Menjelang sore, seorang lelaki berwajah lembut berdiri di
depan jendela sebuah ruang kantor. Suasana cukup tenang dan sunyi. Tak lama
kemudian ponselnya bergetar.
“Halo, iya Ma?”
“Kamu sekarang dimana, Nak?” suara lembut terdengar di ujung
telphon.
"Di kantor penerbitan, Ma. Ada apa?"
"Kenapa sekarang jarang pulang ke rumah?"
Izack mengusap tengkuknya. "Iya, Ma... maaf.”
“Mulai belajar memikirkan dirimu sendiri, Zack...”
“Iya Ma,”
“Kata Papa, besok malam mau diajak ketemuan sama pak Mentri
Pertahanan, tuh.”
Izack mengernyit “Ada urusan apa??”
“Hm... kebetulan putri beliau baru pulang dari luar negeri.”
Izack menghela nafas panjang. Ia sudah menebak.
“Lalu... apa hubungannya denganku?”
“Zack… kamu itu sudah saatnya berpikri untuk dirimu sendiri,
minimal sudah punya pacar lah.”
Izack tersenyum tipis. “Ma, urusan lain Mama boleh atur
deh... Tapi soal itu, biar Izack yang tentukan.”
“Oke, Ma?" lanjutnya, siap menutup panggilan.
“Tunggu, tunggu! Apa salahnya dicoba, siapa tahu jodoh.”
Izack menurunkan pundaknya. “Sudahlah, Ma... Doakan aja urusanku
Izack lancar semua.” Suaranya tetap sopan, tapi tegas.
“Mama tunggu loh, ya. Jam tujuh.”
“Ma! dalam waktu dekat, Markas AMN mau ada acara Konggres
Alumni.”
“Zack...”
“Tolong, Ma. Izack benar-benar repot bulan-bulan ini.”
Ia menutup ponsel dan menarik nafas panjang. Alvin, yang
sejak tadi bersandar di meja, akhirnya tertawa kecil.
"Mamamu, ya?"
"Hm,"
Alvin nyengir. "Mampus! Apa kataku, Bro? Punya pacar
itu penting, menghindari perjodohan."
Izack mendelik “Kamu pikir perempuan itu barang mainan apa?”
“Puritan banget sih ah, soal cewek.”
Izack berkecap kesal. “Jujur ya, aku belum berpikir soal itu
di saat perusahaan dan AMN belum tegak kakinya.”
“Apalagi cewek sekarang itu rata-rata lebay, manja.”
Spontan Alvin tertawa lagi.
“Oh... kamu pingin cewek mandiri?”
“Tuh! Lihat Hera. Mandiri, kerja keras... Tapi justru nggak
butuh aku."
“Kamu mau seperti itu?”
Izack bersandar di kursi. “Ya... setidaknya bisa diajak
kerja sama lah.”
“Kamu mau cari pasangan yang bisa kamu lindungi atau cari
partner, Bro?”
“Sudah, ah! Malas aku, bahas itu.”
“Demi perusahaan, kamu rela melajang sampai tua begitu?”
“Halo, Vin! Apa kabar dengan hutang perusahaan.”
“Kalau aku leha-leha sepertimu yang tinggal menikmati
warisan ortu, mau dibawa kemana hidupku?"
Alvin tergelak. “Makan tuh hutang. Perusahaan sebesar ini, dengan
hutang segitu mah receh.”
“Sudah ah, minggir sana!”
“Ampun... Galak banget.” Alvin tertawa, meloncat turun dari
meja.
Tapi tawa mereka terputus saat ada ketukan pintu.
“Oke, Bro. Cabut dulu.” Pamit Alvin segera pergi
meninggalkan ruangan itu.
“Yup!”
Lelaki paruh baya melangkah masuk, dengan membawa sebandel
map cokelat.
“Pak Izack, ada naskah buku dari penerbit rekan Bapak di
Tayoga.”
Izack mengangkat alis. “Awan?”
Ia meraih map. Di dalamnya, lembaran ketikan manual, beberapa
halaman penuh coretan tipe-x.
“Penuturan orang-orang tahanan politik.” jelas Pak Yusuf. “Bahasanya
ringan, padahal kisah nyata.”
Izack menatap kosong.
“Dan... sepertinya ada dokumen negara yang tersembunyi di sana.”
Izack menajamkan tatapannya. “Dokumen apa, Pak?”
“Bapak tahu kasus hibah emas dari raja-raja kita sebelum
berdirinya negeri ini?”
“Iya,”
“Nah, itu!” jawab lelaki paruh baya itu.
“Bukankah itu hanya rumor saja, Pak?”
“Hm. Tidak Pak. Itu ada, dan disebutkan di buku ini.”
“Salah satunya untuk mendirikan Yayasan PENDABA (Pendidikan
Darurat Bangsa) foundation?”
“Oh ya?”
“Coba Bapak baca.”
“Melihat latar belakang keluarga Bapak... dan organisasi
politik mahasiswa yang bapak pimpin, saya yakin ini menarik.”
Izack membolak-balik lembaran, tidak ada Biografi di sana. “Penulisnya?”
“Kabarnya sih mahasiswa semester dua.”
“Mahasiswa semester dua, setajam itu?” Izack senyum setengah
meremehkan.
“Iya, Pak. Makanya dia nggak mau mencantumkan Biografi dirinya.”
“Ya... tetap aja, minimal penerbit tahu lah.”
“Kalau memang ada nilai yang dia perjuangan, ya harusnya
berani menghadapi prosesnya. Bukan seperti jualan kucing dalam karung, begini.”
Izack tertawa kecil meletakkan map di meja.
Ruangan hening sejenak...
Lelaki itu kembali melanjutkan kata-katanya.
“Meskipun jujur, saya sendiri ragu. Karena kalau buku ini
beneran terbit, ada dua kemungkinan: dibredel sama pemerintah, atau penulisnya yang
diburu.” Jawab Pak Yusuf.
Izack mengernyit dengan tatapan mata penuh pada map.
“Maksudnya??”
“Coba Bapak baca sedikit dulu aja deh, nanti akan tahu.”
Jawab lelaki itu seakan menarik rasa penasaran Izack lebih jauh.
Perlahan ia membuka lembaran demi lembaran.
“Oke,”
Lelaki setengah baya itu membungkuk ringan, lalu pamit dan
menutup pintu perlahan.
Ruangan kembali hening. Hanya detak suara jam, dan gemuruh
suara kota yang terpantul lewat dinding ruangan yang kedap.
“Luchika Aria” bacanya pelan.
“Hmmm... nama yang unik.”
Ia menyipitkan mata, membolak-balik beberapa lembaran.
Tak ada foto, Tak ada biografi.
“Ini cewek atau cowok?” gumamnya.
Ia menarik nafas, lalu mulai membaca –paragraf demi
paragraf.
Dan seperti terseret arus, ia tak sadar waktu mulai bergeser
pelan.
***
Entah berapa jam sudah berlalu, bolak-balik ia beranjak dari
tempat duduknya hanya untuk mengambil air minum dari gelas yang kosong
berkali-kali.
Hingga akhirnya sadar, langit di luar berubah menjadi warna
kuning keemasan. Ia meraih ponsel dan menelpon.
“Ada kontak penulisnya, pak?"
"Tidak ada, Pak. Katanya penulisnya nggak punya HP.”
"Hari gini, mahasiswa nggak punya HP?"
"Maaf, Pak Izack... Keponakan saya kuliah di
universitas negeri. HP-nya juga masih gantian sama adiknya yang smp."
“Ada informasi lain selain itu?”
“Kabarnya, penulisnya ini anak AMN.”
“AMN Cabang mana?”
“Tayoga, Pak.”
Izack diam sejenak, ia bergumam dalam batin. “Kalau anak AMN
Cabang Tayoga, harusnya Leo dan Hendrik kenal.”
“Ini... mirip buku sejarah orang-orang jaman dulu, cuman
bahasanya sudah diubah.”
“Itu dia, Pak.”
Izack mengangguk-angguk sendiri.
“Ya sudah. Saya urus sendiri."
“Baik, Pak Izack.”
Izack pun memutus panggilan.
Hening.
Izack masih membolak-balikkan naskah. Ia juga membuka
lembaran demi lembaran. Barangkali ada selipan catatan informasi penulisnya, di
sana.
***
Sore itu Izack masih berdiri menatap dinding kaca, keluar.
Terdengar suara ketukan pintu, Izack menoleh.
“Masuk,”
Lelaki berambut keriting masuk membawa map berisi laporan
keuangan bulan ini.
Izack kembali duduk tenang. Sorot matanya tajam meneliti deretan
angka-angka dengan cepat. Lalu membubuhkan tanda tangan, dan menutup map.
“Bagus. Ternyata strategi menerbitkan komik sains bisa
mendongkrak penjualan semua buku kita.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Tapi Bang,” sahut lelaki itu, “rasanya ini masih jauh dari
target kita.”
Izack menghela nafas. “Nggak apa-apa. Yang penting jangan
sampai turun aja.”
Tatapannya seolah terhenti sejenak menatap pikirannya di
udara.
“Kalau mau, sebenarnya ada proyek raksasa yang bisa kita
garap, serius.”
“Tinggal kita mau atau tidak,”
“Apa itu, Bang?” tanya Rony pelan.
“Perpustakaan digital nasional,” jawab Izack, matanya
menatap langit-langit.
“Sudah berapa hari ini pikiranku gatal ingin membahas itu.”
Rony mengernyit. “Bukannya sudah ada ya, Bang?”
Izack mengangguk pelan. Ia bangkit dari tempat duduknya. “Justru
karena sudah ada, kita kembangkan lebih jauh matang.”
“Karena yang sudah ada itu kesannya setengah-setengah.”
“Kamu sudah pernah mengakses itu?” tanya Izack lagi.
“Sudah, tapi aksesnya lambat banget, dan susah masuk jadi
anggota.”
“Dan hanya berapa persen, buku yang berhasil digitalkan.”
“Itu untuk kita yang tinggal di kota pusat. Bisa kamu
bayangkan bagaimana mereka yang tinggal di daerah pelosok?”
“Padahal masyarakat butuh itu.”
Izack mengambil tablet, lalu dengan sentuhan jarinya yang
cekatan ia menampilkan situs perpustakaan digital, dan memberikan pada Rony.
Keduanya duduk bersama di sofa tengah ruangan.
“Coba deh, kamu cek buku-buku milik kita secara acak.” Kata
Izack.
Rony menyentuh dengan jari dan membiarkan tombol itu
bergulir. Wajahnya perlahan mengernyit.
“Berat kan?”
“Hm, iya Bang.”
“Dan... coba deh, kamu tanyakan ke sekolah secara acak.
Hanya berapa persen mereka yang tahu soal situs itu.”
Rony mulai mengangguk pelan.
“Itu masalah yang bisa kita garap.” Izack mengusap
tengkuknya, seolah memikirkan solusi yang terasa berat dan seolah angan kosong.
“Hari ini, harusnya sekolah sudah mulai mengintegrasikan itu.
Dan pemerintah support.”
“Untuk memangkas biaya cetak buku paket, maupun buku lembar
tugas yang memakan banyak biaya selama ini.”
“Itu semua bisa dilakukan saat ini, di saat pelajar kita sudah
populer dengan gadget.”
“Ini, pengecualian untuk kota-kota terpencil dan terluar.”
Katanya menegaskan.
Pandangannya kembali mengarah pada dinding kaca, membiarkan
wajahnya terkena silauan mentari yang mulai bergerak turun ke langit barat.
“Ini, kita baru bicara soal buku sekolah. Belum buku
mahasiswa, belum lagi buku-buku fenomenal yang mengandung nilai sejarah.”
“Terbayang nggak, negara tetangga yang secara demografi
lebih bagusan kita. Tapi perpustakaan digital mereka, kapasitasnya enam kali
lebih besar daripada kita. Dan itu terintegrasikan dengan sekolah maupun kampus
dan instansi pemerintah.”
“Gila kan?”
“Nggak heran kalau dari mereka banyak yang pindah keluar
negeri, lalu jadi pemegang perusahaan-perusahaan besar di dunia”
“Lha kita?”
“Dibesarkan oleh alam yang melimpah ruah, tapi minim
orang-orang yang berpengaruh di dunia.”
“Itulah pentingnya literasi bagi sebuah negara.”
“Dan kita, butuh itu.”
“Butuh banget.” Kata Izack mengangguk yakin.
“Referensi itu ibaratnya kumpulan memori sebuah bangsa, pondasi
kita untuk berpikir dan bertindak. Mau dibawa ke mana negeri ini.”
“Bukan sekedar buku, Ron.”
Ia berhenti sejenak. Pandangannya menembus kaca, ke langit
yang mulai merah keemasan.
“Kalau kita nggak punya memori masa lalu, kita ini nggak
lebih dari sekedar kumpulan manusia yang lupa arah.”
“Dan ketika generasi baru tumbuh tanpa jejak pemikiran masa
lalu... mereka hanya akan mengulangi kegagalan yang sama.”
“Sama, seperti saat ini.”
Rony terdiam. Kata-kata itu terlalu berat untuk dipahami,
karena ia hanya butuh nilai tambah perusahaan.
Tapi ia tak bisa menyingkirkan, --bahwa bos nya ini adalah
ketua umum organisasi politik mahasiswa terbesar yang paling gila dalam sejarah.
Dan sekarang, kabarnya tengah menggagas organisasi perpanjangan
tangan AMN, yang isinya para dosen dan peneliti.