Dan hijau ini, bekas kotoran pembersihan di perutku"

"Sok tahu!!" cletuknya bersungut

"Bang, ini badanku, yang tahu kondisi tubuhku itu aku, bukan dokter apalagi kamu"

"Hekkh!!!" Izack geram kesal beranjak keluar. Namun begitu mendengar Chika kembali menahan batuk sambil menekan rasa nyeri bekas jahitan di perut. Langkahnya pun kembali terhenti di depan pintu. Ia miris melihat gadis itu susah payah mengambil tisyu. Tak tega melihat adegan itu, Izack bergegas mengambilkan tisyu di seberang bed. 

Ia memijit-mijit jidat menekan kecemasannya begitu melihat dahak itu kembali hijau pekat. 

"Hah…!”

"Sesekali nurut perintah dokter apa susahnya sih?"

"Bang, aku minum air cuman sebatas basah sampai di tenggorokan, tidak akan sampai ke usus"

"Tidak boleh makan, aku sudah terbiasa lapar berhari-hari. Tapi kalau melarangku minum nafasku bisa tercekik"

"Kamu kan masih bisa pakai selang oksigenmu"

Chika menatap dalam

“Sudahlah, percuma ngomong sama orang Humaniora, nggak paham ilmu Biologi. Pergi sana" usir Chika membuat Hendrik menahan tawa geli melihat Izack, satu-satunya orang yang tak pernah kesentuh, justru diusir adek kelas yang tidak ia kenal sebelumnya.  

Izack yang terkenal sebagai lelaki diam dan tenang, dengan wajah kesal membanting pintu agak keras meninggalkan ruangan yang diikuti Hendrik.

"Sabar, Bro!"

"Aku kesal benar sama keras kepalanya"

"Andai itu laki sudah aku ajak gelut"

Hendrik senyum-senyum "Sayangnya itu orang yang kamu cintai kan?" 

"Apaan?!"

"Sudahlah... akui saja" Hendrik ngikik  

"Apa dia tidak punya teman di Yogya?"

"Kan sudah aku bilang, dia anaknya seriusan, dan jarang ngobrol. Setahuku ada cowoknya anak Hukum juga yang sering datang ke kost"

Mendengar kata cowoknya, raut Izack berubah datar tidak enak dan berubah seketika yang hanya ditepuk-tepuk pundaknya sembari berlalu meninggalkan dirinya memperhatikan gadis itu yang lagi-lagi kesakitan menahan batuk kering dari balik kaca pintu.

 

@@@

 

Saat pagi tiba, giliran visit dokter dan para perawat yang mengikutinya dari belakang. Entah bagaimana, tahu-tahu dokter itu masuk dengan senyum sumringah menyambut Chika yang masih terbawa rasa kesal.

"Gimana mbak? sudah tidak muntah lagi kan?"

"Tidak dok,"

Izack melotot, tapi Chika memberi kode untuk diam.

“Bersyukurlah mbak, mas mu ini orangnya perhatian sekali”

“Perhatian apaan? Kejem” cletuk Chika lirih melirik Izack yang melotot

"Dok, ini selang drain kapan dilepas?"

"Sabar mbak ya.. Itu masih banyak kotoran di perut yang harus dikeluarkan" tunjuk Dokter pada tabung drain berupa plastik yang digantung pada bed dengan kotoran masih sedikit berjalan dari perut. 

"Sudah bisa kentut?"

"Dari kemarin dok" jawab Chika kesal

"Buang air besar?"

"Selesai operasi, malamnya saya sudah bisa BAB, dok"

"Berarti ini hari ke keempat ya?"

"Ya sudah, kenapa tidak boleh makan dan minum?"

"Tolong Sus, beri bubur dan susu. Kasihan amat nggak dikasih makan" canda Dokter sambil senyum sumringah  meninggalkan ruangan

"Yes!!" lirik mata Chika mengejek Izack

Merasa tidak puas dengan pernyataan dokter, Izack langsung lari ke bagian perawat dan menanyakan perkara boleh makan dan tidaknya pada dokter bedah. Di sana ia bertanya cukup detil, hingga dokter tersebut senyum-senyum.

“Adeknya atau pacarnya, mas?”

“Calon istri, dok”

“Oh!” dokter itu melotot yang hanya ditinggal pergi begitu saja sembari menahan tawa

Ia kembali masuk ke bangsal, saat itu ia mendengar ucapan terimakasih pada Hendrik membuat dirinya seakan-akan tidak terima jika ucapan terimakasih itu ditujukan pada kawannya. Lelaki itu datang dengan mulut seakan terkunci rapat membuat Chika diam tak berkutik merasa bersalah. Ia menyebelahi Hendrik yang duduk di sofa sebelah bed. Pandangannya matanya lurus menatap Chika yang tak berani menatap dirinya.

"Aku yang capek membawamu kemari, kenapa kamu berterimakasihnya ke dia bukan aku?" ujar Izack membuat Hendrik spontan tertawa lebar disambut raut Chika bersungut

"Kalau aku berterimakasih ke kamu Bang... Bakal kamu ejek lagi" 

"Lagipula statusku kan hutang, bukan gratis. Iya kalau hutang tanpa bunga, lha kalau dengan bunga. Itu sama saja kamu mencekikku perlahan.  Jadi untuk apa aku berterimakasih ke kamu"

"Weeekhhh..." Spontan Hendrik tertawa terkekeh

"Kamu mau bunga dariku?"

"Bilang!"

Spontan Hendrik tertawa ngikik "Hmmm..hh!!" yang membuat raut Chika merah merona menahan malu campur bingung dan kikuk

"Lagipula, kalau bukan karenamu, ini juga tidak akan terjadi. Buku jatuh karena kalian berisik sekali" protesnya nggak mau disalahkan

Izack ngakak "Bukan karena berisik, kalii... tapi karena kamu memperhatikan aku, kan?"

"Czihh?!!" Chika merasa terpojok 

Tak bisa dipungiri, sebenarnya keduanya sudah mulai menyemai bibit-bibit cinta sejak pertama kali datang ke Rumah Sakit, bahkan sejak masih di kost-kostan. Tapi keduanya terlalu gengsi untuk mengakui satu sama lain, apalagi Chika yang merasa dirinya sebagai cewek, jangan sampai dianggap cewek gampangan. Meskipun ia merasa dirinya sebagai orang miskin, tapi harga diri sebagai seorang gadis harus ia angkat betul-betul jangan sampai jatuh ke pelukan seorang lelaki hanya gara-gara soal biaya Rumah Sakit.

"Haha... akui saja"

"Chika! Tahu tidak? Apa yang dia lakukan saat kamu di kostanmu? Diam-diam dia mencuri-curi fotomu dari bawah"

"Kata siapa?! " teriak Izack pura-pura

"Lihat saja itu handphonenya, paling masih tersimpan di galeri" riuh suara Hendrik yang berusaha dibungkam Izack membuat Chika tertawa terkekeh-kekeh

Suasana ruangan yang kemarin mencekam, kini kembali riang, dan Chika pun tertawa sembari menahan perut melihat keduanya berceloteh membongkar fakta Izack yang diam-diam naksir tetangganya sejak dua tahun lalu.

 

@@@

 

Dua hari kemudian 

Hampir satu minggu ketiganya bersama-sama dalam tawa dan tangis, tapi sejak dua hari yang lalu Hendrik mulai sering pulang ke kost-kostan sekedar menyelesaikan urusan tesis dan membawakan baju laundry milik Chika yang dibantu Heni.

Dan diam-diam kedekatan emosi pun mulai terbangun sejak Hendrik sering pulang ke kost, meskipun awal-awal keduanya merasa kikuk dan canggung. Tapi Chika tak kurang akal, dengan berbagai cara ia menekan rasa canggungnya menjadi obrolan ringan, hingga membenahi perasaannya mejadi datar.

"Bang, ngomong-ngomong soal bukuku, kok bisa sampai ke tanganmu?"

“Bukannya itu di tangan Bang Awan ya?”

"Hm, Awan tidak berani menerbitkan"

"Oh,"

"Lalu, sampai mana ketikanmu? Sudah selesai kan?!"

Chika nyengir "Aku nggak punya laptop, Bang… makanya bingung bagaimana. Karena itu kan banyak, tidak seperti nulis artikel”

“Kenapa baru ngomong sekarang?” suaranya keras membuat Chika kaget

“Nanti kamu bilang aku beralasan”

“Ya nggak begitulah,”

Saat itu menu makan pagi pun tiba. Hari-hari biasanya, Hendrik lah yang membantu keperluan Chika. Tapi kali ini Izack terpaksa menyiapkan untuknya sekalipun grogi hingga membuat sup nya tumpah mengenai selimutnya.

“Sory-sory!” ujarnya nggragap

“Nggak apa-apa Bang, cuman sedikit aja kok” jawabnya sigap membersihkan dengan tisyu sebelum kuah itu meleber kemana-mana.

"Masih ada naskah aslinya, kan?” tanya Izack mengalihkan perasaan groginya

"Ada, tapi sudah mulai rusak. Jadi aku ketik ulang pakai mesin ketik manual”

“Ya... karena aku punyanya itu, itupun bekas tinggalan kakek"

Izack diam sejenak seakan menyimak pikirannya

"Sebenarnya siapa sih kakek sama ayahmu?"

“Haha… bukan siapa-siapa, Bang"

Chika membenahi posisi duduknya, Izack sigap menaikan tuas bed hingga posisi duduk siap menikmati bubur sumsum. Ia menarik nafas dalam sebelum nyruput bubur berkuah coklat membuat Izack tersenyum geli melihat Chika tengah komat-kamit berdoa melihat rautnya begitu bersyukur akhirnya bisa makan lagi.

Saat kaki gadis itu tersingkap selimut, Izack tidak tahan melihat kaki mungilnya yang mulus dan lembut terpantul sinar matahari pagi, ia segera menutupnya kembali membuat perasaannya mulai bergejolak tidak karuan.

Suasana kembali senyap. Izack menatap wajah Chika yang masih tampak pucat dengan mata cekung. Sementara gadis cerdas yang pikirannya tidak pernah berhenti berpikir itu tiba-tiba kembali membuka mulutnya sambil berpikir.

"Bang,"

"Hm?!"

"Kira-kira biaya Rumah Sakit ini habis sampai berapa puluh juta, ya?" tanyanya yang disambut suara pintu terbuka, itu adalah Hendrik

“Tenang saja, pemilik rumah sakit ini duda beranak dua, masih muda lagi”

“Maksudnya?!”

“Ya… itung-itung kalau kamu nggak bisa bayar…”

"Hahaha....!!" Hendrik tertawa meledak spontan membuat Chika clingukan bingung 

"Kejem kamu, Bro!"

"Ya habisnya... Ngeselin kamu itu"

"Anak kecil, Bro! Nggak paham dia" jawab Hendrik membuat Chika clingukan bingung apa yang sedang mereka bicarakan

Izack geleng-geleng kesal memberikan tempat duduk Hendrik yang baru saja datang membawa pakaian Chika.

"Harusnya kamu itu bersyukur ada lelaki ganteng yang sudah kamu tertawakan mau menolongmu"

Antara ingin tertawa dan marah, Chika menatap lama wajah lelaki itu yang membuat Izack tak tahan dengan tatapan mata beningnya.

"Sudah... tertawa itu nggak dosa kok, bebas" 

"Katamu mau jual ginjal?" kata Izack lagi

"Kalau sakit-sakitan, mana ada yang mau terima ginjalmu"

“Kamu jual satu juta pun mungkin nggak akan ada yang mau beli” kata Izack lagi membuat Hendrik terkekeh-kekeh membuat Chika terdiam dengan mata mulai berkaca-kaca hingga segelintir air mata jatuh menggelintir. Tak mampu menahan rasa kesal emosinya yang labil spontan ia menenggelamkan wajahnya dengan selimut dan menangis terguguk.

“Kamu itu terlalu kalau gurau, Bro!” kata Hendrik berdiri mencoba menenangkan

“Sudah… dia gurau, jangan dimasukkan hati, Chik”

"Lalu aku harus gimana??" tangisnya pecah terguguk dengan air mata berderai yang disambut tawa geli dua orang lelaki

"Kamu itu terlalu sombong, Tuhan aja kalau bisa mau kamu atur" ujar Izack yang kemudian diam saat handphonnya kembali bergetar.

"Belajar pasrah, Chik.. itu semua yang bisa mengatasi kamu, kita siap membantumu kalau kamu mau," ujarnya sambil melihat telephon masuk yang ternyata itu adalah Mama nya.

"Sory, aku tinggal dulu, Bro!" kata Izack tenang dan keluar meninggalkan ruangan  

“Ma, ada apa?" sapa Izack sambil kembali menutup pintu. Saat itulah wajah ibunya muncul di layar ponsel.

"Dimana kamu Nak?"

"Siapa yang sakit?" tanya ibunya saat melihat seliweran para perawat menggladak bed

"Teman, Ma.."

"Nak, ada apa sebenarnya?”

“Kenapa memangnya Ma?”

“Kamu belum baca berita?”

“Belum,”

Saat itu kunjungan dokter tiba Izack pun segera pamit mengakhiri obrolan dengan Mamanya.”Maaf Ma, nanti Izack telpon lagi. Okey?” jawab Izack

Saat serombongan dokter dan perawat pergi, Hendrik mengajaknya keluar ruangan.

"Sory Zack, dari kemarin sebenarnya aku mau ngomong soal berita di mass media tentang dirimu" ujar Hendrik menatap lama

"Kamu nggak baca berita?"

"Tidak, kenapa?"

"Soal kamu" ujar Hendrik menarik nafas panjang sembari memperlihatkan layar smartphonenya

Izack menarik nafas panjang saat melihat fotonya membopong Chika dalam keadaan kaku keluar dari kost-kostan putri, dengan judul.

 

Skandal amoral ketua umum AMI dengan anggota muda Yogya

Bongkar kedok ketua AMI

 

“Kan… apa aku bilang kemarin?”

“Apa jadinya jika kita tinggal dia begitu saja?”

“Nanti bakal ada isyu lagi”

 

Pembunuhan berencana junior AMI yogya oleh ketua umum AMI  

 

"Mau jawab apa nanti kalau ada pers yang tanya?" tanya Hendrik

Izack diam seperti tengah menyusun strategi. Tiba-tiba saja dari ujung lorong ruang VIP serombongan adik-adik junior dari Komisariat dan Cabang, termasuk Heni datang berbondong-bondong.

"Kamu kasih tahu mereka, kalau kita di sini?"

"Tidak,"

"Terus?"

"Heni, mungkin. Karena hanya dia yang tanya kemarin"

“Oh…”

"Tapi sepertinya dia paling tidak suka sama Chika"

"Apa sebab?"

"Entahlah,"

"Tapi sepertinya Chika baik-baik saja sama dia"

"Kan sudah aku bilang, dia itu hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak tahu bagaimana temannya merespon baik atau buruk terhadap dirinya"

"Oh..."

"Kita sambung nanti saja" ujar Izack saat langkah mereka semakin dekat

"Okey,"

"Aih...! lima tahun kemana-mana bareng, baru kali ini aku lihat kamu se peduli ini sama cewek" singgung Leo, si ketua Cabang AMI anak S2 di salah satu perguruan tinggi, menjabat tangan Izack.

Saat mereka masuk, Chika kaget melihat kedatangan teman-teman AMI, ia bahkan merasa tidak enak atas kepedulian seniornya Izack yang sudah berhari-hari diajak adu mulut dengannya. Dan ia merasa kedatangan mereka bukanlah untuk menjenguk dirinya, melainkan bertemu dengan orang nomor satu di AMI, hingga ia pun hanya diam memandang orang-orang yang riuh ngobrol dan bercanda ini itu.

Melihat lirikan Heni pada dirinya sungguh tidak mengenakkan. Ia baru sadar dan tahu diri dengan lirikan itu, jadi ia memutuskan mengambil buku dan mulai membacanya di saat mereka mulai asyik ngobrol sendiri di sofa.

Saat membaca buku, ia dikejutkan dengan seniornya yang dulu sering mengarah-arahkan tulisannya di mass media.

"Gimana Chika, sudah baikan?"

"Alhamdulillah, Bang"

"Sekarang kamu jarang nulis lagi ya?"

"Hehehe... iya, Bang" gadis itu cengar-cengir merasa tidak enak 

"Jangan terlalu serius, santai saja"

"Hehe... iya, Bang"

"Sudah kenal lama sama Izack ya?"

Chika nyengir menggeleng

“Lah???”

“Terus?”

“Aku baru kenal ya di kostan kemarin itu”

“Serius??”

“Enggak… dianya aja yang nggak ingat”

“Bukannya kalian pernah ketemu dua tahun yang lalu kan?”

“Oh,” ujar Chika kikuk ada yang mengingatkan peristiwa itu

“Kalian ulang tahunnya sama kan?”

“Oh.. iya-iya, ingat aku kalau itu” jawab Leo

“Waktu itu ada yang keguyur, kan?”

“Ya itu dia” tunjuk Hendrik pada Chika yang nyengir

"Kamu termasuk cewek yang paling beruntung ini," canda Leo

"Kenapa?"

"Dia itu paling susah setengah mati didekati cewek"

“Kamu lho, bisa-bisanya dibawa ke Rumah Sakit, masih ditunggui pula?!”

“Kan??! Benar dugaan perasaanku. Bukan khayalanku saja” pikir Chika hanya cengar-cegir mendengarkan para seniornya berdebat soal dirinya dan lelaki ganteng itu.

"Kami dulu malah sempat menduga dia itu gay" spontan Chika tertawa geli menekan bekas jahitannya

"Kok bisa, Bang?"

"Lha iya, bolak-balik didatangi cewek. Sampai kadang kesel blokir nomor telphon, hanya karena modus mereka mendekati dia"

"Siapa aja emangnya Bang"

"Ada yang lagi bongkar-bongkar lemari ini…?!" cletuk Izack yang tiba-tiba berdiri di sebelah Leo

Spontan Chika tertawa geli melihat ekspresi dua seniornya.

"Coba lihat tuh di Galerinya, paling masih ada fotomu tersimpan kemarin" cletuk Hendrik

Leo melotot berpaling pada Izack

"Jadi, beneran itu berita?!" 

Izack langsung mengalihkan perhatiannya canggung

"Kalian lapar nggak sih?"

"Ayo pesan makanan, Bang" bujuk dua orang juniornya dari Komisariat

"Oakkhh... modus, pengalihan perhatian" ujar Leo

“Ah.. kamu, ayok!”

"Aku juga serius penasaran sama kamu, Bro!" ujar Leo senyum-senyum penuh isyarat

"Tenang saja, kita bereskan itu berita" ujar salah satu teman AMI dari Pusat 

"Berita soal apa, Bang?!" tanya Chika menatap polos

Heni yang melihat wajah polos Chika agak kesal dan mendekat sambil memperlihatkan foto dirinya dalam gendongan Izack masuk ke mobil. Chika melotot membaca judul berita bernada negatif yang ditujukan Izack.

"Heni!" teriak Izack merebut ponselnya membuat semua orang terkejut 

"Sory,"

"Ayo kita bicara di luar"

Chika bingung saat Izack menarik Heni keluar, lagi-lagi ia berpikir bahwa ada hubungan yang tidak ia ketahui di antara mereka berdua.

“Heni itu pacarnya kak Izack ya?!” tanya Chika pada para seniornya yang masih berdiri di sebelah bed nya, dan mereka hanya senyum-senyum membuat Chika yang belum bisa berpikir sepenuhnya makin bingung.

Di luar Izack mengendurkan lipatan-lipatan wajahnya sembari menarik nafas dalam

"Kamu tahu kan, dia sakit karena apa?"

"Sikapmu itu sama sekali tidak berperasaan" Izack menahan emosinya

"Maaf Bang, tapi aku tidak berniat apa-apa kok"

Izack menarik nafas panjang kesabarannya. 

"Okey, baiknya kamu jangan masuk lagi"

"Tapi, Bang" spontan mata Heni mulai berkaca-kaca

Izack kembali masuk ke ruangan untuk mengambil tas Heni

"Kemana Bang?!" tanya juniornya yang tak dijawab sama sekali

Saat lelaki ganteng itu kembali masuk, semua terdiam. 

"Oh ya, Rani... tolong carikan kost-kostan putri tuh"

"Untuk siapa Bang?"

"Dia" isyarat Izack dengan dagu

Chika menelengkan kepala "Aku?!!"

"Memangnya siapa lagi di sini yang putri?"

"Bang, memangnya kamu ini siapaku, dari kemarin ngatur terus" 

"Kan seniormu,"

Chika menarik nafas kesal membuat beberapa orang hanya senyum-senyum curiga pada keduanya.

"Ehm!"

"Beneran ini... hanya sekedar senior dan junior?" tegas Leo

"Hati-hati loh ya... kalau ada cowoknya datang kemari" cletuk Leo

Izack agak sensi "Ousy! sudah diblokir dia!"

"Hahaha...!"

"Nah?!!"

"Jadi pesan makan apa ini?"

"Hmm???!"

“Gerr...!!”

Malam itu ruangan kembali ramai oleh suara tawa, sementara keduanya terlihat kikuk yang lagi-lagi hanya jadi bahan gurauan senior dan juniornya. Izack yang tidak tahan dengan candaan mereka segera pamit keluar dengan alasan cari makan malam.

"Baru kali ini aku lihat Big Bos malu-malu kucing" cletuk seseorang sambil tertawa ngikik

Tiba-tiba pintu kembali terbuka

"Leo," isyarat Izack untuk ikut dengannya

Tiba-tiba saja semua tertawa

“Baru... saja diomong”

“Tebak, kira-kira dia bakal cerita nggak?”

“Lihat aja” tawa Leo segera keluar

10

 

Satu hari telah berlalu sejak kedatangan teman-teman AMI. Selain itu, tidak ada seorang pun yang datang menjenguknya. Ia mulai bosan setengah mati menunggu tetesan demi tetesan infus dan obat-obatan yang tiap saat disuntikkan lewat infus membuat tangannya nyeri kesakitan luar biasa. Melihat kaca di seberang bed wajahnya terlihat lebih tirus dan tua. Ia menghempas lelah melihat Izack dan Hendrik yang giliran menunggu dirinya sepanjang hari. Satu persatu peralatan di tubuhnya mulai dilepas hingga terakhir saluran infus. 

Gadis dengan hidung kecil dan mata tajam itu duduk di sebelah jendela salah satu bangsal ruang VIP. Cahaya matahari memantulkan sinar keemasannya dari balik dinding gedung krem menerobos celah pepohonan taman di luar sana. Saat itulah dokter bedahnya visit, dan memberitahukan ijin pulang hari ini, setelah dokter gizinya datang sebelumnya.

Saat rombongan dokter dan perawat itu keluar, ruangan kembali sepi. Spontan Chika menghempaskan nafasnya sembari mememutar-mutarkan pergelangan tangan kirinya setelah sekian lama tangannya terbelenggu infus dengan bermacam-macam suntikan obat yang menyakitkan urat nadi.

"Yeahhh...?!! ayo keluar sekarang saja, Bang" Chika meregangkan otot tangannya ke atas.

"Aaahhh!!!" Pekiknya keras kesakitan menahan bekas jahitan di perut.

Izack mengulum tawa melihat gadis imut itu kembali bertingkah setelah dirinya merasa terbebas dari infus. 

"Nggak usah banyak tingkah dulu, ingat jahitan di perutmu, Non.." Izack mengingatkan membuat Chika sadar diri

"Tunggu di sini, aku urus administrasinya dulu" ujarnya berlalu pergi meninggalkan ruangan itu.

“Boleh aku ikut, Bang?” katanya bergegas bangkit dari bed

Dan saking semangatnya, Chika sedikit memaksakan tubuhnya yang masih sempoyongan hingga membuatnya spontan limbung menabrak dinding yang langsung ditahan Izack dalam dekapannya membuat keduanya kikuk dan salah tingkah.

“Bisa nggak tenang sedikit?” nada Izack kikuk menahan wajah letihnya membuat raut Chika mendadak ciut

Ia sadar langsung menegakkan tubuhnya antara rasa malu dan kesal. Ia menggeragap bersandar pada bed sembari merasakan keringat panas dingin dari punggungnya dengan kepala terasa berat untuk kembali berdiri.

“Sudah, tidur saja dulu”

Dua jam telah berlalu semenjak Izack meninggalkan kamar itu dalam sendirian. Begitu ia kembali bersama Hendrik, semua barang telah beres di depan pintu.

"Siapa yang beresi?"

"Aku," wajahnya datar kekanak-kanakan

"Kamu nggak dengar apa? dibilang jangan buat angkat-angkat beban dulu" nadanya tegang

"Tapi aku khawatir kalau kelewat jam bisa kena charge lagi..." nadanya cemas

Dua lelaki itu spontan tersenyum geli

"Kenapa kamu polos banget sih, Chika... Chika" 

"Kan yang tanggung biaya juga Izack.." ujar Hendrik

"Iya, tapi kan aku hutang?! Toh nanti kalau...?" Ujarnya melirik Izack sambil menggigit bibir  

Hendrik garuk-garuk kening membuat wajah aneh "Haduh...!" dan spontan disambut tawa lebar Izack.

"Kenapa gebetanmu begitu lugu, Izack.." bisiknya lirih di balik punggung Izack

"Kenapa?!!" gadis itu melotot tak suka melihat seniornya bisik-bisik

"Enggak..." jawab Hendrik sembari melangkah keluar membuat Izack senyum senyum

Chika melirik curiga, tapi ia tak mau ambil pusing. Ia berusaha berdiri saat perawat datang membawakan kursi roda.

"Mbak Chika, silahkan saya antar keluar mbak.." kata ibu perawat yang datang kemudian.

"Bang,"

Chika memberi kode pada Izack, lelaki itupun berdiri mendekat dan merunduk menyamakan posisi tingginya.

"Apa yang seperti ini juga kena charge?" Bisiknya lirih membuat lelaki itu hanya tersenyum lebar

"Sudah, itu urusanku"  

"Tapi kan?!"

"Ini nih, yang bikin ususmu sampai bocor" Izack noyor dengan telunjuknya membuat ibu perawat senyum-senyum

"Mobilnya sudah siap, mas?" Tanya si ibu

"Sudah bu.. ada teman saya di luar" ujar Izack sambil membimbing Chika duduk di kursi roda.

Izack kembali masuk dan mengangkat barang-barang keluar dan berjalan mendahului mereka.

"Kakaknya ya mbak?"

"??" 

"Maksud ibu siapa?!"

"Mas nya yang itu?"

"Bukan siapa-siapaku,"

"Oh... saya kira kakaknya, wajahnya mirip"

"Mirip??!" raut Chika bingung

"Dari kemarin mau tanya nggak enak. Saya kira kakaknya, tapi kenapa sikapnya lebih mirip sama pacarnya"

"Ah... Dia galau aja mungkin, bu... Karena harus menalangi biaya Rumah Sakitku" ucapnya polos

"Serius?!!" si ibu melotot dan kembali tersenyum geli dengan penuturan Chika terlalu jujur

"Iya, memangnya kenapa bu?"

"Tidak ada lelaki yang mau berkorban terlalu banyak jika nggak ada maksud tertentu mbak.."

“Maksud ibu??!”

Lagi-lagi Chika tersenyum bingung, mengapa orang-orang berpikir se mudah itu padahal jelas-jelas dia menalangi, dan itu satu saat aku harus membayar hutangku. 

"Haduh mbak.. polos banget, kamu ini" ujar ibu perawat membuat Chika makin bingung

"Kenapa orang berpikirnya jauh banget ya? bukannya tipikal orang-orang semacam itu mencari keuntungan? misalnya.. bunga uang. Atau.. menaikkan status level nama baiknya sebagai ketua umum?"

"Bisa saja kan? suatu saat dia mau mencalonkan diri sebagai anggota DPR setelah dia berhasil menduduki kursi Ketua Umum organisasi politik mahasiswa terbesar di Indonesia?"

Begitu sampai di depan pintu ruang loby, Izack tampak cekatan membukakan pintu mobil untuknya. 

"Duh mbak... Beruntung sekali kamu ada laki-laki sebaik itu, ganteng, kaya, perhatian lagi"

"Kalau dia confess ke kamu, terima saja mbak”

“Nggak ada kesempatan kedua itu mah"

“Confess itu apa bu?” tanyanya balik membuat si ibu tersenyum geli

“Haduuhh mbak, pantas saja dia sayang banget, saking polosnya kamu” ujar si ibu lirih membuat Chika nyengir mengernyit bingung sikap mana dan seperti apa yang dinilainya sebagai reaksi polos.

Dari depan pintu ruang loby, Izack sudah berdiri menyambut di depan pintu mobil.

"Mau saya tuntun mbak?" tanya si ibu perawat cekatan membantu Chika berdiri.

"Nggak lah bu, sudah bisa kalau buat jalan cuman sini ke situ"

"Oh.. baik mbak"

"Hati-hati ya mas..."

"Iya bu, mari..." setengah merunduk Izack pamit sambil menuntun langkah Chika yang teramat pelan.

"Oalah nak... Nak. Mujur benar nasibmu bisa bertemu lelaki sesempurna itu" ujar si ibu perawat sambil berlalu pergi begitu mobil itu meninggalkan ruang loby.

Suasana dalam mobil benar-benar senyap saat laju kendaraan keluar dari area Rumah Sakit yang luas.

“Loh, Bang Hendrik kemana Bang?” tanya Chika melihat spion di atas Izack

“Ada janjian sama temannya”

“Oh..”

Senyap. Kendaraan itu benar-benar kedap suara dari hiruk pikuk di luar.

“Terimakasih banyak sebelumnya ya Bang…”

“Hm,” jawab Izack tenang mengendalikan setiran di antara kemacetan mengular begitu keluar dari Rumah Sakit

Chika masih terngiang-ngiang kata si ibu perawat tadi. Sementara Izack mulai bingung menentukan tujuan akan dipulangkan kemana gadis ini. 

"Bang..."

"Hm, ya?"

"Boleh minta tolong antar aku ke terminal?"

"Ke terminal?"

"Maksud kamu?"

"Sepertinya aku belum kuat kalau naik turun tangga kost. Jadi aku pulang ke rumah saja"

"Iya juga ya, tangganya curam banget kemiringannya"

"Dimana rumahmu?"

“Rumahku Wonogiri”

“Oh, jauh sekali”

“Tapi aku ikut tinggal bareng pamanku di Mojokerto”

"Ooh…" lirik Izack bingung seperti tengah berpikir

Izack menarik nafas lelah yang langsung ditangkap Chika sebagai sinyal kekhawatiranya tidak mengembalikan hutang biaya Rumah Sakit.

"Emmm... Nanti soal biaya Rumah Sakit," ujar Chika lambat sambil nyengir melirik Izack berpikir keras

Segaris senyum muncul di wajah lelaki bermata bulat itu.

"Begini saja deh... Soal biaya Rumah Sakit, kita omongkan di rumahmu. Gimana?"

"Jangan!"

"Lha terus?"

"Ehmmmm..." Chika menggigit bibir keras terbayang sertifikat rumahnya sudah jadi jaminan di Bank untuk pinjam uang demi biaya kuliah. Sementara ia tidak ingin membebani biaya hidup pamannya yang miskin.

Perlahan raut wajahnya tampak muram, ia mulai mengaduk-aduk kepalanya seakan ingin membenamkan wajah ke dalam got berlumpur hingga kesulitan bernafas.

"Hei..? Kenapa lagi kamu..?" Izack melirik Chika yang duduk di belakangnya menahan kepala dengan kedua tangannya yang tertunduk

"Bang!" Izack kaget waktu Chika kembali bangkit

"Begini saja deh, sertifikat rumahku kan sudah aku gadaikan di Bank untuk keperluan biaya kuliahku selama ini"

Izack mengkirut bingung.

"Maksudnya??"

"Rumahku sekalian kamu beli saja lah. Setidaknya aku nggak punya tanggungan Bank lagi"

Spontan Izack melongo

"Maksudnya apa ini, kok tahu-tahu bahas soal rumah kamu?"

"Haduuuhh...!!" lengkingnya kesal

"Total biaya Rumah Sakitku tadi berapa?"

"Seratus juta kah? Atau lebih??!"

Izack menarik nafas sambil tersenyum tenang memegang kendali sopir.

"Please Bang, bagiku uang segitu besar banget. Kenapa dari tadi kamu cuman senyam senyum meremehkanku?"

"Siapa yang meremehkanmu, Chika.." intonasi suaranya membuat Chika sedikit merinding berbunga-bunga

"Ya kamu lah,"

"Memangnya aku bilang apa?" nadanya datar

"Sikapmu dari tadi"

"Itu kan penafsiran kamu sendiri, toh?

"Lha terus apa kalau bukan meremehkan?!!!"

Kali ini Izack berusaha lebih sabar memahami kekhawatiran gadis  di belakangnya.

"Lihat kwitansi Rumah Sakit saja lah"

"Kamu letakkan dimana tadi?"

"Mau buat apa?"

"Ya dihitung?"

"Sekarang kan sisa hutangku di Bank sekitar 25juta, nah tahun kemarin saja rumah beserta pekaranganku ditaksir sekitar 250juta. Nah, biaya Rumah Sakit tadi berapa??? Biar aku kurangi itu, nanti..."

Izack geli mendengar detil penghitungan orang pasca operasi besar.

"Haduh, Chika... Chika. Makanya badanmu kurus begitu, pikiranmu jalan terus"

"Bang, bakal tamat riwayat hidupku kalau nggak punya perincian keuangan"

"Terus, kalau rumahmu kamu jual, kamu tinggal di mana?"

"Aku kan tinggal bareng pak lek"

"Hadeeh… Chika.. Chika. Usia 20tahun masih nyaman-nyaman saja tinggal bareng paman”

“Bang, please… aku tanya berapa tadi biayanya?”

Izack tak menjawab sepatah katapun, bahkan ia mulai menghidupkan instrument music dari audio mobil membuat suasana yang semula tegang tersulut emosi, mulai tenang. Melihat sikap Izack yang santai, ia pun mulai ikut tenang, sekalipun dalam sorot matanya sesekali masih tampak cemas dan khawatir soal uang.

Hening

"Ngomong-ngomong keluargamu sendiri pada kemana?" tanyanya berusaha mengalihkan perhatian

Spontan rautnya seperti tertusuk, ia diam tercengang lama.

"Bapak.. entah dimana, ibu, kakak dan adikku sudah meninggal"

"Oh..." Mulutnya berasa seperti dikunci. Ia menarik nafas pelan seakan ada beban yang menusuk di dada, teringat kata-kata Awan lewat telponnya terkait naskah buku.

"Gimana Bang?"

"Atau, turunkan aku di Halte depan itu saja deh"

Izack tetap diam mengendalikan setirannya tak terpengaruh oleh kegalauan Chika yang duduk di belakangnya. Sementara Chika sudah siap-siap melepas seat belt, dan alarm kembali berbunyi.

"Kenapa itu Bang?"

"Pakai dulu seat beltmu" ujarnya tenang

Jelang akhir pekan, suasana jalanan mulai macet, hingga mobilnya terjepit di antara kendaraan.

"Bang..." Chika tegang saat suara indikator seat belt nya terus berbunyi

"Itu karena seat beltmu dilepas"

"Pakailah dulu,"

"Tapi..."

"Aku nggak mau angkat badanmu lagi kalau sampai pingsan di pinggir jalan" kata Izack tegas membuat gadis itu merasa tidak enak.

Raut Chika spontan merasa bersalah kembali menyelipkan klik seat belt hingga alarm itu kembali berhenti.

"Ah... Mobil crewet" gerutunya

Ada raut kemenangan di wajah Izack yang diam-diam memperhatikan wajah Chika dari spion di atasnya yang terlihat gelisah. Sebenarnya jika gadis itu diamati, ia cantik natural sekalipun tanpa sentuhan make up sedikitpun.

"Begini saja, sore ini aku antar kamu ke Mojokerto. Tapi ini aku harus pulang dulu, sepertinya kakakku mau datang, harus kasihkan kunci ke dia"

"Oh.. tapi beneran, aku sudah kuat kok Bang, pulang sendiri"

"Iya, paham. Tapi kamu itu tipikal cewek yang hanya punya dua kekuatan. Bergerak cepat atau pingsan" katanya membuat Chika menahan tawa geli

Spontan ia melengoskan wajah pada jendela mobil menahan tawa, mengingat nyeri jika harus tertawa.

Kehadiran Chika kali ini benar-benar membuatnya nyaris lupa semua tanggung jawabnya dari urusan perusahaan, organisasi Mahasiswa hingga kuliahnya. Entah yang ke berapa puluh kali handphonenya bergetar yang sengaja dimatikan hanya gara-gara khawatir Chika terbangun melihat dari spion di atasnya gadis itu kembali terlelap dengan mulut menganga.

Chika terlelap setelah putus asa berharap bisa turun di Halte, namun mobil terus terjebak dalam kemacetan sepanjang perjalanan menuju rumahnya. 

Begitu sampai di rumah, mobil telah terparkir di dalam garasi yang terhubung dengan taman kecil di tengah area ruangan. Ia kembali melirik gadis kesayangannya yang masih terlelap dengan tubuhnya yang teramat kurus dan wajah pucat serta mata cekung. 

Chika terbangun kaget melihat sekeliling.

"Dimana ini Bang?"

"Rumahku" jawabnya.

Ia ingin berontak, tapi rasanya untuk duduk tegap saja masih kliyengan berputar-putar.

“Turun dulu, yuk! Sudah kuat kan?”

“Nggak ah, Bang… aku tunggu di sini aja”

“Kenapa memangnya?”

Chika nyengir melirik ruangan yang lengang dan senyap.

“Tenang aja, aku nggak akan menggigitmu kok” tawa Izack lebar, tapi Chika merespon perkataan itu justru melongok-longok keluar meringis nyeri terbayang sesuatu.

“Badanku masih terasa kliyengan, Bang”

“Biar aku tidur di sini aja”

“Ayo aku tuntun deh, kamu tidur di sofa atau kamar kakakku kalau mau” jawabnya yang lagi-lagi membuat bibir Chika meringis

“Sudah, nggak apa-apa” jawabnya kekeh, yang akhirnya ditinggalkan begitu saja. Tak lama kemudian ia muncul lagi sembari membawa selimut halus berwarna abu-abu.

“Perlu aku nyalakan ACnya kah?”

“Nggak usah,”

“Ini, pakailah dulu… banyak nyamuk di situ”

“Terimakasih, Bang” jawabnya canggung dengan nada serak. Ia sadar, kata “Terimakasih” adalah kata yang berat baginya untuk diucapkan. Dengan perjalanan hidupnya yang berat, ia benar-benar kaku mengatasi hal-hal remeh semacam itu.

Ia tetap duduk di jok mobil dengan pintu mobil terbuka.

Chika menarik nafas dalam memandang lelaki itu riwa-riwi menurunkan barang bawaan dari rumah sakit, membayangkan beberapa hari yang lalu kesal bukan main dengan lelaki yang menurutnya sok-sokan.

Dan kini, ia nyaris bagaikan ratu dengan seorang pelayan tampan yang seakan didatangkan khusus dari kahyangan untuknya. Atau tawanan yang masuk dalam perangkap singa, entah bagaimana ia harus menemukan jalan keluar. Dan dirinya mulai terbiasa dengan pelayanan lelaki yang bukan siapa-siapanya itu menunggunya riwa-riwi menyiapkan barang, hingga ia kembali tertidur pulas.

Sebagai naluri lelaki, melihat Chika tergolek lemah, ingin sekali membelainya. Tapi ia tak punya keberanian menyentuhnya.

"Ayo Chik, turun dulu" ujarnya setengah membungkuk siap menggendong gadis itu membuat Chika kaget dan..

"Buggghh!!!" tangannya nyodok dada  

"Akhhh...!"

Chika melongo saat melihat lelaki itu terpental kesakitan menahan dada

"Maaff..."

"Kurus-kurus, tenagamu kuat sekali"

"Maaff Bang..."

"Habis... kamu bikin kaget"

"Ayo turun dulu, istirahatlah di dalam. Kita tunggu kakakku datang"

Chika merasa bersalah dan tidak enak, ia gigit jari melihat seniornya nyengir menekan dada kesakitan.

“Maaf Bang,”

“Ingat ya, kelak jangan perlihatkan wajah imutmu di depan lelaki lain” kata Izack dengan raut senyum di wajah

"Maksudnya?!" pikir Chika

Setengah ragu ia keluar dari mobil dengan pandangan masih sedikit berputar-putar dan lemas efek obat-obatan berhari-hari. Ia langsung duduk di teras depan ruangan yang mempunyai pintu sliding kayu.

"Kapan kakakmu datang, Bang?"

"Sebenarnya sih sudah dari tadi dia turun di Bandara. Tapi katanya ada pertemuan. Jadi sepertinya malam baru sampai"

“Oh…”

Setengah menyadarkan pikiran dan hawa kantuk yang luar biasa, ia berpikir bagaimana bisa sampai di Mojokerto tidak sampai larut malam jika jam segini saja belum keluar dari kota Yogya yang macet? Padahal di desa pamannya ada adat pernikahan paksa hanya gara-gara seorang lelaki mengantar anak gadis desa itu yang pulang larut malam.

"Ahh...!!!"

"Bagaimana dong, ini??" rautnya mulai tampak panik melihat lelaki itu sibuk di dapur yang bersekat dinding kaca dengan ruang TV sambil sesekali memeriksa smartphonenya.

Entah berapa menit berlalu, Chika mulai risih dengan suara nyamuk dan gigitannya yang membuat sebagian kulitnya terasa gatal dan panas. Terdengar tepukan tangan menangkap nyamuk berulang kali, Izack seperti baru sadar ada orang lain di rumahnya. Ia muncul kembali sembari membawakan dua gelas jus dan meletakkannya di meja bundar Gazebo sudut ruangan yang berseberangan dengan ruangan dimana Chika duduk. 

"Sini,"

"Tahan kamu sama gigitan nyamuk di situ?"

Merasa risih dengan suara dan gigitan nyamuk, Chika terpaksa pindah tempat duduk di dalam Gazebo.

"Aku kira rumah sebagus ini nggak ada nyamuk"

“Kalau nyamuk tahu status sosial, nanti manusia kalah, Chika…” nadanya lagi-lagi membuat bulu kuduknya merinding terbuai angan yang melambung sejenak

“Andai dia jadi pacarku” khayalannya lagi-lagi melambung

Begitu mereka duduk berhadapan, Chika mulai kikuk. Ia mulai nampak gelisah jika jadi diantar pulang malam ini juga.

"Bang, sebaiknya aku pulang ke kost dulu aja deh, sudah malam"

"Bukannya katamu belum kuat untuk naik turun tangga sendiri?"

"Kalau sekali saja mungkin nggak apa-apa sih"

Izack menelan saliva tegang sembari menurunkan pandangan pada smartphonenya menjawab pesan-pesan yang masuk.

"Sory, tunggu sebentar" ujarnya menyela menjawab pesan-pesan yang masuk

"Bang," ujar Chika khawatir mengganggu

Terdengar suara mobil berhenti di luar, pikiran Chika berkecamuk tak karuan. Izack membukakan pintu.

"Mana adik juniormu?" sayup-sayup suara perempuan itu terdengar

"Jangan berkata yang tidak-tidak"

"Dia tidak tahu apa-apa" ujar Izack penuh isyarat yang hanya disenyumi kakaknya sambil menepuk pundak

"Santai aja," timpal kakaknya sekilas

"Halloo..." Sapa perempuan itu riang menyambut Chika yang masih duduk di dalam Saung.

Saat menjabat tangan Chika, perempuan itu senyum-senyum melirik Izack yang hanya menyiratkan senyum di wajah.

"Sudah lama ya?"

"Nggak kok,"

"Aku bersih-bersih dulu ya.." katanya sembari pergi meninggalkan keduanya

"Bang," panggil Chika berusaha menarik perhatian dari smartphonenya

Perempuan cantik itu terlihat terhenti sejenak di sofa depan tv. Ia memeriksa tumpukan barangnya satu persatu, termasuk hasil CT-scan dari rumah sakit. Melihat nama Luchika Aria, perempuan itu sedikit lega, yang sakit bukanlah adiknya. Dan ia pun berlalu pergi di antara ruangan sudut sebelah ruang tv.

"Bang, antar aku ke kostan aja yuk.." ujar Chika pelan yang masih dicueki Izack yang kini justru keluar menjawab telphon dari seseorang dengan nada tegang. 

Tak mau ambil pusing, Chika beranjak pergi memunguti barang bawaannya dan mengangkatnya seorang diri dengan rasa nyeri seolah luka kembali sobek. Saat mendengar pintu di buka, Izack baru sadar gadis itu sudah tidak ada di sekitar.

"Chik, Chika!" sekonyong-konyong ia lari keluar melihat gadis itu pergi menenteng barang bawaannya.

"Hei, mau kemana?"

“Apa nggak ingat pesan perawat tadi pagi?!” setengah kesal ia merebut tas bawaannya 

“Maaf, aku nggak mendengarmu tadi"

Ia kembali mendongakkan wajah melihat Izack yang lebih tinggi darinya  

"Boleh aku minta antar ke Halte, Bang?"

"Oke-oke, kita masuk dulu" ujar Izack merasa bersalah  

Saat keduanya masuk, kakak perempuannya sudah berdiri di depan Gazebo sembari membawa makanan ringan.

"Ayo duduk sini"  

Perempuan cantik dengan rambut bergelombang yang digerai sebahu itu tersenyum ramah mengambil bantalan alas duduk. Ia mengenakan setelan babydoll krem dengan kain lembut yang menjadikan wajahnya lebih mirip artis asia.

"Nanti tidur sini, kan?"

Chika nyengir tidak enak "Enggak Kak..."

"Lah? Terus?"

"Malam ini aku antar dia pulang ke Mojokerto"

"Oh, jauh sekali?! Mending besok aja pagi-pagi.."

"Lagipula apa kamu nggak ngantuk, nyetir sendiri?"

"Ngantuk berhenti lah"

"Ehmmm..." Perempuan itu senyum-senyum melirik keduanya bergantian

"Diminum dulu"

Selesai meneguk jus, kakaknya tetap mengawasi dua sosok di depannya.

"Chika semester berapa sekarang?"

"Hm?!"

Chika kaget mendengar namanya disebut.

"Oh, enam Kak.."

"Kenal dimana?"

"Ehhh..." Chika mulai panas dingin

"Basecamp"

Chika melotot heran, tapi ia tutup mulut agar tidak menjadi masalah panjang.

"Sudah lama ya?"

"Eh..."

"Dua tahun yang lalu,"

Melihat Chika bola-bali melotot, kakaknya heran.

"Status kalian apa ini?"

"Teman," "Pacar" jawab mereka bersamaan 

Kakaknya tersenyum lebar memandang keduanya.

"Yang benar yang mana ini?!" 

Kali ini tangan Chika benar-benar sudah membeku menunggu tiap detik kata yang keluar dari mulut kakaknya. Sementara udara hangat mulai terasa menyelimuti dada perlahan yang membuatnya antara nyaman, takut dan cemas.

“Yang benar?! Dia mengakui kalau aku pacarnya?!” pikir Chika harap-harap cemas

“Tenang Chika, jangan sampai mudah terbuai kata-kata lelaki seperti itu”

“Sekali saja kamu jatuh ke dalam pelukan lelaki itu, wassalam sudah masa depanmu” lagi-lagi alarmnya seakan menyadarkannya keras  

"Kamu sudah tahu aturan main di keluarga besar kita, kan Izack..."

“Glukk!”

“Aturan apalagi ini?!”

Izack melengos kesal

"Begini, Chika..."

"Dalam tradisi besar keluarga kami, jika ada yang mengajak pulang ke rumah teman lawan jenis, baik laki-laki maupun perempuan, harus diperjelas statusnya dan secepatnya harus diadakan ikatan resmi dari negara"

Chika melotot "Maksudnya kak?!"

"Kak, tapi?!!"

"Ini kakak cuman menyampaikan amanat dari Papa"

"Silahkan kalian pikirkan"

"Kamu tahu bagaimana Papa, kan?"

"Bukannya kemarin sudah aku jelaskan alasannya?"

"Iya, tapi Papa tidak suka dengan isyu yang berkembang"

"Ya ampun Kak,"

"Maksudnya isyu apa ya Kak?" sela Chika bingung

Keduanya diam terhenti saling memandang bergantian.

Sejenak waktu seperti terhenti. Chika yang tidak punya smartphone benar-benar tidak tahu berita yang berkembang di luar sana tentang hubungan dirinya dengan lelaki di sebelahnya.

Ia diam bingung menebak-nebak antara memahami dan menyadari kata-kata perempuan cantik di depannya. Rencana yang sudah terpikirkan sejak tadi seakan luluh berantakan dan bingung memikirkan darimana memecahkannya.

"Aku perlu bicara denganmu, Kak" kata Izack segera beranjak pergi meninggalkan Gazebo yang diikuti kakaknya

Seperti orang linglung, gadis itu terdiam lama menekuri meja dan jus yang disruput tanpa menikmati rasanya. Ia mulai merasakan irama jantungnya yang lembut dan udara hangat di dada serta dingin di kedua kaki dan tangan. Entah apa yang terjadi, pikirannya benar-benar belum bisa diajak berpikir seperti hari-hari sebelumnya hingga ia menyandarkan punggungpada pagar gazebo hingga perlahan mata kembali terpejam begitu saja.

 

Sepuluh menit kemudian

Melihat Chika kembali tertidur, langkah Izack terhenti.

"Tidur disini saja dulu, biar dia tidur di kamarmu, kamu tidur di sofa"

Mendengar suara bisik-bisik kakaknya, Chika kembali terbangun. Ia bingung melihat keduanya berdiri menatap dirinya di depan gazebo.

"Ayo, Chik. Kita berangkat sekarang aja" ujar Izack yang tampak manis dengan balutan rompi wool merah hati 

"Izack... Izack. Dari dulu keras kepalamu nggak sembuh-sembuh" ujar kakaknya kesal

"Kalau nggak keras kepala mana mungkin aku jadi Ketua Umum dan punya usaha sendiri"

"Iya, perusahaan yang nyaris kolep" katanya sembari menunggu Chika bangkit dari tempat duduk dan menuntunnya sampai di depan mobil, lalu dengan sigap kakaknya membukakan pintu untuknya. Cepat-cepat Chika menjabat tangan dengan menciumnya seperti tradisi orang jawa pada orang yang lebih tua membuat kakaknya kaget.

“Ouch…!” seketika merangkulnya erat

“Cepat sehat yah…”

“Hm, terimakasih Kak”

"Okey, hati-hati di jalan" katanya melambaikan tangan 

 

 


 

11

Ayo Menikah!

 

 

Sepanjang perjalanan keduanya terdiam sepi. Kerutan di antara kedua alis mata Izack nampak jelas terlihat ada beban pikiran yang sedang ia pikirkan. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya tampak cemas. Chika yang duduk di sebelahnya merasa tidak enak karena banyak membebani dirinya selama beberapa hari ini. Tiba-tiba saja laju kendaraannya menepis, dan ia bergegas keluar dari mobil dan berbicara dengan seseorang di telphon. 

Chika mulai ikut terbawa suasana yang tidak begitu mengenakkan hingga ia keluar dari mobil dan mulai mengeluarkan barang-barang dari bagasi.

"Okey Kak, siap!" ujarnya memutus pembicaraan, kaget melihat gadis yang dicintainya mengeluarkan semua barang-barangnya

"Mau kemana?" tanyanya heran  

"Sepertinya aku sudah kuat, Bang. Aku pulang sendiri aja"

"Heeehhh..." Izack menghela nafas kesal kembali mengantongi smartphone dan memasukkan barang-barang yang sudah terlanjur dikeluarkan.

"Aku janji bener deh, uangnya aku transfer, tapi aku cicil ya..."

Izack tak menggubris kata-katanya, ia justru kembali menjejalkan barang-barangnya tersebut ke mobil dan menjepit badannya, membuat Chika risih hingga ia pun pasrah kembali masuk mobil. 

"Ayo masuk"   

Lelaki itu sigap kembali masuk mobil dan mengatur map digital di dashboard 

"Ini alamatnya sudah benar, kan?" ujarnya kembali memutar laju kendaraan dan mulai mengeraskan suara musik instrument lembut yang menenangkan.

"Hm, iya benar" ujar Chika kikuk dengan perlakuan yang baginya istimewa sekaligus kaget darimana ia tahu alamat rumah pamannya yang langsung diikuti gerak laju roda kembali ke tengah dan menggeber kecepatan kendaraan. 

Senyap

Kendaraan yang nyaris tak terasa goncangannya, ditambah kedap suara membuat Chika kembali merasa nyaman hingga perlahan kembali tertidur.

"Ngomong-ngomong, pamanmu bekerja di mana?" tanyanya tanpa tahu kalau gadis itu tertidur pulas

“Eeee?!! Apa Bang?” Chika nggragap kaget membuat Izack tersenyum geli

“Maaf,”

“Kenapa mataku rasanya ngantuk banget ya?” katanya lirih sambil membenjatkan kelopak mata

“Eh, tanya apa kamu tadi Bang?!” tanyanya lagi yang membuat Izack tertawa

"Di Sawah," jawabnya cepat

"Cuman petani" 

“Begitu ya orang-orang cerdas bekerja, mata merem tapi semua indra masih on”

“Kalau aku cerdas mah, mudah saja dapat Beasiswa tiap bulan Bang… ini, boro-boro Beasiswa. Nilai SKS aja ngap-ngap” katanya sembari meraup wajah lelah dan kesal dengan matanya yang selalu ngantuk

"Ada apa dengan kata cuman?"

"Ya, kan jauh dari keluargamu"

"Loh, tanpa kerja keras petani kita semua nggak bisa makan lho"

"Iya sih,"

"Kenapa dengan kata sih?" tanya Izack lagi membuatnya kesal merasa semua kata-katanya selalu di correct

"Ngomong-ngomong, tadi itu kakak kandung?" cletuk Chika berusaha membuka pembicaraan dengan nada kikuk

"Hm,"

"Kenapa?" 

"Hehe... Kok nggak mirip sama sekali"

"Iya nggak mirip, orang aku laki, dia perempuan" ujar Izack santai

"Tinggal dimana sekarang, Bang"

"Siapa?"

"Kakak?" 

"Belanda"

"Oh," Chika tersenyum nyengir membawa perasaannya nyaris seperti sedang turun dari papan seluncur yang begitu tinggi menjulang melihat perbedaan dirinya dan orang di sebelahnya.

"Maaf sudah banyak merepotkanmu Bang..." nada gadis itu hati-hati "Harusnya kamu tadi bisa ngobrol dulu sama kakakmu"

"Akhir-akhir ini sering pulang dia" 

 "Oh... kuliah ya?"

"Kerja"

“Oh,” jawab Chika kikuk melihat Izack kembali diam  

“Kalau kau mau, kapan-kapan kita bisa kesana”

“Hehe…” jawab Chika meringis

Ia hanya membayangkan hubungan seperti apa yang bakal terjadi antara dirinya dengan lelaki tersebut, mengapa ia sampai berani mengajak keluar negeri yang baginya itu di luar ekspektasinya.

“Bang,” suaranya agak tercekat bingung memulai darimana hingga meluncurlah pertanyaan inti

"Hm,"

"Jadi, total biaya Rumah Sakit berapa?" tanyanya polos dengan nada cemas menggigit bibir bawah 

"Kalau dihitung-hitung dalam satu minggu ini, kamu sudah habis berapa puluh juta?" tanyanya lagi menggigit bibir bawah cemas dan khawatir menunggu jawaban lelaki itu menyebut angka

"Biaya transport dari kost ke rumah sakit, rumah sakit ke rumahmu, rumahmu ke rumah paman, belum lagi biaya kebutuhanku selama di Rumah Sakit. Dan yang pasti biaya operasi"

Izack melongo tertawa geli

"Chika... Chika. Pantas badanmu kurus kering sakit-sakitan begitu. Cara berpikirmu seperti itu?!"

Spontan wajahnya mengernyit heran "Maksudnya gimana?

"Bayar dengan hatimu sajalah..." jawabnya santai

"Aku tanya serius lho, Bang"

"Memangnya aku nggak serius?"

"Bang!"

"Hm," 

"Berapa?!" 

"Apanya?"

"Biaya Rumah Sakit tadi?"

"Bukannya sudah aku jawab?" jawab Izack tertawa ringan menyilakan poni 

"Ya sudah, ayo kita nikah saja" 

"Kamu itu benar-benar lugu, polos lagi" ujarnya santai membuat raut Chika makin bingung.

"Ini orang, gendeng apa sih?" pikir Chika melirik reaksi Izack yang tetap santai

"Kenal juga enggak, sudah berani tanggung biaya Rumah Sakit, ditanya biayanya berapa malah ajak nikah?" pikir Chika dengan nada curiga sambil curi-curi pandang wajah Izack pada spion di atasnya yang tetap tenang nyetir. 

"Kenapa? belum pernah lihat pesonaku saat jadi driver jurnalis ya?" Izack tersenyum lebar

"Bang"

"Please!"

"Aku nggak gurau"

"Yang gurau itu siapa sih, Chika..." jawab Izack dengan segaris senyum samar

Pikirannya seakan mampet harus berkata apa, dan tak bisa dipungkiri ia mulai merasakan dadanya berdebar halus seakan menangkap aroma cinta dari garis senyum lelaki yang baginya jauh di atas langit. Tapi ia sadar, biaya Rumah Sakit tidaklah main-main. Mana mungkin tidak ada niat apapun mau menalangi biaya Rumah Sakit, sementara tak ada keberanian menyambut benih-benih cinta yang berhamburan sejak pertama kali datang ke kostnya hingga menunggu berhari-hari di Rumah Sakit dan membiayai semua biaya perawatan.

“Eh, wajar nggak sih? Menalangi biaya Rumah Sakit sebagus itu?” pikirnya lagi membuang muka pada jendela

“Kalau bukan masalah perasaan, lalu apa??!”

“Kalau benar punya perasaan”

“Memangnya di sekeliling dia nggak ada perempuan cantik kah?”

“Mengapa harus aku? Mahasiswa kere yang pekerjaannya serabutan dari pintu ke pintu”

“Yang tidak punya kepandaian apapun kecuali ngoceh di Mass Media” pikirnya memijit-mijit kepala bingung

“Hah!!” teriaknya keras seakan menghempas semua pikirannya membuat Izack kaget

“Kenapa kamu?!”

“Sudahlah!” teriak batinnya

“Cukup! Jangan mengkhayal terlalu jauh, Chika” pikirnya menelan nafas dalam-dalam sembari melirik wajah halus lelaki di depannya lewat spion di atasnya yang tampak tenang mengemudi.

Tak habis pikir ia garuk-garuk kepala dan menelungkupkan wajah dengan punggungnya melengkung ke depan membuat tangan Izack spontan langsung mengambil bantal kecil di sebelahnya untuk menahan kepalanya agar tidak terbentur pada jok di depannya saat ia menekan rem.

Melihat telapak tangan lelaki itu Chika melenguh kesal.

“Bang! Please! Jangan membuatku salah paham dengan sikapmu”

"Aku butuh jawabanmu sekarang, jangan dibahas di rumah pamanku" 

"Okey, siap tuan putri..."

Tak bisa dipungkiri, perempuan mana yang tidak melambung perasaannya saat melihat aura senyum lelaki tampan dan cukup mapan untuk dirinya. Tapi masalahnya ia tidak berani berspekulasi terlalu tinggi.

"Ngomong-ngomong pacarmu orang mana?"

Chika langsung menoleh kaget "Hm?!!" yang lagi-lagi membuat Izack tersenyum tipis

"Ini orang kenapa sih?" pikirnya

"Baru berapa detik yang lalu ajak nikah, detik berikutnya tanya pacar" batinnya kesal

Izack yang tahu reaksi gadis di belakangnya hanya tertawa geli.

"Kenapa?" 

Chika menghembuskan nafasnya lepas seakan ada aura putus asa membayangkan kehidupannya tahun-tahun belakangan.

"Bang, urus kehidupanku sendiri saja sudah ribet setengah mati, buat apa mikir kehidupan orang lain"

“Lagipula, pacaran itu melelahkan. Menyedot pikiran dan perasaan, mending untuk kerja dapat uang buat senang-senang. Beres!” kata Chika lelah membuat lelaki itu kembali tersenyum lebar seakan mendapatkan peluang besar untuk bisa masuk ke dalam hatinya.

"Sip! bagus itu," Chika mengernyit bingung

"Makan dulu ya?" katanya mulai menepiskan laju roda 

"Nanti kamu pikir lagi, ditambah hutang makanmu ini berapa?" tawa Izack meledek  

Chika tersenyum malu memalingkan wajahnya keluar jendela. Tak bisa dipungkiri hawa dingin membuat telapak tangannya semakin beku menangkap benih-benih cinta yang baginya terlalu istimewa.

"Ada niat apa sebenarnya di balik semua ini?" pikirnya

"Benarkah kata ibu perawat itu?"

"Atau jangan-jangan..." pikir Chika berulang kali sengaja memalingkan muka ke pintu jendela mobil. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tiba-tiba saja matanya mulai tampak berkaca-kaca. Dan itu langsung diketahui Izack yang sesekali memperhatikan gerak-geriknya.

"Hei...! Kenapa lagi kamu?" 

"Ususmu sudah dipotong sekitar 10cm tuh"

"Kenapa nggak kamu jawab saja berapa sih, Bang?" potong Chika yang terlanjur basah ketahuan berkaca-kaca dan air mata pun menetes tak terbendung

Izack hanya tersenyum ringan dan menepiskan laju kendaraan di depan sebuah resto. 

"Ayo, kita ngobrol di dalam saja biar enak" ujarnya saat mobil sudah terparkir di halaman parkir. Izack keluar lebih cepat dan membukakan pintu untuknya sambil tersenyum tenang memperhatikan pipinya yang basah. 

Sebagai lelaki, bohong bila tak ada hasrat untuk memeluknya di saat gadis yang ia cintai sedih. Tapi ia tak bisa melakukan itu demi menjaga kehormatannya sebagai seorang gadis. Apalagi tahu jika Chika bukanlah tipikal cewek yang sembarang disentuh, teringat peristiwa dua tahun yang lalu.

Izack menggiringnya masuk ke salah satu Saung di area alam terbuka. Di bawah romantisnya temaram lampu, angin malam sesekali berhembus membawa suasana sejuk. Ia sadar, kehadiran lelaki di depannya membuat dirinya canggung. Karena biasanya ia datang ke sini beramai-ramai dengan teman-teman Basecamp.  

Seperti ada sesuatu yang terbetik dalam batinnya, setengah ragu ia duduk bersimpuh di depan Izack yang membuat lelaki itu mendadak bingung

"Kenapa?"

"Aku tanya serius soal biaya rumah sakit dan lainnya, Bang"

"Bagaimanapun nominal segitu tidak kecil buatku. Dan tidak mudah juga aku mendapatkan uang sebesar itu. Makanya aku tanya" ucapnya setengah memohon

Kali ini Izack diam seakan ingin menahan tatapan mata gadis itu yang spontan menundukkan pandangannya. 

"Ayo kita menikah saja" katanya mantap

"Gluk!!" lagi-lagi membuat Chika grogi salah tingkah dan mulai gemetaran menarik nafasnya yang perlahan membuat sekujur tubuhnya lemas 

"Hah?!"

"Apa?!" tanya Chika geragap merasa salah dengar

"Menikahlah denganku?" sorot matanya tajam dan dalam membuat Chika takut dan mengalihkan pandangan mata  

"Bang, aku tanya serius"

Lagi-lagi Izack tampak menarik nafas merilekskan badannya "Aku juga serius, Chika" nadanya berat

Spontan gadis itu merinding 

Melihat arah mata Chika, Izack pun menoleh. 

"Ah... Chika, kamu nggak pulang-pulang kemana saja?" suara itu mendadak membuat Chika celingukan ingin menyembunyikan wajah dan segera mengelap wajah dengan tisyu di depannya.

"Rin.. dia lagi kerja" senyum sinis gadis di sebelahnya menyenggol

"Ooh... Ini toh rupanya?"

"Ada urusan apa mbak?" kata Izack menantang tatapan mereka 

"Hahaha... daripada mencucikan baju kamu, Rin. Mending bekerja seperti ini, fee nya lebih banyak" jawab salah satu dari mereka tidak menggubris kata-kata Izack

"Iya lah?!" kata seseorang yang langsung ditertawakan 3 gadis lainnya.

Chika hanya tertunduk malu seakan ditelanjangi di depan lelaki yang tengah melamarnya.

"Non... Kalo iri, bilang.. kapan aku bisa booking kamu?" ujar Izack santai yang membuat Chika melotot nyeri

"Sepertinya aku juga nggak tertarik isi dadamu yang kecil deh, nggak asyik"

"Dan kamu, terlalu gede, menjijikkan" spontan Chika melotot kaget mendengar kata-kata Izack

"Dasar!! Ganteng-ganteng cabul"    

“Iya, terus kenapa?”

Spontan raut mereka merah padam menahan marah. Mulut mereka hanya komat kamit menahan ledakan emosi. Dan salah satu dari mereka nyaris saja melempar Izack dengan sepatu yang diparkir bawah saung, tapi seorang lelaki yang kebetulan tengah lewat langsung menahan sepatu yang sebentar lagi melayang.

"Kalau mau buat onar, salah tempat kamu mbak... bukan di sini tempatnya" 

"Pantas saja pacarmu selingkuh" cletuk gadis di sebelahnya salah paham

"Ayolah Rin!" ujar mereka kesal membanting sepatu kesal sembari berlalu meninggalkan saung dimana Izack dan Chika duduk

Begitu mereka pergi, Chika makin nyeri membayangkan sekapan lelaki yang ada di depannya. 

"Lelaki seperti apa sebenarnya dia" pikir Chika menghela nafas tegang 

"Benarkah dia sering membooking para gadis?" 

"Jangan-jangan, seperti ini cara dia merayu gadis untuk mau tidur dengannya?" lirikan mata Chika nyeri melihat Izack spontan membuat lelaki itu tertawa lebar

"Pasti pikiranmu kemana-mana" tawa Izack geli melihat raut Chika yang tegang

"Omongan cewek-cewek seperti itu tuh harus segera dibungkam, kalau enggak capek kamu"

"Tapi maksud mereka bilang "Bekerja" itu apa?!"

Spontan Izack tertawa geli mendengar kepolosan gadis itu

"Chika... Chika"

"Sudahlah, bahas yang lain saja" 

"Tapi, beneran kamu kadang mencucikan baju mereka?"

Chika hanya mendenguskan tawanya kecut "Bukan kadang, sering"  

Izack melotot 

"Serius??!"

“Bang! Hari gini, orang seperti kami kalau ingin mendapatkan Pendidikan tinggi harus banting tulang. Kaki buat kepala, kepala buat kaki”

“Mau nangis?! Mau marah?! siapa yang peduli?”

“Makanya ketawa aja aku dengar kalian ngoceh sepanjang hari di depan kostan Bang Hendrik” nadanya seketika tegas membuat Izack geli melihat ekspresinya berubah total dari yang lemah mendadak kuat

Izack menarik nafas dalam dan menghempas lepas. Ia tidak ingin meneruskan obrolan yang bakal menjadikan pertengkaran.

"Kenapa tidak bajuku sekalian saja?"

"Iya, buat bayar hutang" jawabnya penuh semangat  

"Tidak apa-apa, kalau seumur hidup"

"Maksud??" Chika mengernyit menebak-nebak

"Ya nggak bisa begitulah, harus ada penghitungannya" tanggapan Chika serius yang hanya membuat Izack lagi-lagi menyemburkan tawa lebar membuat gadis itu makin kesal atas ketidak pahamannya tentang ucapannya yang demikian.

"Bang, uang 20-30 ribu bagimu mungkin tidak ada apa-apanya, tapi bagiku bisa menciptakan energi baru untuk menghasilkan pundi-pundi uang lebih banyak lagi"

"Ngomong-ngomong, pekerjaan sampinganmu itu apa aja sih?"

Chika nyengir "Tukang cuci piring, kadang gantikan teman di SPBU, kadang mencucikan dan setrika baju teman, kadang belikan makanan buat teman, tapi yang paling baku les privat anak-anak sd dan smp"

"Lalu waktu belajar, kuliahmu, menulismu, kapan?"

"Maka dari itulah waktu 24jam, bagiku kurang. Bang.."

Izack menarik nafas berat menatap wajah Chika yang menurunkan pandangannya pada meja bulat di depannya.

Saat itu menu pesanan datang. Chika melongo saat pramusaji meletakkan semua hidangan satu meja penuh.

"Kamu ada janji sama temanmu, ya Bang?"

"Iya, teman spesial" jawab Izack 

"Oh... Cewekmu?" tanyanya menelisik 

"Mengganggu tidak?"

"Kapan datangnya?" Chika menoleh mencari-cari sosok perempuan dari pintu masuk

"Bukannya cewekku ada di depanku ya?" senyum Izack nakal yang lagi-lagi membuat Chika salah tingkah melihat lelaki itu menata menu ikan gabus dan sop tuna serta beberapa hidangan bersahabat ala orang pasca operasi.

Pandangan Chika seperti tersedak melihat sosok pemulung dan bocah lelaki yang pernah mencuri 2 buah apel dan menabrak dirinya beberapa hari lalu di lampu traffic light tengah mengais sampah di luar pintu Resto. 

"Ayo, dimakan dulu, keburu dingin" kata Izack mengikuti arah mata Chika pada pemulung di luar.

"Kamu kenal?"

Chika menggeleng

Mata gadis itu kembali tertuju pada semua menu yang tersaji di atas meja.

"Cewekmu masih lama, Bang?"

Izack hanya senyum-senyum

"Kan sudah aku bilang, cewekku di depanku"

"Maksudnya?" perhatiannya terpecah pada pemulung tua beserta anaknya yang keburu pergi

"Bang, punyaku yang mana?"

"Itu,"

"Semua?" Chika membelalak

Tanpa berkata ataupun bertanya lagi, ia membawa semua menu miliknya ke atas nampan yang ia minta lagi dari resepsionis.

"Loh? mau dibawa kemana?"

"Sebentar,"

Dengan gerak-geriknya yang masih sempoyongan, ia berusaha berdiri membawa nampan yang langsung direbut Izack.

“Mau dibawa kemana?”

“Kasihkan mereka aja dulu, Bang”

“Loh?!”

“Tolong…” pintanya setengah memohon

“Tapi kamu butuh makan, Chik”

“Aku tidak perlu mencuri untuk sepiring nasi, Bang. Tapi anak itu, hanya gara-gara dua buah apel dia berani taruhan nyawa mencuri sekalipun akhirnya apel itu jatuh dan ditinggal lari”

Waktu seakan berhenti, ia menatap lama wajah gadis di depannya yang cemas khawatir mereka keburu pergi. Tanpa berkata lagi, Izack mengikuti kata-katanya dan membawakan nampan itu keluar, sementara Chika mengikutinya dari belakang sembari menekan balutan bekas luka sayatan yang terasa sangat nyeri saat berjalan. Izack meminta tukang parkir untuk memanggilkan bapak dan anak gelandangan yang sudah berjalan beberapa langkah dari depan resto.

Melihat raut si bocah, Chika menarik nafas lega.

“Ayo makan pak,”

Izack menatakan makanan itu dan menyuruhnya cuci tangan pada pipa kran di sebelah pos. Melihat pemandangan itu, Izack melirik Chika yang terlihat lega di balik wajah pucatnya setelah sekian lama di Rumah Sakit.

 

“Makan yang banyak ya Dik,”

“Matur nuwun mbak…” jawab si bapak dengan kulit wajah kirut-mirut

“Terimakasih ke dia pak, itu punya dia”

“Sudah…” bisik Izack menepuk pundaknya, spontan Chika menoleh menatap tajam tangan Izack yang langsung diangkat dan tersenyum tipis.

“Sory lupa”  

“Matur nuwun mas… semoga Tuhan memudahkan semua urusan mas dan dilebihkan rizqinya mas..”

“Amin.. amin… terimakasih Bapak..”

Gadis itu duduk di belakang si bocah laki sambil mengusap-usap pundaknya.

Pemandangan yang tak lazim membuat lelaki itu terharu. Gadis lugu, polos namun keras kepala itu ternyata memiliki hati yang sangat dalam. Ia menunggu pemulung bapak tua beserta bocah lelaki itu menikmati sarapannya hingga selesai.

Lelaki dengan hidung mancung bermata bulat besar itu kembali masuk dan menunggu Chika dengan wajah sumringahnya. Tak lama kemudian Pramusaji kembali datang membawakan menu yang sama.

"Loh?"

"Makan,"

"Kamu mungkin sudah terbiasa lapar, tapi organ tubuhmu baru saja di repair"

"Jangan seperti ini Bang. Aku memang punya niat syukuran”

"Ya kalau aku punya uang," nadanya turun

"Aku pernah melihat anak pemulung itu mencuri apel di depan lampu traffic light depan kampus, Bang. Gara-gara dia menabrakku, apel yang dia sembunyikan di kaosnya jatuh menggelinding" 

"Sejak itu aku jadi kepikiran terus bagaimana nasib anak itu" 

"Ternyata kesulitanku tidak ada apa-apanya" tuturnya menarik nafas sesak

"Dan hari ini, melihat mereka makan lahap banget, entah kenapa rasanya senang banget. Meskipun entah bagaimana nasib dia besok pagi atau lusa nanti" 

"Tunggu,"

"Bukannya kejadian itu baru minggu lalu ya?"

"Hnggg...???" Chika tampak berpikir keras menghentikan sendokannya

"Saat itu kamu dimarahi calo bertato"

Chika nyengir, "Darimana kamu tahu?"

"Tahulah..." Izack hanya senyum-senyum membuat Chika malu terbayang dirinya menjajakan koran di perempatan jalan

Sesekali mata gadis itu melirik senior di depannya "Sebenarnya sejauh mana lelaki ini tahu tentang diriku?" pikirnya.

"Darimana dia tahu kalau itu aku?"

"Bukannya kalau menjajakan koran di pinggir jalan begitu aku selalu pakai masker tertutup dan topi kompeni?" pikirnya menggigit bibir bawah

"Dan wajahku selalu tertutup"

"Kenapa?"

"Hehe... tidak" Chika geleng-geleng penuh tanya

Izack pun mulai teringat peristiwa dua tahun yang lalu saat perayaan ulang tahun dengannya di Resto ini juga. Saat itu gadis di depannya mengutuk kegiatan yang dianggapnya kegiatan hura-hura. Dan hari ini barulah ia mengerti, mengapa ia mengutuk kegiatan makan-makan semacam itu.

Diam-diam ia sedang mengukir wajah gadis imut nan polos, yang kadang keras kepala namun sekaligus lembut hati. Chika yang tahu dirinya sedang diperhatikan mulai grogi dan salah tingkah membuat Izack tersenyum geli yang tak lama kemudian dikaburkan dengan getar ponselnya dan pamit keluar untuk menerima telphon.

Entah berapa lama Izack telphon, ia kembali lagi dengan segaris senyuman membuat Chika bingung, grogi dan kikuk.

“Bang, balik ke topik pembahasan di mobil tadi”

“Hm,”

“Berapa habisnya biaya perawatanku di Rumah Sakit tadi?” nadanya tegas

Izack hanya tersenyum sekilas sembari meletakkan ponselnya dan kembali menyelesaikan hidangan di atas meja.

“Kamu beneran nggak ingat aku ya?”

Chika menatap sebentar, lalu mengalihkan pandangannya menahan rasa grogi.

“Masa kamu nggak ingat waktu kita ketemu di Rumah Makan ini?”

Gadis itu mulai menggamit perutnya kesal

“Sory. Oke, begini…” jawabnya dan diam sejenak mulai nampak raut grogi, bingung dan kalut semua bercampur jadi satu.

“Anggaplah aku sudah menolong hidupmu, sekarang giliran aku minta tolong ke kamu”

“Mau tidak, kamu menikah denganku?”

“Bang?!”

“Tunggu, dengarkan penjelasanku sampai selesai”

“Akhir-akhir ini orang tuaku selalu ingin menjodohkanku pada perempuan yang sama sekali tidak aku kenal”

“Terus, kamu kenal aku? Begitu??!”

“Kita baru berapa hari yang lalu, Bang” suaranya menekan heran kesal

Izack gelagepan mencari alasan yang pas hingga ia kembali menguasai diri dan bersikap cool seperti biasanya.

“Aku mengenalmu jauh sebelum kamu mengenalku”

“Kamu masih ingat kejadian diguyur di Basecamp AMI waktu dua tahun lalu?”

“Hm, ya. Aku ingat”

“Siapa yang pinjamkan baju ke kamu?”

Chika nyengir teringat peristiwa di jalanan menuju Basecamp yang sepi.

“Hei?!!” Izack menghalau pandangan Chika yang tampak kosong

Di balik kekosongan pandangannya tersirat sedikit tawa yang sedang berusaha ia tahan. Ia ingat betul bagaimana wajah lelaki tinggi dengan alis matanya yang tebal bermata bulat dengan rambut lurusnya yang gondrong, kala itu. Memorinya seperti sedang diaduk-aduk

“Pantas saja, seperti pernah lihat orang ini dimana”

“Ternyata..”

Tak bisa dipungkiri, ia tertarik dengan rambutnya yang menutupi sebagian matanya kala itu jika tersenyum begitu manis. Dan itu adalah lelaki di hadapannya yang kini tengah melamar dirinya.

“Eh? Apa?”

“Oh, nggak ingat aku” potongnya pura-pura memalingkan wajah sembari menggigit bibirnya dengan perasaan meluap-luap.

Tapi dirinya sadar, bahwa pernikahan bukanlah peristiwa main-main. Sekali ia dalam ikatan, selesai sudah kehidupannya yang bebas dan mandiri.

Izack menghela nafas kesal merasa dicueki.

“Oh, oke. Ya sudahlah… lupakan” katanya segera mempercepat sisa makanan di piringnya. Selesai itu ia tak berkata apapun dan…

“Ayo! Cepat selesaikan makanmu” nada suara Izack tidak enak meninggalkan Gazebo. Saat itulah ia mulai tahu bahwa lelaki itu juga bisa marah setelah sekian hari di Rumah Sakit tak begitu peduli dengan lelaki tersebut. Gadis itu bingung dengan sebagian menu yang belum tersentuh sama sekali. Ia memanggil pramusaji untuk minta tolong dibungkuskan sisa-sisa makanan dan mengikuti Izack yang telah berdiri di depan kasir.

Ia berdiri di belakang Izack seperti anak kecil yang ngekor kemanapun membuat lelaki itu hanya senyum sekilas menunjukkan kemenangan yang membuat Chika lagi-lagi bingung. Saat lelaki itu masuk ke ruang parkir, gadis itu ragu mengikutinya. Ia berhenti dan berdiri mematung di depan mobil.

“Kenapa?”

Ia diam ragu seperti ada yang ingin dikatakannya

“Ayo, Cepat. Duduklah di depan, jangan duduk di belakang, aku bukan sopirmu”

Chika menarik nafas kesal pada lelaki yang baru berapa menit lalu membuatnya salah tingkah.

Ia masuk mobil saat langit benar-benar telah gelap. 

Hening,

“Maaf Bang, soal tadi”

“Apa? Yang mana?” suaranya datar seolah tidak terjadi apapun

Lagi-lagi ia menghela nafas kesal seakan sedang dipermainkan perasaannya

Ia menggamit ujung baju ragu hendak berkata

“Soal biaya Rumah Sakit dan kata-katamu tadi”

“Oh…”

“Kalau nggak mau, ya sudah nggak usah dipikirkan”

Sesaat perasaannya seperti sedang meluncur dari ketinggian papan luncur. Mulutnya tampak ragu dan gagap hendak berkata. Terang saja, sebenarnya ia mulai ada rasa suka dengan lelaki yang nyaris sempurna di matanya. Tapi pertanyaannya, seberapa pantas lelaki itu menikah dengan dirinya yang jauh dari kata sempurna.

“Bagaimana kalau kita saling kenal lebih dulu”

“Aku khawatir, kamu akan kecewa jika tahu aku yang sebenarnya”

Izack memainkan jarinya di bawah hidungnya mengulum tawa kemenangan.

“Ehmmm…”

“Okey”

“Sok, kamu mau tanya aku apa?”

“Apa kamu punya pacar?”

“Belum dan tidak pernah”

Chika melongo, tapi ia tipikal gadis yang tidak mudah percaya begitu saja pada seseorang.

“Maaf, kalau boleh tahu… kegiatanmu selain kuliah apa saja?”

“Emmm… mengurus penerbitan kecil-kecilan. Itupun kantornya masih ngontrak”

“Oh..”

“Yesss! Peluangku bisa bekerja di Editorial” pikir Chika tersenyum sekilas. Dan ia mulai berkhayal seandainya bekerja di kantoran, setidaknya jauh lebih nyaman dibanding harus bekerja di spbu atau rumah makan, atau sekedar jadi pedagang asongan hingga mata pun perlahan terpejam dengan segaris senyuman membuat Izack tertawa lebar melirik gadis polos itu kembali tertidur pulas.

Tak terasa dua jam perjalanan sudah terlewati, tapi pikirannya masih berkecamuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi seandainya yang dikatakan Hendrik itu beneran terjadi.

Ia mulai menepiskan laju kendaraannya. Melihat leher gadis itu tersibak dari rambutnya yang lurus tergerai, perasaannya mulai terguncang dan segera menutupnya dengan selembar selimut yang ia ambil dari jok belakang. Dan meremas tangannya seakan sedang menekan hasratnya yang sekedar ingin menyentuhnya.

Sesekali ia melirik gadis dengan rambut panjangnya yang masih acak-acakan..

Sembari menarik nafas dalam ia mencengkeram erat gagang sopir, seperti tengah meyakinkan diri untuk sesuatu, Izack menghadapkan wajahnya pada pandangannya yang jauh.

"Okey," gumamnya sembari menarik nafas 

Entah sudah berapa jam malam itu terlewati, tapi kegaduhan pikirannya tidak segera padam. Hingga ia kembali menepiskan laju kendaraannya dan segera keluar sekedar menghirup udara segar malam yang kian larut di sekitar area persawahan yang sepi. Ia bersandar pada cap depan mobil dan mulai  membuka tabletnya, memeriksa jadwal, pekerjaan dan pertemuan yang sempat ia cancel beberapa hari yang lalu.

Chika keluar dengan mata masih kriyepan.

"Sudah sampai mana ini, Bang?!!" tanyanya menampakkan wajah polos dan imutnya sembari membenjatkan mata yang masih terasa berat untuk melek. Tapi lagi-lagi ia penasaran dengan apa yang akan lelaki ini lakukan, sementara ia sudah merasa trust dan nyaman pada lelaki ini.

"Kita jadi ke rumahku, kan??" Chika mengernyit sambil mengucek mata bulatnya memutarkan pandangan ke sekeliling pada area pegunungan yang gelap.

Izack meneguk sebotol air mineral yang lalu diletakkannya di atas cap mobil sembari memperhatikan kilatan bening mata dan bibir ranumnya gadis itu terpantul kilatan cahaya bulan.

"Masa kamu tidak tahu jalanan ini?" 

Chika riyep-riyep membenjatkan mata melototkan matanya yang kecil tetap saja tampak kecil.

Tak bisa dipungkiri, sebagai seorang lelaki, melihat gadis cantik imut berwajah lembut seorang diri di malam hari yang gelap rasanya ledakan hormonalnya luar biasa dahsyat. Ia mulai merasakan tubuhnya panas sekalipun udara malam terasa benar-benar dingin menggigit. Tubuhnya mulai gemetar panas dingin menahan hasrat sekedar membelai atau menciumnya. Tapi ia sadar, sekali saja ia menyentuhnya, bakal ada dua kemungkinan, ia akan ditolak atau menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang gadis.

"Ah... dasar kau iblis!" umpat Izack dalam hati meninggalkan Chika yang masih berdiri bingung 

"Bang, tunggu!" Chika berlarian seperti anak kecil mengikuti Izack masuk mobil.

"Nanti kalau sudah sampai di depan pintu gerbang desa, turunkan aku ya...?" katanya sembari mengikat seat belt

"Maksudnya??

Chika nyengir "Kamu nggak usah masuk ke Desa itu?"

"Terus?"

"Ya pulang"

"Maksudnya, kamu?!"

"Jalan kaki??"

Chika nyengir "Iya,"

"Serius?? Nanti kalau kamu hilang digondol wewe, berita yang muncul Ketua AMI sembunyikan gadis misterius"

Chika tertawa lebar "Ya enggaklah..."

"Lha terus kenapa?" tanyanya lagi pura-pura bodoh

"Haduh... Gawat lah, pokoknya"

"Digebuki warga Desa??!"

Chika tertawa "Enggaklah, gila apa?"

"Terus??"

"Sudah, pokoknya begitu saja. Bahaya"

"Disuruh menikahi gadis yang ajak pulang laki malam-malam??" 

"Baguslah kalau begitu" 

"Darimana kamu tahu?" Chika melotot, spontan menutup mulutnya merasa keceplosan yang membuat Izack spontan tertawa ringan 

"Kamu tidak ingat tulisanmu sendiri di koran yang ditempel dengan bangganya sama fakultasmu?" Chika melongo gelagepan mengatur pikirannya yang spontan berantakan 

"Kebetulan saat itu aku main ke kampusmu" 

"Hendrik bilang, itu kamu yang menulis" 

"Saat itu aku lihat kamu serius baca buku di depan kelas" jelas Izack lagi yang membuat jantung Chika spontan berdebar tak karuan menangkap apa yang bakal ia lakukan

"Sebelum aku melangkah seperti ini, ada banyak hal yang sudah aku pertimbangkan, Chika..."

"Maksudnya??!"

"Kan kamu yang minta diantar, sama saja kamu memintaku kan..."

"Maksudnya apa?" Chika melotot cemas, geram, campur aduk

"Menyerahkan hidupku begitu saja pada orang yang nggak aku kenal???" pikirnya mengutuk kesal

"Okey, kamu ganteng, kaya, mapan. Tapi apa jadinya jika begitu menikah, hari berikutnya kamu sudah menggandeng perempuan lain?" batinnya berontak kesal

"Kamu pikir, aku perempuan macam apa, huh?!" batin Chika terus ngedumel

"Stoooppp..." pekik Chika seperti meneriakkan kekacauan pikirannya yang terus bersuara dan hanya ditertawakan Izack melihat raut cemas dirinya

"Hei, Non.. semua kan bisa dibicarakan baik-baik"

"Tidak bisa, Bang..."

"Lihat kanan kiri, kita justru bahaya kalau berhenti di sini"

Begitu melihat penginapan di kiri jalan, Izack langsung banting setir memasukkannya ke area parkir hotel.

"Okey, kita tidur di sini aja"

"Maksudnya?!"

"Ayo!" Izack membukakan pintu

"Kita tidur di mobil saja sampai pagi" jawab Chika tak bergeming  

"Kamu mau jatuhkan nama baikku lagi kah?"

"Maksudnya?!!"

Izack mengutak atik tablet tipisnya dan menyodorkan pada Chika.

Perilaku Ketua Umum AMI naksir gadis misterius

Spontan Chika tertawa ngikik menahan bekas sayatan di perutnya melihat ekspresi wajah Izack yang lucu saat menolong dirinya sejak di kost hingga Rumah Sakit.

"Berat ya, jadi orang terkenal"

"Lagipula, sempat-sempatnya mereka mengambil gambar ini"

"Ya begitulah,"

"Jadi kau tahu kan.. apa jadinya jika kita tidur di mobil?" 

"Kita ini di kota kecil, Bang. Mana ada yang mengenalmu?" tawanya setengah mengejek

"Bilang saja kamu mau tidur denganku" tukas Izack 

“Hoo..khh.. terlalu percaya diri” kutuk Chika

"Begini, kamu tidur di penginapan. Aku naik ojek pulang ke rumah. Di ujung jalan itu biasanya ada pangkalan ojek"

"Jam segini?"

"Memangnya kenapa to, kalau kita beneran dinikahkan" katanya santai membuat Chika spontan melotot aneh

"Bang, kamu nggak sedang putus asa berhadapan dengan gadis miskin yang hutang puluhan juta denganmu kah?"

Spontan Izack terkekeh

"Kamu sadar sedang bicara dengan siapa?"

Chika mencibir meremehkan

"Apa artinya seorang pebisnis ketika mengeluarkan uang banyak untuk orang yang kamu kira baru kenal"

"Oke deh, baiknya gimana?" potongnya tak mau ribet

"Ngobrol di rumah, minimal dengan pamanmu"

"Oh, No!"

"Terus??"

"Kamu tidur di sini, aku naik ojek"

Izack menarik nafas lelah

"Jadi, serius kamu tidak ingat aku?"

“Kalau ingat, terus apa hubungannya sama sekarang?” Chika menggeleng bingung

"Untuk itu kita ke rumahmu, mudah kan??"

"Semudah itu?!" nafas Chika tersengal kesal

Tiba-tiba Security hotel datang.

"Ada yang bisa dibantu, Mas?"

Melihat Chika kekeh menggeleng-gelengkan kepala, Izack pun minta maaf dan masuk mobil mulai membelokkan kendaraan keluar dari area hotel. Namun entah berapa kilometer mobil itu berjalan, Chika kembali tidur pulas, dan Izack pun mulai tenang.

"Bang??!!" spontan membuyarkan pikirannya mendengar gadis itu kembali terbangun

Pikiran Chika makin kacau begitu masuk ke area persawahan desa pamannya saat jam digital di mobil menunjukkan pukul 23.45.

"Bang! Serius. Kita berhenti dulu di sini"

"Semua kan ada penyelesainnya, Non.."

"Serahkan penyelesainnya ke aku, deh.."

"Kamu tidak tahu bagaimana desa pamanku, Bang!" kepanikan Chika makin menjadi-jadi begitu digital maps menunjukkan hampir sampai di titik tujuan. 

Saat jam digital di dashboard menunjukkan pukul 00.00, saat itulah roda kendaraan terparkir di halaman yang lumayan luas.

"Hei, Non... Bener ini rumahnya?" tanya Izack memalingkan wajah pada Chika yang sudah menutup wajahnya rapat-rapat dengan selimut yang perlahan dibuka dengan mata basah terlihat genangan air mata yang berulang kali ia tahan membuat Izack tersenyum lebar.

"Hei... Biasa aja, jangan parno begitu. Semua bisa dibicarakan baik-baik, kan?"

Di bawah temaram lampu neon, tiga orang lelaki duduk-duduk di depan rumah yang berdinding bambu dan berlantai tanah. Melihat sekelebat seorang lelaki mendatangi kendaraan tersebut, air mata Chika makin deras membuat Izack terpaksa keluar menghalau lelaki itu untuk sekedar melongok ke dalam.

“Benar ini rumahnya Pak Syainuri ya?”

”Oh, ya benar mas…”

“Ada perlu apa ya mas?”

Di balik Dashbor Chika menyeka air matanya hingga benar-benar kering dan tak terlihat bekas tangisan. Ia berusaha menyadarkan dan meyakinkan dirinya agar kondisi kemungkinan terburuk bakal dinikahkan secara paksa oleh warga tidak akan terjadi.  

Begitu melihat Chika keluar dari mobil membawa barang bawaan yang ia ambil dari bagasi, Izack segera lari mengambil alih barang bawaannya.

“Sudah berapa kali aku bilang”

“Jangan mengangkat barang berat dulu”

Melihat pemandangan itu dari jauh, pamannya antara kaget, bingung dan tanda tanya.

"Ada apa, Nduk??"

Chika tak menjawab, ia nylonong masuk tanpa menjawab sepatah katapun.

Izack membawakan barang bawaan Chika beserta berkas rekam medis yang ia letakkan di sebelah pintu masuk.

"Mari masuk dulu, mas..." Ujar Pak leknya bingung

Begitu ketiganya duduk di atas tikar yang baru saja dibentangkan bu lek nya, barulah Izack memahami, mengapa gadis itu kerja keras mati-matian menghidupi dirinya.

"Maaf Bapak... Ini saya malam-malam sekali antar Chika pulang. Dia baru opname satu minggu di Rumah Sakit" 

"Oh?!!" Pamannya melotot kaget bangkit segera beranjak 

"Sakit apa Nduk?" seorang bapak-bapak yang duduk di bangku panjang depan rumah itu menyela.

"Usus bocor, bapak.."

"Ya Allah! Apa penyebanya? Jatuh?"

"Kurang tahu saya Pak. Kebetulan saya hanya teman tetangga kostnya dia yang kebetulan melihat dia kram perut sampai pingsan di kost-kost'annya"

"Masya Allah... Untung ditolong mas'nya"

"Lalu biaya Rumah Sakitnya gimana, mas?" tanya Pamannya cemas diikuti wajah kusut istrinya yang baru bangun tidur. 

Chika melototi Izack seketika

"Oh.. kebetulan dia kan kerja, pak.. jadi ditanggung sama Asuransi perusahaan"

"Oh... Beruntung sekali kamu... kuliah bisa sambil kerja" ujar tetangganya yang hanya dijawab senyum kecut Chika.

"Ya Allah Nduk..." Bu lek nya seketika berkaca-kaca dan mulai menangis merangkul Chika yang tengah berhati-hati dengan area perut.

Dia mulai menanyai Chika bekas luka operasi.

"Kata Dokter, pola makannya lebih dijaga lagi Bu.. karena dia punya Maag juga, jadi jangan makan yang menimbulkan gas dulu seperti asam dan pedas"

"Ya Allah mas... Sejak kecil dia ikut saya itu apa-apa dia tanggung sendiri mas... Nggak pernah mengeluh, nggak pernah minta" ujar bulek nya yang spontan memeluk Chika dan mengulas-ulas kepalanya.

"Iya mas, saya masih ingat waktu dia smp. Anakku begitu pulang sekolah langsung ngluyur main, tapi dia kerja di warung makan, kadang bantu beres-beres di rumahnya pak dokter"

"Dia itu yatim piatu sejak lulus SD, mas..." cletuk tetangganya membuat Chika hanya menunduk diam tak berani menjawab se patah katapun. Bahkan Izack heran melihat bagaimana perubahan sikap cewek itu di lingkungan keluarganya.

Izack jadi paham, mengapa ia melarang keras datang ke rumahnya. Bahkan ada kemungkinan pamannya pun tidak tahu menahu bahwa keponakannya telah menggadaikan sertifikat rumahnya ke Bank demi membiayai sekolahnya di Perguruan Tinggi.

Bahkan ia mulai bisa membayangkan kehidupan keras seperti apa yang ia jalani selama ini di Yogya sampai-sampai ususnya bocor karena pola makan yang tidak teratur.

Obrolan mengalir begitu saja, hingga dua orang tetangga bapak-bapak itu pamitan pulang.



@@@



Entah jam berapa mereka ngobrol ngalor ngidul sampai tidak terasa terdengar suara adzan dini hari, dan mereka pun pulang saat adzan subuh.

Pagi itu juga berita Chika pulang larut malam diantar lelaki langsung santer terdengar ke seluruh warga desa. Begitu paklek dan buleknya pulang dari surau, wajahnya tampak lemas yang tak lama kemudian diikuti beberapa orang warga yang mana ia tahu itu adalah ketua RT dan RW.

Chika yang sudah cemas sejak malam itu, seketika lari masuk dan nangis sejadi-jadinya begitu melihat kedatangan dua orang lelaki yang membuat Izack bingung. Begitu buleknya masuk kamar mengikuti Chika, suara tangis pecah sejadi-jadinya membuat Izack semakin tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Pak Yatno dan Pak Ramelan harusnya kan tahu" protes Chika beruntun yang hanya didengarkan pak lek dan bu leknya yang tengah berusaha memahami bagaimana hancurnya perasaan keponakannya.

Seumur-umur hidup bersama keluarga itu tidak pernah sekalipun Chika mengungkapkan kemarahannya. Tapi kali ini ia benar-benar tak bisa mentolerir adat daerah yang pernah ia tulis di sebuah koran nasional, bahwa adat daerah semacam itu merugikan pihak perempuan.

Chika menangis keras keluar dari kamar dan membabi buta mengusir Izack hingga berhasil menendang dada hingga terpental kesakitan, membuat beberapa orang melotot kaget. Seketika itu pak RT menarik Chika dan pak RW merangkul Izack, menjauhkan dari amukan Chika yang masih ingin ngejar Izack membuat pak lek nya gregetan bukan main hingga menampar Chika keras-keras yang seketika itu ditarik Bu Leknya.

“Sabar pak.. sabar..”

“Ini keponakanmu satu-satunya..”

“Sudah…”

Pagi itu suara tangis pun pecah, membuat Bu Lek dan Chika pun saling merangkul.

“Sabar Nduk.. sabar..”

“Kalau Izack kamu suruh pergi, itu artinya kamu nggak punya perasaan Nduk,”

“Sudah ditunggu di Rumah Sakit berhari-hari, masih diantar jauh-jauh dari Jakarta ke Yogya, Yogya kesini kok kamu usir, beneran kamu nggak punya perasaan”

“Aku nggak akan marah kalau Pak RT dan pak RW datang, Bu Lek..” tangisnya sedu sedan

"Pak Lek dan Bu Lek kan tahu.. bagaimana duduk masalahnya" suara Chika parau mengusap kasar hujan air mata membasahi wajahnya

"Kita itu benar-benar nggak saling kenal, Bu Lek..."

"Lagipula kenapa juga dia mesti bermalam di sini?!!" gerutu Chika kesal melirik Izack di luar yang masih menekan dadanya

"Kan bisa saja setelah sampai langsung pamit pulang"

"Ya Allah Ndukk... nggak punya perasaan apa kamu? Jauh-jauh dari Jakarta main ke Yogya, menunggu kamu seminggu di Rumah Sakit, diantar sampai Mojokerto. Begitu datang kok langsung disuruh pulang"

"Lihat itu wajahnya capek sekali, makanya kita tahan biar tidur di sini dulu"

"Eh, dia malah ikut ngobrol"

"Kan bisa cari penginapan" potong Chika dan pakleknya merasa kalah

Mendengar umpatan kemarahan Chika bertubi-tubi membuat Pak Leknya mulai risih dengan pak RT dan RW yang memiliki kesepakatan warga demikian.

Tak lama kemudian datang dua orang dari KUA dengan jas hitam, ia langsung dipersilahkan masuk Pak Lek dan Bu Leknya duduk di atas gelaran tikar. Sepasang suami istri itu saling melirik pada keponakannya yang bersungut-sungut menatap Izack seakan ingin menghabisinya saat itu juga. Bu leknya yang duduk di sebelahnya masih menahan tangan Chika takut bakal terjadi sesuatu lagi.

“Ayo cuci muka dulu, biar wajahmu segar” kata buleknya

Chika bangkit dari tempat duduknya, tapi ia hilang kesadaran hingga limbung dan jatuh yang langsung ditangkap Izack seketika membuat orang-orang terharu dengannya yang sigap. Tahu Izack yang menangkap gadis itu kesal hingga lari ke kamar dan menjatuhkan diri di kamar yang gelap dan pengap membuatnya seketika menjerit kesakitan. Izack bingung,

“Bekas luka nya Bu Lek” nada Izack cemas tidak berani ikut masuk ke kamar

“Oh, iya ya Nak” Bu Leknya seketika lari masuk ke kamar

Ia melihat keponakannya kesakitan menahan bekas luka yang ia tekan dengan tangannya yang sudah mengeluarkan bercak darah segar merembes dari kain kasanya.

“Aduh Ndukk… piye iki?”

“Gimana Bu Lek, aku boleh masuk nggak?” lirih Izack keder di balik kain gordynnya yang kusam

“Jangan!” teriak Chika dari dalam sambil merintih kesakitan

“Kenapa mas?”

“Chika Pak Lek..”

Lelaki tua itu segera masuk dan kaget melihat bercak darah segar di tangan keponakannya, sementara gadis itu setengah pingsan terlentang di atas ranjang.

“Masuk aja mas Izack..”

Saat itu Izack masuk, melihat kamar dengan lantai tanah, dinding papan kayu serta atap tanpa plavon Izack hanya menarik nafas dalam perlahan. Melihat berkas obat-obatan dan kain kasa di dinding, dengan cekatan Izack membuka perban dan mulai membersihkannya.

“Untungnya kamu bisa ganti, mas”

“Aslinya nggak bisa Bu, tapi daripada basah seperti itu khawatirnya justru bernanah lalu nggak kering-kering. lama penyembuhannya”  

“Chik.. Chika..!” Pak Lek menggoyang-goyangkan badan

Bu Leknya secepat itu keluar dan muncul dengan segelas teh hangat.

“Ini, diminum dulu”

Saat Chika bangun, ia sadar ada Izack di situ yang seketika membuang muka.  

“Nduk.. ayo ditata bareng-bareng lagi”

“Mas Izack… Bu Lek dan Pak Lek nggak bisa ngomong apa-apa kecuali mohon maafff.. dan terimakasih, serta titip jaga Chika ya mas…”

“Siap Bu Lek..”

“Apapun yang terjadi, saya janji bertanggung jawab pada kehidupan Chika”

“Syukurlah nak...”

“Beginilah warga desa kami” kata Bu Leknya menarik nafas penuh kesabaran

“Pak Syainuri, monggo dimulai..”

Dua orang lelaki itu keluar dari kamar, sementara Izack memperlambat jalannya sengaja ingin mendengar sisa-sisa percakapan tentang dirinya di mata gadis itu. Tapi Chika dan Buleknya segera keluar hingga keduanya kepergok dan tak berani menatap wajahnya satu sama lain. Chika duduk bersimpuh di sebelah Izack hingga acara ijab qobul pernikahan pun dimulai dengan khidmat yang diakhiri dengan penyerahan mahar uang dalam bentuk atm.

Di luar, beberapa warga menonton seperti hendak ada pertunjukan. Sementara ketua RT dan perangkat desa lainnya sudah menunggu keduanya di atas tikar yang terbentang. Mereka menyambutnya dengan ramah yang diiringi dengan sedikit canda tawa bahagia, tak ada suasana tegang atau sedih sedikitpun kecuali Chika dan bulek serta paklek nya. Bahkan sesekali mereka bercanda menertawakan Izack yang tampak grogi meskipun beberapa kali ia menenangkan diri sebaik mungkin.  

Izack nampak tetap tenang saat mereka berbicara dan menyampaikan alasannya serta hukum adat desa tersebut.

"Maaf sebelumnya, bapak-bapak... Sekalipun sebelumnya saya pernah ceritakan perihal kami di Rumah Sakit selama beberapa hari karena kondisi dia pingsan di kostnya dan tidak ada yang bertanggung jawab seorangpun. Bahkan tidak ada satu orang temanpun yang menjenguk dia selama di Rumah Sakit, akhirnya saya beranikan diri serius dengannya”

“Jadi mohon bapak-bapak di sini tidak membuat berita yang tidak-tidak untuk Chika, karena sepanjang yang saya tahu dia di Yogya, dia itu pekerja keras dan pembelajar yang rajin"

Para tetangga hanya manggut-manggut mendengarkan, namun seperti biasa, ada ibu-ibu yang bergosip di luar tentang tetangga desanya yang tak lain adalah Rendra yang sering berangkat bareng Chika ke Yogya.

"Iya mas.. apapun alasan mas nya, pernikahan adat ini sudah menjadi kesepakatan kami warga desa. Jika ada gadis atau perjaka desa yang membawa pulang teman lawan jenis malam-malam, akan dinikahkan. Tanpa melihat bagaimana latar belakang masalahnya”

Izack menunduk tenang seakan tengah menyiapkan kalimatnya, sementara Chika justru berharap kata-kata Izack bakal merubah tradisi adat desa yang demikian. Tapi apa yang terjadi…

"Sebenarnya ini seperti sudah diatur sama Sang Kuasa, Bapak-bapak... kedatangan saya mengantar dia memang berniat melamarnya”

“Dia ini tipikal cewek yang tidak mudah untuk didekati”

Gerr…!! Spontan mereka tertawa

“Saya kenal dia sebenarnya sudah dua tahun, terutama lewat artikel yang ia tulis di media online”

“Dan ini adalah pertemuan kami yang kedua setelah dua tahun yang lalu”

“Jadi, daripada berlama-lama, memang saya sudah niat melamarnya” kata Izack yang membuat Chika kaget

“Masya Allah mas..”

“Alhamdulillah…” serempak suara beberapa orang terkagum-kagum mendengar pengakuan Izack

“Memang jodoh tidak akan kemana ya mas…”

Rasanya dunia tengah berputar-putar membuat pandangannya sedikit oleng. Tapi ia sadar harus kuat. Tapi lagi-lagi badannya panas dingin perlahan sesak menekan dada. Namun melihat sikap Izack yang begitu tenang ia berhasil menekan itu semua dengan menarik nafas berulangkali, hingga ia sadar Buleknya memanggil namanya memberi kode untuk menerima jabatan tangan Izack. Chika yang kikuk hanya menyalami dan menariknya cepat membuat beberapa orang senyum-senyum.

“Kok seperti kesengat listrik aja mbak!”

Gerrr… lagi-lagi tawa mereka membuat keduanya malu

“Huekh.. tangannya lembut banget” pikir Chika sekilas

“Ulangi lagi coba, saya ambil foto”

“Dicium dong mbak..” canda pak RT

Diam-diam Izack keki kembali menyodorkan tangannya yang disalami Chika dan dicium sekilas membuat orang-orang tersenyum lebar.

“Ketahuan kalau nggak pernah pacaran” tawa Pak Kadus yang disambut celoteh pembenaran bapak-bapak lainnya.

“Alhamdulillah…”

Sambutan dari pak Kadus seakan memberi warning pada Izack yang statusnya sudah berubah menjadi seorang suami, begitu juga dengan Chika yang kini statusnya tidak bisa semena-mena lagi.

Tak lama suara handphone Izack berbunyi, ia pamitan menghindari kerumunan bapak-bapak di luar rumah. Begitu pula dengan Chika yang tak kuasa ingin menangis, ia pamitan pergi dan masuk kamar yang diikuti Bu leknya.

Saat itu Izack tengah menerima telephone di dapur yang berbatasan dengan kamar dimana Chika dan Bu leknya berada. Mendengar suara isak tangis, pikiran Izack sedikit agak berantakan teringat janjinya akan menyelesaikan dengan berbicara baik-baik, tapi yang terjadi justru serius Ijab Qobul pernikahan.

“Oh, ya sudah. Nanti aku kabarkan ke Papa” jawab lelaki du ujung telphon

“Okey”

“Lalu kapan masuk kantor? Ini proposal proyek Perpustakaan digital pemerintah pusat sudah siap menerima kedatangan kita”

“Emm… mungkin lusa Zin”

“Nanti kakak dibawa juga ke Jakarta kah?”

“Emm… mungkin”

“Kalau begitu apa yang perlu kami siapkan?”

"Sepertinya kita cuma butuh disiapkan makan dan tempat tidur saja Zin”

"Oke, baik Bang”

"Oh ya, satu lagi tolong mintakan team IT kita untuk menghapus semua berita tentangku di data pencarian internet"

"Baik, Bang"

Sesaat ia mulai mendengar suara isak tangis Chika di kamar yang bersebelahan dengan dapur.

“Izack itu orangnya ramah, tulus, sayang, pintar, wawasan juga luas, tampan juga. Kurang apa coba? harusnya justru kamu bersyukur" suara Buleknya terdengar sayup-sayup

Izack yang masih berdiri di samping kamar seketika hendak melangkah pergi, tapi langkahnya terhenti begitu melihat keponakan Chika tengah serius mengerjakan tugas di depan kamar tersebut.

"Justru itu Bulek… aku takut terlalu jauh suka dia"

"Loh, kenapa?"

"Malah bagus to? suami istri saling suka"

"Iya kalau saling suka,"

"Kalau sepihak?"

"Bulek tahu kan.. bagaimana mudahnya orang-orang kaya menganggap remeh pernikahan?" protes Chika dengan isak tangisnya lirih

"Dia itu anak orang kaya di Jakarta Bu lek, ketua umum organisasi Mahasiswa se Indonesia pula"

"Bisa dibayangkan dengan kehidupan kita"

“Apa jadinya setelah menikah dia bakal memperbudak aku dengan kondisi latar belakang kita yang seperti ini”

“Nduk..  Bu Lek paham apa maksudmu”

“Bu lek memang orang miskin yang tidak sanggup menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi”

“Bahkan kamu sering bantu keuangan kita” 

“Bukan itu maksudku, Bu Lek”

“Sejak dulu aku bercita-cita membantu usaha pertanian Bu Lek biar lebih maju”

“Jangan bercita-cita jadi petani, Nduk…”

“Percuma kamu sekolah tinggi-tinggi hanya mendarat di sawah, apa kata orang desa nanti”

“Bu Lek, teknologi sudah maju pesat, pola yang bakal aku pakai bakal beda jika aku dibolehkan ikut garap sawahnya Bu lek”

“Jadi jangan takut sama omongan orang lain”

“Aku mimpi jadi petani muda yang sukses, Bu Lek..”

“Makanya aku menentang keras pernikahan adat semacam ini, hidupku bakal hancur jika menikah”

“Ssstt…!! Jangan berkata yang jelek-jelek Nduk!”

“Tolong Pak Lek!” suara tangis pun pecah terdengar isak tangis Chika

"Nduk… Izack itu sepertinya lelaki baik-baik yang bisa diandalkan”

Chika tersenyum pahit “Bu Lek banyak lelaki semacam itu yang hanya manis di depan, tapi begitu berkeluarga..”

"Bu Lek tahu berapa angka perceraian di Jakarta saat ini?"

Perempuan itu kewalahan menanggapi cecaran Chika yang hanya membuat Izack tersenyum pahit memikirkan hal buruk yang bakal terjadi di pernikahannya nanti.

"Dia itu sudah menyelamatkan hidupmu, harusnya kamu bersyukur dipertemukan orang baik-baik seperti dia"

"Bu Lek, dulu aku memang sempat naksir dia, tapi itu dulu"

“Nah! Bersyukur kamu,”

“Bu Lek nggak tahu kan, barangkali saja dia sudah punya istri”

"Chika, kenapa dari dulu pikiran negatif selalu kamu kedepankan?"

"Kata Pak Lek, semalam ngobrol sama dia lumayan lama, tapi tidak tersirat sedikitpun pikiran buruk dari gelagat dia yang tulus”

“Kenapa kamu yang sudah berhari-hari ditunggu dan ditolong malah berpikir sebaliknya?" Ujar perempuan kurus ceking itu membuat mulut Chika kehabisan kata-kata. Tapi Chika tak putus asa, ia terus mengikuti Bu leknya keluar dari kamar hingga keduanya kaget melihat Izack di depan ruangan itu membantu mengerjakan PR kedua anaknya. 

"Sory, aku..."

Tanpa berpikir panjang Chika menarik siku Izack menyeretnya ke dapur yang masih berlantai tanah. Saat itu beberapa orang sudah pamitan pulang, termasuk orang dari KUA serta beberapa perangkat desa.

Chika baru sadar tangannya menarik pergelangan tangan Izack saat itu, ia langsung melepas begitu saja dan pura-pura innocent.

"Maaf" jawabnya yang hanya membuat Izack senyum manis

Izack mulai berani menghadapi Chika, tapi tidak dengan gadis itu. Lelaki beralis mata tebal itu duduk tenang di atas dingklik sambil mendinginkan badannya di depan tungku.

"Kamu pakai baju tipis seperti itu apa tidak kedinginan?" ujarnya memperhatikan Chika sekilas dan kembali mendekatkan kedua tangannya pada tungku.

"Bang, kepalaku rasanya seperti ada bom waktu, kenapa mesti kedinginan?"

"Kenapa kamu tenang sekali?!!" ujar Chika keder dan kesal

"Terus, kamu mau aku marah-marah?"

"Kamu ini sadar tidak sih?"

"Iya,"

"Terus?!"

"Kenapa kamu diam saja? Kenapa tidak lakukan negosiasi dengan perangkat desa?"

"Kamu pikir dengan mendebat orang sekampung aku bisa menang?"

Chika tampak putus asa, berkali-kali ia mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya yang panjang hingga berantakan.

"Harusnya kan begitu datang, kamu bisa langsung pamitan pulang"

“Hmmm… Chika!” suara itu membuat Chika melotot kaget melihat pamannya berdiri di pintu masuk dapur membuat Izack tersenyum lebar dengan tetap tenang menghangatkan telapak tangannya di depan tungku.

“Kamu itu apa nggak mikir to, Nduk?!” geram Pak Leknya tiba-tiba sambil melotot kesal yang langsung ditarik istrinya. Perempuan itu memberi isyarat pada suaminya segera keluar dari rumah memberi ruang bagi keduanya untuk ngobrol. Melihat gerak-gerik sepasang suami istri tersebut, Izack hanya senyum paham mengiyakan saat keduanya pamitan ke pasar.

Izack menarik jari Chika untuk duduk di bangku kecil sebelahnya. Ia mulai ngobrol santai dengannya saat tahu para tamu, bahkan Bu Lek dan Pak Leknya sudah tidak ada di dalam.

“Bukankah tadi malam kamu bilang semua bisa dibicarakan?”

“Seperti inikah yang kamu maksud?” kata Chika yang lagi-lagi menjatuhkan air mata. Izack mengeluarkan sapu tangan dan menyodorkannya, tapi Chika merebutnya dengan kasar.

Dirinya sadar, hutang budi pada lelaki itu terlalu besar hingga ia tak sanggup membayangkan untuk membayarnya. Tapi bagaimanapun, mengakhiri masa lajang di usianya yang masih belia adalah mimpi buruk untuknya, apalagi belum kenal siapa sosok suaminya, bagaimana keluarganya.

Tiba-tiba saja ia menjerit keras membuat Izack kaget spontan dibekap dan didekapnya erat pecahlah suara tangis sejadi-jadinya dalam dekapan.

“Oke, semua akan baik-baik saja Chika,”

“Maaf maaf, aku benar-benar minta maaf”

“Aku mengaku salah”

“Tapi jujur saja, semua di luar ekspektasiku tadi malam”

“Aku kira..”

“Cukup!” bentaknya kesal yang langsung kembali dibekap saat handphonenya bergetar. Itu adalah teman-teman Mabes AMI

“Bang, data kita kebobolan” suara itu nyaring terdengar membuat Izack melotot kaget

“Huh?!”

“Hubungi teman-teman tim IT cabang Yogya, kerahkan semua kemampuan kalian juga. Itu data project besar semua, kalau kebobolan bisa selesai urusan kita”

“Tapi masalahnya data sudah langsung keluar ke media sosial, Bang”

“Ah! Kacau, blokir semua situs yang menampilkan”

“Kalau perlu serang balik yang membobol situs kita”

 

“Nggak penting aku pulang atau tidak, yang terpenting tolong update terus berita pengambil alihan kendali situs kita”

“Aku usahakan besok siang sudah sampai”

“Mau aku pesankan tiket pesawat atau kereta, Bang?”

“Enggak Zin, aku hanya butuh driver”

“Oke Bang, sore aku pastikan orangnya sampai situ deh”

“Darimana?”

“Anak AMI aja kalau bisa”

“Oke, siap”

 

@@@

 

Sore itu suasana desa benar-benar hening, bahkan sangat tenang. Gulungan awan putih berlatar langit biru tampak cerah di depan rumah yang masih terbuat dari anyaman bambu dan sebagian lagi dari papan kayu. Hamparan rumput hijau terbentang luas melapisi halaman depan rumah yang mana kanan kiri rimbun pohon jambu.

Saat keluar dari dapur, Chika melihat sekelebat bayangan Izack yang duduk seorang diri di teras.  Setengah ragu ia keluar dan duduk di kursi kayu dengan kaki-kaki yang tampak keropos sehingga mudah goyang saat diduduki.

“Awas!” pekik Izack membuatnya kaget hingga keduanya tertawa, saat itulah dua pasang mata saling menatap membuat keduanya kikuk. Tapi Chika langsung duduk hingga wajahnya sama-sama menghadap ke halaman rerumputan hijau segar.

“Kamu kecewa ya Bang?!”

“Bukannya yang kecewa kamu ya?”

Lagi-lagi ponselnya bergetar. Melihat sekilas layar screennya Izack beranjak menghindar, ia agak menjauh dan mulai berbicara pada seseorang di ujung telephone yang menjadikan Chika mulai curiga.

“Baik, aku tunggu” potong Izack dan duduk di posisi semula

Izack menarik nafasnya dalam seakan tengah memperbaiki emosinya dan menumpu kaki kanannya di atas kaki kiri.

“Kenapa dari tadi kamu terlihat tenang sekali?”

“Terus suruh gimana? nangis guling-guling sepertimu?” katanya membuatnya lagi-lagi tertawa geli

Tiba-tiba saja handphonenya bergetar, itu adalah Alvin.

“Halo Big Bos! Akhirnya… mengakhiri masa lajang juga”

“Mantap! Keren! Keren!!”

“Darimana kamu tahu?”

“Ozin lah”

“Oakh.. itu orang”

“Salut aku sama dirimu, pantang pacaran langsung nikah”

“Gimana rasanya??”

“Biasa aja?”

“Kapan kau pulang Jakarta? AMI sudah geger kehilangan kau beberapa hari”

“Ya biasa lah, dialektika harus terus dibangun terus menerus. Kalau enggak, bubarkan saja itu Mabes” jawab Izack santai membuka video call yang hanya disimak Chika

“Mana perlihatkan istrimu, aku curiga jangan-jangan istrimu laki-laki” suara lelaki itu membuat Chika menyemburkan tawanya geli

“Sembrono!” Izack memperlihatkan Chika yang sedang mengayunkan dua kakinya dan menoleh saat layar tipis itu dihadapkan ke arah gadis itu sambil dadah dadah

“Halo mbak, kenalkan aku Alvin teman gila dia” seru lelaki itu rame dengan latar belakang café

“Oh… lho?! Dia bukannya cewek yang…???” suaranya tersendat mengingat-ingat

“Lagi dimana kau?” potong Izack seakan tahu apa yang hendak dikatakannya tentang gadis itu yang jualan koran. 

“Dimana lagi kalau bukan di warung”

“Begitu dibilang warung?” Chika melotot yang hanya disenyumi Izack

“Vin, lihatlah!!” katanya sembari memutarkan kamera ke sudut-sudut halaman rumah yang hijau

“Waa…”

“Pantes aja nggak bersuara kamu, nyaman betul suasananya”

“Makanya, telingaku gatel dengar kamu tanya kapan pulang ke Jakarta” jawab Izack membuat Alvin tertawa ngakak

“Nggak ingat hutangmu??”

Spontan Izack tersenyum ringan “Ahsyy…!! Merusak suasana aja kau”

“Sudahah!!” seru Izack yang disambut tawa lebar Alvin

“Puas-puasin deh malam pertamamu”

“Oke, bye!”

Izack diam menundukkan wajah seakan menyimpan semburat senyum tipis di bibir.

“Kenapa senyum?”

“Oh! Nggak apa-apa” jawab Izack seakan memecahkan lamunan panjang

“Jalan, yuk!” Izack berdiri menjulurkan tangan yang hanya dilihat begitu saja

“Hei!”

“Ayok!”

“Aku belum kuat jalan jauh, Bang”

“Seperti ini kamu bilang mau pulang sendiri naik Bus”

“Ayookkk…” tangannya ditarik membuat Chika luluh dan kalah dengan ajakannya.

“Pernikahan itu bukan akhir dari segalanya, Non” ujar Izack teringat kata-katanya kemarin

Untuk yang kedua kalinya ia merasakan sentuhan tangan lelaki ini setelah ijab qobul pagi itu. Bahkan kini perlahan lelaki bermata bulat ini lebih berani menggenggam erat tangannya sembari menawarkan senyuman. Izack berjalan tenang sambil mengulum senyum melihat wajah Chika muram hingga ia membukakan pintu mobil untuknya yang membuat Chika merasa benar-benar tersanjung.

Begitu keduanya di dalam mobil, Izack yang masih senyum-senyum dilirik Chika.

"Kenapa aku melihatmu seperti neraka dan pangeran berkuda ya?!" ujarnya yang spontan disambut tawa lebar Izack

"Serem amat, neraka"

"Iyalah!"

"Perempuan itu kalau sudah menikah, berasa masuk neraka"

“Dari soal masak, beres-beres sampai berbasa-basi ria dengan orang lain. Aku paling benci dengan itu semua"

“Kalaupun adat kita tidak menyudutkan melajang, aku lebih memilih tidak akan menikah daripada menjadi budaknya lelaki”

"Pantas badanmu sulit gemuk kalau pikiranmu terlalu jauh" kata Izack santai memutar setir keluar dari halaman rumah pamannya

"Dari dua tahun yang lalu aku lihat badanmu segini-segini terus" kata Izack membuat Chika bingung

"Maksudnya dua tahun yang lalu?"

Spontan mulut Izack datar lurus “Hadeehhh… perasaan temanmu juga nggak banyak, tapi kenapa mengingat satu orang aja kamu nggak bisa?”

Chika nyengir menampakkan giginya seolah tidak mengingat, sekalipun dalam batin ia malu bukan main andai ketahuan dirinya yang naksir lelaki itu merasa dirinya seperti tengah melambung terbang tinggi.

"Masih ingat ulang tahunmu dua tahun yang lalu? Di resto, dirayakan bareng teman-teman AMI”

“Itu mah bukan merayakan ulang tahunku, pas kebetulan aja ada kakak senior yang ulang tahun”

Klik!  “Nah!”

Chika kaget “Kenapa?”

“Masih ingat siapa seniormu itu?”

“Tapi kalau orang-orangnya…?” lagi-lagi Chika nyengir sambil menggeleng

Izack melotot “Serius kamu nggak ingat?”

Perlahan membuat raut Izack kecewa.

“Nggak ingat juga, yang pinjami baju kamu?”

“Baju?” tanyanya ulang pura-pura tidak mengingat

“Bang, kenapa kamu mau dijodohkan semacam ini denganku?”

“Padahal kamu tahu aku juga baru berapa detik”

“Itu yang kamu tahu...” Izack menggeleng-geleng kepala

"Bang!" kali ini Chika berusaha memastikan dirinya sedang bertanya serius sementara Izack tetap berusaha tenang setenang mungkin, hingga akhirnya ia menepiskan laju roda mobilnya ke pinggiran jalan dekat telaga yang sunyi. 

Para petani yang tengah berlalu lalang mengendarai sepeda, motor, kadang berjalan kaki memperhatikan mereka berdua seperti pasangan artis. 

"Mbak Chika... selamat ya..." sambut ibu-ibu petani memakai caping gunung menggendong kayu bakar di punggungnya saat Chika keluar dari mobil

"Wah... ganteng'e to mas'e" tiba-tiba dua orang ibu petani yang tak dikenal menyapa dengan polosnya Izack yang baru saja menutup pintu mobil

Chika hanya cengar cengir menyipitkan matanya yang kecil.

"Jalan-jalan dulu mas..." kata si ibu memakai caping gunung sambil berlalu

"Injih bu..." jawab Chika

"Iyo, Alhamdulillah kui genduk, sekolah ning Yogya entuk bojo koyo artis. Sugeh neh,"

Spontan Izack tersenyum lebar mendengar obrolan si ibu tadi.

"Kenapa ketawa?"

"Kan mereka yang bilang, kalau aku mirip artis"

"Memangnya kamu paham, ibu-ibu ngomong apa?" 

"Yah... se enggaknya, hidup di Yogya 5 tahun. Paham dikitlah, bahasa jawa" ujarnya menatap Chika lembut

"Sudahlah, hidup itu dibuat ringan saja, nanti akan ringan hidupmu" katanya mengusap kepalanya layaknya anak kecil

"Itu kamu, yang nggak pernah hidup susah"

"Nah, sekarang kan kita akan hidup bersama. Ikuti saja kehidupanku"

"Tapi kan hidupmu baik-baik saja dari dulu, Bang..."

Spontan Izack merangkul kepalanya yang lebih pendek 20cm dibanding dirinya. 

"Nanti kamu ikut aku kan?"

"Kemana?"

"Ke Jakarta"

Spontan Chika melepas tangan Izack "Ogah!"

"Hei...! kamu itu perlu istirahat"

"Justru di sini aku bisa istirahat"

"Aku benci kota Jakarta"

Izack diam memandang wajah istrinya dengan tatapan teduh. 

"Kapan-kapan periksa mata ya?"

"Kenapa?"

"Matamu minus tuh," 

"Enggak!" jawab Chika polos yang hanya ditertawakan Izack lagi-lagi membuat Chika bingung

"Minus tuh?! Kalau nggak minus harusnya bahagia lihat lelaki ganteng berdiri di depanmu bisa mengantar kemana-mana" 

Kali ini gadis itu mulai senyum-senyum "Haduh... hari gini, masih ada lelaki mengaku dirinya ganteng" 

"Kamu masih yakin dengan pernikahan adat ini, Bang?"

"Kenapa sih..."

"Kalau kamu tidak yakin, ajukan gugat cerai aja ke pengadilan dengan alasan yang bisa kamu buat. Soalnya kalau aku yang mengajukan, aku yang harus bayar kan?"

"Aku tidak akan menuntut macam-macam deh,"

Spontan Izack tertawa lebar "Tahu betul kamu acara persidangan pengadilan"

“Mau kamu, statusnya nanti berubah jadi Janda?” jawab Izack menelan nafas lelah sambil tersenyum meletakkan dua tangan di pundak Chika dan menahan tatapan Chika yang masih canggung.

"Gimana dengan hutangmu?" 

Izack menelan tawa kemenangan yang disambut wajah down berpikir keras.

"Kasih tenggang waktu sampai 6 bulan deh?"

"Dapat uang darimana?"

"Bukannya kemarin mau jual ginjalmu?" 

Chika tertawa geli teringat kata-katanya.

"Nah... tidak usah jual ginjal, jual hatimu aja deh ke aku" rayu Izack yang sebenarnya terlalu menggelikan. Tapi daripada mengungkit-ungkit hal yang sudah tidak ingin ia ungkit. Karena baginya, hutang itu sudah menjadi bagian dari tanggung jawab dirinya sebagai seorang suami yang sah.

Orang melihat, mereka seperti sedang pacaran, dan Chika sedang kena rayuan lelaki belang.

"Andaikan kemarin kau bawa aku ke Puskesmas kan selesai urusan, Bang" jawabnya mengalihkan perhatian dari wajahnya yang sebenarnya tersipu malu

“Percaya deh, kasus sepertimu pasti dilarikan ke Rumah Sakit ketika dapat suntikan tidak ada reaksi”

“Kalau begitu ya jangan tolong aku, beres kan?!”

“Nanti salah lagi… netizen bakal bilang tidak punya rasa empati pada mahasiswa yang kurang gizi” katanya santai membuat Chika spontan menekan bekas luka pada perut karena menahan tawa geli  

"Sudah tidak sakit kan, perutmu?" ujarnya memberanikan diri menyentuh area perut Chika yang membuat gadis itu grogi.

“Nyeri, tapi lebih banyak gatalnya”

“Jangan digaruk” seru Izack menarik tangan 

“Tapi gatal banget..” lirihnya mulai keder

“Kamu ikut ke Jakarta saja deh

“Ya maaf, aku kurang percaya dengan higienitas rumah Pak Lek, sementara kamu butuh perawatan luka yang bersih”

"Harusnya hari ini kau ke Rumah Sakit untuk periksa jahitanmu"

"Ah... soal luka jahitan, aku sendiri mah bisa"

"Sembrono, kalau infeksi gimana?"

"Bang, aku ini pernah bekerja di tempat Bu Dokter. Jadi sedikit banyak, tahulah cara merawat luka"

"Pokoknya nanti sore kamu harus ikut aku ke Jakarta, Okey?" ujarnya mencubit pipinya yang tipis

"Sakit, eh!"

Chika berkecap "Seperti anak kecil aja"

"Memangnya kamu sudah besar?"

"Dipaksa menikah saja sudah nangis-nangis"

Chika kini belajar lebih berani menghadapkan wajahnya "Bang, jangan-jangan kamu menganggap pernikahan seperti pacaran yang bisa putus kapan saja"

"Nah? kamu sendiri kan yang beranggapan seperti itu?"

Chika menghela nafas kesal beranjak berdiri

"Bayangkan saja! Berapa tahun aku harus berjalan sejauh ini. Tapi begitu sampai saatnya aku meraih apa yang bisa aku capai semua hancur berantakan"

Izack mengusap-usap kedua lengannya dan perlahan mendekap hangat tubuh Chika yang reflek disodok keduan sikunya.

"Aargh!!" Izack nyengir kesakitan

"Eh," Chika merasa bersalah

"Seberapa buruk sebenarnya sebuah pernikahan di pikiranmu?" tanya Izack mengusap-usap dada kesakitan

"Yang namanya perempuan ketika menikah, akan banyak menderitanya dibanding senangnya" 

"Sementara laki-laki, dengan 1001 alasan cari nafkah, lelah masih bisa kongkow-kongkow bareng teman. Syukur-syukur ada teman perempuan yang bisa menebar senyum menggoda kapan saja"

Spontan jarinya menyentil keningnya

“Aww!”

"Terlalu banyak nonton sinetron kamu,"

"Memang begitu kenyataannya kan?"

"Tidak,"

"Mari kita buktikan"

"Ayoklah pulang, tidak baik dilihat orang" kata Chika cuek kembali berdiri yang hanya disenyumi Izack sembari membukakan pintu mobil untuknya.

Tiba-tiba suara Bu Leknya pagi ini kembali terdengar kuat di telinga;

"Nduk.. harusnya kamu itu bersyukur. Ada lelaki yang sayang sama kamu, mau menikahimu itu artinya dia tidak main-main sama kamu. Dia berani tanggung jawab atas kehidupanmu"

"Wajah tampan dan kaya itu bonus dari Gusti Allah atas kerja kerasmu selama ini"

"Jangan marahi dia sepanjang hari, nanti malah Gusti Allah murka sama kamu"

Melihat Chika terdiam, tanpa berkomando Izack mengikatkan seat belt miliknya seketika hingga kedua wajah saling berdekatan menimbulkan getaran sensual terlihat dari wajah keduanya yang mendadak berair. Kecupan manis Izack membuat Chika tak bisa berkutik dalam kondisi terjepit. Meskipun awalnya kaku, tapi perlahan gadis itu mulai menikmati kecupan lembut bibir Izack yang membuat buah lehernya naik turun seiring gairahnya seksualnya memanas.

Saat terdengar suara klik dari seat belt, ia seperti dibangunkan dari mimpi indah. Ia menahan dada Izack yang seakan tak mau lepas menempel dari kedua buah dadanya dan segera menghentikan kecupan itu di saat degup jantungnya seakan meledak. Ia sadar tidak boleh menyerahkan tubuhnya begitu saja pada lelaki yang baginya baru ia kenali. Hingga mereka sadar terdengar ramai-ramai orang melintas. Sebelum beranjak, jemari Izack sekilas mengusap bibir Chika yang basah hingga tersirat senyum di kedua wajahnya.  

Hening.

“Maaf jika terlalu terburu-buru” kata Izack kikuk sembari memutar kendali roda kendaraan

“Jangan suka mengambil keuntungan di saat aku tersudut” ujarnya menyadarkan diri di saat irama jantungnya seakan melambung bernyanyi

“Oh, berarti di saat longgar begitukah?”  tawa Izack bercanda, tapi wajah Chika masih tetap cool

Izack tak mau ambil pusing, ia mengambil tangan kanan Chika dan menggenggamnya erat-erat teringat kata-katanya pernah naksir dengan dirinya.

Lagi-lagi getaran sensual itu seakan kembali panas menyelimuti seisi ruangan dalam kendaraan yang kedap dan gelap dari luar. Izack kembali mencium jarinya dengan kecupan panas membuat area bawah pusar kembali berdenyut-denyut hingga sadar Chika menarik paksa tangannya.

Sehari itu keduanya menghabiskan waktu untuk kontrol bekas luka di sebuah Klinik kecil desa dan ngobrol dalam kendaraan hanya berputar-putar arah tak tentu menyusuri dari desa ke desa. Mereka juga tak menghiraukan panggilan telphon dan pesan masuk berkali-kali. Hingga sadar cahaya matahari naik terasa sangat menyengat di saat keduanya harus berhenti dan makan di sebuah rumah makan pinggir jalanan depan area persawahan.

Izack sadar, sebenarnya ada banyak hal yang perlu ia tangani saat itu juga. Tapi ia merasa perlu menghadiahi  kerja kerasnya selama ini yang tak pernah ia hiraukan hingga sadar kebutuhan dirinya sebagai lelaki dewasa terabaikan perlahan.

Keduanya keluar dari rumah makan dua jam kemudian, di saat matahari mulai bergeser ke arah barat. 

Saat itu mereka kembali ke rumah pamannya yang disambut dengan gelaran tikar dan menu makan siang plus malam dengan sayur bening dan lauk ikan asin sederhana yang tersaji di atasnya.

"Ya Allah Bu Lek, jangan repot-repot begini"

"Nggak repot mas… Pak Lek malah nggak enak sama kamu. Sudah mau bantu keponakan Pak Lek, masih dikenakan hukum adat, tidak bisa menyuguh apa-apa"

Saat itu Izack duduk bertumpu di atas kedua kakinya seolah sedang mengerahkan semua pikirannya untuk berbicara.

"Pak Lek, sebenarnya sudah lama saya kenal dia"

"Tapi sepertinya dia lupa atau pura-pura lupa saya kurang tahu" senyum Izack pada Chika sekilas

"Dan sudah lama saya mencari dia"

"Tragedi dia sakit itu barangkali perantara Tuhan mempertemukan saya kembali dengan dia"

"Dari situ saya memberanikan diri mengenal dia lebih jauh di Rumah Sakit"

“Karena kebetulan hanya saya saat itu yang mau tidak mau harus bertanggung jawab dengan kejadian itu”

Spontan udara terasa seperti berhenti sejenak, Chika merasa kagum luar biasa dengan pernyataan gilanya. Tak ada kata-kata yang bisa diungkapkan kecuali bahasa diam.

"Kebetulan saya diberi tahu teman soal pernikahan hukum adat itu di sini”

"Jadi???!" Pak Leknya melotot

Izack hanya tersenyum lebar,

"Oh, Ya Allah mas..." serempak suara keduanya saling menatap bahagia

“Jadi pernikahan ini bukan karena terpaksa kan, ya mas…”

“Bukan Pak Lek..”

“Alhamdulillah mas… kita lega mendengarnya”

“Soal resepsi pernikahan, akan kami bicarakan dulu baik-baik dengan Papa Mama di Jakarta” 

Membicarakan soal pernikahan, Chika mengusap-usap wajah dan kepalanya kesal berkali-kali membuat Izack dan sepasang suami istri itu tertawa lebar.

“Stoppppp!! Aku paling nggak suka acara pernikahan yang bakal dipajang di depan umum layaknya manequin”

Spontan semua tertawa geli

“Ampun Nduk...”

“Ya begitu itu mas, Chika!” cletuk lelaki tua itu

“Justru itu yang aku suka dari dia” kata Izack mengusap pundaknya yang ditangkis kesal Chika

"Kenapa kamu membayangkan pernikahan itu medeni to Nduk.."

"Jalani aja," jawab mereka tersenyum lebar

“Ayo, silahkan makan dulu mas..” pinta Bu Lek mengambilkan piring-piring itu, tapi Izack justru kembali menata posisinya seakan tengah mengatur kalimat yang hendak ia keluarkan. 

Hening…

"Mohon maaf sebelumnya, Pak Lik... Izack minta izin untuk membawa Chika ke Jakarta hari ini"

"Loh?" Bu Leknya kaget

"Tapi,"

"Sebenarnya tadi pagi Papa Mama berharap bisa datang via video call, tapi mendadak ada panggilan dari Pak Mentri terkait urusan negara, jadi Papa minta maaf yang sangat dalam atas ketidakhadiran beliau di sini"

“Beliau juga titip salam pada Pak Lek dan keluarga”

“Waalaikum salam..”

“Begitu juga Pak Lek dan keluarga mohon dimaafkan dengan peristiwa pernikahan adat semacam ini”

“Pak Lek, saya justru merasa bersyukur dengan adat ini. Karena jika tidak, dia akan sulit saya tahklukkan” tawa gerrr seketika.

Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan dan kembali pergi. Tak lama kemudian muncul seorang lelaki mengetuk pintu yang terbuka lebar.

“Oh, dari AMI?” sapa Izack

“Iya Bang” jawabnya

Sepasang suami istri tua itu bingung menebak-nebak, siapa lagi gerangan tamu lelaki tersebut.

“Silahkan masuk dulu mas..” jawab Pak Lek mempersilahkan

“Ayo, makan dulu sama lauk seadanya”

Hening

“Maaf Pak Lek, ini teman saya anak AMI”

“Dia saya minta untuk jadi driver ke Jakarta malam ini”

“Oh..” Ucap lelaki itu terbengong-bengong

“Mas Izack ini ketua umum AMI di Jakarta Pak.., dia orang nomor satu di jajaran teman-teman Organisasi Politik Mahasiswa”

“Jadi, kami semua kenal dia, tapi dia sama sekali tidak kenal saya” tawa lebar lelaki itu

“Oh… ayo! Ayo makan dulu mas.. nanti kamu capek di jalan” dorong Bu Lek nya mengambilkan sepiring nasi.

Mereka mulai terlibat dalam obrolan kesana kemari. Hingga perlahan hanya ketiganya yang mulai asyik ngobrol, sementara Pak Lek nya hanya menjadi pendengar obrolan yang sudah tidak dipahami kemana arahnya.

“Dia itu pengusaha besar, Pak..”

“Aku berharap lulus kuliah ingin ikut kerja dia”

“Ah! Apa gunanya ada pelatihan dasar kepemimpinan kalau kamu kuliah ujungnya mencari pekerjaan”

Tiba-tiba terdengar obrolan dan suara anak-anak berlari dari luar hingga muncul dua keponakannya di depan pintu. Begitu tahu ada tamu, keduanya berhenti bergurau dan berjalan diam dan mulai bergelayut di pangkuan bibinya.

“Mas Izack kapan pulang?”

“Loh, ngusir kamu?!” cletuk Izack yang diikuti suara tawa mereka melihat dua bocah laki dan perempuan itu berkeringat dekil muli berceloteh

“Tidak, maksudnya…”

“Hehe… aku juga ingin ikut kalau ke Jakarta”

“Hngghh?!!” lirik perempuan tua itu

“Tunggu liburan sekolah aja deh..”

“Biar mas Izack jemput”

"Beneran?"

"Kenapa bohong?"

"Yess!" Bagus bersorak riang tosh dengan adiknya perempuan

"Nanti kalau mbak Chika sudah bekerja, Bagus..." jawab Chika halus nan tegas yang membuat wajah sepupunya datar sekeika dan ditekuk-tekuk

“Itu kan kata mbak Chika”

“Kapan libur sekolahmu”

Bagus melirik Chika menatap penuh isyarat pada keduanya.

“Kenapa, takut sama mbak Chika?”

“Mbak Chika kalau marah ngeri” 

Spontan semua tertawa melihat tingkah bocah lelaki itu.

 

@@@

 

Sore itu Bu Leknya memberikan banyak sekali wejangan pada Chika di kamar yang gelap dan pengap.

"Ingat yo Nduk, ojo kasar-kasar sama suamimu"

"Bener dia sabar, sayang sama kamu"

"Tapi kalau sikapmu kasar dan judes seperti itu terus menerus, lelaki mana yang tahan?"

"Banyak perempuan yang lebih ramah di luar sana, yang punya karir lebih baik daripada kamu"

Jlebb... Chika diam tak berkutik merasa tersudut.

"Dia tinggalkan kamu, mudah saja cari yang lain. Lha kamu??"

"Bagaimanapun, dibanding laki-laki, posisi perempuan itu selalu lebih lemah"

"Makanya aku tidak mau nikah, Bu Lek"

"Lah? terus??"

"Ya sudah, kerja"

"Memangnya kamu mau menua sendirian begitu?"

"Kan kalau kerja bakal banyak dapat teman juga"

"Aduh, cah iki... hmmm"

Izack yang diam-diam dengar obrolan mereka keluar dari kamar mandi yang berpintu kan anyaman bamboo dan seng hanya senyum-senyum mendengar alasan gadis tomboy itu. Mendengar suara panggilan Pak Leknya, Izack pun cepat-cepat beranjak keluar dari dapur yang masih berlantaikan tanah, saat itulah keempatnya berpapasan di depan kamar.

"Bu Lek titip keponakan yo mas.."

"Kalau satu saat memang tidak jodoh, kembalikan dia baik-baik ke kita"

Izack menarik nafas panjang miris melirik Chika dengan raut kesal nan pasrah. Izack paham, bagi istrinya kata-kata itu luar biasa menurunkan harga dirinya. 

"Tidak ada kata itu Bu Lek, saya akan berusaha bagaimanapun nantinya"

Saat itulah keduanya berpamitan yang disambut suara tangis peluk dua orang pengganti orang tuanya, sementara Bagus dan Ani hanya memandang bingung mereka.

“Kabari mas Izack kalau libur nanti ya anak ganteng”

“Siap, mas”

“Boleh, Pak?”

Lelaki itu hanya menganggukkan kepala sambil menyeka air mata sembari mengiringi ketiganya masuk mobil. Chika dan Izack yang duduk di belakang ditutupkan pintu oleh sepasang suami istri itu hingga roda pun mulai berputar dan bergerak melaju meninggalkan halaman rumahnya yang ditumbuhi rumput hijau segar.

Berulangkali Chika menyeka air matanya yang menggenang.

“Nanti kan bisa sering-sering mengunjungi mereka" ujar Izack memberanikan diri menggenggam tangannya yang reflek ditolak.

“Sekarang kan sudah ada jalan tol mbak, jarak tempuhnya jauh lebih cepat” kata driver

"Bang, kalau kita pulang ke Yogya saja kenapa sih?"

"Kita ini sudah menikah, Chika.. orang tuaku perlu tahu kamu"

Chika nyengir menyentuh dadanya yang sudah mulai berdegup lembut. Antara rasa khawatir, takut, cemas dan seribu perasaan lain membuat rautnya mendadak tegang. Merasakan aura ketegangan Izack menoleh sekilas memastikan wajah istrinya.

"Tenang aja, keluargaku orangnya santai kok"

“Oh ya mas, panggilan kamu siapa?” tanya Izack

“Adrian, Bang”

“Oh, iya mas Adrian.. semester berapa sekarang?”

“Enam, Bang”

“Oh, sama istriku dong” jawab Izack menoleh pada Chika yang tak mau menjawab, ia memalingkan wajahnya keluar dari kaca mobil.

Dua lelaki itu perlahan mulai terlibat dalam obrolan seputar dunia kampus kecil di Kabupaten, gaya hidup masyarakat sekitar, urusan politik, hingga keorganisasian AMI. Termasuk diantaranya terkait kebobolan data kantor pusat terkait agenda besar-besaran teman AMI yang membuat Chika awalnya cuek dan dingin perlahan mulai lunak. Ia merasa sudah sangat bersalah atas peristiwa di Rumah Sakit dan mengantarkan dirinya jauh keluar kota sementara kondisi di Organisasi sendiri sedang tidak baik-baik saja.

Hening…

“Bang, kalau orang tuamu tanya soal orang tuaku gimana?” suaranya lirih nyaris tak terdengar campur rasa takut dan cemas

“Biar aku yang jawab”

“Memangnya kamu tahu?”   

Izack hanya tersenyum tenang "Aku mengenalmu jauh dibanding kamu mengenal dirimu, sayang..." ujarnya membuat Chika salah tingkah dengan sebutan sayang. Sementara junior yang nyopir di depannya hanya senyum cengar-cengir salah tingkah melihat perilaku dua orang di belakangnya.

“Bagi mas Izack, mendapatkan informasi semacam itu mudah, mbak..” cletuk lelaki di depannya membuat Chika menoleh curiga pada lelaki di sebelahnya

“Di kantor AMI pusat itu punya data base yang sudah terkonek dengan AMI cabang manapun. Termasuk mahasiswa di luar negeri”

“Jadi, dia itu bukan organisasi kaleng-kaleng lagi”

“Ohh…” jawab Chika sembari melirik Izack yang tetap tenang menatap lurus ke depan. Namun tahu jika istrinya melirik ke arahnya, ia nekat menyandarkan diri di pundak Chika.

“Tolong sebentar saja, aku capek sekali” suara Izack dalam yang seketika memejamkan mata perlahan membuat Chika pasrah

“Andai saja jika kamu tidak menolongku, mungkin kamu tidak bakal dihujat banyak orang, Bang” suaranya lirih yang langsung dibekap begitu saja agar diam mengingat ada orang di depan

Sejak saat itu Chika tak lagi banyak bicara, ia lebih banyak diam dan mencoba memahami bagaimana kehidupan lelaki di sebelahnya yang sebenarnya jauh dari kata aman.


 

 

12

Welcome Duniaku


Begitu tiba di Jakarta, Izack langsung menuju rumah orang tuanya yang tak lain adalah seorang jendral besar TNI bintang IV. Pilar-pilar bangunan yang begitu megah mirip gedung putih membuat nyali Chika spontan ciut.

"Apa benar ini rumahnya??" pikirnya

"Rumahnya siapa, Bang?"

"Ayo turun dulu,"

"Tidak," cetusnya kekeh tidak mau keluar dari mobil yang membuat Izack menghela nafas lelah.

"Bukankah ini rumahnya?" pikir Chika lagi mengernyitkan keningnya lama memperhatikan tiap sudut jengkal bangunan yang perlahan membuat nafasnya sesak teringat seorang pejabat tinggi tentara,

"Bukannya ini rumahnya pak Jendral bintang III?" sambil mengingat-ingat nama 

Izack hanya tersenyum ringan beranjak keluar dan membukakan pintu untuknya "Otak jurnalis paham betul kamu yah, ini rumah siapa?"

Spontan wajahnya berpaling curiga

"Maksud kamu apa ini?"   

"Maksudnya??" 

"Aku pulang! Dan kita, cerai!!" nadanya ketus berbalik menuju pintu keluar

"Chika!"

"Kamu menyerahkan aku kemari, karena aku diisukan anak komunis kan?!" suaranya sengit membuat wajah Izack seketika berubah dari aneh jadi tersenyum lebar.

"Ini rumah orang tuaku, Chika..."

"Bukannya kemarin kita sudah sepakat, kalau aku bakal mengajakmu kemari untuk minta restu mereka?" suaranya turun membuat Chika jongkok lemas. Setengah membungkuk Izack meraih jemarinya yang kepalang dingin.

“Ini tangan apa es batu?” katanya spontan dihempas kesal gadis itu membuat Izack tertawa geli melihat rautnya yang tegang

“Ayok, jam segini Papa keburu berangkat” jawabnya menggandeng Chika masuk.

Sementara gadis itu cepat-cepat mengusap genangan air mata yang berhasil ia tahan sembari memandang halaman yang terlalu luas tersebut.

"Tapi aku takut, Bang"  

“Kenapa?”

“Kamu belum tahu kan.. orang komunis itu sekarang juga sudah masuk dalam jajaran pejabat negara?”

“Tapi aku ini sebenarnya bukan anak komunis, Bang”

“Hm, aku sudah tahu itu”

“Tapi kalau kamu menyebut-nyebut itu mau tidak mau aku pun harus membuka itu”

“Sudah... kamu tinggal diam, semua aku yang jawab” suaranya tenang kembali menuntun Chika berjalan menuju pintu masuk

Begitu sampai di depan pintu masuk, lelaki dengan baju hijau tua yang lengkap dengan emblemnya itu keluar setengah terkejut melihat kehadiran putra kesayangannya berdiri dengan seorang gadis. 

“Beneran dia ayahnya???” batin Chika berteriak keras gembira.

“Hallo Pa”

“Llohh??” lelaki tua dengan rambut mulai beruban itu kaget melihat wajah Chika yang perlahan ngumpet dari balik punggung Izack seperti anak kecil.

“Ayok salaman dulu” bisik Izack

“Hallo Pak…” gadis itu menyodorkan tangannya ragu mengajak bersalaman

“Jadi ini, gadis yang kamu tunggu-tunggu?” senyum lelaki tua itu melirik Izack penuh isyarat yang dibalas dengan tatapan mata sekian detik Izack “Please Pa, jangan bongkar rahasiaku” membuat Papanya lagi-lagi tersenyum geli membalas tatapannya dan membalas jabatan tangan Chika

“Mari masuk Nak,”  

"Kenapa badanmu tambah tinggi, Zack" kata lelaki tua dengan tubuh tegapnya namun ia harus sedikit mendongak saat berdiri di sebelah anaknya mengundang senyum Chika yang tertahan.

Kedua lelaki itu mulai terlibat dalam obrolan sepanjang koridor hingga mereka digiring masuk ke meja makan melintasi ruang tamu yang cukup luas.  

Memandangi tiap sudut ruangan yang serba elegan, Chika merasa kecil sekali hingga nyaris hilang kepercayaan diri. Sementara tubuhnya yang pucat makin terasa dingin dan beku. Melihat ekspresi tersebut Izack menggenggam tangan Chika erat di balik meja makan sembari tetap melanjutkan obrolan santainya dengan Papanya.

“Istrimu pucat banget itu”

“Istirahat saja dulu sana” pinta Papanya membuat Chika nyengir membuat genggaman tangan Izack di balik meja makan makin erat hingga membuat kode untuk beranjak dari meja makan. Izack menarik kursi dan mulai menuntun Chika masuk ke ruangan lebih dalam hingga mereka naik tangga.

“Mau kemana kita?” jawabnya lemah

“Istirahat di kamarku” Izack berpaling pada tubuh istrinya yang tampak makin lemah.

Lelaki dengan rambut disasak rapi itu mengiringnya sampai ujung tangga hingga terlihat dua pintu berwarna biru keabu-abuan dengan dinding cat berwarna putih tulang.

“Glekk!” seketika langkah Chika terhenti. Ia sadar tubuhnya terasa makin lemah, tiba-tiba pandangan seperti berputar sekian detik membuatnya limbung spontan ditangkap Izack.

“Nggak apa-apa, Bang… aku bisa jalan sendiri” jawabnya menolak rengkuhan Izack berusaha mengembalikan kesadarannya penuh, hingga tak sabar Izack menggendongnya masuk kamar dan meletakkannya di atas ranjangnya yang terasa sangat lembut dan nyaman.

“Sudah, tidur aja dulu”

“Ingat, di sini kamu nggak boleh keras kepala seperti di Yogya” ujarnya mencubit ujung hidungnya hingga terdengar suara ketukan pintu yang membuyarkan tatapan mesra di antara keduanya. Mereka adalah orang tua Izack, spontan Chika terperanjat bangkit dari tempat tidurnya.

“Akh!!” pekik Chika menekan bekas jahitan di perut hingga wajahnya seketika pias pucat menggigit kesakitan dengan nafas tersengal-sengal.

“Halo Ma..” sapa Izack menjabat tangannya

“Emm… jadi, ini…??” senyum lebar perempuan tersebut melirik Izack dan Chika secara bergantian. Perempuan dengan potongan rambut pendek itu memakai celana dan cardigan yang seperti siap hendak pergi.

“Sudah, buat istirahat saja dulu” senyum ramah perempuan itu mendekati Chika yang duduk di atas ranjang

“Kamu kenapa?” Izack melongo melihat Chika nyengir kesakitan menekan bagian perut

“Sory, lupa aku”

“Ck! Izack.. Izack!”

“Sudah, di situ saja buat istirahat dulu” jawab ibunya seketika mendekat saat tahu Chika hendak bangkit memberi salam

Chika yang sebenarnya untuk banyak gerak sudah merasa sangat kesakitan dengan bekas luka jahitannya, apalagi sepanjang perjalanan jauh membuatnya benar-benar tak kuat menahan rasa sakit, lelah dan kantuk sisa bius Rumah Sakit.

"Kenalkan Ma, Pa.. ini istri Izack, Chika dari Mojokerto. Perempuan yang Izack antar kemarin di Rumah Sakit"

“Oh…”

Spontan lelaki tua itu tertawa lebar

“Sombong dia Ma, sudah bisa pamer punya istri bukan pacar”

Saat itu seorang pelayan datang membawakan koper bawaan Izack

“Ini Bang,”

“Oh, makasih mas..”

“Apapun itulah, Papa Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kalian berdua” kata lelaki dengan rambut mulai beruban

Chika masih belum percaya bahwa ternyata seorang jendral tokoh idolanya adalah mertuanya.

“Jadi serius? Ini Papanya?!!” batin Chika antara ingin pingsan karena kesakitan dan perasaan melambung tinggi. Ternyata lelaki yang menikahinya bukanlah lelaki hidung belang yang kaleng-kaleng.

Hening. 

Izack yang berdiri di sebelah tempat tidur Chika sengaja memperkenalkan dirinya dengan penuh kehangatan yang terkadang diiringi dengan tawa santai membuat pandangan dan batin Chika selalu was, kalau-kalau ia ditanya terkait orang tua kandungnya. Hingga pada saat ia harus menjelaskan pernikahan adatnya, nafas Chika mendadak terhenti melirik raut wajah dua orang tua di depannya yang sepertinya sudah paham. 

"Jadi??!"

"Iya, Izack sekarang sudah menikah dengan gadis di depan Mama dan Papa" 

"Tunggu! Tunggu!!" Nada Perempuan paruh baya itu heran

"Iya Ma, memang ada adat semacam itu di Jawa" jawab Papa

“Eh…” Izack garuk-garuk kepala bingung darimana ia harus menjelaskan

"???! kok aneh?" Ibunya mengernyit lama menatap Chika seakan tidak terima

“Begini Ma, sebenarnya…”

“Izack sudah tahu adat itu di daerahnya " potongnya cepat 

"Izack juga sudah kenal dia sekitar dua tahun yang lalu”

“Tapi…” Izack senyam-senyum membuat ibunya makin bingung dan Chika makin tegang “Untuk mengenal dia lebih jauh, rasanya jauh lebih susah ketimbang confess ke cewek-cewek di luar sana”

“Seperti yang Mama tahu, Izack itu seperti apa soal perempuan”

"Makanya, inilah cara terbaik Izack" suaranya terdengar surut ditujukan pada Papanya

Lagi-lagi Chika melotot kaget yang membuat Izack dan Papanya tersenyum tipis.

"Cerdas caramu"

"Lalu sebenarnya kalian berdua ini saling suka atau tidak?" tanya perempuan itu membuat Izack langsung menggenggam tangan istrinya yang kepalang dingin.

Melihat wajah Chika yang demikian, Mamanya memperhatikan gerak-gerik keduanya.

"Lalu sekarang? Chika semester berapa?"

"Semester 6 Bu, Fakultas Kehutanan"

"Oh, bagus..."

"Mohon doanya Pak, semoga bisa cepat selesai skripsi saya.."

"Loh? sudah tahap skripsi?"

"Hehe… baru mulai”

"Oh, bagus"

"Izack malah Tesis belum kelar-kelar tuh," Ayahnya mengejek 

“Pa,”

"Jangan buat alasan kalau kamu mengurus banyak orang. Itu konsekuensi kamu yang mau terjun di dunia itu" potong Papa yang baru kali ini membuat Chika tersenyum geli menertawakannya

"Lalu setelah ini?"

"Rencana magang di Dinas Kehutanan Kalimantan, Pak"

"Lalu kalian?"

"Tidak, Pa... kondisi pasca operasi usus besar yang robek dan harus dipotong, dia butuh istirahat lebih banyak”

“Oh…” mereka melotot miris menatap Chika

“Maka dari itu saya minta dia istirahat di Apartemen beberapa bulan ke depan" jawab Izack membuat Chika  tak bisa berkutik

“Kenapa nggak istirahat di sini saja?”

“Terlalu jauh dari kantor, Ma”

“Hmmm…?!” perempuan itu langsung senyum mencibir anak bungsunya

“Kalau begitu kamu buat agenda kapan kita sama-sama bisa berkunjung ke rumah orang tuanya” kata lelaki itu

“Baik Pa,”

“Oke, Zack.. Mama pamit dulu harus sampai Bandara 30menit lagi” jawabnya menyalami keduanya, begitu juga dengan Papanya.

“Sudah Nak.. kamu buat istirhat saja dulu di sini” kata mereka menyalami Chika yang dituntun Izack keluar hingga menuruni tangga.

"Pintar kamu pilih istri, Zack" kata Mama membuat Izack tersipu-sipu

“Sepanjang yang Izack kenal, dia itu orangnya lugu, polos, apa adanya Ma. Dan poin yang paling penting, cerdas"

“Ya sudah, sejak dulu yang kamu cari memang itu kan?”

“Tapi satu saat harus tahu konsekuensinya loh ya..”

“??”

“Biasanya gadis cerdas itu agak keras kepala, susah diatur”

“Yesss!!! Karena itulah aku ngejar dia sejak 2 tahun lalu, Ma”

“???”

“Yah! Pertama kali aku kenal dia, aku kira sudah aku jerat dengan kue tart ulang tahun, tapi ternyata dia pergi begitu saja” tawa geli perempuan itu

“Seorang Izack??? Yang biasanya jadi idola cewek-cewek, dicueki??” tawa ayahnya renyah

“Dan Mama tahu? Ini, aku jerat dengan biaya Rumah Sakit sudah nggak berkutik, sekalipun awal ijab qobul kemarin dia marah-marah karena pernikahan adat itu”

“Jadi ini memang rencanamu?"

“Yess!” spontan perempuan itu melongo

“Ampunnn… Nak… Nak!!”

“Nakal benar kamu” Mamanya geleng-geleng

Seperti ada yang kurang Chika yang duduk tak berdaya tiba-tiba wajahnya terang benderang, ia bangkit dan berdiri di depan pagar besi ujung tangga dengan nafas sedikit terengah-engah.

“Bang”

“Ya?!” spontan mereka menoleh

“Boleh minta tanda tangannya, Bapak??" ujarnya cepat mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas membuat Izack setengah berlari cepat kembali naik

“Nanti kan bakal sering ketemu” ujar Izack

“Sudah.. tidak apa-apa” kata Papa

Saat itu Izack turun dan menyodorkan buku serta pen.

"Loh, kamu punya buku ini?!" lelaki dengan pawakan tegap itu mengernyit lama mengamati buku dengan cover warna abu-abu dengan teks tinta keemasan membuat Chika merasa bingung dan cemas

Melihat reaksi yang perlahan mulai nampak ketakutan, Izack hanya diam sembari memberi kode agar tetap tenang.

“Buku ini dulu dilarang terbit”

"Dapat darimana?"

"Masih cover lama juga?"

"Hehe... iya pak, itu koleksi buku alm Kakek saya"

“Oh…” 

“Loh? Siapa Kakekmu?” tanyanya mengernyit lama membuat Chika nyengir kecut berpaling pada Izack seakan minta perlindungan

“Ceritanya panjang, Pa” ujar Izack yang tak lama kemudian muncul ajudannya dari luar memberikan isyarat untuk segera berangkat

“Ya sudah, kapan-kapan kita ngobrol lagi. Papa ada meeting sama petinggi Rusia” ujarnya segera berdiri dan beranjak

Izack mengikutinya dari belakang sambil ngobrol

“Kemarin, nyaris saja Pak Reno membuka anggaran belanja alutsista kita saat rapat terbuka karena desakan anggota dewan”

“Lalu?”

“Ya, Gila apa? Rahasia negara kok minta dibeberkan rapat terbuka yang dihadiri pers”

Chika yang hanya berdiri memandangi mereka keluar dari ruangan perlahan mengembangkan senyumnya yang cerah. Tak terbayang ia punya mertua seorang jendral bintang empat kebanggan negeri ini.

Hingga Izack kembali menaiki tangga membuat Chika yang masih melamun kaget melihat kedatangannya.

“Hanya begitu Bang?”

“Maksudnya?”

Chika menepuk-nepuk dada "Ah… Syukurlah," katanya hingga ia jongkok di depan kamar merasa kakinya lemah  

“Kamu kenapa?”

“Sepanjang jalan tadi malam aku benar-benar nggak bisa tidur”

“Kenapa?”

“Aku takut banget ketemu keluargamu” jawabnya membuat Izack hanya tersenyum ringan sambil mengusap ubun-ubunnya

"Tapi Bang..."

"Apalagi..."

"Biaya Rumah Sakit kemarin,"

"Bayarlah nanti malam" jawabnya santai kembali masuk kamar

"Kamu mau mencekikku atau gimana? Kamu tahu sendiri kan, dari kemarin aku nggak bisa kemana-mana dan belum kerja juga" ujarnya nrocos kesal

“Membayar kan tidak harus dengan uang,” jawabnya menarik nafas tenang mendekatkan wajahnya pada Chika yang langsung menjauh

"Maksudnya?" tatapnya polos yang langsung disambut senyuman lebar melihat tatapan wajah lugu gadis di sebelahnya, dan membiarkan istrinya menggigit jari bingung seakan mencari makna kata yang ia maksud.

"Kalau aku bayar uang seadanya dulu gimana?"

"Dapat uang darimana?"

"Dari temanku lah"

"Teman yang mana? perasaan di Rumah Sakit tidak ada satu teman pun yang menjengukmu"

"Rendra" jawabnya cepat membuat raut Izack seketika tidak enak dan segera menghilang di balik pintu kamar mandi

Lama Chika memikirkan solusi keuangannya saat itu pasca operasi yang tak lagi bisa membiayai hidupnya, hingga Izack keluar dari kamar mandi dengan piyama handuk membuat Chika spontan salah tingkah. Ia berdiri santai sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, dan tersenyum ringan melihat istrinya kikuk melihat dirinya memperlihatkan sebagain kulitnya yang terekspos.

“Ayok mandi, aku harus ke kantor dan Markas AMI hari ini”

“Tapi Bang, soal biaya..”

Lagi-lagi Izack hanya tersenyum membuat Chika tersinggung.

“Chika… kita ini kan sudah resmi suami istri, kenapa kamu masih ungkit-ungkit biaya rumah sakit sebagai hutang?”

“Aku nggak mau satu saat jika terjadi masalah kamu akan ungkit-ungkit lagi, Bang… dan aku juga tak mau berhutang budi pada siapapun”

“Oke, kalau itu maumu…” Izack mendekat dan semakin mendekat hingga duduk di sebelahnya

“Bayarlah dengan…” Izack menatap liar leher Chika tegang seketika

“Stoppp!” tangannya menahan dada Izack, seperti tersulutut api spontan ditariknya lagi membuat Izack pun tak bisa membendung tatapan wajahnya hingga tak sampai hati melihat raut gadis di depannya ketakutan dan berubah jadi pelukan.

“Aku akan menghormatimu sampai kamu menerimaku, Sayang…”

“Lama sekali aku menahan gairah seksualku demi menjaga perempuan yang kelak aku nikahi”

Perlahan gadis pirang berambut panjang sebahu itu pun berani membalas pelukannya, hingga seperti baru sadar kata-kata lelaki yang kini tengah memeluknya itu sama sekali belum terjamah perempuan manapun. Tapi seketika suara itu lagi-lagi seperti bersahut-sahutan.

“Mana ada lelaki sekeren ini nggak pernah punya pacar?”

“Jangan terlalu banyak mikir, tanyakan selagi aku di depanmu” ujarnya merundukkan pandangan sembari mengelus-elus kepala dalam dekapan dada

“Enggak” jawab Chika seakan meredakan gunjingan batinnya dan semakin erat memeluk sembari menutup dada Izack yang terekspose membuat Izack pun tersenyum lebar lagi-lagi mengusap-usap punggung

 


 

13

Sekotak Hunian Hamster

 

Hampir seharian penuh Izack berhasil mampir ke kantor penerbitan dan Mabes AMI sekedar cek semua pekerjaan yang ia tinggalkan beberapa hari. Selama cek pekerjaannya, ia tidak memaksakan istrinya yang enggan turun dari mobil dengan alasan capek dan sakit bekas luka jika harus mondar-mandir sana-sini mengikuti dirinya. Sebagai ganti menjembatani rasa boring, Izack memberinya laptop dan memilihkan drama asia sebagai tontonannya, tapi Chika hanya tersenyum geli ketika tahu lelaki yang dikenal sebagai orang sibuk masih tahu tontonan yang baginya sangat lebay.

“Buang-buang waktu aja” pikirnya mulai membuka laman situsnya dan menulis. Hingga beberapa menit kemudian seseorang datang membawakan makanan sehat dan kursi roda untuknya.

“Maaf Nyonya, Bapak meminta saya membawa nyonya masuk”

“Oh.. tidak, saya di sini aja” katanya menghentikan tarian jarinya di atas tombol tuts laptop

“Oh, begitu..”

“Tapi.. apa tidak pengap, seperti ini? Kemungkinan besar, Bapak juga masih lama”

“Nggak apa-apa Bang, santai aja. Saya habis operasi, jadi masih butuh banyak waktu istirahat”

“Oh.. Baik, Nyonya.. saya sampaikan ke Bapak” kata orang itu sembari pergi meninggalkan Chika. Hingga hari menjelang gelap Izack kembali ke mobil melihat Chika sudah terlelap. Perlahan ia menutup pintunya, sambil diam-diam memakaikan seat belt.      

Hening.

Sepanjang perjalanan Chika benar-benar kembali tertidur pulas dengan mulut menganga membuat Izack tersenyum geli. Ia mulai melanjutkan perintah pekerjaannya dengan menelphon karyawan dan bawahan di AMI hingga Chika kembali terbangun.

“Nyenyak benar tidurmu?”

“Hm, agak lega PR besarnya sudah terlewati”

“PR??”

“Ya, ketemu orang tuamu” jawabnya yang disambut tawa lebar Izack

“Jangan bilang kalau sebenarnya tadi juga begitu?”

“Hehe..”

Chika memainkan kedua tangannya yang dingin di pangkuan hingga Izack menggenggamnya erat. Ia melihat jarum jam arloji hitamnya seakan pas dengan kulitannya yang bersih dan halus membuat gadis itu kembali tenang.

“Jangan pernah merasa rendah diri lagi, Sayang…”

“Posisimu seakarang sudah berbeda dari minggu-minggu lalu”

“Aku paham kamu belum terbiasa”

“Tapi jangan terlalu begitu, membuatku sedih” katanya lagi menggenggam erat tangan kecil itu hingga membuat keduanya sama-sama merasa nyaman.

 

@@@

 

Sejak pertama kali masuk pintu gerbang, beberapa orang sudah menyapa Izack ramah dengan kaca jendela mobilnya yang terbuka. Bahkan dengan satpam ia menyempatkan diri ngobrol sejenak hanya untuk menanyakan hal yang menurutnya tidak begitu penting. 

Sepanjang jalan Izack senyum-senyum sendiri melirik istrinya tampak aneh melihat sikap dirinya yang lebih rileks dibanding perjalanan dari kantor maupun Mabes AMI.

"Ada apa dengan wajahmu?"

"Rautmu langsung berubah saat masuk area ini" tanyanya yang hanya dijawab dengan senyuman tenang sembari menekan tombol pintu lift sambil melepas kancing dan melonggarkan kerah kemejanya seakan sudah tidak sabar melepas lelah.

Melihat lelaki tersebut tak menimpali sepatah katapun, rasanya ingin sekali menelan lagi semua kata-katanya. Tapi Izack menoleh ke arahnya begitu pintu lift tertutup, ia hanya tersenyum tenang melihat perempuan itu kikuk saat tahu dirinya diperhatikan. Ia mengusap kepala layaknya anak kecil, tapi Chika tidak suka ia langsung menangkis tangan Izack yang membuat lelaki itu tersenyum lebar lalu memeluknya erat-erat sekan tak ingin lepas sedikitpun.

“Jangan suka mengambil keuntungan di saat aku lemah” lirih Chika mendongakkan wajah yang membuat Izack menatap agak lama, namun ia tetap memeluknya hingga pintu lift terbuka, Chika menggeragap kaget hendak melepas pelukan tersebut, tapi Izack menahannya dan membiarkan beberapa orang masuk ke lift hingga kembali tertutup.

Beberapa orang dalam lift mulai berdesas desus tentang isyu demo mahasiswa yang bakal terjadi dalam beberapa hari ke depan.

“Mahasiswa jaman sekarang nggak seperti jaman kita dulu, melempem”

“Jaman kita dulu ada kenaikan harga langsung marak turun jalan, nggak peduli kampus

“Nanti, jika sewaktu-waktu aku tinggal kamu sendiri di Apartemen, untuk buka tutup pintu, kamu tinggal tempelkan jarimu di sini”

“Oh…” Chika merasa amazing melihat pintunya terbuka setelah jarinya ia tempelkan di batangan tipis di pintu

Hening,

Chika mulai merasa khawatir dengan perubahan sikap Izack yang mendadak diam dan dingin. Ia membayangkan berita-berita tragis yang menimpa pasangan suami istri mati tragis disiksa pasangannya selama di Apartemen membuat dirinya makin tegang.

Hingga pintu terbuka, Chika mendadak membeku.

“Ada apa?”

Chika nyengir “Hehe.. nggak apa-apa” jawabnya seakan memecahkan halusinasinya yang terlampau jauh “Agak aneh aja”

“Aneh??”

"Iya, manusia itu kan makhluk sosial, tapi kalau kehidupannya seperti ini jadi seperti seekor hamster di ruangan kotak-kotak gitu" ucapnya tanpa sadar

Izack tak menimpali, ia tampak lebih tenang dan sedikit terlihat lelah. Ia duduk di atas nakas sembari melepas sepatu dan memasukkannya.

"Selamat datang Hamster baru..." sambut Izack berdiri menghadap Chika yang tertawa ringan.

Ia belajar melepas suasana canggung sembari mencopot sepatu dan meletakkannya di rak mengikuti langkah Izack. Tapi begitu kakinya menapak lantai, ia merasakan dingin hingga ngilu seakan merasuk ke tulang sumsum.

Awalnya Izack tak sadar. Tapi begitu pandangannya tertuju pada Chika seketika ia paham dan segera melepas meletakkannya di depan Chika yang masih tampak pucat. 

"Pakailah"

"Tidak usah, tenang aja aku terbiasa nyeker di sawah"

Lelaki yang memiliki mata bulat dan hidung lancip itu hanya tersenyum ringan berjongkok di bawahnya untuk memakaikan sandal bulu yang membuat Chika risih "Tapi ini bukan sawah, Chika" ujarnya tenang 

"Nanti kita beli peralatan yang kamu butuhkan" nada Izack spontan menyelimuti sekujur tubuhnya yang dingin berubah hangat dan nyaman.

Rasanya baru kali ini dalam seumur hidup ia diperlakukan begitu istimewa seorang lelaki yang nyaris sempurna.

Sebagai gadis tahan godaan lelaki, ia berusaha menghalau semua perasaan itu dan menganggapnya sesuatu yang wajar hingga pura-pura cuek sekalipun tidak bisa dipungkiri perasaan gemetar dan berdebar meluap-luap seakan susah ia bendung. Di tengah rasa cemas, kakinya tersandung penyedot debu otomatis yang berputar-putar di lantai membuat dirinya seperti orang yang baru saja keluar dari goa.

Dengan perasaan canggung, ia memberanikan diri mengintip tirai dinding kaca yang memperlihatkan view kota metropolitan yang padat.

"Dibuka aja" kata Izack membuka pintu sliding balkon hingga angin sore pun bertiup kencang menerobos ruangan hingga beberapa kertas di atas meja depan tv pun berhamburan.

"Ternyata seperti ini ya, isi gedung-gedung tinggi yang di tv itu" gumamnya lirih melihat gedung-gedung pencakar langit di seberang

"Gimana?"  

"Kalau tenagamu sudah cukup kuat aku ajak ke rooftop"

"Apa itu rooftop?"

Ia tak menjawab justru menghilang di balik kitchen bar dengan apron yang selesai ia kenakan membuat Chika tersenyum tipis.

"Kenapa?"

"Enggak,"

"Baru kali ini, aku lihat anak jendral sekaligus pengusaha dan ketua umum masak sendiri di dapur" katanya sembari memalingkan wajah dan membiarkan dirinya terhempas angin sore yang sedikit terasa berat

"Rasanya seperti mimpi aku ada di gedung seperti ini" batinnya sembari memejamkan mata menghirup nafas dalam-dalam memegang erat pagar kaca balkon

"Jangan pernah berpikir ikuti langkah Otto Lilienthal disini" cletuk Izack saat melihat beberapa burung melintas jauh dengan sayap lebarnya melayang di udara.

“Iya, karena pernikahan adat yang konyol ini aku berasa ingin seperti dia”  

"Jaga kondisi jangan sampai drop lagi" ujarnya meletakkan kursi stool dan menekannya untuk duduk hingga Izack membungkuskan tubuhnya dengan selimut lembut yang hangat.

"Baru kali ini ada lelaki yang menjadikanku seorang ratu" pikirnya saat lelaki itu kembali ke dapur. Ia merasakan semua rasa nyeri seperti sedang dikompresi luruh hingga ke ujung kaki membuat tubuhnya pun terasa ringan dari rasa sakit bekas obat dan suntikan segala macam.

Diam-diam ia mencoba memberanikan diri memandang sosok lelaki itu dari jauh yang baginya masih menjadi tanda tanya. Mengapa ada lelaki se baik dan sesempurna itu yang tiba-tiba muncul di saat waktu yang tepat, dimana saat itu ia memang sudah tidak kuat lagi menahan tekanan hidup yang makin keras.

“Tapi… biasanya bukankah lelaki seperti itu datang menyambut wanita yang hebat”

“Lalu aku??”

“Apa hebatku?!” pikirnya mengernyit lama memandang Izack yang masih mondar-mandir

"Jangan memandangku seperti itu" sayup-sayup suara lelaki itu terdengar membuat Chika bingung mengalihkan perhatian

Lelaki yang mengenakan kaos tipis v neck itu kembali masuk dan sibuk menyiapkan makan malam di meja makan, hingga akhirnya kembali duduk di sudut Balkon dengan laptop yang sudah ia nyalakan sembari memandang istrinya sekilas yang meringkuk kedinginan dalam selimut.

"Bang, kenapa Papamu tidak marah?"

Izack mengernyit bingung

“Hm?”

"Bukankah pernikahan itu acara sakral bagi keluarga sepertimu ya?"

"Aku siap-siap pulang kalau sewaktu-waktu mereka mengusirku dari sana" celotehnya yang ia kira lelaki itu tidak mendengarnya

"Ck! Terlalu banyak nonton drama, kamu" cletuk Izack ringan dengan tangannya sibuk menari di atas papan tuts laptop

“Haha.. terlalu buang-buang waktu itu, Bang” ucapnya cuek sembari melepas karet kucirnya membuat pandangan mata Izack tertahan sektika saat ingat beberapa tahun yang lalu saat pertama kali ia benar-benar terpesona melihat gadis imut mirip cewek blesteran melepas karet kucir rambutnya.

“Sudah berapa hari nggak keramas?”

“Hehe… ngirit shampoo”

Izack menarik nafas lelah, ia kembali bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di belakang gadis itu.

“Kenapa?”

“Ayo, aku bantu”

“Apa?”

“Cuci rambutmu”

“Tapi aku takut kena jahitan perut”

“Terus nggak mau mandi, gitu?”

“Hehehe… dingin, Bang”

“Ada air hangat”

Chika bersikukuh tak mau bergerak.

“Ayo…”

Chika pun nurut saat tangannya ditarik dan didudukkan di kamar mandi menyandarkan kepalanya pada wastafel dan mulai mencuci rambut panjangnya. Awalnya keduanya kikuk dan grogi, tapi dengan kelihaian Izack dalam mencairkan suasana mulailah terjadi obrolan dan sedikit senda gurau yang membawa suasana kembali cair.

“Nah, selesai” katanya menutupkan kepala dengan handuk  

“Mulai detik ini nggak boleh ada kata ngirit lagi kalau untuk urusan badan” katanya sembari pergi mengikuti Chika keluar dari kamar mandi mengeringkan rambut

Semburat keemasan cahaya matahari sore itu seakan sedang berpamitan meninggalkan langit kota Jakarta yang berat. Melihat itu Chika langsung histeris membuat Izack kaget. 

"Woooo… Keren!!" pekiknya seru layaknya anak kecil yang tergesa-gesa keluar berdiri di atas balkon

Melihat istrinya kegirangan melihat matahari tenggelam, diam-diam Izack mengamatinya dari belakang dan mengambil fotonya beberapa.

"Baru kali ini aku bisa melihat matahari tenggelam" sorot mata Chika berbinar-binar menggigit bibir bawahnya seakan lupa di belakangnya ada siapa

Saat itu angin sore mulai berhembus kuat menjadikan rambutnya yang panjang terhempas angin dan mengering lebih cepat sebelum akhirnya Izack kembali meletakkan hairdryer dan berdiri di sampingnya menatap mesra gadis yang sempat membuat dirinya galau karena mesti kehilangan jejaknya bertahun-tahun, sementara sisa waktunya habis disibukkan  pekerjaan perusahaannya yang tengah berbenah dan Mabes AMI yang baru ia pimpin.

Naluri sebagai lelaki rasanya sudah tak kuat lagi membendung rasa ingin memeluk, hingga ia mendekat dan berdiri di belakangnya mendesak tubuh Chika yang awalnya risih dan ingin melepas pelukan itu. Namun desakan tenaganya membuat gadis itu luluh menerima pelukan hangat dari tubuhnya yang benar-benar nyaman hingga gairah seksnya pun tak tertahankan mencium lehernya berulangkali. Tak bisa dipungkiri, Chika pun larut dalam dalam suasana intim.

“Perutku capek buat berdiri lama, Bang” suara Chika lirih membuat tangan Izack spontan menahan bagian perut Chika yang nyeri membuat pori-porinya seketika berdiri.

Seiring tenggelamnya matahari di balik gedung-gedung itu, langit mulai gelap hingga menyisakan cahaya kemerahan di langit sebelah barat.

“Kenapa??” suaranya lirih mendekatkan wajahnya pada lehernya yang lembut

Seperti ada perekat, Izack tak mau melepas pelukan itu sedikitpun namun justru mengajaknya bergeser ke belakang dan duduk di sofa hingga Chika terduduk di pangkuannya.

“Jangan seperti ini di luar, Bang. Nggak baik dilihat orang” suaranya lirih saat ada sepasang suami istri berdiri di balkon seberang yang masih satu lantai.

“Berarti di kamar?”

“Hngg…?!!” cletuknya kesulitan melengoskan wajah tapi wajah itu ditahan Izack dan menciumnya berulangkali membuat tubuh Chika seakan terbius dan lunglai menahan nafasnya naik turun.

“Sudah lama aku menantimu, Sayang…” ujar Izack yang terus menerus mengulas wajah hingga lehernya erotis membuat gadis polos itu lemah tak berdaya menahan nafasnya tak beraturan hingga kembali bersandar pada tubuh Izack meringkuk dalam pelukan

Ada rasa bahagia yang tak terkira di wajah keduanya, hingga mulut Izack seperti tengah menata kalimatnya untuk berbicara.

"Mau dengar cerita tidak?"

"Hm?!" Chika mendongakkan wajah pada lelaki yang masih mendekapnya erat di pangkuan. Ia mulai bercerita dengan tangannya yang masih tetap memeluk erat.

 

Konon ada sepasang suami istri yang sudah dikaruniai 2 orang anak, laki dan perempuan. Tapi di kemudian hari di saat karir istrinya terus meningkat, suaminya berkata jika ia menginginkan seorang anak lagi. Paham dengan kode tersebut, istrinya menolak hamil lagi karena akan sangat repot.

Si istri pun menawarkan untuk mengambil anak asuh dari panti asuhan, dan suaminya setuju. Diambillah seorang anak laki-laki usia 3tahun dari Panti di pinggiran kota yang kumuh dan kotor tapi penuh kehangatan.

Tiap hari anak ini selalu menangis minta pulang ke Panti bertemu teman-temannya. Karena suaminya yang minta, ia pun mengorbankan waktunya di jam pagi sebelum ia berangkat kerja untuk mengantarkan ke Panti sebelum keduanya berangkat kerja. 

Sampai suatu saat bocah laki ini merasa nyaman dengan keluarga tersebut dan tidak lagi kembali ke Panti. Selain ikut pindah tugas Papa angkatnya keluar jawa, dia juga sudah mulai lupa dengan teman-teman sekolahnya.  

Hingga dirinya mulai sadar, bahwa ia bukanlah anak kandung keluarga tersebut saat ia harus mengisi blangko pendaftaran sekolah SMP. 

Saat ayahnya kembali pindah tugas ke kota kelahirannya, diam-diam ia mulai sering datang ke Panti asuhan dengan sisa-sisa ingatannya di hari libur. Ia mulai menggali dirinya di masa lalu pada pemilik panti Asuhan yang sudah usia lanjut.

Awalnya pemilik Panti tidak mau buka mulut. Namun dengan bantuan teman-temannya, ia berhasil mencuri dokumen riwayat dirinya di malam hari. Dari sanalah ia syok karena tahu jika dirinya adalah anak buangan yang ditemukan di tempat pembuangan akhir berbungkus sehelai kain. Tak sampai di situ, ia berusaha mencari informasi lengkap di sekitar area Tempat Pembuangan Akhir itu.

Tak banyak yang tahu, karena sudah puluhan tahun.

Di saat harapannya mulai pupus, seorang ibu bercerita; bahwa dulu memang ada seorang nenek menemukan bayi di pinggiran gunungan sampah. Tapi kabarnya bayi itu diserahkan ke Panti Asuhan karena kondisi ekonomi si nenek tersebut. Mendengar cerita itu, si bocah yang sudah tumbuh menjadi anak remaja gigih mencari dimana nenek tersebut tinggal.

Saat menemukan nenek tersebut ternyata beliau mulai pikun, Tapi dengan kesabaran remaja laki itu, tiap hari selesai pulang sekolah ia selalu mengunjungi nenek tersebut dengan membawakan makanan. Sembari menemani dia makan, nenek tersebut mulai bercerita bermacam hal. Hingga menceritakan moment bagaimana seorang bayi ditemukan di pinggiran gunungan sampah.

Berceritalah ia bahwa saat malam hari ada seorang lelaki dengan tangis suara perempuan bersamanya meletakkan barang di dekat gunungan sampah. Tak lama dari itu, terdengar suara tangis bayi. Diambillah ia dan pagi harinya diserahkan ke Panti Asuhan.

Mata Chika mendadak berkaca-kaca mendengarkan cerita Izack. 

Sejak saat itu, bocah laki tersebut tak pernah kembali ke Panti Asuhan lagi, setelah ia berhasil melewati masa depresi hebat dan beberapa kali mencoba bunuh diri.

Di tengah deraian air matanya, Chika mulai menebak-nebak jika itu adalah dirinya. Namun bagaimana mungkin, karena ia adalah anak pejabat.

Tapi berkat kebaikan kakak-kakaknya yang luar biasa support, ia dibawa ke psikolog untuk mendapatkan pertolongan.

Hingga masuk kelas 2 smp, ia mulai suka nongkrong di kios kecil foto copy depan sekolahnya. Karena satu-satunya orang yang bisa diajak bicara dan bercanda saat itu adalah abang pemilik foto copy yang sekaligus memberikan banyak dukungan spiritual kembali menjalani hidupnya sebagai seorang anak manusia.

Saat kelas 3 smp, ia mulai menjadi karyawan pengganti di kios foto copy. Dari situlah terbersit untuk membangun bisnis serupa. 

Satu saat pemilik kios hendak pulang kampung. Ia diberikan kepercayaan untuk menjalankan bisnisnya tersebut selama beberapa hari. Dari sanalah anak tersebut giat menawarkan orderan ke teman-teman sekolahnya.

Entah berapa bulan, ia mendapat kepercayaan untuk mengambil alih kios foto copy. Saat itu antara syok dan bahagia karena selain diperbolehkan memilikinya, ia diberikan kelonggaran pembayarannya dengan dicicil.

Di akhir semester kelas 3, Kios kebakaran. Dan diduga yang membakar adalah rival ayahnya.

Ayahnya dapat panggilan sekolah karena anak remaja itu tidak ikut ujian kelulusan hanya untuk membantu menyelamatkan barang-barang dagangan kios miliknya. Namun ayahnya baru tahu jika Kios tersebut adalah milik anaknya dengan sistem bayar cicil dari temannya. Dilunaskanlah Kios tersebut.

Perlahan ia mulai membangun bisnisnya sungguhan sejak kelas 1 sma dan bekerjasama dengan tetangganya untuk menjaga Kiosnya di saat jam-jam sekolah. Alhamdulillah bisnisnya lancar hingga ia lulus sma. 

Hingga ia mulai berani membiayai kuliahnya sendiri dari hasil bisnisnya dengan dua orang karyawan yang ia pindahkan ke Yogya. Mulailah ia memberanikan diri membeli kios kecil toko buku bekas, tapi bisnisnya tersebut tidak berjalan lancar.

Suatu saat teman kakaknya menawarkan perusahaan penerbitan buku kecil-kecilan kepadanya yang saat itu kolaps. Ia putus asa karena harus menanggung gaji dua bulan yang mesti dibayarkan dalam tempo 1 bulan ke depan. Dengan segala perjanjian, mahasiswa tersebut hutang ke Bank sebesar 2 Miliar rupiah untuk menanggung itu semua sekaligus pengembangan perusahaan, hingga perusahaan itu bisa berkembang pesat.

"Dan kamu bisa lihat perusahaan itu sekarang ada di gedung seberang sana" ujarnya pada gedung di seberang apartemennya yang gelap

"Luar biasa..." ujarnya berulangkali mengusap air mata

"Jadi penasaran orangnya seperti apa" nada Chika setengah menyelidik, namun Izack tetap tak mau meperlihatkan wajahnya dan tetap menahan Chika tak bergerak, bahkan sekedar memperhatikan wajahnya.

"Orangnya sekarang sedang duduk di sebelah gadis cantik yang polos" ujarnya mencium pipinya yang basah membuat gadis itu langsung mengusap air mata dan menoleh bingung

"Maksudnya itu beneran kamu, Bang?" spontan tangisnya pecah memeluk Izack yang hanya disambut senyuman lebar membuat keduanya semakin erat memeluk satu sama lain tanpa rasa canggung.

"Kenapa jadi kamu yang nangis?" tawa Izack menarik nafas lega

“Maaf selama ini aku sudah berprasangka buruk yang tidak-tidak terhadapmu”

Perlahan Chika sadar, siapa yang dia peluk. Ia merasa terlalu nyaman dalam pelukan lelaki itu hingga mendorongnya kuat yang menjadikan dirinya terjatuh dan keduanya tertawa geli.

"Augh!! Sakit"

"Kurus-kurus tenagamu kuat sekali" kata Izack yang kembali membenarkan posisi duduknya sambil cengingisan

"Maaf..."

Sunyi, Izack menatap dalam seperti sedang memastikan gadis di depannya.

“Jangan pernah merasa paling menderita, Chika”

“Kita sama-sama terlahir dari keadaan yang kurang beruntung”

“Aku dulu seperti itu, sekarang seperti ini. Kamu dulu seperti itu, sekarang seperti sekarang”

“Kita nikmati saja setiap proses dalam hidup kita”

“Bang!” gadis itu berkecap kesal siap-siap membela diri yang langsung disumbat mulutnya dengan tangan Izack

“Jangan ekspose pikiran burukmu, semesta akan membaca pikiran dan perkataanmu”

“Hati-hati”

Seperti tersadar dengan perkataan itu, Chika kembali diam menelan saliva.

"Apa kamu membenci orang tuamu, Bang"

"Mmmm... waktu sd dan smp, iya"

"Kata Papa, bersyukurlah kamu dibuang orang tuamu yang tidak bertanggung jawab”

"Dan aku sempat marah dengan kata-kata itu"

"Tapi kakak dan Mama support, mereka mengatakan untuk tetap bersyukur apapun kondisinya "

"Pun dengan kata-kata itu aku masih saja tetap marah, hingga satu hari aku melarikan diri dari rumah, dan Papa membiarkanku pergi tanpa ada yang boleh mencarinya"

"Tapi Mama dengan bantuan anak buahnya berhasil menemukan dan mengajakku pulang tanpa mengatakan apapun"

"Lambat laun aku baru mengerti apa maksud Tuhan mengajarkanku banyak hal lewat tiap penggalan peristiwa" 

"Karena tanpa dibuang, mungkin aku tidak akan bertemu dengan keluarga hebat di negeri ini"

"Kamu pernah kangen pada mereka, Bang?"

Seperti terpukul Izack terdiam sejenak. Namun dengan sikapnya yang elegan, ia hanya berputar meninggalkan Chika dan mengingatkannya untuk segera cuci tangan dan makan. 

Chika masih tertegun dengan cerita tersebut. Ia memandang gedung seberang yang beberapa tampak menyala. Ternyata kehidupan dirinya yang pahit, belum seberapa dibandingkan dengan kehidupan suaminya yang jauh lebih mengenaskan.

Entah mengapa tiba-tiba saja matanya tertuju pada laptop suaminya yang masih terbuka, Chika berniat menutupkan. Namun saat laptop disentuh muncullah foto-foto dirinya beberapa tahun silam membuat dirinya terbius dalam beberapa detik.

"Ayo makan dulu" kata Izack berdiri di pintu kaca yang spontan membuat keduanya melotot kaget saat melihat layar laptop menyala 

Ssseeetttt...!!! kakinya melangkah cepat merebut laptop membuat Chika tertawa geli. 

"Kapan kamu ambil fotoku???" pikirnya tersenyum geli bengong melihat Izack salah tingkah segera menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas kerja.

Dari gerak geriknya yang sok cool, ia baru mulai paham bagaimana lelaki yang dari luarnya tampak kuat nan bersahaja, ternyata memiliki sisi lugu dan menggemaskan karena malu ketahuan menyimpan foto gadis yang berhasil ia nikahi. 

"Please, aku cuma mau lihat fotoku saja" pintanya sedikit merengek

"Sudah, ayo makan dulu" kata Izack mengeluarkan beberapa hidangan dari microwave

"Kapan kamu masak?"

Tiba-tiba smartphone Izack kembali bergetar "Halo, ya pak..."

"Sudah,"

"Hm,"

"Ah, yang penting makanan sehat cukup"

"Hm,"

"Ada yang mau ngomong sama kamu" Izack menyodorkan batangan handphone

"Malam, Non..." Chika meringis aneh mendengar sapaan itu

"Malam Pak..."

"Bagaimana masakannya? apanya yang kurang pas?" Chika menahan senyum geli merasa dirinya begitu berharga di mata orang lain. Karena biasanya, justru dirinya lah yang melayani orang lain dan luar biasa senang saat mendapat pujian.

Ia kembali melirik Izack yang tengah menyajikan makanan di meja. Dan…

"Enak kok pak, sudah cukup menurut saya" ujarnya sekalipun ia belum tahu seperti apa rasanya masakan si bapak.

"Menu besok pagi apa, Non?"

"Oh..." ujarnya meringis langsung diberikan pada Izack yang kembali duduk melepas apron dan mulai mendikte beberapa menu.

Sepanjang mereka makan malam, ada rasa sepi yang membuat keduanya sama-sama grogi. Tapi sebagai lelaki, Izack merasa lebih berkuasa mengendalikan emosinya agar tidak terbaca gadis yang bakal menemaninya sepanjang hari.

"Besok aku masak sendiri saja gimana?"

"Kenapa?"

"Kan daripada membayar orang, aku bisa kok"

"Bagi-bagi rejeki, Non..." ujar Izack membuat wajah Chika seakan tertampar

“Oh,” suaranya tersendat merasa tidak enak

Izack melirik raut kecewa sekilas "Kenapa?? Kalau mau bantu masak, ya bantu aja nggak apa-apa”

“Maksudku…”

“Dia datang ke kantor tidak punya ketrampilan apapun kecuali memasak" katanya sambil meladeni istrinya

“Waktu wawancara ternyata dia korban PHK restoran masakan China yang sudah puluhan tahun kerja di sana”

"Sudah hampir tiga bulan dia nekat memasukkan lamaran ke semua restoran dan perkantoran demi menyambung hidup keluarganya" 

"Tapi tak satupun yang menerima karena dianggap cacat jari"

Gluk!! Chika merasa tersentuh. Ia terdiam lama seakan memposisikan dirinya di hadapan lelaki tersebut yang nasibnya tak jauh beda.

“Kita ini terlahir dari kepahitan, dengan membantu orang dalam kondisi pahit. Kita akan dimudahkan rejekinya. Itulah kata Papa dulu” Izack bangkit dari tempat duduknya mengambil piring kotor

“Aku saja, Bang” ujarnya lari merebut apron yang hendak dipakai Izack. Dan dengan cekatan ia memakainya mulai mencuci piring-piring kotor. Sementara Izack hanya berdiri sambil tersenyum memandang istrinya persis di sebelahnya yang cekatan mencuci piring-piring itu hingga selesai.

“Cepat sekali”

“Hehe… urusan cucian dapur mah, paling gampang” katanya sembari nyengir kesakitan memegang perut.

“Kenapa??”

“Hehe.. nggak apa-apa” jawabnya nyengir langsung lari masuk kamar mandi

Di atas toilet, dengan tangan gemetar perlahan ia membuka perban bekas luka yang terasa nyeri saat ditarik dari kulit. Mendengar pintu diketuk, jemarinya makin gemetaran melihat jahitan memanjang.

“Ssshttt…”  

Entah berapa menit berlalu, tak ada suara apapun di kamar mandi, lagi-lagi terdengar suara,

“Sshhhtt…”

“Chik.. kamu nggak apa-apa?”

Sunyi, tak ada suara kecuali desahan nafas panjang

Chika tak kuasa melihat luka jahitan melintang panjang membuat tubuhnya gemetaran. Sementara Izack terus menggedor-gedor pintu khawatir membuat Chika menggeragap berpegang pada dinding-dinding kamar mandi yang licin hingga limbung saat membukakan pintu tepat yang spontan ditangkap dan digendong begitu saja. Awalnya Chika berusaha keras tidak mau, tapi melihat Chika terus menekan perban dari balik kain kaosnya, Izack memaksa menggendongnya.

Sekilas ia teringat pertama kali ia digendong lelaki tersebut dalam kondisi antara sadar dan tidak menuruni tangga hingga masuk mobil. Namun kali ini, dalam kondisi sadar ia mampu menatap setiap lekukan wajahnya yang tirus dan halus dari dekat. Tahu dirinya sedang diamati istrinya, Izack sedikit risih dan segera meletakkannya di atas bed begitu masuk kamar. Tapi Chika memaksakan diri bangkit hingga spontan membuatnya mengerang kesakitan karena ada tarikan dalam perut yang belum sepenuhnya pulih.

“Mau kemana?”

Chika nyengir pasrah menekan rasa nyeri.

“Tiduran dulu aku bersihkan lukamu”

Saat Izack kembali, keduanya terdiam canggung. Tapi sebagai lelaki ia berusaha cool sekalipun gejolak batinnya luar biasa panas dingin menekan perasaan grogi dan malu.

"Gimana bisa aku bersihkan lukamu kalau kamu tutup begitu?” ujarnya melihat tangannya menekan erat bagian perut hingga perlahan ia buka sedikit demi sedikit membuat gejolak gairah Izack pun kembali membara. Namun begitu melihat bekas luka sayatan vertical dengan benang yang masih melilit-lilit sepanjang bekas jahitan, perasaannya mencelos. Ia kembali menatap wajah Chika yang pucat.

“Gimana rasanya, Nyeri?”

“Sepertinya lukamu sudah lumayan kering, harusnya bisa segera diambil jahitannya”

“Hmmm…” Izack kembali berpikir

"Aku panggilkan dokter aja ya?"

"Tidak" wajahnya tegang

“Sepertinya model jahitan seperti ini tuh harus diambil benangnya. Aku nggak berani kalau harus memotong benangnya satu persatu”

Lagi-lagi raut Chika tegang “Aku nggak mau membebanimu lagi, Bang”

"Kenapa? Khawatir hutangmu bertambah?" tawa Izack melihat Chika nyengir menggigit bibir bawahnya sembari menahan rasa nyeri saat jemarinya mulai mengoleskan alcohol pada bagian luka dan menutupnya lagi.  

"Hei, jangan gigit bibir bawahmu di depanku atau aku cium kamu" senyumnya nakal

Chika melengoskan wajah menekan rasa nyeri sembari menutup kembali bajunya dan perlahan bangkit dari tempat tidurnya. Izack berdiri dan mengeluarkan smartphonenya.

“Halo,” sapanya pada seseorang di ujung ponsel

"Bisa kesini nona dokter?"

Mendengar panggilan nona, perasaan Chika spontan nyeri membayangkan tipikal seperti apa sebenarnya lelaki yang telah merenggut kebebasannya itu. Ia menarik nafasnya pelan sembari diam-diam memandang lelaki dengan paras tampan berbalut kaos tipis lengan panjang warna abu dan celana jeans yang menampakkan lekuk tubuhnya yang ramping dan seksi. Merasa ada yang memandang, Izack membalas tatapan itu seketika mengalihkan pandangannya pada sudut kamar yang sunyi.

“Luka operasi istriku" ujarnya tersenyum pada Chika

"Oke, aku tunggu" katanya sembari mematikan smartphone, Chika segera berdiri hendak keluar. Tapi ia tersandung kakinya langsung ditarik dan ditangkap Izack hingga smartphone dalam genggamannya pun melayang.

“Hp!!” pelototnya dalam pelukan

“Hp jatuh masih bisa dibeli, kamu operasi lagi, mau?!”

“Nggaklah” jawabnya cepat memperbaiki posisi duduknya

Chika kembali grogi, ia segera keluar meninggalkan ruangan tersebut dan duduk di sofa.  

“Hah…” desahnya

“Ingat Chika… jangan terlalu mencintainya atau kamu akan sakit hati” pikirnya antara menekan rasa nyeri bekas luka hingga perasaannya yang sedikit terkena cipratan api cemburu

Melihat istrinya memegang bolpen dan selembar kertas sebagai gagasan awal menulis artikel, Izack beranjak ke dapur dan duduk di atas mini bar menuang segelas air putih dan meneguknya perlahan.

Gadis itu terkejut ketika ada sepasang kaki di depannya. Ia menawarkan senyuman lembut dengan segelas air putih untuknya. Tapi Chika hanya diam dan berhenti memandang isi gelas tersebut.

"Kenapa lagi, khawatir ada racunnya?"  

"Hehe... kali aja”

Izack geleng-geleng “Chika… Chika” katanya yang dengan sengaja duduk menyebelahi sambil tersenyum nakal membuat gadis itu seketika bergeser. Tapi Izack terus saja mepet membuat Chika kesal hingga nyaris terjatuh saat dirinya berada di ujung sofa yang seketika ditarik ke dalam pangkuannya. Entah berapa kali saja ia berusaha melepas dekapannya, tapi ia tak mau kehilangan moment dan spontan Izack tidur di pangkuannya.

"Tolong, sebentar saja aku butuh tenang pikiranku" ujarnya membiarkan lelaki itu meringkuk menarik nafas dalam

Chika bingung melihat raut lelaki itu yang seakan menekan kegalauannya.

“Boleh tahu ada masalah apa Bang?”

“Hmm… banyak”

“Mau tahu bagian yang mana?”

“Semuanya”

“Okey”

“Beberapa hari yang lalu dapat laporan dari CSR perusahaan, kalau mereka sedang butuh banyak sekali pembiayaan pengiriman buku ke luar pulau”

“Tapi begitu sampai di tempatnya, ternyata banyak buku yang tidak tersalurkan dengan baik. Bahkan beberapa ada yang rusak karena transportasi daratan yang susah dijangkau”

“Bang, kalau transportasi mudah, artinya pemerintah harus membabat hutan”

“Ya memang, hutan rusak. Tapi jalanan juga rusak. Bingung kan?”

“Pantas saja kalau Papua ingin merdeka”

“Itu yang membuatku nggak bisa lepas dari AMI, sekalipun para senior mendorong-dorong ke ”

“Banyak yang perlu diperjuangkan” ujarnya lelah

Melihat dagu Chika dari pangkuannya, seketika terbetik senyum.

"Oh ya, ingin liat calon mantan cewekku dulu nggak?" katanya membuat Chika sedikit heran

“Maksudnya calon mantan??” Rautnya mendadak datar, tapi rasa penasaran tetap tergambar di wajahnya.

"Boleh," ujarnya ragu

Zacky sengaja tidak mau bangun dari pangkuan Chika, ia mulai utak-utik smartphonenya dan menunjukkan beberapa foto gadis dengan rambut sebahu yang tengah serius menekuri buku yang membuat Chika kaget dan memperbesar foto-foto itu.

"Nggak kenal ya?"

Spontan Chika menahan tawa geli. 

"Kenapa?"

"Sejak dulu aku paling suka gayamu yang khas seperti itu"

"Tapi itu tahun berapa...?" nadanya terdengar datar, namun tak bisa dipungkiri kini tangannya makin membeku sementara rasa hangat di dada membuatnya melayang menjadi perempuan paling istimewa. Saat itu jarinya tersentuh wajah Zacky yang seketika ditarik dan digenggam.

"Kenapa tanganmu dingin?"

Spontan Chika bangkit membuat Zacky nyaris jatuh hingga terbentur meja 

"Akhh..!!"

Sambil menekan keningnya yang memar ia tersenyum geli melihat istrinya berdiri tegang

"Setidaknya aku merasa dunia sudah dalam genggamanku, karena akhirnya gadis itu masuk dalam perangkapku juga"

"Yah, setidaknya numpang gratis hidup dan makan" ujar Chika yang membuat Zacky tertawa geli

 

Hening

Angin kembali bertiup sedikit kencang menerobos masuk lewat pintu kaca yang sedikit terbuka. Chika yang tak bisa berkutik, merasa tidak enak jika beban beratnya bertumpu pada pangkuan Izack.

“Berat, Bang”

“Beratmu berapa sih?”

Perlahan namun pasti, ia mengendurkan urat ketegangannya. Hingga perlahan memberinya ruang tempat duduk di antara dua pahanya dan bersandar pada dada Izack yang merebah pada sofa.

“Seumur-umur, inilah moment yang aku tunggu-tunggu”

“Tapi sayang, kamu belum menerimaku” ujarnya dalam

Senyap

“Mungkin kamu berpikir, aku adalah lelaki seperti yang kamu lihat pada umumnya yang sering menebar pesona pada banyak perempuan”

“Tak bisa dipungkiri, sebagai lelaki aku tak mengelak akan hasrat itu”

“Berapa kali saja aku dijebak dengan banyak perempuan cantik. Tapi aku tak punya keberanian menatapnya sedikitpun”

“Karena aku tak ingin karma itu berulang terjadi dalam kehidupanku kelak..”

“Ya. Menjadi bayi yang tak pernah diinginkan itu menyakitkan” ujarnya membuat Chika terdiam menatap wajahnya. Namun kali ini giliran Izack tak berani menyambut tatapan wajahnya.

Setengah ragu Chika melingkarkan kedua tangannya erat ke dada. Ia merasakan gelagat penerimaan itu hingga Izack menatap erat wajahnya seakan menunggu penerimaan lebih lanjut.

Spontan Chika memberanikan diri mencium pipinya membuat lelaki itu kaget. Lelaki beralis tebal itu memaksa menatap dan mendekatkan wajahnya menatap bibir hingga melumatnya dengan penuh gairah menjadikan irama jantung pun makin tak beraturan. Izack tak bisa berhenti melumat bibirnya yang mungil, tapi Chika berusaha melepasnya perlahan.

“Maaf Bang, seperti yang kamu tahu. Aku bukanlah tipikal orang yang mudah percaya begitu saja pada seseorang”

“Apa sih yang kamu khawatirkan”

“Ketergantungan”

“Hm, aku tidak mau tergantung pada siapapun” jawabnya

“Dan aku menganggap pernikahan itu seperti belenggu bagi setiap perempuan”

“Begitukah pikiranmu?”

"Oke, mari kita buktikan"

"Dan aku masih punya banyak cita-cita" pecahlah tangis itu yang langsung dipeluknya erat. Pelukan itu terasa hangat dan nyaman membuat semua rasa nyeri dan lelah pun terasa luruh hingga ujung jemari kaki. 

"Jadilah seperti apa yang kamu inginkan"

"Aku benci jadi ibu rumah tangga yang tak jauh beda dengan serbet"

Glekk!!

Seketika itu diam, lelaki itu berkerut kening tak mengerti apa yang dipikirkan gadisnya. Spontan ia menahan tawa geli, tapi demi menjaga perasaanya ia mampu menahannya.

"Kalau boleh aku tahu, sebenarnya apa yang kamu pikirkan tentang ibu rumah tangga?"

"Urusan dapur dan kasur, lalu kapan aku bisa mengangkat harga diriku?"

"Kapan aku menyuruhmu begitu?"

"Kamu tidak perlu berusaha mengangkat harga dirimu" 

"Dengan menjadi dirimu seperti ini saja sudah membuatku bangga dengan dirimu yang luar biasa, kok" ujarnya mengusap kepalanya dalam pelukan.

Izack menelan nafas menatap dalam, perlahan memberanikan diri mengusap kening dan menciumnya hangat.

"Jangan kamu lihat apa yang mereka pakai dan mereka punya, tapi lihatlah bagaimana dia bersikap, bertutur dan berpikir. Itulah harga diri yang sesungguhnya"

"Tapi kan.."

"Tidak ada kata "tapi", kerjakan selagi itu baik untuk Rumah Tangga kita"

“Aku paling benci kata Rumah Tangga!” pekiknya spontan Izack tersenyum geli

“Oh.. oke, lalu kata gantinya apa dong?”

“Entah,”

"Itu artinya, kamu juga tidak boleh menciumku"

Lagi-lagi Izack menahan tawa menatap polos mata gadis berwajah imut itu.

"Memangnya kenapa dengan ciuman?!"

"Aku tidak mau punya anak"

Glek!!

"???" Izack mengernyitkan keningnya lama penuh tanya, tapi spontan ia tertawa terpingkal-pingkal 

"Pelajaran IPAmu dulu dapat berapa cantik.."

Chika mendadak malu. Tapi yang ia pahami bahwa awal dari ciuman menjadikan rangsangan untuk melakukan hubungan badan yang itu membuat Chika terbayang saja sudah serem, apalagi saat hamil, lalu kebayang persalinan keluarkan kepala bayi lewat kemaluan.

“Aaakhhhh!!” teriak batinnya kesal melihat suaminya masih saja menahan tawa memperhatikan kepolosan dirinya. Alih-alih ikut tertawa, ia justru menggigit bibirnya. Saat itulah spontan Izack mencuri ciuman di bibirnya dan kembali tersenyum geli.

"Nah! semoga kita bisa punya anak" tawa Izack geli menatap gadis polos itu yang langsung menutup bibirnya kaget. Saking bingungnya ia menghadapi lelaki di depannya, ia langsung menyembunyikan wajahnya dengan bantal sofa yang membuat Izack makin gemas.

"Kenapa aku jadi tambah gemes sama kamu ya?" tatapnya dengan sorot mata bening bersinar. Tapi Chika benar-benar malu luar biasa menutup erat wajahnya yang kini mampu ditarik dengan sekuat tenaga, Chika justru menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tapi lelaki itu justru menggelitiki hingga tak tahan membuka wajah. Saat itulah kedua mata saling menatap hanya berjarak 15cm. 

"Ternyata gadis yang tampaknya keras kepala dan arogan ini sebenarnya sungguh lembut dan polos" pikirnya tersenyum ringan

Chika segera menarik diri dan melompat lari masuk ke kamarnya membuat Izack geli sekaligus kecewa menekan gairah seksualnya yang terlanjur tinggi.

“Ah… dasar gadis kecil” tawa Izack mengerang menekan onani

Entah berapa lama Chika bersembunyi di belakang pintu kamar tidur ia tertidur.

Mendengar bel pintu, Izack kelabakan kembali membenahi bajunya di depan kaca serta mengatur nafasnya sebaik mungkin. Ia membukakan pintu dengan wajah datar seperti biasanya saat di muka umum.

"Sialan, panggil-panggil di saat sudah ada orang lain" gumamnya lirih yang membuat Izack hanya tersenyum dingin

"Mana pacarmu?"

Izack mengetuk pintu kamarnya "Sayang," 

Mendengar panggilan Izack, membuat perempuan cantik itu mencibir.

"Aku kira kamu tidak bisa romantis,"

"Temanku sudah datang, Chik"

Tidak ada tanda-tanda suara dari dalam, Izack membuka pintu kamar mendapati istrinya tertidur di atas toilet. Antara iba dan geli dengan kepolosan gadis di hadapannya, tanpa membangunkan seketika itu ia gendong masuk ke kamarnya.

"Imut banget, pantesan sampai dibela-belain tunggu di Rumah Sakit berhari-hari" kata dokter muda sembari mengikuti langkah Izack dari belakang.

Seperti biasa, wajahnya datar saat meletakkan Chika yang terbangun.

"Operasi apa?" tanya gadis itu lagi pada Izack

"Operasi usus robek, mbak" jawab Chika yang membuatnya kaget jika ternyata gadis itu sudah sadar

"Oh?!!" perempuan itu hanya melongo seribu tanya terlihat dalam sorot matanya sembari memakai sarung tangan karet, sementara tangannya cekatan membuka peralatan medis dan mulai membuka perban yang sudah mengering.

Satu persatu jahitan itu dilepas. Begitu selesai, nafas Chika tampak tersengal-sengal seperti baru selesai lari yang hanya disambut senyuman perempuan cantik itu.

"Lega ya, Non?!"

"Iya, terimakasih banyak, Kak" 

"Sama-sama"

Sempat terjadi obrolan antara dokter cantik dan Chika di kamar selama beberapa menit saat Izack riwa-riwi di dapur dan kembali muncul dengan membawakan dua gelas jus.

"Dari dulu nggak pernah berubah ya, selalu jus Alpukat"

Chika melirik keduanya dan diam-diam beranjak keluar.

"Mau kemana, sayang? duduk saja dulu" pinta Izack untuk pertama kalinya memanggil dengan sebutan itu di depan dokter cantik yang membuatnya sejenak tersanjung di depan orang, apalagi di hadapan dokter cantik yang membuat perempuan itu senyum-senyum.

"Ciehhh... yang sudah ber istri, jangan buat aku iri lah,"

"Kamu terlalu banyak kriteria" 

"Lah? kan harusnya perempuan memang begitu kan teh?"

Chika hanya senyum-senyum, ia merasa bahwa sebelumnya pernah terjadi sesuatu di antara keduanya yang membuat dirinya menyingkir. 

"Matamu jeli sekali memilih istri?" sayup-sayup suara perempuan itu terdengar 

"Ada gadis bening begitu hari gini?" kata-kata itu membuat Chika melambung sejenak yang lambat laun suara itu lenyap di balik dinding kamar dan sekat ruangan seiring kepergiannya beranjak ke dapur.

Perlahan namun pasti, ada rasa nyeri di hati mendengar gurauan intens dua orang itu di kamar.

"Siapalah aku, hanya mahasiswa miskin yang pertama kali merasakan perasaan cinta" pikirnya melayang kemana-mana membayangkan bagaimana sosok suaminya yang sebenarnya. Ia sadar perasaan itu membuat tubuhnya perlahan gemetar dan lemas terbawa rasa kecewa yang sangat dalam hingga gelas yang ia ambil dari dapur pun luluh meluncur dari genggaman tangannya.

“Pyarr!!” ia kaget, gugup dan cemas takut ketahuan mereka

"Kenapa Sayang?" wajah Izack muncul yang diiringi wajah dokter cantik itu di belakangnya 

"Oh, hehe.. nggak apa-apa"   

"Sudah, minggir dulu" nadanya agak kasar membuat harga dirinya remuk seketika membayngkan kondisi seperti apa yang bakal ia hadapi

"Baiknya buat banyak istirahat saja dulu, teh…"

Lagi-lagi ada perasaan tidak enak yang membuat Chika nyaris menjatuhkan air matanya, tapi untuk menyembunyikan itu, ia langsung masuk ke kamarnya

Saat Izack selesai mengumpulkan pecahan kaca, Rani segera pamitan pergi.

"Salam buat pacarmu, ya..."

“Hm, oke!”

Mendengar isak tangis Chika di kamarnya membuat Izack curiga nguping suara itu, barangkali saja ia salah menangkap suara tangisnya.

"Kenapa lagi?"

Chika kaget saat pintu itu terbuka, ada wajah suaminya yang muncul dari balik pintu.

"Baiknya sesegera mungkin kamu ajukan perceraian pernikahan kita ke Pengadilan, Bang"

Izack mengernyit heran.

"Tunggu, ada apa ini?" 

Dalam beberapa detik kerutan di wajahnya perlahan memudar hingga terlihat raut senyum. Ia menarik Chika dari kamar yang dihempas kesal dan menyerobot kasar keluar membuat badan dan kepala Izack terbentur keras pada pintu kamar mandi.

“Akh!!” pekik Izack nyengir kesakitan yang tak dipedulikan gadis itu melenggang duduk di sofa dengan wajah bersungut. Lelaki itu mengusap-usap kepalanya dan duduk bersimpuh di bawah layaknya seorang ayah yang tengah memanjakan gadis kecilnya.

“Duduk di atas!” pinta Chika risih justru membuat lelaki itu tak bergerak

“Sory, aku paham kemarahanmu”

“Sebenarnya setelah kamu keluar, aku sudah berdiri mengajaknya keluar, tapi dia masih asyik ngobrol” jelas Izack

Chika tersenyum pahit “Sejak awal aku sudah berpikir ini bakal terjadi”

“Maksudnya?”

“Aku ini siapa sih, Bang.. Gadis miskin yang hanya kebetulan kamu tolong..” tawanya sinis

“Sudah ku tebak apa yang bakal kamu lakukan kepadaku. Dan detik ini terbukti, aku tak jauh hanya sekedar budak tawananmu yang bisa kamu lempar dan kamu jadikan sebagai alat pemuas seksmu” protesnya bertubi-tubi dengan tatapan muak yang langsung dibungkam dengan telapak tangannya yang terasa lembut.

Sekali lagi Chika hendak angkat suara, tapi tangannya makin keras membungkam membuat Izack berdiri dan duduk di sebelahnya hingga dua wajah saling berhadapan.  

"Aku paham kamu cemburu, titik. Aku minta maaf karena kurang peka, nggak perlu kemana-mana"

Chika mendengus kesal

“Dari gerak-gerik kalian berdua aku tahu kalau kalian masih saling suka”

Izack hanya mendenguskan tawa sekilas, ia tak mau terseret ke dalam tuduhannya yang jelas-jelas dirinya bukanlah seperti itu. Ia kembali berdiri dan mengambil remote tv. Tapi Chika yang sudah terlanjur jengkel segera keluar dan berdiri di balkon sekedar melepaskan rasa kesalnya karena merasa diperalat oleh lelaki belang berkedok lembut, sabar dan perhatian.

Ingin sekali rasanya segera keluar dan pergi pulang ke Yogya andai tidak ingat perutnya yang masih terasa nyeri jika untuk berjalan jauh. Ia merasa harga dirinya telah terinjak-injak sempurna dan menyesali pernikahan itu sebagai kesalahan fatal sepanjang hidupnya.

Melihat istrinya berdiri di bibir balkon, pikirannya melesat terbayang kasus bunuh diri seorang wanita yang terjun bebas di Gedung sebelah membuatnya diam-diam menyelinap dan berdiri di belakangnya yang hendak mendekap, tapi sikunya sigap spontan menyodok dada Izack yang langsung nyengir kesakitan.

“Ampuuun!”

“Jangan coba-coba sentuh aku”

Ia meringis kesakitan menekan dada berusaha berdiri di belakangnya dan kembali menghadap langit yang makin gelap.

Hening.

Dengan sejuta kesabaran Izack berusaha kembali menatap wajah Chika yang sarat sambil menarik nafas panjang seakan ingin meneguk berton-ton energi positif ke dalam pikirannya.

“Sedikitpun aku nggak ada perasaan sama dia”

“Itu kamu, bagaimana dengan dia?”

“Itu urusan dia” jawab Izack cepat membuat Chika kehabisan kata-kata

“Kita tidak akan mampu menghadapi hari-hari kita besok, jika hal sepele ini kita ributkan”

“Cukup!”

“Aku nggak butuh ceramahmu” jawabnya menghindari Izack dan kembali masuk ke ruangan tanpa melihat wajahnya sedikitpun.

Saat itu layar tv sedang menampilkan video suasana Basecamp. Diam-diam ia menyimak video tersebut selagi Izack belum muncul. Perhatiannya tersedot pada video yang berdurasi kurang lebih 30menit sejak ia berjalan di sepanjang jalanan menuju Basecamp, hingga Rendra memberinya kado ulang tahun, lalu Izack yang menawarkan baju ganti, hingga peristiwa keriuhan selama di Resto.

Ia merasa seperti sedang dibukakan kembali memorinya yang nyaris tenggelam. Chika kembali duduk lemas memegang remote tv dan melepaskan sorot matanya keluar, dimana Izack belum juga masuk.

Pikirannya seperti sedang diaduk-aduk oleh beberapa peristiwa dalam video tersebut dan tak terasa air mata kembali menggenang yang spontan dihapus begitu Izack kembali masuk.

Lelaki itu pura-pura saja tidak tahu apa yang sedang terjadi, hingga muncul wajah dirinya keluar dari Resto dan berlari menuruni jalanan mengejar Bus.

Chika melongo saat Izack hadir dan duduk di sofa

"Siapa yang ambil gambar itu?"

"Kamu tidak sadar, kan... kalau di depan ada CCTV?"

"Terus yang di Resto??"

“Hmm??!”

Izack hanya tersenyum tipis membuat Chika makin penasaran, darimana video di Resto bisa ia dapat kalau bukan sengaja dirinya mengambilnya. Izack tak mau tersudut, ia justru memutar ulang video hingga memperlihatkan sosok Rendra.

“Kemana dia sekarang?” tanya Izack pada sosok Rendra memberikan laptop

“Oh.. Rendra, tetangga kampung sebelah”

"Sepertinya dia suka kamu tuh,"

"Enggaklah! Orang dia sudah punya pacar"

"Hmm... begitu ya?"

“Nah, sama kan?” sanggah Izack

“Maksudnya??”

Tatapan mata Izack lama seakan ingin memastikan Chika paham apa yang ia maksud. Tapi gadis itu belum juga paham bahwa yang dimaksud adalah dokter cantik itu, ia segera mengalihkan sorot matanya yang kecil dan bening itu kembali pada layar tv flat di seberang meja kaca.

Spontan Chika tertawa lebar “Ya beda lah”

“Kalau kalian kan sepertinya pernah ada hubungan”

“Darimana kamu tahu?”

“Tadi bukannya kamu berkata “Kamu terlalu banyak kriteria”

Izack tertawa geli.

“Dia itu banyak yang suka, Chika..”

“Termasuk kamu, begitu?”

“Oh, sory. Kriteriaku bukan seperti itu”

“Terus?”

“Wuaa.. menurutku dia itu dalam semua hal 99 persen sempurna loh” kata Chika lagi

Lelaki itu justru menyangga dagu terus memperhatikan istrinya bicara.

“Kamu tahu? Apa kata Mama dan teman-temanku tentang kamu?”

“Kamu pintar cari istri, sudah cantik, imut, cerdas lagi”

Spontan mulut Chika seperti terbungkam. Wajahnya yang putih tampak makin pucat. Tapi ia tak mau menampakkan rasa malu dan merubahnya pada topik pembicaraan yang lain. Izack yang paham hanya tersenyum tipis. Ia kembali meremote tv yang ia pegang hingga muncullah foto dan video dirinya.

"Seperti apa sebenarnya lelaki yang menikahinya itu?" 

"Ehmmm... masih ingat kamu menjatuhkan buku-bukumu di sepanjang jalan menuju Basecamp itu?" isyarat Izack memutar ulang video dirinya dari belakang yang membuat wajah Chika pura-pura cool sekalipun dalam batin tampak ingin lari menutup wajah karena malu luar biasa ketika lelaki yang membuatnya grogi saat itu ternyata tahu. 

"Bukan kali ini saja kamu menjatuhkan buku di depanku" wajahnya berbinar-binar menatap wajah datar Chika memainkan jari telunjuknya menutupi kedua lubang hidungnya. Tapi tak bisa dipungkiri, perasaan meluap-luap dan detak jantung yang berdegup lembut nyaris saja meledak membuatnya salah tingkah.

"Saat itu, aku kira kamu yang panggil" suaranya lirih menggigit bibir bawah menekan rasa malu terbayang saat itu ada sepatu boot berdiri di belakangnya dan sudah membuatnya berdebar-debar mengira jika itu adalah Izack, namun spontan kecewa begitu tahu itu adalah Rendra

Rasanya seperti mimpi. Lelaki tampan yang dulu jauh di atas langit, kini duduk di sebelahku dan menjadi teman hidupku, entah sampai kapan. 

"Hm, Sudah aku duga" ucap Izack dalam

“Kalau melihat kejadian itu, sebenarnya siapa yang tertarik sama siapa duluan coba?” ujar Izack yang ditanggapi dengan wajah cool Chika “Aku itu sebenarnya cuman merespon perasaan yang kamu kirim saja”

“Begitu kan?”

Spontan Chika tertawa geli campur malu

“Ngaco!”

“Berarti kamu dulu yang naksir aku, kan?” tawa Izack melihat pipi merah di balik wajahnya yang tertutup erat kedua tangannya.

Hening

“Dan.. sebenarnya aku tertarik kamu karena dari cerita Hendrik”

Gluk!!! Perlahan namun pasti Chika membuka wajahnya perlahan memalingkan wajah pada Izack yang tengah mengembangkan senyumnya.

“Saat itu aku seperti sedang menemukan diriku di masa lalu” tatapnya dalam

“Seandainya dulu aku tidak pernah dipertemukan keluarga hebat seperti mereka… mungkin nasibku tidak jauh beda denganmu, bahkan mungkin jauh lebih buruk lagi” suara batinnya terus bergejolak memandang sarat pada langit-langit ruangan.

Melihat suaminya diam dalam beku, ia memberanikan diri menggenggam tangan lelaki itu mencoba memberinya kekuatan membuat lelaki itu hanya mengembangkan senyumnya dan mengacak rambutnya.

“Aku sedih mendengarmu berkata seperti tadi,”

“Jangan pernah katakan itu lagi, sayang…”

“Maaf…”

“Aku tahu kamu merasa rendah diri”

“Tapi jika kamu ulangi kata-kata seperti itu, kamu seperti sedang mendorong semesta untuk menciptakan sebuah kenyataan baru seperti yang kamu katakan”

“Baik-baik, maaf…”

Tanpa menjawab apapun Izack kembali mengacak rambutnya.

 

 


 

13

Ketika Boring Mulai menyerang

Beberapa hari di Apartemen sendirian sepanjang hari, rasanya benar-benar membosankan sekalipun semua fasilitas serba terpenuhi. Bahkan karyawati yang disewa Izack untuk menemaninya di Apartemen pun disuruh kembali ke kantor, karena ia merasa tidak nyambung dengan orang yang diaggapnya terlalu perfect dan melelahkan itu.

Seharian itu ia merasa kembali ceria setelah 2 jam berturut-turut telphon dengan Rendra. Sesuai sarannya, ia memberanikan diri pergi sendiri ke Supermarket untuk membeli semua kebutuhan dapur dan membuatkan makan malam Izack. Tentu saja dengan kondisi yang sebenarnya belum pulih betul, tapi ia memberanikan diri berjalan jauh, dan mulai merasakan nyeri yang luar biasa saat kembali ke Apartemennya.

Namun apa yang terjadi malam itu, Izack pulang di atas jam 12 malam di saat makanan di meja telah dingin, sementara ia telah tidur terlelap di sofa balkon meringkuk dalam selimut sambil mengerang kesakitan.  

“Kenapa?” tanya Izack setengah berjongkok di depan Chika sambil mengulas bagian perut

“Sedikit nyeri”

“Kenapa tidur di sini?”

“Bosan, di dalam terus”

Izack kembali menghilang di balik pintu balkon. Diam-diam Chika membuka perutnya dan memperhatikan bekas jahitannya yang mengerikan sepanjang perutnya.

“Bagaimana aku bisa menikah dengan orang ini setelah tubuhku sudah tidak sempurna lagi” pikirnya

Diam-diam Izack datang dan ikut mengamati luka di perutnya yang membuat Chika kaget mendongakkan kepala membuat kepalanya terbentur dagu Izack keras membuat keduanya nyengir kesakitan

"Aughhh...!!"

"Eh!! Maaf Bang, maaf!!!" Izack tertawa ngenes perhatikan wajah Chika yang merasa bersalah

“Baru berapa hari kamu di sini, badanku sudah sakit semua” ujarnya membuat gadis itu nyengir penuh rasa bersalah.

“Yahh.. habis gimana? kamu nggak bilang”

Izack duduk di kursi balkon sebelah dimana ia duduk memperhatikan raut Chika yang tampak belum benar-benar sadar sambil nguap berulangkali.

“Sudah, tidur saja dulu” katanya

Chika yang setengah sadar nguap berkali-kali membuat matanya berair dan berjalan cepat mendahului Izack masuk kamarnya membuat lelaki itu bingung dan ragu saat ia menghempas di atas kasurnya jauh lebih besar dibanding bednya sendiri.

Ia tak mau banyak berpikir ketika rasa kantuk mulai kembali bergelayut dan nguap berkali-kali. Ia hanya membenarkan posisi tidur istrinya yang hampir tak menyisakan ruang sedikitpun untuk dirinya dan menenggelamkan ke dalam selimut sembari memperhatikan raut istrinya yang tampak pulas.

"Kapan kita benar-benar bisa tidur bersama seperti ini?" lirihnya

"Terimakasih sayang, sudah menunggu" ujarnya membelai kening menyibakkan poninya dan mengecupnya perlahan

 

@@@

 

Pagi hari Chika kaget mendapati dirinya dalam pelukan Izack. Ia meloncat lari masuk ke kamarnya membuat Izack yang terbangun karena kaget tertawa geli.

Entah berapa menit berlalu, Izack sudah siap-siap kembali berangkat kerja. Tapi Chika benar-benar tak berani menampakkan wajahnya di depan lelaki itu.

"Ayo sayang, sarapan dulu" ujar Izack senyum-senyum

"Sudah aku hangatkan sop iga buatanmu semalam"

Chika keluar dari kamar dengan sedikit ragu dan malu membuat Izack geli mengacak rambutnya yang lemas tergerai.

"Sakit," ujarnya manja

"Kamu ini bikin gemes" ujarnya menggamit dan mendudukkannya di kursi dan mulai menyiapkan piring untuknya

"Bang,"

"Hm?!"   

"Boleh tidak, aku bantu-bantu di kantormu?" tanyanya sedikit ragu sembari mengambil nasi dan lauk di atas meja

"Boleh,"

"Seriuss?!!" matanya melotot penuh harap

"Hm!"

"Sekarang ya?!"

"Tunggu benar-benar pulih"

"Hhhh...!!"

"Please Bang... Aku bosan di rumah sendiri"

"Kan bisa main di luar bareng Arina"

"Hhh... Orangnya nggak asyik" 

Izack meletakkan sendok

"Ya sudah ayok, cepat!"

Secepat itu Chika ngebut menghabiskan sarapan paginya. Ia segera bangkit, dan riwa riwi masuk ke kamar hingga akhirnya ia selesai keluar dari kamar mandi.

"Aku bantu-bantu deh apapun yang bisa aku bantu"

"Jangan berulah, kamu baru masa recovery”

“Aku nggak mau gendong kamu lagi kalau sampai pingsan"

Segaris tawa tersirat di wajah Chika menahan malu.

"Bawalah laptop di kamarku, kalau mau menulis artikel di kantor" ujarnya beranjak dari kursinya dan mulai mencuci piring.

“Beneran?!”

“Hm,”

“Ayok, cepetan! Selesai rapat kantor, aku ada pertemuan di luar” ujarnya cepat beranjak dari satu tempat ke tempat lain menyaut tas bawaannya, hingga terhenti menunggu dirinya ragu mengikuti dari belakang.

Dengan wajah riang Chika berjingkat cepat masuk ke kamar suaminya. Namun begitu berdiri di meja kerjanya, ia terkejut melihat sebandel kertas di atas map yang berisi surat hutang bank dengan jaminan kantor. Saat itu tangannya lemas seketika.

“Ketemu?”

“I iya, Bang” jawabnya terbata-bata gugup meletakkan bandel map dan segera keluar.

“Bang, aku… di rumah saja deh”

“Kenapa?”

“Hehe… tidak apa-apa”

“Sudah ayok, cepat!” tariknya keluar dan mengunci pintu cepat dengan sekali tombol. Ia mendorong punggung Chika yang terlampau kurus dengan tulang belikat dan bahu yang bertonjolan.

“Hadeeh… mulai sekarang makan yang banyak”

“Kamu tinggal di Jakarta harus siap fight

“Makanya harus makan yang banyak, biar nggak mudah dipatahkan orang” ujar Izack membuat Chika menarik nafas dalam tegang.

Ia tetap tenang tak banyak protes sepanjang perjalanan di lorong Apartemen yang senyap menuju Lift. Sembari berjalan di sampingnya, Chika terkesima melihat betapa keren suaminya dengan setelan blazer slim fit biru tua dengan celana. Hampir saja ia merasa bahwa ini adalah mimpi di siang bolong yang tak boleh terbangun sedikitpun. Sementara melihat hem yang dikenakannya tampak jauh perbedaannya membuat gadis itu nyengir.

“Kenapa?” suara Izack tahu kalau dirinya sedang diamati membuyarkan lamunannya  

“Hehe… tidak” jawabnya menggamit hem biru kotak-kotak merah kesayangannya

Izack paham, tapi ia tak mau membahas itu saat ini.

Sepanjang perjalanan, Chika masih tampak ragu membayangkan seberapa bisa dirinya beradaptasi di kantor suaminya dengan pakaian seadanya seperti itu. Nyalinya hampir saja rapuh jika Izack tak menggandeng jemarinya saat ia tahu gadis itu menarik nafas panjang meremas kepalan tangannya yang dingin menggenggam ujung kain hemnya.

“Mikir apa sih dari tadi?” tanyanya lagi membuat gadis itu lagi-lagi nyengir sengir

Sepanjang perjalanan mereka di mobil, tangan Chika kian terasa beku dengan wajah pucatnya. Hingga mereka turun disambut tukang parkir yang memarkirkan mobil dan keduanya turun bersamaan dan masuk melewati ruang loby yang terlalu luas. Nyalinya makin ciut mengikuti langkah suaminya yang berjalan cepat di belakangnya.  

“Pagi pak Izack” salam sapa seseorang dengan kemeja abu tua menjabat tangan lelaki di depannya sedikit tunduk hormat. Mereka bicara sejenak dan menoleh ke arah Chika untuk diperkenalkan sebagai juniornya dengan menarik pundaknya begitu saja oleh Izack yang membuatnya sedikit kesal merasa diperlakukan sedikit kasar di hadapan orang.

Entah berapa menit berlalu mereka berjalan beriringan, membuat Chika merasa minder dan hilang kepercayaan diri hingga akhirnya mereka masuk lorong demi lorong setelah keluar dari lift dan disambut orang-orang di sana yang nampaknya itu adalah kantor suaminya yang terbilang cukup luas.

Batin Chika mulai bergejolak

“Wowww!! Nggak nyangka, orang seperti dia kantornya se luas ini” pikir Chika terheran-heran memandang sudut-sudut ruangan yang tertata rapi dan bersih

“Tapi, benarkah dia CEOnya?”

“Atau jangan-jangan cuma karyawan?”

“Benar-benar keren” pikirnya saat mereka berjalan beriringan

Hampir semua orang yang berpapasan dengannya selalu menyapa dan menunduk hormat. Namun Izack hanya menunduk datar yang kadang tanpa memandang wajah orang-orang itu.

“Gimana mas Ardian?”

“Iya pak, siap… tinggal tunggu bapak dari tadi”

“Oke” jawab Izack masuk ke salah satu ruangan yang terlihat lengang dan sepi

Chika pun menarik nafas lega jongkok di depan pintu selepas pintu ditutup yang membuat Izack mengembangkan senyumnya lebar seakan paham perasaan grogi dan cemas. Ia menarik pergelangan tangannya yang kepalang dingin.

“Kenapa tanganmu dingin semua?” Izack melotot. Tapi ekspresinya tidak selembut di rumah, ia langsung beranjak mencantolkan blazernya dan melipat lengan kemeja kokonya. Sementara Chika masih kikuk dan grogi beradaptasi dengan suaminya sendiri yang sudah berubah total auranya.

“Ini ruanganku, kalau butuh sesuatu panggil saja masnya di depan” ujarnya sembari duduk di meja kerjanya

“Itu air minum kalau mau, buatlah sendiri” tunjuk Izack pada meja kecil di sudut ruangannya

“Tapi Bang!” suara Chika cemas

Tak lama kemudian sekretarisnya masuk mengingatkan bossnya.

“Oke, baik”

Izack kembali berdiri tepat di hadapannya.

“Bang, jujur saja aku takut”

“Kenapa? Mereka sudah tahu kalau kamu istriku” jawabnya menarik bahu, mencium kening dan memeluknya erat dan hangat membuat Chika tak ada kesempatan mengelaknya sedikitpun.  

Teringat surat hutang bank di meja kamarnya tadi terlintas perasaan sekedar ingin bertanya,

“Benarkah ini semua pinjaman Bank?” pikirnya. Tapi ia mengurungkan niat itu hingga akhirnya membiarkan lelaki itu pergi meninggalkan ruangannya yang diikuti oleh senyum sapa sekretarisnya.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             

 

@@@

 

Di meja oval yang tidak terlalu besar, Izack duduk di paling ujung mendengarkan laporan karyawannya dari masing-masing bidang. Mereka membahas buku-buku terbitannya yang mangkrak berbulan-bulan di beberapa toko buku besar yang tersebar di seluruh Indonesia dibanding buku-bukunya yang dijual di toko online mereka.

“Kalau begitu, kenapa nggak kita tarik saja buku-buku yang ada di toko buku offline?”

“Team Pemasaran, tolong atur lagi strategi penjualan kalian”

“Aku nggak mau ada agenda menghancurkan buku-buku lagi”

“Team Akuisisi, tolong perbaiki sensor kalian”

“Kita butuh buku-buku berbobot”

Tiba-tiba saja Ozin sebagai tangan kanannya memberi selembar note kecil dan membacanya sekilas membuat Izack diam sejenak menatap dua orang sebagai dua pimpinan tim Akuisisi.

“Kita perlu move tiap minggu, tiap bulan dan tiap tahun”

“Di luar sana berapa banyak penerbit dan percetakan buku yang terpaksa gulung tikar karena ketidakmampuan mereka menciptakan terobosan-terobosan baru”

“Hari ini, kenapa masih ada gap-gapan?”

“Jika itu memang masalah individu, selesaikan secara bijak. Tapi jika itu urusan pekerjaan, datanglah ke ruangan saya, kita akan selesaikan bersama” kata Izack mengetuk-ngetukkan jari menatap tegas dua orang lelaki setengah baya dan lelaki muda yang tak berani mengangkat wajahnya. 

“Kita buatkan ruang santai fungsinya untuk itu”

“Kita tidak ingin perusahaan ini menciptakan manusia-manusia robot yang hanya memenuhi panggilan pekerjaan, berangkat pagi pulang sore, begitu terus menerus”

“Lanjut!” ucap Izack mempersilahkan Ozin berbicara

“Minggu lalu Dinas Kearsipan Nasional sudah siap mendengarkan proposal proyek kita. Mereka menunggu kedatangan kita menjelaskan itu secara detil”

“Setelah dua tahun???” seru pegawainya serempak melotot yang hanya disenyumi Izack

“Yes…” Ozin menatap dalam pada semua orang

“Itulah kita”

“Soal Pendidikan saja begini alotnya”

“Rakyat disuruh melek literasi, tapi apa jadinya jika harga buku mahal dan keberadaannya pun  buku saja masih langka di daerah-daerah pelosok”

“Harga buku mahal karena tidak ada dana  

“Bagaimana masyarakat disuruh membaca, kalau yang dibaca saja tidak ada”

“Bagaimana bisa buku langka ya karena harganya memang tidak terjangkau di masyarakat kalangan menengah kebawah”

“Karena pemerintah tidak memberikan perhatian khusus pada ini”

“Untuk itulah Proyek Perpustakaan Digital Nasional ini kita ajukan sebagai terobosan baru membantu pemerintah untuk mengurangi tingkat rendahnya literasi di kita”

“Apa bedanya Perpustakaan Digital yang sudah dimiliki pemerintah sekarang, Bang?”

“Beda”

“Perpustakaan Digital milik Pemerintah sekarang tidak menggandeng semua penerbit yang ada di Indonesia”

“Kan banyak tuh, Penerbit yang sudah gulung tikar, gimana?”

“Kita akan hubungi lagi pemiliknya untuk buku-buku tersebut kira-kira mana yang layak terbit”

“Karena moto kita adalah Bacaan Berkualitas meningkatkan masyarakat yang cerdas dan Bermartabat”

“Maaf Bang, tapi..”

“Saya khawatir jika ini tidak ditindaklanjuti secara cepat, akan ada orang lain yang bakal membuat proyek yang sama”

“Stop!! Nggak perlu diteruskan kekhawatiranmu”

“Malam ini tolong siapkan semua berkas yang sudah saya siapkan dulu. Kemarin tim IT sudah kamu beritahu bagaimana mekanisme kerjanya Zin?”

“Sudah kok Bang” jawab dua orang tim IT

“Okey, saya butuh kalian untuk menjelaskan bagaimana aplikasi itu agar tidak berat sekalipun muatannya banyak”

“Jika proyek itu benar-benar bisa berjalan, lalu bagaimana dengan kita Bang?”

“Kita tidak akan mengganggu orang-orang inti di perusahaan. Kita butuh orang baru sebagai tim pelaksana proyek”

“Enggak ribet kah?”

“Kalau kita solid, tidaklah”                     

“Kita butuh income baru bagi perusahaan”

“Lusa kita akan rapatkan barisan jika proyek itu benar-benar disetujui”

“Baik Bang”

“Bagaimana dengan CSR kita?”

“Ini kita sedang menggodok beasiswa murid tidak mampu dari daerah terpencil, Bang”

“Stop! Hentikan program itu”

“Tapi itu hampir jadi, Bang”

“Tidak! Kita tidak mengajak anak pergi ke sekolah, tapi mengajak mereka membaca buku”

“Kita tahu bagaimana sistem pendidikan di negeri ini. Untuk itulah perusahaan ini hadir dengan harapan literasi kita berkembang, selain kita memang sedang berbisnis”

“Niat awal perusahan ini adalah untuk memperbaiki kualitas literasi generasi kita”

“Untuk itu kenapa fokus CSR kita pada mutu perbaikan Taman Bacaan Masyarakat, baik dari fisik bangunan sampai kegiatan sosial masyarakat yang pada intinya, kita mengajak masyarakat untuk datang ke Taman Baca Masyarakat dan membaca buku”

“Karena hari ini, kita butuh itu ketimbang pergi ke sekolah”

“Paham maksud saya?”

“Hm, iya Bang”

"Biaya Pendidikan di negara kita benar-benar gila, tanpa perbaikan sistem pembelajaran yang baik kita hanya menghabiskan tenaga untuk mencapai tujuan kita”

"Oh ya, bagaimana dengan bantuan buku ke lembaga Anak Bangsa dari Papua sudah dikirim?"

"Sudah, Bang"

"Sip!"

"Oke, untuk buku anak saya butuh cerita otentik dari masing-masing daerah, terutama daerah pedalaman di luar jawa, silahkan kalian pikirkan bagaimana caranya"

"Baik, Bang"

"Oke, ada yang lain?"

Semua diam saling memastikan.

"Kalau begitu, rapat kita sudahi di sini"

"Oke, siap Bang" jawab mereka serempak yang seketika itu mereka bubar meninggalkan ruangan yang hanya tersisa pak Andriawan Editor senior dengan jam kerja lebih dari 20tahun dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang hanya senyum-senyum.

"Kenapa Pak?"

"Baru kali ini saya kerja di Penerbitan, suasananya nyaman dan team nya anak muda kreatif semua"

“Hm,” Izack hanya mengembangkan senyum sambil menutup laptopnya”

"Meskipun gaji lebih kecil dibanding perusahaan lain, saya suka kalau ada masalah seperti ini pimpinan langsung tanggap dan tegas untuk segera diselesaikan "

"Terimakasih juga bapak sudah mengarahkan saya selama 3 tahun ini"

"Bagaimana kabar istrinya, Mas? Tidak diajak ke kantor?"

"Ikut Pak..." senyum singkat Izack

"Wajah mas Izack ini tampak letih sekali, tapi auranya kelihatan lebih bercahaya dibanding sebelum menikah"

"Oh ya??" tawa Izack lebar

"Iya pak, saya belum tidur kecuali hanya 1-2 jam dalam beberapa hari ini"

"Buat istirahat saja dulu, Mas"

"Pinginnya seperti itu Pak. Tapi di sini pekerjaan selesai, Markas AMI belum"

"Bagaimana kabar anak dan istri, pak? Sehat semua kan?"

"Alhamdulillah mas,"

"Masih pegang AMI, mas?"

"Masih Pak," jawabnya penuh semangat

"Cita-citaku bisa tumbuh justru dari sana" katanya tegas penuh semangat

"Ah.. keren betul Mas Izack. Sudah ganteng, mapan, aktivis pula. Makanya banyak perempuan tergila-gila" tawa pak Ardiawan sembari beranjak dan membuka pintu kaca

"Mari mas…"

"Oke pak" jawab Izack tersenyum lebar yang diacungi jempol lelaki separuh baya itu

 

@@@

 

Entah berapa jam sudah berlalu, Chika tertidur begitu saja di sofa ruang kerja Izack yang tidak begitu luas. Sayup-sayup ia mendengar suara perempuan yang tengah berbicara dengan seseorang di telphon. Begitu hendak bangun, ia sadar tubuhnya telah terbungkus selimut tebal dan halus dalam ruangan sejuk. Saat ia duduk, seorang perempuan langsung menyambut dirinya membuatnya kaget.

Melihat penampilan perempuan di depannya, nyali Chika langsung ciut.

"Wow!" pikir Chika meremas kemeja usang yang ia pakai sembari memperhatikan setelan blazer krem dan celana coklat tua perempuan di depannya.

"Selamat siang Non, silahkan diminum dulu" sapanya ramah menawarkan segelas minuman hangat

Chika agak terkejut. Ia bingung harus memposisikan diri sebagai siapa. Istri, pacar, sekedar teman, atau calon pegawai.

"Baru saja Pak Izack masuk, tapi melihat kakak tertidur pulas bapak keluar lagi" ujar perempuan itu sambil memastikan jam yang melingkar di pergelangannya 

"Hm," Chika mengangguk-angguk setengah risih dengan penampilan seadanya 

"Tapi kenapa saya tiba-tiba di sini? bukannya tadi di ruang perpustakaan?" tanyanya bingung memijit-mijit kepala yang masih terasa pusing.

Perempuan itu senyum-senyum

"Iya, tadi Pak Izack sendiri yang menggendong kakak kemari"

"Ooh…” Chika melongo

“Kenalkan saya Alika Kak, saya tim dari Akuisisi”

"Oh, saya Luchika Aria"

“Loh???!” Alika kaget mengingat-ingat

“Sepertinya nggak asing sama nama kakak”

Alika bercerita bahwa awal-awal penerbitan itu pindah ke Jakarta pernah ada naskah buku penuturan orang-orang eks tapol di balik pintu jeruji besi yang bagus. Tapi naskah itu oleh kepala tim nya diserahkan ke pak Izack karena dianggapnya riskan jika terbit. Menurutnya buku tersebut menyimpan banyak hal yang perlu digali lagi, seperti dokumen harta kekayaan negara yang diserahkan oleh orang-orang kepercayaan presiden pertama.

“Waktu itu aku yang pertama menerima naskah buku tersebut dari alamat penerbit Yogya”

Chika terdiam nyeri teringat dua tahun lalu saat pertama kali bertemu dengan Izack di Resto. Ia pulang menangis sedih karena naskah yang digadang-gadang bakal diandalkan uangnya untuk melunasi hutang Bank, ternyata justru dikembalikan untuk diminta soft copy dan hard copynya.

“Oh..” jawab Chika

“Benar itu punya kakak ya?”

“Hm,” jawabnya mengangguk

“Lalu?!”

“Kita bicara yang lain saja ya Kak,”

“Oh, maaf”

“Nggak apa-apa” senyum Chika asem

Alika yang terkenal banyak bicara dan banyak ide kreatif mulai mengganti topik pembicaraan dari pengalaman kerja di perusahaan tersebut hingga kebiasaan bos nya selama dua tahun. Hingga mereka terlibat dalam obrolan seru seputar dunia perpajakan dan pembajakan buku yang dilakukan oleh usaha-usaha kecil. Dan dalam hitungan menit obrolan kembali semakin menarik, tampak dari sikap Chika yang mulai menopang dagu mendengarkan perempuan yang lima tahun lebih tua darinya.

"Dan baru kali ini kami melihat Pak Izack bisa se romantis itu" senyum lebar Alika menatap wajah Chika menahan malu  

"Hm, apanya yang romantis?"

"Jangankan menggendong perempuan. Ngobrol sama perempuan saja intensitasnya minim sekali, bahkan sama karyawannya sendiri"

"Malah kita sempat menduga bapak ini..." suaranya mendadak tersendat

"Gay?" potong Chika tertawa cekakaan.

Perempuan berwajah tipis itu hanya tersenyum menutup mulut.

"Maaf maaf, Kak... maksud saya bukan seperti itu"

"Ah.. tenang saja, saya orangnya santai kok"

Diam-diam Chika belajar bersikap sedikit feminin seperti perempuan di depannya menyilangkan tumpuan kaki.

Entah berapa menit berlalu, obrolan mengalir begitu lancar. Sebelumnya mereka juga sempat memesan makanan untuk makan siang. Hingga makanan itu habis, obrolan mengalir begitu saja membuat tenaga Chika pulih dengan sendirinya. Saat itulah Izack masuk ruangannya. Ia terkejut melihat istrinya bisa bercerita tertawa seru dengan karyawannya.

Melihat kedatangan pimpinannya, Alika segera pamit dan keluar.

“Oke, terimakasih Alika!”

“Sama-sama Pak..” jawab perempuan tersebut menutup pintu sambil senyum-senyum berisyarat pada Chika yang hanya disenyumi membuat Izack menoleh, tapi pintu keburu ditutup.

"Seru banget" kata Izack yang langsung disambut dengan tarikan nafas panjang gadis itu

Ia duduk tepat di sebelah Chika yang membuat gadis itu lagi-lagi langsung bergeser menjauh. Tapi kali ini Izack menahan tubuh Chika untuk tetap duduk di sebelahnya.

“Mereka pada tanya itu”

“Apa?!”

“Pesta pernikahan”

“Oh, No!”

"Sejak kapan aku minta pernikahan kita dirayakan?" gumamnya lirih

Izack tersenyum "Hampir semua karyawan menanyakan itu"

Spontan Chika melorot “Aku nggak mau”

“Ya minimal pesta kecil makan bersama saja”

“Enggak,”

“Kenapa?”

“Aku nggak mau pakai baju-baju ribet dengan memakai topeng make up yang baunya bisa bikin aku muntah” ujarnya tegang yang ditertawakan Izack seketika

“Ampun...”

“Please Bang… jangan” rengek Chika

Izack duduk menyebelahi Chika yang membuat gadis itu spontan geser menjaga jarak membuatnya tertawa geli “Ampuuunnn…”

Ia sadar sikapnya sering tidak enak pada suaminya, tapi sebenarnya bukan itu yang ingin ia keluarkan. Tapi sepertinya sikap seperti itu benar-benar reflek. Ia memang tidak terbiasa bersikap manis apalagi manja seperti perempuan-perempuan alay istri atau bos perusahaan besar pada umumnya.  

Lelaki itu mengendurkan dasi dan melepas jas nya menarik nafasnya perlahan seakan melepas penat.

“Oke, kamu boleh bersikap seperti apapun di depanku”

“Tapi tolong, tidak seperti itu jika kita di depan orang lain, apalagi mitra kerja”

“Efeknya perusahaan yang masih baru ini, bisa jatuh hanya isyu remeh semacam itu”

“Maaf” nadanya merasa bersalah

“Aku paham, kamu belum terbiasa”

“Oh ya Bang,” katanya lagi cepat-cepat menunjukkan layar monitor yang ia buka

“Aku boleh ikut ini nggak?”

“Apa itu?” Izack membaca lama brosur proyek reboisasi lahan kering di Kalimantan. Ia diam tak menjawab, namun justru mengalihkan pembicaraan yang lain mengajaknya makan siang.

“Aku sudah makan”

Izack menatapnya lama “Ini cewek kenapa nggak pengertian banget, sih?” pikirnya dengan raut kesal. Lelaki itu kembali berdiri dan meninggalkan Chika bingung dengan pikirannya sendiri.

“Bukannya bersyukur ya, aku nggak ikut makan artinya mengurangi biaya hidup yang harusnya keluar?” pikirnya lagi

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar membuat Izack kembali melihat ke arah pintu. 

"Maaf Pak, ada dua orang wartawan dari Majalah Online The Youngers mau mewawancarai bapak terkait Move AMI agenda petisi menurunkan presiden" ujar sekretarisnya

Mendengar itu spontan Chika melotot menatap suaminya.

“Oh, baik.. nanti malam jam 7 saja”

“Baik, pak” jawabnya yang kembali keluar

Lelaki itu tahu dirinya masih ditatap istrinya, tapi ia tak mengindahkan tatapan itu dan tetap fokus pada layar tipis tablet dalam genggamannya. Beberapa kali ia membuat voice note dan scroll monitor tipis tabletnya dengan menarik nafas sesekali alisnya yang tebal mengernyit tajam.

“Bagaimana dengan Papamu Bang?!”

“Kenapa emang?” jawabnya serius sembari menekan perutnya nyengir kesakitan.

Chika yang terbiasa sakit maag mulai paham.

“Bang, bukannya tadi mau makan ya”

“Hm, nanti” jawabnya cuek

Entah berapa menit lelaki itu mondar mandir sibuk menjawab pesan voice not dari seseorang, hingga sadar saat Chika memberanikan diri mengetuk punggungnya dari belakang.

“Ayo makan dulu”

“Bukannya tadi kamu bilang sudah makan?”

“Ayooo…”

“Oke-oke, tunggu sebentar” katanya segera menutup percakapan by phone

Perlahan Chika mendekat tanpa diketahui lelaki tersebut, hingga sadar tablet itu ditarik perlahan yang langsung ditahan erat Izack.

“Sebelum kamu menolong orang lain, tolong dirimu sendiri dulu” katanya membuat Izack spontan sadar dan luluh meskipun awalnya sempat agak emosi.

 

@@@

 

Sore itu keduanya keluar menerobos kemacetan jalanan ibukota yang beberapa ruas jalan sudah ditutup  karena demo Mahasiswa yang beberapa hari sudah memanas dimana-mana. Dengan google map Chika menjadi navigator mencari jalan keluar dari area yang sudah terkepung masa dengan sepeda motor milik perusahaan. Hingga mereka terhenti di sebuah rumah makan warteg sederhana yang cukup jauh dari area perkantorannya.

Saat itu Izack melenguh capek “Haduh, mau makan saja jauh banget”

“Lebih bersahabat di kantong, Bang”

“Bersahabat di kantong nggak bersahabat di tenaga dan jejak karbon”

“Lagipula darimana kamu tahu rumah makan ini?”

“Hehe… Googling lah”

Setelah mereka dipersilahkan mengambil menu sendiri keduanya duduk di antara orang-orang yang mulai berdatangan untuk menikmati makan di meja yang sama. Izack mulai risih dengan asap rokok yang mengepul di sela-sela membuatnya tidak betah dan ingin sekali segera pergi dari sana, tapi tangan Chika segera menahannya.

“Orang-orang seperti mereka kan… yang sedang kalian perjuangkan?” bisiknya lirih

“Iya, tapi kan nggak seperti ini juga kali,” kata Izack kesal yang hanya dipelototi Chika kembali duduk tenang dan mendengarkan bapak-bapak itu mulai bicara. Dari soal kasus maraknya PHK, kenaikan harga bahan pokok, sepinya usaha mereka hingga aksi demo Mahasiswa yang tak banyak pengaruhnya merubah kebijakan pemerintah yang dinilainya sudah tidak berpihak pada rakyat menengah ke bawah lagi.

Tangan Izack sempat terhenti dan meletakkan sendoknya, sementara Chika pura-pura memalingkan wajah menyangga kepala menghadap Izack yang rautnya sedikit berubah. Ia hanya tersenyum lebar memberi kode pada Izack untuk melanjutkan makannya.

Entah berapa lama mereka ngobrol, tapi Chika berusaha tenang menyimak obrolan mereka yang sesekali dilirik curiga oleh bapak-bapak di sebelahnya.

"Wuahh... rasanya aku kangen masakan bu Narni" cletuknya seakan memecahkan suasana yang tegang

"Siapa?"

"Tempat aku kerja lah,"

"Oh..." Izack hanya senyum-senyum paham

"Kenapa?"

"Tempat mangkalmu selesai jualan koran?"

Chika mengernyit lama seakan menunggu penjelasan "Darimana kamu tahu?" 

Izack menekan sebuah folder di smartphonenya dan menyodorkan sebuah foto dirinya yang tengah duduk di dalam rumah makan bersama ibu Owner. Chika melotot terheran-heran, “Kok lama-lama jadi seperti hantu kamu Bang” katanya yang membuat raut Izack seketika kecewa dan kembali mengantongi ponselnya membuat kerutan di wajah Chika seketika pudar hingga menjadi tawa geli.

“Ah… betapa bersyukurnya aku punya suami seperti dia” pikirnya merasakan irama jantung yang lembut dan damai

“Apa kamu nggak ingat waktu itu aku makan di Rumah Makan itu juga?”

Chika mengernyit lama,

“Mana ada waktu perhatikan satu persatu customers tho, Bang?”

“Lagipula sempat-sempatnya ambil moment foto itu”

“Ya barangkali saja aku salah lihat, mana ada jurnalis pekerjaan sampingannya bersih-bersih di Warung Makan”

Chika mengernyit lama seakan sedang menggali ingatannya yang tumpang tindih tentang suaminya yang pernah hadir dalam kehidupannya.

“Terimakasih ya Bang,” ucap Chika lirih

“Apa?? Sekali lagi?”

“Ayok,” ucap Chika seakan memudarkan suasana canggung dirinya saat berucap terimakasih yang memang jarang ia ucapkan pada siapapun

Izack mulai paham bagaimana ekspresi canggung istrinya yang berusaha cool saat dirinya malu.

Ia segera membayar dan keluar dari Rumah Makan itu yang diam-diam diperhatikan bapak-bapak yang tengah ngobrol di Rumah Makan tersebut.

“Bukannya Mahasiswa itu ya?”

“Iya, yang sering muncul di tv” bisik si bapak yang sayup-sayup terdengar di telinga Chika saat mereka meninggalkan Rumah Makan tersebut.

“Oh… pantesan, aku nggak asing” ujar si bapak santai sembari menusuk gigi.

Sekalipun kemacetan dan hawa panas begitu menyengat, namun itu tak mempengaruhi suasana keduanya bercerita segala hal remeh temeh saat mengendarai motor hingga roda dua itu berhenti di sebuah outlet pakaian branded.     

Chika mengernyit heran

“Bukannya nanti akan ada wawancara, Bang?”

“Hm, maka dari itu”

“Aku nggak ingin istriku berpenampilan seperti asisten rumah tanggaku” kata Izack yang spontan disambut raut bersungut membuat Izack mengacak rambutnya berantakan. Chika makin kesal karena rambutnya yang kusut jadi berantakan, tapi Izack menarik dan merangkulnya sepanjang lorong pintu masuk Outlet.

Sekilas mereka seperti bukan suami istri melainkan dua sejoli yang sedang sedang jatuh cinta. Hingga keduanya masuk, Izack melepas rengkuhan tangannya membiarkan gadis tomboy yang sedang belajar bersikap feminin itu eksplore pakaian yang ia inginkan. Seketika matanya langsung tertuju pada deretan pakaian pria.  

"Woowww... keren!!" pikir Chika melirik label harga sekilas pada hem yang dianggapnya bagus. Tapi Izack mendorongnya berjalan terus hingga menuju pada block pakaian wanita. Melihat rok dan dres yang cantik-cantik dihadapannya membuat Chika nyengir.

“Terlalu jauh dari kehidupanku” pikirnya membayangkan Izack menggandeng perempuan cantik nan elegant memakai pakaian seperti di hadapannya dengan kulitan putih nan halus seketika itu nyalinya berasa seluncur dari ketinggian tebing.

“Kenapa?”

“Lihatlah Bang, di antara sekian banyak baju bagus dengan harga fantastis. Pemakainya ini hanya menginginkan mereka jadi pemandangan menarik bagi kaum lelaki, dan aku paling benci itu” cletuk Chika balik kanan yang langsung ditarik Izack.

“Cobalah ini,” pintanya menawarkan rompi krem se paha dengan kemeja putih berserat kain lembut dan ringan

“Wow!”

“Bawahannya ini” tawarnya lagi pada celana panjang straight leg putih dengan kain melar membuat Chika pun tersenyum lebar. Tapi melihat label harga lagi-lagi membuat Chika melotot.

“Di luar aja yuk, Bang… jangan di sini”

“Pakai ini”

"Jangan disini…” ujarnya lirih seakan nyerah melihat label harga 

"Aku nggak akan menambahkan hutangmu, okey?!" jawab Izack setengah kesal setelah hampir satu jam lelah menunggunya memutari deretan rak baju tapi tak ada satupun yang ia ambil.

Izack langsung menahan lengannya untuk segera mengganti bajunya di kamar pas

"Ayok! waktuku nggak banyak" sorot matanya tegas

Ia melotot melihat billing harga yang ditunjukkan monitor kasir.

Melihat sikap Izack yang tegas, nyali Chika spontan menciut. Cepat-cepat ia pergi ke kamar pas dan mengganti pakaiannya dengan perasaan malu keluar dari ruangan yang disambut senyuman lebar lelaki beralis mata tebal itu membuat Chika sedikit agak kesal dengan paksaan baju yang dianggapnya feminin.

“Ayok buruan, keburu kejebak macet” jawabnya melangkah lebih cepat membuat Chika kesal karena ia harus tersingkal-singkal berjalan cepat

"Andaikan beli di pasar atau toko biasa kita bisa dapat baju banyak” gerutu Chika saat mereka meninggalkan kasir.

“Aukhhh!!” pekik lirih Chika yang tak terdengar membuat Izack tetap berjalan meninggalkan Chika yang masih berdiri nyengir kesakitan menahan rasa nyeri di sekitar bekas luka sayatan dan organ dalam bekas operasi.

Ia membanting kesal barang belanjaannya dan ditinggalkannya begitu saja di tengah-tengah outlet hingga berjalan cepat mendahuluinya sambil menekan rasa sakitnya.

"Loh, bajumu??"

"Sudah aku tukar dengan uang!" jawabnya membuat Izack menoleh seketika.

Dua tas kertas itu teronggok di tengah jalan yang membuat dua orang penjaga toko melihat pemandangan itu. Izack tak peduli, ia pergi begitu saja tanpa berkomentar apapun membuat Chika seketika takut kalau-kalau ia marah.

Di depan Outlet Ozin sudah menyambut keduanya, mereka bertukar kunci dan dengan cekatan ia membuka bagasi dan meletakkan dua tas itu di sana. Chika mengira Ozin akan membawakan pakaian itu, tapi ternyata Izack masuk mobil dan membuka pintu jendela melihat Chika berdiri terpasung.

“Kamu mau jadi penjaga Outlet kah?” serunya yang membuat Ozin tersenyum geli

“Silahkan Non,” kata Ozin membukakan pintu untuknya

“Oh??!”

Chika geleng-geleng menarik nafas kesal.

Sepanjang perjalanan dalam kendaraan, Chika mulai protes. Dari peran laki-laki sebagai seorang suami seperti raja di mata istri yang begitu memuakkan, hingga budaya hedonis yang meninggalkan jejak karbon perkotaan terkait industri fashion yang masif, sampai dampak limbah baju bekas yang ditinggalkan.

"Hiiigghh! orang Hedonis seperti ini kenapa mesti jadi ketua organisasi politik Mahasiswa??" gerutunya sayup-sayup terdengar lirih beradu dengan suara audio mobil.

Mendengar kata-katanya sebenarnya menyebalkan, tapi Izack diam.

"Jadi apa ntar Mahasiswanya"

"Begitu masih bisa teriak mau memperjuangkan rakyat"

"Rakyat yang mana??!" 

"Rakyat sepertimu, kan?"  cletuk Izack santai  

"Bang, kamu tahu tidak sih. Berapa ribu hektar sendiri hutan kita digunduli tiap tahun hanya untuk dijadikan kain dan kertas seperti konsumsi perusahaanmu" 

"Makanya kamu pakai baju usang seperti itu?"

"Menunggu sampai sobek-sobek, setelah itu dijadikan serbet kaki. Begitu?!" jawab Izack seakan memperjelas pikirannya

"Kapan-kapan aku ajak kamu ke tempat pengolahan baju bekas menjadi serat baru lagi, deh" ujarnya tetap tenang mengendalikan setir

"Repot punya istri sepertimu" pikirnya sedikit lelah mendengarkan ceramah Chika panjang lebar soal deforestasi.

"Oh ya satu lagi, jangan pernah berpikir aku bakal jadi pembantumu seperti istri pada umumnya”

Izack menarik nafas panjang kesabarannya "Chika... Chika. Sedikit saja nggak pernah terlintas, kenapa pikiranmu bisa sejauh itu?"

"Kalau bukan karena hutang, aku bisa melarikan diri dari kemarin-kemarin" gerutunya lagi

"Jujur saja aku paling nggak suka disuruh-suruh"

“Hah…”

“Ini kita mau ketemuan sama pers, Non… kalau pakaianmu seperti tadi, nanti berita yang muncul negative kamu protes lagi”

“Pokoknya aku paling nggak suka disuruh-suruh”

“Oh.. oke-oke”

“Tapi serius kamu cantik kok pakai baju itu”

“Nah, kan… selera siapa?”

Lagi-lagi Izack merasa salah lagi dengan ucapannya membuatnya bingung hingga ia memilih diam.

"Padahal sejak pagi kamu baik-baik saja, bahkan bisa tertawa cekakaan bareng karyawan?"

"Tapi kenapa hal kecil seperti ini saja kamu permasalahkan panjang lebar"

"Perutku sakit!!" pekiknya geram nyengir membungkuk 

Izack berpaling pada Chika yang sudah panik pucat berkeringat. 

"Segini cukup?" tanyanya reflek menekan tombol seat hingga tertidur

"Hm!" jawabnya masih nyengir kesakitan

Saat itu mereka terhenti oleh lampu merah. Dengan cekatan Izack mengambil tisyu dan mengusap keningnya yang basah keringat dingin.

Gadis itu agak risih waktu jari-jari panjangnya menyentuh wajahnya. Namun perasaan itu kalah dengan rasa sakit dan nyeri pada bekas jahitan dan barangkali saja pada bekas sambungan usus di dalam perut membuatnya panik. Tapi kecupan kecil di kening membuatnya kaget sekaligus suasana tenang dan hangat membuat dirinya tak berani memandang wajah lelaki yang hanya 15cm dari hidungnya.

"Buat tiduran saja dulu" katanya menatap dalam

"Ah... kenapa lagi-lagi pria ini membuatku luluh" pikrnya menekan denyut jantung yang berdegup halus dan lembut membuat rasa sakit itu perlahan reda dan tenang

Tiba-tiba saja smartphonenya getar, itu adalah Ozin. Ia mengingatkan jadwal wawancara dengan majalah 30menit lagi.

Melirik istrinya yang baru saja memejamkan mata, Izack ragu.

“Jangan pikirkan aku”

“Aku tunggu di mobil seperti biasanya”

“Hm, oke”

“Ini aku perjalanan menuju kesana, semoga saja kemacetan tidak begitu parah” jawab Izack

Langit telah gelap saat mereka sampai di tempat tujuan. Diam-diam Izack menyibakkan rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajahnya. Saat itulah Chika terbangun.

“Beneran di sini?”

“Hm”

“Ayoklah, sebentar saja”  

Chika menggeleng lemah membuat Izack pun pasrah. Di café itu, Izack sudah ditunggu seorang perempuan cantik dengan rambut pendek lurus memakai hem krem. Dari balik dinding kaca ia kaget melihat sosok wanita yang wajahnya tak asing menyapa dengan segaris senyuman hingga ia masuk dan menemuinya.

“Kamu??? Rafika kan?”

“Anak SMPN 6?”

“Hm, kenapa? Kaget?!” tawa perempuan itu

Izack tertawa seru membayangkan bagaimana sosok perempuan yang dulu tomboy dan terkenal heboh suka melompat pagar saat jam kosong dan suka nyontek ujian matematika darinya kini menjadi sosok wanita anggun yang diam dan jaga image. 

“Ngapain kamu wawancara segala?”

“Ini aku magang, setelah lulus magisterku Bro!”

“Ambil jurusan apa?”

“Hei! ini aku mau wawancara kamu, kenapa justru kamu yang tanya-tanya”

“Oh… Oke-oke” jawab Izack masih senyum-senyum geli melihat penampilan Rafika yang terlalu feminin.

“Pesan apa nih?”

“Masih suka minum jus kah?”

“Kok tahu?”

“Tahulah, nggak ingat kamu? Kalau dulu aku sering nyogok kamu tak suruh kerjakan PR matematika ku?” tawa Rafika

Izack tertawa mengingat-ingat.

“Yah..! itu sepertinya masa depresimu ya? Kita semua sempat mengkhawatirkanmu loh” kata perempuan itu lagi yang hanya disenyumi Izack mengingat masa pencarian jati diri sebagai seorang anak manusia yang mencari sosok orang tuanya.

Saat itu pelayan datang membawakan segelas jus alpukat.

“Sory, istriku sudah menunggu nih. Bisa agak dipercepat sediktkan waktunya?”

“Oh, maaf maaf!”

“Tapi ngomong-ngomong istrimu dimana?”

“Di mobil,”

“What?? Kenapa nggak disuruh kesini aja?”

“Lagi nggak enak badan”

“Oh.. oke-oke”

Sesaat Rafika menyiapkan alat perekam dan alat tulis hingga memulai pertanyaan ringan seputar awal mula dirinya mengembangkan usaha hingga menjadi seperti saat ini. Perlahan pertanyaan mulai dalam hingga nyrempet soal dunia organisasi yang ia pimpin.

“Ah… tidak aku sangka, ternyata orang hebat itu teman smp ku sendiri” Kata Perempuan itu kembali nyruput  secangkir capuccino di depannya.

“Adakah rencana untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislative?”

“Hmm… Selamanya saya tidak akan masuk dalam parlemen”

“Apakah anda yakin? Bagaimana andai didesak oleh lingkungan sekitar”

Izack hanya tersenyum ringan sambil menumpukan kakinya yang panjang pada kaki kirinya.

“Saya itu seorang pengusaha yang bergerak dalam bidang Pendidikan, mbak”

“Selamanya saya akan menjalankan bisnis saya sembari mengembangkan CSR yang berbasis kaya literasi”

“Oh.. okey”

“Sementara tugas ke depan kami yang berada di jalur Organisasi politik Mahasiswa biarlah menjadi filter kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan rakyat”

“Ow?!”

“Ya, memang itu kan? Tugas Mahasiswa?”

“Kampus itu memproduksi pengetahuan yang harusnya bisa diterapkan oleh ranah publik dan disupport totally oleh pemerintah”

“Kan begitu, harusnya?”

“Makanya ketika pemerintah sudah melenceng jauh dari amanat Undang-Undang Dasar 45, kami pun bersuara seperti saat ini”

“Itulah wajah Mahasiswa yang semestinya. Paham bagaimana posisi rakyat dan pemerintah”

“Harapannya, negara terus bergerak maju namun dalam kondisi yang stabil” jawab Izack mematikan panggilan dan membaca pesan masuk. Melihat gelagat diburu waktu, Rafika segera menutup wawancaranya dengan meminta closing beberapa patah kata hingga akhirnya mereka ngobrol santai sejenak dan segera pamitan. Izack pergi seakan meninggalkan kekaguman Rafika yang kini duduk seorang diri memandang kepergiannya dari balik dinding kaca.

“Nggak menyangka, hidupmu kini benar-benar seperti melayang di atas awan”

“Padahal dulu aku melihatmu seperti pemuda yang kehilangan harapan hidup” pikir Rafika menyaksikan kepergian roda empat itu dan lenyap bersama riuhnya jalanan sore yang macet karena demo Mahasiswa di beberapa titik jalan belum juga berakhir.

 

@@@

 

Melihat Izack diam lama, Chika merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Gimana tadi wawancaranya?”

“Baik” jawabnya datar membuat Chika salah tingkah.

Merasa ada sesuatu yang ganjal dengan dirinya, ia baru ingat bahwa ini adalah detik-detik tanggal merah dimana datang bulannya datang. Beberapa saat ia berusaha menahan, tapi teap saja keluar dan membuatnya gagal.

Ia berharap melewati minimarket untuk membeli keperluannya, tapi nyatanya sepanjang jalan hanya ada ruko dan Gedung perkantoran membuatnya putus asa. Melihat gelagat raut Chika, Izack sedikit agak curiga.

"Gimana? sudah baikan?"

"Hm," jawab Chika cemas

"Masih jauh, Bang?" 

"Itu, depan"

“Oh..” tawanya sengir.

"Kenapa?" jawabnya menoleh

“Enggak”

Saat turun, cepat-cepat Izack membukakan pintu untuknya. Tapi begitu melihat raut pucat dan berat istrinya,  Izack mulai iktan panik.

“Kamu nggak apa-apa?”

Dengan berat hati Chika bangkit dari tempat duduknya. Ia bahkan menoleh sekilas memastikan jok mobilnya yang sudah ada flek darah membuat Izack terkejut. 

"Perutmu berdarah?!"

Chika tersenyum kecut panik merasa bersalah

"Aku datang bulan"

"Oh,"

"Maaf…” ucap Chika dengan raut cemas merasa bersalah

“Ini cara bersihkannya pakai apa?” suara Chika terdengar takut

Lelaki itu mengambil jas AMI di jok belakang dan mengikatkan pada pinggulnya membuat Chika merasa risih dengan jas tersebut.

"Sudah, ayo tinggal"

"Tapi..."

“Sudah, tinggal aja”

Dengan mata kecil dan wajahnya yang putih, kini tampak pucat saat mengembangkan senyumnya penuh rasa bersalah mengikuti langkah Izack menuju pintu masuk Gedung hingga masuk lift.

“Bang, boleh minta tolong kah?”

“Hm?”

“Eehh…” ujarnya nyengir membuat Izack mengernyit bingung

“Hehhh… itu” jawabnya mencelos

Seperti teringat sesuatu, Izack mengeluarkan ponselnya sambil mengutak-atik sebuah toko online.

“Ini, yang mana?” tunjuknya pada Chika dan menyentuhnya dua pilihan

“Sudah?! Ini aja?”

“Hm,”

Waktu terus berlalu. Chika yang sejak pertama kali masuk ke rumahnya hingga 20menit berlalu belum juga keluar dari Kamar Mandi takut jika darahnya akan mengotori lantai.

“Ini” Izack menyodorkan sekantong kecil berisi pembalut dan celana dalam

“Tapi ini kenapa…?”

“Aku lihat karet underwaremu banyak yang sudah kendor”

Glekk!! Chika melongo

Bukannya mengganti celana dalam, Chika justru tercengang dengan sikap Izack yang tak banyak kata ternyata lebih perhatian.

Malam kembali tiba, ia masih tertegun dengan sikap tenang lelaki yang kini tengah membuatkan makan malam untuknya di dapur.

“Sudah mandi?” tanyanya sibuk menghidangkan makan malam di atas meja

“Hm, sudah”

“Ayo makan dulu”

Chika diam memperhatikan gerak gerik suaminya yang sibuk mengembalikan dan meletakkan barang pada tempatnya.

“Bang…”

“Maafkan akau kalau sore tadi terlalu kasar”

“Jujur saja aku capek hidup di antara orang-orang sepertimu”   

“Hm, aku paham. Tapi itu perlu dilatih”

Chika duduk tenang dan melipat kedua tangannya di atas meja

“Bang, besok pagi aku pulang ke Yogya ya”

Izack hanya diam menarik nafas dalam. Perhatiannya kembali tersedot pada makan malamnya yang berhasil ia hidangkan di meja. Dari matanya terlihat sudah tak sabar ingin segera mencicipi. Saat itulah mata Chika berkaca-kaca membuat Izack yang baru sadar kaget saat sebutir air matanya menetes. Ia kembali menarik nafasnya perlahan meletakkan kedua tangannya dan menyingkirkan piring di depannya.

“Kenapa?”

“Ikuti saja langkahku, kamu nggak perlu melakukan apapun”

“Lakukan saja apa yang perlu kamu lakukan”

Tak ingin memperpanjang masalah, Chika segera menghapus air mata dan mulai mengambil nasi dan lauk serta menangis diam-diam di saat Izack kembali sibuk menjawab pesan-pesan yang masuk.

 

@@@

 

Pagi hari ia keluar dari kamar sambil meringis kesakitan menekan perutnya berjalan membungkuk-bungkuk.

“Masih sakitkah??” tatap Izack

“Hm,”

“Biasanya kalau haid minum obat apa biar aku belikan?”

“Enggak”

“Pagi ini aku harus ke Mabes, kamu gimana?” tanya Izack yang membuat Chika gusar saat dirinya menyadari mulai ketergantungan dengan sikap Izack yang selalu memanjakan hari-harinya. 

“Apa perlu aku panggil Alika, orang Akuisisi itu?”

“Oh, enggak perlu Bang”

Izack menatap iba pada Chika yang meringis kesakitan. Ia bingung bagaimana harus meninggalkannya dalam kondisi seperti itu.

“Apa perlu di bawa ke rumah Sakit untuk cek?” tanyanya yang langsung ditertawakan Chika

“Mana ada orang menstruasi masuk Rumah Sakit”

“Ada saja, barangkali saja ada masalah”

“Enggak,”

Ia mulai menata bagaimana pikiran dan perasaannya yang diaduk-aduk. Seberapa pas dirinya hidup dengan lelaki yang statusnya jauh di atas dirinya. Bahkan detik inipun sorot matanya tampak sayu.

“Semalam tidur jam berapa?”

“Jam tiga”

Izack melotot “Apa saja yang kamu kerjakan?”

Chika menggeleng

“Terus?”

“Dulu aku sering seperti itu, tapi sejak pulang dari Rumah Sakit itu nggak pernah terjadi. Dan sekarang sepertinya itu kambuh lagi”

“Ada apasih…?!”

“Kenapa pertanyaanku tidak pernah kamu jawab?”

“Pertanyaan yang mana?”

Belum sempat Izack menjawab, smartphonennya kembali bergetar memberi kode pada Chika untuk menunggu sebentar dan mengangkat telphon.

“Bang, jam delapan nanti kamu rapat dengan teman-teman BEM di halaman perpustakaan?”

“Oke”

“Sory, gimana tadi?”

Chika diam tak berkutik malas melanjutkan kata-katanya hingga membuat Izack kembali duduk tenang mengambil dua tangan Chika yang diletakkan di atas meja. Ia mulai mencium kedua telapak tangannya yang perlahan meluluhkan hatinya yang beku.   

“Aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan” suaranya tenang

Ia diam sejenak menarik nafas seakan kembali menata ulang apa yang harus dikatakannya.

“Aku butuh kamu lebih dari yang kamu pikirkan” katanya dalam

“Soal orang-orang di sekelilingku, ikuti saja aku. Lakukan seperti aku memperlakukan mereka” katanya yang lagi-lagi panggilan telphon masuk membuat pandangan matanya teralihkan pada layar tipis dan mematikannya. Ia kembali beranjak dan berdiri di sebelah Chika.

“Maafkan aku, jika akhir-akhir ini mungkin akan sering ku tinggal” ujarnya

“Kamu bakal turun ke jalan kah, Bang?”

“Hm”

Chika menarik nafas panjang dan dalam.

“Kalau aku pulang ke Yogya besok, gimana Bang?”  

“Tapi aku butuh kamu, sayang…” dekapnya erat dan mengecup ubun-ubun, membuat tubuhnya seketika terselimuti perasaan hangat dan nyaman.

“Sekarang itu kamu seperti rumahku kedua tempat aku pulang dan menikmati kebiasaan hidup orang normal”

“Jika kamu ingin pulang, lalu aku harus pulang kemana lagi?” dekap Izack erat

 

@@@

 

Siang itu, sekedar menghindarkan perasaan galau dan kesepian yang berlarut, ia mencoba telphon Rendra satu-satunya teman yang mau memahami dirinya.

“Halo, sedang apa kamu?” tanya Rendra di sela-sela waktu melakukan assesment anak jalanan di pinggir jalan.

“Aku pingin pulang ke Yogya, tapi bingung bagaimana alasannya. Dan bagaimana pula menjelaskan kalau kost-kostanku hampir habis”

“Hadeeh.. kamu itu benar-benar aneh, dapat suami mapan bingung, ngejomblo tambah bingung. Terus maumu apa coba?”

“Kalau kost-kostan habis, ya ngomong lah. Itu sudah menjadi kewajiban dia sebagai seorang lelaki”

“Iya, tapi masalahnya gimana ngomongnya??”

“Tahu nggak kemarin?” katanya yang dilanjutkan dengan cerita kekesalannya selama dalam perjalanan membeli baju di sebuah outlet pakaian branded. Mendengar cerita itu tak henti-hentinya Rendra tertawa cekakaan.

“Ampun Non.. benar-benar rewel dirimu! Kalau itu aku, sudah aku pecat dari status istriku”

“Untungnya Kak Izack bukan sepertimu” kata Chika

“Kita ini sama-sama mencari perbaikan nasib dengan mencari jodoh yang lebih baik”

“Sory ya, bukan begitu pemikiranku”

“Kita memperbaiki nasib diri kita sendiri dulu untuk menadapatkan jodoh yang lebih baik daripada kita hari ini”

“Ya… ya ya! apapun itu, acungi jempol buatmu lah, sudah aman posisinya”

“Aman gimana?”

“Lha iya lah, hidupmu nggak perlu kamu habiskan dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan koin koin rupiah demi menyambung biaya pendidikanmu kan?”

“Iya sih,”

“Lha iya kan? Hari ini kamu sudah nggak perlu mikir lagi bagaimana caranya bisa makan”

Chika menarik nafas panjang seakan mengambil sejuta kesadaran di semesta.

“Hm, iya benar kamu Ren”

“Iya kan???”

“Bersyukur tuh”

“Makanya di saat genting seperti ini dia masih mau berkorban untukmu itu luar biasa kesabaran dia, Non..”

“Tapi hati-hati loh ya.. lelaki seperti itu kalau marah, ngeri”

“Selama ini belum pernah aku lihat dia marah kecuali waktu di Rumah Sakit” katanya mulai menceritakan penggalan kejadian di Rumah Sakit yang berebut air mineral dan mengusir dokter membuat Rendra lagi-lagi tertawa cekakaan.

“Lha iyalah, akupun kalau jadi dia sudah aku tinggal tuh, hadapi cewek keras kepala sepertimu”

“Detik-detik ini, dia lagi repot-repotnya jadi ketua penggagas Gerakan Perubahan, Non! Banyak ngalahnya deh kamu.. kasihan dia bisa dikritik lagi Mahasiswa se tanah air”

“Maksudnya?”

"Lah? Apa kamu nggak tahu sudah berapa hari ini Mahasiswa dari seluruh tanah air demo?”

"Iya tahu, tapi aku sudah muak dengan berita semacam itu"

“Aku hanya ingin melanjutkan studyku, KKN di hutan yang tenang”

“Tenang katamu??!”

“Salah besar kalau keinginanmu begitu”

“Hari ini, justru hutan lah jadi cewek seksi di mata pemangku kebijakan”

“Maka dari itulah mereka turun jalan untuk membenahi kekacauan dimana-mana, Non”

Chika menggeleng yang disambut kecap dan wajah kesal Rendra.

“Aneh kau ini”

“Lah? Memangnya aku perlu tahu kondisi di luar sana?”

“Tapi itu yang dilakukan suamimu, Non”

“Dan lagi, aku malas kumpul sama mereka ketika AMI hanya dijadikan sebagai batu loncatan”

“Kamu tahu? Berapa banyak alumni AMI yang akhirnya lunak ketika masuk dalam Pemerintahan”

“Hei Non, kasus yang seperti itu banyak. Karena kalau mereka tetap mempertahankan idealisme mereka, taruhannya bukan lagi nyawa diri mereka, tapi anak keluarga bahkan saudara bisa jadi incaran, Non!”

“Maka dari itulah adanya Gerakan Perubahan untuk memperbaiki sirkulasi setan begitu” 

“Makanya aku malas ikut lagi organisasi semacam itu”

“Ya nggak bisa begitulah, egois tuh namanya”

“Gerakan Perubahan diperlukan demi memperbaiki nasib orang-orang seperti kita ini”

“Ya itu pemikiranmu”

“Loh? Gimana kamu ini?!”

“Ya sudahlah! Percuma ngomong sama kamu”

“Loh?! Harusnya kamu berterimakasih sudah aku ingatkan kondisi suamimu saat ini”

“Iya thanks” ucapnya kesal terakhir mematikan smartphonenya

“Ah… segalanya jadi buruk kalau kita lagi menstruasi” pikirnya kesal membanting bantal sofa dan beranjak ke dapur untuk persiapan masak.

 

 @@@

 

Penggambaran kondisi tanah air, terutama ekonomi masyarakat yang mana semua bergerak. Baik dari tim spiritual lintas agama hingga tim spiritual semacam kaum meditasi. Serta forum-forum  diskusi Mahasiswa dari puluhan kampus di Indonesia untuk menyamakan persepsi dan mencari jalan keluar.

 

 


 

14

Satu bulan kemudian

 

Di tengah seriusnya rapat kantor, tiba-tiba saja telphon Izack bergetar. Itu adalah panggilan istrinya. Tapi sengaja ia matikan dengan alasan tidak ingin mengurangi rasa hormat dia pada pegawainya. Entah yang ke berapa kali saja telphon itu bergetar, tapi Izack mematikan berulang kali.

"Diangkat saja dulu Pak"

"Biar saja nanti"

"Barangkali penting" kata seorang karyawannya, dan kaget begitu membuka pesan

Bang, ada istri simpananmu datang

Tapi ia masih bisa menjaga sikap wajar di hadapan karyawanya

"Oh, maaf. Lanjutkan saja dulu, saya minta laporan hasilnya nanti" ujar Izack membalas pesan itu dan bergegas keluar ruangan.

Di ruang itu pembicaraan spontan mengalir menyambung ide gagasan Izack untuk ikut menindaklanjuti proyek dengan pemerintah terkait pengadaan buku elektronik. Ia sengaja mendesak pemerintah untuk mau bekerja sama dengan beberapa penerbit untuk membuka Perpustakaan Digital. Karena anggaran perpustakaan digital sangatlah besar, sementara perusahaan tidak sanggup meng cover itu semua. Maka dari itulah ia mengajukan proposal terkait proyek Pemerintah agar terjadi win-win solution.

"Okey. Silahkan lanjut" ujarnya sambil mengirim pesan

Di ruang kerja Izack, Chika makin kikuk dibuat perempuan cantik nan elegan yang mengaku dirinya sebagai teman sekolah waktu sma. Awalnya ia memang dicegah sekretarisnya untuk masuk ruang kerja pimpinannya, tapi perempuan itu tetap memaksa masuk hingga Chika pun membukakan pintu dan mempersilahkannya.

Tapi apa yang terjadi, Chika mulai keder dengan pikiran campur aduk terbayang suaminya ini sebenarnya tipikal lelaki macam apa. Rasanya mustahil jika seorang aktivis sekaligus pengusaha tapi tidak punya perempuan simpanan, ditambah Izack ini termasuk lelaki tampan. 

Di depan ruang kerja, sekretarisnya langsung berdiri menundukkan permintaan maaf.

"Maaf pak..."

"Berapa kali aku katakan?” suaranya berat menatap tajam sekretarisnya yang hanya menundukkan pandangan

"Tapi istri Bapak mempersilahkan masuk" 

Sambil menggeleng kesal, Izack membuka pintu masuk ruang kerjanya sembari memperbaiki raut wajahnya yang kesal. 

"Iya, sayang?" Chika kaget mendengar sapaan Izack yang belum paham ditujukan pada siapa. Spontan ada rasa nyeri di dada saat melirik reaksi perempuan elegan yang duduk di seberang meja oval itu seketika berdiri menyambut kedatangan suaminya menyodorkan telapak tangan yang hanya ditatap dingin Izack.

“Hai! Hallo!” sapa wanita tersebut merekahkan senyumnya pada bibir merah mudanya yang cukup bling-bling.

Melihat dandanan wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, Chika nyengir merasa harga dirinnya meluncur dari tebing ke dasar lautan.

“Halo, ya Non.. ada yang bisa saya bantu?”

"Kenapa kata-katamu seolah tidak mengenalku sih?"

"Kenalkan dong, kalau aku istri simpananmu" tawa perempuan itu melirik Chika yang tak berkutik

Izack hanya tersenyum geli   

Mata Chika tertuju pada perempuan cantik yang berusaha menempel kemanapun Izack beranjak tanpa tahu malu. Lalu ia hanya mengawasi keduanya tanpa berkomentar apapun, dan diam-diam ia menutup laptopnya hendak beranjak dari tempat duduknya. 

"Mau kemana kamu?"

"Bukannya tadi bilang kerjakan skripsi?"

"Hm," mata Chika clingukan bingung

"Oh, jadi dia masih Mahasiswa?"

"Hm, iya. Dia adik juniorku di AMI"

"Kebetulan kami satu kelas di kampus" ujar perempuan itu yang membuat Chika nyengir berulangkali

"Duduk!"

"Nggak apa-apa, ngobrollah dulu. Aku bisa ke kantin" bisik Chika

"Aku bilang, Duduk!!" intonasinya menekan yang membuat Chika kaget 

"Tapi…"

"Aku bilang, duduk"

"Elisa, sudah berapa kali kamu menerobos ruanganku"

"Kali ini kamu berhasil karena dipersilahkan istriku"

"Apa kamu tidak malu dengan dirimu sendiri?"

Chika berusaha mendekat dan mengajak jabat tangan, namun perempuan itu hanya melirik tangannya dengan sebelah mata.

"Hadeehh... Aku kira perempuan mengerikan seperti ini adanya cuman di Sinetron" batin Chika

"Maaf Elisa, ini kantor bukan Bar, kamu salah masuk ruangan" ujar Izack membukakan pintu mempersilahkannya keluar dan perempuan itu hanya nurut begitu saja tanpa sepatah katapun. Hingga keduanya menutup pintu dari dalam dan Chika pun menarik nafas dalam.

Keduanya saling memandang hingga Izack berjalan mendekat dan menekan pinggangnya hingga tubuhnya menekan pada dada suaminya.

“Selamanya istriku hanya satu, kecuali jika dia memintaku untuk menikah lagi, itu urusan lain lagi” senyum nakal Izack membuat Chika grogi saat menatap wajahnya 

 

 

@@@

 

Suasana Perpustakaan perusahaan sore menjelang malam itu tampak mulai sepi. Chika yang tengah serius browsing journal tiba-tiba dikagetkan dengan suara geritan kursi yang ditarik di dekatkan sebelahnya, dan ia sadar itu adalah Izack. Lelaki itu duduk terdiam memandang Chika yang serius membaca buku dengan laptop di sebelahnya.

“Hadeeh… Pantas saja temanmu menjulukimu si kutu buku" ujarnya melipat tangan bersandar pada meja di mana Chika meletakkan buku dan laptop.

“Nggak capek kamu?”

“Hm?!”

“Kenapa?!”

"Sejak pertama kali tiba hingga detik ini, aku benar-benar capek melihatmu seperti ini. Jika bukan buku yang kamu sentuh, pasti laptop” ujar Izack membuat Chika tersenyum sekilas, lalu kembali diam meregangkan pergelangan tangannya ke udara sembari menguap yang seketika dikecup bibirnya yang tidak tebal tidak juga tipis.

“Bang!” pekik Chika mengusap bibirnya yang hanya ditertawakan Izack seketika

“Kenapa nggak bisa santai sedikit sih?!”

Ia diam menatap lama Izack yang kini justru tak berani menatap matanya. “Kamu bisa berkata seperti itu karena belum pernah jadi orang kere, Bang” jawab Chika enteng mulai membuka laptop. Tapi tangan Izack kembali menekannya perlahan untuk menutup laptopnya membuat Chika melotot.

“Bang!” pekiknya mengkirut membuat Chika kesal kembali menarik laptopnya

“Kamu boleh belajar saat aku tidak ada, tapi selagi aku ada, tutup buku dan laptopmu”

“Ini di perusahaan, Bang” suaranya lirih geram menahan

“Iya terus kenapa?” jawab Izack santai menyandarkan kepala pada tangannya membuat dua orang karyawannya yang melintas di belakangnya hanya senyum-senyum

“Jangan ajak berantem di sini” ujarnya lirih

“Dengarlah mbak, jam segini istri sudah menyuruhku pulang” kata Izack pada dua orang karyawan perempuannya yang hanya senyum-senyum menutup mulut melirik Chika yang hanya tersenyum nyengir dan kembali melototi Izack menutup mulutnya.

“Diam kamu” tatapnya kesal

“Tunggu sebentar aku mau buat catatan” ujarnya lirih cepat-cepat membuka laptop

“Lihatlah mbak, ada suaminya terlantar kelaparan disuruh diam menunggu dia belajar”

“Baguslah pak,”

Chika memejamkan mata melotot kesal pada Izack. 

“Maumu apa sih?” suaranya lirih menekan

Izack kembali melebarkan segaris senyumannya

“Ayok keluar”

“Tunggu dua puluh menit lagi deh,” pinta Chika

“Oke” jawab Izack berhenti usil, dan ia mulai kembali membuka handphonenya 

Sementara Chika mulai fokus dengan catatannya di lembaran kosong Word. Izack kembali beranjak dari tempat duduknya membuatkan segelas coklat hangat yang mengagetkan karyawannya saat ia kepergok melihat dirinya yang tidak biasanya menjamah ruangan itu tiba-tiba membuat coklat.

“Halo Pak..” sapanya nyengir

Izack hanya mengembangkan senyumnya dan pergi begitu saja kembali ke kursi Chika. Melihat itu karyawannya mendekati temannya yang sudah sejak awal ada di ruangan itu dan berbisik-bisik di belakang mereka sambil memperhatikan keduanya.

“Tumben?”

“Siapa?” bisiknya

“Ssttt…!” 

Izack kembali datang dengan meletakkan segelas cokelat hangat yang hanya dilirik Chika sekilas. Merasa keberadaannya tidak digubris lagi, Izack agak kesal. Ia memberanikan diri bersandar di pundaknya membuat lengannya terganggu untuk mengetik.

“Bang, please… aku harus buat proposal biar dapat dana tambahan”

“Dana buat?”

Chika nyengir, “Ke Papua”

“???”

“Ngapain?”

Gadis itu tersenyum lebar membuat Izack kesal dan kembali nyandar.

“Stopp!!” teriak Chika menekan kepalanya agar tidak nyandar lagi

“Kamu boleh menulis atau lakukan apapun kalau aku tidak ada” ujar Izack yang langsung disambut wajah kesal Chika. Dari sorot matanya ia tampak sedang ancang-ancang melakukan protes bertubi-tubi di otaknya. Tapi tiba-tiba saja kata-kata buleknya terdengar jelas. Hingga ia kesal dan menelungkupkan wajahnya ke meja membuat Izack tersenyum lebar mengacak rambutnya

“Suamimu itu orang baik, Nduk… perlakukan dia dengan baik, atau kamu akan kecewa sepanjang hidupmu” suara itu terngiang jelas di telinganya waktu beberapa hari lalu telephone bu lik nya

"Bagaimanapun juga, jika tidak dia fasilitasi, toh kamu tidak akan semudah ini mengerjakan tugas-tugas kuliahmu" suara dari dalam dirinya membuatnya pasrah menutup buku dan laptopnya menelungkupkan wajah lelah yang hanya disambut tawa lebar Izack

Beberapa karyawan yang melihat pimpinannya tengah menggoda istrinya hanya senyum-senyum dan saling menggunjing.

"Tesismu belum kelar juga kan ya?!" cetusnya kesal

"Iya, terus kenapa?"

"Ya ayok lah, dikerjakan"

“Kuliah itu penting tatkala tujuan belum tercapai” jawab Izack santai yang hanya ditertawakan anak buahnya

“Kan memang belum?!” jawabnya menahan emosi

“Kata siapa?”

“Aku sudah,”

“Itu kan kamu”

“Bagiku perusahaan dapat proyek besar dari pemerintah, AMI bisa menggoalkan misi terbesar dan dapat bonus istri cerdas itu finish" katanya membuat pegawainya yang mendengar senyum-senyum

"Aku juga tidak akan mau menikahimu, andai kamu hanya seorang penjual koran di pinggir jalan" bisiknya mendekatkan wajah hingga tampak seperti sedang ingin mencium membuat Chika risih langsung menjauhkan wajahnya spontan membuat Izack tertawa geli

"Seberapa rendah seorang istri di matamu, Bang" tatapnya keras

Sorot matanya seakan terhenti. Ia kembali menarik wajahnya

"Sejujurnya, aku itu benci dengan kata istri yang seolah hanya menjadi orang nomor dua"

Izack menelan saliva

Ia sadar, gadis yang dinikahinya ini bukanlah gadis biasa yang mudah dimabuk cinta dengan gelimang harta. Ia hanyalah gadis miskin yang terbiasa berjuang seorang diri mempertahankan hidup demi meraih cita-cita sebagai seorang wanita yang bermartabat. 

"Kalau lulus nanti, pokoknya aku ingin bekerja di area hutan" jawabnya yang membuat Izack mengangguk dengan kedipan mata

“Ampun… sabar sekali orang ini” pikir Chika

Izack langsung mengacak-acak rambut Chika yang kini sudah mulai terasa halus, dibanding pertama kali menikah.

"Lalu bagaimana dengan suamimu?" katanya lagi meletakkan lipatan dua tangannya mendekatkan wajah ke istrinya

"Kapan kita bisa tidur di ranjang yang sama?" bisiknya lirih menggoda

"Bang... ini di kantor" Chika clingukan kanan kiri takut pegawainya mendengar

"Kalau begitu kita pulang saja" bisiknya yang spontan muncul segaris tawa membuat Chika nyeri mendengarnya. Ia berdiri dan menarik jarinya keluar dari deretan kursi dimana ia duduk dan mendudukkannya di sofa sudut ruang Pustaka perusahaannya. Tapi Izack justru menarik jarinya kembali hingga terjatuh dalam pangkuan dan mendekapnya erat, membuat dua orang pegawainya senyum-senyum dan segera keluar dari ruangan yang tidak terlalu luas.  

"Ayok kerja!! Aku nggak mau kelak kalau perusahaanmu bangkrut, aku jadi gembel jalanan lagi"  

“Besok week end, Sayang… badanku rasanya sakit semua”

“Olah raga”

“Tega sekali kamu, menyuruh orang letih olah raga” keluhnya yang ditertawakan gadis itu lagi

“Kalau begitu besok pagi saja”

“Hm,”

Saat mereka keluar, langit telah gelap. Dengan langkah gontai Izack berjalan mendahului Chika menuju ruang parkir.

“Tuhan… Terimakasih untuk hadiah terbesar untukku”

“Hampir saja aku tidak percaya jika dia adalah orang yang bakal menemani sisa perjalanan hidupku di masa yang akan datang” batinnya bergemuruh diiringi dengan air mata yang seketika menggenang di pelupuk mata

 

 

@@@

 

 

Menunggu Izack renang di pinggir kolam rasanya seperti mimpi. Hidupnya benar-benar seperti tengah melayang di atas awan.

Entah selang berapa menit berlalu, tiba-tiba saja ada perempuan yang masuk ke kolam dengan baju renang yang serba minim berusaha menjalin komunikasi dengan Izack. Tapi lelaki itu hanya menjawab sekedarnya dan kembali berenang. Melihat pemandangan itu, Chika seakan ingin menghindari rasa sakit hati, ia membawa laptopnya yang telah ia buka beranjak keluar dari  area kolam renang dan menuju ke food corner di luar ruangan itu. Tapi begitu matanya menangkap  sosok wajah yang ia kenal, ia memastikan beberapa detik jika itu bukan Rendra, hingga dua pasang mata saling menatap dan seketika putar badan bingung harus kemana. 

"Chika!" kejar Rendra yang berhasil mencekal siku gadis itu 

"Hei! Ada apa kamu di sini?"

"Sama siapa kamu?"

"Hehe..."

Rendra memasang muka aneh penuh tanya 

"Sudah lama sekali aku nggak lihat kamu di Kampus"

"Hehe.. iya,"

"Sini sini!!" Rendra menarik lengan Chika dan mendudukkannya di salah satu bangku food corner bareng dua orang teman lelakinya.

"Kenalkan, ini teman gila bareng di Yogya, Chika"

“Ini ya?” selidik dua orang temannya

“Bukan, dia istri CEO cuy!”

“Tetangga kampungku yang kebetulan satu kelas di Yogya”

Saat dua temannya ini ngobrol, Rendra mendoyongkan punggungnya dan berbicara lirih.

"Terus, dimana dia sekarang?"

Chika menarik nafas panjang dan mengisyaratkannya dengan dagu ke arah kolam

“Renang?”

“Hm,”

Sembari meletakkan laptopnya di meja dan mematikannya sesaat, ia melengkungkan punggungnya lemas.

“Sudah jelas-jelas itu nikah adat, artinya aku nggak menaruh perasaan sama dia. Tapi mengapa saat aku melihatnya dengan perempuan lain di kolam renang perasaanku seperti nyebur ke laut ya?”

“Ya jelas lah, dia suamimu!” jawabnya sambil noyor kepala

“Aku dan dia itu ibarat langit dan kerak bumi, Ren” katanya yang spontan membuat Rendra tertawa geli 

“Sadar diri Ren, dibanding perempuan-perempuan itu aku nggak ada apa-apanya”

“Sebenarnya kamu itu cerdas, tapi kenapa kata-katamu kadang seperti orang Oon, ya?!” kernyit Rendra memalingkan wajah pada sahabatnya

“Ya jelaslah, orang dia suamimu”

“Suami karena paksaan pernikahan adat itu agak aneh, Ren!”

“Siapa itu suami paksaan,” suara lelaki yang tak asing itu nyletuk tiba-tiba membuat keduanya menoleh

Chika melotot yang perlahan berubah nyengir melihat kedatangan Izack.

“Kamu sudah selesai, Bang?" 

“Oh, Ini?!” lirik Rendra lirih pada Chika yang seketika itu membuat Rendra berdiri menyodorkan tangan

“Maaf Bang, kenalkan… aku Rendra. Teman kelas sekaligus teman kampung Chika” katanya

“Oh, Izack” jawabnya tanpa ekspresi menyambut jabatan tangannya

“Ya sudah, ayo sayang” katanya mengambil laptop dan memberikannya pada Chika hingga menuntunnya untuk segera beranjak dari tempat duduknya.

“Ayo, aku belum mandi ini" kata Izack membuang muka seolah tak sudi melihat lelaki yang pernah dilihatnya beberapa tahun silam itu kembali muncul

“Oke, duluan ya!" pamit Chika lirih nggak enak cepat-cepat menenteng laptopnya

“Oke, oke!”

"Kalau ada apa-apa telp aku" ujar Rendra sayup-sayup terdengar Izack

"Siap!"

"Kenapa juga telpon orang asing?" senyum Izack sinis melenggang lebih dulu meninggalkan Chika dengan wajah datar 

“Itu teman kelasku, Bang” ujar Chika setengah berlari mengejar langkah Izack yang terlalu cepat meninggalkan area itu.

“Hm”

“Sudah tahu,” jawab Izack dalam batin.

“Besok lagi kamu harus ikutan renang daripada ngeluyur seperti ini” nadanya tegas yang ditangkap Chika sebagai sinyal cemburu.   

“Tunggu di sini, jangan kemana-mana” katanya lagi tanpa memperhatikan wajah Chika dan menghilang di balik ruang ganti pria.

“Hhh?!”

“Kenapa nggak dari tadi sekalian mandi?” pikirnya kembali duduk menarik nafas kesal

Ia lihat dua perempuan seksi itu tengah ngobrol seru di bibir kolam renang, sesekali mereka meneguk minumannya dan kembali keluar dari kolam hingga menampakkan lekukan tubuhnya yang seksi di balik pakaian renang yang hanya menutup kemaluan dan payudaranya saja.

Chika kembali menarik pandangannya dari dua perempuan itu saat dua pasang mata berpapasan dari jarak jauh.

Hampir saja nyali Chika ciut saat kembali memperhatikan penampilan dirinya dengan dua perempuan itu yang jauh berbeda. Saat itulah Izack datang. Dua perempuan itu sudah dadah-dadah dari jauh, tapi Izack hanya melambaikan tangannya sekilas dan duduk di sebelah istrinya.

“Siapa?”

“Tetangga”

“Oh..” jawab Chika manyun

“Aku mencium aroma kecemburuan di sini”

“Siapa yang cemburu?” jawab Chika membuat bibir Izack tersenyum manis sekilas melirik gadis imutnya terlihat kesal. Lagi-lagi Izack hanya tersenyum mengusap kepala dan membelai rambutnya yang tergerai membuat Chika menangkis tangannya kesal.

“Ayok pulang” kata Chika dengan wajah dingin

Izack bingung, ia hanya nuruti langkah Chika keluar dari arena kolam.

“Nggak usah berpikir kemana-mana” tutur Izack berusaha merangkulnya tapi lagi-lagi ditangkis tangan Chika membuat Izack lagi-lagi salah tingkah.

“Oke…” ujarnya lirih kecewa

 

“Ssshhttt… setelah ini enaknya kemana?” ujarnya menggenggam erat tangan Chika dan sesekali mencium kepalanya yang lebih pendek.

“Tidur kah?” bisiknya menggoda Chika dengan wajah semburat merah merona saat ia gamit dan cium pipinya berulang kali. Sebagai seorang gadis yang cool berusaha menahan godaan, hingga pada akhirnya lumer juga pertahanan dirinya dari rayuan Izack yang menciumi dirinya berulang kali di muka umum.

“Jangan seperti ini di muka umum Bang, nggak baik” ucapnya menahan rahang Izack agar tidak menciuminya terus sambil berjalan

“Oh, berarti harus di kamar kah?” rayu Izack lagi dengan wajah freshnya sehabis renang membuat orang-orang di sekitar senyum-senyum, sementara Izack tak peduli dengan tatapan itu lagi.

 

@@@

 

Hari berikutnya

Kedatangan ibunya ke Apartemen di sore hari membuat Chika kaget. Ia tidak mengatakan apapun saat Izack pulang kerja dini hari. Bahkan gadis itu berusaha melayaninya dengan baik layaknya seorang istri sungguhan di saat ia ngantuk luar biasa. Ia menghangatkan masakan cumi asam manisnya yang sudah dingin. Izack yang belum sepenuhnya on dengan kondisi rumahnya, hanya memperhatikan istrinya mondar-mandir menghidangkan makan malam untuknya.

“Wuahhh…” pekiknya seperti anak kecil yang girang melihat cumi bumbu merah terhidang di meja makan.

“Baunya harum, mirip masakan Mama” gumamnya lirih

"Iya emang”

“Oh??”

“Tadi Mama kesini?”

“Hm”

Tangan Izack sudah tidak sabar menancapkan garpunya ke cumi.

“Gimana rasanya?”

“Coba saja”

“Enggak ah,”

“Sudah makan belum?”

“Sudah”

“Beneran?”

“Hm”

Gadis itu memainkan jari jemarinya seakan berpikir sesuatu. Izack masih cuek menikmati makan malamnya yang sebenarnya sedikit terasa hambar terbawa oleh suasana pekerjaan di kantor dan organisasi yang sedang menumpuk banyak persoalan.

"Bang, besok aku mau pulang ke Yogya, ya"

"Ada urusan apa?"

Chika menarik nafas "Urus Administrasi KKN"

"Dimana?"

“Mmmm… belum tahu”

“Siapa wali kelasmu? Pak Arfan kan?”

“Hm,” pikirnya kaget, darimana ia tahu

"Itu senior AMI, nanti aku telphon"

“KKNmu diundur semester depan, atau tahun depan aja. Sementara masa pemulihan kamu di sini dulu, biar fit benar”

“Mending selesaikan skripsi saja dulu”

“Ya nggak bisa begitu, Bang”

“Ya sudah, kerjakan yang lainnya dulu”

"Tapi referensinya?!"

"Kamu butuh buku apa, biar Heni kirimkan semua"

Chika melengkungkan punggungnya kesal dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal membuat Izack geli melihat ekpresi keputus asannya. Izack berhenti menyruput kuah dengan sedikit senyum kemenangan di wajahnya.

Ada perasaan nyeri saat melihat suaminya lahap menikmati masakan buatan Mamanya yang baru beberapa menit lalu mengatakan sesuatu yang dirasa tidak enak untuk dirinya sebagai seorang perempuan.

“Ada apa?”

“E…nggak ada”

“Mama ngomong apa aja tadi” tanya Izack cuek menikmati makanannya

Chika diam tak menimpali

"Bang, boleh tahu kenapa kamu mau menikahiku?"

"Kamu nggak sedang mengasihani Mahasiswi jalanan sepertiku, kan?" mendadak suaranya terasa getir

"Atau? kamu sedang taruhan dengan teman-temanmu hanya untuk menakhlukkan cewek dingin sepertiku? Lalu setelah kamu puas, kamu bakal tinggal begitu saja" mendengar itu, Izack hanya tersenyum dingin terbayang taruhan dengan Hendrik soal bon yang sampai hari ini ia lupakan. 

Ia tetap diam tak menjawab, bahkan saat Chika menanyakan ulang rautnya seperti tertusuk mendengar pertanyaan itu dengan nada suara istrinya yang terdengar berat. Tapi lelaki berbadan ramping itu tetap tenang melanjutkan makan malamnya dengan diam seribu kata.

Entah berapa lama Chika menunggu jawaban, tapi Izack tetap diam hingga semua makanan habis, termasuk potongan buah. Dan ia beranjak tenang mencuci piring sendiri. Melihat bungkus mie instan di tempat sampah bawah cucian piring ia hanya menghempas nafas kesal. Namun ia kembali ke meja dengan membawa bungkusan obat, sementara dengan ketenangannya Chika mulai takut, cemas dan was-was dengan diamnya.

Jarum jam menunjukkan pukul 22.30 wib.

Sebenarnya masih banyak pekerjaan kantor dan organisasi yang harus diselesaikan malam itu juga. Tapi Izack merasa bahwa pernikahannya yang baru berumur kencur itu perlu ditimang layaknya seorang bayi yang baru lahir.

Belajar dari para senior dan teman-teman senior CEO lainnya, banyak keluarga hancur berantakan di saat bisnis yang mereka rawat sejak awal mereka menikah menjadi perusahaan raksasa hanya gara-gara masalah sepele dalam rumah tangganya. Izack sudah berpikir matang jauh-jauh hari sebelum ia menemukan tambatan hatinya. Dan ia pikir Chika lah orangnya. Selain ia pekerja keras, ia juga orang yang sangat sederhana juga cerdas.

"Kenapa obatnya belum kamu minum?" tanya Izack sembari menuangkan segelas air putih, seolah tak ada pertanyaan apapun dari Chika yang sebenarnya sudah ditunggu-tunggu gadis itu. 

"Bang, kamu nggak sedang meremehkan aku kan?"

Dengan masih memakai setelan hem biru muda dan celana hitam, lelaki itu membawakan obat dan menuangkan segelas air.

"Kenapa kamu menanyakan sesuatu yang melukai perasaanmu sendiri?" ujar Izack duduk tepat di hadapan Chika

"Seberapa penting?"

"Yang penting sekarang aku di depanmu, dan sedang menghadapmu. Bukan orang lain" jawabnya terdengar singkat, lugas, namun multitafsir.

Izack membukakan bungkus obat satu persatu.

"Kenapa masih utuh? bukankah harusnya siang tadi sudah kamu minum satu-satu?"

"Bang! aku tanya serius"

"Kamu ini bukan anak kecil lagi, harusnya paham kebutuhan perutmu. Kenapa makan mie instan?" ujarnya mulai tampak kesal

"Kenapa? Apa karena hutang lagi?"

Gadis itu diam sesaat sembari menelan obat satu persatu dengan segelas air minum "Aku dengar perusahaan sedang kolaps"

"Apa hubungannya sama mie instan?!"

"Tadi aku belanja di supermarket, lihat cumi sepertinya enak. Kebetulan juga lihat mie instan yang sepertinya enak banget"

"Lalu kamu pilih beli mie instan, sementara suamimu kamu kasih cumi?"

"Bang, baru kali ini aku melihat mie instan se mahal itu. Dan ada kesempatan bisa beli itu, apa salahnya?" nadanya turun dengan sedikit rasa takut saat suara Izack menekan keras.

“Nggak salah. Tapi sekarang belum saatnya kamu makan makanan instan”

“Kalau kamu mau, aku antar kamu ke kedai mie yang dibuat langsung”

Chika nyengir Ia bangkit lagi dengan wajah tampak lelah sembari tangannya menyaut sebungkus obat-obatan miliknya. Melihat suaminya membawa bungkusan obat, Chika tersenyum nyengir sembari rebahan di sofa memegang perutnya.

"Kenapa kemarin tidak bilang ke dokternya, kalau sakit?"

“Sepertinya kamu harus MRI lagi tuh, memastikan ususmu benar-benar tidak ada masalah”

“No!” rautnya tegang

Tanpa berkata-kata lagi, ia mengangkat paksa istrinya yang kini tampak pucat ke dalam kamarnya dan merebahkannya di sana membuat Chika seketika bangkit ketakutan.

"Nggak usah berpikir macam-macam, istirahat di situ atau aku telanjangi kamu" ujarnya mengunci pintu dan menarik kursi

“Sudah berapa kali kamu makan mie instan”

Chika nyengir kesakitan merebah

“Mau? perutmu dibuka lagi”

“No!!”

“Di kulkas sudah ada masakan sehat, kenapa mesti capek-capek masak dan masak mie instan?”

"Aku tebak sehari ini tadi kamu nggak makan"

Chika hanya nyengir kesakitan menekan perutnya.

“Kenapa sih pakai marah segala?!”

“Kamu itu selalu sibuk dengan pikiranmu sendiri”

Kini untuk yang ke sekian kalinya Chika benar-benar bisa memperhatikan wajah suaminya dari dekat. Ia benar-benar tampak bersih, nyaris tanpa noda kecuali garis-garis lembut di sekitar kelopak matanya. Entah berapa lama ia mengamati wajah itu, hingga Izack sadar istrinya tidak sedang memperhatikan kata-katanya, melainkan memperhatikan wajahnya membuat Izack mencubit ujung hidungnya yang kecil.

“Aku pikir, kamu pulang pasti capek.. makanya aku masak. Nggak tahunya bapak tukang masak, datang bawa masakan”

"Besok lagi kalau bandel, aku paksa kamu tidur di sini" ujar Izack membuat Chika langsung bangun dan duduk merasa serem dengan ruangan kedap yang membuat lelaki itu tertawa geli melihat raut ketakutan istrinya.

Izack beranjak ke dapur dan mulai memakai apron untuk menghangatkan makanan. 

"Benarkah ia tengah bersabar? atau sebenarnya ia benar-benar orang yang sabar?" pikir Chika mengawasi Izack yang riwa-riwi hingga akhirnya kembali duduk tepat di depannya dan siap menyuapi

"Aku bisa makan sendiri,"

"Sudah... aku paham tanganmu gemetar"

Chika mengulum tawa, namun ada rasa kesal yang ia tahan.

Izack menatap tenang, "Ayoo... tinggal buka mulut apa susahnya, sih?"

Kali ini Chika tak bisa menahan tawa geli melihat wajah innocent suaminya.

Malu-malu Chika membuka mulut dan menerima suapan lelaki beralis mata tebal itu hingga tak terasa hatinya terguncang dengan mata berkaca-kaca.

Izack menarik nafas lelah "Kenapa sih, perempuan itu selalu dibuat sibuk pikirannya sendiri?"

"Hanya ingin memastikan semua baik-baik saja" jawab Chika menekan air matanya yang sudah tergenang

"Tinggal kita nikmati hari seperti ini, toh semua akan baik-baik saja" kata Izack mengusap bibir tipis dengan jarinya seperti layaknya menyuapi anak kecil yang membuat perasaannya berdegup halus.

"Aku sudah memiliki semuanya, tidak perlu apapun darimu kecuali keberadaanmu dan ketulusan hatimu, cukup" ujarnya menatap dalam

Wooww... sungguh tak percaya ia mendengar kata-kata semacam itu langsung dari mulut seorang ketua umum organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia dan seorang CEO muda yang selalu memiliki senyum fresh.

Saat selesai makan malam, diam-diam Chika duduk di sofa sambil tangannya mulai sibuk mengetikkan sesuatu di layar tablet suaminya. Berkali-kali ia mencari berita skandal tentang suaminya sendiri di media sosial. Tapi ia tak menjumpai apapun di sana, justru mendapat berita baik yang cenderung mengelu-elukan.

"Euleuhh... dasar orang kaya. Apapun yang melekat pada dirinya selalu terlihat baik" gerutu Chika yang tengah duduk di sofa. 

Diam-diam Izack mengintip dan duduk di punggung sofa sembari menyruput kopi yang kini pindah tepat di sebelah istrinya

"Kamu cari skandal aku?"

"Sini lihat," katanya merebut tablet dan mengetikkan beberapa kata 

Skandal Ketua Umum AMI 

Saat itulah muncul foto-foto Izack yang tengah menggendong dirinya di depan kost-kostan.

Chika melotot

"Kenapa?" 

"Kaget?!"

Saat itulah mata Chika tertuju pada sederet judul bertuliskan;

Ketua umum AMI menikahi gadis anak pejabat Komunis 

Chika terkejut membaca judul tersebut, sebelum jarinya menekan kata itu, jari Izack sigap menangkis gerakan jarinya dan menutup cepat tablet terebut.

"Sudah, tidak perlu dipikir”

“Tahu sendiri kan, literasi jurnalis kita itu rendah. Jadi hal remeh temeh begitu saja diliput”

Chika yang merasa bagian dari Jurnalis lepas spontan berpaling menatap geram yang spontan membuat Izack sadar dan tertawa ngakak.

"Sudah, aku bilang jangan dipikirkan" tawa Izack mengacak acak kepala istrinya seperti anak kecil  

"Repot ya, punya istri kritis"

Izack kembali terdiam memegang remote tv dan menyalakan layar flat di depannya

“Lihat ini," katanya memperlihatkan suasana Resto yang tampak rame hingga muncullah sosok dirinya yang duduk tepat di sebelah lelaki tersebut.

"Ulang Tahunnya siapa itu?"

"Serius kamu nggak ingat?"

Chika hanya nyengir, pandangannya kembali pada layar tv

"Aku cuma ingat sekilas” pikirnya mengamati wajah para seniornya satu persatu yang duduk di antara mereka hingga muncullah seorang pelayan dengan membawakan dua kue tart.

“Harusnya kamu paham dari sini”

“Maksudnya?”

“Mana ada lelaki yang mau kasih kue tart di hari ulang tahunnya, kalau nggak ada niatan apapun"

“Dukkk!” Hawa hangat perlahan menggetarkan dada yang berdegup lembut menangkap perasaan melayang. Membaca gelagat istrinya yang sedikit terpesona, diam-diam Izack meletakkan tangannya di belakang kepala Chika yang spontan membuat gadis itu bergeser. 

Ssseeetttt...!! 

Spontan Izack tertawa gemas melihat wajah dingin istrinya.

"Ah... ya sudahlah, yang penting sekarang kamu milikku" ujarnya malu setengah kecewa yang hanya ditertawakan Chika

"Dan ini," ujar Izack menekan tombol remote muncullah video Chika tengah berdiri di pinggir jalan dengan topi kompeni jepang.

"Hwkwkwk... ih! memalukan" pekik riangnya berusaha merebut remote dari tangan Izack, tapi justru ditekan pinggulnya hingga ia kembali terduduk di posisinya dan seketika meletakkan kepalanya di pangkuan istrinya yang tak lagi bisa berkutik 

"Apa tindakanku yang seperti itu semua tidak bisa menjawab pertanyaanmu tadi?" jawab Izack yang membuatnya seketika membisu

Hening,

Tak bisa dihindari bahwa sebenarnya ia pun sempat merasakan ada perasaan yang sama. Tapi ia tak berani menaruh harapan lebih dari 20% untuknya. Baginya, lelaki semacam itu jauh di atas langit. Ibarat mengharapkan cinta seorang artis papan atas, sementara dirinya hanya gadis gembel yang tengah berjuang untuk hidup.

“Bang, hidup di negeri yang semuanya serba bisa dibayar ini. Bisa dibayangkan bagaimana nasib kehidupan orang-orang seperti kami yang tiap menit harus berjuang untuk tetap bisa hidup dan berdiri di atas kaki”

"Jadi rasanya pernikahan dengan orang sepertimu aku ini seperti boneka yang bisa kamu permainkan tiap waktu” ucap Chika terasa getir dan dalam

Izack hanya menelan ludah antara raut kesal dan memahami siapa perempuan di hadapannya.

“Karena cerita Cinderella hanya ada di dongeng dan drama asia”

“Selebihnya, pahit getir darah kami, harus kami telan sendiri bagaimana rasanya”

“Maka dari itu tak mudah bagiku menaruh harapan pada orang sepertimu yang jauh di atasku”

Glukkk!!

Lagi-lagi Izack merasa tersodok dengan perasaannya. Ia tak mau berdebat dan memperpanjang masalah

 

 

"Ya... ya, ya! Apapun katamu selalu benar lah" ujarnya sengaja meringkukkan tubuhnya di sofa dengan kepala makin keras menekan pangkuan Chika tetap dalam posisinya 

"Karena aku bukan tipikal orang yang mudah percaya sama orang lain"

"Ya... ya, ya, ya. Terserah kata-katamu lah"

“Iya kan saja lah, daripada ada yang ngambek” kata Izack membalikkan wajah menghadap perut Chika dan menciumnya berulang kali.

“Ah… bagaimanapun aku menyatakan seberapa besar cintaku terhadapnya, percuma saja jika ia tidak pernah percaya pada kata-kataku” pikir Izack memejamkan mata dan mulai tertidur.

Malam itu Chika sengaja membiarkan lelaki itu tidur di pangkuannya, hingga berapa lama ia mulai mendengar suara dengkuran dari mulut Izack di saat Chika mulai asyik menyimak film action.

Chika diam memandangi lekat-lekat garis wajah suaminya yang bersih hampir tanpa noda sedikitpun. Dari alis matanya yang tebal terbentuk, bulu matanya yang indah, kulit wajahnya yang bersih dan bibir yang tak tebal juga tak tipis, hidungnya yang lancip. Benar-benar mirip artis asia yang keren.

"Tahukah kamu Bang.. betapa malam tadi aku merasa tercekik saat ibumu datang"

“Makanya aku makan mie instan, hanya sekedar meredakan stresku”

"Kenapa cita-cita tertinggiku pun tidak bisa aku raih, hanya gara-gara satu kata meladeni suami"

"Aku benci sekali mendengar kata-kata itu"

"Seolah perempuan itu hanya sebagai support sistem di belakang layar yang tak boleh muncul di permukaan"

"Apa dia nggak sadar, kalau dirinya juga seorang wanita karir" 

Sayup-sayup Izack mendengar umpatan itu dan hanya tersenyum memperbaiki posisi tidurnya.

"Yang penting aku sayang kamu, cukup. Kamu mau apapun sok-sok aja” ujarnya yang membuat Chika kaget.

 

@@@

 

Hingga pagi tiba. Izack mendapati dirinya tertidur sendiri di sofa.

"Chika," panggilnya seperti anak kecil memanggil-manggil ibunya saat bangun tidur. Dengan mata keriyepan mengamati ruangan yang lengang, ia tak berpikir apapun.

"Sayang" panggilnya geli mendengar dirinya menyebut kata yang sebenarnya terasa lebay.

Ia menganggap istrinya berada di kamar mandi, tapi saat dibuka ia tak ada di sana, hingga panik mencari ke seluruh sisi ruangan. Sampai baru sadar jika tas ransel dan beberapa bajunya sudah tidak ada lagi di lemari.

Seperti teringat sesuatu, ia diam menyimak kata-katanya semalaman. Secepat itu ia mencari handphone.

"Halo, Ma"

"Tumben kamu pagi-pagi telphon"

"Mama ngomong apa saja sama Chika, kemarin?"

"Kenapa pertanyaanmu nggak enak begitu, Zack?"

"Chika pergi dari Apartemen, Ma"

"Lalu apa hubungannya sama Mama?"

"Ma, tolong untuk kali ini saja Izack memilih pilihan Izack"

"Sudah dua tahun Izack bersabar menunggu dan mencari keberadaan dia, dan nikah adat itu Izack memang sengaja punya niat" suaranya tegas menekan

"Jadi pagi-pagi kamu telphon hanya untuk memarahi Mama?"

Izack sadar, ia mulai menurunkan suaranya

"Mama berkata apa saja sama Chika?"

Perempuan itu menarik nafas kesabarannya, "Selesai wisuda dia punya rencana ikut pamannya transmigrasi ke Kalimantan. Lalu Mama bilang agar dia tetap di sisimu, apa itu salah Zack?"

Izack menarik nafas lelah "Maaf Ma,"

"Lagipula sudah gila apa, kamu? menanggung seluruh biaya Rumah Sakit di saat perusahaanmu kolaps kemarin"

"Ma, sekarang perusahaan sedang mau dapat proyek besar dari pemerintah pusat”

“Oh…”

“Rizqi kamu nikah juga itu,”

“Hm iya juga ya Ma, dari dulu rasanya sulit banget dapat proyek besar seperti ini”

"Mama lihat sepertinya kamu yang cinta dia duluan"

“Hm, iya Ma”

"Izack sedang berusaha meraih hatinya"

"Tapi kenapa mesti langsung menikahinya, Zack..."

"Mama hanya tidak ingin kamu terluka. Kamu itu sudah dewasa tapi urusan perempuan masih polos banget”

"Tidak seperti yang Mama duga" 

"Ya sudahlah, Mama cepat-cepat ini"

"Baik, Maafkan Izack" ujarnya lembut

"Zack, kamu itu anak baik, sejak dulu Mama sudah menganggapmu seperti anak kandung sendiri. Jadi Mama juga akan sakit hati kalau kamu terluka lagi seperti dulu"

"Hm, makasih Ma," jawab Izack menutup pembicaraan dan sepi.  

Ia baru sadar ada selembar surat tergeletak di atas Kitchen Bar.

 

Maaf Bang, kalau Chika nggak pamit baik-baik pulang ke Yogya

Karena sepertinya Abang nggak ijinkan aku pulang

Maaf juga soal Rendra kemarin

Bagiku, Rendra seperti penyelamatku di kota sebesar Yogya. Dia banyak membantuku saat aku mengalami depresi, ketakutan masa depan hingga hal remeh temeh seperti menalangi biaya Semester hingga meminjamkan laptop, dan kadang memberiku makan.

Kami dibesarkan sama-sama dalam kondisi keluarga yang nggak utuh. Kami bahu membahu mencari anggota keluarga kami yang hilang tanpa diketahui rimbanya. Mohon jangan salah paham ya Bang?

Oh ya, apakabar dengan tetangga cantik yang kemarin di kolam renang?

Aku rasa, itulah kelasmu. Dibanding aku, dia lebih pantas untukmu. Maka dari itu aku pergi dari sana, siapa tahu kalian cocok, dan kamu tak perlu risau denganku. Sekalipun sebagai perempuan aku masih punya hati, berhak sakit hati melihatmu ngobrol beruda di kolam. Untuk itu aku pergi menghindari pemandangan itu.

Ini Kartu Debit yang kamu kasih, aku pinjam untuk bekal selama di Yogya.

Kalau nggak ikhlas, nanti aku kembalikan

Maaf, sudah banyak merepotkan

Sekian

 

 

Sambil menutup lembaran surat itu ia hanya meringis perih dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa ada perempuan se bodoh kamu, Chika?!”

“Dan kalian kira, hanya kalian saja yang merasakan derita kehilangan keluarga?”

“Bagaimana dengan seorang bayi yang dibuang di tempat pembuangan akhir sampah?” ujarnya lirih sembari merasakan denyut jantungnya seakan memampatkan nafasnya mulai sesak hingga ia sadar nafasnya mulai sasak dan tercekik hingga tenggorokan. Tangannya segera meraih segelas air putih yang Chika sediakan dan meneguknya beberapa tegukan hingga habis. Tapi ia sadar nafasnya tidak segera membaik justru makin tercekik.

Ia segera lari ke kamar mencari obat. Tapi pandangannya justru kabur dan tubuhnya lemas jatuh tersungkur di atas lantai kamar.

Ia sadar, ia sendirian di kamar. Tapi telinganya terasa kuat mendengar suara gaduh dan gemuruh buldoser serta lalu lalang orang memungut sampah menatapnya aneh di tengah tumpukan pembuangan sampah akhir dengan bau menyengat.

Tiba-tiba handphonnya kembali bergetar. Nafasnya makin sesak hingga terasa mencekik tenggorokan.

“Halo Mas Izack”

“Pak… tolong ke rumah” nada suaranya lirih dan berat

“Iya Mas?”

“Mas Izack kenapa?!!”

“Tolong ke rumah, Pak”

“Baik baik!”

Entah berapa lama Izack menahan nafasnya sesak. Ia semakin sulit membendung halusinasinya akan orang-orang yang berlalu lalang menatap dirinya aneh di antara gunungan sampah. Hingga sadar kepala mendenging lama dan hilang kesadaran.

 

@@@

 

Kabut putih perlahan memudar menjadi gambaran jelas hingga tampak orang-orang berjalan kesana kemari dengan baju serba putih bersekat gordyn putih, sementara seorang lelaki paruh baya duduk di sebelahnya.

“Mas…! Mas Izack!” sapa lelaki itu seakan menyadarkan kesadarannya.

Izack melepas cungkup oksigen memejamkan matanya erat.

Ia melihat Alvin berdiri di sebelahnya

“Gimana Zack?!” tatap Alvin cemas 

Lelaki yang tengah terbaring itu menatap langit-langit seakan memastikan nafasnya baik-baik saja.

“Dimana Istrimu?” tanyanya yang langsung membuat Izack mengisyaratkan bapak tukang masaknya keluar ruangan

“Saya keluar dulu mas, nanti kalau ada apa-apa panggil saya di luar”

“Hm” Izack hanya mengedipkan mata lemah

“Untung saja aku datang. Kalau enggak, entahlah kamu..” cletuk Alvin

Izack menarik nafas panjang

“Gimana nafasmu?”

“Nggak apa-apa” jawabnya lemah

“Kenapa sih, nggak konsultasi ke Psikolog aja soal kondisimu yang seperti itu?”

Izack memberikan aba-aba stop dengan tangannya sembari menarik nafas berat.

“Bicarakan yang lain saja, Vin” ujarnya

“Ini,” katanya menyodorkan selembar kertas

“Sory, nggak sengaja kemarin kebaca”

Izack menggenggam surat itu dan meremasnya seketika membuat Alvin mengembangkan senyum lebar.

“Kenapa kau ketawa?”

Alvin menatap datar seperti sedang mencari kata-kata yang pas

“Kalau ada satu lagi yang seperti dia, aku nggak nolak kok”  

“Kau kira barang apa?! Gila!”

“Loh, aku bilang; kalau ada satu lagi yang seperti itu” tawa Alvin cekikikan

“Gimana kabar Hera?” potongnya langsung mengalihkan perhatian

“Hei Bro, lihat kondisimu itu. Kita sedang bicara soal kamu, biar nggak sekarat seperti kemarin”

“Hari gini cari cewek seperti itu seribu satu, Bro”

“Sepertinya kamu harus segera ketemu sama dia deh, jelaskan persoalan ibumu dan teman-temanmu”

“Nggak bisa, Vin. Jadwalku padat satu bulan ke depan”

“Nah?! Ya sudahlah, nikmati saja nge jomblo lagi andai dia minta cerai”

“Lagipula untuk apa kamu genggam erat benar itu AMI?”

Izack menarik nafas lelah menatap penuh isyarat kesal pada Alvin sahabatnya.

“Okey-okey, aku paham itu duniamu”

Tiba-tiba telphon bergetar dari saku kemejanya

"Okey Bro, aku pergi dulu” ujar Alvin melirik ponsel Izack dan meninggalkan ruangan itu

“Yok!”

Izack hanya menjawab dengan mengangkat handphonenya

“Izack”

“Ya, Pa?!”

“Apa benar istrimu itu ikut organisasi komunis”

“??”

“Siapa bilang?”

“Coba buka email Papa”

Izack kaget waktu melihat wajah istrinya berdiri di tengah pejabat yang diduga orang-orang komunis. Ia menatap lama sambil mengutak-atik mouse membesarkan tiap bagian garis foto.

“Logikanya Pa, kalau benar ada sangkut pautnya sama mereka. Untuk apa dia kerja mati-matian membiayai hidupnya sampai menahan ususnya robek"

"Kita tahu kan, banyak pejabat dan pengusaha beraliran komunis. Mbok ya sudah, pasti dijamin hidupnya lebih enak dikit"

“Izack… sebenarnya Mama sama Papa kaget waktu kamu mengajak Chika ke rumah waktu itu”

“Tapi apapun itu, Papa menghargai keputusanmu. Sekalipun di belakang Mama sedikit marah karena kamu menolak dipertemukan dengan anak temannya Papa yang sudah jelas bibit, bobot sama bebetnya”

“Lalu dengan mudahnya kamu menikahi seorang gadis yang baru kamu kenal beberapa hari”

Izack menarik nafas panjang

“Pa, sejak kapan Izack mudah jatuh cinta?”

“Dua tahun, Izack menunggu dan mencari informasi tentang dia”

“Apa yang seperti ini juga Papa anggap kurang? Lalu menyuruh Izack pacaran dulu, begitu??”

“Sampai hari ini Izack masih merasakan pahitnya jadi bayi yang dibuang di gunungan sampah” jawabnya dengan mata spontan berkaca-kaca dan menahan diri agar nafasnya tidak kembali sesak.

“Apa Papa nggak ikhlas membesarkan Izack hingga detik ini?”

“Izack!!”

“Pa, Izack mohon… ijinkan kali ini Izack bahagia mencintai seseorang”

“Kita cuma tidak ingin kelak kamu kecewa dengan pilihanmu”

“Papa tahu Izack, kan… tidak semudah itu mengambil keputusan”

“Oke, baik… tapi Papa harapkan betul jika dia memang terlibat dalam organisasi Komunis, Papa tidak ikhlas”

“Okey, Izack akan cari orang untuk menyelidiki dia”

“Zack… dia itu bukan penjahat, dia itu istrimu”

“Apalagi Chika itu sepertinya gadis cerdas, kalau dia tahu kamu sedang menyelidikinya, bisa runyam rumah tangga kalian”

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Dekati teman-teman dekatnya”

“Aduh, Pa… teman dekat dia lelaki”

“Kenapa?”

“Tidak masalah, kan? justru itu kamu bisa ngobrol santai tanpa dicurigai macam-macam sama istrimu”

Izack menarik nafas berat

“Kenapa?”

“Cemburu?”

“Ah, cemen!”

“Yang penting dia kan sudah jadi milikmu”

“Bagi Papa, itu sudah point, sekarang tinggal bagaimana langkahmu selanjutnya”

“Hari ini dia ikut ke kantor?”

“Tidak, dia balik ke Yogya selesaikan urusan kuliahnya”

“Kapan?”

“Kemarin”

“Sekarang balik soal foto itu, Papa cuma ingatkan ke kamu. Soalnya ketika foto itu keluar, akan berimbas pada kariermu dan karier Papa”

“Okey Pa, kalau itu Izack akan tanyakan teman ahli telematika, soal Backgroundnya akan Izack selidiki pelan”

“Tapi apa dan bagaimana, Izack masih yakin dia gadis baik-baik, Pa”

“Izack menduga, itu isyu yang sengaja dibuat orang yang nggak suka kami”

“Ya sudahlah, itu urusanmu. Tapi kalau sampai menyinggung urusan pekerjaan Papa. Papa tidak akan diam” nadanya mengancam

“Siap Pa…” jawabnya segera terputus setelah terdengar pamit suara di ujung ponsel itu

Tut.. tut.. tut..

Sorot matanya kembali tertuju pada sehelai kertas tulisan Chika. Ia menghirup udara segar seakan tengah mengembalikan pernafasanannya yang sempat terhambat.

 


 

15

 


Indonesia tempatnya padi tumbuh, mengapa harus Import beras??

“……….

Bicara soal Karbohidrat, harusnya Indonesia tidak bergantung pada nasi. Karena sejak lama masyarakat Indonesia menjadikan makanan sumber energi mereka bukan hanya nasi yang berbahan dasar beras. Masih ada Jagung, Sagu, Singkong, Ubi Jalar, Kentang, Pisang, Labu Kuning, dan Talas.

Seperti halnya beberapa dekade sebelumnya yang mengembalikan sumber keanekaragaman hayati lokal menjadi acuan utama bagaimana kita harus mengembangkan produk olahan lainnya menjadi makanan yang bisa dinikmati dalam bentuk yang beragam.  

Karena dengan mengembalikan mind set kita bahwa makanan pokok di Indonesia bukanlah nasi, petani kita akan kembali merdeka di lahannya, yang sesuai dengan struktur geografi masing-masing daerah.

Inilah yang patut dikembangkan pemerintah. Kembali mengedukasi masyarakatnya menjadikan sumber makanan pokok tersebut untuk bisa diolah menjadi bahan dasar makanan pokok mereka menjadi makanan harian.

……………………”

 

 

Demikian salah satu petikan berita yang berhasil ia tulis dengan smartphonenya di pos ronda depan kost-kostan sembari meneliti satu persatu foto panen raya di sepanjang jalan dari Jakarta menuju Yogya, belum lagi antrian puluhan truk tebu di depan pabrik gula yang mengantri untuk ditimbang.

Angin mendesir sepoi di bawah rindang pohon mangga dan kersen yang menggugurkan daunnya berwarna kuning, ditemani musik yang ia putar dengan earphone, ia mengirim artikel tersebut ke koran online nasional. 

Sekali lagi ia memeriksa beberapa foto yang bakal dijadikan foto artikelnya di beberapa mass media online.

“Yeah… kenapa nggak dari dulu, aku…” senyumnya mengembang dengan sorot mata lurus, namun perlahan senyum itu surut berubah datar teringat peristiwa dua hari lalu saat ibu mertuanya menjenguk dirinya dan perempuan di kolam renang itu mendekati suaminya.

 

"Loh? kamu??" sorot mata Hendrik penuh tanya membuyarkan lamunan Chika

"Kenapa di sini?"

"Bukannya ikut Izack ke Jakarta?"

“Hehe… iya Bang”

"Selamat ya! Kapan ini pestanya?!"

"Ssssttt!!!" 

"Lah? bukannya beritanya sudah heboh ya di kampus kita?" kata Hendrik yang spontan membuat Chika melongo tidak percaya

Chika bingung menatap lama wajah Rendra kosong seakan mencari sumber, darimana berita itu sampai bocor.

“Ini kan?” Hendrik menunjukkan foto Chika berhadapan mencium tangan Izack di depan penghulu

Hendrik geleng-geleng tersenyum lebar “Luar biasa kamu bisa mengikat orang besar seperti dia, Non”

“Loh, loh!!” katanya seakan ingin protes, bahwa sebenarnya yang niat menjebak pernikahan adat itu justru Izack bukan dirinya. Tapi ia berpikir lagi, dibanding kata-katanya. Orang jauh lebih percaya dengan mass media, apalagi suaminya terkenal dingin dengan perempuan.

“Ah! Ya Sudahlah! Terserah apa kata kalian”  

“Darimana saja kamu? sudah sembuh beneran?” tanyanya lagi

"Sembuh nggak sembuh, harus sembuh Bang" tawanya nyengir

"Iya, bukan Luchika kalau belum sembuh"

"Pulang sama siapa?"

"Sendiri lah"

"Lah?!!"

Tiba-tiba sesosok lelaki tua dengan wajah bergelambir lemak itu mendatangi Chika tanpa sepengetahuannya. Dari rautnya yang tampak berkesumat, Hendrik mulai khawatir akan terjadi sesuatu.

“Chika,” panggil Hendrik cemas isyaratnya 

“Ya?” Chika menoleh

Ia melotot begitu melihat lelaki berkumis tebal dengan perut yang selalu bergelambir lemak itu menatap Chika geram.

“Mbak Chika, kapan kamu mau bayar kost-kostan” suaranya lantang tanpa basa-basi

"Bukannya beritanya kamu menikah sama Pengusaha kaya, ya?"

“Sudah telat dua minggu lho! Ayo cepat bayar!!”

“Dar!!” Hendrik mengernyit cemas, ia mendekatinya

“Pak, sebaiknya bapak ngobrol di dalam saja, nggak enak dilihat orang kalau bapak marah-marah terus begini” bujuk Hendrik

Suasana senyap, tak ada siapapun di sana. Kecuali dua orang adik kelasnya yang sepertinya hendak berangkat kuliah melirik Chika sekilas yang sudah berkaca-kaca di ruang tamu.

Sementara Hendrik diam-diam memastikannya dari depan kamarnya sembari kesal menekan nomor Izack yang tak segera diangkat.

"Izack, kasihan amat sih istrimu, kena marah pak kost melulu" begitu pesan suara itu terkirim ke smartphone Izack yang tergeletak di meja kantor.

 

@@@

 

Jam di atas dinding ruang tamu menunjukkan pukul 10.30 WIB, tapi Chika belum juga beranjak dari tempat duduknya memandang penuh pasrah sudut-sudut kamar yang mulai senyap.

Sapaan teman-temannya yang dulu tak pernah menganggap keberadaan dia, kini begitu ada lelaki bak aktris yang membopong dia ke Rumah Sakit spontan seperti seorang putri. Tapi Chika tak lagi peduli. Ia lebih mementingkan nasib dirinya dibanding memikirkan sikap orang lain kepada dirinya.

Begitu sampai di depan kamar, jari-jemarinya terasa luluh tak bertenaga menarik gagang pintu yang sedikit agak berat. Begitu terbuka, selembar tulisan di depan pintu seakan berseru; 

Selamat Datang di Kota Peradaban,

Jalan Masih terlalu panjang

Hari Masih Terlalu pagi

Jangan pernah Pasrah

Jangan pernah menyerah

Karena menyerah, itu bukan AKU

Katakan; “Aku Pasti Bisa!!!”

Ia tersenyum lemah memandangi tulisan yang ia tempel satu tahun lalu setelah ia pindah beberapa kali dari kostan sebelumnya karena kenaikan tarif kamar.

Entah apa yang tengah ia pikirkan. Bibirnya seakan mengembangkan senyuman pahit melihat tiap sudut kamar yang ia perjuangkan tiap bulannya agar tetap bisa bertahan dan konsentrasi menyelesaikan skripsinya.

Ya! Ini semua demi selembar kertas yang bernama Ijazah. 

Meskipun orang-orang seperti Rendra sudah tidak menganggap penting lagi. Tapi inilah harapan terakhirnya setelah namanya di black list dari masyarakat luas dengan gelar, anak Komunis. Baginya itu fitnah kejam sepanjang hidupnya.

Tiba-tiba saja bibir lelaki tua dengan wajah yang mulai bergelayut itu menawarakan senyumnya seakan berkata 

“Kamu pasti bisa, Nak!" 

Spontan saja air matanya tumpah dan bergetar terguguk menekan suara tangisnya.

“Bapak… aku sudah tidak kuat...!” 

Tiba-tiba saja terdengar suara pak Kost dari luar seakan menyentak lamunannya.

“Cepat beresi mbak, kamarnya mau saya bersihkan. Besok anaknya sudah datang kesini”  

Sebelum lelaki bertubuh gempal itu membuka pintu kamarnya, sekonyong-konyong Chika menjejalkan pakaiannya ke dalam ransel yang sudah mulai tipis kainnya termakan usia. 

Dibanding teman-temannya, Chika memang tak memiliki apapun kecuali buku dan baju yang hanya beberapa potong. Kadang juga dengan sukarela ia menerima baju dari teman-temannya yang sudah tidak terpakai. Sementara kasur, bantal, dan lemari adalah pemberian teman-temannya yang sudah bosan menggunakannya. Daripada membuangnya, Chika menerima itu dengan senang hati.

Ya, begitulah kurang lebihnya teman-temannya di kost. Meskipun tahu beberapa orang tua dari mereka hanya seorang buruh, tapi penampilan dan gaya hidup mereka di kota pelajar ini bisa dibilang hedon.

 

@@@

 

Siang itu matahari semakin condong ke arah Barat saat Chika meninggalkan halaman kostan yang saat itu mulai sepi. Ia juga tidak tahu kemana kaki harus melangkah. Selain tak punya teman akrab, ia juga tidak begitu aktif dalam sebuah organisasi seperti teman-teman mahasiswa lainnya karena terkejar kerja serabutan dan tugas kuliah.

Bagaimanapun, waktunya di kota ini tidak banyak. Selain mengejar tugas-tugas mata kuliah, ia juga harus banting tulang bekerja paruh waktu sebisanya untuk menyambung semua kebutuhannya selama tinggal di kota itu. Jadi, ikut dan aktif organisasi itu seperti buang-buang waktu percuma. 

Sepanjang jalan ia berpikir akan kemana kakinya harus diarahkan. Ia sempat terbayang ke Rumah Singgah dimana Hendrik bekerja. Tapi ia ragu, karena di sana semuanya laki-laki.

Hingga terdengar adzan maghrib, ia baru sadar merasakan nyeri sakit perut bekas potongan usus luar biasa nyeri.

Dan langit benar-benar telah gelap saat ia keluar dan membaringkan tubuhnya di atas rerumputan halaman Masjid.

Ia ingat betul, hari ini adalah hari Jum’at. Hari dimana kota itu seperti menyandarkan kepalanya yang berat setelah lima hari bergelut dengan pengetahuan yang mereka bangun dari pilar-pilar Kampus yang kini harus bersaing dengan bangunan Mall maupun Apartemen.

Masihkah Pendidikan itu milik semua anak negeri tanpa terkecuali, atau hanya milik segelintir orang yang berkantong tebal seperti Heni dan teman-temannya.

“Hooohh… benar-benar melelahkan” pikirnya merebahkan punggung di atas rerumputan yang mulai dingin, seakan ingin menghempaskan ocehan pikirannya yang terus menggedor-gedor otaknya sepanjang hari ini.

Entah berapa lama ia tertidur, sadar-sadar ia terbangun oleh suara adzan isya. Chika pun bergegas ke kamar mandi meninggalkan dua ranselnya begitu saja.

 

@@@

 

Di sisi lain, begitu ada kabar seniornya dari Jakarta hendak datang malam itu, Heni duduk di depan kost Hendrik bercerita ini itu tentang Chika yang tak pernah menganggapnya sebagai sahabat, dan bersikap acuh.

Beberapa kali ia bercerita tentang latar belakang Chika, tapi Hendrik tak pernah menghiraukan itu karena di mata Hendrik dan teman-temannya, Chika gadis pendiam yang cekatan dan pekerja keras. Bahkan mereka iba meskipun tidak tahu kebenaran isyu yang mengatakan bahwa Chika adalah cucu tokoh komunis.

Bahkan Mahasiswa seperti Chika nyaris saja tak ada waktu untuk kongkow-kongkow seperti layaknya anak-anak mahasiswa lainya di pinggiran kampus. Ia harus kerja serabutan seadanya di kala waktu senggang dari jam-jam kuliah.

Sejak siang tadi, foto Chika memang telah tersebar di sosial media, berkat bantuan teman-teman AMI cabang Yogya.

Bahkan ada yang mengatakan, Chika adalah kekasih gelap ketua Umum PB AMI Jakarta yang sempat membuat gempar kantor pengurus Besar hari itu. 

Terdengar suara mobil diparkir di depan kamar Hendrik, Heni langsung keluar menunjukkan wajah paniknya. 

"Kemana tadi Chika, Hen?"

Heni mulai menceritakan kejadian siang tadi, tapi rupanya Izack sudah tak sabar. Ia justru memberikan komando pada Hendrik untuk menghubungi kantor polisi dan meminta bantuan para senior di kantor Cabang AMI untuk berpencar mencarinya.

"Apa nggak terlalu berlebihan sih, Bro?"

"Kita cari saja dulu, nggak usah minta bantuan kantor polisi"

"Ya sudah, terserah kau lah"

“Kalian tahu, kira-kira dimana?”

“Kalau dia suntuk biasanya jalan kaki pulang pergi melintasi sepanjang jalan menuju malioboro” jawab Heni sekenanya

“What?!” keningnya mengernyit spontan

“Tapi sepertinya nggak mungkin karena kata teman-teman, dia bawa dua atau tiga tas ransel” ujar teman kost Hendrik.

Spontan Izack menapuk wajahnya sendiri kesal “Itu dia belum pulih benar” gumamnya kesal

"Lagipula bukankah kerugian kanopy itu sudah kamu bayar, kan?"

“Persetan bener itu pak kostmu!” gerutunya kesal

Alis mata Izack meriut seakan memikirkan kemungkinan lain dibanding sekedar kurang bayar kost. Tapi apa? ia tak menghiraukan itu, ia memilih segera keluar dan pergi menyuruh para juniornya di cabang segera berpencar melakukan pencarian.

“Apa ada teman yang sering dikunjungi?”

“Rendra” jawab mereka serempak

“Siapa itu?”

“Teman dekatnya?”

“Hm”

“Lelaki dengan rambut gondrong?”

“Hm”

Semua saling menoleh "Teman dekat,"

"Pacar?" tanya Izack

"Sepertinya sih bukan, orang itu juga sepertinya sudah punya cewek"

"Oh," wajah Izack kembali datar

“Dimana kostnya?”

“Aduh, nggak tahu Bang…”

“Carikan info lagi, Hen…”

Izack bergegas pergi mengendarai motor milik Hendrik yang diikuti beberapa orang lainnya.

“Haaawww… keren,” Seru seorang gadis

“Sejak kapan dia peduli sama cewek, Bang?” ujar gadis itu yang membuat Heni mencibir

"Mana ada lelaki yang tidak peduli sama istrinya"

"Loh?! Beneran itu pernikahan adat?"

"Terus kenapa sampai uang kost saja nggak bisa bayar?" ujar Heni sinis

Hendrik melengos kesal mendengar kata-kata Heni “Chika itu orangnya tidak sepertimu, Hen…”

“Dia nggak bakal ngomong soal itu, dan tidak mudah mau menerima bantuan” cletukannya agak kesal dan ditinggal pergi begitu saja

 

@@@

 

Malam kian pekat seiring datangnya hawa dingin yang dalam sekejap menyelimuti udara kota Yogya. Di balik jaket parasutnya yang tipis, gadis dengan rambut yang selalu dikucir sebahu itu tak henti-hentinya menggosok-gosokkan telapak tangannya sekedar menghangatkan tangannya yang mulai membeku.

Sementara cahaya bulan yang tak begitu bulat sempurna pun mulai terasa keheningannya disaat pertokoan dan mall mulai menutup pintu-pintu besinya. Begitu juga dengan hilir mudik kendaraan yang tak pernah lelah mengebiri badan jalan kota yang terlalu pasrah dengan keadaan gemerlapnya kota impian bagi para pendatang. 

Sesaat langkahnya mulai lambat dan terhenti di depan halaman parkir Toserba yang telah gelap ketika pandangannya mulai berputar-putar lemas.

“Please, ayolah... Kuat!!” pekiknya lirih menahan kepala yang tersandar pada batang besi baliho sambil ngos-ngosan

“Mau kemana, mbak...” suara itu spontan membuat Chika melotot kaget.

Begitu menoleh, ternyata seorang perempuan dengan dua keranjang bambu di belakang sepeda tuanya berisi barang rongsokan yang siap menggelar alas tidur.

“Oh...”

“Nggak tahu, Bu...”

“Lalu darimana?” tanya ibu itu lagi yang membuat Chika tak enak

“Dikeluarkan dari kost,” ujarnya singkat dengan suara tercekat di tenggorokannya yang kering membuat perempuan itu melongo

Melihat penampilan Chika, si ibu langsung paham.

“Oh…”

Sambil menyelonjorkan dua kakinya si ibu pemulung menata nafasnya menatap kerlingan mata Chika yang terlihat cekung dan letih.

“Mau minum, mbak?”

“Aku punya air putih, ini…” ujarnya menawarkan sebotol air mineral yang sepertinya sudah diisi ulang

“Ibu masih punya yang lain?”

“Sudah… diminum saja, nggak apa-apa”

Chika nyengir terbayang bekas luka jahitnya “Tidak bu, terimakasih banyak”

“Nggak apa-apa mbak..” jawabnya menyodorkan botol mineral yang tinggal separo

Setengah hati-hati Chika membuka botol mineral tersebut dan pura-pura meminumnya. 

“Ah, mbak... Sekarang apa-apa serba mahal, tapi harga rongsok dari dulu sampai sekarang ya segitu-gitu aja”

“Rumah ibu dimana?”

“Jauh mbak...” ujarnya sambil mengurut-urut kakinya

“Ibu nggak pulang?”

“Nggak cukup mbak. Naik bus ya sekarang mahal, mending disimpen dulu. Kalau sudah dapat banyak baru bisa buat pulang”

Sambil menyangga dagu, ibu itu tampak menerawang jauh

“Oalah mbak... Katanya dulu Presidennya ini bela wong cilik. Tapi nyatanya, sama saja. Apa-apa jadi mahal, tambah mahal”

“Kita orang kecil, makin hari tambah sulit saja hidup di negara ini” curhatan si ibu yang hanya didiamkan Chika menahan rasa kantuknya yang luar biasa, sementara terusik rasa mual maag, bekas luka sayatan operasi serta luka usus yang baru disambung. Ia mulai merasakan keringat panas dingin dari punggung mengalir hingga ujung jari kaki, merasakn tubuhnya yang gemetar.

Melihat sekelebat bayangan angkringan, spontan matanya kembali terbelalak. Dengan bibirnya yang kering, nafasnya yang tersengal-sengal ia sudah tak sanggup lagi mengangkat dua ranselnya seberat itu dengan jalannya mulai sempoyongan menjepit nyeri perut, dan tak sanggup berucap pamit pada si ibu hanya menganggukkan kepala.

Oalah... Cah ayu… mugo ndang dipadangne dalanmu ya Nduk..” gerutu perempuan tadi sembari merebahkan tubuhnya pada alas kardus.

Di saat pandangannya mulai kabur, tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti tepat di sampingnya. Ia kira itu Izack, langkahnya terhenti menunggu kaca jendela hitam terbuka otomatis. Namun wajah seorang om-om muncul di balik itu dan menawarkan senyum pada dirinya menawarkan tumpangan. Seketika keringat panas dingin sebagai tanda pertahanan tubuh fisik maupun psikis terakhirnya dikerahkan total agar tetap sadar dan tidak limbung langkahnya.  

Dengan suaranya yang serak kering cepat-cepat ia berkata “Oh, maaf Bukan” ujarnya langsung menelungkupkan kedua tangannya ke dada menundukkan hormat seakan ingin menunjukkan harga dirinya sebagai seorang gadis baik-baik. Tapi om-om itu masih saja merayunya dengan kata-kata yang menjijikkan hingga ia berteriak.

“Hei belang!! mau aku potong kemaluanmu apa?” teriaknya keras menyebabkan dua orang lelaki yang lewat pun kaget menoleh kea rah Chika

“Plash!!!” sedan itu melaju cepat

“Ada apa mbak??” sapa seorang lelaki menghentikan sepeda motornya melihat teriakan Chika pada mobil sedan yang sudah kabur.

“Oh, nggak apa-apa mas” jawab Chika nyengir menahan rasa malu dan takut

“Hati-hati mbak, sudah malam. Cepat pulang, jangan jalan sendiri lewat jalanan ini agak rawan” pesan lelaki itu dan kembali pergi

Chika hanya nyengir menahan rasa ngilu. Ia menepuk-nepuk dadanya keras, menahan deg-degan serta gemetar panas dingin.

"Bagaimanapun, ternyata perempuan itu butuh tempat berteduh" pikirnya menggeser persepsi tidak butuh lelaki yang selama ini ia tanamkan kuat-kuat. Ia bahkan lupa dengan maag nya yang makin melilit dan bekas luka yang nyeri bukan main mempertahankan tas ranselnya yang ia bawa selama puluhan kilometer. 

Tak jauh dari itu tampak tiga orang lelaki berpawakan tinggi besar berjalan menuju ke arahnya sempoyongan dengan membawa botolan-botolan kecil di tangannya. Lagi-lagi jantungnya berpacu semakin cepat, rasanya ingin menjerit atau lari sekeras mungkin. Tapi ia sudah tak sanggup lagi lakukan itu, hingga tiba-tiba ingat kata seorang teman, bahwa orang-orang seperti itu sebenarnya terlalu lemah.

Dengan sekuat tenaga, gadis itu berjalan cepat melintasi ketiga orang itu tanpa pedulikan lirikan dan tawa mereka. 

Begitu agak jauh dari mereka, Chika menghela nafas sembari menahan bekas luka jahitannya mendengarkan pikirannya yang riuh.

"Jangan buat angkat berat-berat dulu ya mbak" suara perawat itu masih terngiang betul.

“Oh... Apa baiknya aku tinggal di kost Rendra kah?” pikirnya yang spontan membayangkan harus balik arah, sementara tenaganya hampir putus.

"Tapi bagaimana jika ketahuan Kak Izack?" pikirnya

“Ah!!”

Tak terasa ia mulai merasakan gemetar hebat menjalar dari kedua kakinya hingga punggungnya terasa panas dingin bercampur mual dan pandangan berkunang-kunang. Kecuali air kran masjid tadi yang terasa segar, ia bahkan lupa mengganjal perutnya sejak pagi tadi menelusuri jalanan kota yogya sembari mengingat-ingat jalanan menuju Rumah Singgah yang kira-kira 15menit jika naik kendaraan.

"Dimana kamu sekarang, Ren?" gerutunya kesal menyentuh screen smartphone yang sudah kehabisan daya, begitu melihat dua orang pemuda gondrong mirip Rendra duduk dalam tenda angkringan.

Di kota ini, entah sejak kapan angkringan itu mulai berubah jadi kedai kopi atau cafetaria dengan bandrol makanan ringan yang tentu jauh lebih mahal karena tampilan fisik yang lebih menarik dan katanya serba fresh.

“Teh hangat satu, Mas” pinta Chika segera duduk di bangku panjang. Ia melongok keranjang gorengan yang kini telah ditumpuk jadi satu dan tak tersisa satu pun.

Dua orang lelaki yang tengah asyik ngobrol, tiba-tiba saja berhenti begitu kedatangan Chika. Keduanya berbisik lirih seperti tengah membincangkan dirinya, yang sesekali curi-curi pandang memastikan wajah di layar smartphonenya.

“Malam-malam begini mau kemana Mbak?” tanya si penjual itu melihat ranselnya yang tampak berat.

“Istrinya Kak Izack ketua umum AMI kan, ya mbak?” cletuk dua orang lelaki itu menyela,

“Hemm?!” Chika mengangkat alis

“Haha... kamu salah orang mas” tawa Chika lebar seakan ingin mengalihkan suasana 

“Mau kemana mbak?” tanya mereka lagi

“Baru datang dari rumah,” jawab Chika sekenanya

“Oh...” jawab mereka tersenyum ringan seakan tidak percaya.

Begitu segelas teh lenyap dari mulutnya, Chika mulai merasa tidak enak begitu mendengar lelaki itu keluar menelpon seseorang yang sepertinya ditujukan pada dirinya. Buru-buru ia keluar demi menghindari pertanyaan lain dari mereka, sebelum akhirnya telephon itu diputus.

“Darimana juga mereka tahu aku ini istrinya Kak Izack?”

“Haduh?!! Benar-benar memalukan,” gerutunya ngeluyur cepat seperti ingin lari menghilang

Sejak itu pikirannya kian berkecamuk kemana-mana terpikir berbagai kemungkinan terburuk dari dua orang lelaki itu. Bahkan kini dengan sisa-sisa tenaganya, ia mulai menggertakkan otot-ototnya seakan siap beradu.

“Beem-beem!!”

Spontan Chika meloncat, ia hendak naik ke atas trotoar. Tapi tenaganya benar-benar sudah habis dan menggerutu kesal.

“Beem-beem!!” bunyi klakson berkali-kali di belakangnya membuat ia berjalan menepi. Bahkan pikirannya yang riuh semakin gaduh mendengar suara klakson motor yang nyaris memecahkan gendang telinganya.

Saking tak tahannya dengan suara klakson, spontan dibantingnya tas ransel dengan sekuat tenaga. Ia melotot kesal seakan menantang pengendara motor di belakangnya. 

“Hei Bung!” teriak Chika bersungut-sungut dengan sisa nafasnya tersengal-sengal.

Begitu lelaki itu membuka helm, tubuhnya mendadak terbius. Berkali-kali ia membenjatkan matanya yang mulai kabur, tapi senyuman itu justru makin mengembang.

“Ayo pulang,” sapa Izack seakan menyurutkan bara api yang hendak kembali terbakar.

Saat itulah ia melihat matanya berkaca-kaca hingga menitikkan air mata deras dan limbung terpekur menekuk kedua lututnya menangis kesal.

Chika masih belum percaya sampai lelaki dengan celana jins biru gelap dan sweeter merah hati itu turun dan memungut ransel yang dibantingnya. Perlahan namun pasti ia berusaha menahan tangisnya hingga nafas pun mulai terasa mencekat tenggorokan. 

Seperti selesai bertarung, nafasnya tersengal-sengal melawan emosinya yang nyaris saja meledak. Sementara Izack hanya mengembangkan senyumnya dan jongkok persis di depan gadis dengan wajah kini tampak tirus dengan kantung mata gelap dan cekung. Gadis itu sudah tak bisa membendung rasa kesal dan letih luar biasa membuat punggungnya terguncang hebat oleh tangisnya.

“Syukurlah istriku masih bisa menangis” ujar Izack membelai dan menyibakkan rambutnya yang kini tergerai lepas dari karet kucirnya.

“Siapa yang nangis?” elaknya menghapus air mata

“Sudah makan?”

Chika menggeleng yang membuat Izack hanya tersenyum lebar.

“Ayo makan dulu” katanya sembari berdiri mengangkat dua tas ransel itu. Tapi begitu diangkat

“Breee…ttt!!” suara tas itu robek hingga memuntahkan semua isinya yang memperlihatkan semua baju dan pakaian dalamnya yang usang serta buku-bukunya yang ketekut-tekuk.

Bukan main wajah Chika terasa dicambuk malu. Ia langsung meraup semua barang-barangnya dan merebut ransel yang masih dalam gendongannya membuat sorot matanya tampak sedih melihat pemandangan pakaian usang istrinya.

Biasanya cewek di luar sana ketika taraf hidupnya sedikit meningkat, ia sudah merubah semua penampilannya. Tapi apa yang terjadi dengan istrinya ini diluar dugaan. Ia tidak berubah sama sekali. Ia kira ketika meninggalkan semua pakaian yang dia beli waktu di Jakarta bakal membeli baju lagi dari kartu debit yang dia bawa. Tapi ternyata…

“Apa sebenarnya yang dipikirkan gadis ini?” pikir Izack menatap wajah Chika yang tengah memunguti barang-barangnya.

“Breee…ttt!!” lagi-lagi tas itu robek saat direbut Izack. Chika tampak putus asa dan kesal, ia menahan suara tangisnya sembari menekan semua barangnya masuk, namun yang terjadi robekan tas makin menganga.

Mata Izack yang bulat dan besar seakan tengah memburu sesuatu di tiap sudut kota yang mulai redup dan sepi. Barangkali masih ada satu-dua toko tas yang masih buka.

“Tunggu di sini dulu, jangan kemana-mana” katanya segera menggeber motor tancap gas.

Pandangan berkunang-kunang, perut mual disertai keringat dingin yang mengucur dari pelipis serta entah bagaimana melilitnya lambung itu memelintir usus nyaris saja sudah tak terasa dibanding keseimbangan tubuhnya yang nyaris limbung. 

Sementara angin malam yang sesekali menyapu badan jalan di depannya serasa kian membekukan tubuh kurusnya. Lalu lalang kendaraan pun mulai sepi, bahkan beberapa menit badan jalan itu tampak lengang dari kendaraan yang melintas di atasnya.

Entah berapa lama kemudian sayup-sayup terdengar suara motor dari jauh yang digeber dengan kencangnya dan perlahan berhenti tepat di depannya. Chika hanya bisa melihatnya sejenak dan jongkok terpekur lemas mendekap dua ranselnya.

“Masukkan sini aja” katanya sembari meletakkan travel bag itu tepat di depannya dan membiarkan gadis itu menatanya sendiri.

Tapi belum sanggup ia menata, tiba-tiba telinganya mendenging lama dengan tubuhnya yang dingin dan bibirnya yang pucat tiba-tiba.

“Brukkk!!!” tubuhnya jatuh tersungkur

"Chika?! Chik..!" 

Izack menekan beberapa tombol di smartphone hingga datang ambulance dan beberapa orang temannya. Orang mulai ramai berdatangan. Bahkan beberapa teman AMI segera berdatangan.

"Tolong bereskan, nanti bawa saja ke rumahku. Ini kunci motornya, kembalikan ke bang Hendrik"

"Oke Bang, siap" sayup-sayup Chika mendengar suara itu dengan tubuhnya yang tak bisa digerakkan lagi. Ia sadar tubuhnya tengah digeladak masuk ke dalam mobil putih. 

"Terimkasih informasinya dek," ujar Izack

"Sama-sama Bang,"

"Anak mana?"

"Veteran, Bang"

"Oke, kapan-kapan kita ngobrol deh sepertinya" ujar Izack yang membuat dua orang Mahasiswa itu senang bukan main, sembari masuk hingga terdengar suara pintu ambulance ditutup dan kesadarannya kembali hilang.

Waktu seakan cepat bergerak dan sunyi saat ambulance itu meninggalkan lokasi itu diiringi Izack mengikuti dari belakang ambulance.

 

@@@

 

Dua jam kemudian

 

Saat mata kembali terbuka, ia sadar mendapati dirinya dalam sebuah ruangan dengan botol infus yang tergantung di atasnya terhubung dengan selang di pergelangan tangan. Melihat wajah lelaki di seberang bed nya tertidur pulas ia merasa bersalah atas kejadian beberapa hari yang lalu saat ia meninggalkannya di pagi buta saat ia masih terlelap.

Hidungnya yang mancung dengan kulitan cukup tebal namun tampak halus cukup sempurna dengan alis matanya yang tebal dan kelopak matanya yang besar. Jika dilihat dengan teliti, sebenarnya ia tampak biasa-biasa saja, tapi entah dari sisi mana orang-orang mengatakannya jika ia adalah lelaki tampan.

Perlahan tangan kirinya melepas cungkup oksigen yang menutup mulut dan hidungnya. Kini ia merasakan nafasnya kembali normal sekalipun masih terasa pusing saat harus mengambil posisi duduk. Izack yang terbangun kaget mendapati istrinya hendak bangkit dari tidurnya, ia membantu menekan tuas bed otomatis hingga bed itu menekuk dalam posisi duduk.

“Gimana? Mau minum?” tanyanya

“Kenapa nggak tidur di sofa saja, Bang?” suaranya lirih

Ia beranjak mengambilkan segelas air putih dan membantu meminumkannya hingga gelas itu kosong, namun ia masih berdiri terpaku menatap wajahnya lekat-lekat.

“Apa salahku, kenapa menatapku seperti itu?”

Izack tetap diam menatap lama dengan matanya yang bulat dan besar tampak tajam dengan kerutan diantara alis matanya yang tebal.

“Masih merasa nggak bersalah?”

Chika hanya nyengir tidak enak dengan peristiwa kepergiannya tanpa pamit waktu di Apartemen.

“Maaf… kalau aku pamit, pasti bakal nggak kamu ijinkan”

Izack tampak bingung dengan arah pembicaraannya, tapi paham kemudian dan tersenyum geli.

“Kualat kamu,” senyumnya geli membuat lirikan mata Chika tampak kesal

Lelaki itu masih saja berdiri dengan pandangannya kembali tajam.

“Kenapa ada kejadian seperti ini tidak langsung ngomong ke aku? Atau… seribu satu cara untuk tidak pergi dulu dari kost? Sadar kalau organ dalammu baru saja di repair

Chika merasa kecele dan nyengir menampakkan gigi-giginya yang putih kecil masih rapi.

"Sudah aku ingatkan kemarin, tidak banyak gerak dulu"

"Eh...? nekat bawa tas ransel"

"Kalau sampai terjadi sesuatu, harus dibedah lagi, penyembuhan lebih lama lagi" baru kali ini ia mendengar lelaki ganteng itu ngomel-ngomel dengan nada khawatir.

"Iya Bang, maaf.." Chika risih mendengar lelakinya berisik

“Kemarin kan aku sudah bilang kalau urusan Skripsi bisa kamu kerjakan di Jakarta, KKN diundur dulu semester depan. Nanti kalau butuh sesuatu aku kontak ke teman-temanmu untuk minta tolong”

Perlahan namun pasti, ia menggigit bibirnya sambil perlahan tertawa nyengir kesakitan.

"Puas?!!" cletuk Izack kesal membuat Chika nyengir kesakitan dengan matanya berkaca-kaca berusaha kembali ia telan.

"Nangis saja kalau ingin menangis"

"Siapa juga yang mau nangis" tawanya getir hingga segelintir air mata membasahi pipi.

Izack tersenyum geli sembari menyeka air matanya "Kamu ini benar-benar keras kepala" 

"Sama biaya Rumah Sakit untuk saat ini, fix kamu harus melunasi hutangmu" lagi-lagi Izack menertawakan istrinya yang disambut suara tangis dan tawa bercampur aduk jadi satu.

"Hadeuh gadis kecilku… jadi tambah gemes sama kamu" cubit pipinya 

"Aku kasih trik, kalau mau lunasi semua hutangmu" tawa Izack terkekeh

Chika menarik nafas kesal "Kenapa ini orang nggak perasaan sekali bicarakan hutang pada orang yang sedang sakit" pikirnya

"Turuti semua perintahku selama 1 tahun"

"Mending kerja, daripada jadi pembantumu" 

"Ya sudah, kalau begitu kembalikan uangku" suaranya mendadak serius berat karena hingga hari ini ia belum mengerti bagaimana karakternya yang dianggapnya lemah namun ternyata keras kepala.

"Ehh... tunggu-tunggu!"

“Apa saja?"

"Lakukan pekerjaan layaknya seorang istri pada suami"

"Asalkan nggak yang aneh-aneh"

"Aneh? misalnya?!" Izack mengulum tawa geli melihat raut wajah imutnya bingung campur malu mengalihkan pandangan matanya.

"Chika... Chika, orang yang masih pacaran saja bisa bangga bilang begitu. Kita yang sudah nikah kok jadi aneh"

Lagi-lagi Izack tak tahan melihat wajah polos Chika yang mencari-cari pengalihan perhatian, ia mencuri ciuman di bibirnya sekilas membuat gadis itu kaget. Lelaki itu tersenyum lebar melihat ekspresinya seperti anak bayi yang terkejut. 

"Nah, semoga sesegera mungkin punya anak" tawa Izack geli  

Raut Chika yang lumer sesaat dengan ciuman, mendadak tampak kaku dan mengusap bibirnya bekas ciuman lelaki yang dianggapnya sebagai playboy "number wakhid" 

"Sialan! kenapa juga aku jadi terperangkap rasa suka dengan orang ini?" pikirnya yang kali ini lebih berani menatap

"Sudah berapa puluh gadis yang pernah kamu cium, Bang?" ujar Chika datar membuat ekspresi Izack tertusuk dan menarik nafas dalam.

"Aku dengar ada gadis cantik anak mentri, lulusan luar negeri yang bakal menjadi istrimu?"

Kali ini Izack membuang muka dan kembali menghadapkan wajahnya dengan menarik nafas kesabaran penuh. "Kamu dengar dari siapa?"

Chika diam menatap lekat-lekat.

“Apa karena kata Mama memintamu untuk menjagaku sebagai seorang istri?" tanyanya lagi

"Bukankah itu wajar karena kita suami istri?"

Chika membuang muka kesal

"Bang, coba pikirkan andai kamu ada dalam posisiku"

"Tidak punya keluarga, paman pun keluarga kere, bahkan aku bisa sekolah di sini saja sudah banting tulang siang malam”

“Lalu tiba-tiba saat aku mau lulus disuruh melayani kamu?"

"Betapa menghinanya dia menganggapku sebagai seorang Babu"

Spontan Izack bengong dan tertawa cekikikan membuat Chika meriut bingung "Jadi seperti itu pikiranmu?" pikirnya mampet glagepan. 

"Chika, kamu sadar aku ini siapa?"

“Seorang CEO?”

"Apa peduliku?"

“Tidak, tidak!! maksudku…”

“Ya! Anak haram yang dengan bangga mampu melewati masa kritisnya dan ingin mengatakan pada gadis miskin sepertiku “Hey! Lihat, contohlah aku”

“Begitu, kan?” Izack menelan getir sikap keras kepala gadis di depannya. Ia duduk dan diam menelan seribu kesabaran di udara.

“Maksudku, kamu tahu bagaimana aturan berkeluarga di masyarakat kita kan?"

“Bagaimana harusnya seorang istri menjaga stabilitas suaminya”

"Aku nggak peduli," nadanya ketus membuat raut Izack berubah seketika

"Oke, cukup" ujarnya beranjak bangkit

"Kalau kamu niat ajukan gugat cerai ke pengadilan agama, silahkan saja. Aku akan menunggu dan menuntutmu balik" suara Izack kali ini benar-benar terdengar kesal dan sengit.

"Jangan lupa tolong siapkan uang 200 juta untuk semua. Saat ini perusahaan juga sedang butuh uang" Ujarnya segera bangkit dari tempat duduknya dan keluar.

"Bang! Bang!! Tunggu!!" panggilannya tak digubris dan kaget dengan pintu yang kasar ditutup

“Kenapa hanya dengan kata-kata seperti itu saja sudah marah beneran?”

Chika diam dan bengong dengan kata-katanya yang kasar hingga perasaannya kembali gusar. Tapi mendengar pintu diketuk ia sudah lega. Namun begitu yang dilihatnya Heni, Hendrik dan teman-temannya, spontan rautnya mencelos. 

Sepanjang obrolan ia benar-benar tampak kalut berpikir uang sebanyak itu harus dapat darimana sementara hutangnya di Bank masih kurang 1tahun lagi. 

Melihat wajah Chika, Hendrik merasa mereka dalam masalah

“Kemana?” tanyanya penuh isyarat

“Kamu nggak ketemu tadi?”

Hendrik menggeleng

“Lagi ada masalah?”

Chika diam tak menjawab yang hanya dijawab dengan tarikan nafas Hendrik

“Chika… Chika”

“Aku tahu kamu itu cewek mandiri”

“Tapi tolonglah berempati sedikit saja dengan kerja keras Izack selama ini untukmu”

“Meninggalkan pekerjaan dan urusan organisasi selama seminggu bagi seorang pimpinan perusahaan dan ketua umum organisasi Mahasiswa sebesar AMI disaat ada banyak masalah yang harus diselesaikan itu berat loh…”

“Berapa banyak dia dihujat anak-anak AMI se Indonesia gara-gara itu, dan dia membersihkan berita itu hanya karena takut kamu tahu”

Chika menelan saliva seakan tertusuk. Tapi tak bisa dipungkiri, ia pun sebenarnya merasa sakit hati dengan kata-kata ibunya yang seakan mencencang dirinya agar tidak pergi jauh-jauh dari Izack.

“Tahu nggak sih, beberapa hari yang lalu katanya dia baru keluar dari Rumah Sakit”

“Sakit apa?” tanyanya kaget

“Nah, malah tanya”

Tatap Hendrik dalam

“Dia itu tulus mencintaimu, Chik..”

“Kalau kamu sering membuatnya kecewa, aku khawatir akan menyesal saat dia sudah benar-benar tak mau melihatmu lagi” kata Hendrik yang spontan membuat nyali Chika menciut

“Dia itu lelaki idaman para cewek. Tapi kamu yang dikejar-kejar dia, benar-benar melelahkan” ujar Hendrik seakan membungkam mulut Chika

“Tolong pikirkan ulang,”

“Seorang perempuan itu mempunyai peran penting dalam kesuksesan seorang lelaki”

“Ketika nama dia terangkat, sudahlah… keinginan apa yang tidak bisa kamu raih?”

“Bahkan hari ini, banyak cewek di luar sana yang iri dengan posisimu”

Melihat seniornya ngobrol serius dengan Chika, mereka yang duduk di sofa ngobrol sendiri mendadak terdengar sepi seperti sedang menyimak kata-kata Hendrik.

Begitupula dengan tatapan mata Heni yang tajam tak suka, ia merasa bersalah dan menundukkan pandangannya hingga mereka pun kembali ngobrol dan mereka pamitan pergi sebelum akhirnya Izack kembali datang dengan membawakan makanan ringan.

 

@@@

 

Malam berganti pagi, lelaki dengan rambut disasak rapi itu masih duduk di sofa dengan mata yang tak pernah berpindah dari layar monitor laptopnya.

Saat perawat datang di jam 05.30, hingga visit dokter di jam 09.30, Izack tetap tak berkutik dari layar monitornya sambil beberapa sibuk mengangkat telphon atas kiriman surel ke orang di ujung telphonnya.

Beberapa kali ia berusaha mencari celah untuk bicara, tapi lelaki itu benar-benar sudah tidak menggubris keberadaannya lagi. Bahkan keberadaanya benar-benar sudah tidak dianggap.

"Bang,"

“Aku… minta maaf sama kata-kataku kemarin” ujar Chika berat dan dalam

"Toh pada akhirnya memang akan seperti ini, kita tidak sekufu seperti yang Mamamu harapkan dalam kehidupanmu" ujarnya

Chika menarik nafas perlahan

“Adanya aku berusaha mengangkat harga diriku. Aku ingin, mereka melihatku sebagai perempuan  yang punya kemampuan”

Izack menuliskan selembar notes yang ia tempelkan di kulkas dan buru-buru pergi tanpa pamitan. 

Saat itu pula perasaan Chika seperti terjun bebas dari ketinggian tebing hingga setitik air mata jatuh berderai membasahi bantal yang ia gamit.

Ia penasaran dengan tulisan yang ditempel suaminya, ia bangkit dan berdiri melangkahkan kaki menarik notes yang ditempel.

   

Jika hanya itu yang perlu aku dengarkan di sini, aku pulang ke Jakarta. Masih banyak urusan lain yang lebih penting.

  

Hari menjelang sore, Izack belum muncul juga. Kecemasannya kembali naik hingga panik di saat dokter mengatakan dirinya boleh pulang. Ia tidak tahu bagaimana membayar tagihan Rumah Sakit dengan ruangan sekelas VIP. Saat perawat kembali masuk membantu melepas semua peralatan, kepanikannya makin bertambah membayangkan bagaimana ia harus membayar tagihan itu. 

"Kemarin itu suaminya mbak?" tanya dua orang perawat yang membantu Chika melepaskan infus

"Keren ya mbak... ganteng, sabar, baikan pula"

"Beruntung sekali punya suami seperti itu mbak" ujarnya lagi

Chika hanya tersenyum getir. Ia merasa tulang-tulangnya seakan rontok mendengar pujian suaminya yang sepertinya bakal menceraikannya dalam beberapa jam mendatang.

"Nanti mbaknya pulang sama siapa?"

"Sendiri"

"Loh? suaminya?" tanyanya seakan menahan Chika yang hendak turun dari bed

"Dia ada urusan penting dengan pekerjaannya"

"Oh..”

"Okey.. sudah selesai mbak... bisa buat jalan, tapi pelan-pelan ya.. jangan buat angkat berat-berat dulu" pesan singkat perawat

Sore itu langit mulai tampak mendung. Chika yang sudah terbiasa mandiri, tidak merasa heran ataupun berat dengan kondisi sendirian pasca keluar dari Rumah Sakit sekalipun jika dirasakan, masih belum fit 100%. Sementara Izack hanya mengamatinya dari kejauhan saat ia berdiri di depan pintu keluar Rumah Sakit.

“Ohh.. syukur ya Allah… aku masih diberi waktu untuk bisa melihat awan lagi” gumamnya lirih mendongakkan wajah yang tampak tirus.

Saat ia keluar dari Rumah Sakit, Izack mulai mengikutinya dari jarak beberapa meter di belakangnya. Tak lama kemudian bunyi ponsel dalam genggamannya kembali bergetar. 

"Bang, ternyata yang membuat skandal buruk kekasihmu di kost itu teman dekatnya"

"Siapa?"

"Heni,"

"Oh,” jawabnya “Sudah tahu aku, kalau dia”

“Apa motifnya"

"Nggak suka aja,"

"Tapi katanya ada hal lain yang membuat dia baikan sama kekasihmu"

"Kenapa?"

"Karena kamu pendekatan sama dia"

"Jadi kalau boleh aku simpulkan, berita dia anak komunis nyebar di kost putri itu karena mulut Heni"

"Ok, baiklah. Trimakasih infonya Zin"

"Sama-sama Bang"

Sedikit lengah, Chika terlanjur masuk ke bus trans. Izack segera mencegat ojek driver yang tengah mangkal di depan halaman rumah sakit

"Tolong ikuti bus itu pak"

"Ya mas"

Entah berapa kali bus itu berhenti di Halte, tapi Chika tak turun juga.

"Kali ini mau kemana kamu, Non...?" pikir Izack dengan mata tetap awas mengamati tiap kali penumpang turun dan masuk halte. Hingga bus itu masuk ke Terminal, Izack segera turun mengikuti langkah Chika dari jauh.

Gadis itu kembali masuk Bus Antar Kota- Antar Provinsi, diam-diam Izack mengikutinya dan duduk di jok pojok paling belakang.

"Seperti apa sebenarnya kehidupanmu?" pikir Izack penasaran

Saat kondektur meminta tiket, Izack menyuruh ke tempat gadis rambut panjang pirang itu dulu, dan berjanji akan membayar double, tapi tidak boleh mengatakan kalau dia yang membayarkan. Kondektur itu sepakat.

Bus baru terisi separo dari kuota tempat duduk keseluruhan. Begitu tiba, giliran Chika ditanya kemana, ia menjawab Wonogiri.

Tapi Chika merasa aneh dengan tiket yang diberikan, ia tidak langsung diminta uangnya. Berulangkali Chika tanya, tapi si kondektur Bus pura-pura tak mendengar. Hingga beberapa saat kemudian ia menoleh ke belakang, memastikan barangkali ada orang yang dikenalinya. Tapi Izack yang lebih tinggi badannya sengaja menenggelamkan tudung topinya di antara deretan jok kursi bus paling belakang.

Saat kondektur kembali ke belakang, Chika berusaha memanggilnya. Tapi tetap saja tak dihiraukan.

Kondektur itu mulai senyum-senyum mendekati Izack dan memberikan jumlah tagihan tiket yang harus ia bayar. Izack langsung membayarnya. 

“Cewekmu ya mas?”

“Hm, iya Bang..”

Hari mulai gelap saat Bus tiba di kota Wonogiri. Si Kondektur sengaja membangunkan Izack yang telah tertidur "Mas, mbaknya sudah mau turun itu"

Izack cepat-cepat berdiri di depan pintu paling belakang.

Begitu Chika turun, Izack pun ikut turun beberapa meter darinya. Saat itu Chika berjalan pelan seakan ingin menikmati kesendiriannya lagi. Ia merasa dirinya seperti sedang dimainkan oleh takdir yang tak pasti. Ia berhenti sebentar masuk ke sebuah toko untuk membeli keperluannya, termasuk mie instan dan beberapa makanan ringan. Izack berhenti beberapa meter darinya sembari memeriksa pesan masuk di ponselnya. Tapi rupanya ia terlalu lengah dengan kondisi yang sepi. Saat Chika keluar dari toko terkejut saat dua pasang mata itu saling berpapasan menatap satu sama lain.

“Kamu, Bang…” Chika melongo membuat Izack gelagepan bingung memposisikan dirinya yang berdiri di bawah tiang lampu PJU membaca beberapa pesan yang masuk.

Waktu sejenak seakan terhenti. Izack bingung mencari-cari alasan, sementara Chika masih belum percaya lelaki itu ada di sana.

“Ada apa kamu di situ?”

“Eh..”

“Janjian sama teman”

“Oh..” jawab Chika masih belum yakin sambil berjalan meneruskan langkahnya

“Punya teman di Wonogiri?”

“Hm,”

“Kamu sendiri ngapain juga keluar Rumah Sakit sampai sini?”

Chika melongo bingung hendak menjelaskan. Keduanya seperti orang yang sedang naksir satu sama lain, hingga suasana kikuk pun menyelimuti hingga Chika pun mengembangkan senyumnya membuat Izack bingung.

“Selama beberapa minggu bersamanya, baru kali ini aku bisa melihat senyumnya yang tulus” pikirnya sambil memberanikan diri jalan menuju tempat dimana Chika berdiri

“Kamu tahu kan, aku ini kelahiran sini”

“Oh.. terus??”

“Ya pulang lah”

“Ke rumah orang tuamu?”

“Hm,” jawab Chika blak-blakan

“Lewat sana?” tunjuknya pada jalanan sepi yang masih berupa perkebunan dan persawahan yang luas

“Kenapa nggak naik ojek aja?” katanya yang hanya digelengkan Chika

“Aku lagi ingin jalan kaki aja, sendiri”

“Nggak takut?”

“Siapa yang mau culik cewek miskin jelek sepertiku, Bang”

Sembari memasukkan kedua tangannya ke kantong celana, ia menarik nafas dalam seakan ingin menghirup udara segar malam itu sekedar mengambil sejuta kesabaran untuk meyakinkan gadis yang dicintainya ini cantik luar dan dalam.

“Kalau jelek, mana mau aku menikahi kamu?” ujarnya lirih yang nyaris tak terdengar

“Ayok!” kata Izack berjalan lebih dulu membuat lirikan mata Chika aneh dan bingung

“Terus temanmu?”

“Gampang, nanti” jawab Chika bingung menebak-nebak mengikuti Izack yang berjalan mendahuluinya

“Kamu benar ada janjian sama teman?”

“Hm,” Chika masih berpaling mengamati mimik wajah Izack

“Bukannya kamu bilang mau pulang ke Jakarta?”

“Hm, tapi di jalan tadi ditelphon teman diajak janjian ketemuan di sini”

Chika manggut-manggut kembali melirik curiga.

“Hm, sebegitu pentingnya pekerjaan di matamu… Sampai-sampai Istrimu kamu tinggal di Rumah Sakit” pikir Chika kesal.  

“Hebat ya, dari arah Barat mau-maunya putar balik arah ke Timur, jauh” ujarnya dengan segaris senyuman mewarnai bibir tipisnya

“Kenapa?” tanya Izack balik sambil tersenyum mendongakkan wajahnya ke angkasa

“Ah.. aku lebih capek mengikuti apa maumu daripada mengurus pekerjaan” ujarnya tenang setengah ragu hendak merangkul pundaknya, tapi ia kembali menurunkan tangan dan memberanikan diri menggenggam tangan yang hanya dibiarkan gadis itu hingga keduanya saling berpaling dan tersenyum.

“Ternyata jalan kaki di malam hari itu menyenangkan juga ya?”

“Hahhh… kamu, Bang” cletuk Chika seakan ingin mengingatkannya dua hari lalu yang spontan disambut tawa Izack

“Itu kualat, namanya”

“Pulang nggak pamit, tahu-tahu diusir”

Chika tertawa ngikik membayangkan kebodohannya dan kesialannya diusir pak kost.

“Puas??”

“Mau dicoba lagi?”

Kali ini Chika belajar mengalah dan membiarkan dirinya ditertawakan lelaki yang sudah beberapa kali menyelamatkan hidupnya.

“Ya! Setidaknya aku menjadi bagian dari kehidupannya saja sudah lebih dari cukup” pikir Chika berusaha mengalah

“Ah… seberapa keraspun aku berusaha melindungi diriku sebagai seorang perempuan, tetap saja bisa mati kutu jika ketemu om-om mesum di jalanan atau pemabuk di pinggir jalan”  

Malam itu udara terasa ringan. Hampir tidak ada sehelai angin pun yang lewat. Melihat gerak bulan keemasan di langit yang gelap, Chika menarik nafas dalam teringat kemarin saat ia nggembel di jalanan.

“Andaikan aku nggak menjemputmu malam itu, mau kemana kamu?”

“Pulang kemari lah”

“Aku benar-benar capek dengan kehidupanku yang seperti roller coaster” jawab Chika yang hanya diamati Izack.

“Seandainya kamu mau mengikuti perkataanku, mungkin tidak serumit itu masalahnya, Non”

Chika menarik nafas kesal. Tapi ia sadar tidak akan merusak suasana itu lagi hingga ia memilih diam dan mengalah mendengarkan kata-kata Izack sepanjang jalan.

Begitu sampai di tengah perkampungan, Izack kaget saat mengikuti langkah Chika menerobos masuk semak belukar gelap dengan dinding pagar batu setinggi dada orang dewasa yang mengitari semak belukar tersebut.

“Nggak salah, kamu?” kata Izack sempat menarik ujung kain hem hentikan langkahnya sejenak, namun Chika terus saja berjalan menapaki jalan berupa bebatuan yang ia terangi dengan senter Hp.

Dalam beberapa langkah kemudian ia terkejut melihat bangunan rumah tua dengan pondasi tembok terlihat kokoh dari bebatuan yang sengaja dibuat ornament lekukan, sementara tinggi dinding kurang lebih tujuh meter dari tanah.

Izack sempat terpanah dengan bangunan tua yang tampak megah dan kokoh ala bangunan Belanda. Ia tidak menyangka, gadis yang mengaku dirinya miskin ini punya keluarga di luar dugaan. Izack juga mengira bahwa Chika ini benar-benar miskin, mengingat bagaimana keadaan dan rumah pamannya yang seperti itu.

“Siapa kamu ini sebenarnya?” pikir Izack mengamati sosok Chika dari belakang yang tengah kesulitan membuka pintu.

Ia menyusul Cika menaiki tiga anak tangga yang lebarnya sekitar 1,5m, dimana pembatas tangga itu menempel jadi satu dengan dinding ruang utama yang terbuat dari jendela kaca berbingkai kayu kotak-kotak selebar 5m x 2,5m. Begitu pintu dibuka, seperti sudah hafal betul Chika berjalan dalam kegelapan ruangan dan menyalakan saklar lampu bohlam kuning keemasan di atapnya yang tinggi.

“Wow?!!” Izack tertegun dengan luas dan tingginya ruangan.

Ada lima pintu utama dengan kusen setinggi 4m dan dua daun pintu se lebar 1,5m. Dua pintu utama di kanan ruangan, dan dua pintu utama di kiri yang salah satunya pintu masuk, dan satu pintu lagi dengan lebar kurang lebih 3,5m dengan dua daun pintu. Sebelum membuka pintu itu, ia menyalakan saklar hingga saat pintu terbuka, tampak ruangan kedua yang tidak begitu luas dibanding ruang utama. Lampu bohlam kuning keemasan itu sesekali berkedip-kedip seperti hendak mati, membuat wajah Izack tegang sejenak memandangi sudut-sudut ruangan. Chika menarik kursi dan tersenyum ringan seakan menertawakan suaminya yang terlihat khawatir.

“Biasanya rumah yang ditinggalkan lama bakal jebol atau banyak sekali kotoran”

“Aku masih sering datang kemari, Bang” ujar Chika santai

“Tapi biasanya saat malam begini, dimana orang tidak ada yang tahu”

“Oh…”

“Hngg??!”

“Kenapa?!” Izack mengernyit aneh

“Kapan-kapan saja ceritanya,” jawabnya meletakkan bungkusan plastik yang berisi makanan ringan dan menarik kursi seakan menghela nafas lelah setelah berjalan jauh. Sesekali ia menekan perutnya terasa nyeri, tapi sesekali ia tampak menarik nafas dalam dan menghempaskannya perlahan sembari meneguk sebotol air mineral. 

Izack tak bisa mengelakkan kekaguman bangunan tua itu yang masih terlihat kokoh dan kuat, baik dinding maupun kayu-kayunya. Ia mengikuti Chika membuka pintu dapur yang ternyata di belakang adalah ruangan terbuka, dengan di samping kanan terdapat seperti kamar-kamar, yang tampaknya itu Gudang dan kamar mandi tua.

“Kamu nggak takut masuk sini sendiri tengah malam?” tanya Izack terheran-heran yang lagi-lagi memperhatikan kaki Chika barangkali tidak menapak, dan ia bukanlah Chika yang dari Yogya karena merasa seperti sedang uji nyali, dan pemandunya adalah makhluk halus.   

“Rasa lapar dan hausku mengalahkan rasa takutku pada dunia hantu, Bang”

“Oakhh…” lagi-lagi Izack hanya melongo memperhatikan gerak-gerik Chika yang terlalu santai. Ia menuruni empat anak tangga mengikuti Chika masuk ke salah satu ruangan yang ternyata itu adalah dapur yang terlihat serem.

Sementara ia hanya senyum-senyum melihat lelaki itu seperti anak kecil yang sedang ketakutan mengikuti kemana saja ibunya beranjak. 

“Kenapa kau senyum?”

“Enggak” jawab Chika sambil berlalu

Izack berusaha membenjatkan mata dan menyadarkan dirinya, barangkali dia tidak sadar diri bahwa itu bukan alam yang semestinya. Tapi ia tak mau menjadi bahan tertawaan gadis itu, hingga ia kembali ke ruang utama di mana ada kursi kayu tua. Namun sebelum memutuskan untuk duduk, pandangan matanya tertuju pada foto-foto yang menempel di dinding, hingga berusaha menajamkan pandangannya di bawah lampu yang remang-remang pada sosok lelaki tua yang tinggi dengan baju keki coklat muda dan seorang lelaki di sebelahnya yang mirip sekali dengan Chika.

“Siapa?” tanyanya saat Chika kembali ke ruang utama dan duduk sebentar sambil meneguk air mineral memandang Izack mengamati foto-foto keluarganya yang tertempel di dinding. 

"Bapak dan kakekku" 

“Oh..”

“Veteran kah?”

“Hm, iya” jawabnya sembari pergi lagi ke dapur

Suasana kembali sunyi senyap saat Chika kembali pergi. Ia agak merinding merasakan suasana ruangan yang kembali hening, ditambah foto-foto tua di depannya seakan hidup dan bergerak dari framenya, hingga diam-diam Izack beranjak pergi meninggalkan ruangan itu kembali menilik Chika yang tengah sibuk masak.

Melihat bungkus mie instan Izack berkecap kesal.

“Kamu itu sebenarnya sudah dewasa, tapi kenapa sikapmu masih kekanak-kanakan?”

“Kenapa marah-marah lagi?”

“Baru berapa jam yang lalu kamu keluar dari Rumah Sakit, masih bisa-bisanya makan mie instan”

Chika nyengir “Nggak ada pilihan lain, Bang”

“Bukankah waktu turun dari Bus, banyak tuh warung nasi?” protes Izack dengan wajah sedikit kesal

“Kelamaan, Bang”

“Ah, alasan” ujarnya kembali pergi dan duduk di meja makan.

Aura di ruangan itu benar-benar terasa pekat, mungkin karena selain usia bangunan juga jarang ditempati.

Setelah mie instan matang Chika membaginya dalam dua mangkok, ia membawanya ke ruang tengah dan duduk tepat di hadapan Izack yang membelakangi pintu belakang. Sementara Chika menghadap pintu belakang yang tampak gelap, hanya satu bohlam kuning keemasan yang remang-remang menyinari depan dapur.

Gadis itu diam seakan tengah merangkum semua kata saat matanya memandang ke arah ruangan-ruangan hingga ruang paling belakang yang isinya kamar mandi dan sumur tua.

Izack masih tampak horror dengan ruangan yang tertutup oleh dinding rak buku, dimana ada tiga pintu yang menghadap meja makan, sepertinya itu kamar tidur. Melihat sorot mata suaminya, Chika hanya tersenyum.

“Kamu takut, Bang?”

“Itu ruangan apa?” tanyanya menuding pada tiga kamar di ruang depan

“Kamar tidur”

“Oh…”

Chika meringis kecut.

“Sejak meninggalkan rumah ini, aku nggak pernah berani membuka pintu kamar itu, Bang”

“Kenapa?”

Chika kembali tersenyum pahit “Di situlah alm ibu dan dua kakakku tewas” jawabnya dengan suara tersendat parau.

“Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin melihat dan bersih-bersih di dalamnya”

“Tapi kebayang tidak kuat mentalku jika teringat peristiwa itu” suaranya terdengar menekan  seakan pecah hingga Izack pun bangkit dan mendekapnya membuat gadis itu spontan menangis sedu sedan di balik kain hemnya.

Malam itu seakan tumpah semua rasa kepedihan yang berusaha ia benamkan dalam-dalam.

“Menangis saja selagi kau bisa” ujar Izack menepuk-nepuk punggung Chika dalam dekapan

 

@@@

 

Pagi hari Chika terbangun dari tidurnya di atas kursi ruang tamu yang warnanya pekat ketutup debu. Saat itu matahari telah memantulkan sinar keemasannya menerobos masuk lewat celah rimbun ilalang di balik pintu kaca yang sedikit berdebu.

Izack yang baru saja membuka mata seketika menawarkan segaris senyuman pada gadis impiannya.

"Bahkan saat kamu bangun tidurpun, kamu tetap terlihat cantik" ujarnya terpesona membuat bibir mungil Chika mencibir seakan menghalau rayuan gombal seorang lelaki yang baru dikenalinya. Tapi kali ini sadar, ia tak ingin kembali merusak suasana seperti kemarin-kemarin. Sekalipun dalam batinnya masih bergemuruh rasa ingin tahu seperti apa latar belakang lelaki di depannya.

Ia beranjak membuka dua daun pintu kaca depan hingga udara segar pun menerobos masuk membawa aroma embun yang menempel di pucuk-pucuk daun rimbun semak depan halaman rumah yang sudah seperti hutan. Izack datang memeluknya dari belakang dan bergelayut manja meletakkan dagu di atas pundak membuat gadis itu sedikit geli saat ia mencium lehernya.

"Maaf, aku tak bisa menyediakan apa-apa untukmu, Bang..." ujarnya seakan mengalihkan perasaannya yang agak berantakan  

"Kehadiranmu lebih dari sekedar apapun"  

"Aku sadar, mulai saat ini aku benar-benar tak bisa lepas darimu" batinnya mendekap erat gadis pujaannya yang terasa sangat kurus.

Chika yang awalnya merasa risih, reflek hendak menghalau pelukan itu, perlahan ia menyadari kebiasaan baru yang harus dibangun dalam hubungan suami istri. Tapi terbayang teman-temannya yang terbiasa berpacaran dengan postur tubuhnya yang jelek tak berbentuk, perasaannya mulai meradang.

“Bang… stop!” pekik Chika menatap tegang hingga keduanya tertawa geli.

“Ya.. ya ya, apapun itu, satu saat aku pasti bakal menakhlukkanmu” pikirnya tersenyum kalah

Chika kembali beranjak keluar dan duduk di anak tangga sembari memandang semak-semak yang hampir saja menutupi halaman rumah tua itu. Dan rasanya tubuh Izack mulai reflek terbiasa mencari sentuhan kulit Chika, dan ia kembali nempel serta memeluknya perlahan membuat gadis itu kembali rileks dan nyaman. Tapi lagi-lagi gadis itu memegang kendali kesadarannya penuh dan melepasnya dengan sangat halus dan perlahan.

“Mau dengar ceritaku, Bang?!”

“Hm,” jawabnya mengangguk sembari menyibakkan rambutnya yang tergerai

"Waktu Mahasiswa dulu, bapak adalah seorang aktivis yang dipercaya oleh almarhum kakek yang mantan pejuang untuk menyimpankan sebagian dokumen negara yang kabarnya itu adalah dokumen penting dari founding fathers negara ini sebelum mereka dijebloskan ke penjara oleh rival politik mereka”

“Hingga satu saat kakek meninggal karena suatu penyakit”

“Saat itu ayah belum menikah dengan ibu”

“Di awal pernikahan ayah dan ibu hingga kami bertiga lahir dan tumbuh menjadi anak-anak, kehidupan kami damai-damai saja hingga pada satu ketika mereka mulai bertengkar hebat hingga membuat kami bertiga ketakutan”

“Hingga di suatu malam, rumah kami digrebek sekelompok orang tidak dikenal satu truk” mendadak suaranya tercekat tersendat-sendat hingga perlahan matanya berkaca-kaca saat ia kembali melanjutkan ceritanya

“Bapak diseret keluar dan diculik oleh sekelompok orang tak dikenal, ibu yang berusaha melawan dibunuh saat itu juga, begitu juga dengan dua orang kakakku” ceritanya seketika menundukkan wajah hingga terguguk menangis sejadi-jadinya yang langsung diraih Izack dalam dekapan. Tapi sebagai seorang gadis yang sudah terbiasa ditempa keadaan sulit dan rumit, membuatnya seketika  mengusap air mata dan melepas rengkuhan lelaki itu.

“Sory ya, aku bukan gadis lemah seperti yang kamu pikirkan” pikir Chika keras kembali beranjak

Izack menarik nafas dalam seakan tengah menata pikirannya bagaimana dirinya harus memposisikan diri.

“Terimakasih sudah mau jujur, aku lebih suka kamu bicara apa adanya”

Chika tersenyum kecut “Aku nggak yakin setelah ini kamu masih berpikir baik kepadaku, Bang” katanya menoleh sekilas yang ditangkap tatapan sendu Izack sambil menarik nafas dalam

“Pantas saja lambung dan ususmu bermasalah, kalau cara berpikirmu seperti itu” ujarnya lagi sambil kembali mendekap erat, meskipun pada mulanya Chika berusaha memberontak dan melepas pelukan itu, tapi tahu bagaimana istrinya selama ini, Izack menekan keras-keras dekapannya hingga tubuhnya terasa lemah dan menangis sejadi-jadinya.

“Menangis saja jika ingin menangis” ujarnya dalam sambil menahan dua kakinya dan menggendongnya masuk

“Ringan betul badanmu,” ujar Izack membuat Chika malu saat dalam dekapannya. Ia menciumnya manis berulangkali membuatnya geli tak bisa berkutik dari kejaran ciuman bibirnya yang ranum.

Ia kembali duduk, dan Chika berusaha mberot duduk sendiri. Tapi Izack menahannya agar tetap dalam dekapan dan pangkuannya.

“Betapa malam-malam aku lewati merindukan dekapan seperti saat ini” batinnya bergejolak membuat gairahnya kembali panas bergelora seakan terus menyerang gadis itu menikmati tiap jengkal lekukan tubuhnya yang bergetar hingga Chika sadar menahan kedua tangan Izack

“Cukup Bang,” ujarnya dengan nafas terengah-engah.

Sebenarnya Izack agak kesal dengan tolakan itu, tapi ia berusaha memahami perasaan istrinya yang masih tegang menghadapi hubungan intim dengannya. Saat itu pula Izack mengalihkan pandangannya pada pintu kamar yang berdiri kokoh di depannya.

“Masih penasaran ingin membuka kamar itu?” tanya Izack sembari memalingkan pandangannya pada Chika yang rupanya masih menikmati belaiannya beberapa detik yang lalu membuat lelaki itu tersenyum lebar mengecup bibirnya dan kembali mendekap kepalanya ke dada Izack.

“Aku menunggumu sampai kamu siap” katanya membuat raut Chika bingung makna dari ucapan itu

Chika terdiam memandang lama pintu tersebut. Suasana pun mendadak hening, tanpa ada suara apapun kecuali suara tonggeret di balik pepohonan yang tinggi di luar sana.

“Aku takut,”

“Cobalah,”

Dengan pandangan mata berat, Chika memberanikan diri melangkah menuju dua kamar itu dan membukanya perlahan. Melihat gerak-geriknya, seketika jemari Izack meraih jemarinya yang hangat, hingga terdengar suara pintu bergerit saat terbuka. Izack masih berdiri di belakangnya dan bersandar pada kusen pintu.

“Ini kamarku” kata Chika membuka dua daun jendela yang cukup besar.

Izack tersenyum melihat ruangan kamarnya yang terasa lebih hangat daripada kamar kost-kostannya.

“Kecilmu dulu lebih feminin dibanding sekarang” jawabnya yang hanya disambut dengan senyuman sekilas. Chika kembali menutup pintu kamar miliknya dan kembali beranjak menuju pintu kamar di sebelahnya dengan dua daun pintu yang sama besarnya.

Saat pintu dibuka, aroma tak sedap seketika menusuk penciumannya membuatnya tak tahan dan hanya berdiri di depan pintu, lalu menutup hidungnya memperhatikan Chika mengelilingi kamar dan membuka daun jendela yang cukup besar.

“Kamar siapa?”

“Dua kakak laki-lakiku”

“Oh…”

Melihat dua pasang layang-layang kain yang tergantung di dinding membuat Izack seketika tersenyum terbayang sesuatu.

“Satu saat kita akan ramaikan lagi suasana rumah ini dengan anak-anak kita” ujar Izack membuat Chika meringis kecut membayangkan dirinya akan segera menjadi ibu

Mereka masuk ke kamar yang masih terasa lembab dan gelap hingga Chika menyalakan lampu neon keemasan membuat suasana pun kembali horror.

“Dan ini kamar bapak ibu, yang sepertinya punya ruang bawah tanah” suaranya mendadak parau

“Oh ya?” pikirnya sepotong-potong teringat isi naskah buku

Chika menarik nafas lelah seakan ingin mengalihkan pembicaraannya, tapi Izack terlanjur tertarik dengan kata-kata ruang bawah tanah.

“Boleh lihat?”

“Untuk apa?!”

“Kamu tidak ingat naskah yang kamu kirim ke penerbitku dulu?” katanya yang membuat Chika menyeberangi ruang tamu dan membukakan daun pintu kamar yang cukup berat.  

Ia berjalan melintasi kamar tersebut seakan sudah hafal betul dimana letak jendela, ia membuka dua daun jendela besar yang menjadikan ruangan itu seketika tampak terang dengan banyak sarang laba-laba menutupi kelambu tempat tidur.

“Aku tidak yakin betul, tapi sepertinya di bawah situ” tunjuknya di bawah kolong tempat tidur orang tuanya.

“Please!! Aku mohon, ini kaitannya dokumen negara yang dicari-cari selama ini, Chik”

“Ah!” Chika geleng geleng kepala kesal

“Chik…”

“Apa karena ini kamu mau menikahiku, Bang?!!” suaranya nyaris teriak

Izack melotot gelagepan

“Kenapa pikiranmu seperti itu?”

“Tapi benar kan?!” suaranya tajam melotot yang langsung dipeluk Izack erat. Tapi ia berusaha melepaskan pelukan itu, namun Izack tetap saja memeluknya erat-erat.

“Aku menikahimu tulus karena aku mencintaimu, bukan karena apapun” suaranya lembut dan datar membuat suasanapun kembali pecah dengan suara tangis dalam dekapannya, ia menatap wajahnya yang telah basah dan berkaca-kaca.

“Okey, aku tidak akan tanya soal ini lagi” jawab Izack menepuk-nepuk pundaknya seakan ingin menenangkan pikirannya.

“Ayo, kita pulang” kata Chika mberot dari dekapannya.

Chika keluar dari kamar itu dan dengan cekatan Izack kembali menutup daun jendela yang terbuka dan menutup pintu-pintu yang terbuka hingga keduanya keluar rumah meninggalkan halaman rumahnya yang sudah tertutup ilalang.

Mereka meninggalkan halaman rumah itu di saat penduduk desa sudah sibuk di sawah. Hanya tersisa seorang kakek dengan gigi yang tanggal, duduk di depan rumah terbuat dari papan kayu.

 “Nak.. kamu siapanya keluarga pak Hartoyo?”

“Anaknya yang bungsu Kek,” jawab Izack

“Oh.. ya Allah” matanya yang kecil spontan berkaca-kaca hingga segelintir air matanya jatuh dan mulai menangis menepuk-nepuk pundak Chika yang beku, meskipun Izack menyenggol sikunya berkali-kali tapi pandangan Chika tetap beku dan tidak suka, dan ia pergi begitu saja meninggalkan dua orang lelaki itu yang terlibat dalam obrolan panjang.

“Nak, sering ada orang tidak dikenal masuk kesitu”

“Aku cuma mengingatkan saja”

“Nggak tahu niatnya apa, tapi sepertinya orang itu punya niat nggak baik”

“Dijaga temanmu ya Nak, jangan dibiarkan keluar masuk rumah itu malam-malam sendiri”

“Aku paham perasaannya anak itu, mungkin benci sama warga sini. Tapi kami baru tahu kalau dia itu cucnya seorang pejuang dari orang-orang yang sudah jadi pejabat di sana”

“Oh??” Izack kaget saja mendengar penjelasan singkat kakek itu

 

@@@

 

Sepanjang perjalanan dalam bus menuju Yogya, Chika hanya diam dengan ketidaksukaannya.  Sebelum mengatakan hal yang dirasa penting, Izack kembali mencium tangannya dengan kelembutan dan kasih sayang

"Maafkan jika Mama kemarin datang ke Apartemen dan mungkin mengatakan sesuatu yang tidak enak" ujarnya menatap dalam

"Sebenarnya kondisi Mabes dan Kantor saat ini sedang ada banyak masalah, serta pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Sementara kepergianku berulangkali meninggalkan mereka dianggap tidak bertanggung jawab oleh banyak pihak" 

"Tahu seperti itu, Mama khawatir kondisi akan semakin memburuk dan menjatuhkan elektabilitas serta etikaku sebagai seorang pimpinan"

"Itulah mengapa, alasannya dia berkata seperti itu”  

"Bukankah itu egois?"

 Izack gelagepan menarik nafas dalam

"Kamu benar, Mama memang egois ingin melindungi anaknya"

"Seperti yang kamu tahu, sekalipun beliau bukan ibu kandungku. Tapi aku menghargai kasih sayangnya yang melebihi dari kasih sayang orang tua kandungku sendiri”

Chika menelungkupkan wajah lelah. Ia merasa tertekan tidak tahu harus berbuat apa. Dan sebagai seorang gadis yang keras kepala, sulit rasanya mengucapkan kata "Maaf" yang sebenarnya ia merasa bersalah dan menyadari keegoisan dirinya.

"Tundalah dulu KKNmu”

“Kamu bisa menyusun skripsi di Jakarta menunggu kondisi fisikmu benar-benar pulih”

“Enggak”

“Sayang kalau ususmu bermasalah lagi”

“Aku pastikan tidak ada masalah lagi dengan usus dan lambungku”

Izack menarik nafas lelah mencoba memahami betapa keras kepalanya gadis yang ia anggap lemah.

“Pak Rian itu senior kami di AMI, aku cukup dekat dengan beliau. Kamu bisa bimbingan via online sama beliau"

“Aku bilang tidak, ya tidak, Bang” jawab Chika merebahkan punggung, memangku kedua tangan dan memejamkan matanya siap-siap tidur membuat Izack menarik alis lelah

  

@@@

 

Siang jelang sore keduanya kembali tiba di rumah Izack yang ada di Yogya. Izack meletakkan barang bawaannya dan mendorong punggung istrinya ke kamar mandi.

"Sudah berapa hari saja kamu nggak mandi?"

"Tapi kan nggak bau" ujarnya mencium lengan kemeja yang ia pakai

"Nggak bau karena itu badanmu"

Chika terkekeh malu dan masuk kamar mandi sambil berusaha mencium bajunya. Saat itulah telephon bergetar dari dalam kantong celana jinsnya.

"Sudah aku siapkan Bang, tinggal masuk saja" suara itu terdengar sedikit nyaring

“Barang-barangnya? Sudah semua?”

“Sudah”

“Oke, nanti sore aku antar dia ke situ, tolong kirim alamatnya”

“Baik”

“Hm” suaranya terakhir dan terputus begitu saja.

Izack kembali duduk dan membuka laptopnya. Perlahan jari jemarinya tampak cekatan menekan tombol tuts dengan alis matanya yang tebal berkerut tajam seakan tengah menghadapi masalah serius. Dan smartphonenya kembali bergetar. Ia membiarkan suara itu dengan load speaker sekedar memudahkan pekerjaannya.

“Ya?!”

"Bro, data kita kebobolan" suara itu nyaring dari hp di atas meja.

“Hm, aku sudah tahu” jawabnya singkat

“Terus???”

“Bodoh!! ambil alih lah?!”

“Untuk apa kita bayar kalian mahal-mahal kalau data agenda move kita kebobolan ke publik” katanya dengan jari tetap meluncur cepat menekan tombol-tombol tuts.

“Ayok! Cepat kerjakan!! Ini aku sedang minta bantuan senior di pusat” katanya memutus begitu saja panggilan itu

Lagi-lagi ponselnya bergetar, ia menerima panggilan itu.

"Izack, aku heran ada apa dengan istrimu, kenapa terus menerus buat masalah di saat suaminya harus kerja keras"

“Ceraikan saja jika cari masalah terus, percuma saja punya istri tapi nggak bisa support dan diajak kerjasama" suaranya keras dari audio smartphonenya membuat Izack meraup wajahnya kacau mengacak-acak rambutnya. Saat itu ia baru sadar jika Chika sudah berdiri di belakangnya membuat Izack kaget.

Keduanya bengong saling menatap. Ibu jarinya spontan menekan tombol off pada panggilan suara dan meraih tangan Chika yang lemah.

"Sudah mandi?" tanya Izack

"Sudah," Izack berusaha meraih tangan Chika dan menariknya keras untuk duduk di sebelahnya, tapi smartphonennya kembali bergetar. Seakan tak membiarkan istrinya dengan pikirannya sendiri dengan anggapan seseorang di telphon, Izack menarik keras untuk duduk di sebelahnya.

"Halo, iya?" jawab Izack sambil menekan keras pergelangan tangannya untuk kembali duduk di sebelahnya. Awalnya Chika masih kesal, tapi kali ini Izack tak membiarkannya pergi dan menekan pundaknya untuk duduk di sampingnya dan mendekap kepalanya dan mencium bibirnya yang tampak segar.

"Bang, proposal kita diterima. Besok pagi Kementrian Pendidikan ajak kita pertemuan, bagaimana ini?"

"Hm, oke”

“Aku usahakan besok pagi sudah sampai Jakarta"

“Jam berapa?”

“Jadwal dan tempat sudah aku kirim”

“Hm”

“Tolong siapkan berkasnya sekarang” ujarnya menutup telphon dan kembali menatap istrinya yang mulai luluh untuk sekedar duduk di sebelahnya.

Lagi-lagi ponselnya berbunyi, itu adalah sekretaris pribadi Izack.

“Bang, bagaimana jika data markas AMI kebobolan, proyek kerjasama penerbitanmu dengan Pemerintah bakal digagalkan?”

“Hm. Ya, aku tahu itu”

“Lalu kita harus bagaimana Bang?!”

Tangan Izack terasa dingin dan beku, Chika yang duduk di sebelahnya membaca kekhawatiran itu hingga tangan Chikapun menggenggam balik tangan Izack.

“Kabari aku segera jika ada solusi, Bang”

“Hm,”

Izack baru sadar, baru kali ini gadis di sebelahnya berinisiatif menggenggam jemari suaminya terlebih dulu. Seperti terbersit sesuatu ia mengambil tabletnya dan mulai membuat corat coret dengan pandangan mata seakan memburu sesuatu di layar tipis tersebut.

Tiba-iba saja ia teringat penuturan kakek tetangga depan rumah Chika, menoleh gadis itu masih menunggu dirinya.

“Ayo siapkan barang-barangmu, aku tunggu” kata Izack berusaha mengalihkan perhatian

“Hm,” angguknya nurut begitu saja

“Halo,”

“Iya Bang?”

“Aku butuh orang untuk menyelidiki rumah istriku yang diintai, Zin”

“Oh, baik Bang. Aku tunggu alamatnya”

“Hm” jawabnya dengan cepat terkirim alamat maps digital

“Tolong kalau perlu pasang juga cctv di pintu masuk halaman rumah juga teras halaman samping, depan dan belakang. Pasang juga lampu yang cukup terang”

“Jangan sampai rumah itu terjamah oleh siapapun” ucapnya terakhir hingga tak lama kemudian Chika keluar dengan membawa travel bag yang ditumpangkan di atas kopernya.

Izack menarik nafas dalam saat memandangi wajahnya yang tipis itu muncul dari balik kamar. Ia terkesima saat melihat rambutnya yang lembut dan kemerahan itu tergerai tertiup angin menutupi sebagian wajahnya.

“Kenapa??” tanyanya kikuk

Izack hanya tersenyum ringan

“Dua tahun lalu hingga hari ini, aku selalu terpesona melihatmu begitu”

“Hmm??” Chika bingung

“Tanpa polesan apapun, kamu selalu terlihat cantik”

Chika mencibir, ia cuek menarik kopernya keluar hingga menuruni teras depan kamar ke arah garasi.

Sepanjang perjalanan menuju kost-kostannya yang baru keduanya terdiam lama. Tak ada sepatah katapun yang keluar. Chika baru sadar apa yang dilakukan lelaki di sampingnya selama ini adalah demi dirinya. Dan ia mulai merasa berat jika harus kembali berjauhan. Apalagi di saat suaminya dalam kondisi genting seperti sekarang.

“Bang, seberapa perlu aku ke Jakarta”

Izack hanya senyum-senyum sembari menggosok-gosokkan jari telunjuk kanannya ke hidung.

“Masih kangen kah?”

“Aaahhh…??!”

“Kenapa kalau memang iya?” jawab Izack menggoda membuat Chika salah tingkah

Sore menjelang malam keduanya masih bercengkrama di depan teras kos Chika yang baru, hingga dua orang senior dari cabang AMI datang menjemputnya untuk kembali terbang ke Jakarta. Pelukan dan ciuman kecil pertanda perpisahan seolah sudah menjadi kebiasaan baru, meskipun sebenarnya  membuatnya risih, apalagi saat di depan orang lain. 

“Maafkan Abang, Sayang… belum bisa menjagamu dengan baik” tutur Izack dalam terbayang wajah kusut dan baju kumal kemarin lusa saat terlantar di jalanan. Ia merasakan kehangatan dan kesabaran yang luar biasa dari lelaki yang seakan turun dari kahyangan sengaja diperuntukkan untuknya.

 

 


 

16

Pencuri Kecil dan mayat Bapak Tua

 

Siang itu Chika dan Rendra berdiri di lantai dua gedung perpustakaan sambil memandang lepas serentetan awan yang menggantung di angkasa. Lalu lalang mahasiswa terlihat semakin cepat bergerak begitu terdengar bel pertanda pelayanan segera ditutup.

"Wooo... akhirnya kamu tersandung pernikahan adat di desamu juga"

"Masih ingat kan? artikel yang kamu tulis 2 tahun yang lalu?"

"Untungnya itu si lelaki kecenganmu dulu, manjur doaku kan?" tawa Rendra setengah meledek

Chika mengernyit "Kapan kamu doakan aku?"

"Waktu ulang tahunmu, pertama kali aku bisa beli Laptop, kamu pinjam kan? Buat garap artikel dan tugas. Nah, kita ketemuan di depan Basecamp AMI"

Chika tertawa cekakaan

"Iya, tapi kenapa aku nggak ingat ya?"

Rendra langsung noyor kepala "Dasar! cewek apa cowok, kamu hm?! Nggak respek sama sekali"

Lagi-lagi lelaki itu meneliti raut kebohongan gadis yang terlalu jujur itu

"Serius, kamu nggak ingat?!"

"Serius, Pak Peksos... untuk apa aku bohong, nggak ada untungnya juga"

"Dan wajahnya seperti apa, kenapa aku nggak ingat ya?!"

"Lah?!! gimana kau ini"

"Nasibmu memang top banget, Nak"

“Andaikan orang desa tahu, kalau Chika sekarang tinggal di Apartemen”

"Bukannya rumah di desa itu jauh lebih nikmat dibanding tinggal di bangunan se kotak itu yang nggak punya halaman?"

Rendra ngakak seketika dan diam berwajah kaku "Dasar! ndeso"  

"Lha memang benar, kan?" Chika ngotot

Beberapa orang yang berlalu-lalang melihat keduanya, terutama Chika dengan tatapan curiga.

"Hari gini, orang seperti kita ketemu jodoh seperti Izack itu nggak mudah"

"Maksudnya?"

"Tampan, kaya, berpendidikan, anak jendral bintang tiga. Apa kurangnya coba?"

"Justru itu aku seperti sedang diejek dia, Ren"

"Diejek gimana maksudmu?"

“Ya??!!!” suaranya tercekat seperti ada sesuatu yang sengaja ia sembunyikan

"Misalnya?"

"Coba pikir, siapa sih yang nggak tersinggung? Hanya gara-gara mau ketemu sama orang tuanya aku disuruh beli baju baru"

Spontan Rendra melongo “Itu yang bodoh kamu, bukan dia” cetus Rendra sekenanya membuat Chika cemberut kesal

“Hei! Baju yang ku pakai itu masih bagus, Ren”

Rendra geleng-geleng mengamati penampilannya dari ujung kaki hingga ujung kepala dan berkecap melengos. “Hahh…?!!!”

“Mau kamu? Anaknya dibilang memungut kucing dekil dari pinggir jalan?” kata Rendra yang spontan membuat Chika tertawa ngakak.

“Sialan!”

“Lha iya kan?”

“Ah! Percuma ngomong soal perasaan sama kamu, DDR (Daya dong! Rendah)” lagi-lagi Chika tertawa ngikik dan menarik nafas perlahan

“Ren, kamu tahu nggak sih, aku ini orangnya seperti apa?”

“Membayangkan kita jadi negara ketiga tempat pembuangan limbah baju bekas negar-negara maju”

“Ah..!! paling males aku bicara soal kebijakan pemerintah terkait itu!”

“Aku pantang banget menghasilkan sampah baju, pantang juga beli baju thrifting”

“Tapi bukankah itulah yang namanya Reuse yang kamu bangga-banggakan selama ini ya?”

“Iya, tapi kan harusnya kita reuse dari barang kita sendiri, bukan dari negara lain”

“Ketika kita me reuse barang dari negara lain, betapa rendahnya harga diri bangsa kita di mata mereka, Ren”

“Hei! Lihat!” isyarat Rendra dengan dagunya menunjukkan pada Dhani, si anak Pasca Sarjana Kehutanan yang paling ganteng dan putih di antara sekian banyak kakak kelas lainnya berjalan keluar.

“Kamu kenal dia?”

“Nggak,”

"Hei Non, ingat... kamu itu sudah jadi milik orang lain kenapa masih tanya orang itu"

"Nah, kan? Nggak bebas. Tanya begitu saja kau sudah mengira macam-macam"

"Soalnya aku pernah lihat kalian berdua di café depan kampus” kata Rendra yang langsung dikode Chika saat Dhani hendak lewat di depannya.

“Hai!”

“Gimana? sudah ada yang goal belum proyeknya?” tanya Dhani yang spontan dijawab nyengir

“Baru masih buat proposal Kak”

“Oh..”

“Perlu aku bantu?” Rendra senyum senyum kode sembari mendelik sekilas pada Chika

“Boleh?”

“Hmm… nanti sore jam 4 ya, aku tunggu di Perpus bagian rak Kehutanan”

“Ok, baik Kak”

“Bye!”

"Huemmm!!! Ganteng" pekiknya mengembangkan senyumnya lebar menerawang jauh

"Dasar perempuan, sudah ada pasangan masih saja ngelirik yang lain. Hati-hati kamu, kalau kena karma" kata Rendra membuat Chika tertawa ngikik

"Harusnya tuh, sekarang kamu sering-sering support suamimu"

"Tanggal 20 nanti, kabarnya akan ada demo besar-besaran Mahasiswa se Indonesia yang mau melengserkan Presiden"

"Dan Izack adalah ketua AMI yang menjadi promotor gerakan itu "

"Oh,”

“Kamu nggak tahu?”

Chika melongo bingung yang disambut tepok jidat Rendra kesal.

“Pantesan tadi Dosen pembimbingku tanya dia apa di Yogya"

"Ya jelaslah, orang Dosen Pembimbingmu itu Alumni AMI"

"Nah! aku malah khawatir, kalau kalian jadi ketemuan di Perpustakaan bakal jadi kabar nggak sedap buat kamu berdua loh"

"Maksudnya?"

"Orang seperti Izack itu kan banyak musuhnya, Chika... Jadi kamu pun harus bisa memposisikan diri"

"Oh,” pikirnya terbayang perkataan teman Izack di ujung ponsel yang diceritakannya 

“Nah, kan?! Padahal itu di luar kendalimu, coba bayangkan seandainya kalian ketemuan dan kabar itu dibuat gosip dan sampai ke pusat”

“Tapi kita kan ketemuan hanya untuk membahas proposal proyek, Ren”

“Harusnya kamu bilang dulu lah, tapi khawatirku dia orangnya cemburuan”

“Ahhsyy!! Nggak asyik benar kamu orangnya, terlalu serius! Aku kenal Izack selama ini tidak seperti itu orangnya” katanya kesal pergi begitu saja. 

Tiba-tiba saja mata Rendra mendadak fokus. Ia terdiam seperti elang yang sebentar lagi menyambar mangsanya dari kejauhan.

“Kenapa Woi!?”

“Mirip adikku yang kabur dari rumah”

“??!!”

“Mana?”

Tatap mata Chika sejurus pandangan mata Rendra pada sosok bocah lelaki yang tengah mengais-ngais tong sampah di pinggir jalan luar pagar gedung.

“Ayo turun” tangannya reflek menarik pergelangan tangan Chika 

“Hei...! tangan!” 

“Oh? Sory sory! ayo cepetan!” Rendra sadar sahabatnya ini tidak suka dengan sentuhan

Keduanya berjalan cepat menelusuri lorong-lorong tangga tanpa ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Sementara dari raut keduanya tampak tenggelam ke dalam pikiran masing-masing. 

“Kamu yakin dia adekmu?” suaranya ngap-ngap mengikuti langkah kaki Rendra yang terlalu cepat dan terhenti berjalan saat lelaki itu lari

“Nanti saja ceritanya” seru Rendra terhenti menoleh Chika yang tampak pucat

“Ayok! Tolong aku”

“Hm”

Dengan sisa-sisa tenaganya ia kembali berlari mengejar langkah Rendra     

“Kalau benar dia adekmu, betapa semesta sedang berbicara, tapi aku nggak menangkap itu” pikir Chika

“Beberapa minggu lalu aku ditabrak bocah kecil itu mencuri apel dari pedagang buah" Chika mengingat-ingat sembari lari menggamit perut

"Ayo cepat, Chik!" ujarnya sampai di depan pagar besi yang membuat Chika melotot 

"Manjat?"

"Aku tahu kamu sering manjat pagar ini, kalau pas berburu waktu" katanya tertawa lebar

"Tapi, Ren!" ujarnya ngos-ngosan membungkuk menahan nyeri perutnya

"Ayokk! naiklah ke punggungku" katanya sambil setengah jongkok

Meski wajahnya nyengir menahan nyeri setelah berlari, tapi melihat bocah laki berwajah dekil itu semangat Chika kembali tumbuh mengerahkan tenaganya naik ke atas pundak Rendra.

"Sory, kalau jaketmu kotor"

"Ah...! Cepetan! Jaket kotor bisa dicuci" katanya tidak sabar melihat Chika bisa manjat pagar besi.  

"Bug!!" Perutnya terbentur dan tergores ujung pagar pembatas yang menambah rasa nyeri makin bertambah.

"Akhhh..!!!" Pekik Chika kesakitan loncat turun

"Sudah ayo cepetan, keburu pergi dia" ujar Rendra yang berusaha menaiki pagar tapi diteriaki Satpam 

Keduanya tertawa ngakak begitu sampai di luar pagar.

Melihat gerak-gerik Chika di belakangnya membuat anak itu spontan lari terbirit-birit.

"Ah! sialan gara-gara ketawamu itu tadi" umpat Chika kesal

"Sory sory!"

"Ayo kejar Ren, sory aku sudah nggak kuat lagi " ujar Chika menahan perutnya yang langsung dipahami Rendra

"Gimana perutmu Chik?"

"Nggak apa-apa kan??"

"Ahhh!!! Sudah cepetan sana!!" Pekik Chika membungkuk-bungkuk nyengir berjalan sempoyongan kesakitan menahan rasa nyeri dan nafasnya tersengal-sengal

Tatapan Rendra tampak merasa bersalah pada sahabatnya yang baru saja keluar dari Rumah Sakit. Tapi menoleh kembali pada bocah kecil yang diduga adiknya yang kabur dari rumah beberapa tahun silam membuatnya kembali lari mengejar bocah kecil yang hilang di bawah lorong jembatan.

Siang itu terik matahari benar-benar menyengat. Ditambah kepulan asap mini bus yang menyalip kendaraan lainnya di perempatan jalan depan kampus membuat suasana benar-benar terasa pengap.

“Ada apa sebenarnya??” pikir Chika berjalan tertatih-tatih mengikuti Rendra menuruni lorong jembatan yang masih berlantai tanah. 

Sunyi, hanya desis suara arus sungai dengan hawa dingin mulai mencekam. Perlahan namun pasti, bau bangkai mulai tercium pekat saat ia di pertengahan anak tangga yang cukup curam.

Suasana itu seperti memanggil memori akan tragedi kematian keluarganya yang membuat nafasnya sesak seketika.

Ia berusaha bertahan dengan suhu tubuhnya yang mulai menggigil kedinginan bercampur mual dan mata berkunang-kunang. 

Begitu melihat Rendra membuka tirai gubuk gelap berdinding papan reklame yang nempel di dinding beton jembatan itu spontan bau bangkai menguar teramat pekat, membuat Rendra menutup hidung. 

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya luluh dan roboh seiring guncangan tubuhnya yang terguguk. Ia menangis keras layaknya seorang anak kecil saat ditinggal ibunya.

“Bapakkk…!!!”

Ia mulai gemetar melihat sosok lelaki yang ia kenal ketangguhannya menangis sedu sedan menyeret keluar dari gubuk papan reklame sesosok lelaki tua yang telah terbujur kaku dan bocah lelaki yang terkulai lemas. Ia tak henti-hentinya membangunkan bocah itu sambil bercucuran air mata dan menekan dadanya berulangkali. Dari wajahnya tampak putus asa memberikan nafas buatan dari mulutnya. Tapi bocah lelaki bertubuh dekil itu tak bergerak juga, hingga ia pun menjerit keras.

"Bapakkk...!!!" Jerit histeri Rendra keras berulangkali membuat nafas Chika benar-benar sesak, ia berusaha menahan kesadarannya dengan tubuhnya yang bergetar pilu meneteskan air mata tak terbendung melihat pemandangan dua sosok mayat di hadapan sahabatnya.

“Andai saja aku tahu itu adikmu,” batinnya Chika benar-beanr remuk

Dengan sedikit kesadaran yang tersisa, ia mendengar jeritan suara dirinya memanggil-manggil ayahnya yang telah diseret-seret masuk ke truk bersamaan beberapa orang berseragam.

Suasana di luar kian mencekam saat terdengar adzan isya’, tak seperti biasanya hampir tempat-tempat ibadah senyap tanpa jamaah. Bulan sabit di sudut kampung halaman kian menyeramkan dengan sepoi angin membawa bau darah dari ujung sana.

Beberapa saat kemudian terdengar jerit tangis ibu-ibu diiringi suara tangis keras, yang sesaat kemudian mendadak diam.

Sunyi…

Terdengar beberapa orang tak dikenal menyelusup lewat jendela yang perlahan terdengar mendobrak pintu kamar. Chika kecil yang tengah membaca di kamarnya, sesaat melompat dari kursinya meraih gunting, mematikan lampu dan bersembunyi di bawah ranjang. Suara itu dekat dan semakin dekat menuju ke arah kamarnya.

Beberapa saat sebelumnya terdengar jeritan kakak perempuannya yang lekas lenyap.

Gemetar dan keringat mengucur dari dahinya saat terdengar langkah sepatu lars itu berputar-putar di kamarnya dan tak lama terdengar jeritan ibunya, yang beberapa saat terdengar pintu terdobrak.

Bunyi peluit dari luar seakan memecah kebekuan malam begitu mereka keluar dari rumah, yang tak lama kemudian terdengar truk itu berjalan meninggalkan kehampaan yang begitu menyeramkan.

Saat itu ia sempat mengintip lewat jendela kamar, rupanya ayahnya diseret segerombolan orang berbaju preman dan ditarik ke dalam truk. Langkah Chika menuju kamar kakaknya sontak hendak menjerit melihat tubuh kakak perempuanya terbujur kaku di atas ranjang dengan peluru tembus di dada.

Cepat-cepat ia lari ke arah kamar lain. Ibunya terbujur kaku di balik selimut merah muda dengan darah berceceran, sementara kakak laki-lakinya tergelepar di atas lantai dengan mata melotot. 

Tubuh Chika lemas terhuyung-huyung membentur lemari kayu. Ia berusaha bangun, namun tubuhnya yang gemetar tak mampu menahan berat badannya hingga tersungkur jatuh. 

 

Saat itulah telinganya berdenging mencoba bertahan meskipun badannya mulai lemas seakan tak bertulang hingga sadar tubuhnya melayang terjatuh dari atas tangga. 

"Chika!!!" Jeritan itulah suara terakhir yang ia dengar hingga hilang kesadaran.

 

Siang itu seperti hari buruk bagi keduanya. Rendra menemukan ayah dan adiknya yang bertahun-tahun dicarinya kini bertemu yang terakhir kali dalam kondisi mati tragis. Sementara memori tragedi keluarga Chika yang berusaha ia pendam dan kubur erat-erat demi memperjuangkan hidupnya kini kembali terkuak jelas dalam bayangannya.

 

@@@

 

Sore itu Yogya gencar pemberitaan kematian bapak dan anak keluarga Pekerja Sosial Rumah Singgah anak Jalanan yang mati kelaparan di bawah kolong jembatan.

Izack yang baru selesai rapat besar dengan ketua BEM se jabodetabek kaget melihat kiriman foto istrinya digotong dari kolong jembatan jalan raya.

Ia seperti kehilangan kesadaran begitu berdiri di ruang parkir, tak tahu harus bagaimana. Tubuhnya lemas, pikirannya macet. Hingga dua orang lelaki datang menawarkan pertolongan. Tapi sesaat ia sadar ia sedang dimana dan apa yang mesti dia lakukan. 

"Bro! Aku minta tolong, handle kan acara nanti malam ya"

"Mau kemana kamu?"

"Istriku darurat"

"Ke Yogya?"

"Iya"

"Kau ini, Markas Besar kamu anggap main-main" 

Beberapa orang datang menghampiri hingga terjadi sedikit keributan, namun begitu senior mereka yang menjadi professor muda di sebuah kampus negeri datang langsung mempersilahkan kepergian Izack yang membuat semua terdiam.

"Terimakasih banyak, Bang" ucap Izack tidak enak, sembari langsung masuk mobil dan tancap gas meninggalkan area parkir kantor.

"Kalian semua belum pernah merasakan bagaimana rasanya punya istri digotong keluar dari kolong jembatan kan??"

"Maksudnya?!"

"Lihat ini!" Seru seniornya menunjukkan penggalan video berita di Yogya 

"Tapi Bang!"

"Nanti kalau kalian sudah berkeluarga baru akan paham"

"Sekarang percuma saja aja aku jelaskan detil ke kalian" ujar lelaki berbadan gempal memakai rompi coklat muda meninggalkan jejak kebingungan dari para juniornya.

 

@@@

 

Sepanjang perjalanan Izack berusaha menghubungi teman-teman kostan Hendrik, bahkan teman kost Chika, Heni. Tapi tak ada satupun yang tahu keberadaan Chika dimana. Sementara teman-teman Ranting sibuk dengan agenda satu minggu ke depan. 

Izack berharap mendapat kepastian kondisi Chika, agar dirinya tidak jadi berangkat ke Yogya mempertanggungjawabkan agenda yang sudah dia buat sendiri untuk teman-teman di Pusat. Namun sampai matahari nyaris tenggelam, ia belum mendapat kabar apapun. Hingga terbetik tanya nomor Rendra pada Heni. 

Saat menelpon Rendra, lelaki itu masih berkabung di rumah sakit menunggu hasil autopsi ayahnya. Mendengar penjelasan Rendra tentang kejadian siang itu membuat Izack mulai meradang dengan lelaki itu. Tapi ia sadar, jika kemarahan meledak saat itu, ia mungkin akan mengancam Chika yang belum sadar hingga detik itu. 

Malam hari dengan perasaan galau dan tergesa-gesa, Izack melangkah masuk ke salah satu bilik ruang UGD. Melihat Rendra di sebelah istrinya antara kaget dan kecewa.  Tapi lelaki itu tak peduli, ia langsung memeluk dan menciumi istrinya di depan Rendra yang bergeser dari sisi Chika.

"Tidak apa-apa kan?" ujarnya menggeragapi tubuhnya yang terbungkus selimut dan kepala yang dibebat perban karena benturan anak tangga

"Ya sudah Chik, aku pamit dulu mesti ngurus jenazah bapak dan adikku"

"Oh, ya Ren, Maaf"

“Harusnya aku yang minta maaf sudah bikin kamu seperti ini” ujar Rendra yang langsung membuat Izack membuang muka kesal

"Mari Bang… " pamit Rendra sekilas yang tidak begitu dipedulikan Izack, dan baru kali ini Chika melihat suaminya marah dengan bahasa diam dan raut yang sama sekali tidak enak dilihat. 

Tak lama kemudian dua orang perawat datang melepas infus dan mengatakan kondisi Chika yang sudah jauh membaik dan diperbolehkan pulang. Izack segera mengurus administrasinya dan menunggu beberapa saat di ruang tunggu. Melihat kedatangan Rendra mengurus administrasi, Izack enggan menyapa. Ia pura-pura tidak melihat dan menghindari tatapan itu sambil menelpon seseorang. Tiba-tiba ia melihat sepasang kaki berbalut sepatu boot berdiri di depannya.

"Gimana dok, luka perut istri saya?"

"Oh.. itu istrinya? Saya kira pacarnya" tawa dokter yang disambut senyum malu Chika dan Rendra yang muncul kemudian

"Untung nggak sampai membuka lagi itu luka. Soalnya beberapa kejadian jika kebentur dan tergores seperti itu, luka kembali robek" jawab dokter membuat Rendra merasa sangat bersalah

"Okey, terimakasih dok" jawab Izack yang sengaja tak mau melihat wajah Rendra lagi.

"Ren, aku pamit dulu"

"Okey, balik ke kost atau ke Jakarta nih?"

"Kost lah,"

"Ikut ke Jakarta" Izack menarik pergelangannya

"Lah?!!" Chika melotot

"Ayok!!" ujar Izack menuntun gadis itu yang melirik kesal

"Besok ulangi lagi. Jangan tanggung-tanggung, panjat itu gedung DPR" cletuk Izack membuat Chika yang berjalan lambat terpincang-pincang dengan luka kepala yang perih tersenyum geli.

Tak lama dari itu perawat datang menawarkan kursi roda untuknya dan Izack mulai kembali mendorongnya menuju pintu keluar.

"Kamu itu hanya punya dua kekuatan, lari kencang atau pingsan.  Makanya kalau sudah tahu begitu jangan berulah" ujar Izack menggamitnya gemas membuat Chika terkekeh.

Dari jauh Rendra yang melihat pemandangan itu terlihat seperti kakak beradik yang tengah bergurau. Mereka terlihat harmonis dengan senyum tawa mereka saat mobil datang menjemputnya.  

Saat di dalam mobil Izack mengeluarkan ponsel dan membuka beberapa foto yang dikirim seseorang.

 "Ternyata istriku bermental preman, eh!" tawa Izack geli memperlihatkan foto istrinya di layar Hp memanjat pagar besi kampus yang cukup tinggi membuat Chika tertawa lebar menekan perutnya yang sesekali masih terasa nyeri.

"Yang bikin aku deg-degan lalu lemas itu karena dikejar-kejar Satpam" 

"Tapi mau gimana lagi,"

"Belum makan?"

Chika meringis "Belum"

"Nah, kan?!"

"Niatku keluar dari Perpustakaan mau makan, Bang..." protesnya

"Ya sudah, nikmati itu sakit"

"Tapi melihat dari cara manjatmu ini bukan sekali ini aja. Benar kan?!"

Chika sembunyikan tawa geli membayangkan dirinya saat ia diburu waktu pekerjaannya mesti memanjat pagar kampus untuk memangkas waktu.

"Hehe..."

Izack noyor keningnya yang kemudian memakaikan seat belt, dan perlahan mendekatkan wajahnya membuat gadis itu spontan menggigit bibir bawah takut dan cemas. Namun Izack tertawa geli dan mengecup pipinya, ia menyentuh bibir dengan jarinya membuat Chika kaget dan membuka mata melirik suaminya.

“Kapan-kapan pakai pelembab bibir, biar nggak kering”

Chika melirik kesal membuat Izack tertawa geli melihat pelototan matanya yang kecil.

“Bang, aku tanya kamu sekali lagi”

“Hm,”

“Kenapa kamu mau menikahiku?”

Izack hanya diam mengembangkan senyumnya sembari memutar setir mengendalikan kendaraan keluar dari area parkir Rumah Sakit.

“Kamu menemukanku bukankah tanpa pakai kosmetik sedikitpun?”

“Kalau kamu mau wanita seksi yang glowing, kenapa mesti sama aku?!” tukasnya sewot

“Aku paling benci jadi bahan tontonan bangsa kalian” jawabnya spontan yang membuat Izack tertawa lebar

“Ah… kenapa sih.. cuman saran aja, kalau nggak mau ya nggak apa-apa, nggak usah kemana-mana” ujarnya cooling down

“Bang, yang namanya pernikahan itu win win solution? Aku nggak suka kamu atur-atur”

“Okey-okey!” Lagi-lagi Izack hanya sambil geleng-geleng kepala tertawa bagaimana logika berpikir istrinya

Seketika tangan Izack meraih jemari Chika yang lentik dan menciumnya hangat.

“Tidak salah aku memilih istri yang cerdas”

“Kamu tahu? Tanpa make up pun kamu sudah terlihat seksi, dan aku suka itu” ujarnya lagi-lagi mengangkat jemari Chika dan mencium lembut.   

Sore itu langit tampak cerah, gulungan awan di ujung langit sana seperti sedang menyambut keduanya yang kembali bersama setelah sekian lama terpisah.

 


 

17

Basecamp movement AMI di rumah Izack

 

Sore itu rumah orang tua Izack yang ada di Yogya terlihat rame oleh anak-anak AMI.

Mereka tengah menyiapkan spanduk dan selebaran di ruang tv sebelah dapur. Tampak para senior asyik ngobrol selesai menyantap makan malam. Sementara dua orang ibu-ibu sibuk menyajikan sarapan di dapur. Chika yang baru datang bersama Izack agak kaget melihat keramaian di rumah itu.

"Ada acara apa, Bang?"

"Aksi turun jalan"

"Hadeuh..." keluhnya lirih

"Kenapa?!"

Chika nyengir "Hehe... tidak"

"Banyak hal yang perlu kamu kerjakan dibanding memikirkan pikiranmu sendiri, Non"

Chika berkecap kesal “Bang, apa yang aku kerjakan tadi bukan bagian dari kepentingan rakyat”

“Kamu nggak bisa melawan Oligarki hanya dengan tanganmu sendiri, Non”

“Kita butuh kekuatan masa, dan masa terbaik adalah Mahasiswa” tatapnya dalam sambil meletakkan kedua tangannya di atas pundak Chika yang membuatnya sedikit risih. 

“Begini ini, otakku berasa ingin meledak saat dengar kalian demo”

“Ya sudah, kalau nggak mau dengar mereka masuk ruang Pustaka aja” ujar Izack melingkarkan kedua tangannya ke pundak

“Tolong, sebentar saja” bisiknya penuh isyarat “Ini untuk kebaikanmu juga” ujarnya sambil tersenyum menang saat gadis itu tidak lagi menangkis tangannya    

Spontan sambutan berdatangan begitu tahu senior mereka datang.

“Loh, kak..?” seru beberapa orang penasaran sambil menunjuk pada balutan perban di kepala Chika membuat keduanya bingung menjawab

Tiba-tiba saja Leo si ketua AMI cabang Yogya muncul “Ssst..! berisik kalian, ayo makan dulu Chik”

"Aduh.. mesranya.." celoteh lainnya lagi

“Bang! jangan bikin iri kami di sini lah”

"Loh, Bang. Kamu di sini?"

“Plukk!” pukulan mendarat di kepala lelaki kurus dengan kacamata tebalnya "Kalau dia nggak di sini, mana bisa kita masuk O'on?!"

"Makan dulu, Bro" ajak Leo

"Makan dulu mas Izack, mbak Chika" ucap mak Yah si ibu yang langganan masak-masak saat Izack di rumah 

"Makan dulu, Sayang," Izack menggiring Chika ke dapur

"So sweeeetttt… apa kata dunia??? Baru kali ini aku dengar orang kokoh se kokoh karang di tengah lautan panggil-panggil Sayang" gelegak tawa spontan riuh memenuhi suasana rumah dengan tata ruang model jepang yang khas dengan suasana etnik lampu neon kuning keemasan menerangi halaman tengah berbatu dan gazebo.

Wajah Chika yang pucat spontan berubah merah merona mendengar celuitan mereka. Izack yang menghilang dan muncul kemudian dengan sepiring nasi berusaha menyuapkan untuknya tapi lagi-lagi temannya heboh bersorak membuat wajah gadis itu spontan kemerahan dan merebut piring darinya.

"Hei... kalau iri, langsung aja ke pernikahan"

"Kamu Bang, punya perusahaan, kita mau kasih makan apa anak orang?"

"Ya kerja dong,"

"Lelaki seusia kalian itu sudah bukan zamannya lagi tunggu kiriman orang tua"

“Dan aku memilih dia, karena mandiri secara keuangan”

Jlebbb, suasana spontan hening dan melengos membuat Chika tertawa geli melihat reaksi juniornya.

“Tuh!! Dengar, para cewek!”

“Kalau kalian menginginkan lelaki macam Kak Izack, mulai sekarang bekerjalah”

“Jangan menghalu seperti di drama Asia”

Tak mau kalah dengan kata-kata itu seorang cewek bersuara “Hei! Kalian harusnya juga menghasilkan uang, bukan pacaran tapi modal duit dari orang tua!”

“Apalagi ngereti duit si cewek”

“Nggak modal banget”

“Tull!!” seru mereka riuh

Suara mereka perlahan lenyap seiring pemberitaan tv yang mengabarkan kematian dua orang gelandangan yang mati di kolong jembatan. Melihat sosok Rendra, raut Izack tampak nggak suka. Tapi ia penasaran dengan isi berita tersebut hingga mendengarkannya dengan seksama.

Beberapa saat mereka mulai asyik berkomentar sendiri tanpa mempedulikan siapa orang tersebut, hingga muncullah badan Chika yang terkulai lemas di atas tandu.

"Loh?" dua orang melihat bergantian pada layar dan memastikan baju Chika

Izack yang duduk di sebelahnya hanya mengusap rambut dan menciumi keningnya hangat. Meskipun sebenarnya ia risih, tapi Chika mulai belajar membiasakan diri dengan kebiasaan baru Izack yang demikian demi menjaga harga dirinya sebagai seorang lelaki.

Tiba-tiba saja dua orang datang berkomentar "Namanya saja keren, Social worker…  ujung-ujungnya menjual kemiskinan demi penghidupan mereka"

"Yah, atas nama kemiskinan dan bla-bla mereka setidaknya bisa hidup"

Spontan raut Chika seperti tertusuk belati. Ia meletakkan piringnya pada meja kaca di sebelahnya. 

"Prakk!"

Semua mata tertuju pada Chika, termasuk dua orang yang berkata.   

"Hati-hati kalau bicara, Bung… Kalian ini orang akademisi sekaligus aktivis mahasiswa ternama. Percuma saja kalau nggak punya otak untuk berpikir"

Izack meraup wajahnya seketika mendengar suara Chika yang bergetar penuh amarah. 

"Bukankah untuk orang-orang seperti mereka juga kan, kalian berkumpul malam ini?"

"Kalau benar Social Worker itu menjual kemiskinan, mau apa?"

"Setidaknya dibanding kalian, pelayanan mereka ke masyarakat lebih nyata dibanding kalian yang tiap hari cuma cuap-cuap dan kongkow-kongkow"

"Diskusi yang nggak jelas jluntrungnya, demo dengan spanduk ngawur dan norak" katanya meraup dan meremas spanduk di meja. 

"Kalau kalian memang punya otak, mestinya tidak akan demo dengan cara tulisan seperti ini" Chika mengacung-acungkan kertas ke udara

"Hei goblok! Tahu tidak, bahwa kata-kata itu merupakan sindiran" 

Chika mencibir "Harusnya aku yang mengataimu goblok"

"Kata-kata yang kalian pakai itu menunjukkan rendahnya literasi kalian, tahu tidak?!"

"Hei! lonte, kamu pikir setelah menikahi Bang Izack kamu bisa bicara seenaknya?"

Seketika raut Chika seperti tertusuk belati yang ke sekian kalinya, membuat matanya spontan berkaca-kaca. Wajahnya mulai terkesumat dengan kepalan tangan yang siap-siap menonjok wajah lelaki itu. Begitu juga dengan lelaki tersebut yang terpancing emosi melangkah maju. Namun ia keburu ditahan dua orang di belakangnya.

"Bang, jangan-jangan kamu sudah disusupi pemahaman komunis sama dia!" teriak lelaki itu menuding ke Chika

"Aku menduga orang-orang di belakangmu seperti itu, dan mendorong AMI masuk ke lembah mereka" teriak dua orang itu berusaha menghalau cengkeraman teman-temannya yang segera diseret keluar dari rumah.

Hening, kehidupan seakan mendadak mati saat dua orang itu tak ada. Izack hanya menarik nafas dalam. Ia berpikir seribu kali untuk angkat suara, karena apa yang terjadi efeknya bakal panjang untuk dirinya. Seketika itu ia menarik Chika masuk ke kamarnya dan mendudukkan tubuh istrinya di atas meja kerjanya, sementara dirinya duduk di kursi tepat mengahadap gadis itu yang melengoskan wajah kesal.

Lelaki itu diam menatap wajah istrinya cukup lama. Ia menarik nafas sesekali dan kembali menyandarkan punggungnya pada sofa dengan kedua tangan dilipat ke dada. Melihat gadis itu tetap melengoskan wajah, ia kembali menarik wajah itu ke arahnya.

“Bukankah waktu di Apartemen sudah pernah aku ingatkan?” suaranya terdengar lembut

“Kemarin-kemarin, kamu mau berkata semaumu tidak masalah”

“Tapi sekarang efeknya bisa kemana-mana”

Raut Chika tak mau menatap “Aku heran, kenapa kamu justru membela orang lain”

“Aku tidak membela dia, tapi tidak membenarkan sikapmu juga”

“Diingat sekali lagi; kamu akan belajar banyak mendengar daripada berbicara, dan akan belajar banyak mengamati daripada justifikasi”

"Hanya itu"

"Tapi dia sudah keterlaluan mengejek mereka, Bang"

"Iya, aku tahu. Apalagi posisimu sebagai objek pembicaraan tadi yang tahu betul medan di lapangan"

"Tapi ya itulah hakikatnya pimpinan"

"Dia bicara seperti itu, ya hak dia kan?!"

“Tinggal bagaimana kamu mensikapi dia”

“Itu saja sebenarnya”

“Berapa kali saja aku difitnah mass media?”

“Dan apa jadinya jika marah lalu membalas mereka? Tidak akan selesai pekerjaanku hanya untuk mengurusi mereka”

Jlebb! Chika diam menarik nafas antara kesal sambil berulang kali mengusap air mata yang jatuh berulang kali tanpa bisa dibendung membayangkan bocah kecil yang lari mencuri apel beberapa minggu lalu. Dan orang tua yang badannya terlalu ceking tewas terbujur kaku dengan bau bangkai menyengat.

“Kamu tahu tidak sih, mereka itu adalah bapak dan anak kecil yang aku kasih makan tempo lalu setelah kita keluar dari rumah sakit”

“Yang di Resto itu?”

“Hm, ya!”

Izack mengembangkan senyum lebarnya sembari mengusap-usap kedua lengannya yang langsung dihalau dan dibanting kesal. Tapi Izack masih berusaha memahaminya, ia tampak menarik nafasnya perlahan dan berusaha tersenyum sekalipun sulit.

“Mahasiswa hari ini kurang begitu respek dengan kehidupan masyarakat kita yang seperti itu”

"Aku tahu kamu sering di lapangan dan tahu betul medan, tapi setidaknya saat ini kamu hanya sebagai pengamat saja, cukup. Jangan memasukkan emosi di dalamnya”

“Negara ini nggak hanya butuh orang cerdas, tapi juga orang bermental sehat”

Chika menarik nafas tersengal-sengal mencoba menahan dan menenangkan diri mendengar kata-kata suaminya yang lembut. Izack bangkit dan mengusap air matanya hingga mendekapnya erat.

“Kamu tahu sendiri bagaimana kalau mereka rapat, kadang ada meja yang jungkir balik, ada buku yang melayang” 

“Tapi ya itulah mereka,”

“Dan harusnya memang tidak seperti itu”

“Tapi jangankan Mahasiswa, pimpinan kita di atas pun masih sama seperti itu”

“Adu mulut nrocos lalu ngata-ngatai lawan bicaranya” ujarnya mengusap rambut Chika dalam dekapan dada. Saat itulah tiba-tiba mak Yah datang mengetuk pintu membawakan se nampan sarapan dan susu hangat yang Chika tinggalkan.

“Oh iya Mak, terimakasih" jawab Izack sopan

Kini rautnya terlihat lemas memandang sarapannya yang baru dimakan beberapa suap. Ia menundukkan wajahnya kesal hendak menangis.

“Sudah, habiskan dulu makanmu, anggap saja angin lewat” tatap lembut mata lelaki itu dan mengusap-usap lengan mencoba menenangkan 

“Nanti kalau wajahmu muncul di laman pencarian untuk masalah ini, jangan bereaksi lagi. Biarkan saja”

“Kalau nggak tahan, jangan pernah dibaca”

“Nanti kalau…”

“Ssstt… lakukan saja apa kataku, aku sudah sering dihasut seperti itu” jarinya menutup sebagian bibir Chika dan kembali berdiri

“Okey, aku mandi dulu”

“Woww…” batinnya lirih terpesona melihat kepergian suaminya yang tidak hanya tampan, melainkan berkarakter keren.

“Mimpikah aku bisa ketemu orang seperti dia?” pikirnya lagi melihat lelaki itu terakhir kalinya menutup pintu kamar mandi

 

@@@

 

Malam itu juga lelaki yang membuat hati Chika makin terpikat terasa berat saat dirinya harus ditinggal pergi lagi. Keduanya berdiri lama di depan rumah setelah beberapa menit yang lalu teman-teman AMI meninggalkannya.

“Bang, boleh aku minta peluk?” suaranya malu campur takut yang spontan disambut tawa geli Izack seketika dipeluknya erat dan dicium ubun-ubunnya. Saat itulah rasa sakit dan ngilu bekas luka seakan luruh semua hingga ujung kaki.

“Beneran nih, nggak mau ikut abang?”

“Ntar kangen, terus pura-pura bikin ulah?”

“Haha… dasar narsis”

“Andai kamu tahu aku sejak dulu, beginilah kehidupanku”

“Soal kamu khawatir dan tidak, itu urusanmu” cetus Chika berusaha melepas pelukannya yang ditahan oleh lingkaran kedua tangan Izack di punggungnya.

“Memang susah ternyata punya istri kritis” jawab Izack mengulum senyum menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Chika yang kecil.

Saat Izack hendak melepas dekapan, tanpa ragu Chika kembali menempelkan kepala pada pelukannya yang kembali didekap.

“Ah… seperti ini tuh, rasanya jadi berat pergi”

“Jangan ding, ntar aku nggak bisa makan lagi”

“???”

“Maksud?”

“Yak? Kalau kamu nggak kerja kan kita nggak bisa makan, Bang”

“Haha.. se sempit itu pikiranmu” ujarnya hingga driver taksi membunyikan klakson mengingatkan.

Saat lelaki itu membuka pintu mobil ia kembali membuka kaca jendela. Izack diam menatap kesal yang langsung membuat Chika tersenyum lebar.

"Sini!"

"Apa?"

"Sini," isyaratnya meminta Chika mendekat

Chika menunduk, saat itulah Izack mencium bibir manisnya yang membuat raut Chika merah seketika mengusap-usap bibirnya.

“Ampunnn…”

“Bibir itu mengandung bakteri dan kuman, aku nggak mau ketularan penyakitmu!” Spontan Izack tertawa terkikik geli

"Sudah ada tanda-tanda belum?"

"Tanda apa?"

"Bukannya katamu, kalau dicium bakal punya anak?"

Chika menutup malu wajahnya

"Hei! kapan kita punya anak beneran?" bisik Izack seakan tidak rela meninggalkan istrinya

"Iya dari tepung"

“Sudah Pak, jalan” kata Chika pada sopir membuat Izack geleng-geleng seakan mengatakan “Jahat benar kamu yah, nggak paham orang lagi kangen”

"Yukk!" Izack melambaikan tangan dengan tatapan mata berat berpisah, begitu juga dengan Chika yang kini mulai merasakan perasaan sakit saat melihat kepergian lelaki yang membuat nyaman dengan dekapannya

Tiba-tiba saja Hendrik datang

“Loh? Sudah pergi?!”

“Hm, itu”

“Ooo.. ya sudah”

“Kenapa emang?”

“Ini, titipannya buatmu”

Chika melongo

“Ah.. akhirnya es kutub mencair juga kedatangan gadis polos” ujar Hendrik tersenyum melihat kepergian Izack yang membuat Chika nyengir bingung

“Gimana? Sudah sehat kah?”

“Hm, sudah, Bang”

“Okey, aku pergi dulu”

“Terimakasih banyak, Bang”

“Hm, jangan bikin ulah lagi. Kasihan dia bolak balik Jakarta Yogya, masih kena semprot Mahasiswa se Indonesia pula” katanya pergi begitu saja meninggalkan perasaan bersalah yang dalam

“Ingat… hanya dengar dan perhatikan saja. Okey?!” suara lembut itu seakan kembali terdengar lembut di telinganya meninggalkan senyum tenang dan kembali masuk ke kostannya.  

 

@@@

 

Sepanjang malam hampir saja ia gusar tak bisa tidur membayangkan ada guling hangat yang membuat malam-malamnya begitu damai. Lagi-lagi ia tersenyum membayangkan tiap lekukan tubuh lelaki yang diam-diam ia mulai menikmatinya di antara perasaan canggung dan cemas.

Tiba-tiba pesan masuk;

Sudah tidur?

Belum

Cepat tidur, kamu terlalu capek akhir-akhir ini. Jangan begadang terus

Sudah sampai kah (tanya Chika lagi)

Sudah

Ini sudah dijemput Ozin

Yok,

Bye

Belum sempat mematikan kabel data, ia teringat janji dengan seniornya Dhani di Perpustakaan kemarin.

“Ah…! Iya”

Ia kembali bangun untuk mengambil laptop, tapi hp nya kembali bergetar.

“Tidur,” wajah geram Izack membuka video call

“Hehe.. iya, Bang. Ini baru mau tidur” tangannya kembali meletakkan laptop

“Aku nggak percaya jika masih online”

Lagi-lagi Chika beralasan membuat Izack kembali kesal, ia hanya menatap diam penuh penegasan membuat gadis itu kembali diam tak berkutik.

“Baik.. baik”

Klik! Layar ponsel mati dan ia kembali tidur meringkuk di bawah selimut halus nan lembut berandai-andai dalam dekapan tubuh Izack yag selalu hangat.

 


 

18

Pertemuan dengan Dhani

 

Saat jarum jam menunjukkan angka 10.30 Chika lari tergopoh-gopoh menuju perpustakaan pusat. Melihat sekelebat juniornya di balik dinding kaca, lelaki bermata sipit itu tersenyum lebar. Ia kembali membuka buku dan mulai menulisnya ke dalam laptop.

“Halo, Kak. Sudah lama ya?”

“Halo… belum, tenang aja” sambut Dhani ramah

Gadis imut dengan hem bergaris kecil putih itu mengambil tempat duduk di sebelahnya yang menghadap ke dinding kaca.

“Sepertinya aku tertarik dengan proyek ini, Kak.. kebetulan aku punya gagasan penghijauan di atas lahan bekas Tempat Pembuangan Akhir”

“Oh, bagus itu”

“Daerah mana?”

“Entah deh, aku browsing dulu”

“Dananya gede itu”

“Hm,” jawabnya mengangguk

“Kota-kota besar, bahkan Yogya sendiri sebenarnya butuh itu tuh”

“Itu nanti bakal kerja sama dengan Balai Lingkungan Hidup daerah setempat”

“Emm… sebenarnya Skripsiku membahas itu juga, Kak”

“Oh… baguslah!”

“Gimana?”

Dengan jarinya yang cekatan dan menahan nafasnya yang tersengal-sengal, Chika membuka file skripsi.

“Kamu baru lari?”

Chika nyengir “Hm!”

Entah berapa lama mereka terlibat asyik dalam obrolan. Tiba-tiba seseorang dengan sengaja mengambil foto mereka berdua. Melihat sekelebat bayangan lelaki yang mengambil foto mereka, Chika diam sejenak.

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa” jawabnya cepat membuka file dan menunjukkan Bab demi Bab.

Siang itu selesai mereka dari Perpustakaan Dhani sengaja mentraktir makan siang di Kantin. Di sana beberapa orang memandang aneh pada Chika membuatnya salah tingkah.

“Kenapa orang-orang melihatmu seperti itu?”

“Ada yang salah denganku kah Kak?”

Dhani menggeleng bingung merasa gadis itu baik-baik saja.

Sore itu belum juga ia masuk ke kostannya, tiba-tiba ibu kost datang mengadu.

“Mbak, kamu kenapa? Kok tiba-tiba ada orang yang melempari jendela dan pintu kamarmu dengan telor dan sampah busuk”

“Tolong cepat dibersihkan mbak” kata si ibu itu pergi begitu saja

Chika melotot kaget, feelingnya langsung teringat dirinya waktu di Perpustakaan dan di kantin, beberapa orang memandangnya dengan tatapan tidak enak.

“Ah.. ada apalagi ini?” pikirnya lelah cepat-cepat membuka pintu kamar meletakkan tas dan mulai membersihkannya dengan membawa alat pel. Tiba-tiba saja seseorang datang

“Mbak, sebaiknya hati-hati dirimu kalau waktu di luar, suamimu itu orang berpengaruh dalam gerakan mahasiswa di pusat”

“Situasi di luar sedang memanas” suara perempuan itu terdengar bersahaja. Ia ragu menoleh ke arah wajah orang itu, tapi setelah sekian detik barulah ia menoleh namun ternyata perempuan itu pergi begitu saja meninggalkan tanda tanya siapa sosok perempuan mengenakan rok se betis.

 

@@@

 

Selesai ngepel lantai dan membersihkan pintu serta jendela, Chika rebahan di kamarnya memandang ponsel yang sepi sejak kemarin.

“Ada apa dengan dirimu, Bang?” pikirnya

Tiba-tiba saja suara itu terdengar keras,

“Ibu mohon, kamu di sini dulu menunggu situasi membaik ya Nak..”

Chika menghela nafas panjang “Rupanya seperti ini” pikirnya lagi

Setengah ragu ia mengirim pesan singkat

Bang..

Pesan itu terkirim dan ditunggunya sekian menit menatap layar penuh harap. Tapi tak ada tanda-tanda bakal ada jawaban, ia kembali merebahkan punggungnya.

“Dulu memang aku tidak punya uang, tapi kehidupanku rasanya jauh lebih bebas daripada hari ini” pikirnya

“Ahhh…”

Matanya kembali melirik pada ponsel di genggaman. Ia baru sadar tak memiliki satu foto pun yang tersimpan di galeri ponselnya. Demi mengobati rasa rindu ia mulai browsing foto-fotonya di sosial media hingga menemukan foto paling keren menurutnya, dan bibirnya yang ranum pun kembali tersenyum lebar.

Ada rasa sakit yang entah bagaimana ia melukiskan, terbayang perlakuan dirinya yang terlalu keras dan curiga. Perlahan senyumnya mengembang pahit terbayang bagaimana suaminya memperlakukan dirinya terlalu istimewa hingga membuat teman-teman Markas Besar AMI marah terhadap dirinya.

Sorot matanya yang sayu tersapu sejuknya pendingin ruangan hingga terpejam erat. Ponselnya kembali bergetar membuatnya kaget dan terbangun. Itu adalah telephone Dhani.

“Halo, iya Kak?”

“Gimana? sudah kamu lanjutkan?”

“Sepertinya bakal berat, karena harus bertemu dengan pemerintah daerah segala”

“Tapi ya tidak apa-apa juga. Kan, prosedurnya memang begitu. Tanah TPA milik daerah”

“Coba konsultasikan sama pak Iwan yang pernah menangani Penghijauan di daerah-daerah”

“Oke”

“Lalu bagaimana dengan KKNmu?”

“Hehe… biayanya kurang Kak”

“Oh..”

“Jadi di Kalimantan, kan?”

“Hm, iya”

“Apa saja rencanamu?”

“Sttt…” suaranya mendesis seakan menarik rasa ingin tahunya “Berdasarkan PPL kemarin, aku jadi ingin kembali ke sana bagaimana dan apa saja yang perlu dilakukan di sana”

“Apa rencananya?”

“Konservasi hutan yang telah dibakar, Kak”

Tiba-tiba saja telphon masuk. Itu adalah Izack.

“Maaf kak, ada telphon masuk”

“Hm, oke”

“Besok aku tunggu proposalmu sampai mana”

Chika nyengir “Tapi…”

“Ayookk!! Jangan menyerah begitu saja”

“Oke nanti aku coba Kak,” Chika memutus suara itu dan menerima telphon Izack.

“Gimana? jadi, apa hasil diskusi siang tadi?”

“Siang??” Chika bingung menebak-nebak, darimana lelaki itu tahu kalau dirinya siang tadi ngobrol panjang lebar dengan seniornya dari pasca sarjana.

“Bang…  kamu baik-baik saja di situ?” tanyanya penasaran

Terdengar desis suara tawa di ujung “Mimpi apa aku semalam, istriku yang imut ini mengkhawatirkanku?”

“Ee… sore tadi pintu kamarku dilempari telor dan sampah busuk lumayan banyak”

“Kamu tahu siapa pelakunya?”

“Hm,” Chika geleng-geleng kepala bingung

“Siang tadi, waktu aku ngobrol dengan kakak pasca sarjana juga ada yang ambil foto kami”

“Oh…”

Izack yang tahu foto itu hanya senyum-senyum geli membayangkan kepolosan istrinya.

“Seberapa genting sebenarnya kondisi di sana, Bang?”

“Emm… biasalah yang namanya proses perubahan seringnya diiringi dengan kekacauan. Tapi bagaimanapun itu harus dihadapi dan dilakukan”

“Jika tidak, kita akan begini begini terus”

“Kenapa tidak menuruti kata kakakmu saja, Bang?”

“Emm… Itulah cita-cita yang aku rintis sejak smp dulu, membenahi carut marutnya negeri ini”

“Iya tapi resikonya kan besar buat perusahaanmu, Bang”

“Rizqi sudah diatur sama yang atas, tenang saja”

Hening,

“Bang, emmm…”

“Bulan depan aku ikut KKN ke Kalimantan”

Mendadak suara itu seperti hilang begitu saja

“Bang,”

“Bang!”

“Sudah berapa kali aku katakan, tunda dulu KKNmu”

“Tapi kan,”

“Tunda dulu” suaranya tegas dan mati begitu saja

“Nggak bisa, aku kan sudah daftar”

“Kan bisa aja alasan sakit”

“Pokoknya ditunda”

“tut.. tut.. tut..”

 


 

19

Pamit

Mendengar kabar Chika hendak ikut KKN, bukan main gelisahnya. Ia menunggu telphon yang tak kunjung diangkat setelah beberapa hari keduanya ribut via Chat untuk menunda KKN. Hingga satu saat pamannya telphon bahwa Chika hendak KKN di Kalimantan yang kebetulan bersamaan dengan waktu pemberangkatan Transmigrasi pamannya, spontan tangan Izack lunglai.

“Oh, begitu…”

"Coba dibicarakan dulu Nak, benar atau tidaknya"

"Iya pak lek"

"Nak, kalau ngobrol baiknya langsung ketemu saja. Jangan lewat telphon"

"Itu saran pak lek”

“Pak lek juga paham kesibukanmu, tapi ya mau gimana lagi? Orang namanya awal berkeluarga, kalau berjauhan ya seperti itu itu…"

“Maaf ya Nak.. Pak lek gagal jadi orang tua yang baik. Chika ya begitu itu anaknya” 

"Saranku, baiknya kalian ini satu atap dulu, menghindari hal-hal yang tidak baik" suara Buleknya dari kejauhan samar-samar terdengar

Izack menarik nafas seakan meneguk kesabaran di langit teringat saran dirinya untuk istrinya yang ditolak begitu saja.

"Kemarin dinasehati Mama juga begitu Bulek, tapi ternyata Chika justru pulang ke Yogya tanpa pamit" jawab Izack menarik nafas sejuta kesabaran membayangkan betapa sulit istrinya ditakhlukkan.

“Oh ya?!”

“Ya Allah Nak… Pak lek minta maaf ya Nak, nanti biar pak lek yang bilang”

“Nggak usah Pak Lek, biar saya aja”

“Bagaimanapun dia, sekarang sudah jadi tanggung jawabku”

Saat itu Izack yang berada di ruang kerja ayahnya seperti orang bingung setelah pamit mengakhiri obrolan. Ia meletakkan smartphonenya hanya dilirik ayahnya yang tengah serius menekuri data-data.

"Siapa?"

"Pak lek,"

"Sudah sampaikan maaf Papa, kalau sampai detik ini keluarga kita belum bisa kesana?"

"Hm, sudah dari kemarin Pa"

Lelaki bertubuh gempal itu langsung bangkit dari tempat duduknya.

“Izack, dari sejak pertama kali Papa ngobrol sekilas sama Istrimu, sepertinya dia itu bukan gadis biasa” 

"Dia bukan tipikal gadis yang mudah menggantungkan hidupnya pada orang lain. Termasuk suaminya sendiri"

"Hm, begitulah dia" jawab Izack memainkan jari

"Dan sekarang kamu biarkan dia jauh darimu"

"Kamu tidak tahu kan, apa yang dia pikirkan?"

Izack diam tak berkutik

"Papa dengar, katanya dia juga sempat dekat dengan salah seorang asisten Dosennya"

"Kamu yakin dia tidak ada hubungan apa-apa?" 

Lagi-lagi Izack hanya diam.

“Bukankah Mamamu pernah menyarankan dia untuk tinggal di Jakarta sementara waktu?”

“Hm, iya. Tapi saat itu dia kesal bukan main karena merasa diperlakukan tidak setara dengan lelaki" spontan Papanya tertawa geli

“Kabarnya KKN dimana?”

“Kalimantan”

“Temuilah dia sebentar, setidaknya kalian harus ngobrol”

“Aku sudah tidak enak sama teman-teman Mabes yang sering aku tinggalkan, Pa”

“Kamu pilih keluarga atau jabatan?”

Izack diam tak berkutik memainkan ponselnya seperti tengah berpikir keras.

"Siapa yang sponsori aksi turun jalan kalian??"

“Murni swadaya masyarakat dan masing-masing BEM se Indonesia serta alumni”

“Berkaca dari yang sudah-sudah Zack, jangan sampai reformasi hanya menjadi regenerasi. Percuma”

“Hari ini kalian menginginkan Presiden turun dan kalian me reformasi total”

“Tapi berkaca dari pengalaman yang sudah-sudah, ketika akhirnya para aktivis Mahasiswa ini masuk ke dalam politik praktis, bubar semua sudah seperti sekarang”

“Di dalam tubuh kami sendiri sebenarnya sudah ada bibit itu, Pa”

“Nah, kan?”

“Berapa kali saja rapat berakhir gaduh. Dan hingga hari ini kami mesti membentuk tim inti untuk mengawal aksi ini”

“Jangan-jangan yang membocorkan data Mabes, orang dalam sendiri?”

“Hm, iya”

“Terus gimana?”

“Rencananya kami mau adakan rapat untuk menyidang orang-orang yang kami duga pelaku, Pa”

"Bagaimana tanggapan Istrimu"

"Sama sekali tidak mendukung, karena dianggap pemborosan anggaran negara"

"Loh?"

"Iya, dia berpikir ketika turun jalan bakal merusak fasilitas umum, dan ketika rusak artinya negara mengucurkan dana lagi untuk perbaikan" katanya dengan wajah manyun yang spontan ditertawakan ayahnya

"Sudah ku katakan demo kita akan aman,"

"Dia ngotot, menolak. Makanya dia mem blokir nomorku setelah kami diskusi panjang lebar dan dia marah-marah menekanku untuk menghentikan aksi di jalananan lewat handphone”

Lelaki paruh baya itu hanya tertawa

“Bukankah dulu kamu selalu mengharapkan pasangan yang cerdas dan kritis? Ini kamu dihadapkan dengan pasangan seperti itu kamu nggak siap?”

“Iya, tapi dia itu keras kepala. Pa”

“Bukan keras kepala tepatnya, Zack…”

“Ya karena dia punya prinsip dan alasan yang jelas”

“Lha iya, tapi kenapa juga mesti marah-marah begitu”

“Dia seperti itu karena defense dia hanya dengan cara seperti itu”

“Dia selalu merasa dalam keadaan bahaya dan tidak aman. Makanya satu-satunya cara memberi rasa aman dia, kamu peluk deh”

“Dijamin itu cewek sekeras apapun bakalan takhluk”

“Itu rahasianya orang berumah tangga, Zack…”

“Kalau kalian mau berpisah, peluk deh! Kalau perlu, malam sebelumnya kamu ajak tidur bersama”

“Papa yakin memorinya bakalan nempel ke kamu, apalagi kamu itu lelaki yang digadang-gadang para cewek sejak dulu”

“Jangankan tidur bersama, Pa! aku cium dia aja curi-curi”

“Woohhh…!”

“Lalu selama kalian tinggal bersama?”

“Kami tidur di kamar terpisah”

“Itu kesalahanmu”

“Coba sesekali deh, tonton film romantic anak-anak muda begitu! Jangan nonton film detektif dan aksi terus”

Izack diam tak menjawab. Ia hanya menarik nafas dalam dan menghembuskannya cepat seakan ingin melepaskan kekesalannya pada gadis yang ia idam-idamkan selama.

 

@@@


Dua hari kemudian

 

Jumat sore, tepatnya di saat matahari nyaris tenggelam, ia keluar dari kantor Mabes AMI dengan perasaan lega setelah mendapatkan pelaku pembobolan data Mabes. Sembari berjalan cepat menuju ruang parkir, Ozin lari mengejar Izack yang hendak masuk mobil, lelaki itu menyerahkan selembar kertas tiket pesawat.

“Ini cetak tiketnya, Bang”

“Oke, thanks”

“Sampai Jakarta lagi kapan?”

“Senin, kali ya?”

“Oke”

“Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku”

“Baik, bang”

Sesampainya di Yogya, di tengah kemacetan yang mengular ia melihat istrinya masih bersih-bersih di Rumah Makan tempat dimana ia sering mampir saat keluar dari Bandara. Melihat itu Izack geram bukan main, tanpa ambil pusing ia langsung memutar roda depan mobil yang nyaris saja menabrak kendaraan roda dua dari belakang yang membuatnya diklakson kendaraan di sekelilingnya. Dan saat itulah ia parkir mobilnya di halaman parkir warung makan yang tak begitu luas.

Melihat Izack keluar dari kendaraan, Chika kaget.

"Kamu Bang?!!" ujarnya melotot lirih

Sekalipun hatinya bergemuruh, Izack tetap tersenyum tenang duduk di salah satu kursi.

"Makan sini, Mas?"

"Iya, Bu"

"Silahkan ambil sendiri Mas," kata ibu pemilik Rumah Makan

"Tidak Bu, aku mau istriku yang ambilkan makanku. Sudah hampir sebulan ini aku nggak pernah dilayani istriku" kata Izack dengan mata tertuju pada Chika yang melotot membuat ibu si pemilik Rumah Makan melongo.

"Maksudnya??"  

Melihat gelagat Chika pura-pura tidak melihat, si ibu pemilik Rumah Makan menunjuk Chika penuh isyarat pada Izack yang hanya menganggukkan dagunya pelan..

"Dia suamimu, Nduk?" tanya si ibu bingung

Chika mengangguk malu sekilas dan langsung menghilang mengambilkan sarapan untuknya.

"Lho, tunggu tunggu!! Mas nya ini bukannya sering kesini juga kan ya?"

"Iya bu, dulu saya sering banget makan disini, sekarang sudah balik ke Jakarta. Kalau ke Yogya saya sering mampir kemari bareng teman"

"Oh..."

"Lha terus?? Kenalnya Chika?"

"Dia junior saya di organisasi, Bu"

Si ibu bingung, ia cepat-cepat mendekati Chika yang tengah mengambilkan sarapan untuknya di depan etalase masakan.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang ke Ibu, Nduk?"

Chika nyengir.

"Kapan?"

"Apanya Bu?"

"Nikah"

"Sepulangku dari Rumah Sakit"

"Berarti???" pandangan mata si ibu owner pada keduanya

Izack hanya mengembangkan senyumnya lebar penuh isyarat melihat Chika diinterogasi si ibu pemilik Rumah Makan.

Melihat penampilan Izack yang terlalu elegan, sementara penampilan Chika yang seadanya pandangan si Ibu merasa aneh. 

"Beneran itu suamimu, Nduk?" Tanyanya lagi balik ke arah Chika dan berbisik yang hanya dianggukkan

"Kamu sudah menikah, kenapa nggak bilang-bilang?!!" bisik ibu pemilik Rumah Makan mengikuti Chika yang tengah menyiapkan menu

"Kalau sampai terjadi sesuatu, misal kamu dilukai cerita saja Nduk..." bisik ibu melihat gelagat Chika tak mau buka mulut.

Sayup-sayup Izack mendengar ucapan itu membuatnya menarik nafas dan memalingkan wajah kesal. Ingin sekali ia menjawab kecurigaan si ibu pemilik Rumah Makan, tapi percuma saja, toh dia bukan siapa-siapa.

"Hehe.. bukan Bu, bukan begitu ceritanya" jawab Chika lirih takut terdengar Izack

"Terus?"

Chika diam tak berkutik. Ia meletakkan sarapan untuk Izack dan kembali pergi hendak membuatkan jus alpukat kesukaan Izack. Tapi si ibu pemilik Rumah Makan menarik pergelangannya dan mendorong Chika untuk kembali duduk di kursi depan Izack yang membuatnya kikuk dan salah tingkah setelah sekian lama tidak berinteraksi tatap muka dengannya. Si Ibu pemilik Rumah Makan agak aneh dengan pasangan muda itu, ia ikut duduk di kursi sebelah Chika.

“Mas nya mau minum apa?”

“Tanya istriku, Bu”

“Jus Alpukat, Bu”

“Jus Alpukat, Na!” seru si ibu owner pada pelayan lainnya

Izack hanya tersenyum geli melihat ekspresi keterpaksaan Chika. 

"Bang, selesai makan pulanglah dulu" ujarnya lirih sembari memberi kode Izack untuk segera menyelesaikan sarapannya. 

"Coba dengar bu, aku datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk menemui dia. Teganya aku disuruh pulang" katanya seakan mengadu

"Kerjaanku belum kelar..." ujarnya lirih sambil melotot

"Lalu berapa banyak biaya yang kuhabiskan untuk datang kemari dan meninggalkan pekerjaanku juga?"

“Apa urusanku? Siapa juga yang suruh datang kemari?!”

“Loh, kok begitu to Nduk?!”

"Nggak baik berkata seperti itu sama swami, sekalipun kita kesal”

“Manut'o sama swami, biar hidupmu berkah" ujarnya sedikit berbisik yang membuat Chika masih bersikukuh melanjutkan beberesnya.

"Sudah, ibu nggak membolehkan kamu kerja disini kalau kamu nggak nurut sama suamimu"

Gadis itu menghempas nafas kesal melirik Izack yang menyiratkan senyum lebarnya.

Sunyi, keduanya diam dan saling menjaga mulut membuat si ibu bingung melihat keduanya.

Si Ibu membisik di belakang punggung Chika "Suamimu ini sepertinya orang baik-baik, Nduk.. Jangan sampai membuatnya marah"

Melihat bujukan si ibu owner membuat Izack mengulum tawa kemenangan, sementara Chika melotot kesal. Ia kembali menikmati sarapannya cuek dengan wajah happy mendengar istrinya dinasehati, hanya dalam hitungan menit semua makanan sudah pindah ke perutnya.

"Nikmat rasanya kalau makan ditunggu istri, Bu" ujar Izack selengekan melirik Chika yang kikuk

"Lha ya iya, to mas... Banyak anak-anak Mahasiswa yang dulu sering kemari makannya nggak kalah banyak, tapi entah itu badan kurus ceking seperti tengkorak berjalan gitu. Begitu mereka datang lagi sudah beristri badannya langsung segar" cerita panjang lebar si Ibu Owner yang berusaha mengalihkan pembicaraan saat Chika pergi membawa piring kotor milik Izack.

"Ibu titip Chika ya Mas... dirawat baik-baik. Jangan dimarahi" ujarnya lirih memandang Izack yang terus mengamati gerak-gerik Chika di dalam

"Ibu sedih kalau dengar cerita teman-temannya soal bagaimana kehidupannya sehari-hari”

“Ya Allah mas… pertama kali dia datang kemari cari kerjaan itu permintaan dia cuman satu, nggak digaji uang nggak apa-apa asal dibolehkan ikut makan” cerita si ibu Owner dengan mata mulai nampak berkaca-kaca

“Selama kerja disini juga nggak pernah ngeluh”

“Padahal ibu tahu, kalau dia itu sering ngampet capeknya karena mondar-mandir mengatasi kerjaan sampingan juga tugas-tugas kuliahnya”

“Kadang kalau sudah malam, warung sepi, dia mulai baca buku sambil buat catatan”

“Nggak jarang juga ibu lihat dia tertidur di atas bukunya karena saking capeknya. Kadang kalau saya suruh antar mbaknya dia sering menolak, tapi ibu nggak tega orang tidurnya sudah pulas banget”

“Lha kemarin ceritanya ibu dengar dia masuk rumah sakit, tapi ditanya rumah sakit mana nggak ada yang tahu”

Izack hanya tersenyum, saat itulah gadis yang selalu memakai hem dengan rambut dikucir itu datang dengan membawa segelas jus Alpukat segar yang langsung ditangkap Izack dengan sengaja membuat Chika reflek menarik tangannya hingga si ibu Owner tertawa geli melihat reaksi anak buahnya yang malu-malu. Sementara Izack tetap merayunya terang-terangan dengan buaian kata-kata yang menjadikan gadis itu langsung menyingkir pergi.

"Terimakasih banyak sudah menjaga istriku, Bu" ucapnya membuat si Ibu menyuruh Chika segera pulang

"Sudah, ayo.. pulang dulu sana temani suamimu" si ibu menuntun Chika keluar dari Rumah Makan saat Izack berdiri di depan kasir 

Si Ibu merangkul Chika dan berbisik tanya "Kerjaannya suamimu apa?"

"Seperti yang ibu lihat, dia nggak kerja. Tukang demo. Makanya saya harus bekerja mencari nafkah" spontan Izack melirik Chika dengan tatapan kesal

“Halo Bang!!” seru dua orang Mahasiswa turun dari motornya di parkiran depan Rumah Makan

“Bang, boleh minta fotonya bareng dong, siapa tahu nanti aku ketularan jadi CEO” dua orang Mahasiswa itu mendekati Izack saat ia berdiri di sebelah istrinya.

“Hm, Boleh”

“CEO??!” si ibu melototi Chika

“Ah… usaha kecil-kecilan saja Bu”

“Nggak Bu, bohong. Abang ini punya perusahaan besar penerbitan dan percetakan di Jakarta”

Lagi-lagi si ibu melotot pada Chika yang ditinggal pergi begitu saja setelah keduanya bersalaman.

"Ya Allah Nduk... terus kamu kerja di sini untuk apa?” tawa si Ibu terkagum-kagum menertawakan kekonyolan Chika yang dianggap merendahkan suaminya.

“Bejo benar nasibmu, Nduk" ujar si ibu lirih saat empat Mahasiswa itu berdiri bingung melihat ada perempuan dituntun masuk ke mobilnya

"Itu seperti hadiah terbesar dari Gusti Allah untuk kerja kerasnya selama ini mas…"

"Lha iya ya bu, susah cari suami baik, ganteng, dan kaya seperti mas nya" kata seorang Mahasiswi yang spontan dilirik dua orang lelaki di depannya membuat mereka semua tertawa

 

@@@

 

Sepanjang perjalanan Chika tak berkutik. Ia memalingkan wajahnya pada jendela kaca mobil.

"Czhhh!! Aku paling benci dengan budaya menganggap lelaki itu segalanya” Ujarnya ngedumel

“Nggak itu Mamamu, nggak itu ibu Rumah Makan. Sama saja”

Izack hanya senyum sekilas

“Benar aja ya, kalau teman-temanmu bilang, kamu itu nggak butuh lelaki?”

“Kalaupun nge jomblo itu nggak jadi stigma buruk di masyarakat, aku pilih hidup sendiri sepanjang usiaku”

“Aku ingat waktu SD dulu, ada teman cewek; kulitannya putih, kurus ceking, matanya bulat, bibirnya seksi. Aku paling muak sama dia karena sering bela mati-matian teman cowok”

“Eh kasihan dia, bla bla bla!” bibirnya nyinyir kesal membuat Izack spontan tertawa geli mencubit hidungnya yang mungil langsung diusap

“Ampunnn…” lagi-lagi tawa Izack geli

“Kenapa juga dikasihani, orang kalian itu makhluk kuat. Harusnya perempuan yang perlu dikasihani?”

“Aneh kan? Sebel banget dengan budaya seperti ini”

“Bukannya kamu nggak mau dikasihani juga?”

“Iya, sebel.. berasa lemah”

Spontan Izack tertawa terkekeh “Terus maumu gimana?”

“Harusnya laki sama perempuan itu sama”

Izack menghela nafas sesaat namun ia masih saja tertawa geli mendengar umpatan istrinya.

“Nanti kalau laki sama perempuan sama, aku nggak bakal suka sama kamu dong”

“Baguslah” potong Chika membuat Izack berpikir sejenak

“Dan nggak ada ceritanya aku harus buang uang 200juta percuma ke Rumah Sakit, kan?”

Chika nyengir nggak enak, dan melotot kemudian seperti baru sadar

“200juta?!!”

Izack hanya menghela nafas menggelengkan kepala menanggapi gadis berwajah tipis baby face namun karakternya keras kepala. Chika mulai kembali berhitung dengan uang yang sudah ia pinjam merajuk dan melakukan bergaining dengan rumahnya.

“Aku nggak butuh pegadaian rumah, apalagi rumah tua”

“Terus?”

“Aku butuh pegadaian manusia”

“Maksudnya?” Chika melotot berpikir keras membuat Izack geli melihat ekspresi sekilas istrinya yang keras kepala tapi lugu

“Maksudnya pegadaian manusia?”

Lagi-lagi Izack hanya melirik sekilas dan tersenyum geli memperhatikan ekspresi wajah istrinya yang terlalu imut dengan matanya yang kecil dan bibir tipisnya yang ranum

“Bukannya kamu manusia”

Spontan Chika kaget saat menangkap apa yang dimaksud Izack yang hanya disenyumi geli. Namun begitu sadar mobil arahnya tidak menuju ke rumah, Chika mulai melotot

“Mau kemana kita?”

“Kamu maunya kemana?” ujarnya sembari mengikuti rambu-rambu lalu lintas yang ada di depannya

“Ayo pulang”

“Pulang kemana, kan kamu sudah pulang di hatiku” ujarnya membuat Chika menahan tawa mendengar rayuan mautnya

Teringat pandangan tidak enak ibu kostnya yang terlihat sangat mencolok, Izack diam agak lama memperhatikan pakaian istrinya yang terlihat kumal dan kotor.

“Baju-baju yang kemarin aku belikan pada kemana?”

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa, aku khawatir kamu jual lagi” sindir Izack

Spontan Chika tertawa terpingkal-pingkal “Ampun Bang.. pikiranmu kenapa sejauh itu”

Izack kembali menarik nafas dalam “Apa susahnya sih perbaiki penampilan?”

“Jlebb!” Chika diam

“Dengan penampilanmu yang seperti itu, dikira suamimu pelit”

“Ya ini karena aku kerja aja Bang”

“Tugasmu sekarang belajar, bukan kerja” nadanya dingin

“Carilah pekerjaan yang ringan jika masih ingin kerja sebagai aktivitas yang tidak membosankan. Tapi jika sampai sakit lagi, kamu harus ikut ke Jakarta”

Mendengar ceramah Izack dengan kekhawatirannya, bukan perasaan takut namun justru rasa kantuk mulai bergelayut hingga kelopak matannya pun terpejam dan terlelap. 

Ia menepiskan laju kendaraanya dan menutupkan dada Chika dengan jas miliknya yang tergantung di belakang.

Hingga saat senja, laju roda mulai melambat saat tiba di tanjakan jalanan berliku dengan bentangan perbukitan dan gunung yang kokoh berdiri seakan menyapa. Hingga berhenti di sebuah cafe dengan view perbukitan menampakkan semburat keemasan cahaya matahari di balik gulungan awan kelabu.

"Haaaaahhhhh!!!" pekiknya lepas begitu keluar dari mobil

"Nah! Nggak jadi bertelor" cletuk Izack tertawa lebar

"Enak aja!"

"Lah?! Memang iya kan, sepanjang jalan wajahmu seperti ayam mengerami telor"

Chika terdiam sejenak mengamati tampilan Café di depannya.

“Bukannya ini dulu Resto ya?”

“Hm, tumben ingat” jawabnya mendahului langkah Chika masuk dan mendahului naik tangga yang terbuat dari plat besi.

“Masih ingat?? ada cewek innocent yang duduk di sudut sana sambil melepas kucir”

Chika melongo penasaran, sebenarnya sejak kapan lelaki itu punya rasa suka dengan dirinya. Ia masih ingat betul bagaimana perasannya serasa terjun dari Gedung ratusan meter melihat naskah buku yang masuk ke penerbit seniornya dikembalikan oleh orang tak dikenal.

“Kau tahu Bang, aku kesal bukan main saat itu sama kamu” ujarnya berdiri di bibir lantai berteralis besi stainless yang berhadapan langsung dengan perbukitan di seberang mata memandang, sementara tepat di bawahnya dimana ia berdiri adalah jurang yang curam.

“Padahal itu naskah sudah aku gadang-gadang royaltinya bisa keluar untuk membayar hutang Bank, ternyata justru kamu kembalikan dan diminta soft copy” ujarnya

“Laptop saja masih pinjam, suruh ketik ulang” gerutunya lagi

Lelaki itu menarik pandangannya pada kabut yang mulai menyelimuti perbukitan di seberang sana.

“Sebenarnya itu buku sangat layak terbit”

“Terus??”

“Kamu tahu nggak sih, ketika orang baca dengan serius. Itu buku ada kode dan Bahasa sandi untuk mencari surat perjanjian penyimpanan harta kekayaan negara kita di luar negeri”

“Dan sepertinya itu ada di Basement rumahmu”

Chika mengernyit lama menatap Izack yang hanya dibiarkan begitu saja

“Maksudnya?!!”

Tak tahan dengan tatapan wajah gadis imut itu ia langsung mengalihkan pandangannya pada bentangan perbukitan nan luas.

“Sebenarnya saat kamu mengajakku masuk ke Basement sudah aku temukan surat perjanjian itu di balik lukisan dinding”

“Untungnya aku masih ingat kode dan petunjuk lewat buku yang kamu masukkan ke perusahaan”

“Saat itu, aku kirim orang untuk selalu mengawasi kondisi rumah beserta halamannya, karena kata kakek depan rumahmu sering ada orang yang keluar masuk rumah itu”

“Bahkan satu saat pernah ada orang yang mencari rumahmu, tapi dia tidak melihatnya sama sekali meskipun sudah ditunjukkan berkali-kali di depan mata”

“Jadi, aku pikir ayah atau kakekmu sudah memagari rumah itu dengan kekuatan magic”

“Kamu ngomong apa dari tadi, Bang?!”

“Respect sedikit kenapa? Sampai detik ini negara sedang mencari surat perjanjian yang ditanda tangani dua orang Founding Father dua negara”

“Jika surat perjanjian itu ditemukan, harta kekayaan kita melimpah. Bahkan untuk melunasi hutang negara”

“Hm???” Chika melotot bingung menahan pandangannya pada Izack seakan tengah mencari jawaban lebih lanjut di sana.

“Kamu nggak tahu urusan soal itu?”

Chika menggeleng bingung

“Jadi, founding fathers kita dulu diserahi harta kekayaan dari raja-raja di seluruh nusantara untuk membangun negeri ini pasca perang”

“Tapi harta kekayaan itu disimpan di bank luar negeri yang ditanda tangani oleh dua orang presiden Indonesia dan Amerika”

“Yang mana saat sebelum beliau dijebloskan ke penjara, surat perjanjian itu diserahkan pada seorang kurir untuk disampaikan pada seorang Badan Intelegent Negara. Tapi rupanya kurir itu dikuntit dalam perjalanan dan kena tembak hingga sekarat”

“Sebelum meninggal, beliau menyerahkannya pada tentara Indonesia yang saat itu menolong kurir tersebut”

“Surat itu ada dalam galangan sepeda”

“Maka dari itu dibawalah sepeda tersebut ke rumahnya demi keamanan surat itu”

“Beliau itu diduga adalah kakekmu”

“Oh…”

“Nah, ayahmu harusnya tahu soal itu”

“Apa karena itu ayah diculik?”

“Yyuppp! Saya duga juga seperti itu”

“Jadi, andaikan itu buku jadi terbit”

“Rumahmu bakal diincar banyak orang”

“Kok bisa-bisanya kamu gadaikan ke Bank, apalagi dengan biaya murah lagi”

Chika melongo

“Kenapa kamu tahu banyak soal itu?”

“Itu rahasia negara, sayang”

“Yang tahu itu hanya orang-orang tertentu”

“Terus?”

“Ini proses pelunasan, tinggal tunggu tanda tanganmu

Chika bengong

 

Chika diam seakan memikirkan sesuatu. Ia menengadahkan wajahnya ke angkasa saat kabut turun berduyun-duyun menyelimuti pandangannya samar. Izack yang berdiri di belakangnya hanya menarik baju menyuruhnya duduk.

"Jangan coba-coba terjun bebas dari situ, Non. Ijazahmu belum keluar" kata Izack mengundang tawa Chika

Izack kembali duduk di salah satu kursi kecil membiarkan istrinya kembali berdiri dan menghirup udara fresh dalam-dalam dan membiarkan wajahnya tersapu kabut yang makin tebal. Sesekali ia mengambil beberapa foto istrinya dari balik kamera DSLR.

Tahu dirinya jadi objek foto lelaki di belakangnya, Chika melotot.

"Sedang apa kamu?"

"Terserah akulah, kamera kameraku... tangan juga tanganku"

"Tapi ini badan, badanku"

"Salah kamu berdiri di depanku"

Chika langsung berdiri di depan lelaki itu dan menatap kamera DSLRnya yang hendak direbut. Tapi Izack terlalu erat menggenggamnya hingga terjadi adegan tarik-tarikan kamera DSLR.

“Ampun! Kehapus semua dataku nanti” seru Izack membuat Chika sedikit kaget melihat ekspresinya marah

"Ieeeghh...!!" Chika menggigit tangan Izack spontan membuatnya kesakitan sekaligus tertawa geli. Di tengah kelengahannya, lelaki bermata bulat itu menarik tangan istrinya hingga ia terduduk di pangkuannya membuat Chika malu campur grogi. Ia berusaha bangkit, tapi Izack terus menahannya.

“Nggak enak dilihat orang, Bang”

“Berarti baiknya di kamar?”

“Enak aja!” bibirnya yang merah ranum manyun membuat Izack gemas mencium pipinya berulang kali

“Dilarang berbuat Asusila di tempat umum” ujar Chika membungkam mulut Izack

“Coba kamu mau aku sentuh saat di rumah” pikirnya “Aku nggak akan se gila ini melihat kecantikanmu yang natural” batinnya bergemuruh

“Gimana rencana KKNmu?” tanyanya masih tetap menahan Chika dalam pangkuannya

“Hehe… biaya administrasinya kurang, makanya aku kerja”

Izack berkecap kesal

“Apa susahnya ngomong?”

“Kalau aku ngomong, terus mau kamu bayari gitu?”

“Lalu biaya rumah sakit itu apa?”

“Aku nggak mau memberatkanmu lagi, Bang” ucapnya lirih

Izack membelai rambut Chika yang tergerai lurus dan halus

“Sejak awal niat menikahimu, aku sudah siap menanggung hidupmu, Cantik” ujarnya kembali mendekap erat hingga gadis itu merasa tak bisa berkutik   

“Ngomong-ngomong Kalimantan mana?” tanyanya lagi mengendurkan dekapan di balik rambutnya yang tergerai lurus  

“Kalimantan tengah”

Saat seorang pramusaji datang membawakan menu pesanan mereka, Chika melepas paksa dekapan risih saat pengunjung mulai berdatangan satu persatu mengisi tempat duduk di sekitar mereka.

Seperti tak ingin hilang dari hadapannya, Izack bertopang dagu menatap istrinya bercerita seru wacana Konservasi hutan Kalimantan Tengah untuk KKNnya.

Ia mulai bercerita bagaimana kehidupan Orang Utan, Bekantan, Tanah Rawa Gambut hingga tanaman obat-obatan yang dipakai oleh masyarakat suku Dayak perlahan mulai terancam punah. 

“Aku nggak yakin, gadis se lemah kamu bisa bekerja di hutan, apalagi hutan Kalimantan yang masih liar”

“Lagipula kenapa sih, cewek sekurus kamu suka bidang itu”

“Hahaha… biarpun kurus, aku kuat Bang”

“Hm?? Kuat?” alis matanya naik seakan mengingatkan peristiwa pingsan membuat gadis itu tertawa geli teringat dirinya yang begitu lemah saat dilarikan ke Rumah Sakit. Ada moment perasaan hangat yang membuat rasa perih itu reda sejenak saat ia dalam dekapan gendongan turun dari kamarnya menuju parkir mobil.

“Apa yang terjadi andai dia tidak menolongku saat itu?” pikirnya curi-curi perhatian pada lelaki dengan tulang rahang tampak kurus itu memandang lurus bentangan alam

“Terimakasih sudah membantuku sejauh ini, Bang” ujarnya diam-diam memberanikan diri menggapai tangan Izack yang diletakkan di atas meja membuat lelaki itu kaget

Izack tersenyum membuang muka “Bilang terimakasih kok baru sekarang,”

“Hehe…” tawanya setika dengan mata berkaca-kaca

“Aku susah mempercayai orang lain, Bang”

Izack menarik nafas panjang seakan memahami apa yang dirasakan gadis itu selama ini. Kehidupannya tidak semudah yang dijalani sekalipun kondisinya jauh lebih buruk dari yang ia alami.

“Mulai sekarang percayalah kepadaku”

“Hm,”

“Aku sering berpikir, kita ini berada di kelas yang berbeda”

“Aku takut satu saat kamu bosan dan meninggalkanku begitu saja”

Lelaki itu menarik nafas panjang 

“Ketakutanmu itu mengurungmu selama ini”

“Bantu aku, sayang…”

Teringat kata-kata Hendrik bahwa sebenarnya banyak lelaki yang menyukainya, namun dia terlalu cuek, rupanya inilah alasan mengapa ia cuek; ia tidak mudah percaya orang lain.

"Apa nggak ada pilihan lain selain Kalimantan?" tanya Izack seakan tak rela ditinggal

"Ya itu dari fakultas"

“Aku dengar di lereng pegunungan Jawa juga ada”

Chika nyengir “Bang.. mati-matian aku berusaha kuliah di bidang ini demi bisa masuk hutan Kalimantan”

Izack melengos berkecap kesal “Tahu badan bertenaga dikit, nggak bisa diam”

Spontan Chika tertawa lebar

“Aku tertarik dengan vegetasi asli Kalimantan yang sudah mulai punah karena eksploitasi hutan habis-habisan”

“Siapa tahu bisa aku bawa benih itu kemari”

“Terus??”

“Jadi proyek lagi”

Izack tersenyum lebar “Apa hidupmu mau kamu habiskan dari satu proyek ke proyek berikutnya?”

“Hm!” angguknya semangat membuat dirinya tampak kesal karena merasa tidak dibutuhkan lagi. Ia tampak menarik nafas pelan seakan sedang menarik seribu kesabaran di udara.

“Okey, kamu bisa pakai semua uang yang ada di rekening itu untuk bayar Administrasi KKNmu, tapi dengan satu syarat”

"Okey, baik. Apa?!" nadanya seakan menantang

Izack mendoyongkan punggungnya ke atas meja dan memberi isyarat Chika untuk mendekat 

"Nanti malam tidurlah denganku, dan layani aku layaknya suamimu" ujarnya lirih tersenyum nakal 

Glukkkk!! tangan Chika spontan terkulai lemas terbayang apa yang mesti dilakukannnya bakal fatal. Ya! Tepatnya dia tidak lagi menjadi gadis suci yang tahan godaan lelaki. Tapi ini, tradisi maupun budaya mengatakan untuk melayani suami, batinnya benar-benar hancur.

Chika menarik nafas kesal sembari memainkan jari-jarinya di bawah meja menahan hawa dingin yang mulai menyerang sekujur tubuhnya membeku.

"Kalau kamu nggak siap, aku akan buat laporan ke kepala jurusan menggunakan dokumen Rumah Sakitmu kemarin "

Chika mendengus tertawa sinis "Memangnya bisa?"

"Hari gini, apa yang nggak bisa aku lakukan, Non"

Terbayang bagaimana ia menggerakkan Mahasiswa se Indonesia, membuat harga dirinya seakan meluncur tajam dari ketinggian gedung puluhan meter.

Gadis itu diam tak berkutik nyeri dengan tatapan dalam suaminya yang seakan tengah mengancam dirinya yang selama ini mampu bersikap arogan karena mampu selesaikan masalah apapun sendirian.

Diam-diam Izack mengulum tawa kemenangan meninggalkan Chika yang meletakkan wajahnya di atas meja bundar. Lelaki itu hanya mengamati istrinya yang terbius sembari menghabiskan minumannya, hingga sadar klakson mobil berbunyi.

"Nunggu cowoknya, Non?" seru Izack membuat beberapa orang menoleh pada keduanya

"Hiihh! dasar suka jahil" senyum tawa Chika lebar ngluyur menahan malu tatapan beberapa orang di sana.

Chika bergegas lari keluar dan membuka pintu mobil.

“Siapa kamu? Fans gelapku kah?” canda Izack membuat Chika manyun tak bisa membalas gurauan konyol, ditambah instrument santai gitar dari audio membuat suasana perlahan rileks.

"Bang, bukankah dulu kamu pernah bilang, kalau saat menikah nanti aku bisa menggapai semua mimpiku?” ujarnya melirik Izack cemas

“Dengan KKN di sana aku berencana menyusun proyek yang bisa dikembangkan. Dan itu bakalan aku ajukan ke CSR Perusahaan-perusahaan penambang yang sudah merusak alam di sana”

"Itu daerah strategis buat observasi vegetasi hutan wilayah terluar di Indonesia, aku bakal dapat proyek dengan dana besar untuk Observasiku juga, Bang"

"Aku sudah konsultasi ke kepala jurusan. Beliau mempersilahkan, dan bakal memfasilitasi. Hebat, kan?!"

Izack tak menjawab. Ia diam sepanjang jalan hingga mereka tiba di rumah orang tua Izack.

"Bang," rengek Chika mengikuti kemanapun Izack beranjak hingga akhirnya ia harus menunggu lelaki itu mengupas apel yang ia keluarkan dari kulkas. 

"Menurutmu aku harus bagaimana?" ujar Izack tenang

"Kamu mau tinggal jauh dariku aku ijinkan, kamu tidak mau aku sentuh aku ikhlas, kamu memakiku aku berusaha diam"

"Aku harus sabar sampai dimana lagi, Sayang?"

"Untuk itu aku minta satu malam ini saja sebagai ganti dari itu semua” ujarnya melirik menahan geli meninggalkan wajah Chika yang sudah cemas bukan main. Gadis itu menelan nafas yang terasa kering di tenggorokannya. 

Spontan Chika menangis sejadi-jadinya bersimpuh di hadapan Izack

"Aku belum siap berkeluarga, Bang..." Tangisnya pecah sejadi-jadinya

"Kenapa?"

“Bukankah aku sudah katakan tadi siang, betapa bencinya aku terhadap lelaki”

“Lalu kenapa kamu bisa berteman akrab dengan lelaki gondrong itu?”

“Bukankah dulu sudah pernah aku katakan, dia itu tetanggaku”

“Dia tetanggamu bisa bergurau se bebas itu, lalu aku yang sudah resmi jadi suamimu?!” kata Izack tenang menatap lekat wajah istrinya yang kemudian ditinggal begitu saja masuk ke kamarnya hingga Chika ikut masuk dan bersimpuh di bawahnya

"Bang, aku ini orang miskin yang sudah tidak punya keluarga satu pun"

Izack mendengus kesal “Masih mending keluarga ada tapi meninggal, daripada jadi bayi buangan”

“Tapi Bang,”

“Kenapa sih selalu menggunakan senjata itu, aku muak mendengarmu berkata seperti itu” suaranya geram menahan egonya yang nyaris saja meledak

Jleb!! Chika kaget mendengar lelaki itu marah. Karena sejak hari pertama bertemu hingga detik ini, rasanya belum pernah menunjukkan kemarahannya seperti saat ini. Chika diam gemetar menekan rasa takutnya, ia segera pergi dari kamar tersebut dan masuk ke kamarnya meninggalkan Izack yang menutup raut wajah kesal gagal menekan emosinya.

 

@@@



Malam semakin pekat, dengan perasaan gamang Chika memberanikan diri memakai piyama slip seksi berwarna krem se lutut. Meskipun sebenarnya ia risih mengenakan piyama yang dibeli Izack di awal pernikahannya dulu. Tapi apapun itu, demi proyek mandiri dan KKNnya, ia merasa sedang mencoba jadi pelacur bagi suaminya sendiri.

Ia bahkan merasa dirinya seperti sedang dijadikan seekor umpan ikan dihadapan seekor kucing buas yang siap menerkam sewaktu-waktu.

Kali ini ia tampak sedikit lebih cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai hingga sebahu. Setengah ragu ia memberanikan diri masuk kamar Izack yang kedap dan hangat dengan lantai parquet kayu yang menjadikan suaranya sedikit berderit saat kaki melintas di atasnya.

Lelaki dengan kaos abu panjang tipis itupun menoleh sejenak seperti sedang memastikan bahwa ada orang masuk ke kamarnya. Tapi wajahnya kembali menoleh kaget seperti sedang memastikan bahwa apa yang dia lihat, nyata.

Melihat tatapan mata suaminya, spontan jantung berdebar-debar bahkan nyaris saja nafasnya terhenti membayangkan apa yang bakal terjadi malam itu saat senyuman lelaki itu kembali mengembang.

Tidak ada kata-kata.

Lelaki itu kembali menekuri laptopnya dan dengan cekatan jemarinya berselancar seakan tengah menuntaskan pikirannya ke dalam kata-kata. Saat itulah Chika merasa lega, jika akhirnya lelaki itu tidak peduli terhadapnya.

Di saat pikirannya mulai tenang, saat itulah ia mulai mengambil sebuah buku di salah satu rak yang menempel di dinding-dinding belakang sofa dimana ia duduk. Tapi ia mulai menguap dan mata sulit terjaga. Bahkan entah beberapa menit kemudian ia mulai hilang kesadaran dan buku itu terjatuh membuat Izack menoleh kaget.

Merasa sudah selesai dengan pekerjaannya, ia menutup laptop dan beranjak mendekati gadis itu dengan mulut menganga bersandar pada sofa hijau keabu-abuan.

“Bagaimana perasaanku bisa tenang melepas gadis selemah kamu untuk study ke hutan Kalimantan” ujarnya lirih jongkok di depannya.

Sulit rasanya menahan jari-jemarinya untuk tidak menyentuh wajahnya yang halus tanpa make up.

Bibirnya tersenyum geli teringat kata-katanya siang tadi, “Untuk apa make up, kalau hanya menjadikan perempuan seperti umpan seekor ikan asin di depan kucing”

“Sepertinya kamu perlu belajar Neurosains, Sayang..”

“Setidaknya kamu tahu bagaimana otak lelaki dan perempuan bekerja”

“Bukan kehendak kami menginginkan mata tertarik pada keindahan yang ada pada diri kalian, tapi begitulah Tuhan setting otak kami” ujarnya lirih menyibakkan rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajahnya yang halus alami.

Malam kian larut, dan udara dingin pun semakin menusuk menerobos masuk lewat pintu yang sedikit terbuka. Tak ingin mengganggu tidurnya, ia kembali membawakan sehelai selimut dan menenggelamkan seluruh tubuhnya dengan selimut itu.

“Aku takut menikah dengan orang sepertimu” suaranya lirih mengigau, yang tanpa sadar ia melepas  selimutnya hingga sebagian tubuhnya yang putih halus terekspose jelas membuat detak irama  jantung Izack pun seketika berdegup keras.

“Aku khawatir kamu akan pergi” suaranya sayup-sayup

Bagaimanapun, sebagai seorang lelaki rasanya tidak tahan melihat gadis cantik di kamarnya. Perlahan ia mencium bibirnya hangat. Saat itulah Chika terbangun kaget, pelototan matanya seperti sedang menerima sekapan serigala yang siap menerkam membuat Izack lagi-lagi tersenyum geli dan duduk di sudut tempat tidur.

Ia menyangga dagu dan tersenyum manis menatap Chika yang menarik selimutnya tinggi-tinggi menutup dagu.

“Kenapa kau ketawa?”

“Bukankah baru bulan kemarin kita pernah tidur bersama? Bahkan aku pernah melihat tubuhmu utuh”

Chika melotot seperti sedang mengingat-ingat kapan peristiwa itu terjadi, spontan ia tertawa cekakaan.

“Hahaha… dasar pengarang cerita”

“Hm??! Kamu nggak ingat waktu di Apartemen?!”

Lagi-lagi Chika tertawa cekakaan “Haha… betul-betul, pengarang cerita ulung kamu, Bang” katanya berusaha memecah keheningan malam yang makin horror. Tapi rupanya Izack tak bergerak sedikitpun, ia terus saja tersenyum menatap dirinya seakan tengah menghipnotis pikirannya, bahwa itu pernah terjadi. Karena menurutnya, kerja otak itu bisa dimanipulatif.

“Coba ingat lagi?” senyumnya ringan tapi dalam

“Okeylah kamu nggak ingat” katanya

"Bukankah kamu kemari untuk melayani aku?"

Chika tertawa kikuk, dari sorot matanya seperti tengah ancang-ancang untuk lari dari sekapan harimau. "Sudah kadaluwarsa" katanya menghalau badan Izack yang menghalangi jalannya. Ia melipat selimut dan bangkit dari tempat duduknya. Izack usil, ia menyadukkan kakinya hingga nyaris terjatuh yang langsung ditahan dari belakang, tapi Chika segera menjaga keseimbangan agar tak jatuh dalam pelukannya dan menghapus bekas sentuhan tangan lelaki itu membuat Izack geleng-geleng kepala.

“Terlalu drama kamu, Bang” ucapnya membuat Izack tertawa lebar geleng-geleng

“Ampuuunnn…”

"Sudah lunas kan tugasku? Jangan halangi keberangkatanku loh ya”

“Awas! Jangan curang” tudingnya dengan jari telunjuknya

"Loh? Apaan?!" Izack tertawa ngakak

"Yang penting kan aku sudah berusaha" ujarnya dengan wajah innocent melenggang pergi keluar dari kamar Izack

"Tega bener kamu, nggak tahu ada orang lagi kangen” seru Izack mengejar Chika, namun keduanya terkejut waktu kepergok seorang lelaki berparas rupawan yang kaget melihat gadis imut itu bersama adiknya.

“Eh, kamu Bang…”

Lelaki itu menunjuk Chika bingung

“O, Ohh.. hhh kenalkan ini istriku, Bang” kata Izack langsung menggamit Chika erat

“Ayah belum kasih tahu kah?”

Lelaki itu menggeleng bingung. Tanpa mempedulikan keduanya yang kikuk berpapasan dengannya, ia cuek meninggalkan keduanya ke dapur mengambil segelas air putih dari kulkas dan duduk di ruang depan tv meletakkan tasnya. Izack mendorong Chika kembali ke kamar menyuruhnya ganti pakaian yang lebih tertutup.

“Kamu boleh pakai baju seperti ini hanya di depanku” ujarnya menutup pintu kamar

Izack kembali ke ruang tv dan mengambilkan air putih untuk kakaknya.

“Seriously itu istri? Bukan pacarmu?”

“Sejak kapan aku punya pacar, Bang”

“Hmmm… ya ya ya??” jawab lelaki itu senyum manggut-manggut menatap adiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Ternyata seperti itu seleramu”

“Kenapa emangnya?”

“Hmm… hari gini masih ada cewek bening imut” jawabnya tenang kembali meneguk air putih sembari menyilangkan kaki

“Sudah makan?”

“Hm, belum”

“Pesanlah”

“Apa nih?” tanyanya

“Apa saja, yang penting kenyang” jawabnya membuat Izack segera membuat pesanan delivery

Sekedar menyapa, Chika kembali muncul dan menyalami kakaknya yang lebih tinggi dan lebih besar dari suaminya. Melihat istrinya memakai kaos oblong dan celana panjang miliknya, Izack hanya tersenyum sekilas.

“Gimana??” tanyanya lagi menatap Izack dalam seakan tak peduli kehadiran Chika, membuat lelaki itu mengedikkan isyarat untuk pergi dari sana.

“Tunggu Bang, maksudmu apa ini” senyum Izack agak dipaksakan membuat lelaki itu menarik nafas kesal

“Sudah berapa kali aku ingatkan, tinggalkan AMI” suara lelaki itu sayup-sayup terdengar di telinga Chika yang meloncat kaget saat ia hendak masuk kamar Izack.

“Apa sih yang kamu cari?”

“Kamu mau jadi pahlawan kesiangan di negara bobrok seperti ini?”

“Sudah deh, cari kehidupan yang lebih baik ke negara mana yang kamu mau, aku bantu atur semuanya”

“Kalian bisa hidup damai di sana bersama istrimu”

“Kamu tahu resiko apa yang harus dihadapi Papa saat mereka tahu kalau promotor penggerak ini salah satunya adalah AMI yang dipimpin oleh anaknya Jendral”

“Dengan heroiknya kamu mau melengserkan pak presiden?” senyum lelaki itu sinis

Mendengar lelaki itu marah-marah, diam-diam Chika nguping di balik dinding kamar suaminya yang bersebelahan dengan tempat dimana mereka duduk. Ia duduk menyudut di pojok pintu sambil mengintip bagaimana reaksi suaminya yang tak bereaksi apapun saat kakaknya murka.

“Izack…”

“10 tahun yang lalu aku sama idealisnya sepertimu, tidak tahan melihat carut marutnya negara kita ini”

“Kami tergabung dalam gerakan massa yang ingin mereformasi total system negara ini yang sudah melenceng jauh dari cita-cita Pancasila”

“Apa yang terjadi?? Kakakmu jadi taruhan korban pelecehan seksual, yang untungnya diselamatkan teman-teman aktivis saat itu”

“Saat itu Papa menyuruh kami pindah keluar negeri”

“Untuk itu aku sarankan, sudahlah! Jangan sia-siakan masa mudamu hanya untuk bertarung dengan singa raksasa”

Izack menarik nafas panjang, namun ia hanya diam dan diam. Melihat suaminya hanya diam tak berkomentar apapun, membuat dirinya ingin segera keluar dan meledakkan kemarahannya pada lelaki itu. Kepalanya mendidih batinnya mengumpat sejadi-jadinya

“Bang! Kamu pikir semudah itu menghentikan gerakan jutaan Mahasiswa se Indonesia?”

“Untungnya Indonesia tidak dipenuhi orang pengecut sepertimu yang melarikan diri hanya gara-gara pacarmu”

“Di tangan para pecundang sepertimu lah negara ini hancur” pikirnya lagi seakan tidak terima dengan kemarahan itu membuatnya menutup telinga keras hingga tertidur.

 

@@@

 

Entah jam berapa Izack kembali masuk ke kamarnya, ia memaksa pintunya yang berat untuk dibuka dan kaget saat melongok ke dalam melihat Chika tertidur di bawahnya.

“Ampuun...”

Ia jongkok di depannya memandang lama alis matanya yang tipis dan mulai menyentuh bibirnya yang kecil dan kering, perlahan ia angkat dan dipindahkan di atas ranjangnya.

Ada gurat kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya teringat penuturan kakaknya tentang kakak iparnya. Ia menatap dalam wajah Chika yang polos. Tak terbayangkan andai itu terjadi pada istrinya.

Sesaat Chika sadar jika dirinya tertidur di atas Bed kamar suaminya, dan ia juga sadar jika suaminya tengah memandang wajahnya. Melihat kelopak matanya bergerak-gerak, Izack mencubit ujung hidungnya.

“Aku tahu kamu nggak tidur” kata Izack membuatnya tersipu malu menarik selimutnya

“Kenapa tidur di belakang pintu?”

“Aku nggak tega dengar kamu dimarahi”

Izack tersenyum tipis “Masih mendingan dia yang menekan daripada intel” ujarnya segera beranjak dari bed dan duduk di sofa sudut kamarnya

“Kapan?” tanyanya membenjatkan mata kaget dengan keriyepan “Sudah, tidur saja dulu. Aku masih perlu mengerjakan narasi buat teman-teman”

Melihat langkah gontai suaminya, setengah hati melanjutkan tidurnya dan setengah berlari ia memeluknya erat dari belakang membuat Izack kaget.

“Maafkan aku selama ini, Bang”

Izack kaget, nyaris saja tak percaya. Ia berbalik membalas pelukan itu hingga keduanya mendekap erat satu sama lain dalam balutan udara malam yang kian dingin. Chika mengijinkan keningnya dicium saat lelaki itu menghimpit kepala dengan dua tangannya yang terasa halus dan kuat. Tak hanya sampai di situ ia membiarkan  bibirnya dicium penuh dengan kehangatan dan cinta.

“Jangan sampai dia tersentuh orang lain, siapapun itu orangnya” batin Izack bergemuruh menatap dalam hingga perlahan memberanikan diri mendesaknya kembali jatuh ke atas tempat tidur membuat irama jantungnya berdegup keras mengikuti gerakan jemari serta tubuh suaminya yang mendadak bergairah. Tapi perasaan ragu kuat membuatnya tak tenang merasakan gerakan Izack terlanjur kalap berusaha melepas kancing piyama hingga Izack pun sadar membaca raut wajah dan gerakan tubuh Chika yang menahan

“Apa yang kamu takutkan, sayang..”

“Aku belum siap, Bang..” ucap Chika membuat Izack melepas dekapannya perlahan dengan raut kecewa. Ia kembali berjalan ke meja kerjanya dan membuka laptopnya. Ia mulai memakai kacamata anti radiasi dengan raut wajah yang cukup serius meneliti satu persatu pekerjaannya.

Saat itu Chika yang mulai merasa bersalah kembali bangkit dan diam-diam berdiri di samping tempat dimana ia duduk. Lelaki itu pun tetap fokus pada layar laptopnya, sampai-sampai ia baru sadar jika istrinya ada di sampingnya.

Merasa dirinya dicueki, dengan perasaan mencelos Chika pun hendak kembali beranjak. Tapi tiba-tiba saja ada tangan yang menarik pergelangannya erat membuat dirinya terjatuh dalam pangkuan Izack yang seketika melepas kacamata dan meletakkannya.

“Apa sih yang kamu pikirkan?” ujarnya memborgol kedua tangannya membuat Chika kikuk tak berkutik. 

“Sejujurnya, aku nggak rela kalau jari ini kamu gunakan untuk mencuci baju orang lain, apalagi mencuci piring di tempat orang lain lagi” ujar Izack membelai tangannya, namun merasa risih dengan jemarinya yang lebih berotot dan kasar dibandingkan tangan suaminya, ia menarik tangannya membuat lelaki itu lagi-lagi merasa bingung dengan sikapnya.

“Kenapa?” senyumnya mengembang

“Sebenarnya aku juga nggak rela jika tubuhmu yang mungil ini kamu gunakan untuk bekerja di hutan”

Kali ini Chika mulai berani menatap wajah lelaki itu, tapi saat lelaki itu memandangnya ia justru mengalihkan pandangan matanya ke arah lain

“Bang, aku ini anak kehutanan, bukan penari ballet”

“Dihadapanku, kamu ini lebih dari sekedar penari ballet” jawabnya mencibir

“Sepertinya kamu lelaki perayu ulung, Bang”

“Maaf ya, aku sudah tahan yang begituan”

Saking gemesnya melihat sikap dingin istrinya, Izack mendaratkan kecupan kecil di bibir tipisnya membuat wajahnya melotot seperti bayi saat dicium. Tidak berhenti sampai di situ, ia kembali memburu pipi hingga leher menjadikan jantungnya kembali berirama seiring nafasnya yang merasa sesak saat gairah seksnya kembali dipicu ciuman berulangkali suaminya.

“Aku tidak rela kamu pergi tanpa memberiku kesempatan kali ini” suaranya merintih memburu kecupan sepanjang leher dan wajah membuatnya pasrah menikmati tiap kecupan hingga basah.  

Sesaat ia seperti disadarkan, ingin rasanya ingin menolak. Tapi lelaki beralis tebal bermata lembut itu terus memburunya dengan ciuman menggebu mendorongnya hingga rebah di atas tempat tidur menjadikan detak irama jantung tak beraturan seakan terlempar keluar. Sembari merasakan perasaan takut, khawatir, cemas serta kenikmatan yang tak pernah ia rasakan seumur hidup saat jemari lembut itu menelusuri tiap lekukan sekujur tubuh membuatnya menggelinjang kuat hingga kembali hendak menarik celana, tapi tangan Chika reflek menggenggam erat jarinya.

“Stop, please!” ujarnya dengan suara gemetar

“Sebenarnya apa yang kamu khawatirkan, Sayang…” suara Izack kembali merintih kesakitan merasakan tubuhnya kembali orgasme

“Tolong beri aku waktu, Bang…”

Izack tak putus asa, jemarinya yang lembut terus menelusuri tiap lekukan tubuh istrinya yang terlihat indah dan nikmat membuat matanya memejam erat menikmati perlahan hingga sampailah diantara buah dada yang menyembul dari balik kaosnya yang tipis, nyaris saja Chika memekik keras menikmati gesekan jari dan ujung putingnya yang tersentuh.

“Please, tolong sudah”

Bukannya berhenti, Izack justru menerjang tubuhnya yang kecil dan sengaja menggesekkan ujung puting dan penisnya membuat Chika kembali memekik keras saat jemari Izack perlahan membasahi lehernya dengan kecupan menggebu-gebu.

“Aku senang kamu menikmatinya, Sayang…”

“Aku berharap kamu bahagia lahir batin hidup bersamaku” dekap Izack membuatnya meringkuk dalam dekapan hangat dadanya yang lembut serta menentramkan setelah ia merasa lelah bertaruh dengan kesucian tubuhnya sebagai seorang gadis. Namun ada perasaan damai serta nyaman yang tak terbayangkan sebelumnya. Dan ia tak bisa membayangkan dirinya harus berpisah jauh demi mengikuti KKN di luar Jawa.

Malam kian dingin, Izack pun menarik nafas panjang seakan menyisakan perasaan bersalah pada istrinya yang masih merasa ketakutan melakukan hubungan badan dengan dirinya. Tapi lagi-lagi ia tak mau meneruskan pikiran buruknya dan kembali mengecup kening istrinya yang meringkuk dalam dekapannya.  

“Dulu teman-teman selalu menertawakanku jika saat menikah, malam pertamaku bakalan baca buku”

“Bukankah dulu memang begitu?” tawa Izack mengingatkan dirinya pertama kali datang ke Apartemen

“Tapi tidak apa, kan memang suamimu jualan buku” ujar Izack santai

“Belajarlah menilai sesuatu dari banyak sudut, biar hatimu ringan” ujarnya lembut dan parau seakan melumerkan rasa sakit hatinya yang dingin dan keras

Izack kembali membelai rambutnya yang lembut

“Kecuali ajal, aku tidak akan menceraikanmu”

“Tidak menceraikan, tapi poligami. Sama saja”

Izack langsung membungkam mulut Chika “Kapan kamu bisa menjaga mulutmu, Sayang?”

“Jangan sampai kata-kata burukmu menjadi boomerang bagi kehidupan kita”

Jlebb!! Tatapan mata Chika yang polos seketika tidak enak dan ingin kembali menelan semua kata-katanya.

 

@@@

 

Pagi hari ia mendapati dirinya tertidur dalam pelukan lelaki yang selalu memiliki aroma tubuh yang segar sekalipun baru bangun dari tidur di pagi hari. Saat itulah dua pasang bola mata saling menatap hangat penuh cinta. Jemari Izack kembali menyibakkan rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajah istrinya yang tipis.

“Terimakasih banyak sudah banyak membantu hidupku, Bang”

“Tanpamu, mungkin aku tak bisa kembali menulis apalagi melakukan penelitian” ujarnya, sementara jemari lelaki itu membelai bibirnya yang kecil dan ranum, lalu mencium lehernya tanpa henti membuat gairah seksnya kembali bergelora.

“Sepertinya hari ini aku tak bisa keluar dari kamar”

“Kenapa?” tatap Chika polos yang membuat Izack kembali tersenyum

“Ada tamu kecil yang mau menyerahkan diri”

“Maksudnya?” tatap Chika kembali mengernyit curiga

Izack tertawa lebar menatap penuh cinta pada sorot matanya yang bening, lalu mendekapnya erat seakan tak ingin melepaskan sedikitpun.

“Sakit,” suara Chika terdengar lirih di balik dekapan membuat Izack melonggarkan dekapannya dan menatap lama seakan tengah menyusun kalimat.

“Aku sedih mendengar kata-katamu seolah kamu bukan bagian dari kehidupanku” tatapnya dalam penuh cinta dengan sesekali kecupan bibir.

Lagi-lagi ia mencium dan menghirup keningnya “Diingat baik-baik, aku tak akan menceraikanmu sampai kapanpun kecuali ajal”

“Bagiku kamu adalah pilihanku. Apapun yang aku pilih, baik burukmu aku akan menanggung”

“Jadi, mohon bantu aku untuk menjadi lebih baik lagi dari hari-hari kemarin” ujarnya membuat Chika kembali melingkarkan tangannya pada leher lelaki itu.

“Itu bawalah laptop dan kamera, jika memang dibutuhkan” katanya

“Serius?!” sorot mata spontan bersinar bahagia

“Hm,”

Chika memekik girang “Terimakasih banyak, Bang” pekiknya melingkarkan tangan memeluk hangat tubuh Izack

“Kemarin aku bingung pakai peralatan apa untuk mendokumentasikan keberadaan satwa di sana”

“Hummm… ahhh…”

“Rasanya sudah tercium aroma pepohonan menjulang terkena embun pagi” matanya bersinar terang membayangkan dirinya sudah berdiri di antara rimba raya. Ia bahkan lupa ada lelaki di sisinya yang tengah memeluk hangat dirinya dan memperhatikan mimik wajahnya yang bersinar cerah membayangkan aroma pepohonan basah diselimuti kabut pagi.

“Saat ini bisa saja kamu jatuh cinta pada duniamu, dunia hutan rimba. Tapi aku pastikan setelah ini bakal tak akan tahan jauh dariku” pikirnya mengembangkan senyum penuh percaya diri memandang wajah gadis imut yang masih tampak menghalu.  

Malam itu… adalah menjadi malam pertama bagi dua pasangan muda setelah sekian lama menikah.  

 

 


 

20

KKN

Sebelas orang Mahasiswa Kehutanan, baru saja turun dari pesawat Hercules dengan tentengan carier. Wajah-wajah mereka tampak sumringah merasakan udara sejuk di antara bentangan alam perbukitan yang luas di depan mata. Di bawah naungan langit biru yang cerah mereka tampak seru berlarian kesana kemari mencari spot view terbaik untuk berfoto dan segera berkirim pesan lewat gawainya. Mereka memanfaatkan gawai yang kehilangan signalnya beberapa saat dan lancar kemudian hingga tiba-tiba puluhan pesan masuk. Termasuk milik Chika yang membuatnya senyum-senyum membaca pesan lebay dari Izack yang baru beberapa jam berpisah.

“Kenapa kamu, Chik. Senyam-senyum?”

“Pesan Abang ya…” kata Nana melirik layar tipisnya

“Eh, beneran suami? Suami apa pacar sih?” tanya Dodi

“Suami Bro!” jawab Fredi

“Lembut banget sumpah orangnya” jawab Nana lagi

“Lembut tapi tegas dan cekatan, bisa bayangkan nggak sih?”

“Nggak lihat tadi waktu bawakan koper dan tasnya Chika di Bandara?”

“Iya, suaranya itu loh. Duhh!! Lembut dan seksi” jawab Fira

“Hati-hati nanti kalau jenguk kamu, Chik” cletuk Fredi lelaki berambut gondrong “Bakal banyak yang tebar-tebar pesona” jawabnya yang hanya disenyumi Chika tak peduli dengan clotehan teman-temannya namun justru asyik mengeluarkan kamera dan mengambil posisi terbaik tele kameranya dan siap-siap ambil foto burung dari kejauhan yang terbang melayang dari satu pohon ke pohon lainnya.

“Wuihhh!! Keren kameramu”

“Kameranya Ketua Umum AMI Jakarta, Bro! nggak main-main kasih bekal istrinya”

“Whuattt??? Itu suamimu?!” tanya Tata yang sejak tadi sibuk dengan smartphonennya

“Hm,” jawab Chika menatap datar

“Nge fans ya? huuu…!!” sorak teman-temannya ramai membuat gadis itu menelan rasa malu menelungkupkan kedua tangannya ke wajah

“Serius, aku nggak tahu kalau dia suamimu. Kita banyak yang nge fans sama dia lho..” kata Tata sekenanya membuat semua mata melotot dan tertawa

“Sepertinya cuman kamu saja deh yang nge fans, kok kami??” cletuk Nana lagi yang hanya membuat Chika tersenyum lebar

“Santai aja, Ta. Aku sudah kenyang ketemu orang yang nge fans sepertimu kok”

“Wuihhh!!”

“Keren, mujur benar kamu dapat lelaki seperti dia Chik” jawab Nana membuat Chika hanya tersenyum lebar membayangkan kemarin malam baru melakukan hubungan badan dengannya.

“Ahhh… nggak tahu kalian, rasanya aku seperti sedang bertaruh dengan seluruh hidupku” batin Chika bergemuruh, nyeri membayangkan tubuhnya telah terjamah lelaki idola banyak gadis. Seakan ingin mengusir bayangan-bayangan yang mengerikan itu, ia kembali mengambil beberapa foto view lewat tele kameranya.

Ia mulai mengambil foto bentangan perbukitan yang biru kehijauan tertutup kabut tipis. Sementara salah satu dari mereka mengeluarkan drone dan menerbangkannya membuat Chika berdiri spontan dan berteriak.

“Haaahhhhh!!!” teriaknya yang diikuti empat orang kawannya yang duduk bersama tumpukan barang  

Senyumnya kembali mengembang terbayang mimpi masa kanak-kanaknya yang tinggal di sebuah rumah di antara bentangan perbukitan yang luas. Namun saat teringat wajah keluarga rautnya kembali muram seakan ada awan gelap yang meluluh lantakkan memorinya yang indah.

“Berapa jam dari sini, Pak?” tanya seorang temannya pada tentara di depan

“Kurang lebih 6 jam perjalanan jika lancar, mbak..”

“Ouhhh…”

Ia menarik nafas lama seakan membuyarkan semua memori buruk keluarganya hingga teringat kata-kata Izack bagaimana latar belakang kehidupannya yang jauh lebih pahit dari kehidupan dirinya. Hingga ia pun kembali mengendurkan urat syarafnya perlahan.

“Andaikan keluarga masih utuh seperti dulu, mungkin nasibku tidak semujur sekarang” pikirnya seolah menutup pikiran dan menerima kenyataan hidupnya hingga memejamkan mata.

 

@@@

Chika adalah tim regu 04 dari sekitar 50 orang Mahasiswa yang diterjunkan ke hutan Kalimantan. Dalam sebuah rapat, Chika mendebat pendapat beberapa orang temannya untuk mendatangkan tanaman dari jawa.

“Maaf, aku tidak setuju dengan pendapatmu Reno”

“Bagaimanapun, ini tanah Kalimantan, beda jauh dengan tanah Jawa”

“Struktur dan konstruk tanahnya juga berbeda, jadikita hanya akan meamksa tanaman itu menunggu mati atau kerdil menyesuaikan semuanya”

“Lalu apa solusimu?”

“Kita akan cari bibit tanaman dari hutan sekitar yang masih tersisa”

“Itu butuh waktu tersendiri, Chik”

“Memang, kita butuh waktu dan tenaga”

“Tapi itulah cara kita yang tahu betul bagaimana habitat hutan Kalimantan”

 

@@@

 

Tiga minggu setelah mereka tiba di daerah perbatasan, rasanya hari benar-benar senyap. Hanya terdengar gemuruh suara alam dan tonggeret di sela-sela pepohonan. Medan masuk ke area pemukiman masih berupa tanah bergelombang bekas lintasan truk pembuatan jalan beraspal dan mobil tentara dengan pos penjagaan.

Memang, pemerintah memberikan sarana dan prasarana seperti kendaraan dan mobil untuk angkutan ke kota. Tapi untuk mendapatkan bahan bakar, bukanlah perkara mudah karena harus menempuh puluhan kilometer medan yang berat.

Sebenarnya ada rasa sakit dan putus asa menjalani hari-hari berat dan penuh tantangan. Entah berapa kali saja diam-diam ia menangis merindukan Izack. Apalagi di saat malam tiba, ia sering sekali duduk di depan teras rumah membayangkan tidur di bed Apartemen yang empuk dan lembut. Bahkan beberapa kali ia berkhayal tidur berpelukan dengan suaminya.

Sesekali matanya melirik smartphone dan menggeser-geser kotak pesan dari Izack.

“Jahat sekali, kirim pesan pun tidak”

“Boro-boro telphon” gerutunya kembali menengadahkan wajah ke angkasa yang gelap bertabur bintang

“Wuaaahhh… keren! Galaksi kah itu?”

Tiba-tiba dikagetkan getar smartphonenya, pikirannya langsung nyaut pada Izack. Tapi begitu yang dilihat nama Rendra kembali lemas.

“Halo”

“Gimana kabarmu di situ?”

“Kemarin aku dimintai alamatmu sama tetangga kostmu dulu, Bang Hendrik”

“Oh.. ada apa?”

“Mau kirim barang, katanya”

“Kamu kasih?”

“Ya aku kasih, lah”

“Oh, ya sudahlah”

“Nomornya kamu blokir kah?”

“Enggak lah,”

“Katanya kamu blokir”

“????”

“Tunggu, tunggu? Sudah dulu ya, aku cek”

“Huu..! dasar gemblung! Pengantin baru nomor pasangannya di block tanpa ada masalah itu apa namanya coba?!” suaranya terdengar kesal membuat Chika tertawa ngakak membayangkan kebodohan dirinya.

“Oke-oke, bye!”

Ia teringat awal hendak berangkat, ia blokir nomor Izack yang dianggapnya banyak mengganggu tugas sebelum pemberangkatan. Saat itu di sela-sela diklat, ia blokir nomornya karena sering menanyakan kabar.

Saat dibuka blokiran, ratusan pesan masuk bertubi-tubi hingga hingga bibirnya tersenyum lebar.

 

@@@

    

Pagi itu ia harus membersihkan lahan bekas penebangan liar dengan bude dan pakde nya. Sementara seorang tentara muda melintas dengan diikuti beberapa anak sekolah, termasuk Bagus dan Ani yang panggil-panggil dari kejauhan pada orang tuanya.

"Mbak Chika!!" panggil Ani

Melihat seorang lelaki dengan baju hijau doreng, lamunannya langsung terbayang pada sosok Jendral bintang III dan senyuman Izack. Tanpa disadari seekor ular meliuk-liuk di depannya yang membuatnya spontan berteriak histeris.

Tanpa berpikir panjang lelaki dengan seragam hijau doreng itu melompat lari mendekati Chika mengisyaratkan untuk tetap diam dan tenang. Tetap saja raut Chika masih pucat pias saat tentara itu telah mengambil alih perhatian si ular dengan kepala yang meliuk-liuk. Begitu kepala ular berhasil dijinakkan, anak-anak kecil itu berlarian mendekat dan tertegun-tegun.

"Wooaaa... hebat!" seru anak-anak yang diisyaratkan agar mereka tetap tenang dan diam

"Jangan pernah bersuara, apalagi teriak jika bertemu ular, Non"

"Itu ancaman bagi mereka"

Tanpa mengatakan apapun, perhatian tentara itu langsung tertuju pada anak didiknya yang kini mulai mengerumuninya. Lelaki dengan kulit kecoklatan itu menjelaskan bagaimana kehidupan dan macam-macam jenis ular pada anak-anak yang mulai mengelus-elus ekornya dan berceloteh riang.

Chika terkesima kedekatan tentara muda itu pada anak-anak yang tampak serius mendengarkan keterangannya memberi tugas.

"Masih ingat keterangan kakak kemarin? Binatang apa saja yang termasuk jenis Reptil?"

"Buaya"

"Ular,"

"Kadal," jawab mereka berceluit.

"Sekarang, untuk PR di rumah. Keluarkan wadah yang kakak kasih ke kalian kemarin"

"Kalian boleh ambil binatang atau benda apapun yang kalian lihat, kita akan diskusikan besok pagi"

"Diskusi itu apa kak?"

"Ngobrol"

"Hahaha... bodoh kamu" umpat kawan-kawannya noyor bocah laki yang nyengir malu

"Oke, sampai jumpa lagi besok pagi"

"Dadaah kak.." senyum riang mereka meninggalkan tentara muda

"Terimakasih banyak, Bang" ucap Chika

"Sama-sama, Non"

"Warga Transmigran ya?"

"Oh, saya anak KKN sekaligus ikut bantu paman yang transmigasi, Bang"

"Yang dari Jawa?"

"Iya"

"Sekolah Alam sungguhan ya Bang," ujar Chika membuka percakapan sembari kembali memunguti batangan kayu yang sudah ia potongi

"Di Jawa mah, Sekolah model pembelajaran seperti ini bisa puluhan juta"

"Ya enggaklah Non, mereka kan pakai peralatan mahal dan fasilitas yang serba tercukupi"

"Iya, tapi materinya kan sama saja, Bang"

"Kalau mentransfer pengetahuan itu harus dengan biaya mahal, lalu kapan anak-anak ini bisa menikmati pendidikan yang katanya gratis dari negara"

Sejenak Chika terdiam terbayang keinginan meminta bantuan buku pada perusahaan Izack.

"Sebenarnya aku punya teman di Jakarta yang punya perusahaan penerbitan buku anak-anak berkualitas, Bang"

"Oh ya?"

"Sepertinya dia juga sering kirim buku ke pelosok-pelosok lewat CSR perusahaannya"

"Oh ya? Boleh lah!"

Gadis dengan rambut dikucir sebahu itu mulai menggigit bibirnya seakan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan terbesar, jika setelah membuka blokiran nomornya tahu-tahu telphon lagi minta kirim buku anak-anak.

"Coba deh nanti Bang, aku tanya-tanya dulu, bisa atau enggak ya?!" katanya

"Boleh! boleh?!" tentara muda itu manggut-manggut sambil memperhatikan Chika mulai mengangkat tumpukan ranting-ranting pohon yang sudah ia rapikan

"Kayu-kayunya untuk apa itu Non, rapi benar potongannya" kata tentara yang disambut tawa Chika

"Hwkwk... untuk banyak hal, Bang"

"Mari aku bantu bawa" ujarnya 

"Hehe... beneran ini?"

"Iya bener lah"

Siang menjelang sore itu mereka kembali bersama melewati jalanan setapak berupa tanah menuju kawasan pemukiman Transmigran yang masih gersang.

 

@@@

 

Pagi-pagi sekali, gadis yang makin hari tampak makin kurus dan kusam itu lari tergesa-gesa menuju kamar mandi umum yang berjarak kurang lebih 500m dari rumahnya.

“Ah… begini repotnya orang-orang pelosok, tak bisa buang air besar sewaktu-waktu” katanya ngedumel saat melintas halaman gardu pos penjagaan lintas Negara.

Seorang tentara yang menjinakkan ular kemarin hari itu baru saja keluar dari pos jaga. Melihat gadis itu lagi, si tentara muda tertawa geli melihat gadis itu berlari sambil menggerutu.

“Kenapa?” tanya kawannya yang baru saja keluar

“Oh itu, pendatang baru dari Jawa”

“Lumayan ada hiburan, Bang” tawa mereka spontan  

Entah berapa lama kemudian Chika kembali melintasi pos jaga dengan gerak-gerik aneh seakan ada sesuatu yang membuatnya risih. Saat itu langit mulai terang, tentara muda yang saat itu tengah menyirami sayuran di sekelilingnya tiba-tiba dikejutkan Chika yang kembali melintas.

"Pagi, pak!" sapa Chika cengar-cengir

"Maaf Pak, boleh minta airnya?"

"Satu ember ini saja" jawabnya menunjukkan ember kecil yang dibawanya

"Buat???"

Chika cengar-cengir bingung 

“BAB, Pak” jawab Chika meringis malu

Tentara itu mempersilahkannya masuk. Tak lama kemudian Chika membawa seember kecil air.

“Terimakasih banyak”

“Mari, Pak…” seru Chika cuek melangkah pergi

“Hei, Kak! Sepertinya kita kan sebaya toh… jangan panggil Pak, lah”

“Oh, terus?” jawab Chika berwajah polos sembunyikan tawa geli

“Bang, lah…”

“Cie… Abang!” sorak teman-temannya

“Ingat ya, kalau ada ular…”

Chika tertawa lebar, ia hanya mengangkat tangannya pergi begitu saja.

“Tomboy sekali itu anak?” tawa tentara muda itu geli

 

(Dalam penelitiannya, Chika berhasil menemukan beberapa spesies tanaman yang berhasil bertahan dan akan kembali tumbuh saat musim penghujan tiba. Jadi tugas dirinya saat itu adalah bagaimana caranya mendatangkan air ke tengah lahan bekas hutan yang kini gersang karena pembakaran hutan)

@@@



Begitu sampai di rumah panggung yang terbuat dari lempengan-lempengan kayu itu, ia terkejut ada seorang tamu bapak-bapak.

“Chika, kamu diminta Pak Idrus ngajar di SD depan”

“SD? Dimana?” katanya sembari duduk

“Dekat pos jaga tentara, Mbak”

“SD?” Chika menelan tawa terbayang gubug kecil yang sering dilewatinya itu

“Oh, dengan senang hati, Pak”

“Tapi maaf, sebelumnya… di sana baru ada peralatan seadanya”

“Oh, baik Pak… akan saya usahakan sebisa mungkin belajar tanpa alat” jawabnya terbayang cara pengajaran model tentara kemarin

“Dia ini seorang wartawan sekaligus penulis buku, Pak” jelas Pak lek pada pak Idrus

Chika melotot geram “Pak lek…!”

“Beneran? Bagus kalau begitu,”

“Kalau begitu sekarang saja, Mbak”

“Tapi??” Chika gelagepan merasa belum siap

“Sudah ada guru baru yang datang, itu luar biasa senang bagi anak-anak” jawab Pak Idrus membuat perasaannya spontan teriris

Saat itu Chika segera pergi berkemas membawa beberapa peralatan dan pamit berangkat. 

Dinginnya udara pagi itu masih terasa begitu menggigit. Ia mulai terbiasa jarang mandi mengingat kamar mandi umum harus ngantri. Sementara aliran air di rumahnya tidak begitu lancar, kadang hanya cukup untuk keperluan buang air kecil, cuci piring dan masak. Baginya inilah perjuangan yang sebenarnya, dibanding ngoceh ngalor ngidul di mass media, ataupun sekedar basa-basi menjadi mahasiswi yang baik dan cepat selesai. 

Di Tapal Batas ini, untuk pertama kalinya aku belajar mengerti bagaimana hidupku begitu berharga bagi keberlangsungan generasi penerus negeri ini di Garda paling depan pulau yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Yang tiap saat bisa dihisap kapanpun negara butuhkan, sementara mereka hanya bisa menghisap debu dan asap yang dihamburkan dari truk-truk yang melintas jalanan makin rusak. 

Begitu tiba di lokasi, kakinya mulai terayun pelan memandangi lekat-lekat tiap sudut bangunan lempengan kayu, dengan sebuah tiang bendera yang berkibar saat mereka datang. Sepetak halaman untuk mereka bermain, dan palangan papan peniti sebagai tempat bermain-main. 

Dengan perasaan ragu ia melangkah naik tangga kecil sederhana dari papan kayu. Ia terkejut begitu melihat tentara muda itu ternyata masih mengajarkan matematika di depan kelas, lengkap dengan seragam hijau doreng Angkatan Daratnya. 

Entah mengapa tiba-tiba perasaannya tergetar. Ada rasa heroik yang muncul dalam hatinya yang membuatnya spontan menitikkan air mata. Entah bagaimana tepatnya, tapi ini benar-benar luar biasa. 

Begitu tentara itu selesai menuliskan latihan penghitungan di papan tulis ia segera keluar menemui Chika.

“Selamat pagi,”

“Pagi,” jawab Chika

“Benar ini yang namanya Luchika Arino, calon guru baru?”

Spontan Chika tertawa lebar mendengar kata-kata “guru” 

“Kenalkan, saya Mahardika”

“Oh,” jawab Chika membalas jabatan tangan berotot itu 

“Jujur saja, sebenarnya saya tidak punya background guru, Bang”

“Oh, tenang saja Non… di sini, siapapun bisa jadi guru asal bisa mengajarkan sesuatu yang baik untuk mereka. Terutama bebas buta huruf dan hitung”

“Di daerah terpencil seperti ini, orang-orang seperti kita ini sangat dibutuhkan. Tidak peduli backgroundnya apa"

“Inilah kerja yang sebetulnya untuk negeri ini” pikirnya tergetar semangat

“Mari, silahkan perkenalan dulu” katanya

 Begitu masuk, wajah-wajah polos itu memandang penuh antusias.

"Masih ingat dengan kakak kemarin?"

"Ingatlah,"

Mereka saling bersahutan celoteh antara satu dengan yang lain. Wajah-wajah polos mereka benar-benar tampak hidup, termasuk Bagus dan Ani yang dulu selalu murung saat di kelas karena beban PR dan kewajiban mengerjakan. Tapi kini, wajah mereka tampak antusias mendengarkan apapun yang diucapkan orang di depan.

"Mbak Chika pacaran sama pak tentara ya?" cletuk salah satu dari mereka

"Hush!"

"Hei! mbak Chika itu sudah menikah sama orang Jakarta"

Tentara muda itu kaget, ia diam gugup menyembunyikan kekecewaannya.

Chika langsung mengalihkan perhatiannya pada sebuah peta yang ia tunjukkan di layar laptopnya. Mereka diminta maju sekitar dua sampai tiga anak untuk bisa melihat peta kawasan dimana mereka tinggal dan menunjukkan hanya seberapa luas hutan yang tersisa bagi keberlangsungan satwa liar.

Mulailah terjadi diskusi kecil yang menghidupkan suasana kelas.

Tak terasa, ia mampu membawa suasana kelas itu kembali hidup dengan dialog maupun nyanyian yang terkadang ia sendiri tidak hafal. 

Sementara di luar sana, matahari mulai beranjak naik memancarkan sinarnya di segenap alam raya yang terasa hening. 

 

@@@

 

Sore hari selepas pulang dari kawasan hutan yang masih utuh dengan jarak puluhan kilometer, Chika duduk termangu di atas teras depan anak tangga kayu Basecamp sambil mengurut-urut kakinya yang tampak kusam dan pecah-pecah sekalipun selalu tertutup sepatu boot. Sorot matanya memandang lepas hamparan tanah gersang yang telah digunduli. Sesekali matanya tertuju pada smartphonenya. Dengan perasaan ragu ia kembali mengirim pesan.

 

Halo Bang, bagaimana kabarmu?

 

Pesan itu terkirim begitu saja sembari menarik nafas lega.

“Ah… barangkali saja dia sudah melupakanku dan bertemu dengan perempuan lain” batinnya menghela nafas panjang. 

Ia terdesak terlanjur janji pada tentara yang mengajar di sekolahnya untuk mencarikan bantuan buku bacaan anak-anak yang dibutuhkan. Dan satu-satunya orang terdekat yang 99% bantuannya keluar, itu Izack. Tapi ia bingung harus darimana ia memulai percakapan dengan swaminya yang sudah lama blokir nomornya karena selain kesal menanyakan kabar, ia juga kesal membiarkan agenda turun jalan Mahasiswa akhirnya dijalankan.

Pikirannya melayang kemana-mana membayangkan lelaki itu sudah berpindah hati pada perempuan lain dan disibukkan bersama kemana-mana dengan agenda politik negara yang tengah digaungkan detik-detik ini.

Dalam ketidaksadarannya, ia dikagetkan dengan getar smartphone yang masih dalam genggaman tangannya spontan kaget terpelanting jatuh reflek tangannya hendak meraih tapi ia tak sadar dirinya duduk di atas tangga dengan kemiringan lumayan tajam sehingga ia pun jatuh tersungkur dari tangga.

“Gdebugkk!!”

“Eishh!”

“Nggak apa-apa, Non?” tiba-tiba saja ada suara dan tangan berotot menolongnya bangun

Ia nyengir kesakitan nggliyeng dipapah kembali duduk di anak tangga paling bawah.

“Ada telephon, Non”

“Halo?” tentara itu menjawab panggilan telphon smartphonenya

“Mbaknya baru jatuh dari tangga, Mas” jawab tentara itu lagi yang langsung memberikannya pada Chika

Ia melihat permintaan video call dari Izack membuatnya terkejut. Cepat-cepat ia membersihkan wajahnya. Dua tentara itu seperti tercengang melihatnya jatuh dari ketinggian tangga tapi masih bersikap seolah baik-baik saja.

“Kamu nggak apa-apa, Non?”

Chika nyengir “Nggak apa-apa, Bang… beneran” katanya menekan kening dan matanya yang mulai tampak lebam dan sedikit berdarah

“Terimakasih banyak”

“Oh.. okey, kita tinggal ya”

“I iya Bang, terimakasih” jawabnya gugup nyengir antara kesakitan dan malu

Dua orang tentara itu pergi meninggalkan Chika sambil senyum-senyum “Emang yahud kekuatan cinta mengalahkan rasa sakit” suara itu terdengar sayup-sayup di telinganya membuatnya malu. Ia segera mebuka video call tersebut, melihatnya lelaki tampan beralis tebal itu membuat irama jantungnya seperti sedang menari-nari.

“Halo??!” suara itu terdengar jelas

“Iyyya, Bang” jawab Chika gugup meluap-luap bahagia seakan tengah mengatur degup jantungnya yang seakan meledak keras setelah sekian lama tidak pernah melihat wajah lelaki ganteng yang kata teman-temannya mirip artis asia itu.

“Kenapa kamu?” terkejut melihat wajah Chika lebam

“Jatuh dari tangga” 

Melihat kelopak mata Chika yang bengkak kebiru-biruan, Izack tampak menahan tawa.

“Itu tandanya kualat kamu, nomorku kamu blokir”

Chika berkecap kesal “Sudahlah Bang.. jangan ajak berantem lagi sakit semua badanku”

“Katamu tadi nggak apa-apa…” tawa Izack geli

“Iya, masa aku ngadu nangis-nangis begitu di depan tentara”

“Aku tebak akhirnya kamu kangen juga kan…”

Chika mencibir

“Iya, aku kangen bantuan buku bacaan anak-anak”

“Gimana mau bantu, alamat saja nggak tahu”

“Bukannya Rendra sudah kasih ya?”

“Hm, siapa tahu alamtnya palsu”

“Bagaimana dengan proyekmu?”

“Ini aku sendiri malah justru diminta ngajar di SD komplek Transmigrasi desa paman. Rencananya anak-anak aku libatkan juga dengan proyek penelitianku untuk melihat langsung flora dan fauna asal daerah ini”

“Lalu aku gabung dengan proyek kelompok”

“Mantap…”

“Nggak salah pilih aku, istriku selalu cerdas meramu masalah dan mengatasinya sekaligus”

“Tapi kelompokmu setuju dengan itu”

“Pastilah... kan aku libatkan warga lokal juga untuk melakukan penelitian dan pengumpulan object yang aku butuhkan”

“Sip!”

“Tapi, aaahhhh…”

“Kenapa?”

“Airnya minim, tiap pagi harus bolak balik ke kamar mandi umum yang tempatnya jauh”

Izack tersenyum lebar “Gimana? Mau nyerah”

“Enggaklah,”

“Good! Bukan Luchika Arino kalau nyerah”

Pettt… tiba-tiba layar hang tidak keluar video. Ia lihat signal kembali minim

“Hahh...”

 

@@@

Ditengah keriuhan urusan organisasi dan perusahaan, tiba-tiba Papanya kirim pesan singkat yang isinya pemberitahuan lelang tanah di daerah Yogya bagian ujung. Beliau menyarankan dibeli dengan menggunakan uang bekal pernikahan simpanan miliknya, dan ayahnya menambahinya jika kurang. Tanah itu adalah tanah lelang hasil sitaan korupsi negara milik salah satu pejabat.

“Tapi Pa, kalau aku membelikan tanah untuk observasi dia, dia bakal nggak peduli lagi dengan rumah tangga kami”

“Hmm... aku kira Chika bukanlah gadis semacam itu, Izack...”

“Hari gini, mana ada cewek se usianya yang mau bekerja keras di saat suaminya sudah mapan dengan pekerjaannya. Jadi, bersyukur saja”

“Tinggal kamu perlu membuat pagar, agar dia tidak sampai keluar dari range keluarga”

“Otak dia itu sepertinya nggak pernah berhenti berpikir yang menyebabkan dia terus bergerak kesana kemari”

“Itulah orang cerdas”

“Bersyukurlah kamu punya calon ibu cerdas yang bakal melahirkan anak-anakmu”

Izack melenguh kesal

“Tahu nggak sih, Yah! Aku bisa tidur bersama itu lama sekali setelah pernikahan, itupun..?!!” suaranya tercekat diam membayangkan dirinya seringkali harus onani karena istrinya yang menolak diajak berhubungan badan

Lagi-lagi ayahnya tertawa paham

“Sebenarnya kamu itu sama seperti dia”

“Tinggal trikmu saja, seberapa bisa kamu membuatnya nyaman”

“Awal pernikahan dulu aku kira dia bakal tertarik bekerja di kantorku. Sudah aku siapkan magang di sana. Tapi ternyata… begitu pulang Yogya, sudah bawa proposal KKNnya sekaligus proposal penelitian untuk Skripsinya di Kalimantan”

Ayahnya tersenyum lebar “Hebat!”

“Bukankah harusnya KKNnya ini sudah selesai?”

“Hm, dia terlalu baik, diminta warga untuk mundur 2 bulan, dia mengikuti dan cuti dari Kampus”

“Kampus membolehkan?”

“Tentulah”

“Haha… mantap, dan kamu kesepian lagi”

“Hhh…”

 

@@@

 

Sementara di Desa Transmigran dimana pamannya tinggal, musim hujan mulai tiba, bibit tanaman yang ditanam oleh anak-anak KKN dengan cepat tumbuh subur membuat lahan yang awalnya nampak gersang kini terlihat hijau segar dimana-mana. Tapi sisi lain, jalanan yang masih berupa tanah, kini perlahan mulai lembek dan berlumpur saat dilewati kendaraan yang menjadikan bergelombang dan susah dilewati.

Hari demi hari sejak anak-anak KKN meninggalkan daerah itu, cuaca mendadak ekstrim menjadikan warga mulai berjatuhan sakit. Dari sekedar demam, batuk pilek, gatal hingga ISPA.

Cuaca terus menerus mendung, menjelang waktu sore hujan selalu lebat tak terkira menjadikan warga tak bisa mendapatkan pertolongan apapun, karena selain listrik sering mati, jaringan signal jelek, komunikasi antar warga pun jadi terputus, karena jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya saling berjauhan.

Hari demi hari beberapa warga diungsikan ke serambi masjid sebagai pengganti Rumah Sakit. Chika salah satu pemudi yang diandalkan warga pun akhirnya mau tidak mau turun ke lapangan membantu dokter yang sengaja didatangkan dari daerah lain dengan segala keterbatasan fasilitas.

Di tengah kelelahan yangtidak lagi peduli pada kondisi tubuhnya pasca operasi, apalagi keluarga pamannya yang beberapa hari ia tinggalkan sampai pada satu ketika tetangga dekat yang datang ke serambi masjid untuk mencari pertolongan untuk anaknya mengatakan pak lek dan bu leknya demam tinggi.

Saat itu pula Chika lari keluar tunggang langgang seperti orang hilang ingatan. Bahkan ia tak mendengar panggilan orang-orang yang mengingatkan akan makanannya yang tertinggal. Ia hanya ingat Hp nya masih dalam genggamannya.

Di bawah langit yang mendung  lupa segalanya kecuali bayangan wajah satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini. Langit tampak mendung, setetes demi setetes jatuh membasahi pipinya yang basah hingga berubah menjadi hujan lebat. terperosok ke dalam tanah berlumpur hingga hujan deras pun tiba dan menangis sejadi-jadinya, karena kesal dengan dirinya yang merasa lemah. Orang-orang sibuk dengan keluarganya masing-masing yang berjatuhan sakit, sebagian ada yang sampai meninggal tak tertolong.

Ia pasrah dengan bajunya yang sudah terlanjur basah kuyup, hingga di depan rumah ia mengelap air matanyanya dan bersikap seolah semua baik-baik saja.

“Mbak Chika…!!” tangis pecah Bagus berlari mendekap Chika yang basah kuyup

“Bapak, mbak Chika….!! sudah nggak bernafas” tangisnya pecah di tengah hujan lebat dan Guntur yang menggelegar, saat ia masuk tampak bulik dan Ani sudah terkulai lemah di balik selimutnya terdiam memandang Chika yang datang.

Siang menjelang sore itu hujan luar biasa lebat disertai angin menerbangkan apapun yang ada di sekitar, termasuk beberapa genting rumah yang terbuat dari seng. Saat itu pula ia lari keluar menjerit sekeras-kerasnya.

“Toloooongg…!!”

Sepi, tak ada seorang pun yang keluar.

“Toloooong…!!” entah berapa kali ia berteriak nyaris seperti orang gila, hingga datang dua orang tentara mengendarai motor yang sudah belepotan lumpur.

Saat ia masuk rumah, kaget mendapati gadis kecil itu sudah tak lagi bernafas.

Lewat Walky Talky tentara itu, mereka meminta bantuan mobil ambulans berharap masih bisa diselamatkan, saat itulah Buliknya lirih memanggil-manggil Chika.

“Ndukk… duduk sini saja”

“Aku buatkan air panas dulu, Bulik”

“Nggak usah, aku pingin dekat sama kamu”

Glukkk! Air matanya tumpah berderai menahan suara tangis 

“Maaf, Bulik.. aku nggak pulang dari kemarin”

Berkali-kali tangannya mengusap air matanya yang tumpah hingga pedih melihat satu-satunya keluarga yang dimilikinya sekarat.

"Andai kamu pulang ikut kelompokmu, kamu sudah aman Nduk…"

“Inilah bentuk pengabdianku, Bulik…”

Jemarinya yang keriput dan gelap mengelus tangan Chika “Bulik bersyukur banget punya keponakan sepertimu Nduk.. mandiri, cerdas dan gigih”

“Bulik dan Paklik minta maaf tidak kuat menyekolahkanmu, Nduk...” suaranya parau oleh tangisnya yang mendadak pecah

“Gimana suamimu?”

“Jangan terlalu cuek sama dia, orang seperti kita mendapatkan lelaki seperti nak Izack itu sudah sangat bersyukur..” tuturnya lirih tersengal-sengal dengan air mata kembali tumpah melirik paman dan Ani yang sudah diangkat dua tentara. Mereka menutup seluruh tubuhnya dan membawanya keluar. Saat itulah Bagus menangis sejadi-jadinya menarik-narik tubuh ayahnya yang telah kaku membuat tentara itu kesulitan meminta pertolongan Chika.

“Ani.. bangun, An!!”

“Mas minta maaf kalau main sering meninggalkanmu, mas janji nggak akan meninggalkanmu lagi!!” tangisnya lagi-lagi pecah hingga Chika mendekapnya erat dari belakang

“Bangun An..!!!” jeritnya menarik-narik jasad gadis kecil yang diabawa dengan tandu

“Bagus, tenang”

“Tenang, Bagus!!” dekap Chika berderai air mata

“Mbak Chika…” panggil tentara itu tenang mengundang perhatian pada Buliknya yang sudah tak bernafas lagi

Spontan ia menangis kencang sejadi-jadinya seperti tengah memecahkan keriuhan suasana hujan di luar yang perlahan mereda.

Hening,

Chika memeluk erat Bagus yang seketika pingsan.

“Bagus!! Kamu harus sehat Bagus!!” pekik Chika mengguncangkan tubuhnya keras, tapi pak tentara itu segera mengambil alih dan membopongnya keluar dan melarikannya ke Masjid saat ada seorang mengendarai motor.  

 

@@@

 

“Tolong, kawal reformasi kita jangan sampai ada pihak asing yang masuk”

“Dan jangan sampai kondisi chaos”

“Se marah apapun kita pada mereka, tapi tolong jaga sikap kita di publik”

“Asing sudah membangun pangkalan militer di sekitar Indonesia. Kalau sampai terjadi sesuatu,

Sisi lain Izack yang masih sibuk ngurusi move Mahasiswa dari berbagai belahan penjuru negeri terkait pelengseran Presiden, kalang kabut bingung mendengar kabar dari kampus jika daerah yang ditinggali Chika terjangkit wabah Malaria mengakibatkan puluhan orang meninggal karena tak tertolong.

Ia ngadu pada ayahnya untuk menjangkau daerah tersebut dengan bantuan pesawat Hercules terbaru milik ayahnya.

“Zack… Papa minta kamu hentikan aksi demo, tidak pernah kamu gubris. Dan sekarang kamu mengemis-ngemis minta bantuan pemerintah”

“Lagipula sejak kapan Papa memakai pesawat untuk kepentingan pribadi, Izack..” ujar Papanya santai

“Ini bukan hanya Chika saja, Pah”

Ia menceritakan kejadian yang melanda warga Transmigran yang terjangkit wabah Malaria dan terisolir karena keadaan yang lumpuh.

Lelaki itu merasa risih dan menelpon bawahannya untuk mengirimkan pasukan dan bantuan obat-obatan langsung dari Jakarta ke daerah tersebut.

“Papa ingatkan kamu untuk segera akhiri demo-demo itu, Izack... apapun alasanmu”

“Pa, apa niat Papa dulu waktu ingin jadi prajurit?”

“Bukankah melindungi negara ini”

“Sama Pa, kita tidak bisa lagi menutup mata dan pura-pura nggak melihat kenyataan yang dirasakan rakyat kita hari ini”

“Saya dan Chika juga sempat berantem via telphon terkait demo ini”

“Benar, memang dari kalangan AMI yang menggulirkan bola panas itu ke publik, tapi bola itu sudah menggelinding kemana-mana dan sudah bukan milik kami lagi, apalagi saya”

Papanya diam memandang mata Izack lekat-lekat antara paham apa yang dikatakannya, dengan posisi dirinya yang sudah tidak aman-aman saja di mata pemerintah karena dianggap anaknya memberontak kepemimpinan saat itu.

“Kamu akan tahu sanksi apa yang bakal Papa terima saat membantumu kan, Zack”

“Di depan ada pak Irwan yang bakal mengantarmu ke Bandara, sementara logistik sedang mereka siapkan. Mungkin tiga jam dari sekarang mereka akan segera diberangkatkan bersama tim penanggulangan bencana. Ikutlah bersama mereka”

“Terimakasih banyak Pa” ucap Izack tampak sumringah menyalami tangan lelaki tua itu dan menciumnya lalu keluar.

 

@@@

 

Sabtu pagi para tentara dan warga setempat sibuk memperbaiki jembatan yang terputus akibat guyuran hujan dan terpaan angin berhari-hari. Saat itu kondisi Chika mulai membaik, ia  membantu ibu-ibu memasak di tempat yang tak jauh dari sana.

“Katanya mau ada bantuan dari Jakarta, tapi sampai hari ini belum sampai juga pesawatnya”

“Mungkin karena cuacanya buruk, Bu” jawab Chika yang masih memakai jaket tebal sedikit basah

Tak lama kemudian, dari jauh tampak iring-iringan tentara dengan mobil bak yang membawa logistik. Diantara kerumunan itu, nampak seorang lelaki dengan wajah mirip artis asia muncul di balik wajah bapak-bapak tentara. Lelaki itu memakai rompi cokelat muda dengan kacamata hitam diiringi dua orang lelaki di belakangnya turun dari mobil bak di Basecamp tentara yang tak jauh dari sana. Mereka dipersilahkan masuk, tapi sepertinya ia menolak hingga ditunjukkan rumah dimana Chika berada.

“Wah, ada artis Jakarta yang datang” seru ibu-ibu

Saat Chika menoleh ia terkejut melihat lelaki itu berjalan melenggang melintasi jalanan sedikit berlumpur menuju ke arahnya.

Ia melotot kaget saat dua pasang mata itu saling terhubung.

“Siapa itu?” celoteh ibu-ibu sambil sesekali ngobrol kesana kemari meracik bumbu sarapan pagi. 

Bagus yang sejak tadi asyik main bareng beberapa anak lainnya ikut kaget dan berlari ke arah Izack.

“Mas Izack…!!”

Semua mata justru menoleh pada Chika yang seperti tercekat tak bisa berkata-kata.

Lelaki itu melepas kacamatanya dan memeluk erat Bagus yang masih kotor

“Hallo Boy!!”

“Loh? Siapanya mbak Chika?”

“Pacarnya mbak Chika ya?” tanya ibu-ibu melongo yang hanya disenyumi Chika

Antara haru dan tak percaya, Chika terdiam mendadak berkaca-kaca seakan menemui oase di tengah gurun pasir yang kering.

“Mbak Chika, Mas Izack datang…!”

“Ayo sana Mbak, temui saja dulu. Kasihan jauh-jauh dari Jawa”

“Hm, terimakasih bu.. pamit dulu”

“Ya mbak, iya”

Chika berjalan ragu ke arah dimana dua orang itu berada.

“Bagus, kamu ngotori bajunya Kak Izack”

“Masih ada mesin cuci di rumah, sayang..” senyum Izack menyambut Chika yang langsung dipeluknya erat dan mencium bibirnya

“Nggak baik dilihat banyak orang, Bang…”

“Biarin saja, toh kita sudah halal”

“Iya tapi..” tangannya membungkam mulut Chika seketika

Spontan ibu-ibu terpesona dan senyum-senyum salah tingkah dengan sikap agresif lelaki tampan itu. Saat itu dua orang teman Izack datang membawakan tiga tas backpacernya. Mereka dituntun Chika pergi ke rumah pamannya yang tak jauh dari sana.

Izack kembali memakai kaca mata riben nya yang gelap. Ia mengembangkan senyumnya sekilas pada kerumanan ibu-ibu yang tengah sibuk memasak.

Saat mereka tiba di rumah, Izack langsung membongkar tas gunungnya dihadapan Bagus dan dua orang temannya.

“Wuaaa…!”

“Boleh minta, mas?”

“Boleh, ini buat kamu semua”

“Boleh aku bagikan ke teman-temanku?”

“Boleh, kenapa tidak?”

Tak lama kemudian dua ibu-ibu datang membawakan sarapan hasil dari masak-masaknya.

“Loh, bu?”

“Nggak apa-apa mbak… kita sudah matur nuwun banget sama mbak Chika yang mau tinggal di sini, sekalipun KKNnya sudah selesai”

“Loh??” Izack melotot

“Mas, mbaknya ini orangnya baikan banget. Berhari-hari dia bantu ngurus warga yang berjatuhan sakit, tapi…”

“Pakliknya sendiri nggak ketolong” si ibu mulai mewek

Izack bingung harus bersikap bagaimana, ia menundukkan pandangan mendengarkan paparan cerita si ibu, hingga ia diajak pamit oleh temannya.

Sunyi…

Izack kembali memeluk Chika yang kini tampak lebih kurus dan pucat.

“Aku belum berhasil mendapatkan bibit tanaman yang aku cari, Bang” ujar Chika

“Kapan-kapan aja, sekarang mau nggak mau kamu harus pulang dulu”

“Tapi,..” Izack membungkam mulutnya

“Sesekali kamu patuhi perintahku apa salahnya, sih?”

“Tolong kondisi badanmu sendiri dulu, baru menolong orang lain”

 

@@@

 

Tak seperti biasanya, malam itu nampak cerah. Bintang gemintang terlihat berhamburan di atas langit yang gelap. Beberapa warga menemani Izack membuat api unggun di samping rumahnya. Tak lama kemudian Bagus dan dua orang temannya datang membawa perbekalan mereka.

“Besok pagi kita jadi pulang kan, Izack?”

“Hm, iya” jawab Izack menatap Chika

“Kamu ikut pulang kan, Non?” tanya lelaki dengan poni terbelah dua di tengah itu pada Chika

“Pulang saja Non, kita nggak ingin ada orang gila yang suka marah-marah nggak jelas” timpalnya lagi sambil senyum senyum. Sementara Izack santai menambah kayu-kayu yang masih basah ke api unggun. Sementara bagus memasukkan plastik bekas makanan ringan itu ke dalam api hingga api kembali meledak saat botol kotak minuman itu menyemburkan udara menimbulkan percikan api. 

“Jujur saja, setengah gila dia minta bantuan Papa nya”

Chika melotot

“Aku bukan seorang milyuner, Non... kalau nggak minta bantuan Papa mana bisa dapat pesawat Hercules sampai sini”

Glekkk… Chika sadar perjuangan suaminya nggak main-main.

Izack kembali memegang jemari tangannya dan menatap mesra.

“Hmm..h! sudah sudah! Kita nggak mau jadi obat nyamuk” cletuk temannya lagi yang hanya disambut tawa semua.

Malam itu kembali terasa hangat, dan ia mulai merasakan demamnya benar-benar telah turun setelah sejak kemarin masih merasakan

 

@@@

 

 

Saat pagi buta mereka dijemput dua mobil milik tentara. Chika, Izack dan Bagus terpisah dengan mobil satunya yang berisi dua orang teman Izack dari AMI. Mereka mendapat perintah langsung dari atasan mereka di Jakarta untuk menjemput anak dan menantu pimpinannya.

"Oh, mbak Chika... kenapa tidak pernah cerita kalau kamu ini menantunya pak Jendral?" ujar seorang tentara di depannya membuat Chika spontan melongo

Chika hanya tersenyum lemas "Kalau bilang terus gimana, pak?"

"Kalau seperti ini kan saya kena teguran dari atasan saya"

"Dikira tidak menghormati atasan"

"Kan yang jadi Jendral mertua saya pak,"

"Iya, tapi.." Izack menyikut Chika hingga mulutnya kembali diam

“Luar biasa menantunya pak Jendral ini, saya salut sama istrimu mas..”

“Benar-benar humble. Meskipun KKN sudah berakhir, tapi dia masih mau mengabdi untuk anak-anak di sana”

“Masyarakat yang meminta, pak... saya tidak tega melihat mereka semangat pergi ke sekolah, tapi sampai sana nggak ada guru”

“Hm, begitulah kondisinya mbak”

“Mas, tolong sampaikan salam maaf saya sama Pak Jendral ya..”

“Siap pak, dari bapak siapa?”

“Dari pak Purnomo” katanya sembari menyebut kode kompi nya 

Sepanjang perjalanan dengan mobil TNI FWD 4x4, Bagus masih saja murung. Sesekali ia menahan tangisnya merasa tidak enak dengan Izack yang duduk di sebelahnya.

“Kenapa Boy? Kalau mau nangis, nangis aja” katanya menatap dalam.
Bocah lelaki dengan mata besar itu menggamit pergelangan tangan sepupunya, sementara Chika mengusap-usap lembut rambutnya yang mulai gondrong "Mbak Chika, kasihan bapak sama mamak… kenapa nggak dibawa saja?"

"Kapan-kapan kita jenguk makam bapak sama mamakmu Bagus. Ok?" kata Izack yang hanya dianggukkan bocah laki kelas 4 SD itu.

Saat itu mata Bagus mulai sayu menahan kantuk.

“Sini, kepalamu sandarkan sama mas Izack” setengah ragu Bagus merebahkan kepalanya, tapi Izack menekannya dan mengusap keningnya hingga ia memejamkan mata dan tertidur pulas. Chika yang merasa tidak enak hanya melirik raut Izack mengusap kepala dan membiarkan pangkuannya sebagai penumpu kepala dan badan Bagus.

Senyap, hanya suara mesin dan kaki-kaki mobil melewati jalanan bergelombang diiringi suara  serangga sepanjang lahan hutan yang telah dibabat menjadi ladang gersang.

Melihat sepupunya telah mendengkur, Chika kembali membuka mulutnya lirih

“Kamu nggak keberatan bawa Bagus, Bang?” ujarnya lirih menatap mata Izack

Izack menyilangkan jarinya untuk diam

"Terus, kalau mau ditinggal dia mau hidup sama siapa?" ujarnya

"Iya aku tahu, tapi aku takut sama orang tuamu kalau nggak menerima dia"

“Itu urusanku”

"Mulai sekarang apapun yang berkaitan dengan orang di luar kita, aku yang akan menghadapi”

“Kelak, aku serahkan urusan urusan rumah dan Bagus kepadamu”

“Tapi,”

“Kalau memang ada kendala, kita akan diskusikan bersama”

“Mungkin dalam beberapa minggu ke depan aku akan sering di luarnya daripada di rumah”

“Aku minta penjagaan satu orang bawahan ayah dan dua orang dari AMI untuk menjaga kalian”

“Haa..? enggak! Aku nggak mau”

“Please! Kondisi sekadang masih genting”

“Ketika orang sudah tahu kalau kamu bagian dari aku, mungkin sasaran mereka bukan lagi aku melainkan kamu” kata Izack

 

@@@

 

Penerbangan dari Kalimantan ke Jakarta kurang lebih memakan waktu 1.30.

Bocah lelaki kecil yang baru pertama kali merasakan naik pesawat benar-benar merasa excited. Rautnya yang sedih perlahan pudar semenjak Izack menukar tempat duduk untuknya dekat jendela yang memperlihatkan bentangan alam hijau yang beberapa sudah gersang ditumbuhi beton, hingga ia lupa saat sampai di Bandara dan masuk ke salah satu sudut foodcourt. Seorang lelaki datang dari belakang Chika menyapa Izack membuat gadis itu kaget bukan main hingga diam-diam menutup matanya dengan cover penutup wajah dan pura-pura tidur. Dia adalah Dhani, senior Chika di fakultas Kehutanan.

"Ampuuunn!" pekik batinnya keras memejamkan mata erat merebahkan punggungnya pura-pura tidur.

“Gimana? Lancar?” tanya Izack lagi

“Lumayanlah, selain memasarkan produk warga binaan pengelola hutan, bisa untuk tambahan uang saku teman-teman”

"Sekarang tinggal dimana?"

"Yogya, cari tempat yang nyaman buat Papa"

“Loh?!”

“Lalu disini?”

“Dikelola teman-teman, Bro”

“Kamu fakultas Kehutanan kan? Istriku juga loh.. tapi S1” kata Izack hendak mengenalkan Chika, tapi gadis itu pura-pura pulas tertidur.

Bagus yang duduk di sampingnya mengguncangkan tubuh Chika membuat gadis itu pura-pura kaget.

“Lohhh???” Dhani melotot

"Sudah lama?"

“Apanya?”

“Menikah”

"Belum, baru beberapa bulan ini lah"

"Terus dia??” tunjuknya pada Bagus yang seketika itu ramah mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman 

“Hai, Boy!”

"Loh? anak?"

Izack garuk-garuk kening tersenyum

"Aku sepupunya mbak Chika, istrinya om Izack" jelas Bagus

"Oh… loh-loh, tunggu!"

“Kenal darimana?”

"Kamu nggak pernah cerita kalau kamu sudah menikah?"

"Baru berapa bulan ini, Bro"

“Wah, jahat kamu. Nggak kasih kabar teman-teman”

“Kita baru nikah KUA, Bro”

"Oh..."

"Aku ke Toilet dulu Bang, mari Kak.." Chika cengar cengir pura-pura ngelap wajah meninggalkan senyum lebar di bibir Dhani yang paham bagaimana perangainya sekilas

“Kenapa?”

“Kalian saling kenal kah?”

"Ini" tunjuk keningnya bekas luka jahit

Ia mulai menceritakan pertemuan pertamanya dengan Chika di hutan kampus gara-gara terkena lemparan batu darinya karena masalahnya.

"Jadi??" Izack melongo dan tertawa terkekeh melihat bekas luka di kening Dhani

"Serius?"

"Iya, makanya dia nggak enak melihatku?"

"Oh..."

"Pilihanmu memang unik, Bro" ujarnya

"Kenapa?" 

“Pantesan, dari dulu banyak cewek yang ngejar-ngejar tapi kau nggak respek sama sekali”

"Dia itu gadis lugu, polos, tapi pekerja keras juga" ujarnya menceritakan pengalamannya melihat dirinya dimarahi preman di pinggir jalan gara-gara melepaskan bocah kecil pencuri apel.

“Loh?? Tunggu-tunggu! Saat itu kamu dimana? Aku melihat kejadian itu juga”

“Oh ya??!”

“Aku di mobil”

“Aku di Café pojok”

“Oh…” keduanya tertawa bersama yang seketika Izack diam dengan raut sedikit aneh

"Hari gini cari cewek seperti dia susah, Bro" katanya menepuk pundak Izack

Izack senyum-senyum seakan maksud kata-kata kawan lamanya. Melihat Chika berdiri dan seolah menunggu kepergian lelaki di depannya, Izack pun paham. 

"Kenal dimana kalian?"

“Dia anak AMI”

“Oh… loh?!”

“Aktivis?”

“Lebih tepatnya bisa disebut Jurnalis, daripada Aktivis”

“Loh??!”

“Hm, dia sering menulis di mass media”

“Aku kenal dia juga karena temanku memasukkan naskah bukunya ke tempatku”

“Waaa… hebat! Hebat!! Istrimu benar-benar cocok dengan duniamu” katanya

Hingga beberapa menit kemudian Dhani pun pamitan pergi sambil melambaikan tangan pada Chika dari kejauhan yang tampak malu-malu berjalan ke arahnya. Ia menarik nafas lega dan kembali ke mejanya.

Tahu kedatangan istrinya, Izack hanya senyum-senyum menyruput jus di depannya

"Diam-diam istriku banyak juga yang naksir" pikir Izack sedikit ada rasa nyeri menyimak kecemburuannya sembari mengacak rambut Chika

“Kamu kenal dia, Bang?”

“Hm, teman SMA”

“Oh…”

Sepanjang perjalanan dalam kendaraan pikiran Chika melayang beberapa bulan yang lalu, ia mulai menceritakan pertemuan dengan Dosen muda indo-cina itu di hutan kampus. Dan Izack hanya tersenyum lebar membayangkan betapa konyol istrinya yang melempar batu ke wajah temannya.

“Pertanyaanku adalah, apa nggak lihat kalau ada orang disana?”

“Enggak Bang” senyumnya nyengir

“Beneran?!”

“Hm,”

“Kalau aku tahu di situ ada orang, kenapa juga berani lempar batu”

“Tapi kenapa sih, harus lempar-lempar batu segala?” katanya yang spontan membuat Chika nyengir menceritakan pikirannya saat itu yang tengah galau memikirkan uang cicilan Bank dan SPP serta biaya kost. Izack yang menyimak penuturan polos gadis itu hanya diam bermuka datar seakan tidak ekspresif pada ceritanya. Tapi di balik itu, diam-diam Izack mengamati penampilannya dari kepala hingga ujung kaki.

“Ssshhtt... sebenarnya apa yang menarik dari gadis ini?” pikirnya berulangkali

“Kenapa perasaanku benar-benar lega hanya melihatnya saja, sementara gadis ini dari dulu ya begini-begini saja?!” batinnya terus menggerutu

Saat ia mulai selesai menceritakan peristiwa itu dengan gaya khasnya yang heboh, baru sadar bahwa lelaki itu tidak sedang mendengarkan ceritanya melainkan mengamati mimik mukanya. Ia seperti sedang tersihir dengan semua yang melekat di diri gadis itu. Dari rambutnya yang lurus pirang tergerai sepunggung, postur tubuhnya yang ramping, hingga alis matanya yang tipis dan bulu matanya yang lentik, sementara memiliki pancaran mata yang selalu bening dengan bibir kecilnya yang ranum tanpa lipstick. Meskipun saat ini kulitannya terlihat sedikit kusam dan kotor dibanding pertama kali hendak berangkat ke Kalimantan yang lebih cerah. Tapi baginya itu tetaplah menarik.

“Hoi!!” seru Chika membuyarkan tatapannya

“Ah…?!! Percuma saja aku ngobrol panjang lebar dari tadi kamu cuma bengong, Bang” tutur Chika kesal merasa dirinya dicueki 

“Ayok, habiskan dulu makanmu”

“Itu sudah ditunggu Ozin” katanya dengan dagu menunjuk pada lelaki dengan perawakan ramping tengah menunggu di salah satu sudut area Bandara yang luas

“Oh?!” lirih suaranya merasa tidak enak  

 

@@@

 

Sepanjang perjalanan dari Bandara ke Apartemen sebenarnya hanya butuh waktu 30menit, tapi karena macet menjadi 2jam lebih 15menit.

Setelah beberapa jam berjibaku dengan kemacetan jalanan ibukota dari bandara ke rumah, tiba saatnya kendaraan itu masuk Kawasan Apartemen elite. Ia nyaris tak sadar apa yang dibicarakan Izack dengan sepupunya, hingga mereka masuk ke Unit dan ngluyur masuk ke kamar. Tak peduli itu kamar siapa, dan  menghambur di atas kasur. Matanya benar-benar tak tahan, ia bahkan tak peduli lagi dengan Bagus.   

“Ahhh…!! Akhirnya bisa tidur di kasur empuk lagi” pekiknya menghambur di atas bed

“Eishhh..!! mandi dulu” Izack menarik kerah bajunya

“Bang.. sebentar aja, aku capek banget” suaranya lirih

“Mandi,”

“Lima menit” suaranya setengah sadar

“Apa perlu aku mandiin?” suaranya menggoda, yang kini duduk tepat di sebelahnya memperhatikan tubuh gadis itu tampak makin kurus dengan kulitnya tampak gelap dan kasar, namun wajahnya tampak lebih hidup dibanding sebelum berangkat KKN.

Dan tak lama kemudian terdengar suara dengkuran lembut dari balik badannya yang tengkurap. Sementara Bagus diam-diam mengintip sepupunya yang tertidur pulas di kamar suaminya.

“Hei, Boy! Kenapa intip-intip, sini!” suara Izack melihat sekelebat bayangan Bagus di balik pintu kamarnya.

Terdengar bel pintu, Izack segera keluar membukakan pintu. Mereka adalah dua wanita cantik yang mengenakan seragam pusat Spa dan Massage home visit.

“Dia baru saja tertidur Sis, gimana?”

“Oh??”

Izack menggiringnya masuk ke kamar pribadinya, melihat gadis itu tertidur pulas perempuan itu kembali berkata.

“Tidak apa-apa, Pak.. biar kami massage sekalian saja”

“Bagus kalau begitu, dia baru saja datang dari Kalimantan belum mandi langsung tidur”

“Kelihatan capek sekali” jawabnya

“Baik, Pak..”

Dua wanita itu masuk ke kamar Izack dan mulai menata Chika yang sudah tidak sadar lagi.

Kurang lebih perawatan selama 2jam berlangsung. Dan Bagus yang selesai mandi langsung duduk di sofa menunggu sepupunya tidak sadar di massage. Ia benar-benar pulas tertidur, hingga sadar ada dua wanita cantik di sebelah kanan dan kiri membuatnya kaget.

“Bagaimana rasanya, Non.. sudah baikan kah?”

“Oh..” Chika meringis bingung

Mencium aroma wewangian dari tubuhnya Chika langsung paham. Apalagi baju yang ia kenakan sudah ganti membuatnya terkaget-kaget.

“Tenang saja Non, yang mengganti kami kok..”

Lagi-lagi Chika hanya nyengir

Saat itulah mereka pamit pergi yang diiringi keduanya sampai di depan pintu membuat Izack senyum-senyum atas kerisihan dirinya dengan aroma minyak dan lengket tubuhnya.

“Kenapa nggak ngomong kalau mereka datang?”

“Sudah aku tebak kalau kamu tahu bakal kamu tolak”   

Izack kembali masuk mengikuti langkah istrinya, hingga ia berdiri di kamar mandi 

“Bang, badan itu bisa menyembuhkan dirinya sendiri dengan cara break semua alias tidur”

“Hm.. ya ya ya!” jawab Izack malas menyangkal karena bakal menjadi perdebatan panjang yang melelahkan.

“Besok lagi kita perlu berhemat, aku tidak suka gaya hedon seperti itu”

“Hm, ya” jawab Izack tak mau berdebat dan ke dapur menyiapkan sarapan untuk keduanya.

 

@@@

 

Sebelum Chika selesai menyiapkan sarapan pagi, tiba-tiba Izack sudah kedatangan dua orang tamu. Mereka adalah tangan kanan Izack di Markas AMI. Chika merasa bersalah karena ia terlalu lama membuatkan sarapan pagi untuknya, sementara lelaki itu tak tega melihat wajah keduanya tampak letih. Sebenarnya Izack tak tega meninggalkan keduanya sendiri, hingga dua orang perempuan datang membawakan makanan untuknya.

“Bang, jangan khawatirkan kami di sini”

“Lagipula aku masih ngantuk”

“Bolehkan, sehari ini aku tidur lagi?” katanya yang lagi-lagi menguap

Izack berjalan mendekati Chika di dapur dengan pakaian seadanya. Ia langsung memeluk dan menciumnya di balik sekat dapur dan ruang tamu.

“Nggak baik dilihat orang” bisiknya risih saat ketahuan tamu-tamunya mereka tengah berpelukan

“Tidurlah, kalau ingin tidur” 

“Kalau AMI tidak dalam kondisi genting, mungkin aku akan menemanimu sampai besok pagi”

“Tidak apa-apa, tenang saja” jawab Chika mencium pipinya lalu menurunkan pandangannya malu yang hanya disenyumi Izack

“Syukurlah ada peningkatan” senyumnya lirih menatap dalam

"Ini, kamu bisa gunakan untuk keperluanmu selama aku tinggal nanti" katanya mengeluarkan kartu debit dari dalam kantongnya

“Passwordnya tanggal lahirmu”

Chika melotot heran, mengapa ada orang hafal dengan tanggal lahirnya yang selama ini menganggapnya itu bukan hal penting dalam hidupnya.
Tiba-tiba Bagus datang “Mbak Chika, aku mencium bau makanan dari tas itu enak sekali” tunjuknya pada tas kain di atas meja makan

“Mencium aroma makanan dari tas itu, perutku benar-benar lapar” katanya lagi yang kemudian matanya tertuju pada kartu yang dipegang Chika
“Itu buat apa, Mas?”

“Buat belanja keperluanmu sama mbak Chika”

“Oh..” jawab Bagus masih kriyepan

 “Tapi kata mamak, aku tidak boleh menerima uang dari orang lain”
Izack hanya bisa tersenyum lebar dan jongkok menghampiri bocah kecil itu

“Mas Izack kan sekarang sudah jadi suaminya Mbak Chika, jadi bukan orang lain lagi”
“Kita ini sudah jadi satu keluarga” katanya sambil berdiri mengacak rambut
“Tapi?!”
“Kita ngobrol kapan-kapan saja ya Boy, okey?!” kata Izack mengacak rambut Bagus dan mencium kening Chika begitu saja tanpa ia bisa mengelak membuat Bagus senyum-senyum.


@@@

 

Malam kembali tiba, Chika yang masih terdiam di depan tv membuat Izack kaget saat melihat air mata Bagus masih basah tertidur di pangkuan Chika.
"Kenapa dia?"
Mendengar suara seseorang, Bagus langsung berjingkat bangun.
"Aku lapar sekali, Bang..." tangisnya pecah
Izack melotot
"Berarti dari tadi pagi???"

“Makanan yang dikirim mbaknya tadi pagi sudah habis kami makan bersama”

“Kenapa nggak ngomong? Lagipula bukannya kartu debit itu sudah aku kasihkan ke kamu?" tanyanya lagi

"Maaf Bang, mataku benar-benar nggak bisa melek sehari ini”

Izack melongo setengah shock
"Tadi bukannya ada orang kantor kesini?"

“Aku nggak dengar”

“Aku dengar tapi nggak berani buka pintu, Mas” jawab Bagus
Sampai detik itu Izack menarik nafas kehabisan kata-kata.

"Chika, aku menggaji dia untuk mengerjakan tugas itu. Termasuk menjagamu sementara aku tidak di rumah"

Gadis itu menggigit bibir merasa bersalah membuat Izack ingin sekali menggigit bibirnya yang ranum tanpa polesan jika tidak ingat ada sepupunya di situ.
 
"Bagus, kamu mau makan apa?"
"Ayam yang seperti di tv itu, Bang"
"TV?"
"Tunggu! Nanti pasti keluar lagi" katanya menunjuk pada sederet tayangan iklan tv.
"Ayo kita makan di luar" kata Izack seolah sudah paham apa yang dimaksud
"Itu dia, Bang!" Teriak Bagus semangat menunjuk pada iklan tv
Izack tertawa
"Oohh... ayo!" Serunya
Tanpa canggung lagi Bagus langsung beranjak keluar lebih dulu.
Kini langit benar-benar telah gelap saat ketiganya menelusuri Lorong-lorong unit.
"Aahh… seperti keluar dari penjara"
"Ternyata nggak enak tinggal di rumah seperti di tv"
"Nggak bisa naik sepeda muter”

“Kamu mau naik sepeda?”

“Mau” jawabnya spontan yang hanya dilirik Chika hingga kedua mata itu saling berpapasan

“Sudah…!”
“Okey, besok kita beli sepeda yang kamu mau”

“Beneran?!”

“Hm, kenapa tidak?” jawab Izack menggandengnya masuk lift. Melihat senyumnya yang sumringah, Izack mencubit pipi Bagus yang tampak kurus.

“Nanti di sini makan yang banyak, belajar yang rajin” kata Izack membuat Chika kikuk.

Begitu ketiganya keluar dari lift, melihat ruangan yang luas dan licin Bagus mulai lari kesana kemari dan bermain seluncuran dengan kedua sandalnya. Hingga tiba saatnya mereka masuk ke food corner, Bagus terdiam agak lama di depan pintu masuk hendak melepas sandal.
"Hei! Ngapain kamu di situ"
Bocah kecil itu langsung lari masuk setelah melepas sandalnya.
Chika malu melihat sepupunya yang dianggap kampungan. Beberapa orang tersenyum geli melihat Bagus melepas sandal di depan pintu. Tapi Izack melenggang santai mengambilkan sandal dan meletakkannya di bawah kursi dimana bocah lelaki itu duduk. Sementara ia mulai main perosotan lari kesana kemari di atas  lantainya yang licin.
Saking malunya, Chika tertawa menelungkupkan wajahnya. Tapi Izack justru asyik melihat bocah lelaki itu jungkir balik kayang dan sesekali mencoba berjalan dengan dua tangannya, membuat orang yang ada dalam mall terkagum-kagum. Ia bahkan tak peduli dengan pandangan beberapa pasang mata yang menatap aneh.

Tidak seperti hari-hari sebelumnya saat mereka hanya berdua. Kehadiran Bagus membuat suasana benar-benar cair dan makin hidup.
"Maaf Bang, sepupuku anaknya nggak bisa anteng "
"Kenapa? Aku suka kok gaya khasnya anak ini"
"Lihat! ceria sekali dia. Aku bersyukur dia sudah melupakan kepedihannya kemarin"
Chika menelan saliva.
"Nggak usah berpikiran kemana-mana, aku terhibur dia di sini" ujarnya membuat Chika menarik nafas lega perlahan.

Setelah ia berhasil jungkir balik nggak karuan. Ia datang dan duduk dengan badan berpeluh membuatnya basah mandi keringat.
Izack menyodorkan sekeranjang ayam goreng bertepung renyah.
“Bagus, cuci tangan dulu” cegah Chika membuat bocah lelaki itu langsung ngluyur turun dari tempat duduknya ke wastafel. Begitu di depan wastafel ia mengamati kran otomatic itu lama, hingga Izack datang memberi contoh.

Begitu selesai cuci tangan ia langsung lari, membuat orang-orang di sekitarnya kaget dan menoleh.

“Hei, hati-hati… mbak Chika nggak mau kamu nabrak orang” suara Chika agak menekan yang hanya disenyumi Izack sambil mengusap kepala Bagus

"Capek?" Izack tertawa melihat Bagus ngos-ngosan.
"Seharian seperti dipenjara"
"Kenapa nggak keluar?"
"Dilarang mbak Chika, katanya bisa diculik"
Chika melotot yang langsung dihalangi tangan Izack
“Bagus, kamu kan anak laki..”

“Anak laki tuh harus berani”

“Besok deh, kita beli jam tangan GPS biar kalau kamu kemana-mana kita juga tahu”

"Besok mau main kemana? Biar diantar temannya mas Izack"
"Lalu mbak Chika?"
"Mulai besok kakakmu harus belajar"
Spontan wajahnya langsung melorot.
"Aku ikut Mbak Chika aja"
"Kenapa?"
"Kata bapak, aku harus jaga mbak Chika biar nggak diganggu orang"
Spontan Izack tertawa sambil mengacak kepalanya
"Dasar! Iri aku punya body guard sepertimu"
“Sekarang kan ada Mas Izack?”

“Ngg… nggaklah”

Izack langsung melirik Chika dengan raut kecewa, karena akhirnya tidak leluasa hanya untuk berdua dan meluapkan rasa kangennya.

“Besok kamu jadi beli sepeda, kan?” rayu Izack

“Boleh mbak?”

“Hm, boleh”

“Kalau begitu besok kamu akan diantar temannya mas Izack keliling Jakarta sambil menghafal nama tempat dan fasilitas umum juga cari sekolah”

“Gimana?”

Lagi-lagi ia melirik Chika yang hanya dijawab dengan anggukan dan kedipan mata sekali.

“Boleh,”

“Nha begitu dong anak ganteng”

“Yess!!” pekik Bagus mengepalkan tangannya erat erat membuat keduanya tertawa

 

@@@

 

Siang itu ketiganya tiba di kantor penerbitan milik Izack, Bagus mulai menyapa semua pegawai di sana dengan anggukan dan senyuman.

“Halo Pak,”

“Pagi, Bang”

“Pagi, tante” sapanya sambil menganggukkan wajah membuat Chika menutup wajah malu melihat sepupunya terlalu ramah menyapa banyak orang yang menyebabkan pegawai yang agak sungkan dengan Izack melihat aneh ke arah mereka.

Bahkan saat dirinya ke toilet, mendengar percakapan pegawainya tentang status suaminya yang menikah dengan janda muda ber anak satu, spontan ia menahan tawa, dan meledakkan tawanya begitu ia kembali ke ruangan suaminya.

“Kenapa?” tanya Izack bingung melihat Chika berdiri terpasung sambil tertawa

“Bagus, lihat wajah Kak Chika”

“Hm?” bocah lelaki itu langsung berpaling kepadanya

“Apa muka Kak Chika ini mirip ibu-ibu?”

“Iya,“ jawab Bagus sekenanya membuat Izack yang tengah konsentrasi spontan tersenyum geli membuat wajah Chika berubah bad mood kembali menekuri laptop di seberang meja sepupunya. Saat itulah seorang pegawainya masuk memberikan map.

“Pak, Pemerintah mau tanda tangan kontrak untuk Kerjasama Perpustakaan digital, tapi ada beberapa syarat yang mereka ajukan”

“Apa syaratnya?”

“Ini” jawab lelaki muda dengan tubuh gempal menyodorkan map biru tua

Sembari membaca lembaran-lembaran itu, tiba-tiba,

“Mbak Chika! Lihat ini,” seru Bagus yang spontan membuat pegawainya menoleh kaget

“Kenapa?”

“Oh, aku kira putranya” ucap pegawainya keceplosan nyengir membuat ia merasa bersalah dengan kata-katanya

Izack hanya tersenyum sekilas menutup map disodorkan kembali dan membiarkan pegawainya keluar dari ruangannya. Melihat Izack senyum-senyum, Chika pun sedikit merasa penasaran.

“Kenapa?”

“Hm, nggak apa” senyumnya melirik Chika dari ujung rambut hingga ujung kaki dan kembali menekuri lembaran kertas di depannya sambil menggoyang-goyangkan kursi putarnya

“Ada apa memangnya?”

“Nggak apa-apa, tenang aja” jawab Izack yang masih tetap geli meneruskan pekerjaannya

Tiba-tiba saja Ozin masuk, ia memberi kode pada Izack.

“Bagus, jadi beli sepeda kah?”

“Jadilah!”

“Hmm..??” Chika melirik tidak suka pada Bagus

“Kalau begitu, itu diantar Kak Ozin. Mbak Chika biar disini kerjakan tugasnya”

“Nggak apa-apa mbak?”

“Hm,” jawab Chika sedikit agak berat hingga Bagus beranjak pergi meninggalkan ruangan dengan lari dan seluncuran dengan sandalnya meninggalkan ruangan.

Hening

Meskipun sebenarnya mererka sudah pernah bersama dalam satu ruangan, tapi suasana canggung masih tetap menyelimuti ruangan itu makin beku.   

“Kamu nggak tertarik belanja kah?”

“Hmm…” jawab Chika seakan memecah konsentrasi

“Nggak!”  

“Sesekali belanjalah baju sana, kalau mau ajak Lina”

Glekkk..

Menyinggung soal pakaian, Chika merasa tidak enak dengan baju yang dipakainya. Ia memastikan lagi kemeja kotak-kotak dan jins biru yang lusuh lengkap dengan sepatu kets. Baginya itu adalah baju terbaik menurutnya yang masih pantas dipakai ke kantor. Tapi sesaat ia melirik suaminya yang memakai kemeja putih berbalut jas hitam.

Memang, selain mengatur sikap dan perkataan Izack memang tidak pernah mengatur-ngatur dirinya soal pakaian. Tapi bagaimanapun juga, ia mulai berpikir ulang dengan penampilannya sebagai sosok istri pimpinan sebuah perusahaan.

Ia menarik nafas dalam “Nah, kan?? Nggak bebas lagi?!” pikirnya dengan jemarinya terkulai lemah seakan harga dirinya kembali nyungsep

 

@@@

 

Saat istirahat makan siang, Zack memanggil Lina ke ruang kerjanya. Di sana ia diminta menemani Chika keluar sekedar membeli baju membuat dua gadis itu kaget setengah bingung. Tapi bagaimanapun keduanya tak berani menolak apalagi membantah, dan Chika mulai belajar memahami kuasa penuh suaminya saat di tempat kerja. 

Awalnya keduanya sama-sama canggung, tapi perempuan itu menanyakan tempat tujuan “Maaf, kita makan siang saja dulu, gimana?” Chika menawarkan

“Oh.. okey”

“Mau makan dimana, Non?”

“Biasanya kakak makan dimana?” tanyanya melewati koridor ruang kerja karyawannya yang tampak sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Beberapa ada yang berceluit dan sekedar menyapa penuh isyarat pada Lina. Hingga keduanya diam tak bersuara saat di depan lift hingga masuk di dalamnya.

Chika merasa ini seperti dunia khayalan atau dunia mimpinya beberapa tahun yang lalu, membayangkan dirinya bekerja sebagai editor buku di sebuah perusahaan besar. Tapi hari ini, bahkan detik ini, ia sudah tidak tertarik lagi bekerja di dunia penerbitan. Karena dunia rimba raya seakan memanggilnya untuk kembali mengabdi.

Saat keduanya keluar dari lift, Lina yang mulai kikuk karena Chika yang pendiam memaksa dirinya membuka obrolan terlebih dulu.

“Gimana dengan KKNnya kemarin, Non?”

“Oh.. baik”

“Aku dengar, Nona sakit”

“Iya Kak,” jawab Lina senyum-senyum teringat kepanikan Izack saat itu

“Ada apa ya Kak?”

“Oh, enggak.. Pak Izack itu orangnya sayang banget sama Non”

“Sampai waktu KKN, dia hawanya nggak tenang. Mudah lupa sama pekerjaannya” jawab Lina begitu keduanya masuk kantin dan mulai mengambil menu makan siang dan mengambil tempat duduk di pojok sebelah dinding kaca.

“Boleh tanya kah Kak.. sebenarnya dia itu orangnya seperti apa?”

“??!” Lina melotot bingung

“Setahuku Bapak itu orangnya baik banget kok Kak,”

“Humble juga,”

“Jadi kadang ada perempuan yang suka salah menafsirkan kebaikannya itu dengan rasa suka”

“Kalau selama ini saya tahu, Pak Izack memanfaatkan jejaringnya itu untuk mengembangkan usahanya semata”

“Dan sekalipun, kita nggak pernah mendengar desas desus kalau pak Izacky punya kekasih. Sementara yang sering datang itu pak Alvin”

“Ah.. haha...”

Chika terkekeh membuat Lina bingung campur cemas

“Eh, maaf Kak.. maaf..”

“Tenang saja, cerita seperti ini tidak akan sampai ke dia kok”

“Beneran ya Kak”

“Hm” Isyarat Chika mengunci mulut

Saat itu temannya datang

Lina diam agak lama sembari mengunyah makanan di mulutnya

“Halo Lin,” sapa seorang karyawan perempuan melirik penuh isyarat pada Chika yang duduk membelakangi

“Istrinya pak bos”

“Serius??!” lirih suaranya kaget terdengar di balik punggung Chika yang duduk membelakangi mereka hingga Chika pun menoleh

“Oh, Bu”

Mendengar panggilan Bu, Chika menahan tawa ngakak. Sejak kapan ia jadi emak-emak. Gaya juga anak Mahasiswa, tapi mengapa dipanggil Ibu. Mereka salah tingkah dan mengajak salam setengah menunduk hormat, membuat Chika risih dengan perilaku semacam itu yang dianggapnya berlebihan.

Tapi lagi-lagi mengingat posisi dirinya di situ, ia pun belajar menjaga perilaku dan perkataannya sebagai istri seorang pimpinan.

“Mari Bu..”

“Jangan panggil saya Bu, Kak.. usiaku kan lebih muda dari kalian. Panggil saja nama saya Chika” senyum Chika menyipitkan matanya yang kecil membuat wajahnya yang putih makin tampak imut.
Ia mulai lega mendengar sekilas penjelasan dari mulut perempuan itu. Meskipun ia masih merasa haus informasi tentang lelaki yang menikahinya itu.

Melihat bos nya melewati dinding kaca kantin tersebut, Lina merasa tidak enak.

“Dicari Pak Izack, Non..”

“Oh,” Chika menoleh hingga dua pasang mata itu berpapasan. Lelaki itu hanya memberi kode sekilas dengan dagunya untuk keluar.

“Itu Non,”

“Hhh…” Chika melengos lelah

“Enak ya jadi bos, tapi aku kan bukan anak buahnya” tuturnya nggak suka yang terbaca oleh Lina

Perempuan itu hanya menahan senyum geli setengah khawatir melihat reaksi Chika enggan bangkit dari tempat duduknya.

“Maaf ya Kak…”

Izack hanya diam menatap datar pada Chika yang akhirnya bangkit dari tempat duduknya dan keluar. Lina pun tersenyum geli pada kawannya yang baru datang

“Unik selera Bos kita”

“Tapi aku suka lho, gaya istrinya. Humble banget”

Saat Chika mulai mendekat, Izack pun kembali berbalik dan berjalan beriringan membuat beberapa orang menoleh sembari senyum-senyum. Izack tak menghiraukan itu, tapi Chika sedikit tersinggung.

“Aku menyuruhmu untuk belanja pakaian kenapa mendaratnya ke kantin pegawai? Hmh?!!”

“Ampun, Bang… kan nggak harus hari ini juga kali,”

“Ya sudah, ayok temani aku makan saja kalau begitu”

 

@@@

 

Selesai muter-muter siang itu, Bagus kembali lagi ke kantor Izack di sore hari menjelang maghrib. Ia tak sabar menunggu sepupunya segera keluar dari kantor dan mencoba sepedanya untuk berputar-putar di sekitar Apartemen.

Sembari mengurangi kebosanannya, ia mulai pegang-pegang Komputer yang baginya itu barang istimewa. Bahkan Izack membiarkan Bagus duduk di kursinya dan memutar-mutarkan tubuhnya di atas kursi Bos perusahaan yang sedang berkembang itu.
Sesekali Izack mencuri waktu mengerjakan tugasnya. Tapi sebagai anak desa yang telah terlatih dengan perilaku sopan santunnya. Ia langsung menyuruh Izack kembali duduk di kursinya. Ia melihat dan menyentuh semua benda yang ada di sekitar, hingga ia terhenti pada foto Izack bersama keluarganya.

"Waaahhh.... itu ayahmu ya Bang?"
"Hm, iya!"
"Jendral, keren..."
Izack mengernyit.
"Darimana kamu tahu dia Jendral"
"Ini lah" tunjuknya pada pangkat bintang 3 di pundaknya
"Hebat kamu, aku kira orang desa sepertimu nggak kenal pangkat TNI"
"Ngertilah??"
"Orang bapak sering cerita tentang ayahnya mbak Chika"
"Hm?!" Gerakan tangan Izack langsung terhenti menunggu kelanjutan cerita Bagus. Tapi ternyata bocah itu cuek mengamati foto satu per satu di atas rak hiasan dinding.
"Siapa ayahnya mbak Chika?"
"Tentara"
Kini Izack meletakkan bolpennya dan menyimak keterangan Bagus.
"Aku pernah dengar bapak sama mamak cerita, kalau di rumahnya mbak Chika punya ruang bawah tanah" tuturnya mengambil mainan rubrik dan tetap cuek sambil membolak-balik.
"??"
Kini mata Izack tertuju pada Bagus dan siap menyimak semua penuturan bocah yatim piatu itu.
“Terus-terus??”

Bagus melotot bingung melihat tatapan raut Izack yang begitu penasaran.

“Ya sudah,”

Saat itulah Chika masuk

“Kapan kita pulangnya Bang?”

“Bagus,”

“Aku nggak sabar ingin coba sepeda baruku”

“Ooohh.. sory-sory, Abang lupa”
“Ayok, sekarang aja sekalian cari makan malam”

“Aku nggak lapar kok”

“Iya, tapi kakakmu harus makan dulu”

“Tapi nggak lama kan?”

“Enggak… tenang aja”

Malam itu ketiganya keluar bersama hingga beberapa karyawan yang begadang melihatnya sekilas seperti kakak beradik yang sedang main bersama.

“Kapan aku jadi orang se beruntung kak Chika?” tutur Karyawati pada teman kantornya sekilas sembari nyruput es teh yang hanya disenyumi temannya.

“Terlalu kebanyakan nonton drama kamu”

“Siapa tahu anganku yang seperti ini membawa magnet di masa depanku”

“Kan Low of Attraction” tawanya lebar nggak mau kalah

“Bangun! Bangun!!”

“Ah… aku cuman mau mimpi aja seperti dia” jawabnya tetap mengkhayal mengamati kepergian mereka bertiga yang kemudian ditinggalkan temannya



@@@



Hari berikutnya Chika memberanikan diri berjalan-jalan di taman sekitar Apartemen menemani Bagus yang bersepada.
Ia ingin bisa mandiri dan berusaha menjadi istri yang terbaik, meskipun sampai detik itu kedengarannya lucu. Bahkan masih menganggap pernikahannya seperti permainan petak umpet yang sewaktu-waktu bisa bubaran. Itulah mengapa, ia tetap berusaha menjaga perasaanya agar tak sampai jatuh hati pada lelaki itu sungguh-sungguh.

Sembari menunggu Bagus bersepeda dan mengenal anak-anak di sekitarnya, ia mulai menelphon Rendra

“Halo, sedang apa kamu”

“Hm, mengatur jadwal anak-anak”

“Ren, kenapa ya? Baru kali ini aku ketemu orang sebaik Kak Izack?”

“Kamu itu aneh, kenapa sih selalu berpikir negatif”

“Maksudku begini…”

“Kamu tahu sendiri bagaimana hidupku dalam beberapa tahun terakhir yang jungkir balik nggak karu-karuan kan?”

“Eh, tiba-tiba ini ketemu lelaki tampan, baik hati, sayang, kaya pula”

“Hmmh… iya deh, iya…!” suara itu disambut tawa lebar Chika

“Lah, harusnya justru kamu bersyukur”

“Aku berpikir sebaliknya, Ren…”

“Khawatir kalau dia ternyata mengujiku lalu dia pergi di saat aku mulai ketergantungan hidup dengan dia”

“Begitulah keinginan lelaki, Chik”

“Menjadikan dirinya sebagai hero bagi perempuan yang disayanginya” pikir Rendra sembari menarik nafas

“Terus maumu gimana?”

Chika terdiam bingung dengan dirinya

“Mbak Chika, aku dapat teman baru!” seru Bagus

“Dimana kamu?”

“Taman, sama Bagus anaknya pak lik”

“Oh...”

“Gimana? Senang dia disitu?”

“Hm,”

“Kemarin aku mengurungnya sepanjang hari sampai kelaparan”

“Kok bisa?! Tega benar kamu”

“Ren, kamu tahu siapa aku kan…”

“Gila nggak sih, apa-apa serba mahal di sini, aku khawatir Bagus minta ini itu sama Izack”

“Ya wajar, ibu kota. Apalagi dari nama tempatnya saja itu untuk kalangan elite”

“Maka dari itu aku shock”

Terdengar suara dengusan tawa “Dasar orang ndeso, nikmati saja apa susahnya sih?”

“Enggak bisa, kalau sewaktu-waktu dia meninggal atau pisah gimana aku mengatasi hidup yang sudah terlanjur seperti ini”

“Eisyhhh!! Kenapa sih pikiranmu selalu negative begitu, hati-hati dengan ucapanmu Chik… itu bisa jadi kenyataan loh”

Chika diam termangu

 

@@@

Karena pengabdiannya selama dua bulan itulah Chika mendapat panggilan dari kampus untuk mendapatkan penghargaan dari pihak Kampus beserta Dinas Transmigrasi berupa Beasiswa S2 di luar negeri.

Antara gembira dan cemas Izack mendengarnya, Chika tetap menghadiri panggilan pihak Kampus dan menolak tawaran tersebut dengan alasan masih ingin mengabdikan pada pelestarian hutan.

Lagi-lagi Chika mendapat tawaran untuk bekerja di NGO Asing sebagai fasilitator penyuluh perlindungan Hutan di Kalimantan. Tapi Izack berat.

 

@@@

 


 

25

Sebidang Tanah Hadiah

 

Setibanya dari tanah Transmigran, Izack disupport Papa membeli sebidang lahan luas untuk Chika. Hal ini sengaja tidak diberitahukan Chika sebagai kejutan hadiahnya saat ulang tahunnya yang ke 20tahun nanti.

Tapi berita ini bocor saat ia mendengar percakapan pegawainya di pojok Pustaka perusahaan.

Awal mula Chika galau. Ia menduga bahwa pembelian tanah itu adalah untuk istri sah nya Izack yang tidak ia ketahui. Dirinya juga menduga bahwa sejak kepergiannya ke Kalimantan, Izack menikah lagi dengan wanita lain. Karena selain sibuk, ia juga jarang sekali pulang ke Apartemen. Terkadang Chika yang ingin ikut tidak diperbolehkan dengan alasan “Sayangi badanmu, nanti capek”.

Hingga suatu malam Chika kesal tidak bisa kemana-mana karena harus menjaga Bagus yang saat pulang sekolah tiba-tiba demam, drop teringat orang tua dan adiknya. Saat Izack pulang, Chika duduk termangu sendiri di kitchen bar sembari memegang segelas air minum.

“Belum tidur?” Sapa Izack berjalan dari lorong pintu menuju dapur

“Hm,”

“Bagus gimana, sudah baikan?”  

Melihat Chika menarik nafas panjang dengan pandangan kosong, Izack beranjak dan duduk di sebelahnya.

“Demamnya sudah turun, tadi panggil-panggil Ani”

Izack mengulas kepala dan memeluknya, tapi tubuh Chika terasa kaku dan beku. Izack memeluknya makin erat, tapi kebekuan itu tak kunjung cair.

“Bang…”

“Hm,”

“Gimana kalau kita pisah saja?” katanya yang langsung disambut tarikan nafas lelah melepas pelukannya perlahan. Tapi Izack seperti sudah hafal dengan kata-kata yang tidak enak didengar.

“Ada apa nih?”

“Maaf, beberapa minggu ini mungkin kamu sering aku tinggal di rumah sendiri, banyak hal yang perlu aku kerjakan di luar”

“Termasuk mengurus cewek di luar juga kan ya” senyum Chika kecut

“Maksudnya?”

“Membeli sebidang lahan untuk istri baru”

Izack masih mengernyit bingung, pikirannya masih bertautan antara urusan pekerjaan dan segudang urusan lain di luar sana. Namun mendadak ia tersenyum geli.

“Syukurlah akhirnya istriku cemburu” tawanya geli sembari kembali memeluknya erat yang disodok dadanya keras.

“Aukhhh!!”

“Sakit kan?” rautnya tampak kesal melihat dirinya ditertawakan

Lelaki beralis lebar bermata bulat itu beranjak pergi, tak lama kemudian ia muncul lagi dengan menyodorkan map.

“Ini, buat istri baruku” katanya menahan tatapan

“Hm, Bukalah”

Chika sudah terlanjur malu, ia tak mau mempermalukan dirinya yang kedua kali dengan menolak Map tersebut. Tapi Izack memaksanya dengan tangan lemas gemetar membuka map hijau muda tersebut.

“Kamu teliti satu persatu, ada nggak nama istri baruku di situ?”

Gadis itu membuka lembaran demi lembaran, namun yang ada hanya nama dirinya dan nama pemilik tanah sebelumnya berjenis kelamin lelaki. Sementara Izack kembali sibuk membalas pesan-pesan yang masuk dan menjawabnya sebagian dengan voice note hingga ia kembali menoleh istrinya yang membolak-balik lembaran tipis tersebut.

“Ini… buat siapa?” suaranya sumbang

“Kemampuan literasimu itu sebenarnya cukup tinggi, tapi mengapa baca seperti itu saja nggak paham?”

Antara ingin tertawa dan kesal bercampur jadi satu tampak di wajah.

“Lalu, kamu beli tanah pakai uangnya siapa?” Tanyanya bingung yang disambut hembusan nafas kesal Izack sembari membuang muka

“Nah, salah lagi” jawabnya membuat Chika tertawa dengan mata berkaca-kaca

“Tapi, 10 Ha itu nggak sedikit, Bang” rautnya tercengang menatap lembaran demi lembaran

“Iya, siapa bilang 10Ha itu sepetak rumah”

“Tapi bukannya perusahaan saat ini masih krisis?” suaranya lambat campur bingung membuat Izack kembali menarik nafas kesabarannya di langit

“Aku nggak mau nanti tiba-tiba kamu keciduk Lembaga Pemberantasan Korupsi”

Spontan Izack tertawa “Kenapa? Kamu takut kehilangan aku?”

“Aku tanya serius, Bang”

Ia menarik nafas dalam “Aku menikah denganmu tidak main-main, Chika…”

“Jauh sebelum kita menikah, aku disuruh Papa untuk menyimpan sebagian uang untuk biaya pernikahanku kelak”

“Ceritanya waktu kamu di Kalimantan, Papa menyarankan aku menggunakan uang simpanan itu untuk membeli sebidang tanah lelang. Nah, biar aman Papa menyarankan segera proses balik nama atas nama kamu”

Spontan mata Chika berkaca-kaca membaca luas tanah seluas 10Ha

“Tapi ini terlalu luas, Bang” tangannya gemetar campur lemas hingga lunglai sertifikat itu meluncur jatuh yang kembali dipungut Izack dari lantai

“Beliau berani menggunakan itu karena kamu bersikukuh tidak mau mengadakan pesta pernikahan secara besar-besaran”

“Sisi lain Papa juga merasa tertolong. Karena biasanya ketika ada pernikahan semacam itu, akan jadi ajang gratifikasi dari para pejabat dan pengusaha yang memang punya niat tertentu sama Papa”

“Sekalipun sudah tertulis tidak menerima sumbangan apapun, tetap saja ada yang menyodorkan”

Chika menarik nafas dalam, seakan memahami tantangan dan tekanan para pejabat di pusat. Lagi-lagi segelintir air mata jatuh membasahi pipi hingga tak berani mengangkat wajahnya.

“Hei! Kenapa lagi?”

Chika tersenyum lebar menitikkan air mata berulangkali.

“Tapi itu terlalu banyak, Bang…”

“Aku takut…!” suara tangisnya perlahan pecah

“Apalagi itu tanah bekas korupsi pejabat negara, bagaimana nasibku nanti kalau seperti itu juga?” tangis Chika membuat Izack tertawa bingung,

“Apalagi… yang dia pikirkan?” pikirnya tertawa geli sembari memeluk erat Chika yang tubuhnya kini tak lagi kaku

“Dari pembelian tanah itu, Mama Papa berharap banyak kita bisa hidup satu atap, itu saja”

“Waktu kamu di Kalimantan, Mama Papa juga mendesakku untuk melepas atribut AMI dan konsentrasi pada bisnis”

“Kamu bisa mendirikan laboratorium hutan buatan di sana sembari teruskan studimu S2 di sini”

“Aku nggak akan ambil tawaran itu” jawabnya tegas membersihkan titik air matanya

“Lah?! Kenapa?”

“Bang, kuliah itu hanya menghabiskan waktu untuk teori”

“Justru dengan teori itu, kamu bisa menentukan mana yang terbaik untuk alam”

“Kata siapa?”

lulusan kehutanan mungkin banyak. Tapi hanya berapa persen yang benar-benar mau peduli dengan konservasi hutan?” jawabnya membuat Izack melengoskan wajah sembari memegang kepalanya bingung

“Tahu gitu tadi aku nggak perlu ngomong” rautnya kesal yang disambut tawa lebar Chika

“Kamu nggak takut kulitmu gosong?”  

Chika tertawa lebar “Kenapa?”

“Suruh siapa kamu mau sama anak Kehutanan? Kenapa nggak cari penari balet aja atau artis yang kulitannya tetep mulus dan glowing?”

“Bener???”

Lagi-lagi Chika tersenyum nyengir.

“Tolong, tahan pikiran burukmu”

“Aku tahu kamu gatel ingin mengucapkan, tapi tolong.. ditahan” ujar Izack membuat Chika mencelos

“Kamu juga sudah tahu siapa aku dari teman dan orang tuaku”

“Kalau begitu, minggu depan aku pulang ke Yogya ya?”

Izack menarik nafas dalam sembari menatap matanya membuat Chika menunduk malu

“Terus Bagus gimana… dia baru mau masuk sekolah lho?”

“Enggg…”

“Begini deh, tadi pagi Mama bilang kalau Bagus disuruh tinggal di sana aja”

“Nggak bisa! Bagus terlalu banyak polah, aku khawatir…” spontan mulutnya dibungkam membuat Chika melirik nggak suka yang hanya ditertawakan Izack tersenyum manis

“Sudah lama Mama Papa kangen ada anak kecil di rumah, makanya mengapa ia mendorongku segera menikah”

 

 

@@@

 

Sore itu Chika berniat mengambil buku di perpustakaan rumah Izack yang memang direkomenkan Izack. Tapi melihat banyak kendaraan roda dua terparkir di depan rumahnya dengan pintu garasi terbuka lebar, langkahnya terhenti ragu. Ia berniat balik arah atau lurus ke Basecamp Rendra. Tapi saat itulah Hpnya bergetar dari dalam kantong celana.

“Kenapa putar balik?”

“Hehe… banyak orang, Bang”

“Kamu dimana?” Chika tolah-toleh bingung memastikan tidak ada seorangpun di sekitar, hingga pandangannya tertuju pada cctv di atas pagar garasi.

“Hah… repot, hidup denganmu benar-benar seperti hidup dalam sangkar”

“Sangkar gimana? Masih bisa keluyuran seenaknya asih bisa bilang hidup dalam sangkar”

“Hehe… yang penting kan aku sudah pamit Papa Mama”

“Kamu itu istriku, bukan milik mereka”

“Hhh…”

Terdengar tawa kecil Izack melihat gerak gerik kesal gadisnya.

“Kamu mau makan apa?”

“Apa saja, aku lapar banget”

“Lapar pelukanku kah?”

“Ahhshhh!!”

“Hwkwk…”

“Okey, masuk dulu aja. Di luar dingin” kata Izack sembari memegang kendali setir

“Apa kamu menunggu selimut hidup?”

“Ahhh.. terimakasih”

“Hwkwk…”

“Bahasamu bikin mau muntah yang dengar, Izack…” celoteh teman-temannya di ujung suara ponselnya membuat Chika tersenyum lebar dan langsung ditutup

“Ya, Bahasa ke dia memang harus digitukan. Kalau enggak bisa mental dia”

“Bukannya itu dirimu ya?”

“Nah, sama kan?!” tawa teman-temannya di dalam kendaraan

“Ah.. rupanya sudah mulai paham kamu ya”

“Sudahlah,”

“Fisik boleh LDR, tapi hati jangan”

“Huekkkhh… ya ya ya!” tawa Izack lebar teap tenang scroll layar tipisnya

Awalnya Chika menyelinap masuk. Berharap tidak ada yang kenal dengan dirinya. Tapi begitu sampai di depan ruang Pustaka para seniornya dari Cabang langsung menyambutnya ramai.

“Halo Kak…” sapa seorang cewek

“Eh, Kak Chika” sapa mereka rame-rame menyalaminya. Bahkan beberapa adek kelas hendak mencium tangannya, tapi Chika langsung menarik tangannya. Begitu juga dengan Leo yang satu letting dengan Izack, langsung menyambut kedatangannya.

“Halo, bu ketua”

“Jangan ngomong gitu lah, Bang”

“Gimana kabar? Sudah sehat benar kah?”

“Bang! Dia itu baru datang dari KKN di Kalimantan” bisik seorang lelaki

“Whuatttt?!”

“Pantesan..”

“Kenapa?”

“Jarang absen”

“Hahaha…” tawa mereka rame

“Biasanya kan, dia kenapa dikit langsung absen. Hp dimatikan”

“Haha..”

“Heran aku, kamu kasih ramuan apa coba?”

“Lengket benar”

“Orang sedingin Izack berubah romantic, saking romantisnya anggap kita semua ngontrak”

Chika yang tak pintar berkata-kata hanya cengar-cengir dengan raut kemerahan menahan malu.

“Oke, silahkan, lanjutkan!!” ujar Chika kikuk sedikit membungkuk seakan ingin membubarkan kerumunan menyambut kehadiran dirinya

“Aku cari buku referensi dulu, Bang”

“Lah! Ya itu itu, yang membuat kak Izack lengket sama dia”

“Kutu buku”

“Yup!”

“Hwkwkwk… wah, berat- berat!”

“Ya sudah, kalau gitu ucapkan say good bye lelaki idaman”

Chika yang mendengar celotehan mereka hanya tersenyum geli membuka pintu kaca ruang Pustaka Pribadinya.

"Ayo, makan malam Kak..." pinta seorang gadis membuka pintu kaca tersebut.

“Oh, iya. Kalian saja dulu” ujar Chika ramah meletakkan tasnya dan mulai mencari referensi di antara rak-rak buku.

Saat gadis itu keluar, sayup-sayup terdengar suara

“Wuaaa… pantas kak Izack jatuh cinta setengah mati. Mana ramah, lembut, baik hati dan imut lagi”

“Nggak tahu kalian, kalau aku lagi marah bisa mirip singa kelaparan” tawa Chika dengan jemari mulai memilih deretan buku

Saat ia menemukan buku-buku referensi tersebut, ia pun mulai duduk di bantal Bean Bag di atas lantai. Namun matanya tiba-tiba meluncur pada lelaki yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Ia tengah ngobrol dengan dua seniornya yang cantik dari kantor cabang di Gazebo. Alvin yang tiba-tiba masuk mengagetkan dirinya menjatuhkan buku yang dia pegang membuatnya tertawa terkekeh-kekeh. Melihat Izack duduk berhadapan dan berbicara seru dengan dua perempuan cantik ia pun hanya tersenyum.

"Tenang saja Non, Izack itu orangnya nggak macam-macam kok" ujar Alvin

"Hm?! Apa Kak?" 

Alvin hanya tersenyum dan mulai beranjak mencari buku di antara rak-rak buku di dinding

“Dia bisa cair seperti itu saat sudah beristri aja”

“Sebelum-sebelumnya, berasa kuburan bener”  

"Dulu, aku sempat mengira kalau dia itu suka aku" tawanya meledek sambil matanya tetap teliti mencari buku, bahkan ia sempat menaiki tangga untuk mencari buku di rak paling atas.

Chika ikut tertawa nyengir,

“Perasaan itu buku ada di sekitar situ deh” suaranya lirih lalu turun lagi

"Kamu tahu kenapa?"

"Sekalipun sering dikerubungi cewek-cewek, tapi tak satupun ada yang nyantol” Chika tertawa kecil mendengar cerita lelaki ber mata sipit itu di sudut ruangan menuruni tangga perlahan dan mengambil dua buku

“Sampai-sampai justru si cewek yang menyatakan suka duluan ke dia, aneh kan?!”

“Coba kalau kamu jadi aku?”

Lagi-lagi Chika hanya tertawa

“Bahkan satu saat dia dijebak koleganya dengan perempuan nakal di kamar hotel. Tapi dasar lelaki dingin, perempuan itu justru dinasehati panjang lebar yang membuatnya malu menutup pakaiannya dan ngejar Izack sampai sekarang"

“Jadi, hati-hati aja. Jangan keburu sakit hati suatu saat kalau ketemu cewek yang suka sama dia” ujar Alvin membuat Chika menarik nafas panjang

"Sejak itulah dia mau cerita jujur, alasannya bersikukuh nggak mau pacaran" ujarnya menuruni tangga dan bersandar pada sebuah meja

Seperti ada yang ingin dikatakannya dengan berat, Alvin diam lama memandang Chika yang memandang dirinya dari jauh.

"Masa lalunya menjadi bayi buangan itu sangat menyakitkan. Dan dia menghindari itu terjadi pada dirinya, makanya dia sangat hati-hati pada perempuan"

"Pun, dalam memilih pasangan"

"Dia sempat cerita soal kamu yang mengira dirinya tipikal lelaki mesum yang baru kenal sudah berani ajak nikah”

“Kalau kamu tahu, sebenarnya proses penjelajahan tentang dirimu sudah sejak dua tahun lalu, Non..”

Chika melongo

“Jadi itu beneran?”

“Hm!”

"Oh ya, waktu pertama kalinya kamu pulang tanpa pamit dari Jakarta, dia pingsan di Apartemennya"

Chika melotot

“Maka dari itu aku telpon kamu pakai nomorku… itu kondisinya masih pakai selang Oksigen”

"Makanya aku heran aja ada cewek yang memperlakukan Izack seperti itu, baru kamu”

"Dia itu memang orang baik, bukan hanya pada kamu saja. Dan memang dia membuat sibuk dengan aktivitasnya di luar, hanya untuk mengusir rasa pahit serta kangen pada dua orang tuanya. Tapi itu ternyata menjadi kebiasaannya hingga hari ini”

"Kenapa tidak berusaha mencarinya saja, Kak?" ujarnya dengan mata berkaca-kaca

"Sudah, tapi hasilnya nihil"

Serasa ada angin yang mendesak kerongkongannya, Chika merasa sesak. Ia membayangkan perlakuan dirinya terhadap lelaki itu karena mengira sebagai lelaki hidung belang.

"Seolah hidupnya didedikasikan hanya untuk keperluan banyak orang"

"Kerja kerasnya siang dan malam seperti pelarian hidupnya dari rasa sakit"

"Makanya kita semua kaget, ketika satu minggu penuh dia menunggumu di Rumah Sakit dan antar jemput ke rumahmu dan ke Jakarta"

"Untuk itulah keluarganya membiarkan pernikahan itu terjadi sekehendak dia"

"Menurut kakaknya yang ada di Jerman, ayahnya cukup lega dia menemukan tambatan hatinya. Dan tidak memprotes keinginannya" jelasnya panjang lebar membuat Chika mengusap air matanya berulang kali.

"Jadi, kalau ketemu. Sering-seringlah peluk dia, dia hanya butuh itu saja sebenarnya demi mengobati rasa sakitnya"

"Berbahagialah menjadi gadis pilihan di antara puluhan gadis yang mengejar dia" tawa Alvin seakan ingin memecah suasana mendung

Tiba-tiba saja Izack masuk membuat Alvin kaget yang disambut Chika geragap mengelap pipinya yang basah.

"Hei... kau apakan pacarku sampai nangis"

"Ah, biasa cewek gampang terharu" tawanya lebar

"Aku pinjam buku ini, Bro" katanya sembari menepuk pundak Izack dan pergi meninggalkan ruangan itu kembali menutup pintu kaca hitam

"Kenapa?"

"Baru kali ini lihat cewek sekokoh karang bisa nangis"

Chika tertawa sambil menangis memeluknya erat-erat. Izack sedikit heran dengan reaksi istrinya yang berinisiatif dulu memeluknya dengan penuh kehangatan.

“Maafkan aku selama ini Bang...”

“Kenapa?”

“Aku nggak tahu kamu di Rumah Sakit”

Izack tersenyum lebar memeluknya. Ia menatap wajah itu dan mengelap pipinya yang basah.

"Ya sudah ayo makan dulu" katanya menarik tangannya keluar

“Tunggu”

“Kenapa?”

“Kelihatan kah kalau aku menangis?”

“Sudah.. nggak apa-apa”

“Atau cuci muka saja dulu”

“Tapi kan kelihatan”

“Emmhhh... yang lagi bermanja” sahut Alvin membuka pintu sliding kaca hitam

“Bro, orang perusahaan datang tuh”

“Oh,”

“Suruh tunggu saja dulu” jawab Izack sembari merangkul istrinya 

Alvin kembali menutup pintu dan menghalau dua orang cewek yang hendak masuk.

“Kenapa?”

“Ada Big Boss sama istrinya” bisik Alvin

Melihat adegan itu dari dalam Chika kaget saat tiba-tiba ada dua tangan yang menghadapkan wajahnya dan menciumnya bibirnya hangat.

“Ingat, kamu di sini sebagai tuan rumah, bukan lagi tamu. Jadi belajarlah untuk bersikap lebih dewasa meskipun itu sulit” ciumannya mendarat di kening

“Gimana caranya?”

“Ikuti saja caraku”

“Mungkin satu saat kamu yang akan menemui mereka, di saat aku tidak ada”

“Termasuk bagaimana penampilanmu” jawab Izack membuatnya melengos kesal

Izack tersenyum lebar “Sebenarnya aku tidak masalah, tapi itu akan mengurangi sudut pandang mereka terhadapmu”

“Hahhh…! Repot benar hidup denganmu”

“Semua butuh proses belajar” kata Izack lagi

“Aku yakin kamu bisa” senyumnya lebar menyibakkan poninya yang menutup sebagian pandangan matanya

 

@@@

 

21

Wisuda

 

Pagi-pagi sekali Chika berjalan cepat menuju ruang Tata Usaha dan keluar beberapa menit kemudian dengan membawa kertas kecil dan lari tergopoh-gopoh menuju toilet dengan membawa sebandel bingkisan toga dan jubah.

Melihat pemandangan itu, beberapa orang teman kelasnya tertawa cekikikan.

“Emang itu anak, nggak berubah dari dulu” ujar mereka tertawa melihat tingkahnya yang energik lari kesana kemari.

"Rendra! titip tasku" teriak Chika melempar tasnya hingga melambung ke udara yang berhasil ditangkap lelaki itu 

"Ayo cepetan ikut baris dulu sana!"

“Ya!”

"Chika!!" seru seorang teman lelaki mengacungkan dua jempol dari seberang melihat Chika tanpa riasan sedikitpun

Tiba-tiba seorang lelaki tampan dengan kulit putih kekuningan berjalan melewati kerumunan mereka. Beberapa teman perempuan senyum-senyum sambil berbisik lirih melirik lelaki yang menyapanya dengan senyuman tipis sekilas pada mereka.

“Wow!” seorang perempuan melongo cekikikan heboh mengamati gerak langkah lelaki tersebut.

"Baru kali ini aku lihat cowok bening begini lewat di halaman fakultas kita" kata si gendut yang spontan ditertawakan beberapa teman lelaki

"Saudaranya siapa coba?"

Rendra yang tahu bahwa itu Izack hanya diam pura-pura tidak tahu, tapi rupanya Izack kenal betul wajah itu.

“Hallo, Rendra ya?”

“Iya, Bang”

“Chika mana?”

“Ohh.. itu” tunjuknya pada Chika yang tengah berlari menyingsingkan jubah wisuda menuju barisan kirab Wisudawan yang sudah berjalan menuju Hall

"O.. oke, makasih” jawab Izack pamitan pergi

Sebelum akhirnya lelaki itu berjalan cepat mengejar Chika, dari jauh terdengar namanya dipanggil-panggil.

"Bang Izack!!" seru beberapa Mahasiswa yang ternyata anak AMI dari fakultas Hukum.

Saat itulah ia diserbu pertanyaan macam-macam dengan beberapa minta foto selfie bersama.

Chika yang sekelebat lihat bayangan Izack yang dikerumuni anak-anak AMI terkejut.

"Gawat!"

"Bisa-bisa gagal rencanaku" pikirnya sembari mengikuti barisan masuk ke ruangan

Sementara beberapa teman kelasnya yng masih bergerombol saling berbisik.

"Siapa dia Ren?" bisik teman-temannya

"Cowoknya Chika ya?"

“Loh, kalian belum tahu?”

“Itu suaminya Chika”

"Whatt??? serius??"

“Yang katanya anaknya jendral itu bukan sih?”

“Iya! Betul banget”

“Dia punya penerbitan buku di Jakarta kan?”

“Berarti dia ya?”

"Serius kamu?!"

Seseorang langsung menunjukkan foto di ponselnya

“Beneran dia, ketua Pengurus Besar AMI kan”

“Hm! Mantap!”

“Berasa mimpi ya?”

“Kita nggak tahu bagaimana perjuangan Chika selama ini untuk bisa kuliah dengan kerja serabutan sana-sini”

"Eh, eh!! Bukannya yang kemarin diisukan menikah karena adat itu bukan sih?"

"Siapa yang menikah karena sangsi adat?" 

"Itu, ketua umum AMI Jakarta"

"Loh?? Kalian belum tahu?"

"Itu Chika, kan?"

"Serius kamu, Ren?"

"Iya,"

"Ah... Dia termakan sama berita yang dia buat sendiri berarti" tawa ngikik seorang teman lelaki

"Aku dengar berita itu karena dia tetangga desaku. Nah laki-lakinya siapa, aku belum tahu... Eh.. begitu tahu ternyata itu Chika. Ngakak aku,"

"Ketua AMI Jakarta, yang kita baca di koran"

"Seriusss??"

"Tapi nggak lama kemudian beritanya tenggelam dan nggak pernah keluar lagi"

“So pastilah, langsung dia bredel”

“Keren betttt!!”

“Ceritanya berasa di drama-drama Asia aja”

 

@@@

 

Saat selesai wisuda

"Selamat..." ujar teman-teman kelasnya menyambut Chika saat keluar ruangan. Beberapa orang memberikan kado berisi boneka atau sekedar buku.

Izack beserta empat orang senior lainnya datang membawakan buket bunga besar sambil tersenyum berseri-seri.

"Selamat ya sayang..." ujar Izack yang hanya disambut tatapan nyeri melirik buket bunga yang ia terima dari tangan Izack

"Woooww...!!" Teman kelasnya melongo saat ada lelaki tampan itu datang di belakang mereka

"Kapan kamu datang, Bang?"

"Kenapa wajahmu kusam banget" kata Izack mencubit hidungnya yang lancip dan kecil

"Aku paling nggak suka dikomentari soal wajahku" ujarnya ngedumel yang spontan membuat Izack tertawa gemas menenggelamkan wajahnya dengan toga 

"Pakai riasan dikit, Chika. Sini aku bantu"

"No!!!"

"Untuk apa, sudah selesai juga?"

"Kalian kan harus foto bersama" 

"Tidaaakkkkk...!!" teriak Chika 

"Serius, aku bisa muntah pakai begituan" ujarnya disambut riuh tawa beberapa orang seniornya

"Czzhhhh! Bukan Chika kalau ke Salon, Zack" tawa Hendrik dari jauh sambil mengacungkan dua jempol pada gadis itu

"Ciumlah...?!" cletuk Hendrik dan Leo yang spontan disambut sorak sorai teman kelasnya

"Kalah kalian sama Indra, baru pacaran sudah berani pamer foto ciuman segala" 

"Nanti pulang wajahku babak belur kena sasak tinju dia, Leo!" sanggah Izack

"What??? Serius??!" Leo dan Hendrik melotot heran

"Aku paling tidak suka dapat beginian" lirih Chika meringis mengomentari buket bunga yang wangi dengan lirikan nyeri

Spontan Rendra tertawa ngakak

"Dia itu cewek rasa cowok, Bang"

"Maksudnya??"

"Dia kan nggak suka bunga"

"Bagi dia, bentuk bunga aja sudah seperti ulat bulu"

Chika melototi Rendra

"Ck! Tidak romantis sama sekali, kamu tuh" 

Izack merebut kembali buket bunga dan pergi begitu saja

"Kamu nggak tahu kan, harga buket bunga seperti itu harganya bisa jutaan"

Chika melotot "Serius?!!"

"Kenapa sih Oon bener kamu?"

"Itu bunga hidup, Non... bukan imitasi"

"Non, suamimu itu ganteng. Kamu nggak kepikiran kalau bunga itu bakal mendarat ke cewek lain?"

"Chika! Kalau aku di posisimu, badanku sudah auto melambung ke awan" ujar teman perempuannya

Spontan ia lari menarik kemeja Izack dari belakang yang berjalan menuju tong sampah

"Eh, eh!!" gadis itu merebut buket kembali dengan tawa nyengir

"Bukannya kamu nggak suka?"

"Hmmm...h" Chika nyengir

"Mending kamu traktir aku makan es krim saja daripada beli barang seperti ini"

Spontan mendengus kesal sambil tertawa geli jewer telinga Chika

"Aduh!"

"Sakit!"

"Lebih sakit mana, bunga dibilang ulat bulu?"

"Jangan dibuang, nanti aku jual aja nggak apa-apa kan?"

Izack geleng-geleng kesal 

"Selain uang, apalagi yang ada dalam pikiranmu?"

Keduanya melangkah kaki bersama meninggalkan kerumunan teman-temannya yang bercengkerama.

"Nanti malam kita diundang ke rumah suaminya Chika untuk makan-makan" kata Rendra

"Serius?!!"

“Wuaaa?!!” seru heboh teman-teman cewek kelas

Sepanjang jalan mereka berdua berjalan, jemari Izack ragu untuk sekedar menggandeng tangan Chika. 

"Bang, bulan depan beneran berangkat ke Kalimantan lagi, loh ya?!"

"Terus?"

"Ya sudah"

Izack menarik nafas kesal “Terus, tanah yang aku beli itu buat apa?”

Chika tertawa nyengir

“Aku cari dana buat pengembangan hutan, Bang”

“Butuh berapa?”

“Nggak! Aku bisa cari sendiri”

"Nggak kapok kamu balik lagi ke sana?"

Chika hanya tersenyum lebar “Enggak?!”

"Lalu apa maknanya pernikahan kita"

"Banyak orang yang berjauhan setelah menikah, Bang. Toh baik-baik saja"

"Lalu apa maknanya aku bekerja keras selama ini?"

Chika menarik nafas kesal "Seperti inilah yang paling aku benci dari pernikahan, apa-apa jadi serba terikat"

"Okey, terserah kamu" katanya menarik nafas lelah membalikkan badan dan pergi begitu saja meninggalkan Chika seorang diri.

Entah berapa langkah Izack berjalan, ia berharap gadis itu mencegahnya pergi, tapi apa yang terjadi saat ia menoleh ke belakang gadis itu kembali melenggang santai menuju pintu lorong gedung.

"Ini cewek bener-bener,"

Rendra dan beberapa orang teman kelasnya hanya geleng-geleng melihat keduanya kembali terpisah.

Gadis itu berjalan tenang melepas toga dan jubah kebesaran dan dimasukkannya lagi ke dalam ransel.

Ia sengaja meninggalkan keramaian melewati lorong gedung yang lengang dan sepi menuju hutan kampus yang cukup luas di area kampus paling belakang. 

Ia hanya ingin sendiri, mengenang masa lalu awal mula menjadi seorang Mahasiswa di kota besar, luar biasa berat. Ia harus meloncat pagar yang teruat dari besi di saat menyendiri dan tiba-tiba ingat ada jadwal kerja serabutannya.

Waktu semua masih menikmati suasana keceriaan masuk bangku baru dengan teman baru, ia harus banting tulang kerja paruh waktu kesana kemari, yang kadang di saat uang tidak cukup ia harus bekerja tengah malam sebagai cleaning service di sebuah mall. Di saat pagi, ia harus lebarkan mata dan kuatkan tenaga untuk belajar di kampus, menyelesaikan semua tugas beberapa hari berikutnya, lalu berusaha keras mempertahankan nilainya agar tidak mengulang semester berikutnya.  

Ia merasa benar-benar kesal karena harus menikah dan hidup dalam kurungan seorang lelaki yang belum lama ia kenal, sekalipun dulu ia sempat naksir lelaki bak pangeran berkuda tersebut. Tapi masalahnya, ia tak yakin bagaimana kehidupan yang akan ia lalui bersama lelaki yang jauh di atasnya. Ia benar-benar merasa kesal karena dibanding dirinya dan keluarganya, ia seperti gadis pengais sampah di pinggir jalan yang berhasil diselamatkan. 

Begitu sampai di ujung lorong, langkahnya mendadak terhenti melihat lelaki yang ia kenali itu tengah sibuk memindahkan bibit tanaman yang diiringi instrument music. Merasa ada gelagat seseorang di belakangnya Dhani pun menoleh.

“Eh, hei!”

“Halo Nyonya besar AMI”

“Hehe… jangan bilang begitulah, Bang”

“Selamat dan Sukses ya”

“Terimakasih, Bang”

“Mana Abangmu?”

Melihat ada lelaki yang berjalan menuju ke arahnya Dhani langsung menyapa.

“Halo Bro, ketemu lagi kita” sapa Dhani membuat Chika menoleh dan kaget melihat kedatangan Izack menuju ke arahnya.

“Ah…! Niatnya kemari mencari suasana sepi, justru gaduh jadinya” pikir Chika menepuk jidat

 

@@@


 

 

Makan malam di rumah Izack

 

Sore itu keduanya kembali ke rumah Izack bekas perusahaan penerbitan yang telah disulap jadi hunian yang hommy.

“Kalau mau istirahat, tidurlah dulu. Biar aku bersihkan untuk pertemuan nanti malam”

“Pertemuan teman-teman AMI lagi?”

Izack diam merasa keceplosan, karena ia ingin memberikan kejutan untuk istrinya dalam rangka upaya untuk mendekatkan dirinya dengan teman-teman sekelas ketika tahu dirinya selama masa kuliah jarang sekali menikmati kebersamaan itu.

“Lha gimana?”

Chika melenguh kesal, tapi ia tidak berani protes.

“Kalau begitu, aku pulang ke kost aja dulu lah” katanya balik badan dan melangkah keluar

“Eits!! Tunggu-tunggu!” sahutnya menarik lengan Chika

“Teman-temanmu nanti malam mau kesini”

“Hhh???”

“Siapa yang suruh?”

“Kenapa nggak menolaknya aja, mereka itu kebiasaan begitu. Apa dikit, acara makan-makan”

Izack menurunkan pundak “Aku yang undang mereka”

“Tapi Bang, bukannya kita baru berhemat uang kan?”

“Kamu jadi Mahasiswa seumur hidup hanya sekali ini saja, Chika..!”

“Okey kita sedang berhemat”

“Tapi siapa tahu dengan bersedekah, nanti dilancarkan lagi rejeki kita”

Chika pasrah dan mengalah. Izack mendorongnya ke kamar untuk mengganti pakaian mereka. Hingga keduanya mulai bersih-bersih dan hidangan pun mulai tiba begitu keduanya keluar dari kamar.

“Sudah siap Mak?”

“Sudah mas, tinggal tunggu buahnya.. anakku tak suruh keluar”

“Hm, makasih Mak…”

“Halo mbak Chika..!”

“Selamat atas wisudanya ya mbak..”

“Mbok kadang tuh main-main kesini, kalau pas mas Izack di Jakarta”

“Hehe… iya Bu”

“Jangankan kesini, Mak”

“Kalau nggak aku tarik selesai Wisuda, nggak bakalan dia datang”

“Ini kan sudah jadi rumahnya mbak Chika juga,”

Tiba-tiba terdengar bel pintu rumah.

“Bukannya nggak ditutup ya?” kata Chika sembari bangkit membuat ketiganya menoleh pada pintu rumah dari balik pintu kaca dapur

“Haloooo…!” seru Chika ramai yang diikuti beberapa teman kelasnya yang bermunculan dari balik pintu

Satu persatu beberapa orang temannya datang, bersamaan dengan teman-teman AMI yang membuat suasana rumah seketika ramai riuh.

Mereka mulai ngobrol rame ini dan itu, ada beberapa yang berkenalan dan bersalam sapa satu sama lain membuat keseruan pun kian terasa. Izack segera mempersilahkan menikmati hidangan yang telah mereka sediakan sambil bercakap-cakap membentuk obrolan-obrolan seru.

Selang berapa menit Izack berbicara lewat pengeras suara di depan teras ruang keluarga yang bersebelahan dengan dapur. Ia mulai bicara tentang pernikahannya yang mendadak, Chika menolak untuk dibuatkan acara pesta pernikahan besar-besaran hingga acara wisuda yang sangat sederhana.

“Hei! Berdirilah di sebelah dia” isyarat Rendra pada Chika membuat gadis itu malu-malu berdiri di belakangnya

“Beruntunglah kamu dapat istri super hemat seperti itu, Bro!” cletuk seseorang membuat tawa gerr orang-orang. Izack yang tahu kehadiran istrinya di belakangnya, dirangkul begitu saja membuat wajah Chika yang pura-pura dingin seketika kemerah-merahan.

“Huu…?!!”

Selesai Izack berbicara di depan, masing-masing dari mereka mulai kembali ke kelompok obrolan seperti semula. Bahkan Chika membentuk tim kecil sendiri di ruang Pustaka yang hangat.

Chika bersama 4 orang temannya kembali serius membuka laptop masing-masing membahas project penanaman pohon.

“Kamu sudah buat surat tembusan dinas kan?”

“Sudah-sudah!”

“Ini daftar tanaman yang kira-kira cocok untuk daerah itu” kata Chika geser menunjukkan daftar nama tanaman

“Oh ya, aku sudah dapat Bank bibit gratis loh”

“Lumayan kan kalau beneran gratis, cost bisa dialihkan pada tenaga penanaman bibit”

Tiba-tiba saja tiga orang senior masuk. Mereka adalah Leo, Hendrik dan Izack

“Halo Chika” sapa Leo

“Wah, istrimu ini memang beda dari yang lain. Sudah wisuda masih mau-maunya belajar lagi” tawanya  

“Hwkwk.. bukan belajar Bang, cari uang”

“Sekelas kamu masih repot cari duit sendiri?”

“Dia itu bukan cari duit, Bro! tapi nggak bisa diam” cletuk Hendrik membuat ketiga orang itu tertawa

“Nah, Itu!”

“Aku membayangkan kalau kalian punya anak, kelar hidupmu. Anakmu tipikal anak yang super aktif” spontan mereka tertawa membuat dua pasangan muda itu seketika bermuka merah.

Izack memberi kode untuk menyingkir sejenak dari teman-temannya, mereka berdiri di sudut ruangan itu sejenak membuat suasana sepi dan hening seketika.

“Kenapa nggak kamu sapa dulu teman-temanmu di luar?”

“Hehe!”

“Ayok, keluar dulu”

“Tapi Bang,” protesnya yang langsung mengkirut melihat tatap dalam penuh isyaratnya

“Iya-iya! Nggak perlu melotot” gumamnya bersungut membuat Izack tersenyum sekilas sembari menuntunnya untuk segera keluar saat memberi kode teman-temannya keluar ruangan.

“Masih ada kita di sini, Bro… nantilah?!” tawa mereka seketika

“Apa sih kalian?!” cletuk Izack kikuk menuntun Chika dan teman-temannya keluar ruangan

Saat kelima orang itu keluar, Hendrik mendekat.

“Kamu apakan dia sampai muram begitu”

“Orang aku mengundang mereka untuk merayakan perpisahannya, malah dia serius mengerjakan projectnya”

“Ok, lanjut!” kata Leo

Saat itu Izack mulai menceritakan ulang bagaimana dokumen kekayaan negara bisa tersimpan di ruang bawah tanah rumah Chika.

“Serius?!”

“Jadi itu memang benar ada?!”

“Tunggu! Tunggu!!”

“Jangan-jangan kamu menikahinya karena alasan itu, Bro”

“Nggak ada kaitannya, Hen”

“Iya, tapi kamu tahu kode itu dari buku yang dia tulis kan?”

Keduanya tampak kesal.

“Kenapa kamu mengungkit soal itu sih?”

“Jujur saja aku nggak terima kamu nikahi dia atas dasar alasan itu”

“Kenapa kalian jadi tengkar sendiri?”

“Teruskan Bro!”

“Baru saja aku lunasi hutangnya di Bank untuk mendapatkan sertifikat rumah itu”

“Oh…?! Jadi?”

“Ya, untuk mendapatkan pinjaman biaya kuliah dia selama ini”

“Ah… benar-benar keren, salut aku sama kerja keras istrimu”

“Nah, kemarin aku sempat cerita ke Papa”

“Apa kata beliau?”

“Tunggu sampai kondisi negara benar-benar tenang”

“Masalahnya para pakar mengatakan kondisi seperti ini akan terjadi sekitar 5 sampai 10 tahun mendatang, saat kita semua sudah berkeluarga dan tidak sempat ngubek-ubek soal seperti ini”

“Melihat perjanjian harta kekayaan apa saja yang mereka simpan. Rasanya itu lebih dari cukup untuk melunasi hutang negara, Bro!”

“Masalahnya, benar kah ketika hutang dilunasi tidak akan hutang kembali?”

“Dan tentunya negara penyimpan tidak akan melepas begitu saja, Bro! bakal anjlok itu ekonominya”

 

Malam itu, keempat orang itu ngobrol serius hingga teman-temannya pulang dan berakhir Chika tertidur pulas  di sofa, saat empat orang itu meninggalkan pergi.

 

@@@

 

26

 

Hari itu keduanya bersitegang setelah surat pemberitahuan penerimaan proyek Chika dan teman-temannya dari sebuah CSR perusahaan tambang akhirnya sampai ke tangannya. Karena obrolan via telphon tidak berjalan dengan baik justru menjadikan keributan, akhirnya Izack nyerah kembali ke Yogya.

Di saat ia serius berdiskusi dengan 4 orang temannya di depan kostannya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. Awalnya Chika tidak menggubris kendaraan itu, mengira orang lain. Tapi begitu dua orang teman ceweknya terpesona pada kegantengan seorang lelaki, barulah Chika menoleh.

“Gluk!” Antara senang dan sedih bercampur jadi satu

“Cowoknya teman kostmu ya? Wuiiihhhh… ganteng banget!” bisik keduanya senyum-senyum genit dari balik tirai bamboo ruang tamu.

“Loh, itu bukannya suamimu ya?” tanya temannya yang hanya tersenyum nyengir

Setengah ragu ia bangkit dari tempat duduknya dan segera keluar untuk menghalau Izack masuk ke teras.

“Halo, Sayang” sapa Izack hangat langsung memeluk Chika

“Wuaaa…!”

“Kalau mau peluk-peluk jangan di depan kita, Bang” cletuk teman lelakinya

“Emangnya kenapa?” tawa Izack merengkuh Chika yang lebih pendek dari dirinya

“Czhh! Dasar sialan!”

“Okey, kalau gitu aku pinjem dulu yah!” katanya mencium ubun-ubun hingga menggamitnya erat

“Iiighh..! aku paling risih begini, Bang”

“Kami ini masih serius rapat, tunggu sampai selesai”

“Okey” jawab Izack tiba-tiba duduk di seberang kursi dimana mereka duduk

Chika meraup wajahnya kesal

“Begini nggak enaknya kalau menikah” gerutunya yang terdengar Izack

“Tinggal aja Chika, masih satu minggu lagi kan?” bujuk teman-temannya

“Tinggal aja sudah…” kali ini temannya mendorong-dorong dari tempat duduknya yang hanya didiamkan Izack hingga ia pun pasrah meninggalkan senyum tipis Izack sambil mengacungkan dua jempol ke arah mengikuti Chika keluar

“Sudah makan?”

“Sudah,”

“Ya sudah, temani aku makan aja kalau gitu” ujarnya santai

Sepanjang perjalanan keduanya diam. Sementara Chika sesekali sibuk menjawab chat-chatan temannya.

“Bang, kalau mau datang mbok ya bilang dulu”

“Kenapa?”

“Aku nggak enak sama temanku”

“Lalu kamu enakan sama aku, begitu?”

“Ya… nggak begitu juga kali,”

Izack menarik nafas panjang dan mulai menceritakan kondisi perusahaannya yang tengah mendapatkan proyek besar dari pemerintah pusat berupa Perpustakaan Digital yang memprakarsai puluhan penerbitan buku di Indonesia untuk menerbitkan buku digital. Sementara kantor AMI sedang ada pekerjaan besar-besaran antara Badan Intelegent Negara dengan team IT AMI terkait penelusuran uang-uang negara yang mengalir ke rekening-rekening luar negeri.

“Aku ingin merayakan ini bareng istrku tercinta” ujarnya

“Bang,”

“Kamu kira, cuman proyekmu yang paling berharga kah?”

“Bagaimana dengan isyu Climate Change di negara kita yang makin tahun suhunya makin meningkat karena penggundulan hutan?”

“Aku sedang memperjuangkan itu ke CSR perusahaan terkait, dan itu tidak mudah”

“Tapi dengan santainya kamu datang untuk ajak makan siang di saat kami sedang serius membicarakan itu”

Dengan agak kasar Izack membanting setir ke pinggiran badan jalan. Ia diam tak mengeluarkan kata-kata, tapi Chika tahu seketika diam menahan ribuan kata yang hendak ia tumpahkan.

“Apakah aku salah, jauh-jauh datang hanya untuk sekedar makan siang, sayang?”

Nyesss…

Hening

Keduanya tampak sama-sama menahan emosi hingga garis urat kemarahan pun perlahan pudar.

Sampai berapa menit kemudian petugas datang hendak mendatangi mobil mereka, seketika ia menggeber kendaraan begitu cepat meninggalkan jejak suara yang memekakkan jalanan yang tampak sedikit lengang.

Keduanya kembali diam hingga kendaraan itu berhenti di depan Resto. Tapi mata Izack tampak sayu, hingga tak sadarkan diri ia memejamkan mata tertidur dalam beberapa detik kemudian terdengar suara dengkuran lembut.

Chika yang awalnya sudah siap-siap turun, begitu melihat suaminya tertidur pulas, tangannya terhenti lemas menarik nafas panjang.

“Ya ampun, betapa egoisnya aku”

“Jauh-jauh datang kemari hanya untuk ajak makan, masih dibarengi rasa lapar”

Setengah ragu Chika menyentuh lengannya yang terbalut hem kerja.

“Bang,”

“Bang, jadi makan nggak??”

Ia benar-benar tertidur pulas hingga mulutnya menganga.

Entah berapa jam Chika menunggu sembari chat, kadang telphon teman teamnya. Tapi hingga dua jam kemudian, Izack belum juga terbangun. Terpaksa meminta tolong Hendrik datang untuk menggantikan jadi driver.

Sepanjang jalan menuju rumahnya, Izack benar-benar pulas tak bergeming dari posisi semula.

“Kenapa?”

“Kalian bertengkar lagi?”

“Di mata dia, kamu itu istimewa loh”

“Dia sudah banyak mengalahnya hanya buat kamu”

“Belajarlah memahami kondisi satu sama lain”

Dan saat malam tiba, Izack kaget mendapati dirinya tertutupi selimut di dalam mobil dengan garasi yang masih terbuka. Ia keluar dari mobil seperti orang bingung.

“Tadi siapa yang bawa aku kesini?” tanyanya keriyepan bingung pada Chika yang masih di dapur

“Sory, aku minta tolong temanku nyopir kesini”

“Emhh… terus kemana?”

“Siapa?”

“Temanmu”

“Ya sudah pergilah”

“Ayok keluar, aku lapar banget”

“Ogah! Ntar kamu tinggal tidur lagi”

“Hwkwk… sory-sory, aku ngantuk banget. Hampir satu minggu ini aku nggak ada waktu untuk tidur” katanya duduk di depan sofa sembari memperhatikan Chika sibuk di dapur

“Memangnya ada sisa bahan makanan?”

“Enggak, tadi aku beli di jalan”

“Coba tiap hari selalu ada yang masakan begini” ujarnya lirih menyalakan tv yang ternyata suara itu terdengar ke telinga Chika

Chika menghembuskan nafas kesal

“Kamu enak, dunia lelaki!”

“Bisa semau gue kesana kemari”

“Sudah aku tebak, kehidupanku bakalan seperti ini!” ujarnya kesal membanting serbet yang tengah ia genggam dan pelototi kesal menunggu minyak panas pada wajan di depannya.

Tiba-tiba ada tangan yang melingkarkan di pinggangnya dan meletakkan dagu di pundaknya yang membuat tubuhnya tergetar membisu.

“Apa ada yang salah dengan serbet?”

“Bukan, tapi yang punya serbet”

 

@@@

 

 

“Mbak Chika, tanah seluas ini bagus untuk dijadikan tempat wisata”

“Oh, maaf pak.. sedikitpun saya tidak tertarik untuk itu”

“Maksud saya tempat wisata itu kan bisa diwujudkan menjadi wana wisata”

“Emmm…”

“Ide bagus itu, saya setuju”

“Di bawah bebatuan gitu terkandung sungai dengan mata air yang luar biasa besar loh?”

“Oh ya?”

“Iya pak, tapi ketika jadi tempat wisata. Polusi udara dan sampah akan tidak bisa dihindari melihat kebiasaan orang di Indonesia seperti ini”

 

(Agenda besar adalah melengserkan presiden karena kasus KKN yang sudah tak tertangguhkan lagi. Namun Presiden dengan wibawanya, dia mundur dari kursinya yang menjadikan orang-orang di sekitarnya kaget karena sudah otomatis mereka bakal menerima hukuman mati)

 

(Diam-diam Izack menemui Presiden, mereka bertemu di istana saat malam hari. Mereka bicara banyak tentang bagaimana masa depan dirinya, masa depan anak-anak lainnya yang mirip dengan istrinya yang tidak bisa sekolah dengan tenang karena terkait biaya)  

 


 

 

@@@@

 

 

Sesekali ia mengajaknya keliling Indonesia hanya untuk mendapatkan tanaman tahunan yang bakal ia kembangbiakkan di laboratoriumnya.

Chika sempat berpikir untuk me reboisasi lahan bekas tambang yang mangkrak begitu saja di beberapa titik daerah. Idenya yang demikian disambut baik oleh Papa mertuanya yang memiliki anak buah di beberapa daerah

Lewat tangan besi mertuanya, ia diberikan kesempatan menghijaukan kembali lahan-lahan rusak tersebut.

Dan ini mengundang perhatian pak Presiden yang saat itu kebetulan tengah berupaya memperbaiki lahan bekas tambang yang cukup besar di daerah Papua.

Dibantu dengan LSM  dan  Kementrian Energi dan Mineral, Chika berhasil menghijaukan lahan tersebut dan perlahan menggerakkan roda perekonomian di sana.

Karena keberhasilannya itulah ia mendapat panggilan dari bebeapa instansi untuk jadi pembicara.

Izack yang masih di kantornya hanya bisa melihat istrinya berbicara di muka umum   

               


 

Nama Negara ; Nagari 

Astana ; ibu kota